Oleh:
ANDI SUTANDI 106070002213
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
ANDI SUTANDI
NIM : 106070002213
Di Bawah Bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi Yufi Adriani, M.Psi
NIP. 19730328 200003 203 NIP. 19820918 200901 2 000
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
HOMOSEKSUAL DI JAKARTA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
psikologi.
Jakarta, 7 Februari 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP.130 885 522 NIP.19561223 198303 2001
Anggota
Ikhwan Lutfi, M. Psi Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi
NIP. 19730710 200501 1 006 NIP. 19730328 200003 203
Yufi Adriani, M.Psi
iv
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Andi Sutandi
NIM : 106070002213
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul“Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta” adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Jakarta, 7 Februari 2011 Yang Menyatakan
Andi Sutandi
v
“
My life is meaningful if we
share together…”
PERSEMBAHAN :
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya,
Bapak Endang & Ibu Nani yang menyayangi saya dengan sepenuh
vi
B) 7 Februari 2011
C) Andi Sutandi
D) Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta E) Jumlah halaman i-xvii halaman + 154 Halaman (belum termasuk lampiran)
F) Penelitian ini membahas masalah homoseksualitas yaitu jenis Gay. Homoseksual menurut kamus psikologi adalah daya tarik terhadap individu dari jenis kelamin yang sama. Penelitian ini membahas mengenai hubungan dukungan sosial dengan coping stres yang dikhususkan kepada positif coping homoseksual di Jakarta. Dukungan sosial menjadi faktor penting yang dapat membuat individu khususnya homoseksual dapat mengatasi stres yang timbul karena masalah eksternal maupun internal yang ada sepanjang rentang kehidupan mereka.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, kuantitatif, dan metode penelitian korelasional. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling yaitu purposive sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah gay berusia sekitar 18-22 tahun, sebanyak 31 orang, berdomisili di Jakarta dan pernah menjalin hubungan sesama jenis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, yaitu skala dukungan sosial terdapat 30 item valid dan skala coping stress 31 item valid. Hasil penelitian ini memiliki koefisien korelasi 0,00 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta.
Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta (sig.0.000 KD = 33,3%). Artinya dukungan sosial pada homoseksual di Jakarta berhubungan secara signifikan dengan coping stres homoseksual tersebut dan variabel dukungan sosial mempengaruhi variabel coping stres sebesar 33,3%. Dari hasil penelitian untuk dimensi dukungan emosional (IV1), dukungan
Instrumental (IV2), dukungan penghargaan (IV3), dukungan informatif (IV4) ,
didapat kelas dukungan sosial tertinggi yaitu dukungan instrumental dan dukungan informatif (48,4%), dan kelas dukungan sosial terendah adalah dukungan penghargaan dan dukungan informatif(19,3%), dan untuk dimensi menceritakan dan menuliskan masalah (Y1), menemukan hikmah dari
masalah (Y2), mengambil respon positif ketika kehilangan (Y3), mencari
kebermaknaan hidup (Y4), humor (Y5), meditasi (Y6), kerohanian (Y7) di
vii
dengan coping humor, antara dukungan emosional dengan coping meditasi, antara dukungan informatif dengan coping meditasi, antara dukungan emosional dengan coping kerohanian, dan antara dukungan penghargaan dengan coping kerohanian pada homoseksual di Jakarta.
Mengingat pentingnya peran dukungan sosial bagi kehidupan homoseksual, sudah sepantasnya kaum heteroseksual mampu memberikan dukungan yang baik dan bijak, dan juga diharapkan melalui dukungan sosial yang diberikan, kaum homoseksual dapat kembali kepada jalan hidup sebagai heteroseksual. Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat semua sampel penelitian adalah homoseksual yang pernah menjalin hubungan dengan sesama jenis dengan mayoritas responden menjalin hubungan sesama homoseksual sebanyak lebih dari tiga kali, dan mayoritas responden pun sudah berada dalam komunitas dalam rentangan lebih dari lima tahun, maka dapat disimpulkan homoseksual yang menjadi responden penelitian ini adalah homoseksual yang sudah terjun ke dalam status homoseksualnya sejak lama dan akan sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan heteroseksual jika dibiarkan berlarut-larut. Jika dilihat rendahnya coping menceritakan dan menuliskan masalah, humor serta kerohanian maka diharapkan hendaknya lingkungan terdekat homoseksual itu sendiri memberikan dukungan sosial yang tepat agar ketiga coping terendah tersebut khususnya coping kerohanian dapat lebih dilakukan oleh kaum homoseksual sehingga dengan coping tersebut khususnya coping kerohanian kaum homoseksual itu sendiri dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga mereka dapat diharapkan kembali kepada lingkungan sebagai heteroseksual sebagaimana mestinya.
viii
B) February 7 , 2011
C) Andi Sutandi
D) Relationship between Social Support with Coping Stress on Homosexuals in Jakarta. (Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta)
E) Number of pages i-xvii pages + 154 pages (not include attachments)
F) This study discusses the problem of homosexuality that is kind Gay. Gay, according to the dictionary of psychology is the appeal to individuals of the same gender. This study discusses the relationship of social support with stress coping which is devoted to the positive coping homosexuals in Jakarta. Social support is an important factor that can make individuals, especially homosexual can overcome the stress arising from external and internal problems that exist throughout their life span.
This research is descriptive research, quantitative and correlational research methods. The sampling technique used was non-probability sampling, name purposive sampling. The sample used in this study were approximately 18-22 years old gay, as many as 31 peoples, based in Jakarta and had same sex relationships. Data collection techniques used was questionnaires, which scale contained of social support was 30 items valid and stress coping scale was 31 items valid. The result of this study is, there was a significant correlation between social supports with coping stress on homosexuals in Jakarta because a result of correlation coefficient is 0.000.
ix
relationship between emotional support and taking a positive response when losing’s coping, between emotional support and humor’s coping, between support award and humor’s coping, between informational support and humor’s coping, between emotional support and meditation’s coping, between informational support and meditation’s coping, between emotional support and spirituality’s coping, and between support award and spirituality’s coping on homosexuals in Jakarta.
Given the important role of social support for homosexual life, it is appropriate that the heterosexuals are able to provide good support and wise, and also expected through the social support provided, homosexuals can go back to the way of life as a heterosexuals. From the results of this study also can be seen that all the research sample is a homosexual who had relationship with same-sex with majority of respondents fellow homosexual relationship by more than three times, and already in the community in a span of more than five years, so it can be concluded that a homosexual whose be a homosexual respondents of this research has been plunged into a homosexual status for a long time and it would be difficult for them to return to the right road if they left a heterosexual way. If seen from the lowest coping; share and write the problem, humor, and spirituality, it is expected that the nearest environment homosexual providing appropriate social support, so the third lowest of coping stress particularly spiritually coping, can more be done by homosexuals, so with these coping, homosexuals can get closer to God so they can return to the environment as heterosexuals as they should.
x
kemudahan, kelancaran, dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, dan salam kepada Nabi besar junjungan kita Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Skripsi ini diselesaikan dengan judul“Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta”. Inti dari skripsi ini adalah untuk memperoleh gambaran akan hubungan dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta.
Selesainya skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan bimbingan orang-orang di sekitar penulis. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua penulis yaitu bapak Endang Adi dan mama Nani Parida serta kedua adik penulis Dewi Puspita dan Riki Junaedi yang dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan pengorbanannya telah berdoa, membantu, memberi semangat dan membimbing penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Tanpa adanya doa, bimbingan dan dukungan dari mereka, penulis tidak akan mampu menyelesaikan semua ini,
2. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang Insya Allah tiada henti berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin baik dan berkualitas.
3. Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi selaku dosen pembimbing skripsi I dan Yufi Adriani, M.Psi selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, dorongan, serta kesediaan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulis terdorong dan termotivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan cepat,
4. Ikhwan Luthfi, M.Psi, sebagai penguji I, Liany Luzvinda, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, atas kesabarannya dalam membimbing penulis selama kuliah sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
5. Para dosen dan staf UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak membantu sehingga mempermudah jalan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Khususnya bagi para dosen, terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, sehingga mempermudah mendapatkan materi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini,
6. Eneng Renapatria Apriane, S.Ikom yang telah sabar menemani dan mendengar keluhan, amarah, memberikan dorongan dan motivasi, serta mengajarkan banyak hal kepada penulis, sejak pertama kali skripsi ini dibuat sehingga penulis mendapatkan banyak pengetahuan baru terkait dengan penelitian yang penulis lakukan,
xi
Sirait S.Psi atas bantuan, nasihat, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat mencari data penelitian dengan mudah serta bantuan-bantuan lain yang mempermudah penulis menyelesaikan skripsi ini,
Penulis sadar, terdapat banyak keterbatasan dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain keterbatasan waktu, biaya, dan fisik penulis. Oleh sebab itu, penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya bagi orang lain, dan khususnya bagi penulis sendiri. Semoga skripsi ini dapat memberikan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih baik. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun, penulis harapkan untuk menambah kesempurnaan dari skripsi ini.
Jakarta, 7 Februari 2011
xii
Lembar Persetujuan... ii
Lembar Pengesahan Sidang ... iii
Pernyataan ... iv
Motto ... v
Abstrak ... vi
Abstrack ... viii
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi... xii
Daftar Tabel ... xv
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10
1.2.1 Pembatasan Masalah... 10
1.2.2 Perumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 12
1.4 Sistematika Penulisan... 13
BAB II KAJIAN TEORI ... 15
2.1 Stres... 15
2.1.1 Definisi Stres ... 15
2.1.2 Sumber-Sumber Stres ... 16
2.1.3 Reaksi Umum Pada Stres... 17
2.1.3.1 Reaksi Psikologis Pada Stres ... 17
2.1.3.2 Reaksi Fisik Pada Stres dan Kesehatan ... 18
2.1.4 Situasi yang Berpotensi Menyebabkan Stres ... 19
2.1.5 Langkah Penyesuaian Diri Terhadap Stres... 20
2.1.6 Stres dan Dukungan Sosial ... 21
2.2 Coping Stres ... 22
2.2.1 Definisi Coping Stres...22
2.2.2 Jenis Coping... 23
2.2.3 Strategi Coping ... 24
2.3 Coping Stres (Psikologi Positif) ... 25
2.3.1 Menceritakan dan Menuliskan Masalah ... 25
2.3.2 Menemukan Hikmah dari Masalah... 27
2.3.3 Mengambil Respon yang Positif Ketika Kehilangan... 28
2.3.4 Mencari Kebermaknaan Hidup... 29
xiii
2.4.3 Aspek Dukungan Sosial ... 44
2.5 Homoseksual ... 45
2.5.1 Pengertian Homoseksual ... 45
2.5.2 Jenis Homoseksual ... 47
2.5.3 Penyebab Individu Menjadi Homoseksual... 48
2.5.4 Identitas dan Perilaku Homoseksual ... 49
2.5.5 Ekspresi Homoseksual Laki-Laki (Gay) ... 50
2.5.6 Perilaku Seks Homoseksual Laki-Laki (Gay)... 50
2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja Akhir... 51
2.6.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik (Jasmani) pada Remaja Akhir ... 51
2.6.2 Pertumbuhan Kelenjar-Kelenjar Seks dan Perkembangan Seksual pada Remaja Akhir ... 53
2.6.3 Pertumbuhan Otak dan Perkembangan Kemampuan Fikir pada Remaja Akhir... 54
2.6.4 Perkembangan Sikap, Perasaan, Emosi pada Remaja Akhir ... 54
2.6.5 Perkembangan Minat/Cita-Cita pada Remaja Akhir... 55
2.6.6 Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral pada Remaja Akhir ... 56
2.7 Beberapa Panelitian yang Terkait ... 58
2.8 Kerangka Berikir ... 62
2.9 Hipotesis... 66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 69
3.1 Jenis Penelitian ... 69
3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 70
3.1.1.1 Pendekatan Penelitian ... 70
3.1.1.2 Metode Penelitian ... 70
3.1.2 Variabel-Variabel Penelitian... 71
3.1.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel ... 71
3.1.3.1 Definisi Konseptual... 72
3.1.3.2 Definisi Operasional ... 72
3.2 Subjek Penelitian ... 75
3.2.1 Populasi dan Sampel ... 75
3.2.1.1 Populasi... 75
3.2.1.2 Sampel... 75
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel... 76
3.2.3 Karakteristik Sampel ... 77
3.3 Teknik Pengumpulan Data... 77
xiv
3.5.1 Tahap Persiapan ... 88
3.5.2 Tahap Pelaksanaan... 89
3.5.3 Tahap Pengolahan Data ... 89
BAB IV HASIL PENELITIAN... 90
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 90
4.2 Analisis Deskriptif ... 92
4.2.1 Kategorisasi Skor Coping Stres... 93
4.2.2 Kategorisasi Skor Dukungan Sosial...95
4.3 Uji Instrumen Penelitian ... 97
4.3.1 Uji Validitas Item ... 97
4.3.2 Uji Reliabilitas Data ... 105
4.4 Hasil Analisis Data Penelitian ... 106
4.4.1 Analisis Hipotesis Mayor ... 107
4.4.2 Analisis Hipotesis Minor... 108
4.4.2.1 Analisis Korelasional ... 108
4.4.2.2 Analisis Regresi... 118
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 148
5.1 Kesimpulan ... 148
5.2 Diskusi ... 148
5.3 Saran ... 152
xv
Tabel 3.2 Blue Print Skala Dukungan Sosial ... 80
Tabel 3.3 Blue Print Skala Coping Stres... 82
Tabel 4.1 Jumlah Sampel Berdasarkan Usia... 90
Tabel 4.2 Jumlah Sampel Berdasarkan Lama Berada dalam Komunitas ... 91
Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Pernah atau Tidak Menjalin Hubungan Sesama Pria... 91
Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Jumlah Hubungan Sesama Pria ... 92
Tabel 4.5 Descriptive Statistics... 93
Tabel 4.6 Descriptive Statistics... 94
Tabel 4.7 Distribusi Skor Coping Stres ... 94
Tabel 4.8 Distribusi Skor Klasifikasi Coping Stres ... 95
Tabel 4.9 Descriptive Statistics... 96
Tabel 4.10 Distribusi Skor Dukungan Sosial... 96
Tabel 4.11 Distribusi Skor Klasifikasi Dukungan Sosial ... 97
Tabel 4.12 Hasil Uji Instrument yang Valid Skala Dukungan Sosial... 98
Tabel 4.13 Distribusi Penyebaran Item Valid Skala Dukungan Sosial... 99
Tabel 4.14 Hasil Uji Instrument yang Valid Skala Coping Stres ... 101
Tabel 4.15 Distribusi Penyebaran Item Valid Skala Coping Stres ... 103
Tabel 4.16 Correlations... 107
Tabel 4.17 Model Summaryb... 107
Tabel 4.18 Coefficientsa... 107
Tabel 4.19 Matrix Korelasi ... 108
Tabel 4.20 Coefficientsa... 118
Tabel 4.21 Model Summaryb... 118
Tabel 4.22 Model Summaryb... 119
Tabel 4.23 Model Summaryb... 120
Tabel 4.24 Model Summaryb... 120
Tabel 4.25 Model Summaryb... 121
Tabel 4.26 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y1... 121
Tabel 4.27 Coefficientsa... 122
Tabel 4.28 Model Summaryb... 123
Tabel 4.29 Model Summaryb... 124
Tabel 4.30 Model Summaryb... 124
Tabel 4.31 Model Summaryb... 125
Tabel 4.32 Model Summaryb... 125
Tabel 4.33 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y2... 126
Tabel 4.34 Coefficientsa... 127
Tabel 4.35 Model Summaryb... 127
Tabel 4.36 Model Summaryb... 128
Tabel 4.37 Model Summaryb... 129
xvi
Tabel 4.44 Model Summary... 133
Tabel 4.45 Model Summary... 134
Tabel 4.46 Model Summary... 134
Tabel 4.47 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y4... 135
Tabel 4.48 Coefficientsa... 136
Tabel 4.49 Model Summaryb... 136
Tabel 4.50 Model Summary... 137
Tabel 4.51 Model Summary... 137
Tabel 4.52 Model Summary... 138
Tabel 4.53 Model Summary... 138
Tabel 4.54 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y5... 139
Tabel 4.55 Coefficientsa... 140
Tabel 4.56 Model Summaryb... 140
Tabel 4.57 Model Summary... 141
Tabel 4.58 Model Summary... 141
Tabel 4.59 Model Summary... 142
Tabel 4.60 Model Summary... 142
Tabel 4.61 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y6... 143
Tabel 4.62 Coefficientsa... 144
Tabel 4.63 Model Summaryb... 144
Tabel 4.64 Model Summary... 145
Tabel 4.65 Model Summary... 145
Tabel 4.66 Model Summary... 146
Tabel 4.67 Model Summary... 146
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari empat subbab. Subbab pertama membahas latar belakang
masalah. Subbab kedua membahas tentang pembatasan dan perumusan masalah.
Subbab ketiga membahas tentang tujuan dan manfaat penelitian. Dan Subbab
Terakhir, subbab keempat membahas mengenai sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berikut dengan kelebihan dan
kekurangannya. Untuk itu manusia membutuhkan manusia lain untuk saling mengisi
masing-masing kekurangannya. Hal ini masih terkait dengan kehidupan sebagai
karunia dari Tuhan bagi manusia yang wajib disyukurinya. Kewajiban bagi manusia
untuk mengisi kehidupan tersebut setiap harinya dengan meningkatkan kualitas diri
agar bertambah baik dari hari ke hari.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan, sebagai seorang
umat manusia sudah seharusnya dapat menyikapinya dengan bijak sehingga antara
kelebihan dan kekurangan menjadi seimbang. Dalam hal menyikapi ini, kebanyakan
manusia tidak dapat menyeimbangkan keadaan dirinya. Mereka lebih cenderung
menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Padahal kekurangan yang dimiliki
Pada penelitian ini akan dibahas masalah homoseksualitas. Yang juga secara
tradisional, psikologi cenderung mengabaikan masyarakat lesbian dan gay, atau
menganggap mereka sebagai orang abnormal. Bahkan, sampai tahun 1974,
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (sistem untuk menjelaskan
dan mendiagnosa gangguan mental) memasukkan homoseksualitas sebagai gangguan
mental (Matt Jarvis, 2009: 200). Homoseksual menurut kamus psikologi adalah daya
tarik terhadap individu dari jenis kelamin yang sama; psikoanalisis menerapkan
istilah homosexual neuroseskepada sekelompok cacat, yang dipandang oleh mereka
itu sebagai berasal dari kecenderungan-kecenderungan seksual yang ditekan (Henry
Sitanggang, 1994: 184). Sehingga dari fenomena ini sangat dimungkinkan seorang
homoseksual akan menyembunyikan identitas dirinya sebagai homoseksual
dikarenakan opini masyarakat yang masih menganggap mereka sebagai kaum
abnormal yang patut diabaikan.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dari
masyarakat tentang homoseksual pun berubah, sebagian masyarakat tidak lagi
memandang homoseksual sebagai sesuatu yang abnormal, tentu saja perubahan sikap
yang terjadi dewasa ini membangun wacana baru tentang homoseksualitas, sehingga
banyak pula penelitian-penelitian seputar penjelasan mengapa ada orang tertentu
menjadi homoseks. Keadaan ini tetap mengidentifikasikan bahwa homoseksual
masih perlu diperjelas alasannya.
Homoseksual itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu gaydanlesbian.Gay diartikan
sebagai laki-laki yang homoseksual dan lesbian adalah wanita yang homoseksual
homoseksual jenis gay. Mengingat kemudahan peneliti dalam hal pengambilan
sampel penelitian.
Dari berbagai stigma dan dukungan masyarakat tentang homoseksual khususnya
gay baik itu stigma dan dukungan positif maupun stigma dan dukungan negatif
memunculkan berbagai sikap dan perilaku dari kaum homoseksual gay itu sendiri.
Sikap dan perilaku yang dimunculkan oleh kaum gay pun beraneka ragam, seperti
yang diberitakan dalam sebuah website berita kompas. Sabtu, 7 Maret 2009 di
Sydney, Australia, pada saat itu sedikitnya 300.000 orang berikut 130 kendaraan
hias berkeliling memadati jalan Oxford Street, mereka berkumpul, dan melakukan
parade untuk merayakan Mardi Gras, yaitu perayaan tahunan untuk homoseksual dan
lesbian. Karena sudah sejak setahun dari perayaan ini pemerintahaan Australia
melegalisasikan peraturan kesetaraan antara pasangan homoseksual, termasuk
lesbian dan heteroseksual. Tema yang diambil dalam parade ini bertajuk Nation
United yang dimana tema ini diambil untuk menghormati kaum homoseksual
diseluruh dunia. Khususnya bagi kaum homoseksual yang masih tinggal di
negara-negara yang belum memperkenankan kaum homoseksual hidup secara terbuka.
(http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/03/07/2124527/australia.peringati.m
ardi.gras).
Dari berita tersebut tergambar bahwa masyarakat homoseksual khususnya di
Australia dapat dengan mudah menunjukkan jati diri mereka sebagai seorang
homoseksual tanpa merasa takut atau malu karena status mereka sebagai seorang
homoseksual, sehingga sikap dan perilaku mereka sebagai seorang homoseksual
memunculkan sikap dan perilaku terbuka dari homoseksual diantaranya adalah
bahwa kaum homoseks memang lebih liberal, tidak cepat merasa bersalah dalam
perilaku seksual mereka, (Crowden & Koch dalam Sarlito, 2002: 187), mereka pun
lebih berperilaku saling menolong, (Salais & Fischer dalam Sarlito, 2002: 187), dan
dibeberapa kalangan memang makin banyak pendapat yang mengatakan bahwa
homoseksual tidak dapat dinilai melanggar etika atau moral, (Murphy dalam Sarlito,
2002: 187).
Namun, tidak semua stigma dan dukungan yang positif dapat memunculkan sikap
dan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sekitar kaum homoseksual tersebut.
Misalnya keinginan lingkungan sekitar mereka yang menginginkan mereka untuk
kembali hidup sebagai seorang heteroseksual. Dan jika dukungan positif telah
diberikan namun kaum homoseksual tersebut tidak dapat melakukan apa yang
diharapkan lingkungan sekitarnya hal ini mungkin disebabkan karena mereka ingin
kembali tetap wajar, dapat meneruskan keturunan, tapi mereka tidak mampu, karena
sudah terlalu jauh tenggelam dalam komplikasi yang dihadapinya (Zakiah Darajat,
2001: 47).
Selain stigma dan dukungan yang positif, stigma dan dukungan yang negatif pun
memberikan efek yang berbeda, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, berbagai
pertentangan muncul untuk kaum homoseksual. Salah satu bentuk pertentangan
tersebut tergambar dalam sebuah berita yang baru-baru ini terjadi yang diambil dari
akses website berita di Jawa Timur http://m.beritajatim.com. Yaitu, belasan jamaah
Front Pembela Islam berkumpul di loby Hotel Oval, para jemaah ini beniat mengusir
Biseksual, Transgender and Interseks Association) yang diadakan di Hotel Oval
tersebut. Kongres ILGA ini adalah acara rutin yang dilakukan sejak tahun 2002,
untuk tahun ganjil digelar konfrensi tingkat dunia, dan untuk tahun genap dilakukan
konferensi regional seperti yang digelar di jawa timur tersebut. Dalam kesempatan
itu baik dari pihak ILGA maupu FPI belum menemukan titik temu dan masih
melakukan perundingan.
Dari berita tersebut tergambar jelas secara umum bahwa masyarakat di
Indonesia kurang mendukung atau bahkan menentang keberadaan kaum
homoseksual. Namun akibat dari pertentangan-pertentangan yang terjadi tidak lantas
membuat kaum homoseksual tersebut menjadi sadar akan penyimpangan seksual
yang ada pada diri mereka. Berdasarkan hasil observasi langsung yang di lakukan
oleh peneliti, banyak diantara mereka yang bersikap acuh bahkan dengan sadar
menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah seorang homoseks, meskipun
ada pula yang menjadi takut atau bahkan membenci pihak-pihak yang menentang
keberadaan mereka. Keanekaragaman sikap homoseksual dalam menunjukkan jati
dirinya tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang salah satunya adalah faktor
pengaruh dukungan sosial. Lingkungan sosial dapat membentuk perilaku dan sikap
yang diharapkan dalam suatu lingkungan budaya. Maka dari itu pemberian dukungan
yang tepat dan bermakna diharapkan dapat memberikan efek yang positif dan efek
yang diharapkan dari homoseksual tersebut.
Selain itu dukungan dari lingkungan sosial juga dapat mengurangi
hambatan-hambatan yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang ada dalam rentang
dengan lancar. Sehingga seringkali terjadi hambatan dalam pemuasan suatu
kebutuhan, motif dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai tujuan
dinamakan frustrasi. Keadaan frustrasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat
diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stres. Stres adalah suatu keadaan di mana
beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi
beban itu. Seseorang melakukan bermacam-macam cara penyesuaian diri (Coping)
untuk mengatasi berbagai macam stres. Setiap manusia mempunyai cara-cara
penyesuaian diri yang khusus, tergantung dari kemampuan-kemampuan yang
dimiliki, pengaruh-pengaruh lingkungan, pendidikan, dan bagaimana ia dapat
mengembangkan dirinya (Suprapti, 2003: 35-36).
Pentingnya perlakuan lingkungan sosial bagi daya tahan manusia terhadap
stress juga tergambar dalam eksperimen yang dilakukan oleh Bernstein (Suprapti,
2003: 42) pada sekelompok tikus yang diperlakukan secara berbeda. Ada
sekelompok tikus yang sering dibelai (extra handling group/ EH), ada kelompok
tikus yang tidak dibelai sama sekali (non-handling/NH), dan ada yang jarang dibelai
(IH). Dalam maze learning, ternyata tikus pada kelompok EH persentase
keberhasilannya lebih tinggi dan daya tahan tikus EH lebih besar daripada kelompok
lainnya. Dari eksperimen tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa cara lingkungan
sosial memperlakukan individu dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan
daya tahan individu terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini
perlakuan dan dukungan yang baik dari lingkungan sosial diharapkan dapat
mengurangi stres yang terjadi sepanjang rentang kehidupan individu homoseksual,
berperilaku sesuai dengan harapan lingkungannya. Salah satunya adalah kembali ke
dalam status heteroseksual yang sudah dikodratkan kepada mereka sejak mereka
diciptakan, sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat
Artinya:
“Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan kaum Luth (Homoseksual),
maka bunuhlah al-fail dan al-maf’ul bi (kedua-duanya)”.
Dari sabda rasulullah di atas ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual
jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Di dalam
perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum
rajam, sedangkan bagi yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan
selama satu tahun. Adapun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian
tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama
saja atau tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum
menikah (http://kozam.wordpress.com/).
Karena hal di atas, sebagai masyarakat yang baik sudah seharusnya kita
merangkul kaum homoseksual agar tidak terjerumus dalam dosa besar, memberikan
dukungan yang sesuai agar mereka kembali ke jalan yang sudah dikodratkan kepada
mereka, bukan dengan cara menghujat namun dengan cara bersahabat agar terjalin
kesadaran tanpa rasa takut ataupun cemas.
Namun apakah setiap dukungan yang positif akan menimbulkan cara
penyesuaian diri terhadap stres (Coping) yang baik, mengingat seperti yang
disebutkan sebelumnya berdasarkan fakta yang terdapat dikehidupan sehari-hari di
Indonesia khususnya bahwa tidak semua dukungan yang positif akan menimbulkan
sikap dan perilaku yang baik serta tidak semua dukungan negatif dapat menimbulkan
sikap dan perilaku yang negatif pula. Sikap dan perilaku di sini termasuk pula sikap
Maka dari itu dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana
hubungan antara dukungan sosial terhadap coping stres (usaha individu untuk
menghadapi sumber-sumber stres dan dikhususkan kepada problem focus coping
yaitu positif coping) pada homoseksual. Di mana penelitian ini juga dibuat
mengingat banyaknya fenomena-fenomena khususnya fenomena kriminalitas yang
dilakukan oleh kaum homoseksual di Indonesia yang mungkin disebabkan oleh
tingkat stres yang tinggi dan dukungan sosial yang tidak tepat sasaran. Dan juga dari
observasi awal yang dilakukan peneliti, sebagian homoseksual yang ditemui banyak
diantaranya yang tidak percaya diri, rendah diri, bahkan ada yang sering melakukan
percobaan bunuh diri dikarenakan tuntutan lingkungan dalam hidup mereka yang
tidak dapat terpenuhi dan pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perbuatan mereka
di tengah-tengah masyarakat. Dan melalui fenomena–fenomena tersebut penelitian
ini diberi judul “HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN COPING
STRES HOMOSEKSUAL DI JAKARTA”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan-batasan
dalam membahas masalah penelitian, pembatasan masalah itu adalah sebagai berikut:
1. Pria homoseksual yang dimaksud di sini adalah pria homoseksual yang
berdomisili di Jakarta, dalam rentang usia remaja akhir yaitu berusia sekitar 18-22
2. Coping stres yang dimaksud adalah usaha individu antara aksi reaksi dengan intra
fisik untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol individu
terhadap sumber stres. Coping stres disini coping stress dalam psikologi positif
yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian yaitu menceritakan dan menuliskan
masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon yang positif ketika
kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, melakukan meditasi, dan
mendekatkan diri kepada tuhan (kerohanian).
3. Dukung sosial yang dimaksud adalah informasi atau nasehat verbal dan non
verbal yang diberikan oleh suatu jaringan sosial tersebut dan mempunyai manfaat
perilaku bagi penerima. Yang kemudian dukungan sosial tersebut dibagi menjadi
empat yaitu, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dan dukungan informatif.
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial yang terdiri
dari dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan
dukungan informatif dengan coping stres yang terdiri dari menceritakan dan
menuliskan masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon positif
ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, meditasi, dan kerohanian
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang hubungan
antara dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan
instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informatif dengan coping stres
yang terdiri dari menceritakan dan menuliskan masalah, menemukan hikmah dari
masalah, mengambil respon positif ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup,
humor, meditasi, dan kerohanian pada homoseksual di Jakarta.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Ada beberapa yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain meliputi :
A. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan kontribusi untuk berkembangnya ilmu pengetahuan,
khususnya bidang ilmu psikologi klinis dan psikologi sosial.
B. Manfaat Praktis
1. Bagi kaum homoseksual, sebagai bahan informasi agar dapat memotivasi diri
mereka sehingga dapat mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dan
menjadi seseorang yang dapat diandalkan bagi lingkungan sosial dan diri sendiri.
2. Bagi orang tua, mengingat pentingnya dukungan sosial dan arahan yang positif,
maka diharapkan pihak keluarga khususnya orang tua dapat memilih jenis-jenis
dukungan yang paling dibutuhkan oleh anaknya serta tetap mendukung anaknya
sehingga dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan ke arah yang
3. Bagi para pembaca, diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan tentang
pentingnya dukungan sosial bagi para homoseksual untuk mengembangkan
potensi mereka secara maksimal.
4. Manfaat lainnya, untuk memberikan sumbangan yang bermanfaat di dalam
dunia psikologi terutama sebagai bahan referensi penelitian-penelitian
selanjutnya dan mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di
bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan
homoseksual, sehingga masih banyak hal yang dapat digali mengenai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi homoseksual.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI
Dalam bab kajian teori ini memuat tentang stres yang meliputi definisi stres,
sumber-sumber stres, reaksi umum pada stres, reaksi psikologis terhadap stres, reaksi
fisik pada stres dan kesehatan, situasi yang berpotensi menyebabkan stres, langkah
penyesuaian diri terhadap stres, stres dan dukungan sosial. Perilaku coping yang
meliputi definisi coping, jenis coping, strategi coping. Coping dalam psikologi positif
meliputi menceritakan dan menuliskan masalah,menemukan hikmah dari masalah,
(kerohanian). Dukungan sosial meliputi pengertian dukungan sosial, jenis-jenis
dukungan sosial, sumber dukungan sosial. Homoseksual meliputi pengertian
homoseksual, jenis homoseksual, penyebab individu menjadi homoseksual, identitas
dan perilaku homoseksual, ekspresi homoseksual laki-laki (gay), perilaku
homoseksual laki-laki (gay), pertumbuhan dan perkembangan remaja akhir yang
meliputi pertumbuhan dan perkembangan fisik pada remaja akhir, pertumbuhan
kelenjar-kelanjar seks dan perkembangan seksual pada remaja akhir, pertumbuhan
otak dan perkembangan kemampuan pikir pada remaja akhir, perkembangan sikap,
perasaan, emosi pada remaja akhir, perkembangan minat/cita-cita remaja akhir,
perkembangan pribadi, sosial, dan moral remaja akhir, beberapa penelitian terkait,
kerangka berfikir, dan hipotesis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab metodologi penelitian ini memuat jenis penelitian, pendekatan
penelitian, metode penelitian, variable-variable penelitian, definisi konseptual
variable, definisi operasional variable, subjek penelitian yang meliputi populasi dan
sample, tehnik pengambilan sample, karakteristik sample, tehnik pengumpulan data,
instrument data kuantitatif, tehnik analisis data statistik, tehnik uji instrument, tehnik
uji validitas, tehnik uji reliabilitas, prosedur penelitian yang meliputi tahap persiapan,
tahap pelaksanaan, tahap pengolahan data.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Dalam bab hasil penelitian ini memuat gambaran umum subyek penelitian,
analisis deskriptif yang meliputi kategori skor dukungan sosial dan kategori skor
analisa data penelitian yang meliputi analisis hipotesis mayor dan analisis hipotesis
minor.
BAB V PENUTUP
Dalam bab penutup ini memuat kesimpulan, diskusi, dan saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab ini terdiri dari sembilan subbab. Subbab pertama membahas tentang
stres. Subbab kedua membahas tentang coping stres. Subbab ketiga membahas
tentang coping stress dalam psikologi positif. Subbab keempat membahas tentang
dukungan sosial. Subbab kelima membahas tentang homoseksual. Subbab keenam
membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan remaja akhir. Subbab tujuh
membahas tentang penelitian-penelitian yang terkait. Subbab delapan membahas
tentang kerangka berfikir. Terakhir, subbab sembilan adalah hipotesis.
2.1 Stres
2.1.1 Definisi Stres
Menurut Baum, stres adalah pengalaman emosional yang negatif yang
dapat dilihat secara langsung diantara perubahan keadaan stres atau penyesuaian diri
terhadap stres ke efek dari stres tersebut (Baum, dalam Taylor, 2003: 179).
Cannon yang dikutip oleh Bart Smet (1994: 107) mendeskripsikan stres
dengan suatu keadaan ketika organisme merasakan adanya ancaman, maka secara
cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf simpatetik dan
endokrin. Respon fisiologis ini mendorong organisme untuk menyerang ancaman
tadi atau melarikan diri.
Sementara itu menurut Sarafino (dalam Bart Smet 1994: 112) stres adalah
suatu kondisi disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan yang
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang beraal dari situasi dengan
sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang.
Jadi, dari beberapa pengertian tentang stres tersebut dapat disimpulkan bahwa
stres adalah pengalaman emosional yang dirasakan individu saat adanya ancaman, di
mana ancaman tersebut disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan
sekitarnya.
2.1.2 Sumber-Sumber Stres
Menurut Sarafino (dalam Smet, 1994: 115-116) membedakan sumber-sumber
stres menjadi tiga sumber stres yaitu,
1) Sumber stres dalam diri seseorang
Terkadang sumber stres ada di dalam diri seseorang, salah satunya melalui
kesakitan. Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan
diri seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila
seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber stres yang utama.
Menurut teori Kurt Lewin (dalam Smet, 1994: 115) kekuatan motivasional yang
melawan menyebabkan dua hal yaitu, pertama, kecenderungan yang melawan
dan yang kedua perdekatan dan penghindaran.
2) Sumber-sumber stres di dalam keluarga
Stres di sini dapat bersumber dari interaksi diantara para anggota keluarga
seperti: perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh,
tujuan yang saling berbeda, dll.
3) Sumber-sumber stres di dalam komunitas dan lingkungan
Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres.
Contohnya, pengalaman stres anak di sekolah dan di beberapa kejadian
kompetitif seperti olah raga. Sedangkan beberapa pengalaman stres orang tua
bersumber dari pekerjaan dan lingkungan yang stressful sifatnya.
2.1.3 Reaksi Umum Pada Stres
Ketika kita dalam keadaan stres, kita akan merasakan dan beraksi terhadap
stres itu. Untuk mendapat keuntungan dari stres, kita harus mengerti dua hal penting
1. Pertama, bereaksi terhadap stres seperti selayaknya. Reaksi pada stres ini
biasanya disebabkan oleh reaksi psikologis dan reaksi fisiologis – bukan salah
satu, namun keduanya.
2. Kedua, reaksi psikologis dan reaksi tubuh kita terhadap stres sangatlah biasa,
baik itu stres fisik ataupun stres psikologis.
2.1.3.1
Reaksi Psikologis Terhadap Stres
Stres diawali dari banyaknya perubahan pada aspek psikologis dan proses
perubahan ini termasuk perubahan emosi, motifasi, dan kognisi. Dalam keadaan stres
kita merasakan gabungan dari emosi yang buruk, depresi, kemarahan, iritabilatas
(Cano & O’Leary, 2000, dalam Lahey, 2007: 444).
2.1.3.2
Reaksi Fisik Pada Stres dan Kesehatan
Meskipun semua orang mengetahui keadaan stres didapat dari emosi
mereka, namun mereka masih saja terkejut dalam mempelajari penyebab stres yang
dapat mempengaruhi fungsi fisik di dalam tubuh mereka. Untuk memahami
akibat-akibat stres pada tubuh kita, pertama-tama kita mempelajari aspek umum pada tubuh
ketika merespon keadaan stres.
The General Adaptation Syndrome. Hans Selye yang pertama kali
memberikan pemahaman kepada kita mengenai reaksi tubuh terhadap stres
psikologis memiliki cara yang sama terhadap reaksi tubuh ketika terserang infeksi
atau demam. Tubuh melakukan general adaptation syndrome (GAS) untuk
1. Alarm Reaction(Reaksi Alarm).
Tubuh pertama kali merespon dengan reaksi ini terhadap beberapa gejala,
termasuk gejala stres psikologis, yang kemudian dilanjutkan untuk dicari
penyebabnya.
2. Resistence Stage(Tahap Resistensi)
Selama tahap kedua pada GAS ini, tubuh telah benar-benar bekerja, dan tingkat
resistensi terhadap stres telah tinggi (Segerstrom & Miller, 2004, dalam Lahey,
2007: 445).
3. Exhaustion Stage
Jika stres berlanjut, reaksi pada individu dapat berupa kelelahan, resistensi, dan
infeksi menurun (Ray, 2004, dalam Lahey 2007: 445).
2.1.4 Situasi Yang Berpotensi Menyebabkan Stres
Berikut ini beberapa situasi yang berpotensi menyebabkan stres dalam diri
individu (Taylor, 2003: 187-189):
a. Situasi yang negatif.
Situasi negatif banyak memengaruhi produksi stres daripada situasi yang positif.
Banyak situasi yang berpotensi untuk mengakibatkan stres karena situasi
tersebut membuat seseorang bekerja dan berfikir lebih keras.
b. Situasi yang tidak terkontrol
Situasi yang tidak dapat dikontrol atau tidak dapat diprediksi lebih banyak
negatif seperti gangguan, keramaian, atau ketidaknyamanan membuat keadaan
menjadi lebih stres, tapi penelitian mengenai stres tetap konsisten menunjukkan
bahwa keadaan yang tidak terkontrol lebih membuat keadaan menjadi stres
daripada keadaan yang terkontrol.
c. Situasi yang ambigu
Situasi ambigu lebih mengakibatkan keadaan stres daripada keadaan yang sudah
jelas. Ketika keadaan menjadi ambigu, seseorang akan mengambil tindakan. Dia
harus lebih mengeluarkan energinya untuk memahami penyebab stres yang ada
di sekitarnya, di mana akan memakan waktu lebih banyak untuk melihat
penyebabnya.
d. Situasi yang melebihi batas
Seseorang memiliki batas dalam hidupnya. Ketika keadaan melebihi batas, akan
menybabkan stres bagi seseorang. Contohnya, salah satu penyebab dari stres
dalam pekerjaan adalah pekerjaan yang terlalu menumpuk.
2.1.5 Langkah Penyesuaian Diri Terhadap Stres
Secara berturut turut, langkah yang dilakukan utuk penyesuaian diri terhadap
stres adalah (Suprapti, 2008: 37):
a) Menilai situasi stres, yaitu menggolongkan jenis stres (kategorisasi), dan
memperkirakan bahaya yang berkaitan dengan stres itu.
b) Merumuskan alternatif tindakan yang dapat dilakukan dan menentukan tindakan
yang paling mungkin untuk dilakukan.
d) Melihat feedback.
Jika langkah-langkah pertama berhasil maka diteruskan, kalau tidak segera
lakukan alternatif lain. Tindakan yang diambil orang yang mengalami stres
kemungkinan hanya berfungsi untuk melindungi diri terhadap kemungkinan
disorganisasi. Tindakan-tindakan ini merupakan tingkah laku yang sifatnya defensif.
Reaksi defensi tidak diarahkan pada sumber stres sehingga menghabiskan energi
secara tidak efisien. Reaksi defensif juga tidak objektif tetapi subjektif dan emosional
(tidak rasional). Reaksi defensif terjadi secara otomatis atau tidak disadari (Suprapti,
2008: 38).
2.1.6 Stres dan Dukungan Sosial
Banyak penelitian yang menunjukkan manfaat dukungan sosial, diantaranya
penelitian (Cohen & Hebert, dalam Aliyah, 2008: 84) yang mengadakan riset tentang
sistem kekebalan, riset ini menunjukkan bahwa hubungan pernikahan yang buruk
dan dukungan sosial yang rendah memiliki akibat terhadap kesehatan seseorang.
Penelitian lain dilakukan oleh Kiecolt – Glaser (dalam Aliyah, 2008: 84)
menunjukkan bahwa pasangan pernikahan muda (rata-rata 25 tahun) yang memiliki
interaksi negatif atau permusuhan memiliki hubungan dengan bertambahnya tingkat
norepinephrine, epinephrine, hormone pertumbuhan, dan ACTH yang kesemuanya
berfungsi pada sistem kekebalan tubuh, 24 jam setelah interaksi negatif.
Menurut Thomas, (dalam Aliyah, 2008: 84), individu yang merasa mereka
perasaan akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik daripada yang tidak
memiliki.
Dari hal di atas, tidak ada keraguan bahwa dukungan sosial mempengaruhi
kesehatan. Banyak penelitian memusatkan pengaruh dukungan sosial pada stres
sebagai variable penengah dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Ada dua
teori pokok yang diusulkan (Gottlieb, dalam Bart Smet, 1994: 137-139):
a. Hipotesis Penyangga(Buffer Hypothesis)
Menurut hipotesis ini, dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan
melindungi orang itu dari efek negatif dari stres yang berat. Fungsi yang bersifat
melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu menjumpai stres yang
kuat.
b. Hipotesis Efek Langsung (Direct Effect Hypothesis)
Hipotesis ini berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan
dan kesejahteraan, tidak perduli banyaknya stres yang dialami orang-orang.
Menurut hipotesis ini, efek dukungan sosial yang positif sebanding di bawah
intensitas-intensitas stres tinggi dan rendah. Contohnya, orang-orang dalam
dukungan sosial yang tinggi dapat memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi,
yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres.
2.2 Coping Stres
Menurut Lazarus dan Olkman, dalam Taylor (2003: 219) mendefinisikan
coping stres dengan:
“the process of managing demands (eksternal or internal) that resources of the person.”
Atau dapat diartikan sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk
mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik tuntutan yang berasal dari
individu maupun dari lingkungan) dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam
menghadapi situasistressful.
Menurut Lazarus dan Launier, 1978 (dalam Taylor, 2003: 219)
mendefinisikan coping stres sebagai:
“coping consists off efforts, both action-oriented and intrapsychic, to manage (master, tolerate, reduce, minimize) environmental and internal demands and conflicts among them”
Yaitu bahwa coping mengacu kepada usaha antara aksi reaksi dengan intra
fisik untuk memanage (konflik utama, toleransi terhadap konflik, melubur konflik,
meminimalisir konflik) lingkungan dan tuntutan internal serta konflik diantara
keduanya.
Selain itu menurut (Lahey, 2007: 456) coping stres merupakan :
“attempts by individual to deal with the source of stress and/or control their reaction to it”.
Yaitu bahwa coping merupakan usaha individu untuk menghadapi
sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol diri individu tersebut terhadap sumber-sumber stres.
Jadi dapat disimpulkan coping stres adalah usaha individu antara aksi reaksi
dengan intra fisik untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol
2.2.2 Jenis Coping
Menurut Lazarus dkk (dalam Taylor 2003: 229) strategi coping dibagi
menjadi dua tipe umum yaitu:
1. Emotional-focused coping, yaitu digunakan untuk mengatur respon emotional
terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu bagaimana meniadakan
fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif. Dan bila individu
tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung untuk
mengatur emosinya.
2. Problem-solving coping, yaitu untuk mengurangi stresor, individu akan
mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru. Individu
akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat
mengubah situasi.
2.2.3 Strategi Coping
Berdasarkan penelitian-penelitian lanjutan yang dilakukan Lazarus dkk
(1986), kedua jenis coping yaitu emotion – focused coping dan problem - solving
coping,dibagi lagi menjadi delapan bagian strategi coping (Lazarus dkk, 1986 dalam
Taylor, 2003: 230).
Kedelapan strategi coping tersebut yaitu:
Individu menganalisa situasi yang dihadapi hingga memperoleh cara-cara yang
diperlukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan melakukan tindakan nyata
untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
2. Controntatif coping (problem focused coping)
Ciri dari tindakan ini adalah adanya tindakan asertif, yang pada akhitnya
seringkali berubah menjadi tindakan agresif untuk merubah situasinya.
3. Seeking social support (emotion or problem coping)
Individu akan berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari
orang lain.
4. Distancing (emotion focused coping)
Usaha individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stresful atau
usaha dari sudut pandang yang positif.
5. Escape-avoindance (emotion focused coping)
Individu berharap agar permasalahan yang ada segera berakhir atau bertindak
secara nyata atau melarikan diri dari permasalahannya tersebut.
6. Possitive repraisal (Emotion focused coping)
Usaha individu untuk mencari sisi positif dari situasi, yang bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan pribadi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat rohani (religi).
7. Self control (emotion focused coping)
Usaha seseorang untuk mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan
situasi yang dihadapi.
Pengakuan masalah yang dibuat individu sehingga masalah-masalah itu terjadi.
2.3 Coping Stres
Ada beberapa bagian yang termasuk ke dalam coping stres dalam psikologi
positif (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
2.3.1 Menceritakan dan Menuliskan Masalah
Peristiwa traumatik sering mengisolasi kehidupan sosial. Tetapi dengan
berbicara dengan orang lain (lisan atau tulisan) tentang pengalaman traumatis, secara
otomatis akan membangun hubungan sosial yang lebih luas antara individu. Maka
dari itu komunikasi menjadi hal yang penting di bidang kesehatan mental. Dukungan
sosial telah dikaitkan dengan kesehatan mental dan fisik, sebagai bentuk pemulihan
lebih cepat dari penyakit, walaupun dengan kemungkinan stres yang masih akan
terjadi (Cf. Holahan et al, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Pentingnya hubungan sosial karena dalam kelompok-kelompok sosial itu sendiri
menawarkan tempat untuk tumbuh, melakukan eksperimen sosial, dan perubahan.
Dalam studi ditemukan bahwa dukungan sosial adalah cara yang signifikan
yang diberikan masyarakat untuk mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih
sehat (Davison, Pennebaker, & Dickerson, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez,
2005: 573-659). Pengalaman traumatis, kegelisahan dan ketidakpastian individu
dapat dikurangi melalui pertukaran interpersonal. Di sisi lain memiliki kepedulian
yang sama memberikan suatu kekuatan agar dapat menjadi cermin bagi diri mereka
Selain itu dengan komunikasi yang baik dapat memfasilitasi hubungan dan
ikatan sosial antara individu, sehingga memudahkan integrasi sosial. Seperti sisi
mata uang, individu satu dengan yang lain harus saling memahami, harus ada yang
menjadi pendengar dalam sebuah pembicaraan. Maka dari itu interaksi harus
disinkronkan, namun meskipun demikian masih sering terdapat hambatan dalam
berkomunikasi, ketidakmampuan untuk mengungkapkan masalah dengan orang lain
menimbulkan masalah dalam berkomunikasi, mungkin karena takut tidak dipahami
atau diterima oleh orang lain. Maka dari itu disinilah peran menuliskan masalah
dapat dilihat (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Meskipun menulis bukanlah suatu obat mujarab, dan memiliki potensi untuk
mengganggu kehidupan. Sebagai contoh, seorang peserta baru-baru ini mengatakan
kepada kita bahwa, setelah menulis, dia revaluasi hidupnya dan pernikahannya. Dia
kemudian bercerai dengan suaminya dalam 8 tahun usia pernikahan mereka dan
dipaksa untuk pindah bersama anak-anaknya ke sebuah apartemen yang jauh lebih
kecil. Meskipun dia melaporkan yang lebih bahagia dan sehat karena tulisan,
beberapa mungkin berpendapat bahwa menulis memiliki beberapa efek samping
yang sangat negatif (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Walaupun demikian menulis tentang pengalaman traumatis dapat memiliki
manfaat bagi kesehatan secara signifikan, dalam arti individu tersebut didorong
untuk memikirkan kesengsaraan dalam hidup mereka, dan bertanggung jawab atas
hidup mereka sendiri (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Menemukan manfaat memiliki hubungan erat dengan kesehatan fisik dan
psikologis, dan hal itu berhubungan dengan teori adaptasi kognitif yang bekerja
ketika ada bahaya dilingkungan sekitar (Janoff Bulman, 1992 & Taylor, dalam C. R.
Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), pertumbuhan setelah traumatik (Tedeschi
& Calhoun, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), pertumbuhan
psikologis (Epel, McEwen & Ickovics, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005:
573-659). Menurut Snyder dan McCullough (2000) menemukan manfaat dari
masalah tergantung pada kekuatan manusia itu sendiri, dan dorongan itu sampai
memunculkan apa yang ada dalam paradigm psikologi positif (C. R. Snyder & Shane
J. Lopez, 2005: 573-659).
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005:
573-659) menemukan hikmah dalam setiap masalah termasuk ke dalam emotion
focused coping. Sebagai contoh perubahan atau pertumbuhan adalah sebuah jalan
kehidupan yang baik, pengalaman yang datang dan pergi menjadikan manusia lebih
baik dari hari ke hari, memiliki suatu keyakinan yang baru, dan pengetahuan adalah
sesuatu yang penting dalam hidup. Teori coping ini membedakan antara perilaku
adaptif yang alami, kepercayaan, dan strategi coping. Meskipun tidak semua peneliti
dan teori menyetejui bahwa “segala sesuatu mengenai coping adalah pilihan yang
disengaja” (Haan, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Dari
perspektif ini ditemukan bukti bahwa pencarian hikmah dari suatu masalah adalah
sebuah coping individu (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Mengambil respon positif ketika kehilangan berarti, menemukan makna
dalam setiap masalah dan kembali bangkit diatas pengalaman yang pahit. Yang juga
berarti merasionalkan segala bentuk kehilangan dan mencari manfaat sebagai
pengalaman dari sebuah peristiwa kehilangan serta mendorong dan memudahkan
terjadinya proses atau pertumbuhan atau perubahan kearah yang positif. Jadi
menemukan manfaat dari sebuah peristiwa kehilangan dengan menemukan makna
dari sebuah peristiwa kehilangan memerlukan proses yang nyata, pertama, mereka
tidak berhubungan satu dengan yang lainnya, kedua, dua hal itu datang dalam waktu
yang berlainan atau tidak datang dalam waktu yang bersamaan. Individu yang
menemukan makna dengan cepat dari sebuah peristiwa setelah dia kehilangan dan
setelah itu menemukan makna yang positif dari peristiwa kehilangan tersebut akan
memiliki emosi yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang menemukan
manfaat dari peristiwa kehilangan yang lebih lama. Pada kesimpulannya penemuan
manfaat ini berkaitan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap lingkungan
ketika manfaat itu telah ditemukan (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
2.3.4 Mencari Kebermaknaan Dalam Hidup
Makna berarti menghubungkan. Makna akan menghubungkan dua pemikiran
yang terpisah meskipun terdapat perbedaan. Seperti misalnya pemikiran tersebut
dalam kategori yang sama, dimiliki oleh individu yang sama, atau keduanya
digunakan untuk menuju satu tujuan. Hubungan keduanya bukan bagian dari
perubahan fisik dan jadi hal tersebut hanya bisa dihasilkan dari pemikiran seseorang
sebuah realitas yang berbentuk non fisik. Hal tersebut nyata dan bersifat alami yang
memiliki hubungan sebab-akibat, dan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip
yang ada (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Baumeister (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) memasukkan
penelitian tentang kebermaknaan hidup agar lebih memahami apa yang dimaksud
dengan kebermaknaan hidup. Terdapat empat kebutuhan utama dalam menemukan
kebermaknaan hidup dan berhubungan dengan motivasi yang mendorong individu
untuk membuat hidup mereka lebih bermakna. Seseorang merasa puas dengan empat
kebutuhan tersebut seperti menemukan hidup mereka menjadi lebih bermakna. Yang
membedakannya, seseorang yang tidak puas dengan satu atau lebih dari kebutuhan
tersebut merasa seperti tidak memilki makna dalam hidup mereka. Kebutuhan
tersebut adalah:
1. Kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan
Maksud dari kebutuhan ini adalah seseorang dapat menggambarkan hubungan
saat ini dengan masa depan mereka. Tujuan dapat dibagi menjadi dua jenis.
Pertama adalah tujuan sederhana, hasil masih objektif atau bagian-bagiannya
masih berupa keinginan, dan belum tentu menjadi nyata, dan dengan begitu
individu akan melakukan aktifitas yang lebih bermakna sebagai jalan untuk
memahami situasi yana diinginkan dimasa yang akan datang. Kedua, tujuan yang
lebih kompleks, di mana lebih bersifat subjektif daripada objektif. Hidup
berorientasi kepada tindakan antisipasi masa depan, seperti hidup bahagia
selamanya, dicintai atau masuk surga.
Di mana dapat mengambil kebaikan atau hidup yang positif dan dapat mengambil
tindakan yang benar. Nilai membuat indivuidu dapat menentukan mana yang baik
dan mana yang buruk, nilai akan menjaga kita dalam konteks kepercayaan yang
akan membuat kita untuk berfikir dengan baik, dan akan meminimalisir rasa
bersalah, kegelisahan, penyesalan dan beberapa hal lain yang menyangkut moral
yang dapat mengakibatkan stres.
3. Kebutuhan untuk dipercaya
Kebutuhan ini mempercayai bahwa setiap orang dapat membuat perubahan.
Hidup mempunyai tujuan tapi tanpa adanya kepercayaan sangatlah menyedihkan.
Setiap orang mengetahui apa yang mereka butuhkan tetapi tidak selalu dapat
diperoleh dari pengetahuan tersebut. Hal ini cukup sering terjadi pada seseorang
yang mengontrol lingkungan mereka (dan pastinya diri merka sendiri: dalam
Baumeister, 1998), dan kontrol yang buruk dapat membuat masalah seseorang
menjadi serius yang akan berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka.
4. Kebutuhan akan harga diri
Hampir sebagian besar individu mencari alasan agar mereka dipercaya sebagai
individu yang baik, dan menjadi orang yang berguna. Harga diri dapat membuat
individu meraih makna dalam hidupnya (dalam Wood, 1989). Hal ini dapat diraih
dengan mengumpulkan seperti ketika seseorang menggambarkan penghargaan
diri yang bermakna dari beberapa kelompok mereka atau orang-orang lain yang
2.3.5 Humor
Dalam tulisan awal yang dibuat Plato dalamPhilebus(dalam C. R. Snyder &
Shane J. Lopez, 2005: 573-659), Aristoteles dalam Poetics (dalam C. R. Snyder &
Shane J. Lopez, 2005: 573-659), Hobbes dalam Leviathan (dalam C. R. Snyder &
Shane J. Lopez, 2005: 573-659), dan Rousseau dalamLettre a. M. D'alembert(dalam
C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), humor ditandai sebagai bentuk dari
permusuhan. Bagi para filsuf tersebut, kualitas tertawa mengejek, paling sering
diarahkan untuk keburukan dan kekurangan orang lain. Hal ini membuat humor
menjadi sesuatu tidak diinginkan dan kejam. Tertawa dikatakan mencerminkan sifat
agresif yang lebih besar dari manusia yang mengakibatkan korban untuk orang lain.
Aristoteles mengatakan bahwa, "komedi bertujuan untuk mewakili manusia yang
lebih buruk lagi, tragedi seperti yang lebih baik daripada di kehidupan nyata" dan
“yang menggelikan hanyalah bagian yang jeleknya” (Piddington, 1963). Hal tersebut
menjadi pelajaran untuk mengingat kembali bahwa hingga akhir abad ke-19,
misalnya, hal rutin yang dilakukan dan menjadi kebiasaan dengan mengunjungi
rumah sakit jiwa untuk menikmati sambil tertawa melihat para narapidana
menyedihkan dan berantakan yang terikat dengan penjara mereka masing-masing (C.
R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
Pada abad ke-16, Joubert (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005:
573-659) menyatakan bahwa tertawa dapat melancarkan aliran darah yang dapat
itu, tertawa dikatakan tepat untuk kekuatan proses penyembuhan yang memberikan
kontribusi yang baik untuk kesehatan pasien.
Tokoh psikologi yang memberikan kontribusi awal yang menggambarkan
efek positif dari humor adalah William McDougal (dalam C. R. Snyder & Shane J.
Lopez, 2005: 573-659), yang menyarankan bahwa dengan tertawa dapat mengurangi
dampak dari serangan sosial yang dapat digunakan sebagai perangkat untuk
mencegah simpati yang berlebihan dan untuk menahan diri kita dari depresi,
kesedihan, dan berpotensi merusak emosi lainnya. Posisi ini sejajar dengan
tulisan-tulisan baru-baru ini mengenai humor sebagai cara untuk mengurangi tekanan
(rangsangan emosional).
Freud (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), dalam
bukunya Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905), dijelaskan bahwa
tertawa dapat digunakan sebagai pelepasan ketegangan defensif yang telah
terangsang oleh keadaan awal untuk tertawa. Ketegangan dikatakan menimbulkan
oleh sesuatu yang bisa menimbulkan perasaan atau pikiran terkait dengan kemarahan
dan seksualitas dalam situasi di mana ekspresi mereka akan disesuaikan. Ketika ego
pertahanan yang menghambat ekspresi emosional tersebut terbukti tidak diperlukan,
seperti ketika seorang melakukan lelucon dalam ceritanya dan dengan demikian
dapat meringankan emosi pendengarnya, energi dari emosional tersebut dapat
ditahan dengan tertawa. Dalam tulisan-tulisan Freud, sesuai dengan McDougall, dia
mengisyaratkan pada efek yang menguntungkan dari humor dalam membantu
Freud juga menulis sebuah makalah singkat berjudul "Humor" (dalam C. R.
Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), di mana ia menyajikan pandangan dari
"humor" yang membedakan dari "kecerdasan" dan "komik". Humor dikatakan dapat
mewakili internalisasi pengampunan orangtua yang memungkinkan seorang individu
untuk memperoleh perspektif dan bantuan dari emosi atas kekecewaan dan
kegagalan. Humor melibatkan interpretasi kegagalan sebagai sesuatu yang kurang
penting atau keseriusan dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga
mengubah kegagalan tersebut menjadi seperti "permainan anak kecil". Dengan cara
ini, humor menjadi alat untuk bersahabat dengan kekecewaan dan menghindari
kecemasan episodic dan depresi. Ini adalah bentuk humor, yang dijelaskan oleh
Freud dan dijelaskan oleh McDougall, yang mencirikan banyak penelitian
kontemporer tentang humor sebagai pengurangan gangguan emosi.
Perilaku Coping Terkait Dengan Humor
Investigasi yang terkait dengan efek dari stres mengarahkan perhatian mereka
pada perilaku coping yang memfasilitasi atau menghambat fungsi optimal pada
kondisi yang membahayakan. Sering ditegaskan bahwa metode coping yang
melibatkan penghindaran atau penolakan dari pengalaman stres selanjutnya,
membuat seseorang menjadi lebih rentan dalam menghadapi stres yang melibatkan
kesadaran dan penyesuaian mereka terhadap stres (Lazarus; Janis dalam C. R. Snyder
& Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Dalam serangkaian studi yang telah dilakukan,
humor ditemukan terkait dengan perilaku coping yang lebih aktif dan konfrontatif,
Humor juga telah ditemukan terkait dengan “pendekatan” perilaku coping
oleh Kuiper, Martin, dan Olinger (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005:
573-659) dalam studi mereka tentang respon siswa terhadap ujian akademik. Para penulis
tersebut menemukan CHS yang secara positif terkait dengan sejauh mana siswa
berhasil melakukan ujian sebagai tantangan daripada ancaman. Selain itu, CHS
tersebut ditemukan secara positif berkaitan dengan jarak dan serangan terhadap
coping, bagian dalam Ways of Coping Scale (Lazarus & Folkman, dalam C. R.
Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Temuan terakhir ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang menggunakan humor sebagai mekanisme coping cenderung
terlibat dalam problem-focus coping dengan emosi sekecil mungkin selama mereka
berhubungan dengan stres. Untuk mendukung pendapat tersebut, penulis juga
menemukan bahwa CHS berhubungan negatif dengan ukuran dari Persepsi Tegangan
(Cohen, Kamarck, & Mermelstein, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005:
573-659) dan Sikap Disfungsional (Cane, Olinger, Gotlib, & Kuiper, dalam C. R.
Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), yang menilai bahwa disfungsi
kemampuan evaluatif diri berhubungan dengan kerentanan terhadapdysphoria.
Pembelajaran yang meneliti hubungan antara humor dengan perilaku coping
memberikan dukungan bagi penyelidikan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
humor dapat berperan sebagai moderator stres. Perilaku coping yang berhubungan
dengan humor tampaknya merupakan jenis yang aktif menandakan konfrontasi
dengan pengalaman stres, membantu mengurangi stres, jika tidak segera dilakukan
maka ada cukup waktu yang memungkinkan untuk melakukan perubahan pada
2.3.6 Melakukan Meditasi
Hasil meditasi yang ditemukan oleh positif psikologi adalah sebagai berikut:
1. Ingatan dan Kecerdasan
Meditasi tampaknya menghasilkan peningkatan kecerdasan, nilai di sekolah,
kemampuan belajar, dan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang (Cranson
et al., 1991; Dillbeck, Assimakis, & Raimondi, 1986; Lewis, 1078 dalam C. R.
Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Penelitian pertama yang memeriksa efek
TM pada Culture Fair Intelligence Test (CFIT) atau tes kecerdasan budaya, dan
waktu reaksi (Reaction Time/RT) yang dihubungkan dengan kontrol kelompok.
Bahkan ketika kontrol dilakukan pada tingkat usia, tingkat pendidikan, kepentingan
pada meditasi, tingkat pendidikan orang tua, dan pendapatan tahunan, kelompok TM
meningkat secara signifikan pada kedua tindakan tersebut dibandingkan pada kontrol
kelompok. Para penulis menunjukkan bahwa meditasi TM nampaknya menjadi alat
"pendidikan yang menjanjikan untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran untuk
belajar" (Cranson et al., dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).
2. Kreativitas
Kreativitas adalah sesuatu yang bersifat kompleks, yang terdiri dari berbagai
sifat dan kemampuan, termasuk keterampilan untuk menilai/mempersepsi,
kelancaran ideasional, keterbukaan untuk melakukan, dan fleksibilitas emosional.
Dalam beberapa penelitian meditasi, sat