BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres
2.1.1. Definisi Stres
Banyak ahli telah mengemukakan pendapat tentang definisi stres sehingga
pengertian stres berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang ahli yang
mendefinisikannya. Berikut beberapa pendapat tentang stres:
Istilah stres sendiri ditemukan oleh Hans Selye, seorang ahli fisiologi dari
Universitas Montreal. Ia merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang
sifatnya nonspesifik terhadap aksi tuntutan atasnya. Sehingga tubuh bereaksi
secara emosi (psikis) dan somatik (fisik) untuk mempertahankan kondisi fisi yang
optimal. Reaksi ini disebut GAS (General Adaptation Syndrome) (Liza, 2010). Menurut Robert S. Fieldman, stres adalah suatu proses yang menilai suatu
peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan
dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan
perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif (misalnya:
merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga). Sesuatu
didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu. (Zulistianah, 2009)
Menurut Rippetoe-Kilgore, stres adalah kondisi yang dihasilkan ketika
seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu
pertentangan, apakah itu riil ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber
daya sistem biologis, psikologis dan sosial. Dalam terminologi medis, stres akan
mengganggu sistem homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan
2.1.2. Tahap-Tahap Stres
Hans Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap
berbagai stresor yang tidak menyenangkan, baik sumber stres berupa serangan
bakteri mikroskopis, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran.
Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stres, tubuh kita seperti jam
dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis (Liza, 2009).
Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu
a. Tahap waspada (Alarm reaction Stage)
Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan
munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk
mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin
dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini disebut juga
reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaction) (Zulistianah, 2009).
b. Tahap pertahanan (Resistance Stage)
Reaksi ini merupakan tahap adaptasi dimana sistem endokrin dan sistem
simpatis tetap mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi
pada saat reaksi waspada. Reaksi terhadap stresor sudah melampaui batas
kemampuan tubuh, timbul gejala psikis dan somatik. Individu berusaha
mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan
pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatur stresor, tubuh
akan berusaha mengimbangi proses fisiologi yang terjadi pada fase
waspada, sedapat mungkin bisa kembali normal, bila proses fisiologis ini
telah teratasi maka gejala stres akan turun (Liza, 2009).
c. Tahap kelelahan (Exhaustion Stage)
Pada fase ini gejala akan terlihat jelas. Karena terjadi perpanjangan tahap
awal stres yang telah terbiasa, energi penyesuaian sudah terkuras, individu
tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber untuk penyesuaian,
timbullah gejala penyesuaian seperti sakit kepala, gangguan mental,
penyakit arteri koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada
Gambar 2.1.The General Adaptation Syndrome (GAS)
Model GAS menggambarkan mekanisme coping tubuh terhadap stres Sumber: Donatelle, 2009
2.1.3. Sumber Stres
Secara umum sumber stres dapat dibagi menjadi tiga yaitu stresor fisik,
sosial, dan psikologis
1. Stresor Fisik
Bentuk dari stressor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising,
polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimia).
2. Stresor Sosial
a. Stresor sosial, ekonomi, dan politik, misalnya tingkat inflasi yang
tinggi, tidak ada pekerjaan, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan.
b. Keluarga, misalnya peran seks, iri, cemburu, kematian anggota
keluarga, masalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan
c. Jabatan atau karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang
kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.
d. Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang
terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk.
3. Stresor Psikologis
a. Frustasi, adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada
hambatan.
b. Ketidakpastian, apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan
merasa tidak pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau
merasa selalu bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir
dan rendah diri.
2.2. Stres Pengasuhan
2.2.1. Pengertian Stres Pengasuhan
Stres pengasuhan (parenting stress) adalah keadaan psikologis bermakna yang terjadi ketika tanggung jawab pengasuhan dinilai melebihi sumber daya
seseorang, membuat seseorang merasa bahwa mereka memiliki kesulitan
memenuhi peran sebagai orang tua. Stres yang dialami orangtua secara teoritis
diyakini sebagai akibat dari karakteristik orang tua dan/atau anak, dan mungkin
merupakan hasil dari interaksi orangtua-anak. Seringkali, stres pengasuhan
tersebut dianggap disebabkan merawat anak yang memiliki ciri fisik dan
perkembangan yang dirasakan oleh orangtua sulit untuk dikendalikan dan
menyebabkan ketidakpuasan. Stres pengasuhan dapat mengalahkan kemampuan
orang tua untuk mengatasi stresor dan berakibat buruk pada orang tua, anak dan
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan
Hidangmayun (2010) dalam Chairini (2013) menjabarkan stres
pengasuhan disebabkan oleh:
a. Karakteristik Anak
1. Jenis Kelamin
Sabih dan Sajid (2008) dalam penelitiannya melaporkan bahwa orang
tua yang memiliki anak laki-laki cenderung menunjukkan tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak
perempuan.
2. Kebiasaan Anak
Kebiasaan anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi stres
pengasuhan, yaitu terkait dengan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua.
3. Usia Anak
Stres yang dialami oleh orang tua dihubungkan dengan usia anak dapat
dikaitkan dengan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Umumnya anak dengan usia muda cenderung lebih
sulit untuk menyesuaikan dirinya dibandingkan dengan anak yang
lebih tua.
b. Karakteristik Orang tua
1. Usia Orang tua
Orang tua dengan usia yang masih muda dianggap belum matang atau
belum dewasa untuk melakukan pengasuhan, sementara orang tua
yang telah lanjut usia dianggap akan mengalami kesulitan dalam
perawatan anak terkait dengan kondisi fisik yang melemah.
2. Pendidikan Orang tua
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara ibu
3. Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan Forgays (2001) dalam Chairini (2013)
menunjukkan bahwa ibu yang bekerja mengalami stres yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, namun dari jenis
pekerjaan yang dilakukan ibu tidak terdapat perbedaan stres
pengasuhan yang signifikan.
4. Penghasilan
Kelemahan ekonomi juga mempengaruhi sejauh mana orang tua
mengalami stres pengasuhan. Merawat anak dalam konteks
kemiskinan atau kekurangan materi sangatlah sulit, yaitu dapat
meningkatkan stres jika orang tua tidak dapat memberikan makanan,
pakaian, pengobatan yang adekuat, serta tempat tinggal yang menetap
dan aman.
5. Temperamen
Temperamen merupakan reaksi emosional, status perasaan, serta
atribut energi seseorang. Beberapa penelitan menunjukkan terdapat
interaksi yang signifikan antara intoleransi orang tua dan status
kekerasan oleh orang tua.
6. Dukungan sosial
Beberapa penelitian menyebutkan tentang pentingnya melihat variabel
dukungan sosial dengan pengalalaman stres pengasuhan yang dialami
orang tua.
2.3. Dukungan Sosial
2.3.1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial berasal dari kata dukungan dan sosial. Sosial artinya
menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu dan dukungan artinya: 1)
mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2)
memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain
Menurut Dimatteo (1991) dalam Maysithah (2012), dukungan sosial
adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman,
keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain. Saronson (1991) dalam Masyithah
(2012) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu
keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat
dipercaya. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa orang lain
memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.
2.3.2. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diterima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn &
Antonoucci (Afriyanti, 2011) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi
3 kategori, yaitu:
1. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada
sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya.
Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.
2. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit
berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai
dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga,
dan teman sepergaulan.
3. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang
memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.
Meliputi dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.
2.3.3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2002) dalam Afriyanti (2011), ada lima bentuk
dukungan sosial, yaitu:
1. Dukungan Emosional
Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada
seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa
mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan
personal, dan cinta.
2. Dukungan Penghargaan
Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif
kepada orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide
ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara
individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu
yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya
diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika
individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada
kemampuan yang dimilikinya.
3. Dukungan Instrumental
Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu
dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi
atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang
sedang stres.
4. Dukungan Informasi
Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan
informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat
dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres
(DiMatteo, 1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian
tentang bagaiman individu melakukan sesuatu. Misalnya individu
mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah
penyakitnya kambuh lagi.
5. Dukungan Kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana
anggota-anggotanya dapat saling berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang
2.4. Hubungan Stres dengan Dukungan Sosial
Dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat
mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu:
1. Model Efek Langsung (direct effect hypothesis)
Model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis
individu dengan adanya ataupun tanpa tekanan, dengan kata lain seseorang
yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa adanya tekanan
ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut Sarafino (2002)
melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat yang sama
baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada
tekanan (Afriyanti, 2008).
2. Model Buffering (buffering bypothesis)
Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku
sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model
ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi dari efek negatif stres dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan
oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini bekerja dengan
mengarahkan kembali dari hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur
keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini
berfokus pad fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan
sosial yang ada (Lubis, 2006).
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam
mempengaruhi kejadian efek stres. Menurut Sarafino (1998) dalam
Afriyanti (2006) beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan
sosial, antara lain:
a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang
membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak
cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara
b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
individu.
c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan
sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat menggangu program
rehabilitas yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan
individu menjadi tergantung pada orang lain.
2.5. Gangguan Autistik
2.5.1. Pengertian Gangguan Autistik
Gangguan autistik pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada
tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia
menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap
lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam
dunianya sendiri (Mahmud, 2010).
World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan gangguan autistik khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum
usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (Buku Penanganan
dan Pendidikan Autis di YPAC).
Gangguan autistik merupakan salah satu gangguan perkembangan yang
merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum
Disorders (ASD). ASD didiagnosis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition - Text Revision (DSM-IV-TR).
Terdapat lima gangguan yang terkadang disebut gangguan perkembangan pervasif
(pervasive developmental disorders; PDDs), yaitu antara lain gangguan autistik (autisme klasik), sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif yang tidak
Rett, dan gangguan disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder; CDD) (National Institute of Mental Health, 2011).
2.5.2. Kriteria Diagnostik Gangguan Autistik
Gangguan autistik dapat dideteksi berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-IV sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Autistik berdasarkan DSM-IV Krieria Diagnostik untuk Gangguan Autistik berdasarkan DSM-IV
A. Total enam (atau lebih) hal dari (1), (2), dan (3), dengan sekurangnya dua dari (1), dan masing-masing satu dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya dua dari berikut ini:
(a) Gangguan jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal multiple seperti tatapan mata, ekspresi wajah, dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi social
(b) Gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangan
(c) Tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi kesenangan, minat, atau pencapaian dengan orang lain (misalnya, tidak memamerkan, membawa, atau menunjukkan benda yang menarik minat)
(d) Tidak ada timbal balik sosial atau emosional
(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi seperti yang ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut ini :
(a) Keterlambatan dalam, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa ucapan (tidak disertai oleh usaha untuk kompensasi melalui cara komunikasi lain seperti gerak-gerik atau mimik)
(b) Pada individu dengan bicara yang adekuat, gangguan jelas dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain
(c) Pemakaian bahasa atau bahasa idiosinkratik secara stereotipik atau berulang
(d) Tidak adanya berbagai permainan khayalan atau permainan pura-pura sosial yang spontan yang sesuai menurut tingkat perkembangan
(3) Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya datu dari berikut ini:
(a) Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat stereotipik dan terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya
(b) Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional
(c) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya menjentikkan atau memuntirkan tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh)
B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurangnya satu bidang berikut, dengan onset sebelum 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, (3) permainan simbolik atau imaginatif.
C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegratif masa anak-anak.
2.5.3. Gejala Klinis
Gejala klinis menurut Kaplan, dkk, 2011 adalah:
1. Gangguan kualitatif pada interaksi sosial
Semua anak autistik gagal menunjukkan keakraban yang lazimnya
terhadap orang tua mereka dan orang lain. Terlihat juga kegagalan mereka
untuk bermain dengan teman sebaya dan membuat persahabatan,
kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial mereka, dan terutama kegagalan
mereka untuk mengembangkan sikap empati.
2. Gangguan komunikasi dan bahasa
Anak-anak autistik enggan untuk berbicara dan tidak ada usaha untuk
kompensasi (misalnya melalui mimik atau gerak). Penyimpangan bahasa,
seperti keterlambatan bahasa adalah karakteristik untuk anak autistik.
Kira-kira 50 persen dari semua anak autistik tidak pernah menggunakan
pembicaraan yang berguna. Pembicaraan mereka mengandung ekolalia
(meniru/membeo), baik segera atau terlambat atau frasa stereotipik di luar
konteks. Kelainan tersebut sering disertai dengan pembalikkan kata
sebutan, yaitu seorang anak perempuan berkata, “kamu ingin mainan” saat
ia bermaksud menginginkan mainan.
3. Perilaku stereotipik
Aktivitas dan permainan anak autsitik adalah kaku, monoton, dan
berulang. Fenomena ritualistik dan kompulsif sering ditemukan pada anak
autistik. Anak-anak autistik sering kali memutarkan, membanting, dan
membariskan benda-benda dan menjadi terlekat pada benda mati.
4. Ketidakstabilan mood dan afek
Beberapa anak autistik menunjukkan perubahan emosional yang tiba-tiba,
dengan ledakan tertawa atau tangisan tanpa terlihat alasan dan tidak
mengekspresikan pikiran yang sesuai afek.
5. Respon terhadap stimuli sensorik
Anak-anak autistik mungkin responsif secara berlebihan atau kurang
responsif terhadap stimuli sensorik (sebagai contoh, suara dan nyeri).
padanya, sehingga mereka sering disangka tuli. Banyak anak autistik yang
memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respons terhadap
nyeri. Malahan, anak autistik mungkin melukai dirinya sendiri secara
parah dan tidak menangis. Beberapa anak secara khusus menikmati
stimulasi vestibular seperti berputar-putar, berayun-ayun, dan bergerak
naik dan turun.
6. Gejala perilaku lainnya
Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang sering pada anak autistik yang
muda. Hipokinesis lebih jarang, jika ada, sering kali berganti-ganti dengan
hiperaktivitas. Agresivitas dan temper tantrum terlihat sering kali dengan
alasan yang tidak jelas, atau disebabkan perubahan atau tuntunan. Perilaku
melukai diri sendiri adalah berupa membenturkan kepala, menggigit,
mencakar, dan menarik rambut. Rentang perhatian yang pendek,
ketidakmampuan sama sekali untuk memusatkan pada pekerjaan,
insomnia, masalah pemberian makanan, enuresis (inkontinensi
urin/mengompol) dan enkopresis (inkontinensi feses) juga sering
ditemukan.
7. Fungsi intelektual
Kira-kira 40 persen anak-anak dengan autisme infantil memiliki nilai
intelegensi (IQ) dibawah 50-55 (retardasi mental sedang, berat atau sangat
berat): 30 persen memiliki nilai 50-70 (retardari mental ringan); 30 persen
memiliki nilai 70 atau lebih. Kira-kira seperlima dari anak autistik
memiliki kecerdasan nonverbal yang normal. Nilai IQ anak autistik
cenderung mencerminkan masalah dengan keterampilan verbal dan
abstraksi, bukannya dengan keterampilan visuospasial dan daya ingat jauh,
yang mengesankan kepentingan defek dalam fungsi yang berhubungan
2.5.4. Etiologi a. Genetik
Susan Folstein dan Michael Rutter (1977) menunjukkan bahwa tingkat
gangguan autistik pada kembar identik (monozigot) jauh tinggi daripada
kembar same-sex fraternal (dizigotik). Kembar identik memiliki gen identik, sedangkan kembar fraternal hanya berbagi beberapa gen.
Implikasi dari temuan ini adalah bahwa ada potensi kontribusi genetik
yang sangat kuat pada gangguan autistik.
Penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat gangguan autistik
meningkat pada saudara-saudara dari anak autistik. Penelitian lain juga
melihat hubungan persaudaraan dengan gangguan autistik, dan menilai
bahwa walaupun saudara tidak memiliki gangguan autistik, mereka
kelihatan mengalami peningkatan pada masalah lain, termasuk bahasa dan
kesulitan belajar.
Meskipun penelitian telah semakin menyoroti pentingnya faktor
genetik pada gangguan autistik, jawaban akhir belum di temukan.
Tampaknya beberapa gen mungkin terlibat, perkiraan jumlah gen berkisar
antara 4 sampai 20 atau bahkan lebih. Mungkin juga tidak semua bentuk
gangguan autistik memiliki dasar genetik yang sama tetapi mungkin
terjadi dengan cara lain. Misalnya, mungkin ada masalah khusus pada saat
pembuahan ketika beberapa materi genetik mungkin hilang atau perubahan
genetik (mutasi) mungkin terjadi. Mungkin saja hal-hal lain yang terlibat,
misalnya kesulitan kelahiran dini mungkin berhubungan dengan
kecenderungan genetik untuk menyebabkan gangguan autistik. Upaya
besar sekarang sedang dilakukan untuk mengidentifikasi gen yang
potensial pada gangguan autistik. Gen-gen yang mungkin terlibat (dikenal
sebagai ''calon gen'') saat ini sedang diselidiki. Tampaknya mungkin
bahwa beberapa penyebab genetik pada gangguan autistik akan
b. Gangguan Kejang dan Kelainan Elektroensefalografik
Risiko yang lebih tinggi dari perkiraan terjadi pada anak autistik yang
pernah mengalami kejang. Gangguan kejang (juga disebut sebagai epilepsi
atau kejang) adalah sekelompok kondisi yang dihasilkan dari kelainan
aktivitas listrik di otak. Salah satu cara dokter melihat aktivitas kejang
adalah melalui electroencephalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik di otak. Penelitian awal dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa
sebanyak 50% dari individu dengan gangguan autistik memiliki kelainan
pada EEG mereka.
c. Neuroanatomi dan Studi Pencitraan Otak
Berbagai metode dapat digunakan untuk mempelajari otak, mulai dari
penelitian jaringan otak yang diperoleh pada saat kematian (studi
postmortem) hingga penelitian pada otak yang masih hidup dan aktif
melalui functional magnetic resonance imaging (fMRI). Sejumlah temuan layak disebutkan. Otopsi dan pencitraan otak menunjukkan bahwa
setidaknya beberapa individu dengan gangguan autistik mengalami
peningkatan ukuran otak dan perkembangan ini terjadi pada tahun pertama
kehidupan atau lebih. Beberapa penelitian telah mengusulkan
kemungkinan bahwa ada beberapa perubahan dalam struktur otak,
khususnya di bagian-bagian dari otak yang memproses informasi,
emosional atau sosial (sistem limbik) dan mungkin di otak kecil
(cerebellum). Cerebellum adalah bagian dari otak yang antara lain, membantu mengkoordinasikan dan mengontrol gerakan.
Table 2.2 Area otak yang kemungkinan terlibat pada gangguan autistik Area yang kemungkinan
kesulitan
Fungsi
Korteks serebral prefrontal Pemikiran sosial
Hipotalamus Tingkah laku
Amygdala Orientasi sosial, pembelajaran emosional
Gyrus fusiformis Pengenalan wajah
Gyrus temporalis media Pengenalan ekspresi wajah
d. Neurokimiawi
Sel-sel saraf menggunakan berbagai jenis bahan kimia untuk
berkomunikasi satu sama lain. Sejumlah sistem ini telah dipelajari dalam
gangguan autistik, dan ada beberapa usulan dari perubahan dalam sistem
ini. Sebagian besar penelitian telah memusatkan perhatian pada serotonin
(5-HT atau 5-hydroxytryptamine). Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kadar serotonin dalam darah sering meningkat pada individu
dengan autisme. Akan tetapi, hubungan antara tingkat darah dan tingkat
otak pada kimia ini tidak selalu jelas.
Studi lain telah difokuskan pada dopamin, yang terlibat dalam bagian
otak yang mengontrol gerakan dan merupakan bagian dari sistem yang
lebih luas yang berhubungan dengan tingkat kewaspadaan dan bangkitan.
Banyak obat yang digunakan untuk mengobati gejala gangguan autistik
mempengaruhi bahan kimia ini.
Table 2.3 Neurokimiawi pada gangguan autistik
Neurotransmitter Fungsi terkait dengan gangguan autistik Serotonin Mengatur tidur, mood, suhu tubuh
Kadarnya tinggi dalam darah pada banyak individu dengan gangguan autistik
Dipengaruhi oleh beberapa obat.
Dopamin Pengendalian fungsi motorik.
Satu kelas obat-obatan yang digunakan dalam gangguan autistik (neuroleptik) memblokir fungsi dopamin
Norepinefrin Terlibat dalam pengaturan bangkitan (arousal), respon stres, memori, dan kecemasan; dipengaruhi beberapa obat
e. Faktor Perinatal
Selama gestasi, perdarahan maternal setelah trimester pertama dan
mekonium dalam cairan amnion telah dilaporkan lebih sering ditemukan
pada anak autistik dibandingkan populasi umum. Dalam periode neonatus,
anak autistik memiliki insiden tinggi sindrom gawat pernapasan dan
anemia neonatus. Beberapa bukti menyatakan tingginya insidensi
f. Lingkungan
Perhatian untuk melihat kemungkinan bahwa faktor lingkungan
berkontribusi terhadap gangguan autistik berasal dari beberapa sumber,
termasuk laporan dari serangkaian kasus, sebuah asumsi bahwa tingkat
gangguan autistik telah meningkat dari waktu ke waktu, dan berhubungan
dengan lingkungan yang berpotensial racun seperti merkuri (atau
thimerosal dalam vaksin). Ada bukti bahwa Thimerosal (yang 49% etil
merkuri) memang berbahaya. Sejak tahun 1930-an, Thimerosal telah
banyak digunakan sebagai agen antibakteri pada vaksin. Thimerosal telah
terlibat sebagai penyebab gangguan autistik. Otak pada anak autistik
menunjukkan ketidakteraturan neurotransmitter yang hampir identik
dengan yang timbul dari paparan merkuri, yaitu, perubahan serotonin dan
konsentrasi dopamin, kadar epinefrin dan norepinefrin dalam plasma dan
otak, kadar serum glutamat yang tinggi, dan kekurangan asetilkolin di
hipokampus. Karena kesamaan secara luas antara gangguan autistik dan
keracunan merkuri, kemungkinan hubungan sebab akibatnya besar. Bukti
lain yang menghubungkan gangguan autistik dengan keracunan merkuri
adalah waktu masuknya Thimerosal dalam vaksin di tahun 1930-an
mendahului penemuan autisme pada tahun 1943 (Ratajczak, 2011).
g. Kondisi Medis
Berbagai kondisi telah diidentifikasi sebagai kemungkinan dikaitkan
dengan gangguan autistik, termasuk fenilketonuria, rubella kongenital,
tuberous sklerosis, dan sindrom X rapuh (fragile X syndrome). Namun, penelitian telah menyebabkan kita untuk memikirkan kembali bagaimana
kuat hubungan ini, dan saat ini asosiasi terkuat adalah dengan sindrom X