• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan gaya bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan gaya bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh:

Fahrudin Mualim

NIM 1110013000035

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fahrudin Mualim NIM : 1110013000035

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi : Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen Penguji : 1. Djamal D. Rahman, M. Hum. 2. Dr.Darsita Suparno, M. Hum.

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat merupakan hasil karya sendiri. Apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya, maka saya siap menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Desember 2014

(5)

i

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.

Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma ini sama-sama berbicara tentang ibu. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan perbandingan mengenai gaya bahasa dari puisi Ibu dan lirik lagu Keramat, serta implikasi kedua karya tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu peneliti dilibatkan dalam situasi dan fenomena yang sedang dipelajari.

Peneliti menemukan adanya keterkaitan antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat, yaitu lirik lagu Keramat merupakan bentuk penguatan penggambaran objek lirik yang dibicarakan oleh A. Mustofa Bisri dalam puisi Ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan gaya bahasa pada puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. Hal tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa pada tiap pilihan katanya, keduanya sama-sama banyak menggunakan istilah alam. Perbedaannya terletak pada fungsi dari istilah alam yang digunakan. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat yang keliru. Penelitian ini juga menjelaskan struktur yang membangun puisi Ibu dan lirik lagu Keramat serta bagaimana analisis puisi Ibu dan lirik lagu Keramat ini dapat memenuhi kompetensi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yaitu sikap spiritual, sosial, dan tanggung jawab. Melalui kegiatan menganalisis puisi juga dapat menambah pemahaman siswa terhadap makna puisi, meningkatkan keterampilan berbahasa, serta menumbuhkan sikap kritis siswa.

(6)

ii

Learning. Department Indonesian Language and Literature of Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.

A Poem by A. Mustafa Bisri and lyrics of this Keramat talking about mother. This study aims to describe the comparison of the poetry‘s language style from Poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and the implications of both these arts in learning Indonesian language and literature at school. The method used by the writer in this study is qualitative; it means that the writer involved in the situations and phenomena is being studied by the writer.

This study finds a relationship between Poetry ―Ibu‖ and song lyrics

―Keramat‖; song lyrics ―Keramat‖ is as strengthening lyrics objects description which is discussed by A. Mustafa Bisri in poetry ―Ibu‖. The result of this study shows the similarities and differences in language style on poetry ―Ibu‖ by A. Mustafa Bisri and song lyrics ―Keramat‖ by Rhoma Irama. It can be seen from the style of each words selection which use the term of nature. The difference lies on the function of the term of nature that is used. If Gus Mus uses the term of nature to describe a mother‘s sacrifice or as a description of admiration for a mother‘s greatness, while Bang Haji places the term of nature that he use as a form of rejection or criticism of the wrong behavior of people. The study also describes the structure of the

poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and how analysis of poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖ can fulfill the competency in learning Indonesian language and literature, especially in the attitude of the spiritual, social, and responsibility. Analyzing poetry can also increase students‘ understanding of the meaning of poetry, improve language skills and students‘ critical attitude.

(7)

iii

menyelesaikan skripsi ini, yang memang sedikit terlambat alias tidak tepat waktu. Pemilihan tema skripsi ini terinspirasi dari obrolan santai bersama seorang dosen sekitar satu setengah tahun silam di salah satu mata kuliah. Berawal dari obrolan santai, kemudian berakhir dengan penelitian serius. Alhasil, tersusunlah karya tulis ini untuk menjelma menjadi pertanggungjawaban akademik sebagai Sarjana Pendidikan FITK-UIN Jakarta.

Saya haturkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin FITK dengan jiwa profesionalismenya sehingga kinerja FITK lebih baik dan profesional. Rasa terimakasih juga saya sematkan kepada Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin dengan penuh perhatian dan kesabaran demi kemajuan prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sebagai mahasiswa yang belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK-UIN Jakarta, saya haturkan rasa terimakasih kepada

(8)

Terimakasih kepada Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd. Segala nasihat-nasihatnya membuka mata hati saya bahwa tingginya suatu ilmu justru karena ditopang oleh kerendah-hatian. Kepada Dra. Hindun, M.Pd, yang mengajari betapa pentingnya komitmen dalam menjalankan tugas. Kepada Jamal D. Rahman, penyair ulung yang mengenalkan saya tentang dunia puisi dan hakikatnya yang kental dengan dulce et utile. Kepada Ahmad Bahtiar, M.Hum, dosen yang menginspirasi saya untuk terus membaca, sekalipun dalam kesempatan waktu yang sedikit. Kepada Novi Diah Haryanti, M.Hum, dengan gayanya yang bersahabat, dosen yang sangat menginspirasi sekaligus membuka semangat saya untuk terus menulis. Kepada Makyun Subuki, M.Hum, dosen nyentrik yang juga menginspirasi saya dengan keahliannya di bidang bahasa dan musik. Sungguh tiada yang lebih berharga yang bisa saya berikan kecuali ucapan terimakasih.

Terimakasih kepada para punguji saya, Jamal D. Rahman, M.Hum atas segala perbaikannya, yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Sungguh tak terpikirkan sebelumya jika skripsi ini akan diuji langsung oleh salah seorang sastrawan. Kemudian kepada penguji kedua, Dr. Darsita Suparno, M.Hum atas segala masukkannya, khususnya mengenai metode penelitian yang saya lakukan, sehingga lebih memahami apa sebenarnya hakikat metode penelitian serta peranannya yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Hal ini juga tidak terpikirkan sebelumnya oleh saya bahwa skripsi ini akan diuji langsung oleh ahli bahasa.

Saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada orang-perorang yang telah membantu dan membuka kemudahan pada masa pencarian sumber. Kepada bang Sulaiman Yudha Harahap, peneliti sejarah sekaligus ketua Studio Sejarah. Berkat petunjuk, masukan, dan pemberian sumber dari

beliau skripsi ini terbantu. Kepada ‗kak Ria Fidiyanti, penulis lantunkan

(9)

Terimakasih kepada orang-orang di keluarga saya, seperti ibu (Latipah) dengan nasihat-nasihatnya dan pertanyaan-pertanyaannya seputar

skripsi saya, ―kapan skripsi?‖, ―kapan sidang?‖, ―skripsinya sudah?‖, ―wisudanya ikut bulan apa?‖. Bapak (Didi Suryadi) dengan kesabarannya

yang ditandai dengan sedikit bertanya tentang kuliah saya kepada ibu,

namun tetap terkesan memperhatikan dengan cara ‗unik‘, yang sulit

dijabarkan namun saya mengerti. Begitu juga dengan saudara-saudara saya, kakak (Diana Eka Sari, Indah Purnama Sari, Fahril Husein, Dwiyono, Suhendra) dan adik (Teguh Prasetyo, Ahmad Sholahudin), mereka menjadi pelengkap dari keluarga saya yang telah memberi segala perhatian yang tidak terbayarkan.

Kepada teman dan sahabat masa kuliah angkatan 2010, terimakasih atas hari-hari penuh canda dan sedikit dukanya (Ahmad Fahrudin, Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan, Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur, Muhamad Zainal, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana, dan Yanti Nuryana).

Ucapan terimakasih tidak kurang saya sematkan pula kepada teman dan sahabat di beragam komunitas dan universitas (Arif Maulana, Eko Mei Sandi, Firmansyah, Gunawan, Pandu Soedibyo, Surtanto Adi Wicaksono, Syaiful Bahri, dan Washil Arham). Semoga kita semakin produktif menciptakan hal-hal yang baru. Perjuangan kita belum usai kawan, belum apa-apa!

Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada manusia yang sempurna,

(10)

karya tulis ini, harap disampaikan kepada saya, ini demi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembelajaran individual. Akhir kalam, atas segala perhatian, dukungan, dan bantuan dari semuanya saya haturkan terimakasih. Semoga karya ini dapat berfaedah bagi ilmu pengetahuan.

Ciputat, November 2014

(11)

vii

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Metode Penelitian ... 8

BAB II: KAJIAN TEORETIS A. Gaya Bahasa ... 17

B. Puisi ... 28

C. Musik dan Lirik Lagu ... 38

D. Hakikat Pembelajaran Sastra ... 43

(12)

BAB III: BIOGRAFI TOKOH

A. Ahmad Mustofa Bisri... 50 B. Rhoma Irama ... 59 C. Ikhtisar Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat ... 74

BAB IV: PEMBAHASAN

A. Analisis Struktur Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat ... 76 B. Analisis Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya Mustofa

Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ... 101 C. Analisis Fungsi Gaya Bahasa Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ... 113 D. Implikasi Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa

Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 115

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 119 B. Saran... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 120 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

ix

Tabel I: Kata konkret dalam puisi Ibu ... 83

Tabel II: Kata Abstrak dalam puisi Ibu ... 85

Tabel III: Imaji dalam puisi Ibu ... 86

Tabel IV: Kata konkret dalam lirik lagu Keramat ... 96

Tabel V: Kata Abstrak dalam lirik lagu Keramat ... 97

(14)

1

Di dalam kehidupan sehari-hari, gaya memainkan peran yang penting. Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bentuk lisan maupun tulisan, seperti penggunaan gaya bahasa. Dapat dikatakan, tidak akan ada suatu kegiatan tanpa menggunakan gaya. Hal yang membedakan hanya terletak pada kualitas dari gaya yang digunakan.

Baik gaya secara umum maupun gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan. Perbedaannya terletak pada penggunaan gaya itu sendiri. Jika dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam aktivitas yang tidak berkaitan dengan seni, gaya hanya menduduki posisi sebagai sekunder. Berbeda dengan gaya dalam aktivitas karya sastra dan karya seni yang pada umumnya suatu keindahan, gaya menduduki posisi yang dominan, sebab karya seni merupakan keindahan itu sendiri.

Proses penciptaan gaya bahasa jelas disadari oleh penelitinya. Di dalam penelitian, gaya bahasa menjadi sangat penting dalam rangka memperoleh aspek keindahan secara maksimal, misalnya hanya untuk menemukan satu kata atau sekelompok kata yang dianggap tepat, peneliti harus melakukannya secara berulang-ulang. Dalam sebuah karya seni atau karya sastra, gaya bahasa merupakan aspek yang sangat penting, terlebih dalam karya berbentuk puisi yang memang harus menggunakan bahasa yang singkat dari bentuk karya sastra lainnya, namun tetap harus tersampaikan isinya.

(15)

S. Rendra banyak menyampaikan kritik sosial dalam puisinya menggunakan bahasa yang lugas agar kritikannya dapat tersampaikan secara tegas. Contoh lain dapat dilihat pada gaya bahasa yang ada pada puisi-puisi Mustofa Bisri. Umumnya puisi-puisi Mustofa Bisri banyak berbicara tentang masalah religiusitas dan kritik sosial. Mustofa Bisri juga menggunakan gaya bahasa yang lugas dan sederhana dalam puisi-puisinya agar gagasan-gagasannya yang relatif rumit dapat dipahami lebih mudah bagi pembacanya.

Penggunaan gaya bahasa menjadi sangat penting pada setiap karya seni atau karya sastra. Penggunaan gaya bahasa berkaitan dengan bagaimana pembaca memahami apa yang disampaikan melalui karya itu. Karya seni pada dasarnya merupakan media untuk menyampaikan gagasan penciptanya. Semua karya seni, entah seni sastra, seni tari, seni musik, maupun jenis seni lainnya merupakan media yang mengantarkan gagasan pengarangnya kepada khalayak umum.

Berkaitan dengan karya seni yang juga merupakan sebuah ―bahasa‖,

dengan demikian musik dapat disebut juga sebagai ―bahasa‖. Pada

hakikatnya musik merupakan bahasa atau media si pencipta untuk menyampaikan gagasannya dengan medium nada-nada. Di dalam musik, terdapat unsur-unsur seperti melodi, irama, birama, harmoni, tangga nada, tempo, dinamika, dan timbre. Akan tetapi, ada juga jenis musik yang dikemas dengan tambahan unsur lirik. Biasanya jenis musik yang populer adalah musik yang disertai unsur lirik lagu. Lirik lagu pada dasarnya dapat membantu seorang pencipta dalam menyampaikan sesuatu, sebab seorang pencipta lagu tidak hanya dapat menyampaikannya melalui nada-nada tetapi juga kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu.

(16)

fungsi di dalamnya, seperti sebagai ungkapan emosi, ungkapan rasa estetik, serta fungsi hiburan.

Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu juga mementingkan faktor linguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, seperti pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Faktor diksi dalam lirik lagu merupakan faktor penting karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik merupakan daya tarik dari sebuah lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa, merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu pada pesan yang disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Pemilihan kata yang tepat, suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar.

Seorang pencipta ketika meciptakan lirik lagu harus bisa menimbulkan efek keindahan, sehingga lirik tersebut mampu memberikan kenikmatan tersendiri, terutama bagi pendengarnya. Kenikmatan suatu lirik akan terlihat ketika pendengarnya ikut terbawa suasana yang diciptakan oleh pencipta lagu tersebut. Misalnya jika lagu yang dibuat mengandung unsur keindahan berupa rasa semangat, maka orang yang mendengarkannya pun akan terbawa oleh perasaan semangat. Begitu pula jika dalam lagu menggambarkan suasana kesedihan, kemudian orang yang mendengarkan ikut merasakan kesedihan, bahkan membuat pendengarnya meneteskan air mata. Secara tidak langsung seorang pencipta berhasil menimbulkan efek keindahan lewat lirik lagu yang ia ciptakan.

(17)

Berdasarkan hal ini peneliti melihat adanya beberapa persamaan antara lirik lagu dengan puisi.

Puisi dan lirik lagu, keduanya memiliki persamaan, yaitu sebuah media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang. Baik dalam puisi maupun lirik lagu, pemilihan kata harus dilakukan secara cermat dalam hal rima, irama, maupun harmonisasinya. Hanya saja dalam penelitian lirik lagu, penciptanya harus patuh terhadap rangkaian nada-nada pada lagu tersebut. Sampai sejauh ini, peneliti melihat perbedaan antara puisi dengan lirik lagu hanya pada hal tersebut. Selebihnya, dalam hal penyesuaian rima, irama, maupun harmonisasi tidak ada perbedaaan.

(18)

Melihat hal tersebut, peneliti tertarik kepada lirik lagu yang terdapat dalam lagu Rhoma Irama. Bersama grup musik dangdut Soneta Grup, Rhoma memang telah menunjukkan kelasnya sendiri. Jika dari sisi syair, lirik-lirik lagu Rhoma Irama memiliki kekuatan yang khas dan sangat bervariasi, mulai dari lirik-lirik yang berkisah tentang cinta, kritik sosial, pesan moral (keagamaan), serta nasionalisme. Lirik-lirik lagu Rhoma Irama juga kaya akan idiom-idiom baru, seperti yang terdapat pada judul lagu Mirasantika. Selain itu, melalui lagu-lagunya, Rhoma Irama juga

mempopulerkan istilah-istilah baru, seperti yang terdapat pada judul lagu Begadang, dan Santai.

Apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama melalui lirik lagunya, peneliti melihat adanya persamaan dengan apa yang dilakukan Mustofa Bisri melalui puisinya. Sama halnya dengan Rhoma Irama, Mustofa Bisri juga memilih menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami untuk menyampaikan isi yang bersifat kompleks, seperti puisi-puisi Mustofa Bisri yang berjudul Sujud, Bagimu, dan Kaum Beragama Negri Ini. Begitupun dengan tema, Mustofa Bisri juga banyak menampilkan tema yang bervariasi mulai dari religiusitas, maupun kritik sosial.

(19)

B. Identifikasi Masalah

1. Masih banyaknya anggapan, khususnya di kalangan siswa bahwa puisi dengan lirik lagu adalah sama.

2. Minat siswa terhadap pembelajaran puisi masih sangat kurang. 3. Puisi-puisi karya Mustofa Bisri serta lagu-lagu Rhoma Irama kurang

populer di kalangan siswa.

4. Kurangnya kemampuan siswa dalam pembelajaran gaya bahasa di sekolah.

5. Kurangnya variasi pembelajaran sastra di sekolah dalam memanfaatkan media yang telah tersedia.

C. Pembatasan Masalah

1. Perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.

2. Fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama? 2. Bagaimana fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya

Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama?

3. Bagaimana implikasi perbandingan gaya bahasa dan lirik lagu dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. 2. Mengetahui fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya

(20)

3. Mengetahui implikasi perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, baik secara teoretis maupun secara praktis, di antaranya sebagai berikut: 1. Manfaat teoretis

Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan pembelajaran penggunaan gaya bahasa yang lebih kreatif dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai perkembangan dunia sastra Indonesia khususnya pada tataran pembelajaran apresiasi sastra.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada: a. Siswa

Memperoleh pembelajaran penggunaan gaya bahasa dalam puisi dan lirik lagu, serta dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya-karya sastra, seperti puisi.

b. Guru

Khususnya guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai informasi pentingnya menerapkan penggunaan gaya bahasa yang bisa diterapkan pada bidang apa saja, seperti puisi maupun lirik lagu, dan upaya peningkatan kreativitas siswa dalam penggunaan gaya bahasa.

c. Penyusun

(21)

d. Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan gaya bahasa yang terdapat pada puisi dan lirik lagu.

G. Metode Penelitian

Suatu penelitian tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Maka dari itu, untuk mempermudah tujuan yang diinginkan, dibutuhkan suatu pendekatan yang tepat. Pendekatan yang digunakan oleh seorang peneliti akan menuntunnya dalam menggunakan metode yang harus digunakan. Akan tetapi, seorang peneliti tidak bisa sembarangan dalam memilih metode yang akan digunakan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti dalam memilih metode yang digunakan, seperti jenis data yang akan diteliti, serta kerangka berpikir yang menyertainya, sehingga apa yang menjadi tujuan peneliti dapat tercapai.

Sebelum membahas mengenai metode penelitian, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tahapan pelaksanaan penelitian. Penelitian yang dilakukan peneliti tergolong ke dalam penelitian bahasa, sehingga tahapan yang dilakukan oleh peneliti merujuk kepada yang dikemukakan oleh Mahsun, di mana ia membagi tahapan penelitian menjadi tiga tahap, yaitu prapenelitian, pelaksanaan penelitian, dan penelitian laporan penelitian.1

Tahapan prapenelitian dimaksudkan sebagai tahapan yang menuntun peneliti untuk berusaha merumuskan secara jelas tentang masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitian, termasuk hipotesis dari peneliti. Peneliti terlebih dahulu membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek yang akan diteliti. Hal tersebut dilakukan setelah peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti. Langkah peneliti selanjutnya adalah mulai memperkirakan hasil-hasil yang dapat dicapai melalui penelitian ini.

(22)

Dengan kata lain, peneliti mulai membuat rumusan jawaban yang sifatnya sementara terhadap permasalahan yang akan diteliti.

Setelah tahapan prapenelitian, peneliti melanjutkan ke tahapan pelaksanaan penelitian. Pada tahapan ini, Mahsun menjabarkannya dalam tiga tahapan pokok, yaitu penyedian data, analisis data, dan membuat hasil rumusan analisis yang diwujudkan dalam bentuk kaidah-kaidah.2 Ketiga tahapan tersebut merupakan inti dari kegiatan penelitian (bahasa), di mana ketiga tahapan tersebut masing-masing ditandai oleh kegiatan menyediakan dan tersedianya data, analisis data, dan ditemukannya kaidah-kaidah tertentu serta tersajinya kaidah-kaidah tersebut dalam rumusan-rumusan tertentu.3

Adapun tahapan penelitian laporan penelitian merupakan tahapan di mana peneliti membuat laporan dari penelitian yang dilakukan, yaitu dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, tahap ini ditandai oleh kegiatan membuat dan terwujudnya sebuah laporan penelitian.

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tahapan penelitian ini dimulai dari tahap prapenelitian, yaitu pada tahap ini peneliti terlebih dahulu membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek yang akan diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Mahsun mengungkapkan bahwa ada beberapa cara pengungkapan hubungan antarvariabel, yaitu pengungkapan sebab-akibat, pengungkapan hubungan korelasional, dan pengungkapan hubungan pengukuran perbedaan.4 Sehubungan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Mahsun, hipotesis yang dilakukan peneliti dalam penelitian kali ini berkaitan dengan linguistik atau kemampuan berbahasa (pengajaran bahasa). Peneliti memiliki pandangan bahwa penelitian ini dimungkinkan untuk dilakukan jika ditemukan kenyataan bahwa gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat dan hubungan timbal balik, yaitu kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pula gaya bahasa yang dipakainya. Dari

2Ibid., h. 32.

3Ibid.

(23)

kenyataan tersebut, peneliti membuat hipotesis melalui ketiga cara pengungkapan antarvariabel yang dikemukakan oleh Mahsun. Pertama, peneliti beranggapan bahwa pengajaran gaya bahasa pada siswa dapat mengembangkan kosakata siswa. Kedua, peneliti berasumsi bahwa kian kaya kosakata siswa ada korelasinya dengan pengajaran gaya bahasa. Ketiga, peneliti berasumsi bahwa terdapat perbedaan terhadap pemahaman gaya bahasa antara siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara tepat dengan siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara kurang tepat. Perlu diketahui bahwa hipotesis yang dilakukan peneliti sebagai jawaban sementara terhadap persoalan yang diajukan dalam penelitian ini tidak hanya disusun berdasarkan pengamatan (awal) terhadap objek penelitian, melainkan juga didasarkaan pada hasil kajian terhadap kepustakaan yang relevan.

1. Metode Penelitian

Secara umum, ada dua jenis metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu penelitian kualitatif dan penelitan kuantitatif. Selanjutnya, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada beberapa pendapat para ahli mengenai metode kualitatif. Moleong berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.5 Sementara itu, Mahsun memiliki pandangan bahwa metode yang bersifat kualitatif adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengelompokkan bahasa, yaitu metode kesamaan ciri-ciri linguistik (shared of linguistic features).6 Lebih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa pada prinsipnya metode kualitatif selain dapat digunakan untuk kajian pengelompokkan bahasa-bahasa

5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2009), h. 6.

(24)

berkerabat dalam kajian linguistik historis komparatif, juga dapat digunakan untuk pengelompokkan beberapa daerah pakai isolek ke dalam daerah pemakai bahasa atau dialek yang sama atau berbeda, serta penentuan kekerabatan antardialek atau subdialek dalam kajian dialektologi diakronis.7

Telah disebutkan sebelumnya bahwa metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif ini berusaha mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik objek yang diteliti, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstraksi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh.8 Melalui metode ini pula, peneliti dilibatkan dalam situasi dan fenomena yang sedang dipelajari. Analisis kualitatif ini memfokuskan pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada dalam bentuk angka-angka. Dalam menganalisis data, peneliti memperkaya infomasi, mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya (tidak ditransformasikan dalam bentuk angka). Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif.9

Dalam mencari definisi yang lebih mendalam tentang penelitian kualitatif, Bondan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.10 Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik (utuh), sehingga dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi

7Ibid., h. 218.

8 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2013), h. 86. 9Ibid., h. 87.

(25)

ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.11

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sebuah pendekatan penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif merupakan tempat untuk melakukan suatu penelitian dalam berbagai bidang ilmu. Tak terkecuali dalam penelitian bahasa. Oleh karena itu, penerapan pendekatan metode kualitatif pada penelitian ini menurut peneliti sudah tepat. Akan tetapi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan penelitian ini tidak begitu saja bisa diterapkan, melainkan harus diiringi dengan penggunaan metode-metode penelitian yang sesuai agar tujuan yang diinginkan tercapai.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data langsung yang berkaitan dengan karya yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus (yang memuat puisi Ibu) yang diterbitkan oleh Pustaka Firadus Jakarta, Cetakan I: 1995, dengan tebal 108 halaman. Sementara itu, data primer kedua berupa lagu Keramat terdapat di dalam album Santai (Volume VII) tahun 1977 yang diproduksi oleh Yukawi. Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak kemudian diikuti dengan teknik lanjutan yaitu teknik mencatat. Mahsun menjelaskan alasan metode tersebut diberi nama simak, karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, istilah menyimak di sini tidak hanya

(26)

berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis.12 Lenih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap.13 Hal tersebut dilakukan karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Artinya, dalam hal ini peneliti berupaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan. Perlu diketahui bahwa menyadap penggunaan bahasa yang dimaksudkan menyangkut penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis. Dalam hal ini peneliti hanya melakukan penyadapan penggunaan bahasa secara tertulis. Hal tersebut karena peneliti dihadapkan dengan penggunaan bahasa bukan dengan orang yang sedang berbicara, tetapi berupa bahasa tulis, yaitu teks puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.

Dalam praktik selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan teknik rekam. Adapun peneliti memilih teknik simak bebas libat cakap. Maksudnya, dalam hal ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informannya. Peneliti tidak terlibat dalam peristiwa pertuturan yang bahasanya sedang diteliti. Hal tersebut karena peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa secara tertulis, yaitu puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama, sehingga dalam penyadapan peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik bebas libat cakap, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dan penggunaan bahasa secara tertulis.

Teknik simak dan teknik catat digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya yang akan diteliti. Dalam hal ini sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan analisis struktur yang membangun serta perbandingan gaya bahasa yang

(27)

terdapat dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat untuk memperoleh data yang diperlukan. Pada penelitian ini sumber datanya berupa gaya bahasa dalam Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan dalam lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, maka proses menyimak dilakukan dengan cara membaca cermat puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan mendengarkan lagu Keramat karya Rhoma Irama. Selanjutnya, peneliti memperjelas hasil simakan dengan membaca teks lirik lagu, setelah itu peneliti mencatatnya. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang penelitian yang akan dicapai.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh dengan metode simak yang diiringi dengan teknik catat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka, data penelitian pun diklasifikasikan menurut jenisnya untuk kemudian dianalisis. Hal tersebut dilakukan karena dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada keajekan isi komunikasi secara kualitatif, di mana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi.14

Pada penelitian ini jenis data yang menjadi objek penelitian berupa struktur gaya bahasa yang tergolong sebagai data kualitatif atau bukan dengan angka, maka metode analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan teknik analisis deskriptif.

14 H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

(28)

Langkah awal dalam menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama adalah dengan membaca secara heuristik kemudian dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Hal ini dimaksudkan untuk memberi makna puisi dan lirik lagu secara struktural semiotik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.15 Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dan lirik lagu dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Selanjutnya, untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), atau bila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Membaca dengan heuristik ini bertujuan untuk mengetahui makna tersurat secara keseluruhan dari puisi Ibu dan lirik lagu Keramat. Setelah itu, peneliti melanjutkan membaca dengan cara hermeneutik. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.16 Dalam pembacaan hermeneutik ini puisi dan lirik lagu dibaca berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang dimaksud berdasarkan pendapat yang dikemukakan Riffaterre dalam buku Metodologi Penelitian Sastra adalah konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (puisi).17 Sehingga, pembacaan hermeneutik ini bertujuan untuk menafsirkan teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat.

Setelah menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dengan membaca secara heuristik kemudian

15 Rachmat Djoko Pradopo, Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme-Semiotik dalam

Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), h. 96. 16Ibid.

(29)

dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Teknik dasar metode ini adalah teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Pemilihan metode ini diperkuat dengan pendapat Mahsun yang mengatakan bahwa

metode padan selalu mengaitkan bahasa sebagai sistem holistis, yang terdiri atas bagian-bagian yang membentuk kesatuaan. Adanya bagian tertentu tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian tertentu tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian lain yang membentuk sistem holistis tersebut. Dalam pada itu, identitas bagian tertentu ditentukan keberadaannya oleh identitas yang lain. Oleh karena itu, teknik hubung banding sangat menentukan.18

Berdasarkan hal tersebut, analisis dilakukan untuk mengetahui struktur yang membangun puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama kemudian dilihat perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalamnya. Setelah menganalisis struktur dan perbandingan gaya bahasa dalam puisi Ibu dan lirik lagu Keramat, kemudian dalam kedua karya tersebut diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

(30)

17 1. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu kegiatan tanpa menggunakan gaya. Begitu pula dalam karya sastra, gaya merupakan cara pengarang dalam memaparkan gagasan yang ingin disampaikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam proses penulisan karya sastra, efek tersebut berkaitan dengan upaya memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun efek tertentu bagi pembacanya.

Hal yang pertama perlu dipahami bahwa gaya bahasa bukan semata-mata menggayakan suatu bahasa.

Nini Ibrahim mengatakan, bahwa gaya bahasa disebut juga majas, yaitu penggunaan kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan maksud tertentu. Gaya bahasa berguna untuk menimbulkan keindahan dalam karya sastra atau dalam berbicara. Setiap orang atau pengarang memiliki cara tersendiri dalam memilih dan menggunakan gaya bahasa.19

Lamuddin memiliki istilah lain bahwa gaya bahasa disebut juga dengan langgam bahasa dan sering juga disebut majas, yaitu cara penutur mengungkapkan maksudnya.20 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa gaya bahasa berkaitan dengan cara penutur dalam menyampaikan maksudnya, sehingga petutur dapat menerima dengan mudah maksud yang disampaikan oleh penutur. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nini

19 Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press,

2009), h. 74.

20 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan

(31)

Ibrahim mengenai gaya bahasa untuk menimbulkan efek keindahan. Sementara itu, Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan batasan mengenai pengertian gaya bahasa, yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).21 Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli, dapat disimpulkan mengenai pengertian gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan yang ingin disampaikan untuk mengungkap pikiran dan perasaan dengan maksud tertentu melalui bahasa secara khas.

Pada dasarnya dalam karya sastra, baik gaya maupun gaya bahasa memegang peranan penting. Gaya bahasa berkaitan dengan masalah penulisan, penyajian, komposisi, struktur penceritaan, termasuk penampilan huruf, cover, dan ukuran buku.22 Sehingga, pada saat menganalisis sebuah karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul, seperti panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-kata serapan, penggunaan kosakata-kata daerah, dan sebagainya.

Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang.23 Mulai dari pemahaman gaya yang paling sederhana, seperti padanan kata dengan lawan kata hingga puisi konkret yang di dalamnya kata-kata harus diciptakan kembali sebab kata-kata yang sudah ada dianggap tidak mampu untuk mewakili makna gaya bahasa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang paling berperan di dalam karya sastra adalah gaya bahasanya. Melalui gaya bahasa, cara-cara penggunaan medium bahasa secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal

21 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),

h. 113.

22 Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya,

(32)

2. Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Struktur Karya Sastra Di dalam karya sastra terdapat tiga genre utama, yaitu puisi, prosa, dan drama. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gaya bahasa paling dominan terdapat di dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Artinya, puisi seolah-olah merupakan struktur dari gaya bahasa. Hal tersebut dapat dibuktikan dari susunan puisi itu sendiri, yaitu melalui medium terbatas dengan bahasa yang singkat dan padat mampu menyampaikan perasaan yang ingin diungkapkan oleh penyair. Melalui gaya bahasa pula, baik intensitas pemakaian maupun fungsi dan kedudukannya dalam struktur totalitas karya, membedakan genre sastra yang satu dengan genre sastra yang lain. Sejalan dengan hal tersebut, Ratna memiliki pandangan bahwa dominasi gaya bahasa terkandung dalam puisi dengan pertimbangan keterbatasan medium penampilannya, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah bahasa itu sendiri yang sekaligus merupakan alat dan tujuan.24

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa medium utama karya sastra adalah bahasa. Akan tetapi, sistem sastra tidak seketat sistem bahasa yang terikat dengan tata bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis. Begitu juga dengan sistem ejaan, yaitu penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat penggunaannya, misalnya ada bahasa baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relatif sama pada setiap orang, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara pengirim dengan penerima. Sebaliknya, di dalam karya sastra, penafsiran berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas estetis. Oleh karena itu, penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna sesungguhnya, bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada.

(33)

Tujuan utama gaya bahasa adalah menghasilkan keindahan.25 Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam ruang lingkup linguistik, maupun dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Akan tetapi, Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa kualitas estetis menjadi pokok permasalahan dalam tataran ruang lingkup kreativitas sastra, yaitu melalui metode dan teknik diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah.26 Lebih lanjut, Wellek dan Warren menjelaskan bahwa ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memahami timbulnya aspek-aspek, yaitu pertama melalui analisis sistematis sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan makna total, kedua, dengan cara meneliti ciri-ciri estetis karya sastra secara langsung sekaligus membedakannya dengan pemakaian bahasa biasa.27

Jika menggunakan salah satu cara yang dijelaskan Wellek dan Warren, yaitu melalui analisis sistemis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan makna total. Maka, hasil yang didapat adalah sistem linguistik yang khas karya tertentu, karya sastra seorang pengarang, atau sekelompok karya dalam satu periode. Dari situlah akan terlihat bahwa gaya lahir secara bersistem. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Meskipun karya sastra adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari kekosongan, melainkan memiliki akar tempatnya berpijak, dan asal usulnya dapat dicari.28 Perubahan gaya bahasa memicu perkembangan genre yang selanjutnya menjadi indikator terhadap penyerapan sistem sosial ke dalam karya seni. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dan genre membantu efektivitas pemahaman terhadap masyarakat yang terungkap di dalam karya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kekhasan dari seorang pengarang atau karya dalam suatu periode.

25Ibid., h. 67.

26 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 226.

27Ibid.

(34)

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh karena itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Tarigan menyebutkan, bahwa ada sekitar 60 gaya bahasa dan digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.29 Berbeda dengan yang dikemukakan Widyamartaya, yaitu dengan mengistilahkan pembagian jenis gaya bahasa dengan gaya umum. Maksudnya, gaya umum itu dapat ditambah, diperbesar dengan salah satu cara. Lebih lanjut ia membagi menjadi lima kelompok cara agar gaya umum dapat diperbesar daya tenaganya, yaitu mengadakan perbandingan, pertentangan, pertukaran, perulangan, dan mengadakan perurutan yang bertujuan.30

Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian gaya bahasa yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Sudah disebutkan pula, pembagian jenis-jenis gaya bahasa dari berbagai ahli. Akan tetapi, dalam hal ini penulis lebih merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Gorys Keraf mengenai pembagian jenis-jenis gaya bahasa. Di dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys keraf membagi jenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian jenis-jenis tersebut dibagi lagi menjadi subjenis-jenis lain. Pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri.31

Alasan penulis merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Gorys Keraf, karena pembahasan gaya bahasa terutama dalam pembagian jenis-jenis gaya bahasa, Gorys Keraf terlihat lebih luas dan mendalam.

29 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6.

30 A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat: Bagaimana Mengembangkan,

(35)

Melalui buku Diksi dan Gaya Bahasa, dapat dilihat alasan Gorys Keraf menulis pembahasan tentang diksi dan gaya bahasa. Gorys berpandangan bahwa untuk dapat menulis sebuah karangan, baik fiksi maupun ilmiah tentulah dibutuhkan persyaratan tertentu. Persyaratan yang dimaksud Gorys antara lain seorang pengarang harus mampu memilih kata-kata yang tepat, harus luas kosa katanya, harus mampu menggunakan kamus yang ada. Di samping itu, ia juga berpandangan bahwa seorang penulis harus pula mampu mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang cocok dan tepat. Persyaratan tersebut yang menjadi titik berat pembahasan buku Diksi dan Gaya Bahasa ini. Gorys menguraikan secara sistematis dengan bahasa yang

mudah dipahami, dan disertai dengan contoh-contoh konkret.32

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Gorys Keraf membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian dari kedua jenis-jenis gaya bahasa tersebut diuraikan kembali menjadi subjenis yang lain. Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang dimaksud oleh Gorys Keraf.

a. Segi Nonbahasa

Dari segi nonbahasa, gaya bahasa dapat dibagi atas tujuh pokok, yaitu sebagai berikut.

1) Berdasarkan pengarang, artinya gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya,

32Buku Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf ini juga merupakan satu rangkaian

dengan buku-bukunya yang lain, seperti Komposisi, Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, dan

Narasi. Lebih lanjut, buku Diksi dan Gaya Bahasa ini merupakan lanjutan dari buku

Komposisi. Buku Komposisi dimaksudkan terutama untuk meletakkan dasar-dasar karang-mengarang bagi mahasiswa atau siapa saja yang ingin menggarap karangan secara baik dan

teratur. Sementara itu, buku Diksi dan Gaya Bahasa mencoba memperkenalkan komposisi

(36)

sehingga dapat membentuk sebuah aliran, misalnya gaya Chairil atau gaya Sutardji.33

2) Berdasarkan Masa, artinya gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan sebagainya.34

3) Berdasarkan Medium, maksudnya adalah medium merupakan bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri.35

4) Berdasarkan Subyek, artinya subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.36

5) Berdasarkan Tempat, artinya bahwa gaya mendapat nama dari lokasi geografisnya, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan ekspresi bahasanya.37

6) Berdasarkan Hadirin, artinya hampir sama dengan subyek, bahwa hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang.38

7) Berdasarkan Tujuan, artinya gaya ini memperoleh nama dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, gaya sarkatik, gaya diplomatis, gaya agung, ada pula gaya humor.39

33 Gorys Keraf, loc. cit. 34Ibid., h. 116. 35Ibid.

36Ibid.

37Ibid.

38Ibid.

(37)

b. Segi Bahasa

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, sebagai berikut.

1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata40

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dapat dikatakan, gaya bahasa mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.

Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapat dibedakan menjadi tiga jenis gaya bahasa. Pertama, gaya bahasa resmi, yaitu gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.41 Kedua, gaya bahasa tak resmi, biasanya gaya bahasa ini dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sebagainya. Singkatnya, gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum pelajar.42 Ketiga, gaya bahasa percakapan, yaitu gaya bahasa dalam percakapan, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun, di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan. Biasanya segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segi-segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan.43

40Ibid., h. 117.

41Ibid.

(38)

2) Gaya Bahasa Berdasarkan Nada

Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan.44

Nada pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata. Sementara itu, rangkaian kata-kata tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang berlaku, maka nada, pilihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya berjalan sejajar, dimana yang satu akan mempengaruhi yang lain.

Berdasarkan nada, gaya bahasa terbagi tiga, yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. Akan tetapi, dalam hal ini hanya dijelaskan mengenai gaya mulia dan bertenaga. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, berdasarkan nadanya penulis menemukan adanya persamaan, yaitu sama-sama menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Sesuai dengan namanya, gaya mulia dan bertenaga ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemulian. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar.45

3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Ada kalimat yang periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Jenis ketiga adalah kalimat berimbang,

(39)

yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat.46 Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat yang telah disebutkan, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa, seperti klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.

Di dalam gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya penulis hanya menjelaskan gaya bahasa repetisi. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, berdasarkan struktur kalimatnya, penulis menemukan adanya persamaan, yaitu sama-sama menggunakan gaya bahasa repetisi. Pengertian gaya bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.47

4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Akan tetapi, bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksud di sini.48

Gaya bahasa dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok. Pertama, gaya bahasa retoris, yaitu semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris meliputi, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau

46Ibid., h. 124.

(40)

pernyataan retoris, silepsis dan zeugma, koreksi atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron. Kedua, gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa kiasan meliputi, persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.

Pembahasan mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, baik yang meliputi gaya bahasa retoris maupun yang meliputi gaya bahasa kiasan, penulis hanya menjelaskan jenis gaya bahasa simile atau persamaan dan gaya bahasa ironi. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, penulis menemukan adanya perbedaan, yaitu Gus Mus lebih cenderung banyak menggunakan gaya bahasa simile, sementara Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi.

Gaya bahasa persamaan atau Simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Oleh karena itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.49 Sedangkan gaya bahasa ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.50 Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ironi akan berhasil jika pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya.

49Ibid. h. 138.

(41)

B. Puisi

1. Pengertian Puisi

Puisi merupakan salah satu genre sastra. Banyak ahli yang masih memperdebatkan apa itu puisi. Begitu banyak definisi yang menjelaskan tentang puisi, namun masih ada sebagian orang yang merasa tidak puas dengan definisi yang telah diberikan.

Secara mendasar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan baik; gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.51 Kosasih berpandangan, puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna, di mana keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu.52 Lebih lanjut, Kosasih menambahkan bahwa kekayaan makna yang terkandung dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa, di mana bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang digunakan sehari-hari, yaitu menggunakan bahasa yang diringkas, namun maknanya sangat kaya.53 Sementara itu, Waluyo mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.54 Definisi-definisi yang sudah disebutkan tidaklah salah. Akan tetapi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra mengingatkan, hakikat

51 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112.

52 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.

97. 53Ibid.

(42)

puisi harus ditinjau dari segi pengarang dan pembaca. Artinya, puisi merupakan karya yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai puisi dan diterima dengan sama oleh pembaca.55 Sedangkan Goenawan Muhamad (GM), penyair besar Indonesia, memiliki pandangan tersendiri mengenai hakikat puisi. Goenawan berpendapat bahwa puisi bukanlah rangkaian kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan antara kita dan dunia luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita—sebuah kotak yang, dalam kata-kata seorang penyair,

―sederhana, seperti nyanyi‖.56

Sejalan dengan yang dikemukakan Goenawan Muhamad, dalam buku The Norton Reader An Anthology of Expository prose dikatakan bahwa the work of the poet comes to meet the spiritual need of the society in which he live, and for this reason his work means more to him than his personal fate, whether he is a aware of this or not,57 artinya, bahwa karya penyair datang untuk memenuhi kebutuhan spiritual dari masyarakat di mana ia hidup, dan untuk alasan ini karyanya berarti lebih baginya daripada nasib pribadinya, apakah ia menyadari hal ini atau tidak. Berdasarkan definisi yang sudah disebutkan dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah ragam sastra berupa luapan jiwa yang tersusun secara baik dengan bahasa yang terikat oleh irama, matra, rima, penyusunan larik dan bait yang memberikan keindahan serta di dalamnya mengungkapkan perasaan penyair dengan tetap berkonsentrasi pada struktur fisik dan struktur batinnya.

2. Struktur Puisi

Keberadaan suatu karya sastra merupakan hasil cipta dari beberapa struktur. Struktur tersebut menjadi pembangun yang penting sebagai

55 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 108.

56 Abdul Rozak Zaidan, Goenawan Muhamad, Berpuisi dengan Ironi, (Jakarta:

Bukupop, 2009), h. 26.

57 Arthur M. Eastman (ed),The Norton Reader An Anthology of Expository

(43)

pondasi kuat penyangga karya sastra. Begitu pula dalam puisi, tentunya terdiri dari beberapa struktur yang membangunnya. Waluyo membagi struktur puisi ke dalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Sejalan dengan pernyataan Waluyo, Aswinarko dan Ahmad Bahtiar mengatakan, bahwa struktur fisik secara tradisional disebut elemen bahasa, sedangkan struktur batin secara tradisional disebut makna puisi.58 Bentuk fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan larik puisi, termasuk ke dalamnya perwajahan puisi (tipografi), diksi, pengimajian, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, dan versifikasi. Sementara yang mencakup struktur batin adalah tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat.

Berikut ini penjelasan mengenai struktur fisik dan batin puisi yang dikemukakan Waluyo, dan nantinya dijadikan rujukan penulis dalam menganalisis karya yang akan diteliti.

a) Perwajahan (tipografi)

Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Siswanto juga menjelaskan bahwa pada puisi konvensional, kata-kata yang digunakan diatur dalam deret yang disebut larik atau baris, di mana larik atau baris dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik.59 Lebih lanjut, Waluyo menjelaskan bahwa tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa maupun drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan. Ciri-ciri demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.60 Berdasarkan hal

58 Aswinarko dan Ahmad Bahtiar, Kajian Puisi Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra

Press, 2013), h. 49.

(44)

tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan tipografi dalam puisi sangat berpengaruh terhadap pemaknaan puisi.

b) Versifikasi

Versifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritma, dan metrum. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Melalui pengulangan bunyi, puisi menjadi merdu jika dibaca. Penyair juga mempertimbangkan lambang-lambang bunyi agar pemilihan bunyi-bunyi tersebut mendukung perasaan dan suasana puisi.61 Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Slamet Muljana dalam Waluyo menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.62 Ritma puisi berbeda dari metrum (matra), di mana metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap, dan sifatnya statis.

c) Diksi

Siswanto menyatakan bahwa diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan Siswanto, Waluyo juga menyatakan bahwa penyair tidak hanya cermat dalam memilih kata-kata, sebab kata-kata yang tulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.63 Oleh karena itu, di samping memilih kata yang tepat, penyair

61 Waluyo, op. cit., h. 90. 62Ibid., h. 94.

(45)

juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut.

Kata-kata dalam puisi bersifat konotatif dan ada pula kata-kata yang berlambang. Kata berkonotasi adalah kata yang bermakna tidak sebenarnya. Kata-kata tersebut berfungsi sebagai kiasan atau perbandingan. Sementara itu, kata berlambang adalah suatu gambar, tanda, atau kata yang menyatakan maksud tertentu. Penggunaan kata berlambang berfungsi untuk menambah keestetikaan puisi.

Pemilahan kata juga berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya. Kata dalam puisi tidak hanya sekedar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan penyair.

Di dalam puisi sering sekali terdapat penyimpangan-penyimpangan. Geoffry dalam Siswanto menyebutkan ada sembilan jenis penyimpangan yang sering dijumpai dalam puisi, yaitu (1) penyimpangan leksikal, (2) penyimpangan semantis, (3) penyimpangan fonologis, (4) penyimpangan morfologis, (5) penyimpangan sintaksis, (6) penggunaan dialek, (7) penggunaan register, (8) penyimpangan historis, dan (9) penyimpangan grafologis.64

d) Kata Konkret dan Kata Abstrak

Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra.65 Suatu kata harus diperkonkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca. maksudnya adalah, bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Sama halnya dengan pengimajian, kata yang diperkonkret erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair, sehingga pembaca terlibat penuh

Gambar

Tabel II: Kata Abstrak dalam puisi Ibu ...........................................................
Kata Konkret Puisi Tabel I Ibu
Kata Abstrak dalam Puisi Tabel II Ibu
gambaran keagungan seorang ibu, karena alam menunjukkan sesuatu yang
+4

Referensi

Dokumen terkait