• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy Nama NIM FoodBeras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy Nama NIM FoodBeras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (

WILLINGNESS TO PAY

)

PRODUK

HEALTHY FOOD

BERAS MERAH PULEN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis kesediaan membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Rizkiyan Fajaresa Abdillah

NIM H34100164

________________________

(4)

ABSTRAK

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH. Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy Food Beras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Dibimbing oleh HENY K. DARYANTO.

Beberapa tahun terakhir ini, konsumsi beras merah dipopulerkan sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Beras merah dengan konsep healthy food

merupakan salah satu produk dari Serambi Botani. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya hubungan karakteristik responden dengan kesediaanya membayar, mengetahui nilai rataan kesediaan membayar, dan mengetahui faktor yang mempengaruhi pengunjung terhadap harga maksimal yang sanggup dibayarkan untuk produk healthy food beras merah pulen. Hasil dari penelitian ini yaitu hubungan karakteristik responden dan kesediaannya dalam membayar mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan usia separuh baya yang memiliki jumlah anggota keluarga kecil dan berpendidikan terakhir strata 1 serta bekerja sebagai pegawai swasta berpenghasilan > Rp 7 500 000. Nilai rataan maksimum WTP untuk produk healthy food beras merah pulen adalah sebesar Rp 33 350 per satu kilogram dengan standar deviasi sebesar Rp 13 000. Faktor yang paling mempengaruhi responden dalam mengestimasi nilai WTP adalah jumlah anggota keluarga dan kepedulian terhadap pangan sehat dan bergizi.

Kata kunci: beras merah, contingent valuation method,willingness to pay.

ABSTRACT

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH. Analysis of Willingness to Pay for Healthy Food Product of Fluffier Brown Rice in Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Supervised by HENY K. DARYANTO.

Several years lately, brown rice consumption has been popular as the part of healthy life style. Brown rice with the healthy food concept was realesed in Serambi Botani. The objectives of this research were to examine relationship characteristics of respondents willingness to pay, identify mean value of willingness to pay and identify factors that might influence visitors willingness to pay the maximum price in purchasing healthy food product of fluffier brown rice. The results of this research showed that relationships and characteristics of respondent’s willingness to pay with the highest percentage were female by middle age which had a small number of family members and last educated as scholar and had a job as a private employee with revenues of > Rp 7 500 000. The mean of maximum WTP for healthy food product of fluffier brown rice was Rp 33 350 per kg with the value of standard deviation is Rp 13 000. The factors that most affected respondents to estimate value of willingness to pay for healthy food product of fluffier brown rice were number of family members and concern for healthy and nutritious food.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (

WILLINGNESS TO

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah kesediaan membayar konsumen, dengan judul Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy Food Beras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc selaku pembimbing, Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji utama dan Anita Primaswari Widhiani, SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dwiko, Bapak Han, Ibu Anna dan Ibu Erni dari Manajemen Serambi Botani yang telah mengijinkan peneliti mengambil dan mengumpulkan data penelitian. Penghargaan juga disampaikan kepada pengelola toko Serambi Botani Ibu Dewi beserta staff yang memperlancar selama pengambilan data berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga tidak lupa diungkapkan atas dukungan dari teman-teman Agribisnis angkatan 47 dan teman-teman teman-teman seperjuangan lainnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 8

KERANGKA PEMIKIRAN 13

Kerangka Pemikiran Teoritis 13

Kesediaan Membayar atau Willingness to Pay 13

Perilaku Konsumen 15

Model Keputusan Konsumen 16

Pandangan Neoklasik tentang Nilai dan Hubungannya dengan WTP 17

Kerangka Pemikiran Operasional 19

METODE 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Metode Pengumpulan Data 21

Metode Penentuan Sampel 22

Metode Pengolahan Data 23

Analisis Deskriptif 23

Contingent Valuation Method (CVM) 23

Analisis Regresi Linier Berganda 24

Uji Validitas 27

Uji Reliabilitas 27

Definisi Operasional 28

GAMBARAN UMUM 29

Serambi Botani 29

Visi dan Misi Serambi Botani 29

Segmenting, Targeting dan Positioning (STP) Serambi Botani 30

Bauran Pemasaran Serambi Botani 30

(12)

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Karakteristik Responden dan Hubungannya dengan WTP 32 Analisis Kesediaan Membayar (WTP) Produk Healthy Food Beras Merah 40 Analisis Faktor yang Memperngaruhi Responden Menentukan Nilai WTP 43

Implikasi Manajerial 52

SIMPULAN DAN SARAN 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 61

(13)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia dalam sehari menurut kelompok makanan pada tahun 2011-2013 1 2 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi di Indonesia

pada Tahun 2010-2013. 2

3 Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini 9 4 Tabel Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus 18 5 Variabel dependen dan kategori yang diasumsikan dapat

mempengaruhi nilai WTP 25

6 Patokan angka korelasi dan hubungannya terhadap korelasi 26 7 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan hubungannya

terhadap kesediaan membayar 33

8 Sebaran responden berdasarkan usia dan hubungannya terhadap

kesediaan membayar 34

9 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga dan

hubungannya terhadap kesediaan membayar 35

10 Sebaran responden berdasarkan status pernikahan dan hubungannya

terhadap kesediaan membayar 37

11 Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir dan

hubungannya terhadap kesediaan membayar 38

12 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan dan hubungannya terhadap

kesediaan membayar 39

13 Sebaran responden berdasarkan pendapatan dan hubungannya

terhadap kesediaan membayar 40

14 Sebaran kesediaan membayar responden 41

15 Sebaran responden dalam kesediaannya membeli produk dalam

jangka waktu satu bulan 42

16 Sebaran responden dalam kesediaan membeli produk terhadap alasan

yang mendorong motivasi pembelian 42

17 Hasil output model summary dan ANOVA regresi linier berganda terhadap variabel independen dan dependen 43

18 Hubungan variabel independen dan VIF 44

19 Hasil uji regresi berganda nilai WTP healthy food beras merah pulen 45 20 Alasan motivasi pembelian responden terhadap produk healthy food

beras merah pulen dalam jangka waktu dekat (satu bulan) 53 21 Sebaran pengetahuan responden akan produk healthy food beras

merah pulen dan sumber pengetahuannya. 54

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar model keputusan Sumarwan 16

2 Surplus Konsumen dan Surplus Produsen 19

3 Kerangka Pemikiran Penelitian 21

4 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin 33

(14)

6 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga 35 7 Sebaran responden berdasarkan status pernikahan 36 8 Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir 37

9 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan 38

10 Sebaran responden berdasarkan pendapatan 39 11 Frekuensi kumulatif responden terhadap nilai WTP 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian 61

2 Hasil validitas dan reliabilitas 62

3 Hasil rataan nilai WTP 63

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi besar dalam menghasilkan bahan pangan pokok sebagai asupan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Bahan pangan pokok ini, bagi sebagian besar penduduk Indonesia merupakan komponen penting dalam pemenuhan kecukupan gizi dan energi. IPB (2000) menyebutkan bahwa beras menyumbang 60-65 persen dari total konsumsi energi di Dunia, sedangkan di Indonesia, beras menyumbang 63 persen terhadap kecukupan energi, 38 persen terhadap kecukupan protein, serta 21.5 persen terhadap total kecukupan zat besi.

Tabel 1 Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia dalam sehari menurut kelompok makanan pada tahun 2011-2013.

No Komoditi Rata-rata konsumsi per KKal

2010 2011 2012 2013

1 Padi-padian 927.05 906.20 890.88 872.97

2 Umbi-umbian 37.05 39.76 31.66 33.07

3 Ikan 45.34 46.72 46.23 44.77

4 Daging 41.14 44.45 57.07 39.22

5 Telur dan susu 56.20 54.09 49.57 53.35

6 Sayur-sayuran 38.72 37.46 37.72 35.84

7 Kacang-kacangan 56.19 52.42 53.83 49.17

8 Buah-buahan 40.91 36.67 36.12 33.02

9 Minyak dan lemak 233.39 230.95 240.57 229.54 10 Bahan minuman 100.29 95.72 84.02 88.45

11 Bumbu-bumbuan 16.00 16.02 48.91 14.49

12 Konsumsi lainnya 59.18 56.81 32.84 51.59 13 Makanan jadi 273.84 285.19 265.61 290.14

14 Minuman beralkohol - - - -

15 Tembakau dan sirih 0.00 0.00 0 0

JUMLAH 1925.61 1902.43 1858.97 1835.58 Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

(16)

Tabel 2 Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Indonesia pada tahun 2010-2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ton/Ha) Produksi (Ton)

2010 13 253 450 5.015 66 469 394

2011 13 203 643 4.980 65 756 904

2012 13 445 524 5.136 69 056 126

2013 13 837 213 5.152 71 291 494

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Tren penanaman tanaman penghasil beras, padi-padian, terus meningkat tiap tahunnya. Dapat dilihat pada Tabel 2, tahun 2013 produktivitas mencapai puncaknya yakni berjumlah 5.152 Ton/Ha, dengan total produksi 71 291 494 Ton. Luas panennya pun bertambah dari tahun 2012, yakni 13 837 213 Ha, ini menunjukkan bahwa program Pemerintah mengarah swasembada beras mulai mendekati harapan. Target produksi untuk swasembada beras menurut Kementan (2013) untuk tahun 2013 seharusnya mencapai 72 060 000 ton. Target untuk 2014, Kementan (2013) menargetkan angka optimis produksi untuk swasembada adalah 76 570 000 ton. Hanya saja pada tahun 2011 terjadi penurunan produktivitas tanaman padi, Kementan (2013) menduga penurunan ini diakibatkan peubahan penggunaan lahan pertanian produktif karena bisnis properti serta akibat dari anomali cuaca dan iklim yang tidak menentu membuat beberapa lahan produksi gagal panen.

Pengarahan swasembada beras sudah dimulai sejak dicanangkannya kebijakan pertanian revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui usaha pengembangan teknologi pertanian. Revolusi hijau dimulai sejak dekade1960-an dengan label “pertanian modern”. Kegiatan pertanian modern ini meliputi penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk kimia, penggunaan pestisida kimia, mekanisasi pertanian, dan penyuluhan pertanian secara massal. Swasembada beras sejak revolusi hijau ini menjadi awal kebiasaan konsumsi beras dalam jangka panjang, sehingga banyak anggapan, “belum makan jika belum makan nasi” (Sugito 1995).

Menurut Yuliati et al.(2012) di Indonesia beras putih merupakan pangan pokok yang memegang peranan yang sangat penting, karena bagi penduduk Indonesia mengonsumsi beras putih adalah konsumsi pokok dan suatu keharusan. Sebagaimana disampaikan pula oleh Yuliati et al. (2012), tanpa disadari banyak orang, kebiasaan konsumsi beras putih yang terus menerus ternyata dapat mendatangkan dampak yang kurang begitu baik bagi kesehatan. Kemudian Yuliati

et al. (2012) dalam penelitiannya juga mencantumkan hasil penelitiaan dari Amerika Serikat yang dilakukan oleh Health Professional Follow-up Study and

The Nurses’ Health Study (NHS) dan dilaporkan pada Archives of Internal

Medicine menunjukkan bahwa asupan beras putih dalam jumlah besar berkaitan dengan meningkatnya risiko diabetes.

(17)

al. (2012) kemudian menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa beras merah merupakan jenis beras alamiah yang baik dengan kandungan yang lebih sehat dibanding beras putih. Di dalam kulit ari beras merah terdapat kandungan vitamin, zat besi dan unsur-unsur lain yang dibutuhkan bagi kesehatan tubuh. Di dalam kulit ari beras merah tersebut juga kaya serat dan minyak alami. Serat tak hanya mengenyangkan, tapi juga mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan. Subroto (2008) menegaskan dalam penelitiannya bahwa, dibandingkan beras putih, beras merah mengandung lebih banyak serat sebesar 349 persen, vitamin E 203 persen, vitamin B16 185 persen, dan magnesium 219 persen.

Suardi (2005) menjelaskan bahwa beras merah selain sebagai makanan pokok, juga diketahui sangat bermanfaat bagi kesehatan, seperti menyembuhkan penyakit kekurangan vitamin A (rabun ayam) dan vitamin B (beri-beri). Beras merah juga bermanfaat untuk mengatasi kekurangan gizi bagi penduduk. Suardi (2005) juga menegaskan dalam beberapa penelitian dan pengalaman masyarakat, dalam beras merah menunjukkan pigmen antosianin yang merupakan sumber pewarna dari biji-bijian dan buah-buahan berperan sebagai antioksidan untuk mencegah berbagai penyakit seperti jantung koroner, kanker, diabetes, dan hipertensi. Namun demikian, padi beras merah yang umumnya adalah padi gogo mempunyai produktivitas rendah serta penelitian padi beras merah belum menjadi prioritas. Beras merah juga terbatas dipasarkan dan harganya relatif tinggi (Suardi 2005). Keunggulan dari beras merah ini masih belum banyak diketahui masyarakat, sehingga beras putih masih menjadi kebiasaan konsumsi sehari-hari, dan saat ini belum ada makanan pokok utama yang menggeser komoditas beras putih walaupun mengandung risiko terhadap kesehatan.

Masih dalam isu kesehatan Sugito et al. (1995) menjelaskan bahwa beras juga memiliki risiko, tidak hanya pada sisi kandungan butir beras, tetapi juga dari proses on farm komoditas itu sendiri. Berawal dari produksi padi besar-besaran pada kebijakan revolusi hijau. Disatu sisi revolusi hijau memang dapat meningkatkan produksi pangan, namun disisi lain revolusi hijau juga berdampak negatif terhadap kesehatan. Dampak revolusi hijau bagi kesehatan adalah banyaknya tertinggal jejak residu dan tidak terkendali pada bahan pangan yang dikonsumsi. Residu pestisida yang terdapat dalam bahan makanan akan mengendap dalam tubuh manusia dan akan menimbulkan berbagai macam penyakit terutama kanker, kerusakan saraf, dan gangguan kesadaran.

Sriyanto (2010) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa unsur kimia dan pestisida yang terkandung dalam makanan dapat menyebabkan gangguan kesadaran seperti sulit mengeja, membaca, menulis, membedakan warna, dan kanker payudara pada wanita. Kasus keracunan pestisida di Indonesia mulai muncul tahun 1995, yaitu di Brebes, Jawa Tengah, dilaporkan bahwa beberapa buruh tani penyemprot hama bawang menderita kebutaan dan stroke sebagai akibat keterlibatan mereka setiap hari dengan pestisida kimia, sedangkan di Tanah Karo, Sumatera Utara, sekitar tahun 1985 banyak buruh tani yang menderita sakit paru-paru sebagai akibat dari semprotan pestisida.

(18)

kesuburan lahan yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan tercemarnya kandungan air tanah (Sugito et al. 1995). Dengan demikian tidak heran jika produksi pertanian dalam suatu lahan yang banyak menggunakan unsur kimia akan selalu menurun produktivitasnya, akibat unsur tanah sudah tidak sehat serta berkurang kesuburannya.

Menyadari besarnya dampak negatif tersebut, pakar pertanian mempelopori dan menerapkan gagasan mengenai pertanian organik, menurut Novandari (2011) arti dari pertanian organik yaitu sistem pertanian yang secara ekologi ramah terhadap lingkungan sehingga produksinya aman untuk dikonsumsi manusia dan sekaligus mampu menyediakan pangan yang cukup bagi penduduk, baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Sistem pertanian organik ini bebas dari kandungan bahan kimia karena sama sekali tidak menggunakan bahan kimia (seperti pupuk buatan, pestisida, insektisida, fungisida, dan herbisida), melainkan menggunakan bahan-bahan alami dalam proses produksinya.

Pertanian organik sebagaimana dipaparkan oleh Novandari (2011) telah berkembang cukup pesat di Indonesia. Novandari (2011) juga menjelaskan berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia dari Aliansi Organik Indonesia tahun 2011, total luas area lahan pertanian organik di Indonesia pada 2010 adalah 238 872.24 hektar. Jumlah luasan lahan organik tersebut meningkat 10 persen dari tahun 2009. Penurunan luas area lahan pertanian organik di Indonesia terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 5.77 persen sehingga lahan organik di Indonesia menjadi seluas 255 062.65 hektar. Penurunan lahan organik ini terjadi karena menurunnya luas area pertanian organik yang sudah bersertifikasi.

Kehadiran beras organik disambut gembira masyarakat yang sangat memperhatikan kesehatan dan kelestarian lingkungan. Mereka mulai sadar bahwa selama ini makanan yang dikonsumsi mengandung residu pupuk dan pestisida kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Itulah sebabnya mereka mulai mencari bahan makanan yang diproduksi secara organik sehingga aman dikonsumsi dan sekaligus ramah lingkungan. Hal tersebut terindikasi dengan pertumbuhan pasar organik diperkirakan mencapai 20-30 persen per tahun. Bahkan, di beberapa Negara tertentu mencapai 50 persen per tahun. Kenaikan penjualan produk organik disebabkan oleh alasan kesehatan, 94 persen responden di berbagai kota besar di Eropa menyatakan bahwa mereka membeli pangan organik karena mereka sangat peduli akan kesehatan pribadi serta anggota keluarganya, sehingga diperkirakan permintaan beras organik akan meningkat dan peluang pasarnya semakin lebar (Sriyanto 2010). Namun produksi yang tersedia belum mampu memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat. Hal ini disebabkan masih sedikitnya petani yang melakukan pertanian organik daripada non-organik (Sulaeman 2007).

(19)

tunggal produk pangan berserat tinggi dan merupakan pangan olahan alami yang sehat, dengan nilai pertumbuhan sebesar 21 persen dan mencapai nilai penjualan sebesar Rp 70 milyar. Kepopuleran beras sehat berkembang secara bertahap sejalan dengan meningkatnya tren konsumen yang menyukai produk yang lebih sehat, terdidik dan peduli akan jenis produk yang lebih menyehatkan.

Konsep beras merah sehat juga dapat ditemui salah satunya pada Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Produk ini dikenal dengan nama healthy food beras merah pulen. Serambi Botani merupakan representasi dari gerai market modern dengan menjual berbagai macam produk unik dan sehat hasil inovasi dari IPB serta produk binaan UMKM dari Serambi Botani itu sendiri. Dalam pemasaran Serambi Botani memiliki segmentasi masyarakat ekonomi menengah keatas, sehingga wajar letak gerai Serambi Botani berada pada Mall pusat kota, tempat rekreasi dan belanja masyarakat ekonomi menengah keatas. Healthy food beras merah pulen memiliki konsep organik, secara ekologi aman bagi lingkungan dan bebas dari unsur pupuk kimia dan pestisida. Hanya saja pelabelan organik belum dilakukan sertifikasi, dan ada beberapa indikator yang belum dapat dipenuhi dari pihak Serambi Botani, sebagai contoh air penanaman padi harus berasal dari air pegunungan dan beberapa persyaratan lainnya, sehingga Serambi Botani hanya menjamin kesehatan dari beras merah yang diperjualkan.

Produk healthy food beras merah pulen diproduksi oleh petani Gunung Pancar, Sentul, yang dibina oleh salah satu dosen IPB Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc. Benih non hibrida ini didapat dari Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc yang kemudian ditanam dan diproduksi di daerah Sentul, Bogor. Pengemasan dilakukan menggunakan plastik dengan teknologi vacuum sehingga udara penyebab berkembangnya organisme pembusuk dapat dikeluarkan. Labelnya pun sudah dilengkapi dengan tanggal batas aman konsumsi, sehingga keamanan dan kualitasnya benar-benar terjaga. Harga premium yang ditetapkan yakni Rp 32 000 per kg. Produk juga sudah dilengkapi dengan PIRT dari dinas kesehatan dengan No 215320101860.

Uniknya produk healthy food beras merah pulen yang ditawarkan dari Serambi Botani adalah beras merahnya dikenal tidak terasa pera seperti beras merah kebanyakan, tetapi lebih terasa pulen, sehingga rasanya akan lebih disukai konsumen. Beberapa keunggulan yang ditawarkan produk yakni ramah lingkungan menggunakan input dengan kebaikan alam, lebih aman (bebas pestisida dan unsur kimia), lebih berkualitas dari produk organik beras merah sejenis dengan dilengkapi grading dan quality control ketat.

Kandungan beras merah yang baik serta konsep healthy food yang ditawarkan oleh Serambi Botani akan mempengaruhi sejauh mana sikap, minat, serta kesediaan konsumen untuk membayar produk healthy food beras merah pulen. Masyarakat harus bijak dalam menganalisis produk yang akan dibeli, baik dari segi harga dan atribut healthy food beras merah pulen itu sendiri, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai analisis kesediaan membayar (willingness to pay)

(20)

Perumusan Masalah

Salah satu hasil pertanian yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah beras, karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Beras merupakan komoditi yang sangat penting karena lebih dari 90 % masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras (Sinaga 2010). Memperhatikan keamanan dari makanan pokok merupakan hal yang sangat penting. Faktor kesehatan dan keamanan pangan pun menjadi prioritas utamanya. Atas dasar kesehatan pula, masyarakat mulai mempertimbangkan beras merah menjadi pilihan makanan pokok pengganti beras putih. Hal ini mengakibatkan konsumen mulai beralih kepada beras merah dari hasil pertanian organik (BIOcert 2006).

Manfaat yang ditimbulkan dari membiasakan diri mengkonsumsi makanan organik antara lain mengurangi masukan bahan kimia beracun ke dalam tubuh, meningkatkan masukan nutrisi bermanfaat seperti vitamin, mineral, asam lemak esensial dan antioksidan, menurunkan risiko kanker, penyakit jantung, alergi dan hiperaktivitas pada anak-anak (Suardi 2005). Harga jual beras merah organik yang relatif lebih tinggi dari harga jual produk beras anorganik, tidak mengurangi minat konsumen untuk mengkonsumsi beras merah organik. Menurut Winarno (2004) peningkatan permintaan pangan organik disebabkan oleh meningkatnya jumlah expatriate yang berada di kota-kota besar dan laju perkembangannya didorong oleh berkembangnya masyarakat kelas menengah ke atas.

Morris (1990) menjelaskan bahwa kesuksesan dalam memasarkan suatu barang atau jasa, setiap perusahaan harus menetapkan harganya secara tepat, karena harga akan mempengaruhi tingkat penjualan, tingkat keuntungan, serta

market share yang dicapai perusahaan. Hal ini dikenal dengan istilah “value for money”, “best value” dan “you get what you pay for”. Penetapan harga ini juga penting bagi produk inovasi yang memiliki added value yang tinggi dibandingkan dengan produk yang sudah ada, contohnya produk healthy food beras merah organik dibandingkan dengan produk beras merah biasa.

Garretson et al. (2002) berpendapat bahwa konsumen pada umumnya menggunakan harga dalam memberikan penilaian tentang kualitas produk. Kualitas yang baik akan berdampak pada penjualan dan profitabilitas yang meningkat. Konsumen tentu akan merasa lebih nyaman mengkonsumsi produk yang lebih berkualitas. Penetapan harga pada produk yang berkualitas, produsen biasanya memberikan harga premium dengan segmentasi konsumen dengan status ekonomi menengah keatas. Berdasarkan studi strategic planning institute dalam Garretson et al. (2002) ditemukan bahwa produk yang berkualitas akan lebih menguntungkan dan memiliki market share terbesar.

Kotler (2000) dalam tulisannya menyebutkan bahwa kebanyakan produk disediakan pada satu diantara empat tingkatan kualitas, yaitu kualitas rendah, kualitas rata-rata atau sedang, kualitas baik, dan kualitas sangat baik. Beberapa dari kualitas di atas dapat diukur secara objektif. Namun demikian dari sudut pemasaran kualitas harus diukur dari sisi persepsi pembeli tentang kualitas produk tersebut, karena persepsi setiap konsumen memiliki penilaian yang berbeda-beda. Penilaian ini akan didasarkan pada pengetahuan lengkap konsumen terhadap

added value produk.

(21)

hubungan antara kualitas dan harga, dalam arti semakin baik kualitas produk akan lebih tinggi harga jualnya. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Verhallen dan De Nooy (1982) bahwa penyediaan produk berkualitas tinggi pada dasarnya ditunjang oleh kenyataan bahwa konsumen cenderung semakin memperhatikan aspek kualitas dalam melakukan pembelian produk makanan.

Pentingnya persamaan terhadap persepsi kualitas ini juga akan mengarah bagaimana minat membayar dan minat beli konsumen akan tercipta, sehingga perlu diketahui lebih lengkap kualitas produk yang ditawarkan. Kualitas yang ditawarkan dari produk healthy food beras merah pulen sebagaimana disampaikan Serambi Botani adalah: produk premium, ramah lingkungan dan bergizi, mengurangi masukan bahan kimia beracun ke dalam tubuh, meningkatkan masukan nutrisi bermanfaat seperti vitamin, mineral, asam lemak esensial dan antioksidan, memiliki kadar glukosa yang rendah daripada beras putih sehingga aman dikonsumsi penderita diabetes, berserat tinggi, menurunkan risiko kanker, penyakit jantung, alergi dan hiperaktivitas pada anak-anak. Beberapa keunggulan di atas seharusnya akan memberikan persepsi kualitas sangat tinggi terhadap produk healthy food beras merah pulen. Namun harapan dan persepsi dari konsumen atau calon pembeli berbeda-beda tergantung pada karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam minat dan kesediaan membayar.

Penelitian Suwanda (2012) menyebutkan bahwa terdapat indikasi konsumen Serambi Botani mayoritas adalah konsumen yang sadar terhadap kesehatan dan lingkungan. Indikasi tersebut akan menjadi peluang besar bisnis produk healthy food beras merah pulen terus diproduksi. Peluang ini menjadi keuntungan bagi penjualan produk healthy food beras merah pulen, karena pasarnya sudah tersegmentasi sesuai dengan segmentasi produknya, yakni kalangan ekonomi menengah ke atas. Berdasarkan harga, produk healthy food beras merah pulen yang ditetapkan yakni sebesar Rp 32 000 per kg, cukup kontras dengan harga beras yang sudah bersertifikasi organik yakni Rp 16 000- Rp 20 000 per kg. Karena itu, produsen atau Serambi Botani perlu mengkaji mengenai kesediaan membayar konsumen akan produk sehingga dapat menerapkan strategi yang tepat dalam memasarkan produk healthy food beras merah pulen. Semakin tinggi kesediaan konsumen untuk membayar lebih, maka semakin terbuka kesempatan untuk memasarkan produk healthy food beras merah pulen berkualitas baik dengan harga yang lebih tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sebaran karakteristik responden terhadap kesediaan membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani?

2. Berapa nilai rataan kesediaan membayar (willingness to pay) produk

healthy food beras merah pulen di Serambi Botani?

(22)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan karakteristik responden terhadap kesediaan membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani.

2. Mengestimasi nilai rataan kesediaan membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani.

3. Menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani.

Manfaat Penelitian

1. Serambi Botani, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai kesediaan membayar dan menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan harga.

2. Masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rasa sadar akan pentingnya memperhatikan panganan sehat untuk menjadi konsumsi pokok dan menjadi pertimbangan dalam mengkonsumsi produk healthy food beras merah pulen.

3. Bisnis makanan organik atau berkonsep healthy food, penelitian ini dapat menjadi referensi dalam melihat peluang pasar dan dapat menjadi pertimbangan penetapan harga produk.

4. Pemerintah, diharapkan dapat memberi gagasan baik dari segi promosi atau penjualan produk healthy food beras merah pulen yang sarat manfaat bagi kesehatan.

5. Pembaca, pihak institusi pendidikan serta pihak lain yang berkepentingan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelelitian selanjutnya.

6. Penulis, penelitian ini berguna sebagai menambah pengetahuan dan sebagai media dalam menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama kependidikan.

Ruang Lingkup Penelitian

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu cara untuk memperoleh informasi mengenai penelitian yang dilakukan adalah dengan cara mengkaji penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu mengenai kesediaan membayar produk healthy food beras merah pulen belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan kesediaan membayar (willingness to pay), karakteristik konsumen atau resonden dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya dalam menentukan nilai dan kesediaannya membayar. Berikut daftar penelitian terdahulu yang digunakan sebagai informasi sebelum melakukan penelitian:

Tabel 3 Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini No. Nama peneliti Tahun Judul penelitian

1 Ameriana, Adiyoga, 1999 Kesediaan untuk Membayar Komoditas Soetiarso Sayuran dalam kaitannya dengan Kualitas

Produk dan Karakteristik Konsumen 2 Widiastuti 2011 Pengaruh Sikap dan Preferensi terhadap

Kemauan Membayar Beras Kemasan pada

3 Novandari 2011

Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Cipinang Melayu, Kota Jakarta

Analisis Motif Pembelian dan Profil Perilaku “Green Product Customer” (Studi pada kon- sumen produk pangan organik di Purwokerto) 4 Daulay 2012 Analisis Proses Keputusan Pembelian dan

Kesediaan Konsumen untuk Membayar (Willingness to Pay) Mie Instan Sayur di Serambi Botani, Botani Square, Bogor 5 Suwanda 2012 Analisis Kesediaan Membayar (Willingness

To Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor

6 Pramono 2012 Analisis Willingness to Pay (WTP)

Konsumen terhadap Tahu Kita (Studi Kasus

di Joyo Swalayan, Jakarta Selatan)

Karakteristik Responden

(24)

dengan pendidikan terakhir Strata 1 dan berkerja sebagai pekerja swasta serta berpendapatan Rp 1 000 000 – Rp 5 000 000. Tidak jauh berbeda dengan penelitian Daulay (2012), Pramono (2012) menganalisis karakteristik konsumen dengan analisis deskriptif. Hasil karakteristik respondennyapun tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya mayoritas pada usia 31-40 tahun dengan pekerjaan wiraswasta serta memiliki pendapatan di atas Rp 4 500 000.

Widiastuti (2011) juga menganalisis karakteristik konsumen dengan menggunakan analisis deskriptif, hanya saja perbedaan dengan Daulay (2012) dan Pramono (2012) adalah adanya penambahan dengan analisis tabulasi. Analisis tabulasi ini melihat seberapa kuat hubungan variabel dan kesediaannya membayar. Hasilnyapun tidak berbeda dengan Daulay (2012) dan Pramono (2012) tetapi ada penambahan variabel pada jumlah anggota keluarga dan pengeluaran uang untuk membeli beras setiap bulannya. Mayoritas responden yang diperoleh memiliki jumlah keluarga kecil (<4 orang) serta memiliki pengeluaran uang untuk membeli beras lebih dari Rp 150 000. Widiastuti (2011) menjelaskan kedua variabel tersebut memiliki korelasi yang positif terhadap kesediaan responden dalam membayar. Analisis tabulasi juga dilakukan Suwanda (2012) dalam menentukan karakteristik responden. Namun dengan hasil yang berbeda, yakni hanya pendidikan dan pendapatan yang memiliki hubungan korelasi positif, yakni responden dengan mayoritas berpendidikan sarjana sebanyak 38 orang serta memiliki pendapatan dominan sebesar > Rp 4 500 000 sebanyak 40 orang.

Penentuan karakteristik responden Novandari (2011) juga masih menggunakan analisis deskriptif, tetapi memiliki penambahan variabel yang berbeda dengan penelitian lainnya, yakni variabel frekuensi konsumsi pangan organik. Hasilnya 24 persen responden menyatakan bahwa mereka sering mengkonsumsi produk organik dengan frekuensi konsumsi 11 sampai 25 hari dalam satu bulan. Berbeda pula dengan penelitian dari Ameriana et al.(1999) selain variabel karakteristik responden ditambahkan pula variabel penilaian konsumen terhadap kualitas produk. Hasilnya kualitas produk memiliki korelasi yang positif terhadap kesediaan membayar produk.

Kesediaan membayar (willingness to pay)

(25)

Pramono (2012) juga melakukan penelitian sejenis mengenai analisis kesediaan membayar (willingness to pay) terhadap produk Tahu Kita. Demikian pula dengan Daulay (2012), Pramono (2012) mengestimasikan nilai WTP menggunakan metode CVM. Perbedaan dengan Daulay (2012), Pramono (2012) memberikan tahap hipotesis pasar dengan membuat pasar hipotik disertai skenario dalam penyusunan kuesioner. Kemudian mendapatkan nilai lelang dengan teknik kartu pembayaran (payment cards) untuk mengatasi bias pada titik awal. Hasil penelitian Pramono menjelaskan dari 100 responden secara tingkat keinginan untuk membeli berada pada persentase 100 persen. Nilai lelang yang diperoleh berada pada jumlah minimal Rp 8 000 – Rp 12 000 dengan nilai rataan WTP sebesar Rp 9 595 per pack (500 gram). Namun nilai WTP ternyata lebih rendah dari nilai harga yang ditetapkan produsen Tahu Kita yakni sebesar Rp 10 000 per

pack (500 gram).

Pengkajian willingness to pay juga dijelaskan dalam penelitian Widiastuti (2011) mengenai pengaruh sikap dan preferensi terhadap kemauan membayar beras kemasan pada Ibu rumah tangga di Kota Jakarta. Widiastuti (2011) merumuskan tujuan dalam penelitiannya yakni menganilisis pada kemauan membayar dan faktor yang mempengaruhi keputusan membayar beras kemasan pada ibu rumah tangga di Kota Jakarta. Widiastuti (2011) juga menggunakan metode CVM, sama halnya dengan Daulay (2012) dan Pramono (2012). Tahapan metode dilakukan dengan sederhana jika dibandingkan dengan Pramono (2012) yakni hanya dengan mengukur menggunakan pertanyaan tertutup (close ended

referendum election format). Pertanyaan tertutup yang diberikan juga

mencantumkan starting point harga kemudian memberikan opsi kepada konsumen untuk kesediaannya membayar terhadap produk beras kemasan. Hasilnya dari 100 responden diketahui bahwa sebanyak 54.1 persen memutuskan mampu dan mau membayar beras kemasan lebih dari harga normal Rp 11 000 per kilogram. Sisanya mengaku daya belinya tidak memadai untuk membayar produk lebih mahal, sehingga harga maksimum yang ditetapkan masih di bawah harga beras kemasan di pasaran.

Tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya, Suwanda (2012) menggunakan analisis CVM dalam mengestimasi nilai kesediaan membayar beras analog. Mirip dengan yang dilakukan Pramono (2012), Suwanda (2012) membuat tahapan hipotesis pasar. Hipotesis pasar ini dibentuk dengan adanya isu ketahanan pangan, yaitu adanya pasar yang menawarkan alternatif pangan sebagai upaya diversifikasi pangan. Kemudian dilakukan metode nilai lelang (bids) dengan teknik permainan lelang (bidding game) dimana responden ditanyakan berulang-ulang tentang keinginan membayar beras analog sejumlah harga tertentu. Hasilnya dari 100 responden sebanyak 72 persen responden bersedia membayar dengan harga yang ditetapkan yakni Rp 20 000. Sisanya sebanyak 28 persen mengaku hanya ingin membayar beras analog sama dengan beras konvensional. Berbeda dengan penelitian Pramono (2012) dan Daulay (2012) ternyata nilai rataan yang diperoleh lebih besar dari harga yang ditetapkan yakni sebesar Rp 22 610 per 800 gram beras analog.

(26)

kesediaan membayar dan kaitannya dengan kualitas produk dan karakteristik konsumen di pasar eceran Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Pendekatan ini dapat mengemukakan harga untuk komoditas cabai merah dan kentang yang dikemukakan kepada konsumen secara acak. Selanjutnya berdasarkan harga yang telah disusun, konsumen diminta untuk mengungkapkan harga maksimal yang mampu dibayar. Alternatif harga yang digunakan pada dasarnya adalah kisaran harga yang terjadi di pasar-pasar eceran Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 56 orang untuk komoditas cabai merah dan 53 orang untuk komoditas kentang. Hasil penelitian menjelaskan bahwa harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen akan meningkat sebesar Rp 94 741 per kg untuk cabai merah dan Rp 23 137 per kg untuk kentang. Ketika pendapatan konsumen meningkat sebesar Rp 100 000 maka harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk cabai dan kentang akan meningkat masing-masing sebesar Rp 69.30 dan Rp 87.69 per kg

Tidak sedalam penelitian sebelumnya, pengestimasian kesediaan membayar Novandari (2011) hanya mendata tingkat kesediaan membayar konsumen terhadap harga premium produk organik. Hasil penelitian Novandari (2011) menjelaskan bahwa dari 100 responden semuanya bersedia membayar produk organik dengan harga premium, bahkan 24 persen responden menyatakan bahwa mereka sering mengkonsumsi produk organik dengan frekuensi 11 sampai 25 hari dalam satu bulan. Sementara itu 13 persen responden menyatakan bahwa setiap hari mereka mengkonsumsi produk organik, khususnya beras dari produk organik, sedangkan sisanya masih mencoba-coba, belum mengkonsumsi dengan tujuan jangka panjang. Novandari (2011) juga menyimpulkan motif konsumen dalam mengambil keputusan membeli produk pangan organik adalah alasan kesehatan. Kesediaan konsumen untuk membayar mayoritas dipengaruhi oleh kesadaran konsumen terhadap lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar

Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar konsumen, Daulay (2012) melakukan dengan analisis faktor. Hasil dari analisis analisis faktor dalam penelitiannya yakni variabel jenis kelamin dan pendapatan berpengaruh pada uji taraf nyata (α) lima persen. Hasil tersebut menjelaskan adanya kecenderungan peluang perempuan untuk membayar mie instan sayur lebih tinggi daripada laki-laki, peluang ini dijelaskan dengan menggunakan odds

ratio yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki peluang 0.114 kali lebih

tinggi untuk membayar harga premium mie instan sayur dengan harga Rp 8000. Pendapatan juga memiliki pengaruh dalam konsumen menentukan besarnya kesediaan membayar, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula peluang membayar mie instan sayur lebih tinggi. Menggunakan nilai odds ratio Daulay (2012) mengemukakan bahwa saat pendapatan bertambah satu rupiah maka peluang untuk membayar mie instan sayur lebih tinggi satu kali lipat dibandingkan dengan pendapatan sebelumnya.

(27)

kadaluarsa dan izin BPOM RI & MUI memiliki hubungan positif terhadap besarnya nilai WTP konsumen Tahu Kita. Pada faktor usia, tingkat pendidikan dan pengeluaran per bulan memiliki nilai yang positif artinya semakin tinggi nilainya, semakin tinggi pula nilai kesediaan membayar yang diberikan. Faktor izin BPOM RI dan MUI menjadi faktor yang paling berengaruh, hal ini diperjelas Pramono (2012) dengan nilai WTP responden akan meningkat sebesar Rp 7 519 jika terdapat izin tersebut. Nilai ini merupakan nilai yang paling besar dibandingkan faktor pengaruh yang lainnya.

Penelitian Widiastuti (2011) memiliki persamaan dengan penelitian Pramono (2012) yakni dengan menggunakan analisis regresi logistik dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar. Hasilnya pendapatan per kapita dan aspek konatif berpengaruh signifikan terhadap keputusan membayar beras kemasan. Analisis yang berbeda diakukan pada penelitian Suwanda (2012) yakni menggunakan analisis regresi berganda. Simpulan faktor yang mempengaruhi nilai WTP Suwanda (2012) adalah lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan dan pengetahuan tentang beras analog.

Analisis faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar pada penelitian Ameriana et al. (1999) juga menggunakan analisis regresi logistik, sama halnya dengan penelitian Widiastuti (2011) dan Pramono (2012). Hasilnya persepsi konsumen menyangkut kualitas produk dan pendapatan merupakan dua faktor terpenting yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menentukan harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk membeli cabai dan kentang.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini digunakan dari penelusuran teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Adapun pemikiran teoritis dalam penelitian akan dijelaskan dalam subbab berikut.

Kesediaan Membayar atau Willingness to Pay

(28)

Untuk memahami konsep WTP konsumen terhadap suatu barang atau jasa harus dimulai dari konsep utilitas, yaitu manfaat atau kepuasan karena mengkonsumsi barang atau jasa pada waktu tertentu. Setiap individu ataupun rumah tangga selalu berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya dengan pendapatan tertentu, dan ini akan menentukan jumlah permintaan barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Permintaan menurut Perloff (2004) diartikan sebagai jumlah barang atau jasa yang mau atau ingin dibeli atau dibayar (willingness to buy or willingness to pay) oleh konsumen pada harga tertentu dan waktu tertentu. Kajian PSE-KB UGM (2002) menyebutkan utilitas yang akan didapat oleh seorang konsumen memiliki kaitan dengan harga yang dibayarkan yang dapat diukur dengan WTP. Sejumlah uang yang ingin dibayarkan oleh konsumen akan menunjukkan indikator utilitas yang diperoleh dari barang tersebut.

Untuk memperoleh taksiran WTP (eliciting WTP) dari suatu barang atau jasa publik dapat digunakan metode atau teknik stated or revealed preferences survey (survei preferensi konsumen). Metode atau teknik mengestimasi nilai WTP dijelaskan dalam penelitian dari Pattanayak et al. (2006) yang mana dapat dilakukan dengan metode stated preferences (SP). Stated preferences adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur preferensi masyarakat atau konsumen apabila kepada mereka diberikan alternatif atau pilihan. Pada pokoknya dalam metode SP, konsumen diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai suatu barang atau jasa. Metode SP juga dijabarkan oleh Johnson et al. (2006), dimana metode ini menyediakan informasi yang didasarkan pada prinsip hedonic

yaitu barang atau jasa mempunyai nilai karena atribut-atributnya, yang didesain untuk mengukur utilitas atau preferensi pokok sehingga konsisten dengan WTP konsumen.

Dalam operasionalnya, Pattanayak et al.(2006) melakukan survei SP dengan metode Contingent Valuation Method (CVM) atau sering juga disebut sebagai WTP Survei, yang secara langsung dapat memperoleh nilai-nilai WTP dari konsumen. Pendekatan dasar dari metode CVM adalah menjelaskan suatu skenario kebijakan tertentu secara hipotetik yang dituangkan dalam suatu kuesioner, dan kemudian ditanyakan atau diserahkan kepada konsumen untuk mengetahui WTP yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa tertentu. Menurut Pattanayak, et al. (2006), ada dua manfaat melakukan survei CVM, yaitu :

1. Dapat memperoleh opini dan preferensi konsumen terhadap suatu barang atau jasa secara langsung.

2. Metode CVM adalah bentuk eksperimen lapangan yang praktis.

Penjabaran metode CVM untuk menilai WTP dari konsumen dijabarkan oleh Kumar & Rao (2006). Ada beberapa format metode CVM yang dapat dilakukan dan dituangkan dalam kuesioner, yaitu : 1) open-ended elicitation format, 2) closed ended referendum elicitation format atau bidding game format, dan 3) payment card elicitation, atau sequential referendum method, atau discrete choice method. Ketiga format tersebut diuraikan sebagai berikut :

(29)

awal yang ditawarkan sehingga tidak akan timbul bias data awal (starting

point bias). Kekurangan metode ini adalah kurang tepatnya nilai yang

diberikan oleh konsumen, kadang terlalu besar atau terlalu kecil, sehingga tidak dapat menggambarkan nilai WTP yang sebenarnya.

2. Closed ended referendum elicitation format (bidding game format), atau pertanyaan tertutup, dimana konsumen ditanya apakah mau atau bersedia membayar sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point) dengan memberikan pilihan dichotomous choice atau dichotomous valuation, ya atau tidak, ataupun setuju dan tidak setuju. Jika jawababannya ya maka besarnya nilai tawaran akan dinaikkan sampai tingkat yang disepakati. Jika jawabannya tidak nilai tawaran diturunkan sampai jumlah yang disepakati. Kelebihan metode ini, memberikan waktu berpikir lebih lama bagi konsumen untuk menentukan WTP, sedangkan kelemahannya kemungkinan mengandung bias data awal (starting point bias).

3. Payment card elicitation (Sequential referendum method, atau discrete choice

method). Pada metode ini konsumen diminta memilih WTP yang realistis

menurut preferensinya untuk beberapa hal yang ditawarkan dalam bentuk kartu. Untuk mengembangkan kualitas metode ini dapat diberikan semacam nilai patokan (benchmark) yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan seseorang dengan pendapatan tertentu bagi suatu barang atau jasa. Kelebihan metode ini dapat memberikan semacam rangsangan yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu. Kelemahannya adalah konsumen masih bisa terpengaruh oleh besaran nilai yang tertera pada kartu yang disodorkan.

Perilaku Konsumen

Kotler (2004) dalam teorinya menjelaskan bahwa perilaku kosumen adalah mempelajari cara individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, memakai, serta memanfaatkan barang, jasa, gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasratnya. Perilaku konsumen khususnya pada minat konsumen (behavioral intention) sebagaimana diteorikan oleh Vikas et al. (1999) merupakan fungsi dari kualitas produk dan kualitas services. Semakin baik kualitas dari produk atau services maka konsumen semakin berminat terhadap produk. Sebagaimana juga disampaikan oleh Garretson et al. (2002) konsumen biasa menggunakan harga dalam memberikan persepsi penilainnya tentang kualitas produk. Hal ini juga dilanjutkan pada pendapat Zeithaml (1998) bahwa dari sudut pandang konsumen, harga merupakan sesuatu yang dikeluarkan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk.

(30)

Faktanya ada beberapa alasan konsumen tetap bersedia membayar mahal terhadap suatu produk karena alasan tertentu. Hal ini juga diungkapkan oleh Buchori (2011) bahwa alasan konsumen tetap membayar dan membeli barang/ produk walau mahal dikarenakan: barang unik, langka, bergengsi, mempunyai nilai seni yang diminati orang; produk tidak ada pengganti; konsumen berpenghasilan tinggi; karena harga barang itu sendiri dibayarkan oleh orang lain; pelengkap barang sudah dibeli sebelumnya; serta persediaan semakin menipis jadi terpaksa harus dibeli.

Persepsi dari segi pendapatan juga disampaikan pada tulisan Steenkamp dan Trijp (1989) dalam penelitiannya terhadap kesediaan membayar untuk produk daging berkualitas yang berjudul “A Methodology for Estimating the Max Price Consumers are Willing to Pay in Relation to Perceived Quality and Consumers Characteristics”, bahwa semakin tinggi pendapatan konsumen semakin besar pula kesanggupannya untuk membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk daging berkualitas baik.

Model Keputusan Konsumen

Sumarwan (2004) menggambarkan sebuah model keputusan konsumen bahwa proses keputusan konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi barang atau jasa terdiri atas beberapa tahap, yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian dan kepuasan konsumen. Proses keputusan konsumen tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu strategi pemasaran, perbedaan individu dan faktor lingkungan. Model keputusan konsumen Sumarwan (2004) dapat dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1 Model keputusan konsumen Sumarwan Sumber : Sumarwan (2004)

Sumarwan (2004) kembali menegaskan bagaimana perbedaan individu menggambarkan karakteristik yang muncul dari dalam konsumen dan proses

(31)

psikologis konsumen akan sangat berpengaruh terhadap proses keputusan pembelian. Motivasi konsumen muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen, kemudian akan mendorongnya untuk melakukan, menggunakan serta membeli barang dan jasa. Perbedaan kepribadian konsumen akan mempengaruhi perilakunya dalam proses keputusan seperti karakter, umur, jenis kelamin, pekerjaan, serta keunikan konsumen. Konsep diri konsumen dapat memandang dirinya sebagai orang yang modern dan mudah menerima inovasi, persepsi itu kemudian akan merefleksikan terhadap perilaku dalam pembelian. Persepsi dan pengolahan informasi akan merangsang memori konsumen dalam mengolah informasi produk, merek, pelayanan, harga, kualitas, atau terhadap produsen itu sendiri. Proses belajar konsumen akan mengajarkan konsumen untuk mengenali, mengingat, menyukai dan membeli produk yang dipasarkan. Pengetahuan konsumen terbagi atas pengetahuan terhadap produk, pembelian dan pemakaian memberikan pemahaman konsumen terhadap pengenalan kebutuhannya.Sikap memberikan unsur rasa percaya konsumen terhadap objek atribut produk, apakah produk tersebut disukai atau tidak. Ajaran agama juga berpengaruh terhadap sikap, motivasi, persepsi dan perilaku konsumen terhadap apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Faktor lingkungan konsumen dalam mempengaruhi proses keputusan konsumen terbagi atas budaya, karakteristik demografi sosial ekonomi, keluarga, kelompok acuan, lingkungan situasi konsumen serta teknologi. Budaya menjadi suatu nilai yang dianggap sebagai makna kepercayaan dan dapat juga berbentuk objek material seperti rumah, kendaraan, pakaian, makanan dan minuman. Karakteristik demografi yang penting untuk memahami konsumen adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status pernikahan, lokasi geografi dan kelas sosial. Memahami usia konsumen adalah penting, karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda pula. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang akan mempengaruhi pola konsumsinya. Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokkan ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. Kemudian pengelompokkan ini akan mempengaruhi jenis produk, jasa, merek, pemilihan toko dari seorang konsumen. Keluarga menjadi daya tarik pemasar, karena dalam anggota keluarga akan saling mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pembelian. Kelompok acuan yang terbentuk dari anggota perorangan seringkali terbentuk keputusan bersama-sama termasuk dalam hal konsumsi, biasanya juga akan memberikan standar dan nilai yang akan mempengaruhi perilaku konsumen. Lingkungan dan situasi sangat berhubungan dengan tempat dan waktu yang mendorong keputusan konsumen dalam pembelian. Teknologi yang digunakan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen lewat pencarian informasi dan memberikan kemudahan mendapatkan produk yang akan dikonsumsi.

Pandangan Neoklasik tentang Nilai dan Hubungannya dengan Willingness to Pay

(32)

hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) dan surplus produsen (producers surplus). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Surplus produsen (PS) ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.

Asumsi model penghitungan CS dalam konteks nilai ekonomi sebuah komoditas juga dijelaskan oleh Adrianto et al. (2007). Perhitungan ini direpresentasikan pada Tabel 3, dengan ilustrasi seseorang yang sedang berjalan dalam keadaan cuaca panas dan seseorang tersebut sudah merasa sangat haus. Kemudian terlihat sebuah tenda penjual air mineral dingin dalam kemasan gelas. Jumlah dan harga yang mampu dibayar seseorang atau disebut willingness to pay

(WTP) terhadap setiap gelas yang akan diminum menurut sebuah pola seperti pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4 Total willingness to pay (WTP) dan consumers surplus Jumlah barang Q

(gelas)

WTP (Rp)

Cost (Rp)

Incremental CS (Rp)

1 5.00 1.00 4.00

2 2.00 1.00 1.00

3 1.50 1.00 0.50

Total 8.50 3.00 5.50

Sumber: Adrianto et al. (2007)

(33)

Q P

Consumers Surplus

Producers Surplus

S

D

Gambar 2 Surplus konsumen dan surplus produsen Sumber: Adrianto et al. (2007)

Kerangka Pemikiran Operasional

Beras masih menjadi tumpuan utama mayoritas masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kalori (KKal) sehari-hari. Beras menyumbang 60-65 persen dari total konsumsi energi di dunia. Di Indonesia sendiri, beras menyumbang 63 persen dari kecukupan energi, 38 persen terhadap total kecukupan protein dan 21.5 persen terhadap kecukupan zat besi (Indrasari & Adnyana 2007). Komoditas ini juga masih menjadi tumpuan pangan pokok, dan cenderung belum ada yang menggantikannya sebagai pangan utama, sehingga banyak pernyataan masyarakat bahwa belum makan jika belum makan nasi putih.

Lilik et al. (2012), menyebutkan bahwa tanpa disadari banyak orang, kebiasaan konsumsi beras putih yang terus menerus ternyata dapat mendatangkan dampak yang kurang begitu baik bagi kesehatan. Hasil penelitiaan di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Health Professional Follow-up Study and The Nurses’

Health Study (NHS) yang dilaporkan pada Archives of Internal Medicine

menunjukkan bahwa asupan beras putih dalam jumlah besar berkaitan dengan meningkatnya risiko diabetes.

Respon masyarakat yang mengedepankan kesehatan mulai mencari alternatif pangan pokok beras yang tidak menimbulkan risiko layaknya beras putih. Masyarakat membagi beras menjadi tiga golongan yaitu beras putih (dipisahkan lagi menjadi pulen dan pera), beras ketan, dan beras merah. Lilik et al.

(2012) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa beras merah merupakan jenis beras alamiah yang baik dengan kandungan yang lebih sehat dibanding beras putih. Di dalam kulit ari beras merah terdapat kandungan vitamin, zat besidan unsur-unsur lain yang amat dibutuhkan bagi kesehatan tubuh. Di dalam kulit ari beras merah tersebut juga kaya serat dan minyak alami. Serat tak hanya mengenyangkan, tapi juga mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan.

(34)

dari era revolusi hijau, dimana keinginan swasembada beras dilakukan dengan bantuan pestisida penghilang hama dan pupuk kimia penunjang pertumbuhan tanaman. Telah diketahui lewat banyak penelitian bahwasanya penggunaan pestisida dan pupuk kimia mengakibatkan banyak risiko terhadap kesehatan, ini dikarenakan residu yang tertinggal pada bahan pangan mengendap dalam tubuh konsumen sehingga timbul risiko kanker dan penyakit berbahaya lainnya.

Serambi Botani sebagai representasi gerai penjualan produk sehat dan alami memberikan solusi permasalahan pangan tersebut, yakni dengan adanya produk healthy food beras merah pulen. Manfaat baik beras merah yang didapat, dikombinasikan dengan produksinya tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida, menghindarkan konsumen dari risiko penyakit akibat dari unsur berbahaya tersebut. Produk ini sejalan dengan konsep pertanian organik, hanya saja Serambi Botani terkendala dalam pelabelan dan pemberian sertifikat organik dikarenakan ada beberapa indikator yang belum dapat dipenuhi, salah satunya sistem pengairan yang harus berasal dari air pegunungan. Namun Serambi Botani menjamin produknya dengan konsep healthy food terbebas dari pestisida dan unsur kimia berbahaya lainnya.

Healthy food beras merah pulen dengan sarat manfaatnya ditawarkan dengan harga yang masih terbilang tinggi yakni Rp 32 000 per kg, harga ini memiliki selisih lebih tinggi jika dibandingkan beras merah yang sudah bersertifikat organik biasa, yang dipasarkan dengan harga Rp 16 000 – Rp 25 000 per kg. Sebelum pemasaran lebih jauh, baik dari segi kuantitas dan kualitasnya, Serambi Botani perlu mengkaji kembali kesediaan membayar konsumen akan

healthy food beras merah pulen tersebut, apakah cocok tanpa label sertifikat organik harga yang ditawarkan masih lebih mahal dibandingkan beras organik bersertifikat, sehingga hal ini dapat meberikan strategi pemasaran yang cocok sesuai dengan permintaan konsumen. Perlunya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP sebelum melakukan penelitian atau kajian lebih lanjut, yakni dengan memahami tingkat konsumsi beras merah sebagai indikator peluang, tingkat kepedulian kesehatan pangan, pengetahuan konsumen akan produk healthy food beras merah pulen serta menganalisis dari segi karakteristik konsumen (jenis kelamin, usia, tatus pernikahan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan).

(35)

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di gerai Serambi Botani Bogor yang terletak di Botani Square Mall yang merupakan gerai penjualan healthy food beras merah pulen. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan data berupa pemberian kuesioner kepada konsumen Serambi Botani sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari wawancara dengan bantuan instrumen kuesioner dan data sekuder diperoleh melalui buku, internet, jurnal serta karya tulis lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Instrumen kuesioner berbentuk pertanyaan terbuka dimana responden dapat memberikan alternatif jawaban sendiri dan tertutup dimana responden memilih jawaban yang telah disediakan dalam kuesioner.

Beras putih sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia memiliki risiko kesehatan yakni pada enyakit diabetes dan gula darah, terlebih residu berbahaya yang ditinggalkan saat penanaman dilakukan secara anorganik

Hubungan karakteristik responden dan WTP (Analisis Deskriptif)

Menghitung estimasi nilai WTP (Analisis Contingent

Valuation Method)

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP

(Analisis Regresi Linier Berganda)

Rekomendasi

Harga produk healthy food beras merah pulen Serambi Botani yang cenderung tinggi dibandingkan produk beras merah organik di pasaran lainnya dan belum bisa memenuhi tingkat 100 % organik menjadi pertanyaan apakah konsumen bersedia membayar (willingness to pay) sejumlah harga yang telah ditetapkan.

(36)

Metode Penentuan Sampel

Sampel dalam penelitian ditentukan berdasarkan metode non-probability

sampling technique. Metode ini memiliki arti bahwa tidak semua anggota

populasi khususnya pengunjung Serambi Botani mempunyai peluang atau kemungkinan yang sama untuk dijadikan responden penelitian. Pemilihan responden dilakukan menggunakan metode convenience sampling dimana responden dipilih berdasarkan kemudahan atau kenyamanan mendapatkannya, dengan kata lain sampel didapat karena berada pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga sampel merupakan konsumen serta pengunjung Serambi Botani yang memang bersedia menjadi responden.

Tahap awal dalam penentuan sampel adalah dilakukkannya screening

terlebih dahulu. Menurut Sumarwan (2004) responden dalam tahap screening

dipilih minimal berusia 16 tahun karena pada umur tersebut seseorang telah memiliki pola pikir yang matang dibandingkan usia dibawahnya. Apabila pengunjung merupakan rombongan keluarga, maka pengisian kuesioner hanya diberlakukan pada kepala keluarga atau ibu rumah tangga sebagai pembuat keputusan pembelian. Hal ini dilakukan supaya pengisian kuesioner tidak saling mempengaruhi. Pengestimasian nilai kesediaan membayar (willingness to pay) responden yang relevan adalah seseorang yang tidak memiliki hak atas barang atau jasa, sehingga nilai estimasi dapat dijelaskan lebih rinci. Maka penentuan sampel atau responden diarahkan pada calon responden yang belum pernah mengonsumsi produk healthy food beras merah pulen. Menghindari bias pengisian kuesioner, maka terlebih dahulu dijelaskan detail produk healthy food beras merah pulen.

Penentuan jumlah sampel atau responden yang representatif menurut Rianse dan Abdi (2004) terdapat empat indikator penunjang yakni (1) melihat tingkat/ derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi yang akan diteliti. Semakin seragam maka akan semakin kecil sampel yang dibutuhkan, mengingat dengan sampel yang sedikit saja sudah dapat mewakili populasi. (2) tingkat presisi yang diinginkan peneliti. Semakin tinggi tingkat presisi, semakin besar jumlah sampelnya. Sampel yang lebih besar akan memberikan penduga yang lebih mendekati nilai sesungguhnya, demikian pula sebaliknya. (3) berkenaan dengan analisis yang digunakan. Menggunakan teknik statistik, maka jumlah sampel sebanyak 30 untuk setiap unit analisis merupakan kebutuhan minimal untuk dikategorikan sampel besar. (4) tenaga, biaya dan waktu yang tersedia.

(37)

Metode Pengolahan Data

Prosedur pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk analisis karakteristik responden dan melihat hubungan karakteristik responden dengan kesediaan membayar, CVM (Contingent Valuation Method) untuk mengestimasi nilai WTP, serta analisis regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP pada produk

healthy food beras merah pulen. Alat bantu analisis dilakukan dengan

menggunakan Microsoft Excel 2007, Statistical Product and Service Solution

(SPSS) versi 20.

Analisis Deskriptif

Menurut Santosa dan Ashari (2005) analisis deskriptif adalah cabang dari statistik yang berhubungan dengan penggambaran atau peringkasan data penelitian sehingga data tersebut mudah dipahami. Penggambaran pada data ini berguna untuk memberikan petunjuk yang lebih baik atas data penelitian. Ukuran-ukuran yang ada pada analisis deskriptif meliputi Ukuran-ukuran pemusatan, Ukuran-ukuran penyebaran, dan deskripsi data lain dengan menggunakan grafik. Penggunaan grafik cenderung memudahkan pembaca dalam memahami data. Pada penelitian ini dominan dilakukan penggunaan grafik dalam menjelaskan hubungan kesediaan membayar dan karakteristik responden.

Contingent Valuation Method (CVM)

Penelitian ini ditujukan kepada responden yang belum memiliki hak atas produk healthy food beras merah, sehigga pendekatan CVM disesuaikan dengan asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan sebagaimana terjelaskan dalam penelitian Garrod dan Willis (1999), apabila seseorang yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang yang ditanya memiliki hak atas hasil sumber daya alam tersebut, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima minimum (minimum willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumber daya alam yang dimiliki. Tahap operasional yang diterapkan dalam pendekatan CVM adalah sebagai berikut (Fauzi, 2006):

1. Membuat hipotesis pasar

(38)

2. Mendapatkan nilai lelang (bids)

Nilai lelang didapatkan melalui survei yang dilakukan secara langsung dengan kuesioner. Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum yang bersedia dibayar responden terhadap produk healthy food beras merah pulen. Nilai maksimum diperoleh dengan metode kartu pembayaran atau (payment card), dimana responden memilih opsi nilai maksimal yang mampu dibayarkan sesuai dengan preferensinya. Nurmalina (2012) menjelaskan, untuk meningkatkan kualitas metode ini, pada umumnya diberikan nilai patokan yang menggambarkan nilai kesediaan membayar. Kelebihan metode ini adalah memberikan semacam stimulan untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu seperti pada metode tawar menawar. Kekurangannya adalah nilai yang diberikan responden bisa terpengaruh oleh besarnya nilai tertera dalam kuesioner.

3. Menghitung rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan dan nilai lelang didapatkan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median). Pada tahap ini harus diperhatikan banyak kemungkinan timbulnya nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata (outliner). Perhitungan nilai rataan dapat diperoleh dengan rumus:

���� = � ��.���

�=0

Keterangan:

EWTP = dugaan nilai rataan WTP (Rp) Wi = nilai WTP ke-i (RP)

Pft = frekuensi relatif kelas WTP ke-i n = jumlah kelas WTP

i = responden ke-i (i=1,2,3....,n) 4. Memperkirakan kurva Willingness to Pay (WTP)

Kurva WTP responden diperoleh dengan menggunakan kumulatif dari jumlah individu yang memilih nilai WTP. Hubungan kurva ini akan menggambarkan tingkat WTP yang bersedia dibayarkan dengan jumlah responden yang bersedia membayar pada tingkat WTP tersebut.

5. Mengagregatkan data

Tahap terakhir adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah populasi.

TWTP= EWTP.Ni Keterangan:

TWTP = Total WTP (Rp)

(39)

Analisis Regresi Linier Berganda

Santosa dan Ashari (2005) menjelaskan bahwa analisis regresi linier berganda adalah persamaan regresi dengan menggunakan dua variabel atau lebih variabel independen. Penentuan variabel dependen menggunakan nilai WTP yang didapat dalam instrument kuesioner, kemudian variabel independen ditentukan dari penelitian terdahulu, kumpulan beberapa teori yang dijelaskan dalam kerangka teoritis kemudian diolah dan disaring dengan pemikiran peneliti. Variabel dependen yang diasumsikan dapat mempengaruhi nilai WTP adalah sebagai berikut:

Tabel 5 Variabel dependen dan kategori yang diasumsikan dapat mempengaruhi nilai WTP

Variabel Pilihan

(X1) Jenis kelamin 1 Laki-laki

2 Perempuan

(X2) Usia Menurut Sumarwan (2011):

1 Remaja lanjut (16-18 tahun) 2 Dewasa awal (19-24 tahun) 3 Dewasa lanjut (25-35 tahun) 4 Separuh baya (36-50 tahun) 5 Tua (51-65 tahun)

6 Lanjut usia (di atas 65 tahun)

(X3) Status penikahan 1 Menikah

2 Belum Menikah

(X4) Jumlah anggota keluarga Menurut Widiastuti (2011):

1 Keluarga kecil (< 4 orang) 2 Sedang (5-6 orang) 3 Besar (> 7 orang) (X5) Pendidikan terakhir 1 SD

2 SMP 3 SMA 4 Diploma 5 Strata 1 6 Strata 2 7 Strata 3 8 Lainnya

(X6) Jenis pekerjaan 1 Pegawai Negeri

2 Pegawai Swasta 3 Ibu Rumah Tangga 4 Wiraswasta

5 Pelajar/ Mahasiswa 6 Lainnya

(X7) Pendapatan per bulan 1 < Rp 1 000 000

(40)

3 Rp 2 500 001 - Rp 5 000 000 4 Rp 5 000 001 - Rp 7 500 000 5 > Rp 7 500 000

(X8) Frekunsi konsumsi 1 Sangat sering (lebih dari 7 kali seminggu)

2 Sering (4-6 kali seminggu) 3 Jarang (1-3 kali seminggu) 4 Tidak pernah

(X9) Kepedulian pangan Skala likert:

1 Sangat tidak peduli 2 Tidak peduli 3 Biasa saja 4 Peduli 5 Sangat peduli (X10) Prioritas terhadap berkualitas Skala likert:

1 Sangat tidak berprioritas 2 Tidak berprioritas 3 Biasa saja

4 Berprioritas 5 Sangat berprioritas (X11) Kepercayaan terhadap manfaat Skala likert:

1 Sangat tidak percaya 2 Tidak percaya 3 Biasa saja 4 Percaya 5 Sangat percaya

Maka dapat dirumuskan persamaan regresi linier berganda menjadi:

Nilai WTP = β0 + β1 (D1X1) + β2(X2) + β3(D2X3) +β4(X4) + β5(X5) + β6(X6) + β7(X7) + β8(D3X8) + β9(X9) + β10(X10) + β11(X11) +β12(X12) + ε

Hasil output kemudian dapat dilihat sejauh mana kuat atau lemahnya korelasi antar variabel dependen dan independen berdasarkan nilai R dari model

summary uji SPSS. Nilai R kemudian dicocokkan dengan kategori nilai angka

korelasi sehingga dapat terlihat sejauhmana hubungan variabel dapat dijelaskan. Patokan angka korelasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Patokan angka korelasi dan hubungannya terhadap korelasi Angka korelasi Hubungan terhadap korelasi

0 - 0.25 Korelasi sangat lemah

>0.25 - 0.5 Korelasi cukup

>0.5 - 0.75 Korelasi kuat

>0.75 -1 Korelasi sangat kuat

Gambar

Tabel Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus
Tabel 1 Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia dalam
Tabel 3 Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini
Gambar 1 Model keputusan konsumen Sumarwan
+7

Referensi

Dokumen terkait