• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencatatan pernikahan beda agama di Kantor Urusan Agama (KUA) (studi kasus kantor urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencatatan pernikahan beda agama di Kantor Urusan Agama (KUA) (studi kasus kantor urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

(KUA) KEC. CILANDAK) Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)

Oleh:

AQIB MAIMUN NIM: 206044103783

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

(KUA) KEC. CILANDAK) Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)

Oleh:

AQIB MAIMUN NIM: 206044103783

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA NIP: 195703121985031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang, 24 September 2010

Aqib Maimun

(4)

Tiada kata yang paling pantas penulis ungkapkan selain mengucapkan ﻦﻴﻤﻟﺎﻌﻟاﷲﺪﻤﺤﻟا. Syukur kepada Dia yang Maha Ghafûr. Segala puji hanya bagi Allah

Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan begitu banyak cinta dan kasih

sayangnya kepada semua makhluk yang meyakini keberadaanNya. Katakanlah “Jika

sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh

habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami

datangkan tambahan sebanyak itu pula”. KarenaNya dan bersamaNya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada dia seorang

manusia pilihan. Manusia yang tidak hanya popular di bumi namun juga popular di

langit. Manusia yang paling khusyu’ dalam shalatnya, manusia yang paling jujur

dalam perkataan dan perbuatannya, manusia yang paling bijaksana dalam mengambil

keputusannya, manusia yang paling kasih terhadap orang yang miskin dan anak yatim

serta manusia yang paling sayang terhadap isterinya. Rujukan para Sahabat, sandaran

para Syuhada, junjungan dan tauladan kita semua Nabi besar Muhammad SAW,

pembawa syariatNya bagi seluruh hambaNya dalam setiap ruang dan waktu sampai

akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan penulis temui. Namun

syukur Alhamdulillah karenaNya dan bersamaNya, serta karena dukungan dari

(5)

dapat terselesaikan.

Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” kepada Mamah

(Suparti) dan Bapak (Ismanto) tercinta, yang tiada pernah akan terputus kasih

sayangnya, tiada pernah letih mengangkat kedua tangannya, meneteskan air matanya,

dalam setiap lantunan do’a-do’anya, untuk kebaikan putra keduanya ini. Penulis

sampaikan pula kepada saudara-saudariku tercinta, Muhammad Nur Salim, Wahyu

Tri Utami, Ahmad Muhaimin, dan Rahmat Hidayat.

Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi

ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,

M.H., Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al

Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A., dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Bapak Drs. H. Qomaruzzaman dan segenap jajaran Karyawan/karyawati KUA

Kecamatan Cilandak dan KUA Kecamatan Kebayoran Lama yang telah

(6)

5. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al

Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu bagi

penulis selama duduk di bangku kuliah.

6. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman Jama’ yang telah banyak

membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Glestania Rosaputri, Adeku Tersayang, Putri Muhibbati. Terima kasih telah

menjadi jalan terbukanya pikiran, meluapnya semangat, sehingga langkah

penulis lebih cepat dari sebelumnya dalam menyelesaiakan skripsi ini, demi

kelulusan ini. Terima kasih telah menjadi jalan ilmu, jalan ma’rifat, jalan

sabar, jalan tabah, jalan ikhlas, jalan rido penulis kepada Dia yang Maha

Kasih, kepada Dia yang Maha Sayang, kepada Dia yang Maha Mengatur

cerita hidup semua hambaNya, sebagai bekal penulis menjalani cerita hidup

selanjutnya.

8. Sahabat-sahabat penulis di keluarga besar Peradilan Agama angkatan

2005/2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas

semua bantuan dan dukungan serta do’anya.

(7)

iv

Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis terima

tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan,

semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT kepada kita

semua. Âmîn

Tangerang, 7 Mei 2010

(8)

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan... 10

E. Penelitian yang Relevan... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II DESKRIPSI TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Perkawinan dalam Islam ... 14

B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik ... 18

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif... 22

BAB III DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah ... 28

B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)... 36

C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 39

BAB IV ANALISIS PENETAPAN AKTA NIKAH PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KEC. CILANDAK A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak ... 44

(9)

vi

C. Analisis Yuridis Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak. ... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran-Saran ... 97

(10)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam bahasa

Arab disebut dengan dua kata ( حﺎﻜﻧ _ جاوز )2 yang artinya adalah nikah atau

kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wâth’û wa al-dhâmmû”

(bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan)

orang menyebut nikah untuk arti akad sebab, akad ini merupakan landasan

bolehnya melakukan persetubuhan. Sedangkan secara fikih, pengertian nikah atau

kawin diungkapkan oleh para ulama dengan beragam sekali, diantaranya adalah:

1. Kelompok mazhab Hanafi mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah

adalah akad yang memfaidahkan memiliki dan bersenang-senang dengan

sengaja.

2. Kelompok mazhab Syafi’i mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah

adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha

(bersenggama) dengan lafal nikah atau tajwiz atau yang semakna keduanya.

1

Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama Press, 2001), 14.

2

Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191.

(11)

3. Kelompok mazhab Maliki mendefinisikan nikah atau kawin dengan

ungkapan; nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum

semata-mata untuk membolehkan watha (bersenggama), bersenang-senang dan

menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah

dengannya.

4. Kelompok mazhab Ahmad bin Hanbali mendefinisikan nikah atau kawin

dengan ungkapan; nikah adalah akad dengan mempergunakan lafal nikah atau

tajwiz guna membolehkan manfaat dan bersenang-senang dengan wanita.3

Namun secara keseluruhan definisi itu hampir sama antara satu dan

lainnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut “Perkawinan adalah akad nikah

yang ditetapkan oleh syara bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan

bersenang-senang dengan kehormatan (kemaluan) seorang isteri dan seluruh

tubuhnya.”4 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang

membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah

boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah

dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan

itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah

3

Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4

4

(12)

berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan

menjadi mubah.5

Menikah termasuk perbuatan sunnah yang paling dianjurkan, karena ia

merupakan sunnah para Rasul. Hal ini sejalan sebagaimana firman Allah dalam

QS. An-Nûr (24): 32 :

لﺎ

ﷲا

:

وا

ْﻜ

ْا

اﻮ

ْﻜ

ْﻢ

و

ّﺼﻟا

ْﻴ

ْﻦ

دﺎ

آ

ْﻢ

وا

ﺋﻜ

ْﻢ

ا

ْن

ﱠﻳ

ْﻮ

ْﻮ

ا

ء

ْﻐ

ﷲا

ْﻦ

ْﻀ

و

ﷲا

و

ﺳا

ْﻴﻢ

.

)

رﻮ ﻟا

/

٢

:

٢

(

Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha

luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nûr (24): 32)6.

Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 telah menegaskan tentang

perkawinan yakni merumuskan pengertian perkawinan, didalam pasal 1 tercantum

tujuan perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin

antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” 7

5

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. II. h. 43.

6

Ibid, h. 43.

7

(13)

Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki

arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan

realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam

penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Sesungguhnya naluri seks

merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya

jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai

untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi

segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan

tenang menikmati barang yang halal.8

Hasrat biologis atau keinginan melakukan hubungan seks bagi suami isteri

adalah suatu fitrah dan rahmat yang patut disyukuri. Oleh sebab itu, perkawinan

sebagai sarana perkembang-biakan (untuk memperoleh anak keturunan), dimana

berketurunan merupakan realisasi dari misi manusia sebagai Khâlifâh yang akan

meramaikan dunia dalam rangka beribadah kepada Allah SWT dari masa ke

masa, karena kawin untuk memperoleh keturunan merupakan hal yang sangat

dianjurkan Rasûlûll’âh SAW. Oleh karena itu, tujuan perkawinan menurut agama

Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga

yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan

kewajiban anggota keluarga, serta terciptanya ketenangan lahir dan batinnya,

sehingga timbulah kebahagian.9 Oleh sebab itu, perkawinan merupakan suatu

8

(14)

perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama maka antara suami istri

itu saling menyantuni, kasih mengasihi sehingga menciptakan keadaan aman dan

tentram penuh kebahagian baik moral, spritual dan materil.10

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan

wanita yang sama aqidahnya, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan

ketulusan hati, dibawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-isteri akan

tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anakpun

sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan

terwujud secara sempurna kecuali jika suami-isteri berpegang kepada agama yang

sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama

keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam

pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi

keagamaan, dan lain sebagainya.

Dalam Islam laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita musyrik.11

Seorang yang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama

Allah. Kata musyrik digunakan dalam al-qur’an untuk kelompok tertentu yang

mempersekutukan Allah, mereka adalah penyembah berhala.12 Seperti firman

Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 221:

9

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet. I. h. 22.

10

H.S.A Alhamdani, “Risalah Nikah”, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 26.

11

Muhammad Nasib al Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid II, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 359.

12

(15)

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

و

ْﻜ

ْﻟا

اﻮ

ْﺸ

آ

ّﺘ

ْﺆ

ﱠﻦ

و

ْﺆ

ْﻴ

ْﻦ

ْﺸ

آ

ﱠو

ﻟْﻮ

ا

ْﻋ

ْﺘﻜ

ْﻢ

ج

و

ْﻜ

ْﻟا

اﻮ

ْﺸ

آْﻴ

ّﺘ

ْﺆ

ْﻮا

وﻟ

ﻌْ

ْﺆ

ْﻴ

ّ

ْﻦ

ْﺸ

ك

ﱠو

ﻟْﻮ

ا

ْﻋ

ْﻢ

ا

ْوﻟ

ﻳْﺪ

ْﻮ

ن

ا

ﻰﻟ

ﱠﻟا

رﺎ

و

ﷲا

ﻳْﺪ

ْﻮ

ا

ﻰﻟ

ْﻟا

ﱠﺔ

و

ْﻟا

ْﻐ

ة

ﺎْذ

ج

و

ّﻴ

ﺘﻳا

سﺎ

ﻌﱠ

ْﻢ

ﺘﺬ

ﱠآ

ْو

ن

.

)

ةﺮ ﻟا

/

٢

:

٢٢

(

Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah (2): 221)13.

Dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan antar pemeluk agama

masih dimungkinkan yaitu antara seorang lelaki muslim menikahi wanita

kitabiyah yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi

dan Nasrani. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah, karena

wanita kitabiyah berpedoman pada kitab-kitabnya yang asli yang berasal dari

wahyu Allah.

Di Indonesia didalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dijelaskan

dalam pasal 2 ayat (1) bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 14 Sedangkan di

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 dijelaskan, bahwa seorang wanita

13

Kamal bin As Sayyid Salim, Edisi Lengkap Fiqih Sunnah wanita, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), cet. I, h. 523.

14

(16)

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak

beragama Islam,15 dari kedua pasal itu jelas menerangkan bahwa, antara calon

suami dan istri itu harus memeluk agama yang sama karena, bila calon suami

Kristen umpanya, berarti ia harus menikah dengan ajaran Kristen, dan bila calon

isteri beragama Islam berarti ia harus kawin berdasarkan hukum Islam. Karena

itu, bila laki-laki Kristen menikah dengan wanita muslimah atau sebaliknya, tanpa

menyamakan dahulu agamanya masing-masing, maka menurut undang-undang

perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum.16

Semestinya sesuai aturan yang ada, pernikahan beda agama tidak ada lagi

dan tidak dapat tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Kenyataannya

dilapangan pernikahan beda agama itu masih terjadi. Berdasarkan permasalahan

di atas, maka penulis merasa sangat perlu untuk mencoba meneliti memecahkan

permasalahan tersebut. Hal ini, yang penulis ingin telusuri, untuk itu di sinilah

pentingnya masalah ini di angkat menjadi judul. Dalam karya ilmiah ini penulis

mengemasnya dalam judul ”PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA).” (STUDI KASUS KANTOR

URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CILANDAK.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

15

Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, h.29.

16

(17)

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, skripsi yang berjudul

”Pencatatan Pernikahan Beda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) .

(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak) akan dibatasi

dari segi objek pembahasannya. Pencatatan Pernikahan yang dimaksud,

penulis membatasinya hanya pada ketentuan-ketentuan perkawinan yang

mengatur tentang pencatatan Pernikahan beda agama yang terjadi di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak.

2. Perumusan Masalah

Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan

beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis

adalah bagaimanakah sebenarnya Pencatatan Pernikahan beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat terjadi. Adapun perincian

permasalahan penelitiannya sebagai berikut:

a. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam Fiqih Klasik ?

b. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam hukum positif?

c. Bagaimanakah Pernikahan Beda Agama dapat tercatatkan di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak?

(18)

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran teoritis hukum Pernikahan Beda

Agama dalam Fiqih Klasik.

b. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi Pernikahan Beda

Agama dalam hukum positif.

c. Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana Petugas Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) menerapkan aturan yang ada dalam Undang-undang

perkawinan, yang seharusnya Pernikahan Beda Agama sudah tidak dapat

tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis

ketentuan-ketentuan aturan hukum yang terdapat dalam Fiqih Klasik, khususnya

ketentuan tentang hukum perkawinan.

b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum

perkawinan yang ada, baik hukum Islam maupun hukum positif dalam

penerapannya di Masyarakat.

D. Metode Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan

pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara

(19)

sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya berdasarkan

norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas

subjektif , mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk

memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan. Selain itu

penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek penelitian ini

adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-undang perkawinan. Dan

dalam Penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis penelitian kuantitatif jenis

penelitian lapangan (field research).

Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data. Data

yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder,

yaitu :

1. Data Primer

Pertama, data primer yang meliputi berkas-berkas Akta nikah yang

diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak.

Kedua, wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.

Cilandak.

Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan

(20)

2. Data Sekunder

Pertama pada sumber data, sumber data primer terdapat pada

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua Instruksi Presiden No.

1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal-pasal

yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Ketiga aturan hukum yang

ada dalam fikih Klasik khususnya yang berkenaan dengan Perkawinan Beda

Agama. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah

jenis data kualitatif yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk

angka-angka, dalam hal ini data yang dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang

relatif.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

a. Menganalisis terhadap berkas Akta Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)

Kec. Cilandak.

b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan

penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan salah satu

responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) Kec. Cilandak.

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu

dengan menggunakan tekhnik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun

(21)

Adapun tekhnik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU

PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2007.

E. Penelitian yang Relevan

Skripsi yang berjudul Hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan:

Agama-agama yang di akui di Indonesia yang ditulis oleh Jamaludin , Program Studi Al

Ahwal Al Syakhsiyyah, konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. memang

terdapat beberapa kesamaan diantaranya sama-sama membicarakan Perkawinan

Beda Agama, namun tetap saja ada yang membedakan yaitu dalam skripsi yang

ditulis oleh Jamaludin tidak menyinggung tentang Aplikasi Perkawinan Beda

Agama di Indonesia.

F. SistematikaPenulisan

BAB I: Pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, studi review terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II: Perkawinan dalam Islam, Perkawinan Beda Agama dalam fikih

(22)

BAB III: Deskripsi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dalam perspektif sejarah, landasan dan kedudukan,

substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI),

BAB IV: Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Deskripsi

Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Analisis.

(23)

A. Perkawinan dalam Islam

Islam diyakini umatnya sebagai agama yang membawa rahmat bagi

seluruh umat manusia (rahmâtan lil-’alamîîn). Seluruh ajarannya dimaksudkan

untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia. Sebagai agama

terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat

ajaran-ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak semata, tetapi juga memberikan

tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia,

salah satunya adalah hukum perkawinan.1

Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.

Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.2

Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh yang artinya perintah Allah

dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja,

karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan

sebagaian dari syarî’ah agama Islam. Islam sebagai Agama fitrah, dalam arti

tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah manusia, menilai bahwa perkawinan

1

Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39.

2

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3.

(24)

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

ْﻢآدﺎ ﻋ

ْﻦ

ﻦْﻴ ّﺼﻟاو

ْﻢﻜْ

ﺎﻳﻻْا

اﻮ ﻜْاو

ْﻢﻜﺋ او

..

.

)

رﻮ ﻟا

/

٢

:

٢

(

Artinya : ” Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…”(QS. An-Nûr (24): 32).

Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan

orang-orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang

belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki yang dibekali rasa

senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam menempuh hidup di dunia

sebagai khâlifâh tidak dibiarkan hidup sekehendak nafsunya, akan tetapi diberi

aturan hidup bersama dengan pasangannya itu. Tujuannya agar mereka hidup

dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala

susah dan pemulih gairah dikala lelah. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam

firman-Nya QS. Ar-Rûm (21) : 21:

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

و

ْﻦ

ﺘﻳا

ا

ْن

ﻟﻜ

ْﻢ

ّ

ْﻦ

اْ

ْﻢ

ْزا

و

ًﺟا

ْﻮ ﻜْﺴﺘّﻟ

ﺎﻬْﻴﻟا

ﻌﺟو

ْﻢﻜ ْﻴﺑ

ًةﱠدﻮﱠ

ًﺔﻤْﺣرﱠو

ﱠنا

ْ

ذﻟ

ّﻟ

ْﻮ

م

ﱠﻳﺘ

ﱠﻜ

ْو

ن

.

)

موﺮﻟا

/

٢

:

٢

(

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

3

(25)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rûm (21) : 21)4

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah

Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari

generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan untuk

kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik

untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan secara

garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian

yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur’an dinyatakan

bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul

terakhir Nabi Muhammad SAW.

Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban,

pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta

kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan motivasinya.

Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua pihak, suami-isteri,

dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan menjamin rasa cinta kasih

berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta kasih itu sendiri menjadi

pendorong kuat bagi suami – isteri dalam melaksanakan kewajibannya

masing-masing. Kalau kita kembali kepada pokok syarî’ah untuk menafsirkan makna

kewajiban di dalam kehidupan suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah

4

(26)

kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.

Selain itu kita tidak melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas.

Hak-hak suami atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas

suaminya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur’an :

”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma’ruf.” Terbukti agama ini tidak menganggap memadai bila

dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta kasih dan sayang saja. Lebih dari

itu, Islam menekankan kewajiban mempergauli isteri dengan baik. Hal ini

berdasarkan nash alqur’an : ”Dan pergaulilah mereka secara patut kemudian bila

kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak

menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”5

Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin orang

dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari segi

ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan

berkeluarga akan dapat dipenuhi.6 Pemenuhan harat seksual adalah kebutuhan

biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi faktor utama

suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan sekaligus kewajiban.

Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas lainnya secara timbal balik.

Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain yang mengabaikan hubungan

tersebut. Meninggalkan hubungan biologis dengan sadar dan sengaja oleh suami -

5

Al-Thahir Al-Hadâd, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60.

6

(27)

isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti

terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang

menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya

dapat membatalkan perkawinan.

Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat

ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan

penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama

halnya dengan menghambat pengembangbiakan.7 Karena tujuan pernikahan tidak

lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga

yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.8

B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik

Perspektif Fiqh adalah sudut atau cara pandang fiqh terhadap perkawinan

beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksudkan di sini adalah

perkawinan antara seseorang yang beragama Islam (muslim, muslimah) dengan

non-muslim. Non Muslim (orang yang tidak beragama Islam) secara garis besar

dikelompokan ke dalam musyrik dan Ahli Kitab. Dalam Islam mereka yang

disebut musyrik adalah penyembah berhala dan mengimani tuhan lain di samping

Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan para Ahli-Kitab adalah mereka yang

menganut agama samâwi.

7

Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’at & Masyarakat, h. 72.

8

(28)

Dalam al-Qur’ân yang dimaksud dengan Ahli – Kitab adalah pemeluk

agama Yahudi dan Nasrani. Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang

kedudukan bentuk hukum perkawinan tersebut. 9

1. Golongan Pertama

Termasuk kalangan Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan

laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah pada dasarnya adalah boleh (sah, halal).

sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada

firman Allah dalam QS. Al-Maidâh (5) : 5 :

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

و

ْﻟا

ْ

ْﻟا

ْﺆ

و

ْﻟا

ْ

ﱠﻟا

ﺬْﻳ

ا

ْو

ْﻮ

ْﻟا

ا

ﻜﺘ

ْﻦ

ْ

ْﻢ

ا

ذ

ا

ْﻴﺘ

ْﻮ

ه

ﱠﻦ

ا

ْﻮ

ر

ه

ﱠﻦ

ْ

ْﻴ

ْﻴ

ْﻴ

و

ﱠﺘ

ْي

ا

ْﺧ

ﺪا

ن

)

ةﺪﺋ ﻤﻟا

/

:

(

Artinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik ...”( QS.

Al-Maidâh (5) : 5).

Menurut mereka dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama,

ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli

kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita

Ahli Kitab yang muhsânât. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk

rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat

penunjukan ayat ini terhadap hukum.

9

(29)

2. Golongan Kedua

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya. Golongan ini dianut oleh Ibnû Umâr dan Syi’âh Imâmiâh. Mereka

berdasarkan kepada QS. Al-Bâqârâh (2): 221:

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

ﱠﻦ ْﺆﻳ

ﻰّﺘﺣ

آﺮْﺸﻤْﻟا

اﻮ ﻜْ

ﻻو

ﺔ ْﺆ

ﻻو

ﱠو

ﺔآﺮْﺸ

ْﻦ

ﺮْﻴﺧ

ْﻢﻜْﺘ ﺠْﻋا

ْﻮﻟ

ج

ﻰّﺘﺣ

ﻦْﻴآﺮْﺸﻤْﻟا

اﻮ ﻜْ

ﻻو

اْﻮ ْﺆﻳ

ْﻢﻜ ﺠْﻋا

ْﻮﻟﱠو

كﺮْﺸ

ْﻦ

ﺮْﻴﺧ

ﻦ ْﺆ

ﺪْﻌﻟو

..

.

)

ةﺮ ﻟا

/

٢

:

٢٢

(

Artinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang

musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al-Bâqârâh (2): 221).

Kedua, QS. Al-Mumtâhânâh (60):10:

ﻰ ﻌ

ﷲا

لﺎ

:

ْن

ْﻤﺘ

ْﻮ

ه

ﱠﻦ

ْﺆ

ْﺮ

ْﻮ

ه

ﱠﻦ

ا

ْﻟا

ﻜﱠ

رﺎ

ه

ﱠﻦ

ﱠﻟ

ْﻢ

و

ه

ْﻢ

ْﻮ

ن

ﱠﻦ

...

)

ﻟا

ﺔ ﺘﻤﻤ

/

:

(

Artinya : Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar wanita mukmin (muslim), maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada suaminya (yang non muslim), karena mereka (wanita muslimah) itu tidak halal menjadi isteri bagi mereka yang bukan muslim, sedang mereka yang bukan muslim) pun tidak halal menjadi suami bagi mereka (wanita muslimah)”. (QS. Al-Mumtâhânâh (60):10).

Bagi golongan ini, kedua ayat di atas melarang kaum mu’mînîn menikah

dengan perempuan musyrik.10 Ibnû Hâzâm berkata : Haram hukumnya wanita

10

(30)

musyrikah dikawini oleh laki-laki muslim. Dan orang kafir tidak boleh memiliki

budak laki-laki. Beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah.11

Ibnû Umâr mengatakan, ketika ditanya tentang hukum mengawini

perempuan kitabiyah, yakni Nasrani dan Yahudi. ”Allah telah mengharamkan

(mengawini) perempuan musyrik atas orang mukmin dan saya tidak mengetahui

kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang ialah mengatakan

bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal ia adalah salah seorang dari hamba Allah.”

Ayat di atas jelas melarang umat Islam mengawini perempuan-perempuan kafir. Ahli-Kitab menurut mereka termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi mempertuhankan ’Uzair dan orang Nasrani mempertuhankan Isa Ibnû Maryâm, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah jika mereka tidak bertaubat kepadaNya sebelum mereka mati seperti yang disebutkan dalam QS. An- Nisa(4): 46.12

3. Golongan Ketiga

Golongan ketiga dalam hal ini tampaknya mencoba bersifat moderat.

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita Ahli Kitab hukum asalnya

halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain tampaknya ini

terkait dengan politik, Ibrahim Hosen menyebutnya dengan kalimat sighot tidak

menghendaki.

11

Abdul Mutaal Muhammad al-Jabary, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 7.

12

(31)

Selain itu, menikahi perempuan Ahli Kitab akan berbahaya, karena

dikhawatirkan kalau-kalau si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah mereka

memperoleh keturunan (anak).13

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif

Mengenai perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 Tahun 1974

pasal 57 tidak mengatur secara jelas dan rinci permasalahan ini. Salah satu yang

diatur dalam pasal ini adalah mengenai perkawinan campuran.

1. Perkawinan Beda Agama sebelum UU No. 1 Tahun 1974

Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

perkawinan campuran diatur dalam Regeling op Gemengde Huelijken Stbl

1898 No. 158, dinyatakan: ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran

adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum-hukum yang berlainan.” Sedangkan seperti halnya pengertian di atas, yang

dimaksud perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan

antara seorang pria dan wanita yang tunduk dan patuh kepada agama yang

berbeda.14

Sebelum Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda telah

mengumandangkan tentang peraturan perkawinan campuran yang dimuat

13

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. I, h. 289-290.

14

(32)

dalam Staats Blad 1898 No. 158. Pemerintah Hindia Belanda membuat

peraturan ini dilatar belakangi kondisi pada waktu itu dengan mobilitas

perdagangan yang tinggi. Dengan perdagangan yang semakin pesat, membuat

interaksi antar berbagai kelompok semakin tinggi juga.

Mobilitas kehidupan yang semakin kompleks itu, sehingga

berpengaruh terhadap proses asimilasi masyarakat. Akibatnya tak jarang

terjadi perkawinan beda agama diantara masyarakat, seperti perkawinan

antara Bumi Putra (Indonesia) dengan orang Tionghoa maupun dengan

golongan Eropa. Oleh sebab itu melihat kondisi sedemikian rupa. Pemerintah

Hindia Belanda mengundangkan peraturan Staats Blad No. 158 Tahun 1898

dengan penetapan Raja pada tanggal 29 Desember 1898 Nomor 23 tentang

perkawinan campuran.

Secara lebih tegas Sudargo Gautama menginterpretasikan.

”Perkawinan campuran diartikan semua perkawinan antar orang-orang yang

ada di Indonesia di bawah hukum yang berlainan, sebagai perkawinan

campuran. Dia menambahkan bahwa GHR tidak membedakan perkawinan

antar tempat di satu pihak dan perkawinan antar agama di lain pihak. Dia juga

menolak pendapat yang mengatakan GHR hanya berlaku pada perkawinan

antar agama.”15 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa

perkawinan beda agama masuk dalam perkawinan campuran. Ia berpendapat

15

(33)

berdasarkan yurisprudensi melalui putusan MA RI No. 245 K/S?1953 tanggal

16 Februari 1953.

”Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan

seorang laki-laki yang beragama Kristen berlakulah peraturan Staats Blad

1898-158 yang dalam pasal 2 menentukan bahwa dalam hal ini harus ada

keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tempat. Dan tidak

ada larangan untuk perkawinan itu, kepala KUA ini dianggap selaku

pengganti wali mujbir yang termasuk di atas. Sedangkan menurut pasal 7 ayat

(2) pemberian keterangan ini boleh ditolak berdasar atas perbedaan agama,

kebangsaan ataupun keturunan.”

Jika kita melihat kepada kedua pendapat di atas, menurut penulis

dalam GHR telah mengatur perkawinan antar tempat, antar agama maupun

antar golongan penduduk, seperti halnya orang Eropa dan orang Indonesia

yang kedua belah pihak berlainan kewarganegaraan dan agama.

2. Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974

Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, maka peraturan perundangan sebelumnya seperti GHR dan BW

(Buergelijk Wetbook), dinyatakan tidak berlaku lagi. Serta dinyatakan tidak

berlaku lagi sebagaimana bunyi pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974.16

16

(34)

Serta dengan berlakukanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974

pencatatan perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam pasal 2 PP Tahun 1975 menjelaskan bahwa instansi pencatatan

perkawinan di Indonesia hanya ada dua, yaitu pegawai pencatat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang No.

22 Tahun 1954 yang dalam hal ini kantor urusan agama kecamatan dan yang

kedua pegawai pencatat pada kantor catatan sipil. Perkawinan campuran yang

dilakukan menurut agama Islam, pencatatannya harus dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran yang

dilakukan tidak menurut agama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai

pencatat pada pencatatan sipil.

Dengan demikian dua orang warganegara yang berbeda, jika mereka

hendak melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatannya

dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Akan tetapi jika mereka

melangsungkan perkawinan bukan menurut agama Islam maka pencatatannya

dilakukan oleh kantor catatan sipil.17

17

(35)

Namun tidak semua ahli hukum sependapat dengan uraian di atas.

Beberapa ahli hukum menilai UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara jelas

mengatur perkawinan beda agama maka keabsahan perkawinan beda agama

tetap dikembalikan kepada ketentuan GHR, walaupun perkawinan ini tidak

sesuai dengan ajaran agama masing-masing pihak. Dan perkawinan beda

agama mempunyai keabsahaan seperti halnya perkawinan campuran.

Jika kita mengacu pada ketentuan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974,

jelas dinyatakan ketentuan dalam GHR (Stb.1898/158) tidak dapat

diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah terdapat dalam UU

No. 1 Tahun 1974, GHR juga berbeda asas pedoman dengan undang-undang

ini. Yaitu asas keseimbangan hukum antara suami isteri yang dianut dalam

UU No. 1 Tahun 1974.18

Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai

perkawinan beda agama menempatkan pada larangan perkawinan. Yang

menyangkut nikah lintas agama ada dua pasal yakni psal 40 (c) dan pasal 44.

dalam pasal 40 (c) menyatakan ”Dilarang melangsungkan perkawinan antara

wanita yang tidak beragama Islam”. Sedang pasal 44 menyatakan : ”seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang

18

(36)

Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki atau

perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah.

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbeda dengan

pendapat Jumhur yang menghalalkan orang Islam kawin dengan wanita

kitabiyah. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlihat sangat

menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari’ah (menutup peluang). Kaitannya

adalah sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, di mana terdapat resiko

tinggi karena dapat menimbulkan kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi

Hukum Islam (KHI) ini lebih kepada kehati-hatian sungguhpun halalnya

mengawini kitabiyah itu diakui oleh Jumhur dan sebagian para sahabat.

Tampaknya ulama Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI)

sepaham dengan kelompok yang melarang mengawini kitabiyah, hal itu tidak

berarti tidak sejalan dengan Qur’an tetapi memperhatikan kemaslahatan sesuai

dengan kondisi masyarakat Indonesia.19

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa UU No. 1 Tahun

1974 benar-benar telah menutup perkawinan beda agama diberlakukan di

Indonesia sesuai dengan penjelasan pasal 2 ayat (1). Sehingga hukum

Indonesia untuk sekarang ini tidak mengakui keabsahan perkawinan beda

agama sebagai salah satu perkawinan yang diakui di Indonesia.

19

(37)

A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah 1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi, keterangan-keterangan dan sebagainya.1 Istilah kompilasi berasal dari bahasa Yunani, diambil dari perkataan “compilare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie” dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut terakhir.

Dalam Kamus Bahasa Inggris seperti Kamus Webster ditulis pengertian Compilation adalah Act or process of compiling. Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu.

1

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.453.

(38)

Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.2

Adapun yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.3 Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia atau dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud hukum Islam yang secara resmi berlaku sebagai hukum, untuk dipergunakan dan diterapkan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan.4

2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya Kompilasi Hukum Islam (KHI), K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi

2

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h.10-11.

3

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), h.79.

4

(39)

Hukum Islam (KHI) ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada Pemerintahan orde baru. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri.5 Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.

Hal ini secara tegas dinyatakan, bahwa di Indonesia belum ada kompilasi maka dalam praktek sering kita lihat adanya Keputusan Peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, padahal kasusnya sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang semestinya membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan demikian, yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini karena umat Islam salah paham dalam mendudukkan fiqh di samping belum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI).6

5

Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.104 (April 1986): h. 60.

6

(40)

Mengenai Kitab-kitab rujukan bagi Peradilan Agama pada dasarnya adalah sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’âh di luar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab seperti Al Bayjuri, Fathul Muîn dengan syarahnya, Syarqawî ’alâ al Tahrirî, Qulyûbî atau Muhallî, Fathul Wahhâb dengan syarahnya, Tuhfah, Targhîb al Musytaq, Qawânîn al Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya, Qawânîn al Syar’iyah Lisayyid Sadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Farâid, Bughyah al Mustarsyidîn, Al Fiqh ‘alâ Madzâhib al ’Arba’ah, Mughni al Muhtâj. Materi tersebut kelihatannya memang masih belum memadai, sehingga sering kali dikeluarkan instruksi maupun surat edaran untuk menyeragamkan penyelesaian perkara kasus demi kasus.7

Hal yang tidak kalah ruwetnya menurut Bustanul Arifin ialah, bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang memang

7

(41)

tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara ke 13 kitab pegangan itu adalah telah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan. Peluang demikian tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan Pengadilan selalu dinyatakan sebagai ”pendapat pengadilan”. Situasi Hukum Islam yang seperti ini menurut Bustanul Arifin yang mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI).8

Masrani Basran berpendapat bahwa yang melatarbelakangi diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dikemukakannya tentang adanya ketidakjelasan persepsi tentang syarî’ah dan fikih. Menurutnya bahwa sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia, terjadi kekurangjelasan atau kalau tidak dapat dikatakan ”kekacauan persepsi” tentang arti dan ruang lingkup pengertian syarî’ah Islam dengan fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap sama pula dengan al Dîn. Maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan umat Islam dan orang-orang yang diluar Islam. Karena syarî’ah Islam itu meliputi seluruh bidang kehidupan manusia maka persepsi yang keliru atau tidak jelas atau tidak mantap itu akan mengakibatkan pula kekacauan dan

8

(42)

saling menyalahkan dalam bidang-bidang kehidupan umat, baik kehidupan pribadi maupun bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hal inilah yang menurutnya pada poin kedua harus diluruskan, yaitu persepsi tentang syarî’ah harus diseragamkan tidak beraneka ragam lagi, harus dikembalikan pada awal asalnya sebelum terjadi kemunduran berfikir.9 untuk mengatasi kesulitan inilah menurut Masrani Basran dilaksanakan proyek yurisprudensi Islam yang beruang lingkup mengadakan kompilasi hukum Islam (KHI).

Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi lain yang masih berkenaan dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia menekankan pada adanya penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran maupun sarah ulama dalam menemukan dan menerapkan hukum. Dikatakan bahwa para hakim di Peradilan Agama, pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab fikih sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fikih sudah berubah fungsinya. Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan literatur pengkajian ilmu hukum Islam, para Hakim Peradilan Agama telah menjadikannya ”Kitab Hukum” (perundang-undangan). Menurutnya, praktik penerapan hukum yang semata-mata mendasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber kitab-kitab, benar-benar tidak dapat dipertahankan. Praktik yang seperti ini menurut

9

(43)

pendapatnya menjurus ke arah penegakan hukum menurut selera dan persepsi hakim.10

Sekilas beberapa pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang permasalahannya bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama.

3. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dari beberapa literatur yang penulis baca, ada tiga tahapan dalam menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan dijelaskan sebagai berikut: a. Penelitian

Metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam itu disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu penyusunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum sejenis ke dalam sebuah kitab yang disusun ssecara sistematis. Untuk mengoptimalkan itu semua, ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan pendekatan perumusan. Jalur pertama adalah jalur pengkajian kitab-kitab fikih Islam, khususnya ketiga belas kitab fikih yang ditentukan oleh Biro Peradilan Agama. Jalur kedua yaitu jalur ulama di sepuluh Ibukota Propinsi di Indonesia. Para ulama ini diwawancarai dan ditanyai (melalui kuesioner) berbagai hal yang akan dituangkan ke dalam kompilasi kelak dan

10

Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed.,

(44)

menyatakan dukungan mereka atas usaha penghimpunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam.11 Jalur Ketiga yaitu jalur Yurisprudensi Peradilan Agama yaitu dengan menghimpun putusan-putusan Pengadilan Agama dari dulu hingga sekarang kemudian dibukukan. Jalur keempat yaitu jalur Studi Perbandingan. Yaitu dengan mengadakan studi perbandingan di negara-negara Islam lain, dan di negara-negara yang seluruh atau sebagian besar penduduknya beragama Islam.12

b. Pengolahan Data

Hasil penelitian bidang Kitab, yurisprudensi, wawancara, dan studi perbandingan diolah oleh tim besar proyek pembinaan hukum Islam melalui yusrisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil dari rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil yang merupakan tim inti berjumlah 10 orang. Setelah mengadakan sebanyak 20 kali rapat, akhirnya tim kecil dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah rancangan kompilasi hukum Islam, yaitu : Hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan.13

11

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II., h. 112-116.

12

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. I., h. 59-60.

13

(45)

c. Lokakarya

Lokakarya tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 6 Februari 1988 dimaksud untuk mendengarkan komentar akhir para Ulama dan Cendikiawan Muslim. Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua Instansi yaitu sidang Pleno dan sidang Komisi. Sidang Pleno dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil rumusan akhir lokakarya. Sidang komisi terdiri dari komisi hukum perkawinan, komisi hukum kewarisan, komisi hukum perwakafan.14

Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, buku II tentang kewarisan, dan buku III tentang wakaf mengalami penghalusan redaksi yang intensif di Ciawi-Bogor yang dilakukan oleh Tim besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada presiden, oleh Menteri Agama dengan surat 14 Maret 1988 No: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama.

B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10

14

(46)

Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk memegang Kekuasaan Pemerintahan Negara.

Instruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah disepakati tersebut. Diktum keputusan ini menyatakan :

1. Menyebarkan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan,

b. Buku II tentang Hukum kewarisan, c. Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. 2. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sebaik-baiknya dan

dengan penuh tanggung jawab.

Landasan hukum yang kedua dari Kompilasi ini adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991.

Dalam Diktum Keputusan Menteri tersebut disebutkan :

1. Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.

(47)

kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing. 4. Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.15

Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem hukum Indonesia, walaupun di sisi lain menurut hemat penulis masih ada beberapa kelemahan di antaranya dalam konsideran terdapat susunan kalimat ”dapat digunakan sebagai pedoman”, yang akan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak mengikat, artinya para pihak dan instansi dapat memakainya dan dapat pula tidak memakainya. sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah. Lebih lanjut Inpres ini tidak mengikat seperti halnya undang-undang, karena Inpres adalah penetapan yang tanpa meminta persetujuan DPR sehingga kepastian hukum materil Peradilan Agama belum pada tahap maksimal.

15

(48)

C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dianggap sebagai satu di antara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragamanya dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia. Atas prakarsa antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) maka dibentuklah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil ijma Nasional dalam bidang-bidang tertentu hukum Islam di Indonesia dari berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional kemudian mendapat legalisasi dari Kekuasaan Negara.

Materi Hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode tertentu, yang berorientasi terhadap keadaan setempat (sosial, budaya dan kultur kemasyarakatan Indonesia). Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan oleh para ulama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya pertimbangan nas semata, akan tetapi juga kepada pertimbangan kahidupan nyata.

(49)

1. Hukum Perkawinan

Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai berikut:16

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)

b. Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasaal 2-10) c. Bab III Peminangan (Pasal 11-13)

d. Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29) e. Bab V Mahar (Pasal 30-38)

f. Bab VI Larangan Kawin (39-44)

g. Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52) h. Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)

i. Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59) j. Bab X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)

k. Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)

l. Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84) m. Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97) n. Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)

o. Bab XV Perwalian(Pasal 107112)

p. Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)

q. Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162) r. Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)

s. Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)

16

(50)

Bilamana kita perhatikan kerangka sistematika tersebut ternyata ada beberapa materi yang dapat digabung satu dengan yang lainnya dan ada pula pengaturan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab tersendiri.

2. Hukum Kewarisan

Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di muka kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut:17

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171) b. Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)

c. Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191) d. Bab IV Aul dan Rad (Pasal192-193)

e. Bab V Wasiat (Pasal 194-209) f. Bab VI Hibah (Pasal 210-214)

Dalam kompilasi Buku kedua ini, persoalan agama tidak ditemukan apakah perbedaan agama akan menghilangkan hak waris.

3. Hukum Perwakafan

Bagian terakhir atau Buku Ke-III Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tentang Hukum Perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:18

17

Ibid., h.77-78.

18

(51)

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)

b. Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf (Pasal 216-222) c. Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

(Pasal 223-224)

d. Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal 225-227)

e. Bab V Ketentuan Peralihan (Pasal 228)

(52)

A. Seputar Letak Geografis wilayah KUA Kec. Cilandak Kota Jakarta Selatan.

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan masalah seputar nikah

beda Agama dan pencatatannya menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974

tentang perkawinan. Pembahasan selanjutnya adalah dengan lebih memfokuskan

pada objek penelitian yaitu KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.

Kantor Urusan Agama adalah Instansi terdepan Departemen Agama

Republik Indonesia di tingkat Kecamatan. Peran dan fungsi Kantor Urusan

Agama adalah melaksanakan sebagian tugas Kepala Kantor Departemen Agama

Tingkat Kotamadya d bidang Urusan Agama Islam.1

Kantor KUA Kecamatan Cilandak adalah pemekaran dari KUA

Kecamatan Kebayoran Lama , karena pada awalnya adalah berada di wilayah

Kecamatan Kebayoran Lama, akan tetapi sekarang terpisah dari KUA Kecamatan

Kebayoran Lama. Hingga pada akhirnya tanggal 21 Februari 1992 KUA

Kecamatan Cilandak diresmikan oleh Gubernur Kepala DKI Jakarta yaitu Bapak

Wiyogo Atmodarminto. KUA Cilandak sekarang ini terletak berdampingan tidak

jauh dengan Kantor Kecamatan Cilandak, tepatnya di Jl. KH. Muhasyim VII

1

KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Laporan Tahunan KUA Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2008, h. 1.

(53)

No.90 Kecamatan Cilandak, dengan luas wilayahnya 1.000 m² sedangkan luas

bangunannya ± 700 m².

Letak KUA Kecamatan Cilandak sangat strategis sehingga mudah

dijangkau oleh masyarakat, karena letak KUA tersebut berada di tengah-tengah

lingkungan masyarakat. Sehingga memudahkan masyarakat untuk datang

berkonsultasi menganai permasalahan perselisihan keluarga dan perkawinan.

Ruangan atau gedung tersebut sangat nyaman digunakan dalam aktivitas apapun

seperti bimbingan penyuluhan agama dan pemberian penjelasan pada masyarakat

yang berada di wilayah tersebut, khususnya dalam kehidupan rumah tangga dalam

perkawinan.2

KUA Cilandak terletak di bagian Selatan Ibukota Jakarta, yang terdiri dari

5 Kelurahan, yaitu:

1. Kelurahan Cipete Selatan dengan kode pos 12410,

2. Kelurahan Gandaria Selatan dengan kode pos 12420,

3. Kelurahan Cilandak Barat dengan kode pos 12430,

4. Kelurahan Lebak Bulus dengan kode pos 12440, dan

5. Kelurahan Pondok Labu dengan kode pos 1250.3

2

KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak Tahun 2007-2008, h. 10-11.

3

Wikimedia Project, Cilandak Jakarta Selatan, artikel diakses pada 23 Maret 2010 dari

(54)

Sedangkan batas-batas wilayah Kecamatan Cilandak adalah sebagai

berikut :

Sebelah Utara : Jl. H. Nawi perbatasan dengan Kecamatan Kebayoran Baru.

Sebelah Timur : Kali Krukut perbatasan dengan Kecamatan Pasar Minggu dan

Mampang Prapatan.

Sebelah Selatan : Desa pangkalan jati perbatasan Kecamatan Limo Kabupaten

Bogor

Bagian Barat : Perbatasan dengan kali Pesanggrahan Kecamatan Kebayoran

Lama.

Luas wilayah Kecamatan Cilandak berdasarkan Keputusan Gubernur

KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tanggal 8 September 1989 adalah

1.820.28 Ha atau 18,20 Km², dengan jumlah penduduk sebanyak 152.719 jiwa

sedangkan jumla

Referensi

Dokumen terkait

Adapun besar uang yang diberikan kepada penghulu KUA tidak ia ungkapkan dengan alasan bukan ia yang memberikan. Pembelaan MHYD pada KUA dan bentuk

Hasil penelitian menyimpulkan jawaban terkait pertimbangan, dasar hokum dan tinjauan hukum islam dalam legislasi wali anak hasil kawin hamil adalah (1)

4 Pasangan istri yang melakukan konversi dari Katolik menjadi Islam memiliki kecenderungan rasional instrumental dalam melakukan konversi yaitu suaminya merupakan orang yang sudah

Hasil penelitian menyimpulkan jawaban terkait pertimbangan, dasar hokum dan tinjauan hukum islam dalam legislasi wali anak hasil kawin hamil adalah (1)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan oleh Yetri Repriyanti selaku masyarakat pada tanggal 27 September 2019 mengemukakan: “Pada KUA Kecamatan Nan Sabaris

Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baru bagi Universitas Islam Malang khususnya Fakultas Agama Islam Program Studi Hukum

selaku Dosen Pembimbing Akademik Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah), Fakultas Syariah. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak

dihadapi oleh calon pengantin,baik terjadi dengan antar calon pengantin ataupun terkait dengan hukum agama dan negara97 Selanjutnya pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Bapak