PEMBENTUKAN AKHLAK MELALUI BUDAYA SEKOLAH
DI SMP NEGERI 2 CIBINONG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh
Rini Fadilah
NIM 1112011000084
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ABSTRAK
Rini Fadilah (NIM: 1112011000084). Pembentukan Akhlak Melalui Budaya Sekolah di SMP Negeri 2 Cibinong. Skripsi. Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode yang digunakan sekolah dalam membentuk akhlak peserta didik di SMP Negeri 2 Cibinong, dan akhlak peserta didik yang terbentuk. Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan tentang pembentukan akhlak melalui budaya sekolah di SMP Negeri 2 Cibinong. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa metode yang digunakan sekolah dalam pembentukan akhlak peserta didik melalui budaya sekolah di SMP Negeri 2 Cibinong adalah melalui tahap-tahap pembiasaan dengan melaksanakan kegiatan yang diwajibkan oleh sekolah, memberikan tugas, memberikan hukuman bagi pelanggar, memberi penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi, teladan dan nasehati serta membimbing. Adapun pembiasaan yang ada di sekolah berupa budaya menanam tanaman, tidak membuang sampah sembarangan, budaya senyum, sapa, sholat dhuha, sholat berjamaah, infaq atau sodaqoh dan membaca. Hasil yang dicapai setelah melakukan budaya sekolah adalah perubahan afektif dan akademik terhadap peserta didik ke arah yang lebih baik, akhlak peserta didik semakin meningkat, tingkat kedisiplinan semakin tinggi, dan terbentuk beberapa akhlak lainya seperti tanggung jawab, peduli lingkungan, peduli sosial, kreatif dan gemar membaca. Faktor pendukung proses pembentukan akhlak di SMP Negeri 2 Cibinong adalah komitmen bersama, antusias peserta didik dan motivas orang tua. Sedangkan faktor penghambatnya adalah beberapa oknum peserta didik yang kurang respect, beberapa orang tua yang kurang memotivasi anaknya, kurangnya pendanaan sekolah, letak geografis rumah yang terlalu jauh. Dengan demikian dapat disimpulkan, tahapan-tahapan pembentukan akhlak melalui budaya sekolah memiliki konstribusi yang baik untuk membantu membentuk akhlak yang baik bagi diri peserta didik.
ii
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan nikmat kepada hambanya hingga tidak terhitung jumlah dan kadarnya, memberikan kami waktu sampai detik ini sehingga kami masih dapat menjalankan kewajiban yaitu menuntut ilmu. Sholawat dan salam tak lupa kami
sampaikan kepada baginda alam pejuang umat Islam Nabi Muhammad SAW yang menunjukan kepada kami jalan kebenaran yang diridhoi Allah Swt.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis yang telah menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, Terselesaikannya karya ilmiah ini merupakan hasil yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung berupa doa, semangat, sumbangan pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan karya ilmiah. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang membantu dalam penulisan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.A dan Hj. Marhamah Shaleh, L.c, M.A, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Muhammad Dahlan, M. Hum, selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan arahan, motivasi untuk selalu semangat dan segera
iii
6. Nina Nurmasari, S.Pd, M.Pd, selalu kepala SMP Negeri 2 Cibinong, yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan penulis untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut. Semoga amal baik ibu memudahkan penulis melaksanakan penelitian, menjadi jalan mudah ibu untuk menuju jalan ke surga, amin.
7. Kedua orang tua yaitu ayahanda Bapak Baharuddin dan ibunda Hj. Amanih yang aku cintai, terima kasih tak terhingga atas curahan cinta kasih dan doa yang senantiasa terlantun mengiringi ayunan langkah penulis dalam menggapai cita. Yang telah banyak memberikan semangat, motivasi meteri dan moril dengan penuh keihklasan dan kasih sayang, semoga Allah Swt selalu memberikan rahmat, perlindungan dan surga atas segala keikhlasan dan ketulusan beliau berdua.
8. Kakak-kakakku tersayang Syaiful Anwar dan Khoirul anwar, dan adik-adik yang teteh banggakan Miftahul Anwar, Lu’lu’ul Anwar dan Rizky Makiyatul Akbar. Terima kasih atas motivasi yang kalian berikan semoga Allah selalu memberikan kesuksesan untuk kalian semua.
9. Keluarga PAI C dan seluruh teman-teman Pendidikan Agama Islam angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala motivasi dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah membukakan pintu kesuksesan untuk kita semua.
10.Een Hujaemah, Nurul Zairina Luthfiah, Fuji Islami, Syifa Syarifah, Nurmala, dan Ranti Tri Kandita selaku teman yang menjadi sahabat bahkan seperti saudara yang selalu memberikan motivasi serta hiburan di saat penat
iv
Al-Insānu mahalul khata wa an-nisyān, dalam istilah bahasa Arab. Tak ada
gading yang tak retak, dalam istilah bahasa Indonesia. No body is perfect because
the man is not an angel, dalam istilah bahasa Inggris. Penulis menyadari penulisan
karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis mohon maaf yang seluas-luasnya dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi penyempurnaan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi wawasan bagi cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Ciputat, 03 Januari 2017
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN PENULIS
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Penelitian Relevan ... 9
BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG PEMBENTUKAN AKHLAK DAN BUDAYA SEKOLAH A. Pengertian Akhlak ... 11
1. Pengertian Akhlak ... 11
2. Dasar Akhlak ... 13
3. Tujuan Pembentukan Akhlak ... 14
4. Ruang Lingkup Pembentukan Akhlak ... 15
5. Metode Pembentukan Akhlak ... 18
6. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ... 20
B. Pengembangan Nilai-Nilai Akhlak ... 26
C. Pengertian Budaya Sekolah... 33
vi BAB III : METODELOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitia... 38
B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38
C. Unit Analisis ... 39
D. Sumber Data ... 39
E. Teknik Pengumpulam Data ... 40
F. Teknik Keabsahan dan Analisis Data ... 41
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMP Negeri 2 Cibinong ... 43
1. Sejarah Berdirinya SMP Negeri 2 Cibinong ... 43
2. Visi, Misi dan Tujuan SMP Negeri 2 Cibinong ... 45
3. Kurikulum dan Proses Pembelajaran SMP Negeri 2 Cibinong ... 49
4. Keadaan Pendidik dan Peserta Didik SMP Negeri 2 Cibinong ... 49
5. Keadaan Sarana dan Prasarana SMP Negeri 2 Cibinong ... 49
B. Deskripsi Data ... 54
C. Temuan Penelitian ... 75
D. Pembahaan Hasil Penelitian ... 82
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 93
B. Kritik dan Saran ... 94
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Pendidik ... 49
Tabel 4.2 Jumlah Peserta Didik KelasVII ... 51
Tabel 4.3 Jumlah Peserta Didik KelasVIII ... 52
Tabel 4.4 Jumlah Peserta Didik Kelas IX ... 52
Tabel 4.5 Gedung Sekolah ... 53
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Sumber Penelitian: Taman Vertikal ... 54
Gambar 4.2 Sumber Penelitian: Tanaman Green Squad ... 55
Gambar 4.3 Sumber Penelitian: Kawasan Tanpa Rokok ... 58
Gamvar 4.4 Sumber Penelitian: Budaya 4s... 60
Gambar 4.5 Sumber Penelitian: Kegiatan Sholat Dhuha ... 62
Gambar 4.6 Sumber Penelitian: Kegiatan Sholat Dhuha ... 61
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Intrumen Wawancara Guru ... 99
Lampiran 2 Intrumen Wawancara Siswa ... 100
Lampiran 3 Hasil Wawancara Wakil Kepala Sekolah ... 101
Lampiran 4 Hasil Wawancara Kepala Bidang Kurikulum ... 104
Lampiran 5 Hasil Wawancara Kepala Bidang Kesiswaan ... 107
Lampiran 6 Hasil Wawancara Siswa ... 110
Lampiran 7 Hasil Wawancara Siswa ... 113
Lampiran 8 Hasil Wawancara Siswa ... 116
Lampiran 9 Catatan Lapangan ... 119
Lampiran 10 Catatan Lapangan ... 120
Lampiran 11 Catatan Lapangan ... 121
Lampiran 12 Catatan Lapangan ... 122
Lampiran 13 Catatan Lapangan ... 123
1
A.
Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, sekolah dituntut untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, manusia yang berkualitas diciptakan melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan saja, tetapi pendidikan yang mengacu kepada pembentukkan pola prilaku siswa yaitu pendidikan Akhlak.
Menurut Omar Muhammad Toumy Assyaibani (2004:30), mengartikan pendidikan sebagai perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tataran tingkah laku individu maupun pada tataran kehidupan sosial serta tataran relasi dengan alam sekitar, atau pengajaran sebagai
aktivitas asasi dan proporsi di antara profesi di masyarakat. Pendidikan menfokuskan perubahan tingah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan
akhlak.1
Dalam UU N0. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional mendefinisikan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.2
Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan, pendidikan memiliki tujuan yang tertera pada pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
1
Tatang S, Ilmu Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 13.
2
jawab.3
Menurut pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia sebagai hamba Allah, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:
Artinya:”Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah” (Q.S. adh-Dhariyat, 51:56).4
Dalamhadits Rasullullah SAW:
Artinya: “Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnaan keluhuran budi
pekerti.” (HR. Ahmad).5
Dari peryataan di atas tujuan pendidikan nasional beriringan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu dalam undang-undang, ayat dan hadits tersebut sangat nyata bahwasanya selain menciptakan manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, manusia di dunia ini juga diciptakan agar menjadi makhluk yang bertakwa,
berakhlah mulia dan memiliki akhlak yang baik.
Pendidikan karakter atau akhlak bukanlah sebuah topik baru dalam dunia pendidikan. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas, dan memiliki perilaku baik. Kata cerdas dan baik bukanlah dua kata yang sama, cerdas condong pada kemampuan menguasi ilmu pengetahuan, sedangkan baik condong pada prilaku manusia itu sendiri.
3
Undang-undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasioanal.
4
Al-Qur’anul Karim 5
kebijakan mengenai pendidikan akhlak. Pendidikan itu dibuat sebagai bagian utama dari pendidikan sekolah. Mereka telah mendidik akhlak masyarakat setara dengan pendidikan intelegensi, mendidik kesopanan setara dengan pendidikan literasi, mendidik kebijakan setara dengan pendidikan ilmu pengetahuan. Mereka pun telah mencoba untuk membentuk masyarakat yang dapat menggunakan intelegensi mereka untuk memberikan manfaat baik bagi masyarakat maupun bagi dirinya sendiri sebagai bagian dari masyarakat yang membangun kehidupan yang lebih baik.6
Usaha memperbaiki moralitas anak bangsa. Kementrian Pendidikan Nasional berupaya menekankan pendidikan akhlak di sekolah. Nyatanya, kehidupan saat ini, manusia sudah kembali pada kehidupan jahiliah, di mana prilaku-prilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku justru dilakukan tanpa berpikir secara mendalam dan menelaah konsekuensi yang akan diterima. Banyak peristiwa yang menggambarkan hal-hal yang berada di luar norma atau syariat yang telah dianjurkan oleh agama, baik di lingkungan keluarga, pendidikan atau pun masyarakat. Berita pendidikan yang beredar saat ini adalah kasus penganiayaan peserta didik kepada pendidik dan pelecehan seksual. Tidak hanya itu tindakan peserta didik yang seperti mencontek, berlaku tidak sopan, berkata kasar, dan membuli teman merupakan fakta bahwa moralitas bangsa ini seolah telah rapuh dan tergadaikan di tengah arus deras kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari paparan di atas, nampaknya tidak ada hubungan antara ilmu pengetahuan dengan tingkah laku manusia. Prilaku yang buruk, perbuatan yang melanggar norma sosial, hukum, dan agama jelas haram hukumnya. Semua orang mengetahui bahwa contoh prilaku di atas merupakan perbuatan buruk tapi mengapa masih tetap bermunculan dan dilanggar. Pola pikir itulah yang menjadi
pertanyaan besar bagi perkembangan moral dewasa ini. Kesadaran terhadap ilmu
6
telah diajarakan di lembaga pendidikan mulai dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi. Ini menggambarkan bahwa sekolah kita belum menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang menjadi budaya prilaku di sekolah.7
Sejatinya ilmu yang telah diajarkan di sekolah dapat dijadikan sebagai benteng dan membudaya. Sekolah harus mampu menerapkan diri sebagai miniatur budaya dalam masyarakat. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga membudayakan ilmu untuk perilaku peserta didik. Sekolah harus menjadi bagian terpenting dalam proses perkembangan dan kemajuan
masyarakat. Sekolah tidak harus teralienasi dari masyarakat.
Sampai saat ini, masyarakat masih meyakini bahwa sekolah merupakan pusat pendidikan nilai-nilai. Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat, tentu saja menjadi sebuah kehormatan bagi sekolah. Namun, yang sering dilakukan para penyelenggara pendidikan adalah mentransfer ilmu dari otak pendidik ke otak peserta didik dan melupakan bagaimana sebuah sekolah menjadi pusat kreasi dan membangun nilai-nilai pendidikan serta menciptakan karakter yang baik bagi warganya.
Menurut Harry Tjahjono, dalam bukunya “Menjadi Pendekar di Atas Pendekar” sudah waktunya pihak penyelengara pendidikan beserta civitas akademika memikirkan tentang budaya sekolahnya masing-masing. Ini bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, sangat memungkinkan dengan adanya budaya sekolah dapat memberikan efek lain yang positif. misalnya para peserta didik tidak terlalu mudah mengikuti nafsu-nafsu influsnya dalam sosialisasi seperti perbuatan asusila, tawuran antar pelajar atau penyimpangan perilau lainnya.8
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk prilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian,
7
Ibid., h. 7-8. 8
prilaku peserta didik. Hal ini sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring peserta didik untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together).9
Upaya pemerintah dalam membangun sikap peserta didik tercantum dalam kurikulum 2013 yang tertera pada kompetensi inti 1 dan 2. Yaitu, peserta didik
harus memiliki sikap spiritual (agama) dan sikap sosial (masyarakat). Sikap yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan saat ini tidak akan tercapai jika tidak ada usaha dan dukungan dari masing-masing lembaga sekolah untuk mengembangkannya. Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstrukvis
(developmental) yang di dasari oleh pemikiran bahwa setiap individu merupakan
bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri.
Tugas pendidikan adalah memotivasi agar peserta didik mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarah pada persiapan menghadapi tantangan masa depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan akhlak, performa yang konkrit dan terukur yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotor.10 Oleh karena itu, untuk menunjang terbentuknya sikap siswa, lembaga harus menerapkan budaya-budaya sekolah yang mendidik agar menciptakan prilaku peserta didik yang baik dan membentuk akhlak pada masing-masing individu.
Banyak yang tidak menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para peserta didik untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang mempunyai bakat pada potensi
akademik yang tinggi saja. Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang
9
Zulfikri Anas, Sekolah untuk Kehidupan, (Jakarta: AMP Press, 2013), cet. 1, h. 198.
10
diukur dengan kemapuan matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa dan menghafal).11
Dari awal tahun 2016, sedikitnya ada beberapa kasus yang menjadi sorotan media, mulai dari orang tua dan anaknya sebagai peserta didik mengeroyok pendidik, kekerasan pendidik terhadap peserta didik, pelecehan seksual di sekolah, bahkan ada peserta didik yang duduk di samping pendidik dan merokok sambil menaikkan kakinya ke atas meja mengajar dan masih banyak lagi. Kejadian tersebut merupakan prilaku yang menyimpang dalam dunia pendidikan,
dengan kejadian itu menjadi bukti bahwa pendidikan bangsa Indonesia sudah mulai melemah.
Pengamat Kebijakan Publik UGM, Dr. Soc. Pol Agus Heruanto Hadna, menilai fenomena melemahnya akhlak peserta terjadi akibat sistem pendidikan di Indonesia mengabaikan pendidikan prilaku dan akhlak. Menurutnya, “pendidikan di Indonesia lebih banyak menekankan pada aspek kognitif. Sementara itu, aspek prilaku cenderung dilupakan. Kondisi ini mengakibatkan lemahnya aspek prilaku dalam pendidikan. Hal ini terjadi tidak hanya pada peserta didik, tetapi juga di pihak pendidik. Jadi, ada ketidakseimbangan antara pendidikan kognitif dan prilaku (afektif)”. Billy Graham mengatakan: “Ketika kehilangan kekayaan anda tidak kehilangan apa-apa, ketika kehilangan kesehatan anda kehilangan sesuatu, ketika kehilangan karakter anda kehilangan segalanya”.12
Melihat fakta di atas, sudah saatnya lembaga pendidikan bergerak dan membangun akhlak anak bangsa dengan semaksimal mungkin. SMP Negeri 2 Cibinong merupakan salah satu sekolah yang berada di Kabupaten Bogor. Sekolah tersebut terkenal dengan sekolah yang unggul di kalangan masyarakat. SMP Negeri 2 Cibinong memiliki visi dan misi untuk menjadikan sekolah yang unggul dalam prestasi, kompetitif, berwawasan luas, berkarakter dengan
11
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), cet. 15, h. 323. 12
kegiatan dan pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan di sekolah, baik dari aspek lingkungan, akademik dan keagamaan melalui pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak yang dilaksanakan sekolah tujuannya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, memberikan kebebasan, berkreasi, meningkatkan nilai akademik dan afektif peserta didik.
Adanya budaya-budaya yang diterapkan di sekolah, pendidik dan warga sekolah lainnya merasakan ada perkembangan akhlak yang lebih baik dalam diri peserta didik. bahkan dalam perjalanan penerapan budaya tersebut, orang tua
peserta didik pun merasakan dampak positif yang timbul dari anaknya.
SMP Negeri 2 Cibinong menjadi sekolah percontohan beberapa budaya, untuk lembaga pendidikan lain yang ada di Kabupaten Bogor. Hal ini tentunya menjadi sebuah apresiasi bagi sekolah untuk selalu mengembangkan budaya dalam rangka membentuk akhlak peserta didik.
Melihat hal tersebut, maka penulis sangat tertarik melakukan penelitian
yang berjudul “PEMBENTUKAN AKHLAK MELALUI BUDAYA
SEKOLAH DI SMP NEGERI 2 CIBINONG".
B.
Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
1.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
a. Pendidikan di Indonesia belum berhasil membentuk akhlak peserta didik yang baik.
b. Banyak terjadi penyimpangan prilaku peserta didik baik di keluarga, sekolah atau pun masyarakat.
budaya sekolah.
2.
Batasan Masalah
Dari beberapa identifikasi yang telah disebutkan, maka perlu dijelaskan
pembatasan penelitian agar peneliti dapat memfokuskan pada masalah yang terkait dan tidak keluar dari pembahasan penelitian. Oleh karena itu pembatasan masalah penelitian ini adalah terkait dengan pembentukan akhlak peserta didik melalui budaya sekolah di SMP Negeri 2 Cibinong.
3.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Pembatasan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
a. Bagaimana metode yang digunakan sekolah dalam membentuk akhlak peserta didik di SMP Negeri 2 Cibinong?
b. Bagaimana Akhlak peserta didik di SMP Negeri 2 Cibinong?
c. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam proses pembentukan akhlak di SMP Negeri 2 Cibinong?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah tercantum di atas maka penulis ingin menyampaikan tujuan dan manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Penulis
Memberikan informasi dan bahan perbandingan dalam proses pembentukan karakter siswa dan diharapkan pula memberikan sumbangan yang baik bagi lembaga pendidikan pada umumnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. 3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan rujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian yang akan dilakukan dimasa yang akan dating
D.
Penelitian Relevan
1. Penelitian oleh Marliya Solihah dengan judul Penanaman Karakter Pada Siswa di MAN Wonokromo. Hasil penelitian menunjukan: 1) Pelaksanaan proses penanaman karakter di MAN Wonokromo Bantul dilakukan dengan menggunakan berbagai macam kaidah, yaitu kaidah kebertahapan, kesinambungan, momentum, motivasi interistik, dan kaidah pembimbing. 2) Hasil yang dicapai adalah kedisiplinan warga madrasah meningkat cukup pesat, religiusitas warga madrasah juga semakin membaik, kejujuran peserta didik juga mulai tertanam serta prestasi siswa-siswi dari tahun ke tahun juga mengalami kenaikan cukup tinggi baik akademik maupun non akademik. 3) Faktor pendukungnya adalah (a) Kerja sama yang baik antara guru dan karyawan, (b) Tersedianya fasilitas yang memadai, (c) Mayoritas anak-anak MAN Wonokromo bermukim di pondok pesantren. Adapun faktor penghambatnya adalah (a) Kurangnya kesadaran peserta didik diatasi dengan mengadakan pelatihan soft skill, (b) Kondisi orang tua dan lingkungan tempat
tinggal yang kurang mendukung, hal ini diatasi dengan mengadakan paguyuban wali murid.13
2. Penelitian oleh Muhammad Khoiruddin dan Susiwi dengan judul penelitian Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Budaya Sekolah di Sekolah
13
Nilai budaya yang menjadi trade mark SIT Salman Al Farisi Yogyakarta adalah integratif, produktif, kreatif dan inovatif, qudwah hasanah, kooperatif, ukhuwah, rawat, resik, rapi dan sehat, dan berorientasi mutu. Bermodal nilai dan karakter yang dikembangkan melalui budaya sekolah serta bukti nyata yang telah dibayarkan oleh SIT Salman Al Farisi Yogyakarta dengan tertanamnya nilai-nilai budaya pada semua civitas akademika maka SIT Salman Al Farisi Yogyakarta hingga tahun 2012 tetap mendapatkan minat dan animo masyarakat untuk mengenyam pendidikan di lingkungan SIT Salman
Al Farisi Yogyakarta.14
14
11
A.
Pembentukan Akhlak
1.
Pengertian Akhlak
Akhlak, berasal dari bahasa Arab, (Khuluqun) berarti perangai,
sedang jama’nya adalah (Akhlakun).1 yang menurut logat diartikan:
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut
mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan "khalqun"
yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan "khaliq"
yang berarti pencipta dan "makhluq" yang berarti yang diciptakan.2
Dalam kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, akhlak adalah adab, budi pekerti, etika, fi’il, integritas, kesusilaan, moral, perangai, tabiat, tata susila, watak.3
Menurut Heny Nerendrany mengutip dari Ibnu Maskawih, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.4
Menurut Rosihon Anwar mengutip dari Imam al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menyatakan: Akhlak adalah daya kekuatan (sifat) yang
1
Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf (Dalam Konstruksi Piramida Ilmu Islam), (Malang: Madani Media, 2015), h. 2.
2
Zahruddin AR, dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 1, h. 1.
3
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), cet. 3, h. 13.
4
tertanam dalam jiwa yang mendorong perbuatan-perbuatan yang spontan, tanpa memerlukan pertimbangan.5
Menurut Ahmad Tafsir dari Mubarok (2001:14) mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaan bathin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan di mana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa
memikirkan untung dan rugi. Sedangkan, Sa’adudin (2006:15)
mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti:
a. Tabi’at, yakni sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa
dikehendaki dan tanpa diupayakan.
b. Adat, yakni sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, berdasarkan keinginan.
c. Watak, yakni cakupan hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat.6
Menurut Abuddin Nata, akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging, dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal,maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun, dalam rangka menjabarkan akhlak Islam ini diperlukan banyuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Dengan kata lain akhlak islami adalah akkhlak yang disamping mengakui adanya nila-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai yang bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu.7
Akhlak menurut Qurais Shihab lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran.8
5
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), h. 34. 6
Ahmad Tafsir, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Rosda Karya, 2011), cet. 1, h. 10.
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), cet. 15, h. 125.
8
Definisi akhlak muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara khaliq (pencipta) dengan makhluq (yang diciptakan) secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablummin Allah. Dari produk hamlum min Allah yang verbal biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama makhluk).9
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak ialah sifat-sifat
yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, disebut akhlak
yang mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya.10
2.
Dasar Akhlak
Sumber akhlak atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria baik buruknya sesuatu perbuatan adalah al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.11 Barnawie Umary menambahkan bahwa dasar akhlak adalah al-Qur'an dan al-Hadits serta hasil pemikiran para hukama dan filosof.12 Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam al-Qur'an diterangkan dasar akhlak
pada surat al-Qalam ayat 4.
Artinya: “Sesungguhnya Engkau (yaa Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur” (Q.S. Al-Qolam, 68:4).13
9
Zainuddin AR, dan Hassanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, h. 2.
10
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), Cet. 1, h. 1. 11Ya’kub,
Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: CV Diponegoro, 1993), Cet. 6, h. 49
12
Barnawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), Cet. 12, h. 1. 13
Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimasislam,Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Dasar akhlak dalam Hadits Nabi Saw salah satunya adalah :
Artinya: “sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak (HR
Ahmad).14
Jadi jelaslah bahwa al-Qur'an dan al-Hadits pedoman hidup yang
menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber akhlak dalam Islam. firman Allah dan sunnah Nabi adalah ajaran yang paling mulia dari segala ajaran maupun hasil renungan dan ciptaan manusia, hingga telah terjadi keyakinan (aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk kriteria mana perbuatan yang baik dan jahat, mana yang halal dan mana yang haram.
3.
Tujuan Pembentukan Akhlak
Islam adalah agama rahmat bagi umat manusia. Ia datang dengan membawa kebenaran dari Allah Swt dan dengan tujuan ingin menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan hidup kepada manusia dimanapun mereka berada. Agama Islam mengajarkan kebaikan, kebaktian, mencegah manusia dari tindakan onar dan maksiat.15 Sebelum merumuskan tujuan pembentukan akhlak, terlebih dahulu harus kita ketahui mangenai tujuan pendidikan islam dan tujuan pendidikan akhlak. Muhamad al-Munir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah : a. Tercapainya manusia seutuhnya.
b. Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi dan takut kepada Allah.16
14
Imam Ahmad bin Hambal, Al-Musnad Ahmad Bin Hambal, Juz III ( Bairut Lebanon : Darul Fikr, tth), h. 323.
15
Hasan Basri, Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), Cet. 4, h. 145.
16
Menurut Muhamad al-Athiyah al-Abrasy, tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang–orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak asasi manusia, tahu membedakan baik dan buruk, memilih suatu fadilah karena ia cinta pada fadilah, menghindari suatu
perbuatan yang tercela, karena ia tercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.17
Sedangkan tujuan pendidikan moral dan akhlak dalam Islam ialah untuk membentuk orang-orang berakhlak baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, beradab, ikhlas, jujur, dan suci.18
Dari beberapa keterangan di atas, dapat ditarik rumusan mengenai tujuan pendidikan akhlak, yaitu membentuk akhlakul karimah. Sedangkan pembentukan akhlak sendiri itu sebagai sarana dalam mencapai tujuan pendidikan akhlak agar menciptakan menusia yang berakhlakul karimah.
4.
Ruang Lingkup Pembentukan Akhlak
Akhlak atau budi pekerti yang mulia adalah jalan untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan di akhirat kelak serta mengangkat derajat manusia ke tempat mulia sedangkan akhlak yang buruk adalah racun yang berbahaya serta merupakan sumber keburukan yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah Swt. sekaligus merupakan penyakit hati dan jiwa yang akan memusnahkan arti hidup yang sebenarnya.
Menurut Hamzah Ya’qub dan Barnawie Umary, materi-materi
pembentukan akhlak dibagi menjadi dua kategori.
a. Pertama, materi akhlak mahmudah yang meliputi: al-amanah (dapat dipercaya), ash-shidqah (benar atau jujur), al-wafa‟ (menepati janji),
17
Muhamad Al-Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustomi A. Ghoni dan Jauhar Bahri, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), Cet. 1, h. 108.
18
al-‘adalah (adil), al-iffah (memelihara kesucian hati), al-haya‟ (malu). 19 Al ikhlas (tulus), as-shobru (sabar), ar-rahmah (kasih sayang), al-afwu (pemaaf), al-iqtisshad (sederhana), al-khusyu‟ (ketenangan), as-sukha (memberi), at-tawadhu‟ (rendah hati), as
-syukur (syukur), at-tawakkal (berserah diri), as-saja‟ah (pemberani).20
b. Kedua, materi akhlak madzmumah (tercela) yang meliputi : khianat, dusta, melanggar janji, dzalim, bertutur kata yang kotor, mengadu
domba, hasut, tama’, pemarah, riya’, kikir, takabur, keluh kesah, kufur
nikmat, menggunjing, mengumpat, mencela, pemboros, menyakiti
tetangga, berlebih-lebihan dan membunuh.21
Sedangkan Muhammad Daud Ali mengatakan bahwa secara garis besar, materi pembentukan akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah atau khalik (pencipta), dan kedua adalah akhlak terhadap makhluk semua ciptaan Allah.22
a. Akhlak terhadap Allah
Alam dan seisinya ini mempunyai pencipta dan pemelihara yang diyakini adanya yakni Allah Swt. Dialah yang memberikan rahmat dan menurunkan adzab kepada siapa saja yang dikehendakinya oleh karena itu manusia wajib taat dan beribadah hanya kepada-Nya sebagai wujud rasa terima kasih terhadap segala yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl, 16:53).
19Hamzah Ya’kub,
Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV Diponegoro, 1993), Cet. 6, h. 98-100. 20
Barnawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), Cet. 12, h. 44-45. 21
Ibid., h. 43. 22
Artinya: “Dan apa saja yang ada (dimiliki) pada dirimu berupa nikmat, kesemuanya itu merupakan pemberian dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada Nyalah kamu meminta pertolngan”.(QS. An-Nahl 16: 53).23
Manifestasi dari manusia terhadap Allah antara lain: cinta dan ikhlas
kepada Allah, takwa (takut berdasarkan kesadaran mengerjakan yang
diperintahkan dan menjauhi yang dilarang Allah), bersyukur atas nikmat
yang diberikan, tawakkal (menyerahkan persoalan kepada Allah), sabar
dan ikhlas.
b. Akhlak terhadap Diri Sendiri
Akhlak terhadap diri sendiri yang dimaksud adalah bagaimana
seseorang menjaga dirinya (jiwa dan raga) dari perbuatan yang dapat
menjerumuskan dirinya atau bahkan berpengaruh kepada orang lain
karena diri sendiri merupakan asal motivasi dan kembalinya manfaat
suatu perbuatan. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an surat
At-Tahrim 66:6 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluargamu
dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
dan penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim
66: 6).24
Ayat di atas menjadi dasar untuk meyakinkan bahwa sikap terhadap diri
sendiri adalah prinsip yang perlu mendapat perhatian sebagai menifestasi
23
Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimasislam,Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
(PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 371. 24
dari tanggung jawab terhadap dirinya dalam bentuk sikap dan perbuatan
akhlak yang terpuji.
c. Akhlak terhadap Sesama Manusia
Di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa
bergantung kepada orang lain, sebagai makhluk sosial yang hidup
ditengah-tengah masyarakat, Islam menganjurkan umatnya untuk saling
memperhatikan satu sama lain dengan saling menghormati, tolong
menolong dalam kebaikan, berkata sopan, berperilaku adil dan lain
sebagainya. Sehingga tercipta sebuah kelompok masyarakat yang hidup
tentram dan damai. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an surat Al-
Maidah ayat 2 :
Artinya: “…..Dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam mengerjakan
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran….(Q.S. Al-Maidah, 5:2).25
d. Akhlak terhadap Lingkungan
Manusia diposisikan Allah sebagai khalifah di atas bumi ini dan
hidup ditengah-tengah lingkungan bersama makhluk lain sehingga sudah
menjadi kewajibannya untuk menjaga lingkungan sebagai makhluk yang
memiliki derajat tertinggi dengan akal dan kemampuannya mengelola
alam.
5.
Metode Pembentukan Akhlak
Beberapa metode yang biasa digunakan dalam pembentukan akhlak
antara lain:
a. Metode Keteladanan
Keteladanan merupakan perbuatan yang patut ditiru dan dicontoh
dalam praktek pendidikan, anak didik cenderung meneladani pendidiknya.
25
Karena secara psikologi anak senang meniru tanpa memikirkan
dampaknya. Amr bin Utbah berkata kepada guru anaknya, "Langkah
pertama membimbing anakku hendaknya membimbing dirimu terlebih
dahulu. Sebab pandangan anak itu tertuju pada dirimu maka yang baik
kepada mereka adalah kamu kerjakan dan yang buruk adalah yang kamu
tinggalkan."26
b. Metode Latihan dan Pembiasaan.
Mendidik dengan melatih dan pembiasaan adalah mendidikdengan
cara memberikan latihan-latihan terhadap suatu norma tertentu kemudian
membiasakan untuk mengulangi kegiatan tertentu tersebut berkali-kali
agar menjadi bagian hidupnya, seperti sholat, puasa, kesopanan dalam
bergaul dan sejenisnya. Oleh karena itu, Islam mengharuskan agar semua
kegiatan itu dibarengi niat supaya dihitung sebagai kebaikan.
c. Metode Cerita
Cerita memiliki daya tarik yang besar untuk menarik perhatian
setiap orang, sehingga orang akan mengaktifkan segenap indranya untuk
memperhatikan orang yang bercerita. Hal itu terjadi karena cerita
memiliki daya tarik untuk disukai jiwa manusia. Sebab di dalam cerita
terdapat kisah-kisah zaman dahulu, sekarang, hal-hal yang jarang terjadi
dan sebagainya. Selain itu cerita juga lebih lama melekat pada otak
seseorang bahwa hampir tidak terlupakan. 27 Sehingga akan
mempermudah pemahaman siswa untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari
kisah – kisah yang telah diceritakan dalam pelaksanaan metode ini, guru
juga bisa menyertai penyampaian nasehat – nasehat untuk anak didiknya.
d. Metode Mauidzah (Nasehat)
Mauidzah berarti nasehat. Rasyid Ridha mengartikan mauidzah
adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa
saja yang dapat menyentuh hati dan membangkitkannya untuk
mengamalkan dalam al-Qur'an juga menggunakan kalimat-kalimat yang
menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang
26 Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin,
Meneladani Akhlak Nabi: Membangun Kepribadian Muslim., (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 1, h. 89.
27
Fuad Asy Syalhub, Guruku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Perss, 2006),
dikehendakinya. Inilah yang kemudian dikenal dengan nasehat. Tetapi
nasehat yang disampaikan ini selalu disertai dengan panutan atau teladan
dari si pemberi atau penyampai nasehat itu. Ini menunjukkan bahwa
antara satu metode yakni nasehat dengan metode lain yang dalam hal ini
keteladanan bersifat saling melengkapi.28
e. Metode pahala dan sanksi
Jika pembentukan akhlak tidak berhasil dengan metode keteladanan
dan pemberian pelajaran, beralihlah kepada metode pahala dan sanksi
atau metode janji harapan dan ancaman. Sebab Allah SWT pun sudah
menciptakan surga dan neraka, dan berjanji dengan surga itu serta
mengancam dengan neraka-Nya. Pemberian harapan adalah janji yang
diikuti bujukan dengan kenikmatan, keindahan pasti, atau kebaikan yang
murni dari setiap noda, berbanding dengan amal soleh yang dilakukan
atau amal buruk yang dijauhi demi mencari ridha Allah berupa kasih
sayangnya kepada para hamba.
Sedangkan ancaman adalah mengancam dengan sanksi akibat
melanggar larangan Allah SWT atau dimaksudkan untuk menakutnakuti
para hamba. Ini merupakan keadilan dari Allah. Al-Qur’an menggunakan
metode ancaman untuk menerangkan tempat kembali orang-orang
musyrik dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah.
Dalam pemberian sanksi harus sesuai pelanggaran yang dilakukan
dan sanksi tersebut dijatuhkan menurut tahap-tahapnya, karena di antara
mereka ada yang cukup diisyaratkan saja sudah menghentikan
perbuatannya, ada yang belum berhenti hingga dimarahi, ada yang perlu
ditakut-takuti dengan tongkat, ada pula yang berhenti dengan tindakan
fisik.
6.
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Berbicara tentang pembentukan karakter maka sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali para ahli mengatakan bahwa perubahan tingkah laku adalah tujuan dari pendidikan.
28
Menurut sebagian ahli akhlak tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah insting bawaan sejak lahir. Menurut Ibnu Maskawih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain akhlak adalah hasil usaha. Menurut Imam al-Ghazali:
Artinya: “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka
batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula
fungsinya hadits nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu
sekalian”.29
Ada 2 faktor yang dapat membentuk karakter seseorang diantaranya adalah:
a. Fator Intern
Terdapat banya hal yang mempengaruhi fator internal ini,
diantaranya adalah: 1) Insting atau Naluri
Insting adalah sifat yang dapat menumbuhan perbuatan yang menyampaian pada tujuan dengan berpikir lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu (Ahmad Amin, 1995:7). Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan suatu pembawaan yang asli. Pengaruh iri seseorang sangat tergantung pada penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan manusia kepada kemunduran atau kehinaan (degradasi), tetapi juga dapat mengangkat kepada derajat yang tinggi (mulia), jika naluri disalurkan kepada hal yang baik dengan tuntunan kebenaran.
29
2) Adab atau Kebiasaan (Habit)
Kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan. Faktor kebiasaan ini memegang peranan penting dalam membentuk dan membina karakter, karenanya manusia harus memaksa dirinya untuk selalu mengulang-ulang perbuatan baik sehingga menjadi kebiasaan dan terbentuklah karakter.
3) Kehendak/Kemauan (Iradah)
Kemauan adalah melakukan sesuatu untuk melangsungkan
segala ide yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan dan kesukaran. Kemauanlah yang mendorong dan memotivasi seseorang untuk bertindak, kemauan pun merupakan kekuatan seseorang untuk berkehendak oleh karena itu seseorang yang memiliki kemauan yang kuat dalam dirinya untuk berbuat baik maka akan tercipta karakter yang baik.
4) Suara Batin atau Suara Hati
Suara batin merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam masing-masing diri manusia yang sewaktu-waktu memberikan peringatan kepada manusia jika berada diambang bahaya dan keburukan. Suara batin difungsikan untuk melakukan perbuatan baik dan berusaha mencegah perbuatan buruk, bathin harus terus dididik dan dituntun agar menaiki jenjang kekuatan rohani.
5) Keturunan
Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan manusia. Seperti hadits yang berbunyi:
Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa)
maka kedua orang tuanyalah yang membentuk ana itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhori).
Hadits di atas menggambarkan tentang teori konvergensi yang menunjukan bahwa pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasatul ulā yaitu sekolah pertama bagi anaknya.30
Sifat yang diturunkan pada garis besarnya ada dua macam
yaitu:
Sifat jasmaniyah, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan
urat sarap orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.
Sifat ruhaniyah, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat
diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi prilaku anak cucunya.31
b. Faktor Ekstern 1) Keluarga
Keluarga adalah satu-satunya sistem sosial yang diterima di semua masyarakat baik yang agamis maupun nonagamis. Keluarga memiliki peran, posisi dan kedudukan yang bermacam-macam di tengah masyarakat yang bermacam-macam pula. Sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial umat manusia. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tahap pertama lembaga-lembaga penting sosial, dan dalam tingkat yang sangat tinggi, keluarga berkaitan erat dengan kelahiran peradaban, transformasi warisan, pertumbuhan dan perkembangan umat manusia. Secara
keseluruhan semua tradisi, keyakinan, sopan santun, sifat-sifat
30
Ibid., h. 145 31
individu dan sosial, ditransfer melalui keluarga kepada generasi-generasi berikutnya.32
Para pakar menyakini bahwa keluarga adalah lingkungan pertama di mana jiwa dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Karena itulah keluarga memiliki peran yang amat mendasar dalam menciptakan kesehatan pribadi anak dan remaja. Untuk itu, dalam kehidupan keluarga harus memiliki
hubungan yang sangat dekat satu dengan yang lainnya, sikap saling hormat, kompak, kerja sama, setia dan berlaku baik. Hal itu,
sebagai dasar kebahagiaan dan kesejahteraan dalam keluarga.33
Menurut Muhammad Ja’far Anwar yang mengutip dari
Mahmud Saltut (1984:146), keluarga adalah batu dasar dari bangunan suatu umat (bangsa) yang terbentuk dari keluarga yang berhubungan langsung dengan yang lainnya. Dan pasti kuat atau lemahnya bangunan umat itu tergantung kepada kuat atau lemahnya keluarga yang menjadi batu besar itu.34
Nilai moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan kebenaran dan kesalahan secara absolut. Dalam membentuk moral yang baik banyak pakar merekomendasikan pendidikan tersebut dimulai dari keluarga. Karena, unsur keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi. Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan karakter anak.
32
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2009, cet. 2, h. 90.
33
Ibid., h. 91.
34 Muhammad Ja’far Anwar,
2) Sekolah
Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan karakter dikarenakan lembaga pendidikan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari
pendidikan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah
mengherankan bahwa lembaga pendidikan dan konsepnya ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal.35
3) Lingkungan
Lingkungan (Milie) adalah suatu yang melingkupi suatu tubuh yang hidup seperti tumbuhan, keadaan tanah, udara dan pergaulan manusia yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya.
Dalam pergaulan manusia saling mempengaruhi pikiran, sifat dan tingah laku. Adapun lingkungan terbagi menjadi dua bagian: a) Lingkungan yang bersifat kebendaan
Alam yang melingkupi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat mematahkan atau mematangkan pertumbuhan kuat yang dibawa seseorang.
b) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian
Seseorang yang hidup di lingkungan baik secara langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik, begitu pula sebaliknya seorang yang hidup dalam lingkungan kurang baik
35
dapat mendukung pembentukan karakter yang kurang baik pula.36
Dari penjelasan di atas dapat ditarik pemahaman, bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya karakter peserta didik, mulai dari faktor individu maupun faktor lingkungan. Tetapi, pada kenyataannya faktor yang paling utama adalah faktor keluarga, karena keluarga adalah pendidikan moral dasar yang
diterima anak sejak kecil baik dari segi prilaku ataupun perkataan yang ditirunya dari orang tua yang berperan sebagai suri tauladan,
sedangkan lembaga pendidikan dan lingkungan merupakan faktor pendukung.
B. Pengembangan Nilai-Nilai Akhlak
Menurut Djahiri, nilai adalah suatu jenis kepercayaan yang letaknya berpusat pada sistem kepercayaan seseorang, tentang bagaimana seseorang sepatutnya, atau tidak sepatutnya dalam melakukan sesuatu, tentang apa yang berharga dan yang tidak berharga.
Rychard Eyre and Linda (1995) menyebutkan bahwa nilai yang diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu prilaku yang berdampak positif, baik bagi yang menjalankan maupun bagi orang lain. Rychard menjelaskan nilai adalah suatu kualitas yang dibedakan menurut kemampuannya untuk berlipat ganda atau bertambah meskipun sering diberikan kepada orang lain, dan kenyataan bahwa semakin banyak nilai yang diberikan kepada orang lain makin banyak pula nilai serupa yang diterima atau dikembalikan dari orang lain.37
36
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), cet. 2, h. 22.
37
1. Nilai Agama
Dasar pendidikan karakter sangat identik dengan ajaran setiap agama, bagi umat Islam sumber dasar pendidikan karakter menurut visi Islam adalah sebagai berikut:38
a. Al-Qur’an
Jumhur Ulama sepakat bahwa kata al-Qur’an berasal dari bahasa Arab. Kata al-Qur’an menurut al-Farra berasal dari kata al-qorāin, jamak dari Qarinah yang berarti petunjuk. Menurut al-Asy’ari kata al
-Qur’an berasal dari kata Qarana yang berarti menghubungkan, sedang
menurut Imam Lihyani al-Qur’an berasal dari kata Qaraa yang berarti membaca. 39
Bagi umat Islam kitab suci al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. Dalam al-Qur’an telah tertulis seluruh aspek pedoman hidup bagi umat Islam, sehingga al-Qur’an merupakan falsafah hidup muslim baik di dunia maupun di akhirat kelak. Al-Qur’an merupakan ajaran Islam yang universal, baik dalam bidang akidah, syariah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Dengan luasnya cakupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan atau pun aspek pendidikan.
Hal tersebut sangat sesuai dengan firman Allah Swt:
Artinya: “Kitab Al-Qur‟an yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang
yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Q.S, Shad, 38:29).
38
Anas Salahuddin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2013), cet. 1, h. 81.
39
Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Katakter,
Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kitab (Al-Qur‟an) ini kepadamu (Muhammad) melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S, an-Nahl, 16:64).
Intisari dari pendidikan karakter adalah menghasilkan peserta didik yang berprilaku baik, sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat baik dan member atau menyantuni kaum kerabat. Dan Tuhan melarang perbuatan keji, kemungkaran dan kedurhakaan. Dia
mengajar kamu agar kamu mengerti.” (Q.S, an-Nahl, 16:90).
Pendidikaan karakter mengajarkan agar anak didik untuk menjadi orang-orang yang memiliki hati untuk memahami ayat-ayat Allah, memiliki mata untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang di dalamnya ada kebenaran sebagai pedoman hidup yang paling tinggi untuk berbuat kebajikan menuju keselamatan dunia dan ahirat.40
b. Sunnah
Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat moral
(khuluqiyah), sifat jasmani (khalqiyah), atau pun perjalanan hidupnya
40
sejak sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudah diangkat menjadi Rasul.41
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad merupakan utusan Allah yang terakhir yang mengemban risalah Islam. Segala yang berasal dari beliau baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya sebagai Rasul merupakan sunah bagi umat Islam yang harus dijadikan panutan.42
Hal tersebut jelas dinyatakan dalam firman Allah Swt:
Artinya: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat
Allah.” (Q.S, al-Ahzab, 33:21).
Dalam ajaran agama para Nabi, mulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad Saw memberi contoh perilaku yang baik kepada umatnya. Dalam agama Islam Nabi Muhammad merupakan
pemimpin yang memiliki karakter yang kuat dan contoh yang mulia yang patut diteladani oleh umat Islam. Nabi Muhammad telah membawa umatnya dari prilaku tanpa aturan menjadi umat yang cerdas, bermoral, berakhlak, taat pada ajaran agama Islam.
Figur Nabi Muhammad adalah seseorang yang memiliki akhlak sejati yaitu siddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (penyampai),
fathonah (cerdas) yang harus diteladani, dipelajari untuk dipahami,
41
Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Katakter,
(Bandung: Alfabeta, 2013), op. cit., hal. 50. 42
dihayati dan diamalkan dalam kehidupan keluarga, mayarakat, berbangsa dan bernegara.43
2. Nilai Pancasila
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bersifat universal. Tilaar (1990)
menyebutkan pancasila sebagai “Maha sumber nilai”, maka harus menjadi
acuan utama dalam mengatur negara, bangsa dan masyarakat agar cita-cita luhur bersama dapat diwujudkan (Pranarka, 1985; Eka Darmaputera,
1987).44
Pancasila adalah falsafah yang identik dengan pandangan hidup bangsa Indonesia juga sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai falsafah bangsa Indonesia pancasila merupakan sumber kehidupan bernegara, pancasila sebagai pandangan hidup yang berisikan ajaran yang mengandung nilai-nilai luhur yang terkristalisasi dalam sila-silanya.45
Dalam rangka membangun karakter anak bangsa, salah satu pendekatannya adalah pendekatan nilai-nilai luhur pancasila yang berakar jati diri dan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur pancasila yang tercantum dalam sila-sila pancasila-sila sejatinya dihayati dan diamalkan, bukan sekedar semboyan semata yang dibaca pada setiap upacara apapun, baik di sekolah maupun dalam upacara memperingati hari-hari besar nasional.46
Sastrapratedja (2001), merinci nilai-nilai luhur pancasila, dalam pandangannya nilai-nilai luhur pancasila itu mencakup nilai dasar humanistik dan universal.47
Notonagoro (Darji Darmodiharjo, 1995) mengelompokan nilai menjadi tiga bagian, yaitu:48
43
Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduose Media Jakarta, 2011), cet. 1, h.76.
44
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2012), cet. 1, h. 63.
45
Maswardi Muhammad Amin, op.cit., h. 94. 46
Ibid., h.95. 47
a. Nilai materil, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna untuk rohani manusia. Nilai kerohanian sendiri dapat dibedakan menjadi empat macam: Nilai kebenaran yang bersumber pada akal budi manusia, nilai
keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia, nilai kebaikan atau moral uang bersumber pada unsur kehendak manusia, nilai
religius yang bersumber pada keyakinan manusia akan Tuhan.
3. Nilai Budaya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kaya dengan budaya -budaya daerah, terdiri dari ratusan etnis besar yang didalamnya terdapat etnis-etnis kecil. Budaya masing-masing etnis berbeda-beda, dan perbedaan adalah rahmat Allah swt. Perbedaan membuat manusia menjadi maju, saling menghargai dan menghormati, nilai-nilai budaya merupakan satu pendekatan dalam membangun karakter anak negeri ini. Kebudayaan dalam bentuk seni, bahasa suku, pakaian tradisional, upacara adat, cara bergaul merupakan suatu nilai-nilai yang baik, yang diakui oleh masing-masing etnis. Berdasarkan budaya-budaya daerah yang tumbuh di tengah masyarakat lahirlah apa yang disebut budaya bangsa.49
Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa Indonesia berasal dari nilai-nilai luhur universal yaitu:50
a. Cinta Tuhan dan ciptaan-Nya b. Kemandirian dan tanggung jawab c. Kejujuran/amanah dan diplomatis d. Hormat dan santun
48
Ibid., h. 64. 49
Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduose Media Jakarta, 2011), cet. 1, h. 86
50
e. Dermawan, suka tolong menolong, gotong royong, dan kerja sama f. Percaya diri dan kerja keras
g. Kepemimpinan dan keadilan h. Baik dan rendah hati
i. Toleransi, kedamaian dan kesatuan
4. Tujuan Pendidikan Nasional
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, nilai karakter bangsa terdiri dari religious, jujur, toleransi, disiplin, patuh, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/berkomunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.51
Dasar pendidikan karakter tersebut diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas
(golden age) karena usia dini terbukti sengat menentukan kemampuan
anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini sudah sepatuhnya pendidikan karakter dimulai dari dalam pendidikan keluarga, yang merupakan lingkungan keluarga pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Dari paparan di atas dapat ditarik pemahaman, bahwa nilai pendidikan karakter merupakan sistem kepercayaan yang dapat menghasilkan suatu prilaku yang berdampak positif, bagi yang menjalankan maupun bagi orang lain. Sebagai seorang muslim dan warga Indonesia pengembangan nilai-nilai karakter harus seimbang antara agama dan negara yaitu dengan menjalankan nilai-nilai yang berada dalam al-Qur’an dan hadits maupun nilai budaya dan pancasila. Hal ini agar
terjadinya keseimbangan, persamaan nilai yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
51
C. Pengertian Budaya Sekolah
Secara etimologi, “budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan
sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koetjoroningrat,
1980:81). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas
perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “Budaya diartikan sebagai buah atau hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat (Pusbinbangsa, 1983).52
Menurut Maswardi Muhammad Amin, budaya adalah keseluruhan ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, kebiasaan, serta kemampuan lain yang diperoleh sebagai angota masyarakat. Budaya pula diartikan sebagai keseluruhan cara hidup, warisan sosial, cara berpikir, kepercayaan, cara kelompok bertingkah laku, gudang pelajaran yang dikumpulkan, tindakan baku untuk mengatasi masalah, peraturan bertingkah laku dalam acara tertentu. Subtansi dari budaya dalam kehidupan sehari-hari tampak pada kebiasaan, adat istiadat, pola pergaulan, sikap dan prilaku yang berulang-ulang yang khas dalam kehidupan bermasyarakat.53
Zamroni (2011:111) memberikan batasan bahwa budaya sekolah adalah pola nilai-nilai, prinsi-prinsip, tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang sekolah, dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh seluruh warga sekolah sehingga mendorong muncul sikap dan perilaku warga sekolah. Warga sekolah menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terdiri dari peserta didik, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendidik
52
Zulfikri Anas, Sekolah Untuk Kehidupan, (Jakarta: AMP Press, 2013), cet. 1, h. 193. 53
serta komite sekolah. Salah satu subyek yang diambil dalam penelitian budaya sekolah ini yaitu peserta didik (siswa).54
Menurut Banks (1993), Deal dan Peterson (1998) budaya sekolah ialah sistem sosial yang mempunyai budaya yang tersendiri. Ia terdiri dari norma institusi, struktur sosial, kepercayaan, nilai, simbol, tradisi, matlamat dan tujuan yang tersendiri untuk membentuk organisasi tersendiri.55
Menurut Uhar Suharsaputra (2013) budaya sekolah adalah keyakinan,
nilai-nilai serta norma yang menjadi panduan seluruh anggota organisasi sekolah dalam melaksanakan peran dan tugasnya masing-masing.56 Budaya
sekolah merupakan tempat pengembangan budaya intelektual peserta didik yang meliputi nilai-nilai inteletual yang akan menumbuhkan sikap ingin tahu, berfikir logis, kreatif, terbuka dan siap dikritik.57
Menurut Djohar (2003 ) mengatakan, bahwa budaya sekolah dapat dinyatakan sebagai budaya akademik yang terstruktur, yang mengembangkan kompetensi intelektual peserta didik. Tetapi di-dalamnya juga terdapat sosial budaya dan psikologis.58
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, pendidik, karjawan, pesrta
54
Albertin Dwi Astuti, “Pengaruh Budaya Sekolah Terhadap Karakter Siswa Kelas X
Jurusan Tata Boga SMK Negeri 3 Klaten”, Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2015, h. 12. tidak dipublikasikan.
55
http://budaya-sekolah.blogspot.co.id/ (diakses pada hari Rabu, 05 Oktober 2016, pukul
13.16). 56
Uhar Suharsaputra, Menjadi Guru Berkarakter, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), cet. 1, h. 118.
57 Muhammad Ja’far Anwar,
Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV Suri Tatu’uw, 2015), cet. 1, h. 66.
didik dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.59
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa budaya sekolah adalah suatu kebiasaan berupa nilai, prinsip, unsur, komponen, symbol, norma institusi, struktur sosial, kepercayaan, tradisi, tuntunan kebijakan sekolah, tempat pengembangan intelektual, dan di dalamnya terdapat pula unsur psikologis serta diyakini oleh seluruh warga sekolah
sehingga mendorong munculnya sikap dan perilaku warga sekolah. yang dilaksanakan melalui waktu yang panjang dengan tujuan untuk mengarahkan
prilaku dan membentuk karakter yang terpuji.
D. Unsur-Unsur Budaya Sekolah
Menurut Ahyar mengutip Sastrapratedja, mengelompokkan unsur-unsur budaya sekolah dalam dua kategori, yakni:
1. Unsur kasat mata (visual) terdiri dari visual verbal dan visual material. Visual verbal meliputi 1) visi, misi, tujuan dan sasaran, 2) kurikulum, 3) bahasa dan komunikasi, 4) narasi sekolah, 5) narasi tokoh-tokoh, 6) struktur organisasi, 7) ritual, 8) upacara, 9) prosedur belajar mengajar, 10) peratutan, sistem ganjaran dan hukuman, 11) pelayanan psikologi sosial, 12) pola interaksi sekolah dengan orang tua. Unsur visual material meliputi 1) fasilitas dan peralatan, 2) artifak dan tanda kenangan, 3) pakaian seragam.