• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres Pengasuhan pada Ibu dari Anak Autistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres Pengasuhan pada Ibu dari Anak Autistik"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres

2.1.1. Definisi Stres

Banyak ahli telah mengemukakan pendapat tentang definisi stres sehingga

pengertian stres berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang ahli yang

mendefinisikannya. Berikut beberapa pendapat tentang stres:

Istilah stres sendiri ditemukan oleh Hans Selye, seorang ahli fisiologi dari

Universitas Montreal. Ia merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang

sifatnya nonspesifik terhadap aksi tuntutan atasnya. Sehingga tubuh bereaksi

secara emosi (psikis) dan somatik (fisik) untuk mempertahankan kondisi fisi yang

optimal. Reaksi ini disebut GAS (General Adaptation Syndrome) (Liza, 2010). Menurut Robert S. Fieldman, stres adalah suatu proses yang menilai suatu

peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan

dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan

perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif (misalnya:

merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga). Sesuatu

didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu. (Zulistianah, 2009)

Menurut Rippetoe-Kilgore, stres adalah kondisi yang dihasilkan ketika

seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu

pertentangan, apakah itu riil ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber

daya sistem biologis, psikologis dan sosial. Dalam terminologi medis, stres akan

mengganggu sistem homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan

(2)

2.1.2. Tahap-Tahap Stres

Hans Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap

berbagai stresor yang tidak menyenangkan, baik sumber stres berupa serangan

bakteri mikroskopis, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran.

Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stres, tubuh kita seperti jam

dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis (Liza, 2009).

Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu

a. Tahap waspada (Alarm reaction Stage)

Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan

munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk

mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin

dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini disebut juga

reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaction) (Zulistianah, 2009).

b. Tahap pertahanan (Resistance Stage)

Reaksi ini merupakan tahap adaptasi dimana sistem endokrin dan sistem

simpatis tetap mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi

pada saat reaksi waspada. Reaksi terhadap stresor sudah melampaui batas

kemampuan tubuh, timbul gejala psikis dan somatik. Individu berusaha

mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan

pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatur stresor, tubuh

akan berusaha mengimbangi proses fisiologi yang terjadi pada fase

waspada, sedapat mungkin bisa kembali normal, bila proses fisiologis ini

telah teratasi maka gejala stres akan turun (Liza, 2009).

c. Tahap kelelahan (Exhaustion Stage)

Pada fase ini gejala akan terlihat jelas. Karena terjadi perpanjangan tahap

awal stres yang telah terbiasa, energi penyesuaian sudah terkuras, individu

tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber untuk penyesuaian,

timbullah gejala penyesuaian seperti sakit kepala, gangguan mental,

penyakit arteri koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada

(3)

Gambar 2.1.The General Adaptation Syndrome (GAS)

Model GAS menggambarkan mekanisme coping tubuh terhadap stres Sumber: Donatelle, 2009

2.1.3. Sumber Stres

Secara umum sumber stres dapat dibagi menjadi tiga yaitu stresor fisik,

sosial, dan psikologis

1. Stresor Fisik

Bentuk dari stressor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising,

polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimia).

2. Stresor Sosial

a. Stresor sosial, ekonomi, dan politik, misalnya tingkat inflasi yang

tinggi, tidak ada pekerjaan, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan.

b. Keluarga, misalnya peran seks, iri, cemburu, kematian anggota

keluarga, masalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan

(4)

c. Jabatan atau karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang

kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.

d. Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang

terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk.

3. Stresor Psikologis

a. Frustasi, adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada

hambatan.

b. Ketidakpastian, apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan

merasa tidak pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau

merasa selalu bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir

dan rendah diri.

2.2. Stres Pengasuhan

2.2.1. Pengertian Stres Pengasuhan

Stres pengasuhan (parenting stress) adalah keadaan psikologis bermakna yang terjadi ketika tanggung jawab pengasuhan dinilai melebihi sumber daya

seseorang, membuat seseorang merasa bahwa mereka memiliki kesulitan

memenuhi peran sebagai orang tua. Stres yang dialami orangtua secara teoritis

diyakini sebagai akibat dari karakteristik orang tua dan/atau anak, dan mungkin

merupakan hasil dari interaksi orangtua-anak. Seringkali, stres pengasuhan

tersebut dianggap disebabkan merawat anak yang memiliki ciri fisik dan

perkembangan yang dirasakan oleh orangtua sulit untuk dikendalikan dan

menyebabkan ketidakpuasan. Stres pengasuhan dapat mengalahkan kemampuan

orang tua untuk mengatasi stresor dan berakibat buruk pada orang tua, anak dan

(5)

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan

Hidangmayun (2010) dalam Chairini (2013) menjabarkan stres

pengasuhan disebabkan oleh:

a. Karakteristik Anak

1. Jenis Kelamin

Sabih dan Sajid (2008) dalam penelitiannya melaporkan bahwa orang

tua yang memiliki anak laki-laki cenderung menunjukkan tingkat stres

yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak

perempuan.

2. Kebiasaan Anak

Kebiasaan anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi stres

pengasuhan, yaitu terkait dengan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua.

3. Usia Anak

Stres yang dialami oleh orang tua dihubungkan dengan usia anak dapat

dikaitkan dengan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan

lingkungannya. Umumnya anak dengan usia muda cenderung lebih

sulit untuk menyesuaikan dirinya dibandingkan dengan anak yang

lebih tua.

b. Karakteristik Orang tua

1. Usia Orang tua

Orang tua dengan usia yang masih muda dianggap belum matang atau

belum dewasa untuk melakukan pengasuhan, sementara orang tua

yang telah lanjut usia dianggap akan mengalami kesulitan dalam

perawatan anak terkait dengan kondisi fisik yang melemah.

2. Pendidikan Orang tua

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara ibu

(6)

3. Pekerjaan

Penelitian yang dilakukan Forgays (2001) dalam Chairini (2013)

menunjukkan bahwa ibu yang bekerja mengalami stres yang lebih

tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, namun dari jenis

pekerjaan yang dilakukan ibu tidak terdapat perbedaan stres

pengasuhan yang signifikan.

4. Penghasilan

Kelemahan ekonomi juga mempengaruhi sejauh mana orang tua

mengalami stres pengasuhan. Merawat anak dalam konteks

kemiskinan atau kekurangan materi sangatlah sulit, yaitu dapat

meningkatkan stres jika orang tua tidak dapat memberikan makanan,

pakaian, pengobatan yang adekuat, serta tempat tinggal yang menetap

dan aman.

5. Temperamen

Temperamen merupakan reaksi emosional, status perasaan, serta

atribut energi seseorang. Beberapa penelitan menunjukkan terdapat

interaksi yang signifikan antara intoleransi orang tua dan status

kekerasan oleh orang tua.

6. Dukungan sosial

Beberapa penelitian menyebutkan tentang pentingnya melihat variabel

dukungan sosial dengan pengalalaman stres pengasuhan yang dialami

orang tua.

2.3. Dukungan Sosial

2.3.1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial berasal dari kata dukungan dan sosial. Sosial artinya

menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu dan dukungan artinya: 1)

mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2)

memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain

(7)

Menurut Dimatteo (1991) dalam Maysithah (2012), dukungan sosial

adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman,

keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain. Saronson (1991) dalam Masyithah

(2012) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu

keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat

dipercaya. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa orang lain

memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.

2.3.2. Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang diterima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn &

Antonoucci (Afriyanti, 2011) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi

3 kategori, yaitu:

1. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada

sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya.

Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.

2. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit

berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai

dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga,

dan teman sepergaulan.

3. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang

memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.

Meliputi dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.

2.3.3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2002) dalam Afriyanti (2011), ada lima bentuk

dukungan sosial, yaitu:

1. Dukungan Emosional

Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada

seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa

(8)

mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan

personal, dan cinta.

2. Dukungan Penghargaan

Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif

kepada orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide

ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara

individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu

yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya

diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika

individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada

kemampuan yang dimilikinya.

3. Dukungan Instrumental

Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu

dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi

atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang

sedang stres.

4. Dukungan Informasi

Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan

informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat

dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres

(DiMatteo, 1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian

tentang bagaiman individu melakukan sesuatu. Misalnya individu

mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah

penyakitnya kambuh lagi.

5. Dukungan Kelompok

Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa

dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana

anggota-anggotanya dapat saling berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang

(9)

2.4. Hubungan Stres dengan Dukungan Sosial

Dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat

mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu:

1. Model Efek Langsung (direct effect hypothesis)

Model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis

individu dengan adanya ataupun tanpa tekanan, dengan kata lain seseorang

yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa adanya tekanan

ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut Sarafino (2002)

melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat yang sama

baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada

tekanan (Afriyanti, 2008).

2. Model Buffering (buffering bypothesis)

Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku

sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model

ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi dari efek negatif stres dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan

oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini bekerja dengan

mengarahkan kembali dari hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur

keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini

berfokus pad fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan

sosial yang ada (Lubis, 2006).

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam

mempengaruhi kejadian efek stres. Menurut Sarafino (1998) dalam

Afriyanti (2006) beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan

sosial, antara lain:

a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang

membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak

cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara

(10)

b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan

individu.

c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti

melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan

sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat menggangu program

rehabilitas yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan

individu menjadi tergantung pada orang lain.

2.5. Gangguan Autistik

2.5.1. Pengertian Gangguan Autistik

Gangguan autistik pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada

tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia

menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu

berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap

lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam

dunianya sendiri (Mahmud, 2010).

World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan gangguan autistik khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum

usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu

interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (Buku Penanganan

dan Pendidikan Autis di YPAC).

Gangguan autistik merupakan salah satu gangguan perkembangan yang

merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum

Disorders (ASD). ASD didiagnosis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition - Text Revision (DSM-IV-TR).

Terdapat lima gangguan yang terkadang disebut gangguan perkembangan pervasif

(pervasive developmental disorders; PDDs), yaitu antara lain gangguan autistik (autisme klasik), sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif yang tidak

(11)

Rett, dan gangguan disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder; CDD) (National Institute of Mental Health, 2011).

2.5.2. Kriteria Diagnostik Gangguan Autistik

Gangguan autistik dapat dideteksi berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-IV sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Autistik berdasarkan DSM-IV Krieria Diagnostik untuk Gangguan Autistik berdasarkan DSM-IV

A. Total enam (atau lebih) hal dari (1), (2), dan (3), dengan sekurangnya dua dari (1), dan masing-masing satu dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya dua dari berikut ini:

(a) Gangguan jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal multiple seperti tatapan mata, ekspresi wajah, dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi social

(b) Gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangan

(c) Tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi kesenangan, minat, atau pencapaian dengan orang lain (misalnya, tidak memamerkan, membawa, atau menunjukkan benda yang menarik minat)

(d) Tidak ada timbal balik sosial atau emosional

(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi seperti yang ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut ini :

(a) Keterlambatan dalam, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa ucapan (tidak disertai oleh usaha untuk kompensasi melalui cara komunikasi lain seperti gerak-gerik atau mimik)

(b) Pada individu dengan bicara yang adekuat, gangguan jelas dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain

(c) Pemakaian bahasa atau bahasa idiosinkratik secara stereotipik atau berulang

(d) Tidak adanya berbagai permainan khayalan atau permainan pura-pura sosial yang spontan yang sesuai menurut tingkat perkembangan

(3) Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya datu dari berikut ini:

(a) Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat stereotipik dan terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya

(b) Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional

(c) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya menjentikkan atau memuntirkan tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh)

B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurangnya satu bidang berikut, dengan onset sebelum 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, (3) permainan simbolik atau imaginatif.

C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegratif masa anak-anak.

(12)

2.5.3. Gejala Klinis

Gejala klinis menurut Kaplan, dkk, 2011 adalah:

1. Gangguan kualitatif pada interaksi sosial

Semua anak autistik gagal menunjukkan keakraban yang lazimnya

terhadap orang tua mereka dan orang lain. Terlihat juga kegagalan mereka

untuk bermain dengan teman sebaya dan membuat persahabatan,

kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial mereka, dan terutama kegagalan

mereka untuk mengembangkan sikap empati.

2. Gangguan komunikasi dan bahasa

Anak-anak autistik enggan untuk berbicara dan tidak ada usaha untuk

kompensasi (misalnya melalui mimik atau gerak). Penyimpangan bahasa,

seperti keterlambatan bahasa adalah karakteristik untuk anak autistik.

Kira-kira 50 persen dari semua anak autistik tidak pernah menggunakan

pembicaraan yang berguna. Pembicaraan mereka mengandung ekolalia

(meniru/membeo), baik segera atau terlambat atau frasa stereotipik di luar

konteks. Kelainan tersebut sering disertai dengan pembalikkan kata

sebutan, yaitu seorang anak perempuan berkata, “kamu ingin mainan” saat

ia bermaksud menginginkan mainan.

3. Perilaku stereotipik

Aktivitas dan permainan anak autsitik adalah kaku, monoton, dan

berulang. Fenomena ritualistik dan kompulsif sering ditemukan pada anak

autistik. Anak-anak autistik sering kali memutarkan, membanting, dan

membariskan benda-benda dan menjadi terlekat pada benda mati.

4. Ketidakstabilan mood dan afek

Beberapa anak autistik menunjukkan perubahan emosional yang tiba-tiba,

dengan ledakan tertawa atau tangisan tanpa terlihat alasan dan tidak

mengekspresikan pikiran yang sesuai afek.

5. Respon terhadap stimuli sensorik

Anak-anak autistik mungkin responsif secara berlebihan atau kurang

responsif terhadap stimuli sensorik (sebagai contoh, suara dan nyeri).

(13)

padanya, sehingga mereka sering disangka tuli. Banyak anak autistik yang

memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respons terhadap

nyeri. Malahan, anak autistik mungkin melukai dirinya sendiri secara

parah dan tidak menangis. Beberapa anak secara khusus menikmati

stimulasi vestibular seperti berputar-putar, berayun-ayun, dan bergerak

naik dan turun.

6. Gejala perilaku lainnya

Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang sering pada anak autistik yang

muda. Hipokinesis lebih jarang, jika ada, sering kali berganti-ganti dengan

hiperaktivitas. Agresivitas dan temper tantrum terlihat sering kali dengan

alasan yang tidak jelas, atau disebabkan perubahan atau tuntunan. Perilaku

melukai diri sendiri adalah berupa membenturkan kepala, menggigit,

mencakar, dan menarik rambut. Rentang perhatian yang pendek,

ketidakmampuan sama sekali untuk memusatkan pada pekerjaan,

insomnia, masalah pemberian makanan, enuresis (inkontinensi

urin/mengompol) dan enkopresis (inkontinensi feses) juga sering

ditemukan.

7. Fungsi intelektual

Kira-kira 40 persen anak-anak dengan autisme infantil memiliki nilai

intelegensi (IQ) dibawah 50-55 (retardasi mental sedang, berat atau sangat

berat): 30 persen memiliki nilai 50-70 (retardari mental ringan); 30 persen

memiliki nilai 70 atau lebih. Kira-kira seperlima dari anak autistik

memiliki kecerdasan nonverbal yang normal. Nilai IQ anak autistik

cenderung mencerminkan masalah dengan keterampilan verbal dan

abstraksi, bukannya dengan keterampilan visuospasial dan daya ingat jauh,

yang mengesankan kepentingan defek dalam fungsi yang berhubungan

(14)

2.5.4. Etiologi a. Genetik

Susan Folstein dan Michael Rutter (1977) menunjukkan bahwa tingkat

gangguan autistik pada kembar identik (monozigot) jauh tinggi daripada

kembar same-sex fraternal (dizigotik). Kembar identik memiliki gen identik, sedangkan kembar fraternal hanya berbagi beberapa gen.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa ada potensi kontribusi genetik

yang sangat kuat pada gangguan autistik.

Penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat gangguan autistik

meningkat pada saudara-saudara dari anak autistik. Penelitian lain juga

melihat hubungan persaudaraan dengan gangguan autistik, dan menilai

bahwa walaupun saudara tidak memiliki gangguan autistik, mereka

kelihatan mengalami peningkatan pada masalah lain, termasuk bahasa dan

kesulitan belajar.

Meskipun penelitian telah semakin menyoroti pentingnya faktor

genetik pada gangguan autistik, jawaban akhir belum di temukan.

Tampaknya beberapa gen mungkin terlibat, perkiraan jumlah gen berkisar

antara 4 sampai 20 atau bahkan lebih. Mungkin juga tidak semua bentuk

gangguan autistik memiliki dasar genetik yang sama tetapi mungkin

terjadi dengan cara lain. Misalnya, mungkin ada masalah khusus pada saat

pembuahan ketika beberapa materi genetik mungkin hilang atau perubahan

genetik (mutasi) mungkin terjadi. Mungkin saja hal-hal lain yang terlibat,

misalnya kesulitan kelahiran dini mungkin berhubungan dengan

kecenderungan genetik untuk menyebabkan gangguan autistik. Upaya

besar sekarang sedang dilakukan untuk mengidentifikasi gen yang

potensial pada gangguan autistik. Gen-gen yang mungkin terlibat (dikenal

sebagai ''calon gen'') saat ini sedang diselidiki. Tampaknya mungkin

bahwa beberapa penyebab genetik pada gangguan autistik akan

(15)

b. Gangguan Kejang dan Kelainan Elektroensefalografik

Risiko yang lebih tinggi dari perkiraan terjadi pada anak autistik yang

pernah mengalami kejang. Gangguan kejang (juga disebut sebagai epilepsi

atau kejang) adalah sekelompok kondisi yang dihasilkan dari kelainan

aktivitas listrik di otak. Salah satu cara dokter melihat aktivitas kejang

adalah melalui electroencephalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik di otak. Penelitian awal dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa

sebanyak 50% dari individu dengan gangguan autistik memiliki kelainan

pada EEG mereka.

c. Neuroanatomi dan Studi Pencitraan Otak

Berbagai metode dapat digunakan untuk mempelajari otak, mulai dari

penelitian jaringan otak yang diperoleh pada saat kematian (studi

postmortem) hingga penelitian pada otak yang masih hidup dan aktif

melalui functional magnetic resonance imaging (fMRI). Sejumlah temuan layak disebutkan. Otopsi dan pencitraan otak menunjukkan bahwa

setidaknya beberapa individu dengan gangguan autistik mengalami

peningkatan ukuran otak dan perkembangan ini terjadi pada tahun pertama

kehidupan atau lebih. Beberapa penelitian telah mengusulkan

kemungkinan bahwa ada beberapa perubahan dalam struktur otak,

khususnya di bagian-bagian dari otak yang memproses informasi,

emosional atau sosial (sistem limbik) dan mungkin di otak kecil

(cerebellum). Cerebellum adalah bagian dari otak yang antara lain, membantu mengkoordinasikan dan mengontrol gerakan.

Table 2.2 Area otak yang kemungkinan terlibat pada gangguan autistik Area yang kemungkinan

kesulitan

Fungsi

Korteks serebral prefrontal Pemikiran sosial

Hipotalamus Tingkah laku

Amygdala Orientasi sosial, pembelajaran emosional

Gyrus fusiformis Pengenalan wajah

Gyrus temporalis media Pengenalan ekspresi wajah

(16)

d. Neurokimiawi

Sel-sel saraf menggunakan berbagai jenis bahan kimia untuk

berkomunikasi satu sama lain. Sejumlah sistem ini telah dipelajari dalam

gangguan autistik, dan ada beberapa usulan dari perubahan dalam sistem

ini. Sebagian besar penelitian telah memusatkan perhatian pada serotonin

(5-HT atau 5-hydroxytryptamine). Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kadar serotonin dalam darah sering meningkat pada individu

dengan autisme. Akan tetapi, hubungan antara tingkat darah dan tingkat

otak pada kimia ini tidak selalu jelas.

Studi lain telah difokuskan pada dopamin, yang terlibat dalam bagian

otak yang mengontrol gerakan dan merupakan bagian dari sistem yang

lebih luas yang berhubungan dengan tingkat kewaspadaan dan bangkitan.

Banyak obat yang digunakan untuk mengobati gejala gangguan autistik

mempengaruhi bahan kimia ini.

Table 2.3 Neurokimiawi pada gangguan autistik

Neurotransmitter Fungsi terkait dengan gangguan autistik Serotonin Mengatur tidur, mood, suhu tubuh

Kadarnya tinggi dalam darah pada banyak individu dengan gangguan autistik

Dipengaruhi oleh beberapa obat.

Dopamin Pengendalian fungsi motorik.

Satu kelas obat-obatan yang digunakan dalam gangguan autistik (neuroleptik) memblokir fungsi dopamin

Norepinefrin Terlibat dalam pengaturan bangkitan (arousal), respon stres, memori, dan kecemasan; dipengaruhi beberapa obat

e. Faktor Perinatal

Selama gestasi, perdarahan maternal setelah trimester pertama dan

mekonium dalam cairan amnion telah dilaporkan lebih sering ditemukan

pada anak autistik dibandingkan populasi umum. Dalam periode neonatus,

anak autistik memiliki insiden tinggi sindrom gawat pernapasan dan

anemia neonatus. Beberapa bukti menyatakan tingginya insidensi

(17)

f. Lingkungan

Perhatian untuk melihat kemungkinan bahwa faktor lingkungan

berkontribusi terhadap gangguan autistik berasal dari beberapa sumber,

termasuk laporan dari serangkaian kasus, sebuah asumsi bahwa tingkat

gangguan autistik telah meningkat dari waktu ke waktu, dan berhubungan

dengan lingkungan yang berpotensial racun seperti merkuri (atau

thimerosal dalam vaksin). Ada bukti bahwa Thimerosal (yang 49% etil

merkuri) memang berbahaya. Sejak tahun 1930-an, Thimerosal telah

banyak digunakan sebagai agen antibakteri pada vaksin. Thimerosal telah

terlibat sebagai penyebab gangguan autistik. Otak pada anak autistik

menunjukkan ketidakteraturan neurotransmitter yang hampir identik

dengan yang timbul dari paparan merkuri, yaitu, perubahan serotonin dan

konsentrasi dopamin, kadar epinefrin dan norepinefrin dalam plasma dan

otak, kadar serum glutamat yang tinggi, dan kekurangan asetilkolin di

hipokampus. Karena kesamaan secara luas antara gangguan autistik dan

keracunan merkuri, kemungkinan hubungan sebab akibatnya besar. Bukti

lain yang menghubungkan gangguan autistik dengan keracunan merkuri

adalah waktu masuknya Thimerosal dalam vaksin di tahun 1930-an

mendahului penemuan autisme pada tahun 1943 (Ratajczak, 2011).

g. Kondisi Medis

Berbagai kondisi telah diidentifikasi sebagai kemungkinan dikaitkan

dengan gangguan autistik, termasuk fenilketonuria, rubella kongenital,

tuberous sklerosis, dan sindrom X rapuh (fragile X syndrome). Namun, penelitian telah menyebabkan kita untuk memikirkan kembali bagaimana

kuat hubungan ini, dan saat ini asosiasi terkuat adalah dengan sindrom X

Gambar

Gambar 2.1. The General Adaptation Syndrome (GAS)
Table 2.2 Area otak yang kemungkinan terlibat pada gangguan autistik
Table 2.3 Neurokimiawi pada gangguan autistik

Referensi

Dokumen terkait

gangguan tidur, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan gangguan tidur pada mahasiswa skripsi. 4) Penelitian Magdalena Mlek tahun 2011 menganalisis

cross sectional study dengan tingkat pengetahuan, pola makan, distribusi makanan pada dalam keluarga, serta status anemia ibu hamil sebagai. variabel independen dan

Application software MAG's Pro yang dihasilkan pada tugas akhir ini dirancang untuk menyusun suatu prosedur pengelasan las busur C02 dengan mudah serta bersifat

Hampir seluruh ahli ekonomi Islam, termasuk al-Māwardi, berpandangan bahwa mekanisme pasar yang benar diajarkan Rasulullah adalah mekanisme pasar bebas, tidak ada

Kebijakan ini meliputi kebijakan-kebijakan jangka pendek bagi UMKM yakni pengenalan teknologi digital dan pelatihan bagi para pelaku dan pekerja UMKM serta

“Produk yang diberikan oleh Naisha dapat dibilang dari segi kualitasnya memiliki kualitas yang nyaman untuk dipakai, dan dari segi modelnyapun memiliki model yang sangat

Konsep desain yang akan di buat yaitu dengan membuat permainan yang simple yaitu user friendly atau mudah digunakan oleh pengguna baik itu dari segi design

Adapun implikasi dalam penelitian ini yaitu dengan penggunaan Bahan Ajar Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)