• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO

PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI,

BOTANI SQUARE, BOGOR

SKRIPSI

AKLIMA DHISKA SUWANDA H34080127

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

AKLIMA DHISKA SUWANDA. Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan BURHANUDDIN).

Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat terpenuhi. Beras menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di

Indonesia berkembang budaya “Belum makan kalau tidak makan nasi (beras)”.

Beras telah dianggap sebagai pangan superior, padahal banyak ragam pangan lokal lainnya yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif pangan pokok. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu pangan alternatif seperti beras analog yang terbuat dari campuran tepung berbahan baku lokal dan sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-convenience

mungkin sehingga memiliki tangible benefit dan intangible benefit. Dari segi kadungan gizi, selain sama-sama merupakan sumber karbohidrat, beras analog ini terbukti lebih sehat karena memiliki Indeks Glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras konvensional.

Beras analog diproduksi oleh F-Technopark IPB dan dipasarkan di Serambi Botani pada November 2012. Sebagai produk baru yang belum dikenal masyarakat luas, Serambi Botani belum mengetahui apakah masyarakat bersedia membayar beras analog dengan harga yang akan ditawarkan yaitu Rp 20.000,00 per 800 gram. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, (2) mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, dan (2) menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Serambi Botani, Botani Square, Bogor pada bulan Juli 2012 sebelum launching beras analog diadakan. Responden penelitian ini adalah 100 orang pengunjung Serambi Botani yang bersedia dijadikan responden dan telah melewati tahap screening yaitu berusia lebih dari 16 tahun dan peduli akan diversifikasi pangan. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik pengambilan data convenience sampling. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar. Analisis CVM digunakan untuk mengestimasi nilai WTP beras analog, sedangkan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai tersebut digunakan analisis regresi berganda.

Serambi Botani adalah gerai milik Institut Pertanian Bogor yang salah satunya berlokasi di mall Botani Square dan memiliki konsep sebagai outlet

(3)

dipasarkan di Serambi Botani menggunakan produk-produk IPB, seperti beras analog yang diproduksi F-Technopark IPB.

(4)

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO

PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI,

BOTANI SQUARE, BOGOR

AKLIMA DHISKA SUWANDA H34080127

Skirpsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor

Nama : Aklima Dhiska Suwanda NIM : H34080127

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Burhanuddin, MM

NIP. 19680215 199903 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2012

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujungbatu, Riau pada tanggal 28 November 1989. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Sudirwan dan Ibu Harminafida. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Ujungbatu pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 1 Ujungbatu. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah ke atas di SMA Negeri 1 Ujungbatu pada tahun 2008. Penulis diterima di Program Sarjana Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai staff Departemen Kesekretariatan dan Humas pada IPMM-Bogor periode tahun 2009-2010, staff Money Hunting Department

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor” dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, mengestimasi besarnya nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, serta menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani.

Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2012

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Ir. Burhanuddin, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini, dan juga terima kasih kepada Drs. Iman Firmansyah, MSi yang juga telah memberikan bimbingan sebelumnya.

2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji komisi pendidikan pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Rahmat Yanuar, SP, MSi selaku dosen pembimbing akademik penulis dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, FEM IPB.

5. Orangtua, Sudirwan dan Harminafida, sebagai motivator terbesar bagi penulis. Terima kasih banyak atas segala kasih sayang, perhatian, semangat, doa, dan segala bentuk moral maupun material yang terus mengalir. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

6. Kakak-kakakku tercinta, Pradiani Suwanda, Dwi Donalia Suwanda, Tri Delone Suwanda, dan Fora Dilla Suwanda yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang, hiburan, dan semangat selama ini.

7. Dwiko Gunawan selaku General Manger Serambi Botani beserta seluruh karyawan yang telah bersedia memberikan informasi dan membantu dalam segala hal yang berkaitan dengan penelitian penulis.

8. Dr. Slamet Budijanto selaku pihak dari F-Technopark IPB yang telah bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan produksi beras analog.

(10)

10.Sahabat-sahabat tercinta Afrisya Meizi, Layra Nichi Sari, dan Fithria Rahmadhani, terimakasih atas persahabatan, canda tawa, dan kesetiaan yang diberikan selama empat tahun di IPB.

11.Sepupu tersayang Mutia Fermanda dan Yolla Rahmi yang selalu memberikan motivasi, meluangkan waktu untuk penulis, dan selalu ada saat dibutuhkan. 12.Keluarga Putri Bunda, Ferina, Resti, Arini, Ashlama, Livia, Uni, Dea, dan Fira

yang selalu memberikan semangat dan menjadi keluarga di rumah ini.

13.Teman-teman Agriminang Nezi, Jauhar, Anisa, Gebry, Diki, dan Ervan. Teman-teman Agribelle Risty, Anggarini, Steffi, Emil, Dian, dan Firas. Asma, Syifa, Vonika, dan teman-teman Agribisnis angkatan 45 lainnya atas kebersamaan dan perjuangannya yang telah kita lalui.

14.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.

Segala ucapan terimakasih tentunya belum cukup, semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan semua, Amin.

Bogor, Desember 2012

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) ... 10

2.2. Faktor-Faktor Kesediaan Membayar ... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 19

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 19

3.1.1. Konsep Willingness To Pay ... 19

3.1.2. Pendekatan CVM... 22

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 28

IV. METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4.2. Metode Penentuan Sampel ... 31

4.3. Desain Penelitian ... 32

4.4. Data dan Instrumentasi ... 33

4.5. Metode Pengumpulan Data ... 33

4.6. Metode Pengolahan Data ... 34

4.6.1. Uji Chi-Square... 34

4.6.2. Analisis Willingness to Pay Beras Analog ... 35

4.6.3. Analisis Regresi Berganda ... 38

V. GAMBARAN UMUM ... 45

5.1. Beras Analog ... 45

5.1.1. Bahan Baku dan Kandungan Gizi ... 45

5.1.2. Teknologi Pembuatan ... 46

5.2. Serambi Botani ... 47

5.2.1. Visi dan Misi Serambi Botani ... 47

5.2.2 Bauran Pemasaran Serambi Botani ... 48

5.2.3. Segmenting, Targetting, and Positioning ... 49

5.3. Karakteristik Responden ... 49

5.3.1. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49

5.3.2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ... 49

(12)

5.3.4. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota

Keluarga ... 51

5.3.5. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 51

5.3.6. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 52

5.3.7. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 52

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

6.1. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Kesediaan Membayar Beras Analog ... 54

6.1.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kesediaan Membayar 54

6.1.2. Hubungan antara Usia dengan Kesediaan Membayar ... 55

6.1.3. Hubungan antara Status Pernikahan dengan Kesediaan Membayar ... 56

6.1.4. Hubungan antara Jumlah Anggota Keluarga dengan Kesediaan Membayar ... 57

6.1.5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kesediaan Membayar ... 58

6.1.6. Hubungan antara Pekerjaan dengan Kesediaan Membayar ... 58

6.1.7. Hubungan antara Pendapatan dengan Kesediaan Membayar ... 59

6.2. Analisis Willingness To Pay Beras Analog ... 60

6.2.1. Pasar Hipotesis ... 61

6.2.2. Nilai Lelang (Bids) ... 61

6.2.3. Nilai Rataan WTP... 62

6.2.4. Kurva Lelang (Bid Curve) ... 62

6.2.5. Agregat Data (Total WTP) ... 63

6.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden terhadap Beras Analog ... 63

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

7.1. Kesimpulan ... 74

7.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan

Makanan Penting di Indonesia (2007-2011) ... 1 2. Tingkat Konsumsi Beras Beberapa Negara di Dunia (2010) ... 2 3. Informasi Perbandingan Nilai Gizi Beras Analog dengan

Beras Biasa ... 46 4. Hasil Uji Chi-Square Karakteristik Responden dengan Kesediaan

Membayar ... 54 5. Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai WTP Responden Beras

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan ... 6

2. Kurva Opportunity Cost, Consumers’ Surplus dan Producers’Surplus ... 19

3. Analisis Kesediaan Membayar Beras Analog ... 30

4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49

5. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ... 50

6. Sebaran Responden berdasarkan Status Pernikahan ... 50

7. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 51

8. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 52

9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 52

10. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 53

11. Persentase Kesediaan Responden Membayar Beras Analog ... 61

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Uji Chi-Square ... 78

2. Distribusi Nilai (Harga) WTP Beras Analog ... 86

3. Hasil Analisis Regresi Berganda... 87

4. Hasil Uji Asumsi ... 88

5. Proses Pembuatan Beras Analog... 89

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan mendasar karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan akan pangan harus terpenuhi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut teori Maslow, pangan termasuk

psychological needs dimana manusia tidak akan beranjak ke kebutuhan lebih tinggi selama kebutuhan fisiologisnya belum terpenuhi.

Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Bahkan berbagai macam suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia saat ini telah mengubah pola konsumsi pokok mereka dengan beras. Beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Maluku yang dulunya mengonsumsi jagung atau sagu, saat ini telah mengganti pangannya dengan beras. Konsumsi rata-rata per kapita setahun beberapa bahan makanan penting masyarakat Indonesia dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan Penting di Indonesia (2007-2011)

Jenis Makanan 2007 (kg)

2008 (kg)

2009 (kg)

2010 (kg)

2011 (kg) Beras 90,468 93,440 91,302 90,155 89,477 Beras ketan 0,261 0,261 0,209 0,209 0,261 Tepung beras 0,469 0,365 0,313 0,365 0,365 Tepung terigu 1,877 1,408 1,251 1,304 1,460 Jagung basah berkulit 2,399 1,251 0,626 0,939 0,626 Jagung pipilan 3,129 2,294 1,825 1,564 1,119 Ketela pohon 6,987 7,665 5,527 5,058 5,788 Ketela rambat 2,399 2,659 2,242 2,294 2,868

Gaplek 0,261 0,261 0,052 0,052 0,104

Kacang kedelai 0,104 0,052 0,052 0,052 0,052

Tahu 8,499 7,144 7,039 6,987 7,404

Tempe 7,978 7,248 7,039 6,935 7,300

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

(17)

nasi (beras)”. Budaya ini yang akhirnya menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia (Tabel 2).

Tabel 2. Tingkat Konsumsi Beras Beberapa Negara di Dunia (2010)

Negara Konsumsi beras (kg/kapita)

Indonesia 139

Malaysia 80

Brunei Darussalam 80

Thailand 70

Jepang 60

Rata-Rata Dunia 60

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Tabel 2 membandingkan tingkat konsumsi beras Indonesia dengan beberapa negara pada tahun 2010. Dapat dilihat bahwa angka konsumsi beras Indonesia yaitu 139 kilogram per kapita jauh melampaui angka konsumsi beras rata-rata dunia yang hanya 60 kilogram per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi beras lebih dari dua kali lipat rata-rata konsumsi dunia. Hingga saat ini diperkirakan konsumsi beras penduduk Indonesia sudah melebihi 140 kilogram per kapita per tahun. Jika konsumsi beras sebanyak 140 kilogram per kapita per tahun ini dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 juta (BPS 2011), maka didapat angka kebutuhan beras nasional sebesar 33,74 juta ton per tahun. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi. Saragih (2012) menyatakan bahwa jika masyarakat bisa mengurangi konsumsi beras hingga 30 persen, maka konsumsi beras nasional bisa berkurang menjadi 100 kg per kapita per tahun dan untuk jangka waktu 20 tahun mendatang, konsumsi beras dapat ditekan menjadi 60 kg per kapita per tahun1.

Dari segi produksi beras, Indonesia menduduki urutan ketiga setelah China dan India. Pada periode Januari-April 2011, realisasi produksi beras nasional adalah sebanyak 30.628.814 ton dan mengalami peningkatan 3,1 persen di periode

1

http://id.indonesiafinancetoday.com/ Pengurangan Konsumsi Beras Per Kapita Dorong

(18)

tahun berikutnya yaitu sebanyak 31.578.307 ton. Namun ternyata tingkat produksi tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan beras nasional (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2012). Produksi beras dalam negeri yang tidak bisa mengimbangi tingginya tingkat konsumsi beras di tengah masyarakat semakin menguatkan ketergantungan kita pada beras impor. Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat akan beras, Indonesia mengimpor 17,6 persen beras dunia dan merupakan importir beras ketiga di dunia setelah Filipina dan Nigeria (IRRI 2011). Hingga Juli 2011, Indonesia telah mengimpor 1,57 juta ton atau senilai Rp 7,04 triliun2. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang akan mengganggu ketahanan pangan nasional.

Undang-undang Pangan No. 7/1996 menjelaskan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan disebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui pelaksanaan produksi, perdagangan dan distribusi; penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat; serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional adalah memanfaatkan pasar gandum dunia sebagai alternatif cadangan pangan karena gandum juga salah satu sumber karbohidrat yang banyak diminati masyarakat. Masyarakat dibuat terbiasa dengan produk seperti mie instan, roti, sereal, dan lainnya. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir. Berdasarkan laporan United State Department of Agriculture (USDA), pada Mei 2012, impor gandum Indonesia diprediksi mencapai 7,1 juta ton, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 6,7 juta ton3. Peningkatan konsumsi gandum tersebut dapat dianggap

2http://suaramerdeka.com/ Mengurangi Konsumsi Beras [diakses tanggal 25 Juni 2012]

3

http://finance.detik.com/ RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua di Dunia [diakses tanggal 25

(19)

sebagai ancaman karena gandum merupakan komoditas impor yang dapat menguras devisa dan hal tersebut sangat tidak dianjurkan dalam penyebaran pola diversifikasi pangan.

Indonesia merupakan negara agraris dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Banyak ragam pangan lokal yang berpotensi sebagai sumber pangan alternatif dan perlu dikembangkan. Dahulunya, makanan pokok bangsa ini tidak hanya beras, namun juga singkong, jagung, tiwul, sagu, sorgum, dan sebagainya. Namun saat ini nasi seolah menjadi penanda status sosial dan merupakan pangan superior. Sebuah keluarga dikatakan cukup mapan jika bisa menyajikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong, jagung, ataupun sagu yang sama-sama memiliki kandungan karbohidrat dianggap sebagai pangan inferior dan menjadi alternatif pangan saat kehabisan uang membeli beras.

Oleh karena itu, diperlukan suatu pangan alternatif yang sehat, aman, memiliki sifat fisik dan fungsional menyerupai beras konvensional dan berbahan baku lokal, seperti beras analog. Beras analog atau artificial rice atau disebut juga

designed rice dikembangkan oleh F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Beras analog ini terbuat dari campuran tepung bahan baku lokal dan sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-convenience

mungkin sehingga memiliki tangible benefit dan intangible benefit. Dari segi kadungan gizi, selain sama-sama merupakan sumber karbohidrat, beras analog ini terbukti lebih sehat karena memiliki Indeks Glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras konvensional.

(20)

bahan baku utama, seperti beras analog yang diproduksi F-Technopark Fateta IPB. Adanya kecenderungan bahwa pengunjung Serambi Botani merupakan konsumen yang sadar akan kesehatan dan lingkungan, menjadikan peluang besar bagi pengunjung Serambi Botani untuk mengonsumsi beras analog.

1.2. Perumusan Masalah

Diversifikasi pangan merupakan basis terciptanya ketahanan pangan Indonesia. Pentingnya diversifikasi pangan telah dicanangkan pemerintah sejak akhir tahun 1960-an, namun dinilai belum berjalan secara efisien karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang semakin meningkat terhadap beras. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan (2012), pola konsumsi pangan pokok di Indonesia pada tahun 1954 masih beragam yaitu beras (54%), ubi kayu (22%), jagung (19%), lain-lain (5%). Lalu pada tahun 1987, beras (80%), ubi kayu (10%), dan jagung (7%), lain-lain (3%). Pada tahun 1999, konsumsi beras terus meningkat sedangkan pangan lain semakin menurun, beras (86%), ubi kayu (5%), jagung (2%), lain-lain (7%). Selanjutnya pada tahun 2010 pangsa pangan selain beras dan terigu dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang.

Tidak mudah untuk menggantikan nasi dengan jenis pangan lainnya. Masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi beras dan pangan lain seperti umbi-umbian, jagung dan sagu hanya dikonsumsi sebagai makanan selingan bahkan dianggap sebagai pangan inferior yang dikonsumsi saat kehabisan uang membeli beras. Selain itu, belum ada produk yang dinilai bisa menggantikan beras baik dari segi fisik maupun fungsionalnya.

Masyarakat terbiasa dengan pangan beras ini karena memiliki kelebihan diantara pangan lainnya, yaitu mudah dimasak. Saat ini masyarakat semakin dimanjakan dengan ditawarkannya alat menanak nasi modern dan praktis, seperti

(21)

Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi pemerintah dan pihak terkait untuk merealisasikan gerakan diversifikasi pangan ini. Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden selama tahun 2009–2014, dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik daerah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun 2009. P2KP menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerjasama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pada tingkat provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor, dan Depok yang saat ini menerapkan One Day No Rice kepada pegawainya.

Beras analog dikembangkan oleh F-Technopark IPB sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Pembuatan beras analog dengan bahan baku lokal selaras dengan program Departemen Pertanian untuk tahun 2015 (Gambar 1).

Gambar 1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan Sumber : Kementerian Pertanian (2010)

Berdasarkan Gambar 1. dapat dilihat bawa hingga tahun 2015 mendatang, nasi akan tetap menjadi ikon utama makanan pokok penduduk Indonesia,

Nasi

Beras

Padi

“Nasi”

“Beras Campur”

“Beras Non-Padi”

(22)

sehingga bentuk beras merupakan bentuk terbaik dalam upaya diversifikasi pangan dibandingkan dengan bentuk lainnya seperti mie dan roti. Beras analog merupakan solusi tepat untuk menyukseskan program diversifikasi pangan dan mengembangkan kearifan pangan lokal. Pemanfaatan bahan pangan lokal juga merupakan upaya penting dalam meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.

Beras analog sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pangan, beberapa negara pengonsumsi beras seperti Thailand, China, dan Filipina sudah mengonsumsi beras analog berbahan dasar menir. Pada tahun 2012, beras analog dikenal di Indonesia setelah F-Technopark IPB menghasilkan beras tiruan yang terbuat dari sumber karbohidrat non-beras seperti ubi, jagung, dan sorgum. Sebagai produk baru dan sebagai alternatif pangan pengganti beras, beras analog memiliki keunggulan sehingga diharapkan bisa diterima masyarakat. Oleh karena itu, beras analog ini sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah food habit masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Cara memasak dan penyajiannya pun sama dengan beras konvensional, bahkan lebih praktis karena tidak perlu dicuci terlebih dahulu. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat

se-convinience mungkin sehingga memiliki intangible benefit (manfaat tak berwujud) dan tidak mengubah sifat fungsional dan fisik beras.

(23)

sehingga dapat menerapkan strategi pemasaran yang tepat, terutama dari aspek penentuan harga.

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian ini, adalah: 1. Bagaimana hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan

membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani?

2. Berapa nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani

2. Mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani.

3. Menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

1. Serambi Botani dan pihak lain yang juga menyediakan beras analog, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pihak perusahaan mengenai kesediaan masyarakat membayar beras analog dan menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan harga beras analog.

2. Masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran akan pentingnya diversivikasi pangan dan menjadikan pertimbangan untuk mengonsumsi beras analog sebagai alternatif pangan yang sehat.

(24)

4. Pembaca, pihak institusi pendidikan, dan pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

5. Penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan sebagai media untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian mengenai kesediaan membayar beras analog belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan topik

Willingness to Pay khususnya dalam menilai manfaat dari sumberdaya lingkungan atau sumberdaya ekonomi lainnya yang memiliki intangible benefit.

2.1. Kesediaan Membayar (Willingness to Pay)

Perhitungan WTP biasanya dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan yaitu dengan menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husodo et al (2009), sebanyak 40% responden bersedia membayar produk organik di Kodya Yogyakarta dengan harga premium. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua responden memiliki penilaian yang sama terhadap produk organik, bahkan sebanyak 60 persen responden menolak untuk membayar. Keengganan membayar ini disebabkan karena belum adanva kesadaran akan manfaat produk organik. Selain itu, keraguan akan jaminan mutu produk organik seringkali juga menjadi faktor penyebab konsumen belum sanggup membayar produk organik dengan harga premium.

Berbeda halnya dengan penelitian Daulay (2012) mengenai kesediaan konsumen untuk membayar mie instan sayur di Serambi Botani. Walaupun harga yang dipasarkan mie instan sayur sudah mahal yaitu Rp 8.000,00, namun sebanyak 48 persen responden masih bersedia membayar dengan harga tersebut, bahkan 36 persen responden bersedia membayar di atasnya. Sebagian besar responden mengaku bersedia membayar mie instan sayur karena memiliki manfaat yang tidak dapat dibandingkan dengan uang yaitu manfaat kesehatan, sehingga responden beranggapan bahwa harga mie instan sayur sepadan dengan manfaat yang diberikan.

Radam et al. (2010) mengkaji kesediaan konsumen Malaysia membayar

produk makanan yang berlabel “Tanpa Tambahan MSG”. Dari 200 responden,

sebanyak 159 responden bersedia membayar produk berlabel “Tanpa Tambahan

(26)

nutrisi yang lebih. Sisanya sebanyak 41 orang menyatakan tidak bersedia dan menyatakan produk tanpa MSG rasanya tidak enak.

Ameriana (2006) mengkaji kesediaan konsumen membayar premium untuk tomat aman residu pestisida di Lembang, Bandung. Dari 162 responden yang diwawancara, 59,26% responden menyatakan bersedia untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida. Dalam artian, seandainya harga tomat tanpa label Rp 2.000,00 per kilogram, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000,00 untuk tomat berlabel aman residu pestisida. Sedangkan sisanya sebanyak 40,74% menyatakan tidak bersedia membayar premium.

Sedangkan hasil penelitian Bernard dan Mitra (2007) yang mengkaji kesediaan membayar produk eco-labelling di Amerika menunjukkan bahwa hanya 13% responden bersedia membayar 10% di atas harga premium, sedangkan sekitar 27% responden tidak bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang baik dari konsumen mengenai perhatian terhadap lingkungan dan penggunaan produk ramah lingkungan.

Dalam mengestimasi WTP konsumen untuk membayar beras berlabel rendah kalori di Tokyo, Iwamoto (2012) menggunakan metode Percobaan Pilihan (Choice Experiment) untuk mengevaluasi nilai setiap atribut secara individu. Metode ini selanjutnya digunakan sebagai metode analisis dalam pertimbangan beberapa atribut beras seperti atribut rendah kalori, atribut produksi asal lokal dan padi kultivar, harga, dan lain-lain. Iwamoto (2012) juga menyatakan bahwa

Choice Experiment dan CVM merupakan metode analisis yang paling cocok untuk digunakan pada pengukuran nilai ekonomi dari non-market goods.

(27)

membayar jika harga produk berlabel tanpa tambahan MSG lebih tinggi RM 0,1-0,5 dibandingkan produk yang memiliki MSG.

Pasar hipotesis merupakan tahapan penting sebelum mendapatkan nilai WTP, karena dari hipotesis ini seseorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang (nilai WTP), berapa nilai maksimum yang bisa responden bayarkan berdasarkan hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Untuk mendapatkan nilai lelang, Radam et al. (2010) menggunakan metode pilihan dikotomi dimana responden diberi pilihan bersedia atau tidak bersedia dengan tawaran yang diberikan. Hal ini serupa dengan metode yang digunakan Husodo et al. (2009) yang juga menggunakan teknik pilihan dikotomi. Sedangkan Daulay menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai lelang dimana responden diberikan kebebasan dalam menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk mie instan sayur. Begitu juga dengan Ameriana (2006) menggunakan metode open-ended question

dalam mendapatkan nilai WTP tomat yang berlabel aman residu. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, tergantung kepada masalah yang diteliti, serta ketersediaan sumberdaya penelitian.

Setelah itu nilai lelang seluruh responden tersebut dihitung rataannya. Berdasarkan hasil yang diperoleh Daulay (2012), rataan nilai WTP responden untuk mie instan sayur adalah sebesar Rp 7.990,00. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan harga mie instan sayur yang dipasarkan yaitu Rp 8.000,00. Sedangkan Radam et al.(2010) memperoleh rataan nilai WTP sebesar RM 0.43

untuk produk berlabel “Tanpa Tambahan MSG” yang mengindikasikan bahwa responden bersedia membayar dengan harga premium sebesar RM 0.43.

(28)

harus diagregatkan dengan mengonversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.

2.2. Faktor-Faktor Kesediaan Membayar

Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen dalam membayar mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan enam variabel berdasarkan karakteristik demografi, yaitu jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Hasil regresi menyatakan bahwa variabel jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan membayar mie instan sayur, sedangkan variabel usia dan status pernikahan memiliki pengaruh negatif. Dari variabel-variabel tersebut, yang berpengaruh signifikan terhadap kesediaan

konsumen untuk membayar mie instan sayur pada taraf nyata (α) 5 persen yaitu

variabel jenis kelamin dan pendapatan. Kecenderungan perempuan untuk membayar mie instan sayur lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih konsumtif dan umumnya perempuan merupakan pengambil keputusan dalam konsumsi rumah tangga. Variabel pendapatan juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap besarnya kesediaan untuk membayar mie instan sayur. Responden dengan pendapatan yang lebih tinggi dibanding responden lainnya akan lebih bersedia membayar mie instan sayur.

Selanjutnya untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden terhadap mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan analisis faktor. Dari hasil yang didapatkan, ada tiga faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen membayar mie instan sayur, yaitu (1) faktor mayoritas Intangible Benefit terdiri dari variabel keamanan konsumsi, kandungan gizi, kepercayaan dan bahan baku. (2) faktor pendukung terdiri dari variabel praktis dan label. (3) faktor

Tangible Benefit terdiri dari variabel rasa dan kemasan.

(29)

produk organik dengan non-organik, kepercayaan bahwa potensi penurunan pestisida merupakan kelebihan teknologi organik, harga, rasa, pelabelan, usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, dan pendapatan.

Variabel-variabel tersebut menunjukkan pengaruh positif, kecuali variabel status pernikahan. Dari variabel-variabel tersebut hampir semuanya berpengaruh signifikan selain variabel pembelian. Koefisien positif dari variabel pendapatan menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan reponden akan meningkatkan probabilitas responden untuk sanggup membayar WTP. Hasil ini memperkuat kecenderungan saat ini dimana perkembangan pertanian organik khususnya di Indonesia salah satunya didorong oleh munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan konsumen berpendapatan menengah ke atas.

Variabel yang berpengaruh signifikan positif lainnya menunjukkan bahwa responden yang berpandangan bahwa produk non organik tidak aman, pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, terdapat perbedaan prinsip antara produk organik dan non organik lebih cenderung sanggup membayar WTP. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi persepsi responden terhadap keamanan pangan, maka semakin besar pula kesanggupan mereka membayar harga premium produk organik. Kepedulian terhadap kelestarian lingkungan juga menjadi faktor yang menentukan penilaian seseorang terhadap produk organik. Demikian pula responden yang beranggapan bahwa antara produk non organik dan organik terdapat perbedaan nyata cenderung lebih besar penilaian mereka terhadap produk organik.

Atribut harga juga berpengaruh nyata terhadap WTP. Kepedulian responden terhadap harga cenderung menyebabkan responden sanggup membayar harga premium untuk produk organik. Opini tentang pentingnya pelabelan pada produk organik juga memberikan pengaruh signifikan terhadap WTP dimana responden yang berpandangan bahwa pelabelan adalah sesuatu yang penting akan semakin besar pula penilaian mereka terhadap produk organik yang ditandai dengan kesanggupan mereka membayar harga premium.

(30)

memberikan pengaruh nyata. Kecuali status perkawinan, semua variabel demografi memberikan pengaruh positif. Variabel yang berpengaruh negatif terhadap WTP adalah status perkawinan, artinya responden yang belum menikah memiliki kemungkinan kesanggupan membayar WTP lebih tinggi dibanding responden yang sudah menikah. Untuk variabel demografi lain, ternyata responden pria, yang berumur relatif lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi cenderung sanggup membayar harga premium.

Begitu juga dengan Radam et al. (2010) menggunakan analisis regresi logit untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP responden terhadap

produk berlabel “Tanpa Tambahan MSG”. Variabel dependent yang digunakan berupa variabel kategorik yaitu bersedia membayar harga tambahan untuk produk berlabel tanpa tambahan MSG atau tidak bersedia. Sedangkan variabel

independent yang digunakan yaitu harga, jumlah anggota keluarga, ada atau tidak adanya anak berumur di bawah 12 tahun, pendapatan, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Dari variabel-variabel tersebut didapatkan hasil yang berpengaruh signifikan adalah pendapatan, adanya anak berumur 12 tahun, harga, dan jenis kelamin perempuan.

Hasil regresi mengindikasikan adanya hubungan positif dan signifikan antara pendapatan dan WTP. Konsumen dengan pendapatan lebih tinggi lebih mampu membayar produk berlabel “Tanpa Tambahan MSG” dan memiliki utilitas marginal yang lebih rendah. Analisis regresi juga menunjukkan hubungan positif antara rumah tangga dengan anak-anak (anggota keluarga di bawah usia 12 tahun) dan WTP. Responden tersebut cenderung kurang peduli dengan harga ketika membuat keputusan. Orang tua memiliki tanggung jawab dan kepentingan intrinsik dalam menyediakan makanan yang aman dan sehat bagi anak-anak mereka. Variabel harga berkorelasi negatif dengan WTP. Itu berarti, semakin tinggi harga produk pangan, kesediaan responden cenderung akan menurun dalam membayar produk tersebut.

(31)

dan umumnya bersedia untuk membayar lebih untuk produk makanan tanpa MSG. Hal ini karena perempuan lebih sadar kesehatan dibandingkan dengan laki-laki saat ini. Analisis regresi dalam studi juga menunjukkan hubungan positif antara pendidikan sampai tingkat universitas dan WTP. Responden yang telah menempuh pendidikan tingkat universitas cenderung bersedia membayar lebih untuk produk-produk yang mengurangi risiko kesehatan.

Analisis regresi linier digunakan Bernard dan Mitra (2007) untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP terhadap produk eco-labelling. Variabel dependent yang digunakan adalah harga, sedangkan variabel

independent adalah umur, pendidikan, jenis kelamin, kesehatan, gaya hidup, pendapatan, daur ulang, pemerintah, dan pihak ketiga. Bernard dan Mitra (2007) menyatakan bahwa variabel demografi tidak memainkan peranan penting dalam mempengaruhi responden menentukan WTP, kecuali pendapatan. Hal tersebut dikarenakan variabel demografi tidak dapat mengindikasikan berapa banyak orang peduli lingkungan atau tidak. Pembelian cenderung diarahkan pada individu berpenghasilan tinggi karena produk eco-labelling biasanya lebih mahal daripada produk non eco-labelling.

Variabel yang paling signifikan dalam model ini adalah verifikasi pihak ketiga. Lalu diikuti oleh variabel sehat (orang merasa produk eco-labelling lebih baik bagi mereka). Responden yakin bahwa produk eco-labeling ini masuk akal jika harganya lebih tinggi dengan harapan produk ini lebih sehat dan aman daripada produk lainnya. Selanjutnya gaya hidup juga signifikan mempengaruhi WTP. Sebagian responden ini setuju dengan pernyataan “Saya bersedia mengubah gaya hidup saya saat ini jika membantu untuk menyelamatkan lingkungan”. Meskipun pendidikan dianggap memainkan peran dalam menentukan kesediaan membayar, namun variabel tersebut tidak ditemukan signifikan. Responden yang memiliki pengetahuan lebih tentang eco-labellling tidak berarti benar-benar peduli tentang keramahan lingkungan dari suatu produk.

(32)

konsumen, dan keyakinan konsumen. Dari hasil analisis logit yang digunakan, variabel umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesediaan membayar premium, semakin muda umur responden, semakin mendorong kesediaan konsumen untuk membayar premium. Selanjutnya Ameriana (2006) juga menyatakan bahwa pengaruh variabel umur terhadap kesediaan membayar, sifatnya sangat spesifik. Artinya, variabel tersebut belum tentu berpengaruh terhadap kesediaan membayar premium, tergantung dari produk dan kasus yang menjadi objek penelitian. Jika berpengaruh pun arahnya bisa negatif atau positif, sehingga agak sulit untuk menjelaskannya.

Variabel pendidikan tidak mempengaruhi konsumen dalam membayar premium untuk tomat aman residu, karena data pendidikan yang dianalisis oleh Ameriana (2006) hanya mencakup pendidikan formal, tanpa melibatkan pendidikan yang bersifat nonformal. Selanjutnya, variabel pekerjaan juga tidak mempengaruhi kesediaan membayar konsumen, karena peluang pasar bagi tomat berlabel aman residu pestisida tidak terbatas segmen konsumen yang bekerja saja, tetapi juga bagi konsumen yang tidak bekerja.

Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan dalam kesediaan membayar premium. Jumlah keluarga biasanya berkaitan dengan pengeluaran keluarga, semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengeluaran rumah tangga pun akan semakin besar. Hal ini menyebabkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih besar kurang leluasa dalam mengalokasikan anggaran rumah tangganya, sehingga keluarga tersebut memprioritaskan pengeluarannya bagi hal-hal yang dianggap lebih penting.

(33)

Variabel kepedulian konsumen terhadap residu pestisida secara positif mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membayar premium untuk tomat aman residu. Dengan demikian, sikap kepedulian konsumen dapat dijadikan indikator untuk memprediksi peluang diterimanya produk di pasaran. Variabel keyakinan konsumen secara signifikan juga mempengaruhi kesediaan membayar. keyakinan konsumen membayar tomat aman residu pestisida. Konsumen yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai residu pestisida, informasi melalui pelabelan dapat membentuk/menambah keyakinan konsumen. Sementara itu, bagi konsumen yang pengetahuan dan pengalamannya masih kurang, pelabelan pada tomat aman residu pestisida dapat menimbulkan keingintahuan konsumen mengenai produk tersebut. Keingintahuan tersebut dapat berubah menjadi keinginan untuk membeli, seandainya diimbangi dengan pemberian informasi tambahan.

(34)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran teoritis dari berbagai penelusuran teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan, dijelaskan di bawah ini.

3.1.1. Konsep Willingness To Pay

[image:34.595.103.495.147.811.2]

Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter (berupa uang). Metode ekonomi dapat digunakan untuk menilai perubahan kualitas atau ketersediaan sumber daya alam, baik yang biasa diperjualbelikan sebagai produk barang atau jasa di pasar maupun tidak. Pakar ekonomi secara langsung mengamati informasi dari transaksi yang terjadi di pasar untuk mengevaluasi surplus konsumen dan surplus produsen sebagai pendekatan mengukur kepuasan masyarakat terhadap barang atau jasa tersebut. Surplus konsumen adalah kelebihan dari apa yang ingin dibayar konsumen melebihi harga yang berlaku di pasar, sedangkan surplus produsen adalah kelebihan yang ingin didapat produsen dari harga pasar sehingga melebihi biaya produksi.

Gambar 2. Kurva Opportunity Cost, Consumers’ Surplus danProducers’

Surplus

Sumber : Kahn (1998)

Dalam menilai sisi ekonomi dari perubahan lingkungan yang terjadi, maka unsur-unsur yang terkait dalam proses perubahan serta nilai perubahan itu harus

consumers’

surplus

produsens’

surplus

0 Q1

P1

E

marginal cost

function

willingness to pay function

(35)

diperhitungkan. Jika penyediaan barang lingkungan meningkat, maka surplus konsumen akan meningkat karena penggunaan barang tersebut, baik penggunaan langsung maupun tidak langsung.

Nilai atau benefit lingkungan bisa berasal dari pihak yang memanfaatkan langsung, atau nilai yang diperoleh bagi yang belum atau tidak memakainya. Perubahan-perubahan lingkungan baik yang menguntungkan ataupun yang merugikan, diantaranya adalah kesehatan manusia, lingkungan hidup, aliran-aliran output yang bisa direproduksi, stok yang bisa direproduksi, stok yang tidak bisa direproduksi, dan pemandangan alam dan ekosistem.

Berdasarkan analisa ekonomi lingkungan, penilaian keuntungan dari perubahan lingkungan merupakan hal yang kompleks karena nilai keuntungan tersebut tidak hanya nilai moneter (berupa uang) dari konsumen yang menikmati langsung (users) jasa perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga nilai yang berasal dari konsumen potensial dan orang lain karena alasan tertentu (non-users). Beberapa sumber benefit yang bisa diperoleh bukan pengguna langsung jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Yakin 1997):

1. Nilai pilihan (option value).

Meskipun seseorang tidak mempunyai rencana untuk menggunakan barang atau jasa itu, mereka terkadang bersedia membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang.

2. Nilai eksistensi/keberadaan (existence value).

Nilai atau harga yang diberikan oleh seseorang terhadap eksistensi barang tertentu, misalnya objek tertentu, spesies, atau alam dengan didasarkan pada etika atau norma tertentu.

3. Nilai masa depan (bequest value).

Seseorang bisa jadi membayar ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu, seperti objek, spesies, alam, untuk generasi yang akan datang.

4. Nilai kepentingan orang lain (altruistic value)

(36)

Secara umum, Fauzi (2006) menyatakan bahwa nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang yang bersedia mengorbankan barang dan jasanya untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini kemudian disebut keinginan membayar (Willingness To Pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Yakin (1997) mendefinisikan kesediaan konsumen untuk membayar (Willingness To Pay) sebagai jumlah uang yang ingin diberikan oleh seseorang untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi lingkungan.

Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan intensif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi 2006). Garrod dan Willis (1999) serta Hanley dan Spash (1999) menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada di kisaran 2 hingga 5 kali lebih besar dari besaran WTP. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara

2. Pengukuran WTA terkait dengan dampak kepemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumber daya yang dia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut dengan menghindari kerugian, dimana seseorang cenderung memeberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian. 3. Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan

mempertimbangkan pendapatan dan preferensinya.

Pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenuhi syarat (Haab dan McConnel 2002, diacu dalam Fauzi 2006):

1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan

(37)

Fauzi (2006) menyatakan bahwa analisis Cost-Benefit sering tidak mampu menjawab permasalahan karena konsep ini tidak memasukkan manfaat ekologis dari sifat ekologi lingkungan. Secara umum, teknik yang digunakan untuk mengukur nilai ekonomi sumber daya digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik evaluasi yang mengandalkan harga implisit yaitu nilai Willingness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Adapun teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah travel cost,

hedonic pricing, dan teknik yang relatif baru yang disebut random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau nilai WTP diperoleh langsung dari ungkapan responden secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM).

3.1.2. Pendekatan CVM

Yakin (1997) mendefinisikan pendekatan CVM adalah metode dengan teknik survei yang menanyakan secara langsung kepada individu atau rumahtangga tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan, jika pasarnya benar-benar tersedia atau jika terdapat cara-cara pembayaran lain seperti pajak yang diterapkan. Pendekatan CVM telah dipakai sejak lama untuk menghitung WTP yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan seperti kualitas air, kualitas pantai rekreasi, dll. Akhir-akhir ini, pendekatan CVM telah berkembang mengkaji non-lingkungan seperti nilai program pengurangan risiko sakit jantung, nilai informasi harga di supermarket, dan nilai program perusahaan terdahulu. (Field 1994).

Fauzi (2006) menyataka bahwa pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknis eksperimental melalui simulasi dan permainan, dan dengan teknik survei. Pendekatan eksperimental lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sedikit, sedangkan pendekatan survei lebih menggali secara langsung perbaikan lingkungan.

(38)

diperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian, yaitu penentuan populasi dan objek yang dinilai, desain daftar pertanyaan, metode bertanya, ketersediaan data penunjang, dan analisis data. Pendekatan CVM ini sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumber daya alam atau sering juga disebut dengan nilai keberadaan (existence value). Adapun kelebihan dari CVM (Hanley dan Spash 1999), yaitu:

1. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu seringkali menjadi teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada berbagai kebijakan lingkungan.

2. Dapat digunakan untuk berbagai macam barang lingkungan.

3. Memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna (tidak digunakan secara langsung)

4. Hasilnya tidak begitu sulit untuk dijabarkan

CVM memiliki kelemahan yaitu terjadinya berbagai bias, seperti: 1. Bias strategi (strategic bias)

Bias ini seringkali terjadi karena responden memberikan nilai WTP yang relatif kecil karena alasan bahwa responden lain akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell dan Carson (1989) diacu dalam Hanley dan Spash (1999) menyarankan langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi bias ini adalah dengan menghilangkan semua pencilan, menekankan kepada responden bahwa pembayaran oleh responden dapat dijamin, menyembunyikan nilai tawaran responden lain, dan membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai penawaran. Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) diacu dalam Hanley dan Spash (1999) menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi.

(39)

Rancangan studi CVM mencakup cara informasi yang disajikan, instruksi yang diberikan, format pertanyaan, dan jumlah serta tipe informasi yang disajikan kepada responden. Bias ini dapat dihidari dengan membuat rancangan sebaik mungkin dari pemilihan jenis tawaran, penentuan titik awal, dan memperhatikan sifat informasi yang akan ditawarkan.

3. Bias yang berhubungan dengan kejiwaan responden (mental account bias) Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu.

4. Kesalahan pasar hipotetik (hypothetical market bias)

Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei, seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi, dan bagaimana format WTP yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden.

(40)

1. Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumahtangga untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan (Willingness To Pay).

2. Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang atau rumahtangga sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (Willingness To Accept).

Karena pendekatan CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan (Garrod dan Willis 1999), apabila seseorang yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang yang ditanya memiliki hak atas hasil sumber daya alam tersebut, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima minimum (minimum willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumber daya alam yang dimiliki.

Tahap operasional yang diterapkan dalam pendekatan CVM adalah sebagai berikut (Fauzi 2006):

1. Membuat Hipotesis Pasar

Hipotesis pasar merupakan tahapan penting karena hasil informasi yang diperoleh nantinya akan sangat bergantung pada hipotesis pasar yang dibuat. Dari hipotesis ini sesorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang, berapa maksimum yang bisa dibayarkan berdasar hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Kuesioner ini biasanya terlebih dahulu diujikan pada kelompk kecil untuk mengetahui reaksi atas perbaikan kualitas lingkungan yang akan dilakukan.

2. Mendapatkan Nilai Lelang (Bids)

Nilai lelang didapatkan melalui survei yang dilakukan secara langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum yang bersedia dibayar responden terhadap barang atau jasa lingkungan tersebut. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya:

(41)

Responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang apakah dia ingin membayar sejumlah tertentu sebagai titik awal (starting point). Jika ya, maka besarnya nilai uang dinaikkan sampai tingkat yang disepakati. Jika tidak, sebaliknya, nilai uang diturunkan sampai tingkat yang disepakati. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh. Kekurangan metode ini adalah kemungkinan terjadinya bias dalam menentukan nilai tawaran pertama (starting point).

b. Pertanyaan terbuka (Open-Ended Question).

Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu perbaikan lingkungan. Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberikan petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang diberikan terhadap perubahan lingkungan. Teknik ini juga bisa dilakukan dengan baik dengan wawancara langsung. Kekurangan teknik ini adalah kurang akurasinya nilai yang diberikan, kadang terlalu rendah dan kadang terlalu tinggi. Teknik ini tidak memberikan stimulun dan informasi yang cukup terhadap responden untuk mempertimbangkan pembayaran maksimum yang akan diberikan jika pasarnya benar-benar tersedia.

c. Kartu Pembayaran (Payment Cards).

Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini diajukan kepada responden melalui kartu. Untuk meningkatkan kualitas teknik ini, kadang-kadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang lingkungan yang lain. Kelebihan teknik ini adalah memberikan semacam stimulun untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum yang akan diberikan tanpa harus berpatokan dengan nilai tertentu seperti pada teknik permainan lelang. Kekurangannya adalah nilai yang diberikan respoden bisa dipengaruhi oleh besarnya nilai yang tertera di kartu yang disodorkan.

(42)

Responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak untuk memperoleh perbaikan lingkungan tertentu. Teknik ini seperti tahap awal yang dilakukan dengan teknik permainan lelang. Kelebihan dari teknik ini adalah responden bisa jadi menganggap lebih mudah untuk menentukan apakah nilai yang ingin dibayarkan diatas atau dibawah jumlah yang ditawarkan daripada memberikan jumlah tertentu. Kelebihan lain adalah dengan dihadapkan pilihan “ya” atau “tidak” ini menjamin kepentingan terbaik responden untuk memutuskan preferensi yang sebenarnya. Namun dengan demikian, metode ini membutuhkan sampel yang besar untuk menghitung rata-rata nilai WTP karena ada kemungkinan banyak responden menjawab tidak. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, dan hal ini sama sekali tergantung kepada masalah yang diteliti, kondisi yang dihadapi, keterbatasan peneliti, serta ketersediaan sumber daya penelitian (Yakin 1997).

3. Menghitung Rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan dan nilai lelang didapatkan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median). Pada tahap ini harus diperhatikan banyak kemungkinan timbulnya nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata (outliner).

4. Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve)

Kurva lelang diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependet variable) dengan beberapa variabel bebas (independet variable) contohnya:

= ( , , , , )

Keterangan :

(43)

Q = Variabel yang mengukur kualitas lingkungan 5. Mengagregatkan Data

Tahap terakhir adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah populasi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Beras telah menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di Indonesia berkembang budaya “belum makan kalau tidak makan nasi

(beras)”. Tidak mengherankan budaya ini menjadikan Indonesia sebagai

konsumen beras tertinggi di dunia. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi.

Beras analog atau disebut juga designed rice/artificial rice dikembangkan oleh F-Technopark Institut Pertanian Bogor sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Beras analog merupakan solusi tepat untuk menyukseskan program diversifikasi pangan. Hal ini dikarenakan beras analog sengaja didesain sama dengan bentuk beras sehingga tidak mengubah food habit

masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Penggunaan bahan baku lokal dalam diversifikasi pangan sangat dianjurkan karena selain mencapai ketahanan pangan nasional juga bisa mengembangkan kearifan pangan lokal. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal yaitu menggunakan bahan baku yang mudah didapatkan, beras analog dibuat se-convinience mungkin sehingga memiliki intangible benefit (manfaat tak berwujud) dan tidak mengubah sifat fungsional dan fisik beras.

(44)

14.000,00 per kilogram, sehingga harga jual yang ditawarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan beras biasa.

Oleh karena itu, pihak Serambi Botani perlu melakukan survei mengenai beras analog sehingga bisa menerapkan bauran pemasaran yang tepat, terutama dari aspek penentuan harga. Setelah diperoleh data penelitian melalui wawancara dan kuesioner, dilakukan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog. Selanjutnya dihitung besarnya nilai (harga) yang bersedia dibayarkan (willingness to pay) untuk beras analog. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

Contingent Valuation Method yang terdiri dari tahap pembuatan hipotesis pasar, mendapatkan nilai lelang, menghitung rataaan WTP, menduga kurva WTP, dan mengagregatkan WTP.

(45)

F-Technopark IPB menciptakan beras analog dan akan dipasarkan di Serambi Botani

 Potensi beras analog sebagai diversifikasi pangan

 Beras analog sebagai produk alternatif pangan baru yang belum dikenal masyarakat luas

 Harga beras analog yang akan ditetapkan relatif mahal dibanding beras konvensional

Tahapan WTP

Nilai WTP

Faktor yang mempengaruhi Nilai WTP

[image:45.842.71.715.78.439.2]

Kesediaan Membayar

Gambar 3. Analisis Kesediaan Membayar Beras Analog Pasar Hipotesis

Nilai Lelang

Rataan WTP

Kurva WTP

WTP Agregat

Karakteristik Responden:

 Jenis kelamin

 Usia

 Status pernikahan

 Jumlah anggota keluarga

 Tingkat pendidikan

 Pekerjaan

 Pendapatan

 Konsumsi beras

konvensional

 Tingkat kepedulian

diversifikasi pangan

 Preferensi pangan

sumber karbohidrat

 Pengetahuan mengenai

beras analog

(46)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Serambi Botani yang berlokasi di lantai dasar GF 14-15 mall Botani Square, Jalan Raya Padjajaran, Bogor. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Serambi Botani merupakan salah satu tempat beras analog akan dipasarkan. Selain itu, adanya kecenderungan bahwa konsumen Serambi Botani merupakan konsumen yang sadar akan kesehatan dan lingkungan, sehingga menjadi peluang yang besar bagi konsumen Serambi Botani untuk bersedia membayar beras analog. Pengambilan data responden dilakukan pada bulan Juli 2012 sebelum launching beras analog diadakan di Serambi Botani.

4.2. Metode Penentuan Sampel

Penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode non-probability sampling technique, dimana tidak semua anggota populasi pengunjung Serambi Botani mempunyai peluang atau kemungkinan yang sama untuk menjadi responden. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling dimana responden dipilih berdasarkan kemudahan atau kenyamanan mendapatkannya. Dengan kata lain sampel diambil atau dipilih karena ada di tempat dan waktu yang tepat. Sampel yang diambil untuk dijadikan responden pada penelitian ini dipilih dari konsumen atau pengunjung Serambi Botani yang bersedia dijadikan responden.

Responden tersebut telah lulus tahap screening terlebih dahulu. Screening

(47)

agar jawaban dalam kuesioner tidak saling mempengaruhi. Jika pengunjung adalah rombongan teman maka yang berhak mengisi kuesioner adalah salah satu atau seluruhnya jika bersedia, namun responden harus berusia 16 tahun atau lebih dan antar responden tidak saling mempengaruhi jawaban kuesioner.

Dalam pengukuran WTP, responden yang relevan adalah seseorang yang tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu, pengunjung yang belum pernah mengonsumsi beras analog merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan responden. Pengunjung yang bersedia menjadi responden dijelaskan terlebih dahulu apa itu beras analog, apa perbedaannya dengan beras konvensional, dan apa saja manfaat yang didapat dari mengonsumsi beras analog tersebut. Hal ini dimaksudkan agar menghindari jawaban yang bias dan diharapkan konsumen yang tadinya tidak mengetahui beras analog menjadi tahu dan bersedia membeli beras analog. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 responden.

4.3. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian secara deskriptif. Metode deskriptif dilakukan dengan pencarian fakta dan interpretasi terhadap sifat-sifat dari beberapa fenomena (Nazir 2009). Tujuan utama dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sesuatu yang biasanya karakteristik atau fungsi pasar, misalnya (Sumarwan et al. 2011):

1. Untuk menggambarkan karakteristik

Gambar

Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan
Gambar 1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan
Gambar 2.  Kurva Opportunity Cost, ConSurplus
Gambar 3. Analisis Kesediaan Membayar Beras Analog
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat mnyelesaikan skripsi dengan

pengendalian kualitas proses produksi di PT Karunia Alam Segar dilakukan supaya tidak terjadi banyak produk yang cacat yang disebabkan kesalahan selama dalam proses

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh tekanan waktu, risiko audit, materialitas, reviu prosedur dan kontrol kualitas, kebutuhan untuk berprestasi, dan

Berdasarkan uraian diatas, maka sangat penting bagi penulis untuk melakukan sebuah penelitian berkaitan dengan Kesediaan Membayar (Willingness to pay) konsumen dan

[r]

Latar belakang permasalahan ini adalah berdasarkan observasi di sekolah- sekolah menengah pertama se-Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes didapatkan informasi bahwa

Boeing juga menyebutkan, selama bertahun-tahun telah direkayasa program bantuan pemerintah dalam jumlah besar guna membantu Airbus yang berbasis di Perancis itu, mengembangkan

EM-AMMI merupakan perluasan dari metode AMMI dengan proses pendugaan data hilang secara iteratif, dimana pada tahap awal menduga model dengan menggunakan data yang