• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN TEORETIS

E. Penelitian Relevan

Menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan adanya skripsi yang membahas tentang lirik lagu Rhoma Irama, yaitu Analisis Nilai-Nilai Pendidikan dalam Syair Lagu-Lagu H. Rhoma Irama oleh Lulu Ria Sari (2815001926), Jurusan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (2007). Skripsi tersebut membahas tentang nilai-nilai pendidikan, seperti logika, etika, estetika, dan religi yang terkandung dalam

88Ibid., h. 16.

syair lagu-lagu Rhoma Irama. Skripsi lain yang membahas Rhoma Irama, yaitu The Voice of Moslem: Dangdut Dakwah Rhoma Irama Bersama Soneta 1972-2000 oleh Sulaiman Yudha Harahap (NPM: 070404044Y), program studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2010). Skripsi tersebut membahas tentang perjalanan dangdut dakwah Rhoma Irama bersama Soneta pada kurun waktu 1972-2000. Selain memaparkan sejarah dan hibridasi musik melayu, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana dangdut dakwah Rhoma Irama bersama Soneta dapat bertahan dan sukses di industri musik nasional, bahkan menjadi salah satu ikon musik populer Indonesia. Penelitian tersebut juga mengutarakan bahwa kekuatan dakwah dalam dangdut Rhoma Irama terletak pada lirik- lirik lagunya yang argumentatif, komunikatif, dan inspiratif. Sementara itu, penelitian mengenai Mustofa Bisri, penulis temukan di skripsi yang berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi puisi Tadarus. Skripsi lain yang membahas A. Mustofa Bisri, yaitu

Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” dan “

Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014), program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 2 puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial

dalam puisi ―Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖, serta

implikasi kedua puisi tersebut dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

Berdasarkan hasil penelusuran di atas, penulis menemukan perbedaan mengenai pembahasan yang dilakukan, di mana penulis meneliti Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya A. Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Perbedaan mengenai pembahasan dengan empat skripsi yang telah ditemukan adalah pada skripsi pertama, meskipun objek penelitiannya sama (Rhoma Irama), tetapi fokus pembahasannya berbeda, yaitu nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam syair lagu Rhoma Irama, serta lagu-lagu yang dipilih untuk dianalisis pun berbeda. Selanjutnya perbedaan dengan skripsi yang kedua terletak pada fokus pembahasannya, di mana pada penelitian kedua fokus pembahasannya tentang sejarah dan hibridasi musik melayu serta kekuatan dakwah dalam dangdut Rhoma Irama yang terletak pada lirik-lirik lagunya. Kemudian, perbedaan dengan skripsi yang ketiga terletak pada fokus pembahasannya. Pada penelitian ketiga objek penelitiannya adalah kumpulan puisi karya A. Mustofa Bisri yang termuat di dalam Antologi Puisi Tadarus. Sementara itu, perbedaan dengan skripsi yang keempat juga terletak pada fokus pembahasannya. Pada penelitian keempat objek penelitiannya hanya pada 2 karya A. Mustofa Bisri, yaitu puisi ―Kalau

Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖. Selain itu, fokus penelitiannya

berbeda, yaitu mengenai kritik sosial yang terdapat dalam dua puisi tersebut. Berdasarkan perbedaan keempat penelitian yang relevan di atas, peneliti terinspirasi untuk menjadikan A. Mustofa Bisri dan Rhoma Irama sebagai objek penelitian. Meskipun objek penelitian ini serupa dengan keempat penelitian yang sudah dijelaskan, tetapi skripsi ini memiliki perbedaan yang menjadi nilai tersendiri, yakni dengan membandingkan karya dari kedua objek penelitian. Dikatakan berbeda karena dari keempat penelitian yang sudah dijelaskan di atas, penelitian-penelitian tersebut hanya menjadikan satu tokoh sebagai objek penelitiannya, yaitu dengan memilih Rhoma Irama atau A. Mustofa Bisri. Sedangkan penulis memilih untuk

menjadikan kedua tokoh tersebut sebagai objek penelitian, di mana nantinya dari karya kedua tokoh tersebut akan dibandingkan pada aspek gaya bahasanya. Selain itu, pada penelitian ini, penulis juga mengaitkan kedua karya dari kedua tokoh tersebut dengan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Tujuan menggabungkan antara perbandingan gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu dengan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi dan implikasinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah untuk melihat hubungan yang baik dan positif dalam pembelajaran. Hal ini akan terlihat dampaknya jika para siswa tidak hanya paham pelajaran atau materi secara teoretis, tetapi juga cakap dalam mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

50 A. Ahmad Mustofa Bisri

1. Biografi A. Mustofa Bisri

K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa Tengah, 10 Agustus 1994, dari keluarga santri. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.90 Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya pun terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian ia kembali ke Rembang untuk mengaji langsung di bawah asuhan ayahnya.91 K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964, Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil

90 Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri diakses dari

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indexs.html

diakses pada 20 Maret 2014

jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum).92

Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.

Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.93 Kakek dari empat cucu ini sehari- hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya, Almas. Setelah kakaknya, K. H. Cholil Bisri, meninggal dunia, ia sendiri yang memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang itu sudah berdiri sejak tahun 1941. Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya. Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya,

92Ibid

dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal disana. Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, Gus Mus juga seorang budayawan, pelukis, dan penulis. Gus Mus telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang sedang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memarkan lukisannya yang berjudul ―Berdzikir

Bersama Inul‖.94

Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya yang berkembang saat itu.95

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya, Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar. Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan

kaligrafi. ―sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-

indahkan‖, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.96

Gus Mus mulai akrab dengan dunia puisi saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat

94Ibid

95Ibid

majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Gus Mus diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Akan tetapi, ketika Gus Dur tahu, bahwa Gus Mus bisa melukis. Maka, ia diminta membuat lukisan sehingga jadilah coret-coretan, kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong.97 Sejak saat itu, Gus Mus hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku. Namun, Gus Dur pula

yang ‗mengembalikan‘ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987,

ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara

―Malam Palestina‖. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya

para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan puisi aslinya. Gus Mus yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair. Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota, bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Kiai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam kumpulan puisi, seperti Ohoi: Kumpulan Puisi balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wek-Wek: Sajak-sajak Bumi- langit (1996), Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), Negeri Daging adalah antologi puisi Gus Mus yang terbaru (masuk dalam Seri Pustaka Puisi, Bentang Budaya, 2002).98 Kekuatan dan mumtaz puisi-puisi Gus Mus terletak pada tematiknya, yang merambah wilayah sosio-religi. Meskipun sesekali menyentuh ranah politik, bahkan menyentil kebekuan dunia birokrasi. Kritiknya pedas, juga tidak menusuk ulu hati, tetapi meledakkan

97Ibid

98 Arief Fauzi Marzuki, Gus Mus Pada Sebuah Negeri Daging, Republika, edisi 9

rasa kemanusiaan kita yang terkadang terkesan lucu, kocak, dan penuh banyolan.99

Gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak- sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam pengucapan, tetapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tetapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Hal tersebut diungkapkan oleh

―Presiden Penyair Indonesia‖, yaitu Sutardji Calzoum Bachri yang menilai tentang kepenyairan Gus Mus.

Kesederhanaan Gus Mus telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia pernah didorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural agar mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PBNU pada Muktamar NU ke- 31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya untuk menandingi dan menghentikan langkah maju K. H. Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap sebagai salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum yang lama. Akan tetapi, Gus Mus justru bersikukuh menolak. Alhasil, Hasyim Muzadi, mantan calon wakil presiden yang ketika itu berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarno Putri dari PDI Perjuangan pada Pemilu Presiden 2004 itu terpilih kembali sebagai Dewan Tahfiidzah ‗berpasangan‘ dengan K. H. Ahmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PBNU. Muktamar tersebut meninggalkan catatan tersendiri bagi Gus Mus, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur. Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Contohnya adalah kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, tahun 1987-1992

mewakili PPP dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PBNU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Selanjutnya, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun ke gelanggang politik, apalagi terlibat aktif di dalamnya.

Sosok Gus Mus begitu lentur, produktif, aktif, dan supel. Hal ini mengantarkannya memperoleh banyak apresiasi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan cendekiawan, sastrawan, seniman, dan budayawan. Sejumlah sastrawan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, Emha

Ainun Nadjib, Sutarji Calzoum Bahri, Syu‘ba Asa, dan Slamet Effendi

Yusuf telah mengurai kepiawaian Gus Mus dalam buku berjudul Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, yang diterbitkan LkiS bekerjasama dengan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.

2. Pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra

Sebelum mengkaji puisi Ibu lebih jauh yang nantinya akan dibandingkan mengenai gaya bahasanya dengan lirik lagu Rhoma Irama yang berjudul Keramat, berikut ini pemaparan singkat mengenai pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra. Hal tersebut sangat penting, sebab jika berbicara karya sastra, maka tidak lepas dari pengarangnya. Selain itu karya sastra tidak terlepas dari cerminan hidup pengarangnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wahyudi Siswanto, bahwa karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan pengungkapan pribadi pengarang.100

Terlahir di lingkungan keluarga yang taat beragama, A. Mustofa Bisri selain dikenal sebagai pengarang, juga sebagai seorang kiai dan tokoh di Jajaran Rais PBNU. Kegemarannya menulis, membuat Gus Mus disebut sebagai kiai yang nyeleneh. Sementara, ia sendiri berpendapat, bahwa bersastra sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu, karena sastra itu diajarkan di pesantren. Ia juga menambahkan, bahwa setiap malam Jumat

paling tidak membaca puisi, Burdah, dan Barzanzi. Hal tersebut menurutnya, bahwa puisi, Burdah, dan Barzanzi merupakan karya sastra yang agung, sedangkan Al-Quran sendiri merupakan maha karya sastra yang paling agung.101 Berdasarkan pernyataan tersebut, semakin jelaslah kecintaan A. Mustofa Bisri pada dunia sastra.

Melihat pandangan hidup Mustofa Bisri, dapat dilihat dari dua sisi latar belakangnya, yaitu seorang ulama dan juga seorang penyair. Ia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Hal tersebut diungkapkan oleh Jamal D. Rahman yang mengatakan, bahwa pandangan dunianya adalah pandangan dunia ulama sekaligus seorang penyair.

Seorang ulama memandang dunia dari sudut agama; pandangan dunianya mereflesikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia ini intuisi kepenyairannya; pandangan dunianya mereflesikan bangunan intuitifnya. Keduanya bertemu pada satu titik: baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apapun selain dirinya sendiri; pada saat yang sama keduanya berbicara tentang masalah sosial. Pada tingkat praktis, seorang ulama teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis juga puisi sosial yang hiruk pikuk.102 Pada awalnya, menjadi penyair atau sastrawan bukanlah cita-cita Gus Mus. Hal inilah yang membuatnya tidak pernah berlindung di balik kata-kata. Gus Mus mengatakan, ―Barangsiapa membaca puisi-puisi saya yang terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul Sajak-sajak Balsem, ia tidak perlu mengerutkan jidatnya lebih dulu buat memahaminya. Seperti halnya Balsem, sajak-sajak saya langsung pada tujuannya, lugas dan tegas.

101 Anonim, Komunitas Mata Air-Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis-dalam

http://www.gusmus.net/page.php?mod=statis&id=1,

102 Jamal D. Rahman, A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama-Penyair, dalam Labibah Zain

dan Lathiful Khuluq (eds), Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, (Yogyakarta: LkiS, 2009),

Layaknya orang yang diolesi balsem, kelompok orang yang saya singgung dalam puisi saya juga akan merasa panas, tapi hanya sebentar. Setelah itu, ia bisa saja malah membenarkan apa yang ingin saya coba sampaikan sajak-

sajak tersebut‖.103

Kemunculan Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia dianggap telah memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Jamal D. Rahman yang mengatakan bahwa

puisi-puisi Gus Mus adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Sedangkan, Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras, namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita

geram, namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.‖104

Di dalam proses kreatifnya, Gus Mus mengaku hanya menulis, karena menurutnya, dirinya hanya menulis dan tidak bisa menilai, bahkan sekedar mengomentari tulisannya sendiri. Pengakuan tersebut bisa saja sebagai bentuk kerendahatian atau strategi literer bahwa karya sastra yang ia tulis menjadi sah untuk diterima, apapun bentuk dan isi pemikirannya. Meskipun Sapardi Djoko Damono memberikan cap bahwa dari segi stalistik maupun tematik puisi Gus Mus menggunakan taktik yang sama dengan puisi mbeling, namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan puisi Gus Mus tidak memiliki ideologi literer maupun ideologisme sebagaimana puisi mbeling yang dimotori oleh Remy Sylado. Selain itu, puisi Gus Mus juga menyimpang dari kebiasaan gaya ungkap

103 Ruly Baharudin, Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘ Mustofa

Bisri, Republika, edisi 23 Mei 1993, h. 4.

puisi yang dipakai oleh penyair mapan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, dan WS. Rendra.105

Gus Mus juga pernah menuturkan, bahwa ―saya tidak peduli orang mau mengatakan puisi saya itu apa. Tetapi, yang penting saya menulis puisi. Tidak menjadi soal mau digolongkan puisi mbeling, kontemporer atau apa lagi. Urusan saya kan menuangkan apa yang ingin saya tuangkan ke dalam puisi. Penggolongan itu urusan kritikus sastra‖.106 Gus Mus juga menanggapi komentar Sapardi Djoko Damono dengan dengan jujur. Ia

menuturkan, bahwa ―kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis

puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah saya akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis

atau penyair lain di dalamnya. Ada puisi saya yang ‗berbau ka‘ab‘, ‗berbau Ma‘arry‘. ‗berbau Khayyam‘, ‗berbau Busheiry‘, ‗berbau Iqbal‘, ‗‘berbau Ibn Shabaq‘, ‗berbau Sauqi‘, ‗berbau Goenawan‘, ‗berbau Emha‘, ‗berbau Danarto‘, ‗berbau Taufiq‘, ‗berbau Sapardi‘, ‗berbau Zawawi‘, ‗berbau Yudistira‘...‖107

Ciri khas dari puisi Gus Mus dapat dilihat pada pengungkapan masalah sosial dan spritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan Gus Mus cukup wajar dan sederhana, namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat makna yang lebih. Sajak-sajak Gus Mus juga banyak menggunakan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial, sehingga seolah sajak tersebut bertemakan religi, padahal hakikatnya menyuarakan protes.

Menyimak Gus Mus dan karya-karyanya, setidaknya terdapat

Dokumen terkait