• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayat-ayat Cinta: Berdakwah dan Membantu Menyingkap Profil Mayoritas Pembaca Muslim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ayat-ayat Cinta: Berdakwah dan Membantu Menyingkap Profil Mayoritas Pembaca Muslim"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Ayat-ayat Cinta: Berdakwah dan Membantu Menyingkap

Profil Mayoritas Pembaca Muslim

1

Oleh: Wawan Eko Yulianto

Ayat-ayat Cintakarya Habiburrahman El Shirazy yang bercerita tentang beberapa bulan dalam kehidupan Fahri Abdillah Shiddiq, seorang mahasiswa Indonesia asal Jawa yang sedang menempuh pendidikan S-2 Ilmu Tafsir di Universitas Al-Azhar di Kairo. Novel ini tidak begitu kompleks, pesannya jelas, dan enak

dijadikan bacaan yang menghibur dan mendidik. Pendeknya: mudah dibaca dan informatif. Di antara berbagai hal, ada beberapa faktor utama yang menciptakan kenyamanan novel ini, yaitu karakterisasinya yang sederhana, temanya yang tegas dengan moral Islami, latarnya yang cukup menggiurkan, dan sorga dunia (atau utopia) dalam berbagai bentuk yang ditawarkannya.

KarakterisasiAyat-ayat Cintasangat datar, bahkan terlalu datar, nyaris tanpa kejutan. Bahkan, kita bisa dengan mudah mengenali sifat-sifat para tokoh hanya melalui ciri-ciri fisik mereka. Tokoh-tokoh yang digambarkan rupawan biasanya baik dan yang digambarkan tidak rupawan biasanya buruk.

Konsistensi standar kerupawanan yang digunakan si narator--yaitu cerahnya warna kulit--mau tidak mau membuat pembaca yang peka merasakan kesan rasis. Aisha adalah seorang gadis yang cantik jelita berkulit putih (berdarah Jerman-Turki), begitu juga Maria si gadis Koptik. Sementara itu, Bahadur adalah sosok yang berwajah dingin dan hitam, dan berulang kali Fahri mengait-kaitka kehita a kulit Bahadur de ga ora g

“uda . Perihal kehita a i i se aki ta pak pada para polisi hita esar ya g e a gkap da e yiksa

Fahri. Saking konsistennya hal ini, seolah-olah Fahri memiliki asumsi bawah sadar bahwa kulit luar adalah cermin dari inti di dalam diri.

Mungkin Anda bertanya: bagaimana dengan karakter Noura yang cukup problematis itu? Ya, memang ada karakter yang keluar pakem (untuk ukuran novel ini), tapi cerita kemudian meluruskan penyimpangan itu. Hal ini tampak pada karakter Noura yang akhirnya cukup problematis. Sejak awal Fahri menyoroti perbedaan antara Noura dengan keluarganya (keluarga si Bahadur): Noura lain sendiri, kulitnya putih (dan berambut pirang) berbeda dengan orang tua dan saudari-saudari ya ya g erkulit da erpe a pila fisik seperti

ora g “uda . “elai itu, kalau keluarga Noura e deru g era gasa dan terlibat bisnis hiburan malam (judi dan seks komersial), Noura adalah gadis remaja baik- aik ya g elajar di Ma’had Al Azhar. “aat elaka ga Noura melakukan manuver penyelamatan diri yang keji, kita mungkin diam-diam menghela nafas

puas: Ter yata ora g a tik juga isa keji. Ja ga terlalu puas dulu.Ayat-ayat Cintameluruskan ceritanya: ternyata dia tidak bergerak dengan inisiatif sendiri, dan belakangan pun akhirnya dia memutuskan untuk mengakui kesalahannya.

Hal kedua yang membuat kita bisa dengan mudah menikmati novel ini dan mengambil pelajaran darinya adalah tegasnya moral Islami yang diangkat sebagai tema.Ayat-ayat Cintadihantarkan oleh seorang narator yang sangat lurus mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dia dapatkan sejak di tanah Jawa hingga di "negeri para

(2)

Nabi." Semua tindakan penting yang dia buat dalam cerita ini dilandasi dalil-dalil dan rasionalisasi yang banyak dilandasi kisah-kisah Alquran, kisah-kisah sahabat rasul sekaligus para ulama Muslim dari segala zaman. Bagi yang gemar mempelajari tafsir Alquran dan kisah-kisah Islami,

Ayat-ayat Cinta

adalah sumber bagus yang menyerupai pengulangan kontemporer atas kisah-kisah Alquran dan para ulama. Bahkan, adegan-adegan penting yang ada di sana pun bisa dihubungkan dengan kisah-kisah Alquran, seperti hubungan antara perkawinan Aisha-Fahri yang menyerupai kisah Sulaiman dan Ratu Sheba, meskipun bedanya di sini sang kaya raya adalah Ratu Sheba, dan adegan penjara pun banyak terinspirasi dari kisah Nabi Yusuf dan para ulama Muslim yang mendapat banyak pengalaman di penjara. Mungkin bukan kebetulan bahwasanya Habiburrahman El-Shirazy memiliki adegan penjara sebagai salah satu elemen penting dalam novel ini. Kisah Nabi Yusuf terjadi di negeri Mesir, setidaknya begitu menurut Perjanjian Lama, yang memberikan detil-detil lokasi awal dan akhir kisah Yusuf--Alquran tidak memberikan detil tempat, dan ada kesan hikmah kisah itu yang lebih dijadikan penekanan.

Ketegasan prinsip dan absennya ambiguitas ini tentu membuat pembaca lebih mudah masuk ke dalam cerita ini. Kalaupun mereka tidak bisa begitu saja menerimanya, setidaknya pembaca tidak akan menentangnya. Hal ini terutama bagi pembaca yang pada dasarnya kurang tertarik dilema, permainan, dan ambiguitas yang memaksa berpikir dan merenung-renung, seperti yang banyak ditawarkan dalam karya-karya sastra yang sementara ini--karena kurangnya istilah, tanpa niat menunjukkan nilai inheren--kita se ut saja sastra

ai strea . Bagi para pe a a i i--pembaca yang lebih menginginkan informasi dan hikmah siap pakai dari apa yang dibacanya--tentu kisah Fahri dengan keislamannya yang lurus dan tidak mau berkompromi sedikit pun ini menjadi kisah yang menarik dan bermanfaat, bahkan inspiratif--itulah kenapa novel ini dilabeli "novel pembangunan jiwa." Sumber-sumber yang dipakai Habiburrahman El-Shirazy jelas dan tidak ada kontradiksi pada pribadi Fahri. Kurang apa lagi coba?

Racikan antara latar luar negeri dengan dihantarkan orang negeri ini adalah satu faktor kuat yang menjadikan novel ini mengasyikkan dan menyamankan. Saat diceritakan oleh orang-orang yang latar budanya sama dengan kita, kisah-kiah berlatar asing cenderung menarik. Apalagi kalau dibumbui perbandingan dengan negeri sendiri, juga nostalgia, pasti latar yang asing itu menjadi relevan bagi kita. Pembaca masih merasakan sesuatu yang tak biasa, tapi yang tak biasa ini masih relevan bagi mereka. Berbeda kasusnya dengan cerita luar negeri yang diceritakan oleh orang luar negeri sendiri; yang seperti ini biasanya menciptakan jarak, dan hanya akan menarik bagi orang yang pada dasarnya memang tertarik dengan kisah asing. Mungkin, tingginya tingkat penjualan karya-karya catatan perjalanan maupun novel berlatar asing akhir-akhir ini bisa kita jadikan sebagai ilustrasi di sini.

Dan, terakhir, apalagi yang lebih menyenangkan dibandingkan menikmati kehidupan di sorga, seperti yg dialami Fahri? Kita lihat, dalamAyat-ayat Cinta, ada sorga yang ngejawantah di bumi dalam novel ini, terutama bagi para tokoh yang baik dan beramal sholeh. Buat kebanyakan Muslim Indonesia, memiliki kemampuan menghafal seluruh Alquran saja itu sudah seperti sorga; begitu juga dengan pemahaman yang mendalam tentang keseluruhan isi Quran tersebut dan bisa mengamalkannya (dan mengkotbahkannya kepada yang membutuhkan) dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau anda juga memiliki kemampuan akademis, ketrampilan menerjemah*, kemampuan menulis, kemampuan bahasa Inggris, Arab (formal dan dialek mesir) dan Jerman, dan baik hati. Apalagi kalau kemampuan luar biasa ini ditambah dengan

(3)

dalam kondisi seperti itu, Anda sekalian akan ikut mencicipi nikmatnya hidup di sorga yang ngejawantah di dunia. Bahkan--ini yang sebenarnya cukup membuat penasaran--pembaca perempuan pun banyak yang tertarik dengan kisah Fahri ini, tertarik menikmati kisah seorang (dua orang?) gadis yang "memenangkan" hati seorang lelaki nyaris sempurna--profil

insan kamil

?--seperti Kang Fahri ini. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kisah ini sangat falosentris, menjadikan laki-laki sebagai pusat dunia, dan menjadikan perempuan sebagai "perhiasan dunia"? Tapi, pembaca yang tidak syu'udzon pasti senang mendengarkan dongeng tentang (dan hanyut mengidentifikasi diri dengan) lelaki sempurna ini. Obat gampang macam apa lagi yang

le ih a jur u tuk hidup ya g sulit i i selai se uah kei daha yaris utopis seperti du ia Fahri i i?**

Semua hal ini memudahkan pembacaan, tapi juga mematikan terhadap potensi kritis novel ini sendiri. Tidak ada yang lebih membuat nyaman hati daripada mendengar atau membaca kisah yang tidak membutuhkan banyak pertentangan hati seperti hal-hal yang saya sebutkan di atas. Tapi, dampak negatifnya, banyak potensi kritis (dan politis) dalam novel ini yang justru jadi terabaikan. Beberapa contohnya adalah kekritisan novel ini terhadap dipomasi Indonesia yang seringkali lemah ketika orang-orang Indonesia bermasalah di luar negeri. Kalau kita mau membahas lemahnya diplomasi ini, mestinya kita juga harus membahas lemahnya daya tawar kita di luar negeri, berbeda dengan negara-negara seperti Jerman yang merupakan tokoh kuat dalam bidang teknologi dan Amerika yang kuat dalam hal militer dan ekonomi secara umum. Dengan kata lain, kritik seperti ini, kalau ditelaah lebih jauh, sebenarnya adalah kritik terhadap lemahnya pengelolaan negara secara umum. Sayang, sepertinya kritik-kritik kuat semacam ini terkubur oleh banyaknya ajaran moral Islami penting yang memadati novel sejak halaman-halaman pertama, yang menjadikan hal-hal kritis dan politis semacam ini seperti sekadar tema sampiran yang nyasar di novel ini. Padahal, bukankah segala macam penyiksaan dan adegan penjara itu bisa sama sekali sirna kalau diplomasi Indonesia tidak selemah sekarang?

Sekarang, bagaimana kalau kita tidak tanggung-tanggung lagi: melompat ke wilayah pembaca? Kalau melihat kesuksesan

Ayat-ayat Cinta

ini di pasar Indonesia, saya ingin membuat kesimpulan sementara yang cukup lancang: novel ini membuat kita tahu mayoritas pembaca Muslim Indonesia.*** Dengan kesuksesan Ayat-ayat Cintasecara komersial ini (yang menurut beberapa sumber sampai mendatangkan hasil bersih sebanyak 1,5 miliar Rupiah bagi penulisnya) kita jadi tahu bahwa mayoritas pembaca Muslim Indonesia adalah orang-orang yang lebih menikmati kisah utopis yang tidak memiliki kerumitan karakter dan konflik tapi bisa

dijadikan sumber rujukan tentang berbagai ajaran Islam--atau setidaknya bisa dijadikan sumber bacaan untuk mengingat-ingat kembali sejumlah ajaran Islam penting terkait isu-isu perempuan, hubungan suami istri, kinerja, dan sejumlah topik lain.

Kita tentu tidak tahu apakah Habiburrahman El-Shirazy merupakan penulis yang sangat mengenal audiens-nya ataukah sebuah kebetulan sang novelis menulis novel yang sesuai dengan selera mayoritas pembaca Muslim Indonesia. Yang pasti kita tahu adalah bahwa terdapat kecocokan antara faktor-faktor

(4)

"sastra mainstream" bukannya sangat sedikit, tapi dari kurang bergairahnya pasar buku sastra Indonesia kita bisa menyimpulkan bahwa secara rasio jumlah mereka jauh di bawah jumlah penggemar karya-karya semacamAyat-ayat Cinta. Mungkin hanya waktu yang bisa mengubah rasio ini. Kalau memang rasio ini bisa diubah.

Akhirul kalam, sebelum menutup esai ini, semoga juga saya tidak disalahpahami sebagai orang yang menganggap

Ayat-ayat Cinta

sebagai karya yang rendah kualitasnya--yang bisa juga diartikan sebagai rendahnya kualitas Habiburrahman El-Shirazy. Kalau ada yang sampai beranggapan begitu, maka dia salah besar. Membuat

Ayat-ayat Cinta

bukanlah pekerjaan gampang; dibutuhkan seorang yang memahami Alquran dan hadits, berbagai diskusi kontemporer penting dalam Islam, dan--tentu saja--memahami kota Kairo, serta juga kemampuan memberikan penfasiran atas kisah-kisah Alquran dan para tokoh Islam dan menerjemahkannya ke dalam kisah-kisah kontemporer. Semua ini bukan hal sepele. Dibutuhkan seorang ulama atau dai untuk melakukan hal ini. Perlu dicatat dan disoroti: dibutuhkan seorang dai untuk menulis sebuah kisah yang "mengajari" (seperti

Ayat-ayat Cinta

ini). Tapi, untuk menciptakan apa yang secara gampang-gampangan saya sebut "sastra mainstream" tadi, dibutuhkan seorang penulis dengan kepekaan atas kompleksitas dunia yang memiliki ketrampilan membuat orang lain memikirkan ambiguitas,

kemungkinan-kemungkinan tanpa akhir, dan--insya allah, kalau berhasil--membuat orang lain mendapatkan hikmah.

Catatan:

*)

Ayat-ayat Cinta

adalah novel Indonesia pertama dengan tokoh utama penerjemah dan menjadikan terjemahan sebagai salah satu elemen vital dalam cerita.

**) Pada

sebuah

postingan sebuah blog

saya mengutipkan satu paragraf yang terdengar sangat wajar dalam novel ini, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata benar-benar tak lebih dari sebuah sorga. Banyak orang kaya yang bisa mengirimkan anaknya sekolah ke negara mana saja, tapi tidak banyak di antara kita yang kaya dan memungkinkan kita hidup di mana sambil juga bisa diterima kuliah di mana saja.

Referensi

Dokumen terkait

Memfasilitasi, memotivasi, mendidik, membimbing, dengan melatih Seni Rupa Bentuk/berujud Seni Musik Suara/nada Esensi Seni. Seni Tari -

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendapatkan model penentuan keasaman dan kebasaan molekul :qdasarkan muatan pada H untuk kelompok gsam danmuatan pada N untuk

Gambar 4 menerangkan kehilangan pendingin primer dari tangki reaktor term asuk fasilitas eksperimen (A14). Peristiwa-peristiwa eksternal dianalisis atas dasar suatu perusakan

Hujah-hujah tersebut dilihat membuktikan tiga perkara, pertama, pembuktian bahawa kelazatan ruhani adalah lebih sempurna, mulia, utama dan lebih layak untuk dikaitkan dengan

2 Petreski, Marjan (2006) Menjelaskan dampak adopsi IFRS pada laporan keuangan perusahaan danpada manajemen perusahaan Wawancara; Studi kasus Pengungkapan laporan

Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang

Kemajuan yang dicapai pada periode khalifah al-Ma’mun ini, Islam semakin dikenal oleh dunia Barat, terutama dengan karya-karya tulis yang ditinggalkannya pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan analisis kuantitatif deskriptif serta menggunakan analisis regresi berganda antara pengaruh program