• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Bahan Berbahaya Pada Kuliner Mie Aceh Dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat Di Kota Blang Pidie

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan Bahan Berbahaya Pada Kuliner Mie Aceh Dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat Di Kota Blang Pidie"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE

YULIZAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kandungan Bahan Berbahaya Pada Kuliner Mie Aceh dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat di Kota Blang Pidie adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

(3)

RINGKASAN

Mie Aceh adalah Mie yang disajikan dengan bumbu khusus Aceh dan bahan baku Mie basah. Mie Aceh sangat disukai oleh masyarakat Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis tirtrimetri, photometri dan kualitatif. Masalah penggunakan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh perlu diteliti. Setelah dilakukan wawancara dengan 10 responden produsen Mie di Kota Blang Pidie, ada tiga faktor yang diidentifikasi penyebab produsen Mie menggunakan air abu dan formalin. Ketiga faktor adalah faktor ekonomi, faktor pengetahuan dan faktor kebutuhan adonan.

Analisis laboratorium dilakukan untuk melihat kandungan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh. Hasil analisis air abu terhadap 25 sampel (100%) Mie Aceh dengan indikator uji natrium karbonat menunjukan kandungan berkisar antara 0.22 % b/b-0.27 % b/b. Hasil uji boraks terhadap 25 sampel Mie Aceh (100%) menunjukkan hasil negatif. Hasil uji formalin terhadap 25 sampel (100%) menunjukkan hasil positif (100%) dengan kandungan formalin masing-masing sampel >4 mg/L.

Dengan demikian menunjukkan bahwa Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie kurang aman untuk dikonsumsi juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Dampak kesehatan dikeluhkan oleh konsumen setelah konsumsi Mie Aceh adalah hilangnya nafsu makan, sakit perut, perih tenggorokan, batuk dan badan lemas. Penyebab paling penting dari dampak kesehatan yang timbul disebabkan oleh kandungan kimia formalin. Kondisi sosial responden konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie didominasi oleh responden berpendidikan menengah Atas dan perguruan Tinggi, pendapatan di bawah 1 juta, dengan pekerjaan swasta tanpa tanggungan dan yang mengkonsumsi Mie Aceh 3-4 kali atau lebih dari 4 kali dalam seminggu.

(4)

SUMMARY

Mie Aceh is the noodle that formulated with special spices and raw materials wet noodle. Mie Aceh greatly favored by the Aceh’s peoples. This research is conducted by using analysis of tirtrimetri, photometri and qualitative. The issue of usingair abu, borax and formaldehyde of Mie Aceh which circulate at Blang Pidie’s City in Aceh province been examined. After interview with 10 respondents noodle manufacture in Blang Pidie’s City, there were three factors were identified that make them use air abu and formaldehyde.The three factors were economics factor, knowledgefactor and the dough needs factor.

Laboratory analysis was done to see the content of air abu, borax and formaldehyde in Mie Aceh. Theresults of the 25 samples (100%) containing air abu with sodium carbonate test indicators ranges from 0.22% b/b - 0.27 %b/b, borax test results of 25 samples of noodles (100%) showed a negative result. Formalin test on 25 samples showed that positive test results (100%) of formaldehyde content of each sample war >4 mg/L.

The results show that Mie Aceh circulating in Blang Pidie’ s City was less safe for consumption and dangerous for public health. Health impacts complained of by the consumer after Mie Aceh consumption were loss of appetite, abdominal pain, itchy throat, cough and fatigue and the most important was health effects of chemical content’s of formaldehyde. Social conditions of respondents Mie Aceh in Blang Pidie’s City dominated by high-educated respondents, income below 1 million, with private jobs without dependents, who consume 3-4 Mie Aceh and over 4 times a week.

(5)
(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan

KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Mie Basah 4

Air Abu 5

Natrium Kabonat 6

Boraks 7

Formalin 8

Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan 10

METODOLOGI PENELITIAN 10

Waktu dan Lokasi 10

Alat dan Bahan 11

Analisis Data 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Kandungan Air abu 13

Kandungan Boraks 15

Kandungan Formalin 16

Faktor Penyebab Penggunaan Air abu dan Formalin 17

Faktor Ekonomi 18

Faktor Pengetahuan 19

Faktor Kebutuhan dari Adonan 20

Kaitan Masyarakat Terpapar Dengan Kesehatan 21

KESIMPULAN 26

Kesimpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

(10)

DAFTAR TABEL

1 Hasil Uji Kadar Air Abu, boraks dan Formalin 14

2 Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin 18

3 Strata Pendidikan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie 22

4 Strata Pendapatan Responden yang Mie Aceh di Kota Blang Pidie 22

5 Strata Pekerjaan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie 22

6 Tanggungan Keluarga responden Mie Aceh di Kota Blang Pidie 23

7 Frekuensi responden mengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie 23

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 3 2 Fisik Mie Basah 5 3 Fisik Boraks 7 4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya 11 5 Skema metode kerja uji Kualitatif 12 6 Merek Jual Formalin 17

6 Grafik penyakit yang diderita konsumen sebelum dan sesudah konsumsi Mie Aceh Kota Blang Pidie 24 8 Jaringan Hirarki Penentuan penyebab utama dari dampak kesehatan yang ditimbulkan 25 9 Efek penyakit paling penting setelah konsumsi Mie dan alternatif kimia berbahaya penyebabnya 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel Frekuensi 31 2 Tabel Grafik Penyakit sebelum Konsumsi Mie Aceh 32 3 Kuesioner Analisis Hirarki Proses 34

4 Kuesioner dan Panduan Wawancara 44

5 Surat Izin Penelitian Dari Kecamatan Blang Pidie 48

6 Hasil Uji Formalin 49

(11)
(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kecerdasan seseorang. Sehingga makanan haruslah sehat, aman serta harusmengandung gizi lengkap. Bahan makanan dikatakan aman apabila tidak mengandung komponen fisik, kimia dan mikrobiologi yang berbahaya. Rinto et al (2009) menyebutkan bahwa secara fisik pangan yang aman adalah bahan pangan yang bersih dari logam dan bahan yang secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan. Bahan tambahan pangan diantaranya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pengawet dan pengental (Siaka 2009). Faisal (2002) menyatakan bahwa pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit (food borne diseases), gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun dan atau organisme patogen maupun bahan yang dapat mengganggu pencernaan manusia. Pengawet yang banyak dibicarakan dikalangan masyarakat adalah penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan Elmatris (2008). Selain keberadaan formalin, juga ada boraks dan air abu yang dijadikan sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP). Air abu atau air alkali atau eye water atau garam alkali merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai dalam pembuatan Mie, ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat tekstur menjadi kenyal yang bentuk dan warnanya persis seperti air biasa dan banyak dijual ditempat penjualan bahan kue dan PasarTradisional.

Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. BPOM RI (2006) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, tetapi jumlah orang yang tidak mengerti atau sadar tentang perlunya keamanan pangan lebih banyak.Sejumlah produsen Mie basah dan bakso di Bantul, banyak menggunakan formalin atau boraks yang telah menjadi semacam keharusan dan dengan penggunaan dosis yang melebihi batas (Cahyadi 2008). Laporan BPOM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel Mie basah yang dijual di pasar dan supermarket di Jawa Barat ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan borak (Astrawan 2005).

(13)

Gampoeng Baroe dan diuji formalin di laboratorium menunjukkan semua positif menggunakan formalin dengan kadar di atas 1,5 mg/liter.

Melihat kondisi di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait adanya dugaan penggunaan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh dan menganalisis pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Persoalan penggunaan BTP pada sebagian makanan berhubungan erat dengan persoalan lingkungan sosial yang perlu diteliti lebih lanjut. Kota Blang Pidie Provinsi Aceh adalah kota perdagangan yang besar di sepanjang pantai Barat Selatan Aceh selain Meulaboeh. Masyarakat setempat adalah pengkomsumsi Mie Aceh dan keberadaan produsen mie serta banyaknya warung Mie Aceh menjadi alasan utama untuk dilakukan kajian secara mendalam kandungan bahan berbahayapada kuliner Mie Aceh dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat di Kota Blang Pidie.

Perumusan Masalah

Pada penelitian ini penulis ingin mengkaji mengenai isu adanya penggunaan air abu, boraks dan formalin pada kuliner Mie Aceh dan bagaimana dampaknya bagi kesehatan, adapun masalah penelitian sebagai berikut;

a. Apakah kuliner Mie Aceh yang beredar dikota Blang Pidie Provinsi Aceh mengandung BTP air abu, boraks dan formalin dan berapa kadar kandungannya?

b. Faktor yang menyebabkan produsen Mie basah dan pedagang Mie Aceh di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh menggunakan BTP air abu, boraks dan formalin?

c. Apakah ada kaitan secara umum antara masyarakat terpapar dengan kesehatan?

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengindentifikasi ada tidaknya penggunaan BTP air abu, boraks, formalin pada kuliner Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh dan mengetahui kadar air abu, boraks dan formalin.

2. Mengindentifikasi faktor yang menyebabkan produsen Mie Aceh menggunakan air abu, boraks dan formalin

3. Melihat kaitan secara umum antara masyarakat terpapar (pengkonsumsi) dengan kesehatan masyarakat.

Manfaat Penelitian

(14)

Ruang Lingkup Penelitian

Aspek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah aspek sosial yang meliputi prilaku produsen Mie basah, budaya kuliner, zat berbahaya yang dijadikan BTP serta kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Konsumen sebagai penikmat perlu diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Aspek toksikologi kesehatan lingkungan pada air abu, boraks dan formalin juga sangat penting untuk dikaji, sehingga bisa diketahui seberapa efek terhadap masyarakat yang mengkonsumsi, mengingat bahwa Mie Aceh adalah salah satu makanan kesukaan masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Mie Basah

Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari Cina. Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan Mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang. Dalam perkembangannya, Mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi (Munarso dan Haeryanto 2007). Mie basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis Mie yang sudah dikenal luas dan menjadi makanan yang disukai masyarakat di Indonesia. Industri Mie basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah tangga, dan industri kecil/ menengah. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan terkemas, baik di pasar tradisional maupun supermarket. Mie basah juga dijual dalam bentuk olahan oleh pedagang makanan, seperti soto Mie, toge goreng, Mie ayam, Mie Aceh dsb, selain dapat juga diolah menjadi aneka makanan di tingkat rumah tangga (BPOM 2006).

Mie basah memiliki kadar air cukup tinggi (+ 60%) sehingga daya simpannya tidak lama. Apabila proses pembuatannya baik maka pada musim panas Mie basah dapat disimpan selama 36 jam, sedangkan pada musim penghujan hanya dapat bertahan selama 20-22 jam (Anonimous 2007 ). Sedangkan menurut BPOM (2006), Mie dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang. Pendeknya umur simpan ini disebabkan Mie basah memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme. Kerusakan Mie basah disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi.

Nilai gizi Mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain karbohidrat terdapat pula sedikit protein yang disebut gluten. Menurut Munarso dan Heryanto (2007), Mie basah adalah jenis Mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya Mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga Mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi.

(16)

Gambar 2 Fisik Mie basah (Yulizar 2011)

Mie basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Sayangnya, kandungan formalin dan boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Mie pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan Mie disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini Mie populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mie yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis yaitu Mie mentah, Mie basah, Mie kering, dan Mie instan. Keempat jenis Mie tersebut mempunyai pasar sendiri-sendiri yang jumlah permintaannya meningkat dari waktu ke waktu (Alghifary 2009).

Air Abu

Air abu atau air alkali atau iye water atau garam alkali atau disebut juga natrium karbonat merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai dalam pembuatan Mie, ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat tekstur menjadi kenyal. Bentuk dan warna air abu persis seperti air biasa dan banyak dijual di toko bahan kue dan pasar tradisional. Diah (2013) menyebutkan bahwa air abu bisa digunakan sebagai pewarna masakan alami dan pengenyal makanan. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat atau sodium Carbonate (soda Ash), sodium ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan Mie untuk mengikat air abu adalah unsur-unsur mineral zat organik, merupakan sisa yang tertinggal setelah contoh dibakar sampai bebas karbon dan air.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam-macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri dari dua macam, yaitu :

a. Garam-garam organik (asam malat, oksalat, asetat)

b. Garam-garam anorganik (phospat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat, dan logam alkali).

(17)

lembut lentur dan kenyal. Sodium tri poliphospat (STPP) berfungsi sebagai pengemulsi sehingga akan dihasilkan adonan yang lebih homogen (rata). Menurut Guna (2011), sodium carbonate yang sering disebut dengan Soda kie, pengenyal karena sifatnya yang dapat mempengaruhi terbentuknya gluten pada Mie, sehingga sangat berpengaruh terhadap tekstur Mie yang dihasilkan, dimana tekstur Mie akan menjadi lebih liat. Selain itu STPP juga dapat mengikat air sehingga dapat menurunkan aktivitas air sehingga kerusakan karena factor mikroba dapat dicegah, penggunaan bahan ini sebesar 0,25 % dari jumlah adonan.

Natrium Karbonat

Natrium karbonat (Na2CO3) adalah bahan lunak yang larut dalam air dingin dan kelarutan dalam air kira-kira 30% berat larutan, dalam industri kimia di kenal

dengan “soda ash”. Di negara Eropa dan beberapa kota distrik di USA istilah soda mengacu pada monohidrat (Na2CO3H2O) yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, tapi komoditi monohidrat (Na2CO3H2O) jumlahnya relatif kecil di bandingkan dengan bentuk anhidrat, karena natrium karbonat larut dalam air. (Toch 2012). SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012, menyebutkan bahwa natrium karbonat berbentuk padat, serbuk, atau kristal serbuk dan granul, berwarna putih dan tidak berbau; berat molekul 105,99; titik lebur 1563,8ºF (851ºC ); berat jenis 2,532 (air = 1). Kelarutan = 45,5 g/100 mL air @ 100oC (212 oF); larut dalam air panas dan gliserol, larut sebagian dalam air dingin, tidak larut dalam aseton dan alcohol.

Natrium karbonat biasa digunakan sebagai buffer, reagen laboratorium, resin penukar ion regenerasi, manufaktur deterjen dan kaca. Dalam beberapa kondisi natrium karbonat memiliki dampak bahaya terhadap kesehatan manusia. Menurut Material Safety Data Sheet (MSDS), natrium karbonat dapat menyebabkan bahaya seperti efek kesehatan akut: Berbahaya jika terjadi kontak kulit (iritan), kontak mata (iritan), tertelan, inhalasi (iritasi paru-paru). Potensi Efek Kesehatan kronis: Sedikit berbahaya jika terjadi kontak kulit. Substansi mungkin beracun ke saluran pernapasan bagian atas, kulit, mata. Paparan berulang atau berkepanjangan untuk zat dapat menghasilkan kerusakan target organ. Natrium karbonat diproduksi dengan proses Solvay pada 1861, industri kimia Belgia Ernest Solvay mengembangkan metode untuk mengkonversi natrium klorida untuk natrium karbonat menggunakan amonia (Imafa 2008). Namun demikian Pemerintah RI melului Kementrian Kesehatan telah mengatur penggunaan natrium karbonat untuk pangan dengan dikeluarkan Permenkes No. 033 Tahun 2012 dan selanjutnya di atur dalam Peraturan Ka.BPOM RI no 8 Tahun 2013 bahwa ambang batas natrium karbonat pada pangan adalah 2600mg/kg atau 0.26 gr/100 gram.

Boraks

(18)

proses penguapan hot spring (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang terbentuk dari Boron (B) dan oksigen (O2). Beberapa jenis boraks jarang ditemui pada pangan dan terjadi pada daerah tertentu saja, sebaliknya beberapa diantaranya, misalnya boraks, kernite (Na2B4O74H2O) dan colemanite (Ca2B6O11.5H2O) secara komersil ditambang untuk pembuatan boraks, asam borat serta berbagai garam boron sintesis (Winarno dan Tati1993). Boraks berupa hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih dan tidak berbau, bila difenoftalen larutannya menjadi basa. Hablur sering dilapisi serbuk warna putih. Larut dalam 20 bagian air, 0,6 bagian air mendidih dan 1 bagian gliserol, praktis tidak larut dalam etanol (Reynold,1982; FI 4 1995; FI31979).

Gambar 3 Fisik Boraks

Penggunaan Boraks pada Mie Aceh mungkin saja ada, seperti yang dikatakan Mudjajanti dan Yulianti (2004) bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengkonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks setelah dikonsumsi bisa berlangsung beberapa jam atau seminggu. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akanmengakibatkan kematian. Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak terlepas dari prilaku produsen Mie. Menurut Notoatmodjo (2007), dalam proses pembentukan atau perubahan, perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri.

(19)

produk makanan akan menghasilkan tekstur makanan yang lebih baik dan tahan lebih lama sehingga pada ujungnya akan memberikan keuntungan dari segi ekonomi terhadap pedagang. Walgito (2002), menyebutkan pengaruh boraks terhadap konsumen dapat membahayakan kesehatan baik dalam jangka waktu panjang maupun dalam jangka pendek. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Belakangan juga terungkap bahwa efek samping makanan tertentu ternyata dapat mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah, gangguan perilaku tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita autis.

Formalin

Formalin atau formaldehid merupakan bahan makanan tambahan kimia yang efisien, tetapi dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi ada kemungkinan formaldehid digunakan dalam pengawetan susu, tahu, Mie, ikan asin, ikan basah, dan produk pangan lainnya. Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda (Harmoni 2006). Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung kira-kira 37% gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10-15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Pada umumnya, metanol atau unsur-unsur lain ditambahkan kedalam larutan sebagai alat penstabil untuk mengurangi polimerisasi formaldehid, dalam bentuk padat, formaldehid dijual sebagai trioxane [(CH2O)3] dan polimernya paraformaldehid, dengan 8-100 unit formaldehid (WHO 2002). Nama lain formalin adalah Formol, Methylenealdehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethyleneglycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene, Methylene glycol (Judarwanto 2006).

Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100% yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut (Cahyadi 2008). Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling umum. Formalin sebenarnya sudah dilarang sejak tahun 1982 dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Perlindungan Pangan. Beberapa petunjuk tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin, seperti pada Mie basah adalah : tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, bau agak menyengat, tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal, teksturnya sangat kenyal (Yulizar 2011).

(20)

antar 0,3-22 mg/liter. Hewan vertebrata air menunjukkan respon dengan cakupan yang luas. Beberapa binatang berkulit keras adalah yang paling sensitif dengan nilai konsentrasi efektif menengah berkisar antara 0,4-20 mg/liter. Zat yang sebetulnya banyak memiliki nama lain berdasarkan senyawa campurannya ini memiliki senyawa CH2OH yang reaktif dan mudah mengikat air. Bila zat ini sudah bercampur dengan air barulah dia disebut formalin. Pengawet ini memiliki

unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika

disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin makabila ditekan tahu terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, Itulah sebabnya tahu atau makanan lainnya menjadi lebih awet (Hasyim 2006).

Hasyim (2006) juga menyebutkan bahwa Formaldehida membunuh bakteri

dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel

bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya, formalin

tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain.

Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara

membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida

akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya. Melihat sifatnya, formalin juga sudah tentu akan menyerang protein yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia seperti pada lambung, terlebih bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis tinggi.

Sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuan menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan amino bebas dalam protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari formaldehid meningkat dengan peningkatan suhu. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein, protein mengerasdan tidak dapat larut. Formaldehid mungkin berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada sel protoplasma, merusak nucleus, dan mengkougulasi protein (Cahyadi 2008).

Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan

(21)

yang tidak bewarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan dan mata (Cahyadi 2008). Menurut Syukur (2006) dalam Hasyim (2006), pengaruh formalin terhadap kesehatan antara lain jika terhirup rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker paru-paru, akan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.

Pemerintah RI telah melarang penggunaan formalin pada pangan dengan dikeluarkan Permenkes no 033 tahun 2012 karena sangat berbahaya bagi kesehatan, namun dalam International Programme on Chemical Safety (IPCS)

disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida dapat diterima tubuh dalam bentuk

air minum adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang diperbolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg sampai 14 mg per hari. Hampir semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan

memetabolisme formaldehida. Salah satunya membentuk asam format dan

dikeluarkan melalui urine. Formaldehida dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari

dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa memetabolisme formaldehida bereaksi

dengan DNA atau protein untuk membentuk molekul yang lebih besar sebagai

bahan tambahan DNA atau protein tubuh. Formaldehida tidak disimpan dalam

jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan pada

kadar 20 ppm, dalam MSDS, formaldehida dicurigai bersifat kanker (Hasyim

2006).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

(22)

Gambar 4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware), seperti lebar kuesioner, kamera, rekorder, gunting, fhotometer, Selang Aspirator, Pompa peristaltik, buret, labu, pipet volume, larutan standar, indikator dan ingkubator. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk data dan contoh Mie Aceh yang diperlukan untuk analisis.

Analisis Data

a. Analisis kandungan air abu, boraks dan formalin Air Abu

Pengambilan keseluruhan sampel bahan Mie Aceh dilakukan di 10 produsen Mie dan 15 sampel Mie dari warung-warung Mie Aceh yang berada di Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh. Setelah itu sampel dibawa ke laboratorium Balai Riset dan standarisasi Industri Medan. Sampel ditimbang kemudian dianalisis dengan metode analisa titrimetri atau analisa volumetrik adalah analisis kuantitatif dengan mereaksikan suatu zat yang difiltrasi dengan larutan baku HCL yang telah diketahui konsentrasinya 0.01 normal, dilakukan pengenceran dengan aquades lalu ditambahkan indikator, dari pemakaian standar yang digunakan beberapa millimeter.

Boraks

(23)

Gambar 5 Skema metode kerja uji Kualitatif(Maria Tumbel 2010)

Formalin

Mengindentifikasi kadar formalin pada 10 sampel Mie dari produsen Mie dan 15 dari warung Mie di Kota Blang Pidie, kemudian dianalisis dengan metode fotometri di Laboratorium Kesehatan Daerah Aceh dengan cara pengamatan langsung pada sampel.

b. Analisis faktor penyebab penggunaan air abu, boraks dan formalin oleh produsen

Untuk mengindentifikasi penyebab produsen menggunakan air abu, boraks dan formalin dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis data yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasiter hadap 10 orang responden produsen mie yang ada di Kota Blang Blang Pidie. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif.

c. Kaitan Masyarakat Terpapar dengan Kesehatan

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Air abu

Hasil uji air abu (Tabel 2), menunjukkan bahwa ke 25 sampel mie yang di uji semua positif mengandung air abu dengan parameter uji natrium karbonat dengan nilai berkisar antara 0.22 % b/b sampai dengan 0.27 % b/b. Dari 25 sampel yang diuji, 3 sampel (12 %) mengandung natrium karbonat dengan kandungan 0.22 % b/b, 10 sampel ( 40 %) mengandung 0.23 % b/b, 7 sampel ( 28 %) mengandung 0.24 %b/b, 2 sampel ( 8 %) mengandung 0.25 %b/b dan 3 sampel ( 12 %) mengandung natrium karbonat 0.25 % b/b.

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa natrium karbonat diperbolehkan untuk ditambahkan pada pangan, namun ditentukan ambang batas maksimum dalam Peraturan Kepala BPOM RI nomor 8 Tahun 2013 adalah 2600 mg/kg atau 0.26 gr/100 gr. Hasil uji natrium karbonat dalam Mie di Kota Blang Pidie dari 25 sampel yang diuji, 22 sampel (88 %) memiliki kandungan natrium karbonat 0.22 gr/100 gr s/d 0.25 gr/100 gr, kandungan sejumlah ini berada diambang bahaya karena sangat mendekati ambang batas yang ditetapkan yaitu 0.26 gr/100 gr, 3 sampel (12 %) mengandung natrium karbonat 0.27 gr/100 gr melebihi ambang batas yang ditetap 0.26 gr/100 gr berarti ini berbahaya untuk kesehatan masyarakat jika dikonsumsi terus menerus. SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012 menyebutkan bahwa jika tertelan dalam jumlah banyak natrium karbonat atau tertelan melebihi ambang batas secara berturut-turutdapat mengakibatkan korosif pada saluran pencernaan dengan gejala nyeri perut, muntah, diare, kolaps dan keluhan pada saluran gastrointestinal dan kematian dan efek kronik akan bersifat reversibel jika paparan berkurang.

Pada dasarnya Pemerintah melalui Surat keputusan Ka. BPOM nomor 8 tahun 2008 telah mengeluarkan batasan penggunakan natrium karbonat pada pangan khususnya adonan mie 0.26 gram/100 gram, akan tetapi faktanya masyarakat belum terlalu memahami tentang batasan-batasan yang telah dibuat, sehingga kecendrungan menggunakan bahan kimia ini di atas ambang batas sangat besar peluangnya. Mengingat saat diwawancara para produsen Mie menyebutkan bahwa para produsen tidak memiliki standar tertentu dalam penggunaan natrium karbonat atau air abu, satu-satunya standar bagi para produsen adalah ketika adonan bisa dibentuk dengan kondisi adonan tidak terlalu keras dan terlalu lembek sehingga memudahkan dalam penggilingan.

(25)

digunakan untuk menggantikan larutan alkali air di kerak kue bulan tradisional Kanton.

Imafa (2008) menyebutkan sepanjang sejarah industri kimia, persediaan natrium karbonat Na2CO3, soda, merupakan isu penting. Soda adalah bahan dasar penting bukan hanya untuk keperluan sehari-hari (seperti sabun) tetapi juga untuk produk industri yang lebih canggih (seperti gelas). Beberapa penggunaan natrium karbonat selain untuk pangan juga digunakan dalam proses pembuatan pulp (bubur kayu), kertas, sabun, detergen, kaca, dan untuk melunakkan air sadah, natrium karbonat juga digunakan oleh industri batu bata sebagai agen pembasahan untuk mengurangi jumlah air yang dibutuhkan untuk mengusir tanah liat. Dalam casting, ini disebut sebagai "bonding agent" dan digunakan untuk memungkinkan alginat basah untuk mematuhi alginat gel.

(26)

Kandungan Boraks

Hasil uji boraks (Tabel 2) terhadap seluruh sampel dengan metode kualitatif menunjukkan seluruh sampel (100%) tidak mengandung boraks atau negatif. Kandungan boraks dalam kuliner Mie Aceh di Kota Blang Pidie negatif, hal ini sesuai dengan nilai ambang batas boraks dalam Permenkes RI No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa Boraks tidak boleh ada dalam pangan dan makanan walau sedikit. Boraks adalah zat pengawet yang banyak digunakan dalam industri pembuatan taksidermi, insektarium dan herbarium, tapi dewasa ini orang cenderung menggunakannya dalam industri rumah tangga sebagai bahan pengawet makanan seperti pada pembuatan Mie dan bakso. Mudjajanti dan Yuliarti (2004), menyebutkan bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksik. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kematian.

Penggunaan boraks dapat mengganggu daya kerja sel dalam tubuh manusia, sehingga menurunkan aktivitas organ, oleh karena itu penggunaan bahan pengawet ini sangat dilarang oleh pemerintah khususnya Departemen Kesehatan karena dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar. Ketiadaan kandungan boraks dalam seluruh sampel Mie di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui bahwa boraks tidak layak digunakan dalam pangan terutama untuk kuliner Mie Aceh. Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak terlepas dari faktor prilaku. Notoatmodjo (2007) dalam Yasmin dan Madanijah (2010), menyebutkan proses pembentukan dan atau perubahanperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan faktor dari dalam individu, dengan demikian faktor dari luar individu dapat mempengaruhi perilaku contoh terkait keamanan pangan, dengan demikian produsen Mie di Kota Blang Pidie memiliki pemahaman yang jelas tentang bahaya boraks dan pelaranganya oleh pemerintah sehingga tidak menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan pembuatan mie.

(27)

Kandungan Formalin

Hasil uji kandungan formalin dalam sampel yang diuji, menunjukkan bahwa seluruh sampel mie yang diuji (100%) mengandung formalin dengan kandungannya >4mg/L setiap sampelnya (Tabel 2). Keberadaan formalin pada Mie Aceh di Kota Blang Pidie dengan nilai > 4 mg/L sangat berbahaya karena melebihi ambang batas yang ditetapkan Permenkes RI No. 033 yaitu 0 mg/l. Formalin adalah bahan kimia berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam pangan. Permenkes RI. No 033 Tahun 2012 Tentang bahan tambahan pangan, menyebutkan bahwa formalin ini dilarang dan sangat berbahaya bila digunakan untuk pengawet makanan. Selain pelarangan penggunaan formalin oleh Kementrian Kesehatan RI, International Programme on Chemical Safety (IPCS) (Hasyim 2006), memiliki ambang batas sendiri, disebutkan bahwa batas toleransi

formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg/ liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa

adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari. NIOSH menyatakan formaldehida

berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm(Hasyim 2006).

Formalin tidak diizinkan ditambahkan dalam bahan makanan atau digunakan sebagai pengawet makanan, hanya saja formalin sangat mudah diperoleh di pasar bebas dengan harga murah. Formalin sebenarnya telah dilarang sejak tahun 1982, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Perlindungan Pangan.Winarno (1988) mengemukakan beberapa petunjuk tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin antara lain : tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, bau agak menyengat, tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal. Kerusakan Mie disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi.

Pendeknya umur simpan Mie ini disebabkan oleh kondisi iklim tropis seperti di Indonesia, dimana kecenderungan terjadinya pencemaran pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat tinggi, karena udara yang hangat sehingga menjadi lembab, dan kondisi ini yang sangat mendukung pertumbuhan mikroba. Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dapat bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan Mie basah ini (BPOM 2006). Cahyadi (2008) menyebutkan sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuan menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan amino bebas dalam protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari formaldehid meningkat dengan peningkatan suhu.

(28)

jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.

Gambar 6 Merek Jual Formalin

Ketika penggalian informasi dilakukan, produsen-produsen Mie di Kota Blang Pidie mengakui tidak menggunakan formalin dan menyatakan bahwa formalin dilarang karena berbahaya bagi kesehatan jika digunakan dalam Mie Aceh, namun mereka mengakui menggunakan pengawet agar mie bisa bertahan dengan menambah komponen lain yang mereka sebut anti basi. Hasil uji laboratorium menunjukan hasil berbeda dari pengakuan produsen-produsen Mie di Kota Blang Pidie, seluruh Mie yang di hasilkan dan didistribusikan ke warung-warung Mie Aceh positif mengandung Formalin.

Faktor Penyebab Penggunaan Air Abu dan Formalin

(29)

Tabel 2 Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin

formalin meliputi penghematan dalam pembiayaan produksi, karena dengan

menggunakan natrium karbonat dan formalin Mie yang dihasilkan lebih tahan hingga 24 jam, dengan demikian tingkat kerugian kerusakan Mie dapat dikurangi. Selain itu dengan digunakan air abu atau natrium karbonat Mie kelihatan lebih menarik sehingga warung-warung Mie Aceh membeli Mie yang sudah ditambah air abu dan formalin. Bahan Mie dan anti basi mudah didapatkan di Kota Blang Pidie dan harga lebih murah dan dibandingkan dengan menggunakan pengawet alami seperti kunyit sehingga lebih menguntungkan. Di Kota Blang Pidie air abu atau natrium karbonat dijual bebas di pasaran dengan harga 6 ribu rupiah/liter sehingga harga yang murah dan mudah didapat cukup meringankan produsen dalam memproduksi Mie sebagai bahan utama Mie Aceh. Dalam proses penggalian informasi yang dilakukan, responden mengatakan bahwa untuk produksi Mie yang mereka hasilkan tidak menggunakan formalin, namun mereka menggunakan anti basi, akan tetapi hasil laboratorium menunjukan bahwa produk Mie yang dihasilkan seluruhnya mengandung formalin.

Moenir (2006), mengatakan tingkat sosial ekonomi atau pendapatan ialah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain dirinya maupun keluarga. Namun hal ini pada masyarakat yang berteknologi maju, dimana kebutuhan hidup yang makin meningkat tidak hanya dalam jenis tetapi juga dalam hal kegunaan, pendapatan seseorang tidak lagi menjangkau kebutuhannya bersama keluarga. Kebutuhan hidup yang makin meningkat di satu pihak, kurang dapat diimbangi dengan pendapatan yang relatif tetap, sehingga menyebabkan perubahan pola ketenagakerjaan. Dengan demikian hubungan kepentingan ekonomi sangat mendukung produsen mie untuk menggunakan bahan natrium karbonat atau air abu dan formalin berkaitan dengan asumsi pendapatan dan keuntungan.

(30)

dalam masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan.

Mie yang dihasilkan produsen kemudian didistribusikan ke warung Mie Aceh yang ada di Kota Blang Pidie bahkan kebeberapa warung-warung Mie Aceh yang berada di kecamatan lain, keberadaan produsen Mie yang cukup banyak tentunya menimbulkan persaingan dalam penjualan Mie karena bertambah tempat-tempat penjualan Mie Putih (Mie Cina) sehingga dapat mengurangi daya jual produk Mie Aceh, dalam hal ini perlu dilakukan strategi

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi perilaku dan keyakinan seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara berpikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengerti faktor-faktor yang berpengaruh dalam kondisi sakit dan praktek kesehatan personal (Potter dan Perry 2009). Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan seseorang, pengetahuan juga membentuk kepercayaan seseorang serta sikap terhadap suatu hal. Perilaku yang didasari pengetahuan lebih langgeng dari yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami atau diintervensi baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teori pengetahuantelah berkembang sejak lama. Filsuf pengetahuan yaitu Plato menyatakan pengetahuan

sebagai “kepercayaan sejati yang dibenarkan (valid)” (justifiedtrue belief). Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Sebagai contoh, pengetahuan seorang ibu tentang pentingnya imunisasi dasar bagi anaknya diperoleh dari suatu pola kemampuan prediktif dari pengalaman dan informasi yang diterima (Budiman dan Riyanto 2013). Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Budiman dan Riyanto 2013).

(31)

mendorong produsen Mie menggunakan natrium karbonat secara bebas tanpa memiliki standar ambang batasnya kecuali hanya perkiraan terbentuknya adonan Mie antara lembek dan keras sehingga Mie mudah dalam penggilingan.

Selain itu produsen mengetahui bahwa pemerintah tidak melarang penggunaan natrium karbonat, namun untuk formalin produsen Mie yang (80%) mengetahui tentang bahaya dan larangan dari pemerintah untuk menggunakannya dalam makanan dan yang (20%) yang mengaku tidak mengetahui bahwa formalin sangat berbahaya bagi kesehatan. Seluruh responden (100%) yang diwawancara mengaku tidak mengetahui bahwa dalam anti basi yang mereka gunakan juga memiliki kandungan sama dengan formalin atau memang formalin dengan nama jual yang berbeda. Pengakuan bahwa responden tidak menggunakan formalin pada Mie ternyata berbeda dengan hasil uji laboratorium yang menunjukkan ke 25 sampel (100%), 10 sampel dari produsen dan 15 dari warung Mie Aceh positif mengandung formalin dengan nilai > 4 mg/L. Dengan demikian faktor pengetahuan dari produsen Mie ini didapatkan berdasakan input informasi yang masuk sangat mendorong dalam penggunaan air abu dan formalin pada mie yang dihasilkannya, karna pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya.

Rinto et al (2009) menyebutkan bahwa secara fisik pangan yang aman adalah bahan pangan yang bersih dari bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh yaitu plastik, logam dan bahan bahan-bahan lainnya yang mengganggu pencernaan manusia, secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan seperti formalin, boraks, insektisida serta bahan tambahan makanan yang sangat dibatasi penggunaannya. Maraknya penggunaan bahan tambahan atau zat aditif pada makanan belakangan ini untuk membuat makanan tampak lebih menarik, tahan lama, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Bahan tambahan tersebut pengawet dan pengental (Siaka 2009).

Faktor Kebutuhan dari Adonan

(32)

Nilai gizi Mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain karbohidrat terdapat pula sedikit protein yang disebut gluten. Menurut Munarso dan Heryanto (2007), Mie basah adalah jenis Mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya Mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air Mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga Mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, Mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat

Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan Mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali. Dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet, Mie basah umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang. Pendeknya umur simpan ini disebabkan Mie basah memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme. Kerusakan Mie basah disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi.

Pendeknya umur simpan Mie basah ini disebabkan oleh kondisi iklim tropis seperti di Indonesia, dimana kecenderungan terjadinya pencemaran pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat tinggi, karena udara yang hangat sehingga terjadi lembab yang sangat mendukung pertumbuhan mikroba. Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dapat bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan Mie basah ini (BPOM 2006). Pengawet ini

memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya

ketika disiramkan kemakanan seperti tahu dan Mie Aceh, Hasyim (2006)

menyebutkan komponen berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten,

meningkatkan elastisitas, fleksibilitas dan meningkatkan kehalusan tekstur Mie.

Formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan adonan Mie terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, itulah sebabnya Mie Aceh di Kota Blang Pidie atau makanan lainnya menjadi lebih awet.

Kaitan Masyarakat Terpapar Dengan Kesehatan

(33)

besar pendidikan SMA sebanyak 15 orang (42,9%), pendidikan tinggi 14 orang (40%), SMP 4 orang (11,4%) dan SD 2 orang (5,7%). Hal ini menunjukkan bahwa yang mengkonsumsi Mie Aceh lintas pendidikan dari paling dasar hingga Perguruan Tinggi, bahkan responden Perguruan Tinggi lebih dominan yang menjadi pengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie.

Melihat tingkat pendapatan Responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie (Table 4) menunjukkan bahwa sebagian besar adalah < 1 juta sebanyak 16 orang (45,7%), pendapatan 1-3 juta sebanyak 14 orang (40%) dan pendapatan 3-5 juta sebanyak 5 orang (14,3%), hal ini menjelaskan tingkat pendapatan yang bervariasi dari pengkonsumsi dan yang berpenghasilan sangat relatif, yang berpendapatan dibawah 1 juta lebih mendominasi konsumsi Mie Acehdan responden berpenghasilan 3-5 juta paling sedikit dari responden konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie. Terkait dengan perkerjaan responden hasil analisis menunjukan menunjukkan bahwa pekerjaan responden yang mengkomsumsi Mie Aceh (Tabel 5) di Blang Pidie sebagian besar swasta sebanyak 16 orang (45,7%), pelajar sebanyak 9 orang (25,75), PNS sebanyak 5 orang (14,3%) dan tani sebanyak 5 orang (14,3%).

Tabel 3 Strata Pendidikan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie

Pendidikan Frekuensi Persen

Tabel 5 Strata Pekerjaan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie

(34)

Hasil analisis mengenai tanggungan keluarga konsumen Mie Aceh (Tabel 6) di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa tanggungan keluarga responden yang mengkomsumsi Mie Aceh di Blang Pidie sebagian besar tidak ada sebanyak 21 orang (60%), tanggungan 2-3 sebanyak 8 orang (22,9%) dan tanggungan 3-4 sebanyak 6 orang (17,1%). Artinya responden konsumen yang mendominasi adalah para pemuda atau pelajar yang belum ada tanggungan keluarga, dan yang paling sedikit adalah responden yang memiliki tanggungan keluarga 3-4 orang.Maka bisa dikatakan penikmat utama konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie adalah para pemuda atau pemudi yang belum berkeluarga.

Analisis untuk melihat frekuensi konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi Mie Aceh perminggu sebagian besar 3-4 kali sebanyak 11 orang (31,4%), > 4 kali sebnayak 11 orang (31,4%), 2-3 kali sebanyak 8 orang (22,9%) dan 1 kali sebanyak 5 orang (14,3%). Artinya bahwa ada 11 orang dari 35 responden yang memiliki rutinitas konsumsi Mie Aceh 3 sampai dnegan 4 kali (Tabel 7)

Tabel 6 Tanggungan Keluarga responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang

Tabel 7 Frekuensi responden mengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie Frekuensi Konsumsi Frekuensi Persen

(35)

Penyakit lainnya adalah badan lemas sebelum konsumsi ada 5 orang penderita (14.28%), setelah konsumsi turun menjadi 1 orang (2.85%). Penurunan responden yang menderita badan lemas hingga 4 orang (11,43%), lebih disebabkan pada kondisi rasa lapar dan kenyang, setelah konsumsi Mie Aceh badan lemas karna kekosongan perut berganti dengan badan bertenaga yang disebabkan konsumsi Mie Aceh yang bahan bakunya tepung yang memiliki kandungan karbohidrat. Keluhan perih tenggorokan sebelum konsumsi Mie Aceh hanya 1 orang (2.85%) meningkat menjadi 6 orang (17.14 %) setelah konsumsi Mie Aceh, peningkatan jumlah responden dengan keluhan perih tenggerokan hingga 5 orang (14.29 %), begitu juga dengan batuk yang dikeluhkan responden konsumen setelah konsumsi Mie Aceh 4 responden (11.42 %), batuk adalah keluhan yang masih berkaitan dengan perih tenggerokan. Seperti dikatakan Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) bahwa formalin juga dapat menyebabkan sukar bernafas, nafas pendek hingga perih tenggerokan, dengan demikian peningkatan jumlah responden yang merasakan keluhan perih tenggerokan dan timbulnya batuk setelah konsumsi Mie Aceh disebabkan oleh formalin yang terkandung dalam Mie Aceh tersebut.

Gambar 7 Grafik penyakit yang diderita oleh konsumen sebelum dan sesudah konsumsi Mie Aceh Kota Blang Pidie

Hasil analis dengan Goal Bahan Kimia Penting dari pendapat para pakar menunjukan bahwa formalin menjadi penyebab paling utama dari efek yang ditimbulkan setelah konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie dengan nilai 0,840 sedangkan air abu menunjukan nilai 0,160 ( Gambar 9). Efek paling penting yang dirasakan oleh responden berdasarkan analisis AHP adalah hilang Nafsu makan dengan nilai 0.366, kemudian batuk 0.271, perih tenggorokan 0.260, lemas 0.058 dan 0.046 (Gambar 9).

(36)

Gambar 8 Jaringan Hirarki penentuan penyebab utama dari dampak kesehatan yang ditimbulkan

Efek kesehatan tersebut sesuai dengan Winarno (1988) yang mengatakan bahwa dampak formalin terhadap kesehatan diantaranya sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, paru-paru, akan terjadi mual, muntah, sakit perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian. Begitu juga Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) menyebutkan pengaruh formalin terhadap kesehatan antara lain jika terhirup rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker paru-paru, akan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian. Selain formalin, air abu atau natrium karbonat jika dikonsumsi terus menerus juga bisa mengakibatkan efek bagi kesehatan konsumen.

Gambar 9 Efek penyakit paling penting setelah konsumsi Mie dan alternatif kimia berbahaya penyebabnya

Cahyadi (2008) mengatakan formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan

Goal: BKPM

hilang nafsu makan .366 sakit perut .271 perih tenggorokan .260

lemas .058

batuk .046

Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.

Alternatives

air abu .160

(37)

fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengkonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas yang tidak bewarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan dan mata. SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012 jika natrium karbonat tertelan dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan korosif pada saluran pencernaan dengan gejala nyeri perut, muntah, diare, kolaps dan keluhan pada saluran gastrointestinal dan kematian dan efek kronik akan bersifat reversibel jika paparan berkurang.

KESIMPULAN

Kuliner Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh positif mengandung air abu dan formalin melebihi ambang batas yang ditetapkan dan negatif kandungan boraks, sehingga kurang aman untuk dikonsumsi. Tiga faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin oleh produsen Mie di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh adalah ekonomi, pengetahuan dan kebutuhan dari adonan. Dampak kesehatan yang dikeluhkan oleh konsumen setelah konsumsi Mie Aceh adalah hilang nafsu makan, sakit perut, perih tenggerokan, batuk dan lemas. Penyebab paling penting dari efek kesehatan yang di timbulkan adalah kandungan kimia formalin.

SARAN

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Alghifary, 2009). Hati-hati Makan Mie Basah, [internet] Tersedia pada: http://www.ahmad-alghifary.co.cc/2009 [diunduh 10 April 2014].

Anonymous. 2007. Dampak Buruk Formalin dalam Makanan di Indonesia, [internet] [diunduh 10 April 2014]. Tersedia pada; http: www/ detak.org/news.php?id.

Astrawan M. 2005. Mie Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin. [internet] [diunduh 10 april 2014]. Tersedia pada: http: www/Gizi. Net. Com.

Astrawan M, 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.

Budiarto 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakrta (ID): Buku Kedokteran EGC.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Keamanan Pangan Mie Basah: Mencari Jalan Keluar dari Masalah Formalin dan Boraks, Jejaring Intelijen Pangan. (ID) BPOM RI.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2012. Natrium Karbonat. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) Pusat Informasi Obat dan Makanan.

Budiman dan Riyanto. 2013. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Cahyadi. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara.

Diah D. 2013. Air Abu Pewarna Hitam Alami.[internet]tersedia: http://www.diahdidi.com[di unduh 20 april 2014]:

Elmatris. 2008. Analisis kualitatif dan kuantitatif kandungan formalin pada beberapa bahan makanan yang beredar di pasar raya padang dan sekitarnya. [internet]. Pada:http://lp.unand.ac.id[diunduh10 april 2014]

Faisal, A. 2002. Pengantar Pangan dan Gizi. Swadaya, Jakarta (ID)

Guna. 2011. Pembuatan Mie Basah. [internet] [diunduh 20 april 2014]. Pada: http://gunasoraya.blogspot.com

Harmoni, D. 2006. Seluk Beluk Formalin.[internet] [diunduh 20 april 2014]. Pada: www.hd.co.id

Hasyim. 2006. Formalin Bukan Formalitas. Buletin cp. Januari 2006.

Hou, Guoquan and Kruk, Mark. 1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin Volume XX

(39)

Judarwanto, W. 2006. Ancaman Formalin Bagi Kesehatan.[internet] Pada :http://www.pdpersi.co.id. [diunduh 20 april 2014]

Mudjajanti,E.S. &L.N. Yulianti, 2004. Membuat Aneka Roti. Penebar Swadaya, Jakarta

Munarso danHeryanto. 2007. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie.[internet] Pada :http://www.pdfqueen.com/html. [diunduh 20 april 2014]

Moenir, H.A.S. 2006.Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Edisi 1.Cetakan 7.Bumi aksara. Jakarta

Notoatmodjo.2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo dan Soekidjo.2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Cetakan

ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.

Potter dan Perry. 2009. Fundamental of Nursing : Konsep, Proses dan Praktik. Buku 1.Edisi 7.Jakarta : Salemba Medika.

Reynold JEF. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28th ed. The Pharmaceutical Press. London. 337- 432.

Rinto, E., Arafah, S.B. Utama. 2009. Kajian Keamanan Pangan (Formalin, Garam dan Mikrobia) pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia, 8 (2): (20-25).

Roth, H. J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Siaka, I.M. 2009. Analisis Bahan Pengawet Benzoat pada Saos Tomat yang

Beredar di Wilayah Kota Denpasar. Jurnal Kimia, 3(2):87-92.

Sugiyatmi S. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradsional yang Dijual di Pasar-pasar di Kota Semarang.[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro.

Sugiyono. 2011. Metode Analisis Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung:246

Tanu, I. 1987. Farmakologi dan Farmasi Edisi 3.Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Walgito B. 2002. Psikologi Sosial. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi.

Widyaningsih, T.B.dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya

(40)

Winarno dan Tati, 1993.Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Yasmin G dan Madanijah S. 2010. Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah Terkait Gizi dan Keamanan Pangan di Jakarta dan Sukabumi. Jurnal Gizi dan Pangan. 5(3):148-157.

(41)

RIWAYAT HIDUP

(42)
(43)

Valid

Tidak ada 21 60.0 60.0 60.0

2-3 orang 8 22.9 22.9 82.9

3-4 orang 6 17.1 17.1 100.0

Total 35 100.0 100.0

Frekuensi konsumsi/minggu

Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid

1 kali 5 14.3 14.3 14.3

2-3 kali 8 22.9 22.9 37.1

3-4 kali 11 31.4 31.4 68.6

>4 kali 11 31.4 31.4 100.0

Total 35 100.0 100.0

Penyakit sebelum konsumsi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Kerongkongan perih 1 2.9 2.9 22.9

lemas 1 2.9 2.9 25.7

Lambung 8 22.9 22.9 60.0

Lambung, 1 2.9 2.9 62.9

Lemas 4 11.4 11.4 74.3

Tidak ada 5 14.3 14.3 100.0

Total 35 100.

0

(44)

Penyakit sesudah komsumsi

Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative

Percent

valid

Hilang nafsu makan 13 37.1 37.1 40.0

Hilang nafsu makan, 1 2.9 2.9 42.9

Batuk, Lemas 1 2.9 2.9 45.7

Lemas, perih tenggorokan 2 5.7 5.7 51.4

Perih tenggorokan 3 8.6 8.6 60.0

Sakit perut 8 22.9 22.9 82.9

Sakit perut, 2 5.7 5.7 88.6

Sakit perut, hilang nafsu 2 5.7 5.7 94.3

Sakit perut, perih tenggokan 1 2.9 2.9 97.1

Tidak ada 1 2.9 2.9 100.0

Total 35 100.0 100.

(45)

Lampiran 2 : Kuisioner Pakar

KUISIONER PENELITIAN

A. Identitas Responden

1. Nama : ...

2. Usia : ...

3. Tempat Tinggal : ...

4. Pendidikan : ...

5. Jabatan : ...

6. Tanda Tangan : ...

Tanda Tangan

Responden BAGIAN I.

PETUNJUK PENGISIAN I. UMUM

1. Isi kolom identitas yang terdapat pada halaman depan kuesioner.

2. Berikan penilaian terhadap urutan hierarki penentuan efek paling penting antara penyakit yang di timbulkan dengan air abu dan formalin dengan cara mengisi lembaran pengisian.

3. Penilaian dilakukan dengan mengurutkan tingkat kepentingan/peran komponen dalam satu level hierarki yang berkaitan dengan komponen-komponen level lainnya.

4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah tersedia.

Kuisioner ini digunakan sebagai bahan dalam penyusunan penelitian mengenai KAJIAN KANDUNGAN AIR ABU, BORAKS DAN FORMALIN PADA

KULINER MIE ACEH DI KOTA BLANG PIDIE

Data yang diterima dari kuisioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik.Terima kasih atas bantuan dan kerjasama anda.

(46)

Contoh Pengisisan:

Misalkan terdapat empat elemen yang mempengaruhi investasi yaitu faktor C, D, E, dan F. Berdasarkan tingkat kepentingan maka faktor tersebut disusun dalam bentuk tabel seperti berikut:

Elemen Urutan

Tingkat Kepentingan

Faktor C ..4(a)..

Faktor D ..3(b)..

Faktor E ..1(c)..

Faktor F ..2(d)..

Keterangan:

Nilai pada (a) : Elemen C memiliki urutan tingkat kepentingan ke-4 (Elemen C merupakan elemen yang paling tidak penting/paling sedikit mempengaruhi investasi)

Nilai pada (b) : Elemen Dmemiliki urutan tingkat kepentingan ke-3

Nilai pada (c) : Elemen Ememiliki urutan tingkat kepentingan ke-1 (Elemen E merupakan elemen utama yang paling penting/paling mempengaruhi investasi)

Nilai pada (d) : Elemen Fmemiliki urutan tingkat kepentingan ke-2 Perhatian : Konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan

Tabel 1. Mengurutkan tingkat kepentingan elemen-elemen Kriteria dibawah ini berdasarkan Goal Menentukan bahan kimia yang paling mempengaruhi penyakit yang di timbulkan setelah konsumsi Mie Aceh

Elemen Penyakit- Penyakit Yang Paling Sering di Timbulkan Setelah Mie di Konsumsi

Urutan Tingkat Keseringan

Sakit Perut ....

Hilang nafsu Makan ....

Batuk ....

Lemas ....

(47)

Keterangan : Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.

Tabel 2. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala Hilang nafsu makan

Alternatif Urutan

Tingkat Kepentingan

Air Abu ....

Formalin ....

Keterangan : Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.

Tabel 3. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala batuk

Alternatif Urutan

Tingkat Kepentingan

Air abu ....

(48)

Keterangan : Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.

Tabel 4. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala lemas

Alternatif Urutan

Tingkat Kepentingan

Air Abu ....

Formalin ....

Keterangan : Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.

Tabel 5. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala perih tenggorokan

Alternatif Urutan

Tingkat Kepentingan

Air Abu ....

Formalin ....

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Fisik Mie basah (Yulizar 2011)
Gambar 4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya
Gambar 5 Skema metode kerja uji Kualitatif(Maria Tumbel 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan- kebijakan yang perlu ditempuh mengenai pidana penjara dalam rangka mewujudkan ide pemasyarakatan adalah (1) membatasi perumusan pidana penjara secara

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen pada Sekolah Pascasarjana MB-IPB penulis meneliti tentang strategi pengelolaan hutan tanaman rakyat dengan judul tesis

beberapa lokasi dengan keadaan geografi yang berbeda di Sulawesi Tengah dan dari berbagai asal inang untuk dijadilkan sebagai koleksi plasma nutfah agensia hayati

Khusus untuk periode Juli 2020, uji khusus untuk retaker kategori 1 dilaksanakan oleh Komite Nasional (penetapan Nilai Batas Lulus oleh Organisasi Profesi dan Asosiasi..

1) Tugas Pokok Guru Piket sebagai Petugas Penegak Disiplin adalah sebagai berikut : 1. Memeriksa seragam siswa, kelengkapan seragam siswa, kerapihan, dan keterlambatan

Subrogasi atau subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung, yang telah Subrogasi atau subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung, yang

Kondisi tingkat kepercayaan masyarakat di Desa Kahayya dalam pengelolaan Agroforestri dapat di katakan cukup baik, hal ini dilihat dari keikut sertaan masyarakat dalam

Kurva standar relatif pada berbagai suhu dan waktu inkubasi Untuk mengetahui kadar progesteron yang terdapat di dalam contoh, biasanya digunakan kurva standar dimana dibuat