• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Serambi Botani Beras analog kemasan 800 gram

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan mendasar karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan akan pangan harus terpenuhi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut teori Maslow, pangan termasuk

psychological needs dimana manusia tidak akan beranjak ke kebutuhan lebih tinggi selama kebutuhan fisiologisnya belum terpenuhi.

Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Bahkan berbagai macam suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia saat ini telah mengubah pola konsumsi pokok mereka dengan beras. Beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Maluku yang dulunya mengonsumsi jagung atau sagu, saat ini telah mengganti pangannya dengan beras. Konsumsi rata-rata per kapita setahun beberapa bahan makanan penting masyarakat Indonesia dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan Penting di Indonesia (2007-2011) Jenis Makanan 2007 (kg) 2008 (kg) 2009 (kg) 2010 (kg) 2011 (kg) Beras 90,468 93,440 91,302 90,155 89,477 Beras ketan 0,261 0,261 0,209 0,209 0,261 Tepung beras 0,469 0,365 0,313 0,365 0,365 Tepung terigu 1,877 1,408 1,251 1,304 1,460 Jagung basah berkulit 2,399 1,251 0,626 0,939 0,626 Jagung pipilan 3,129 2,294 1,825 1,564 1,119 Ketela pohon 6,987 7,665 5,527 5,058 5,788 Ketela rambat 2,399 2,659 2,242 2,294 2,868 Gaplek 0,261 0,261 0,052 0,052 0,104 Kacang kedelai 0,104 0,052 0,052 0,052 0,052 Tahu 8,499 7,144 7,039 6,987 7,404 Tempe 7,978 7,248 7,039 6,935 7,300

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi rata-rata per kapita setahun pangan masyarakat Indonesia didominasi oleh beras dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Beras telah menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di Indonesia berkembang budaya “Belum makan kalau tidak makan

nasi (beras)”. Budaya ini yang akhirnya menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia (Tabel 2).

Tabel 2. Tingkat Konsumsi Beras Beberapa Negara di Dunia (2010)

Negara Konsumsi beras (kg/kapita)

Indonesia 139 Malaysia 80 Brunei Darussalam 80 Thailand 70 Jepang 60 Rata-Rata Dunia 60

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Tabel 2 membandingkan tingkat konsumsi beras Indonesia dengan beberapa negara pada tahun 2010. Dapat dilihat bahwa angka konsumsi beras Indonesia yaitu 139 kilogram per kapita jauh melampaui angka konsumsi beras rata-rata dunia yang hanya 60 kilogram per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi beras lebih dari dua kali lipat rata-rata konsumsi dunia. Hingga saat ini diperkirakan konsumsi beras penduduk Indonesia sudah melebihi 140 kilogram per kapita per tahun. Jika konsumsi beras sebanyak 140 kilogram per kapita per tahun ini dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 juta (BPS 2011), maka didapat angka kebutuhan beras nasional sebesar 33,74 juta ton per tahun. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi. Saragih (2012) menyatakan bahwa jika masyarakat bisa mengurangi konsumsi beras hingga 30 persen, maka konsumsi beras nasional bisa berkurang menjadi 100 kg per kapita per tahun dan untuk jangka waktu 20 tahun mendatang, konsumsi beras dapat ditekan menjadi 60 kg per kapita per tahun1.

Dari segi produksi beras, Indonesia menduduki urutan ketiga setelah China dan India. Pada periode Januari-April 2011, realisasi produksi beras nasional adalah sebanyak 30.628.814 ton dan mengalami peningkatan 3,1 persen di periode

1

http://id.indonesiafinancetoday.com/ Pengurangan Konsumsi Beras Per Kapita Dorong Swasembada [diakses tanggal 25 Juni 2012]

tahun berikutnya yaitu sebanyak 31.578.307 ton. Namun ternyata tingkat produksi tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan beras nasional (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2012). Produksi beras dalam negeri yang tidak bisa mengimbangi tingginya tingkat konsumsi beras di tengah masyarakat semakin menguatkan ketergantungan kita pada beras impor. Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat akan beras, Indonesia mengimpor 17,6 persen beras dunia dan merupakan importir beras ketiga di dunia setelah Filipina dan Nigeria (IRRI 2011). Hingga Juli 2011, Indonesia telah mengimpor 1,57 juta ton atau senilai Rp 7,04 triliun2. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang akan mengganggu ketahanan pangan nasional.

Undang-undang Pangan No. 7/1996 menjelaskan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan disebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui pelaksanaan produksi, perdagangan dan distribusi; penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat; serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional adalah memanfaatkan pasar gandum dunia sebagai alternatif cadangan pangan karena gandum juga salah satu sumber karbohidrat yang banyak diminati masyarakat. Masyarakat dibuat terbiasa dengan produk seperti mie instan, roti, sereal, dan lainnya. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir. Berdasarkan laporan United State Department of Agriculture (USDA), pada Mei 2012, impor gandum Indonesia diprediksi mencapai 7,1 juta ton, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 6,7 juta ton3. Peningkatan konsumsi gandum tersebut dapat dianggap

2http://suaramerdeka.com/ Mengurangi Konsumsi Beras [diakses tanggal 25 Juni 2012]

3

http://finance.detik.com/ RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua di Dunia [diakses tanggal 25 Juni 2012]

sebagai ancaman karena gandum merupakan komoditas impor yang dapat menguras devisa dan hal tersebut sangat tidak dianjurkan dalam penyebaran pola diversifikasi pangan.

Indonesia merupakan negara agraris dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Banyak ragam pangan lokal yang berpotensi sebagai sumber pangan alternatif dan perlu dikembangkan. Dahulunya, makanan pokok bangsa ini tidak hanya beras, namun juga singkong, jagung, tiwul, sagu, sorgum, dan sebagainya. Namun saat ini nasi seolah menjadi penanda status sosial dan merupakan pangan superior. Sebuah keluarga dikatakan cukup mapan jika bisa menyajikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong, jagung, ataupun sagu yang sama- sama memiliki kandungan karbohidrat dianggap sebagai pangan inferior dan menjadi alternatif pangan saat kehabisan uang membeli beras.

Oleh karena itu, diperlukan suatu pangan alternatif yang sehat, aman, memiliki sifat fisik dan fungsional menyerupai beras konvensional dan berbahan baku lokal, seperti beras analog. Beras analog atau artificial rice atau disebut juga

designed rice dikembangkan oleh F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Beras analog ini terbuat dari campuran tepung bahan baku lokal dan sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-convenience

mungkin sehingga memiliki tangible benefit dan intangible benefit. Dari segi kadungan gizi, selain sama-sama merupakan sumber karbohidrat, beras analog ini terbukti lebih sehat karena memiliki Indeks Glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras konvensional.

Serambi Botani adalah gerai milik Institut Pertanian Bogor yang salah satunya berlokasi di mall Botani Square dan memiliki konsep sebagai gerai produk IPB yang memenuhi standard healthy life style. Serambi Botani merupakan tempat berbagai hasil penelitian maupun inovasi civitas akademika IPB dipasarkan dan dipromosikan serta dikomersialisasikan pada masyarakat umum sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak. Semua produk yang dipasarkan di Serambi Botani menggunakan produk-produk IPB sebagai

bahan baku utama, seperti beras analog yang diproduksi F-Technopark Fateta IPB. Adanya kecenderungan bahwa pengunjung Serambi Botani merupakan konsumen yang sadar akan kesehatan dan lingkungan, menjadikan peluang besar bagi pengunjung Serambi Botani untuk mengonsumsi beras analog.

1.2. Perumusan Masalah

Diversifikasi pangan merupakan basis terciptanya ketahanan pangan Indonesia. Pentingnya diversifikasi pangan telah dicanangkan pemerintah sejak akhir tahun 1960-an, namun dinilai belum berjalan secara efisien karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang semakin meningkat terhadap beras. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan (2012), pola konsumsi pangan pokok di Indonesia pada tahun 1954 masih beragam yaitu beras (54%), ubi kayu (22%), jagung (19%), lain-lain (5%). Lalu pada tahun 1987, beras (80%), ubi kayu (10%), dan jagung (7%), lain-lain (3%). Pada tahun 1999, konsumsi beras terus meningkat sedangkan pangan lain semakin menurun, beras (86%), ubi kayu (5%), jagung (2%), lain-lain (7%). Selanjutnya pada tahun 2010 pangsa pangan selain beras dan terigu dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang.

Tidak mudah untuk menggantikan nasi dengan jenis pangan lainnya. Masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi beras dan pangan lain seperti umbi- umbian, jagung dan sagu hanya dikonsumsi sebagai makanan selingan bahkan dianggap sebagai pangan inferior yang dikonsumsi saat kehabisan uang membeli beras. Selain itu, belum ada produk yang dinilai bisa menggantikan beras baik dari segi fisik maupun fungsionalnya.

Masyarakat terbiasa dengan pangan beras ini karena memiliki kelebihan diantara pangan lainnya, yaitu mudah dimasak. Saat ini masyarakat semakin dimanjakan dengan ditawarkannya alat menanak nasi modern dan praktis, seperti

rice cooker dan magic com. Selain itu memasak nasi tidak harus menyertakan bahan makanan lain dan rasanya netral sehingga cocok untuk dipadupadankan dengan semua jenis lauk pauk dan tidak membosankan. Dari segi kandungan gizi, beras memang terbukti memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi dibanding pangan lainnya. Harga beras yang murah karena disubsidi menyebabkan beras dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dan dapat dijumpai dimana dan kapan saja.

Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi pemerintah dan pihak terkait untuk merealisasikan gerakan diversifikasi pangan ini. Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden selama tahun 2009–2014, dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik daerah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun 2009. P2KP menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerjasama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pada tingkat provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor, dan Depok yang saat ini menerapkan One Day No Rice kepada pegawainya.

Beras analog dikembangkan oleh F-Technopark IPB sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Pembuatan beras analog dengan bahan baku lokal selaras dengan program Departemen Pertanian untuk tahun 2015 (Gambar 1).

Gambar 1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan Sumber : Kementerian Pertanian (2010)

Berdasarkan Gambar 1. dapat dilihat bawa hingga tahun 2015 mendatang, nasi akan tetap menjadi ikon utama makanan pokok penduduk Indonesia,

Nasi

Beras

Padi

“Nasi” “Beras Campur”

“Beras Non-Padi”

Kudapan (Snack) Tepung Ubi, Biji-Biji Lokal 15 % 70 % Mie, Roti, Pasta Tepung Terigu Gandum Impor 15 % Consumer Processing On farm

sehingga bentuk beras merupakan bentuk terbaik dalam upaya diversifikasi pangan dibandingkan dengan bentuk lainnya seperti mie dan roti. Beras analog merupakan solusi tepat untuk menyukseskan program diversifikasi pangan dan mengembangkan kearifan pangan lokal. Pemanfaatan bahan pangan lokal juga merupakan upaya penting dalam meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.

Beras analog sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pangan, beberapa negara pengonsumsi beras seperti Thailand, China, dan Filipina sudah mengonsumsi beras analog berbahan dasar menir. Pada tahun 2012, beras analog dikenal di Indonesia setelah F-Technopark IPB menghasilkan beras tiruan yang terbuat dari sumber karbohidrat non-beras seperti ubi, jagung, dan sorgum. Sebagai produk baru dan sebagai alternatif pangan pengganti beras, beras analog memiliki keunggulan sehingga diharapkan bisa diterima masyarakat. Oleh karena itu, beras analog ini sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah food habit masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Cara memasak dan penyajiannya pun sama dengan beras konvensional, bahkan lebih praktis karena tidak perlu dicuci terlebih dahulu. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-

convinience mungkin sehingga memiliki intangible benefit (manfaat tak berwujud) dan tidak mengubah sifat fungsional dan fisik beras.

Beras analog yang diproduksi oleh F-Technopark IPB akan dipasarkan di Serambi Botani dan diperkenalkan kepada masyarakat pada November 2012. Sebagai produk baru yang belum dikenal masyarakat luas, Serambi Botani belum mengetahui apakah masyarakat bersedia membayar beras analog dengan harga yang akan ditetapkan. Berdasarkan wawancara dengan pihak Serambi Botani, beras analog akan ditawarkan dengan harga Rp 20.000,00 per 800 gram. Harga tersebut relatif mahal jika dibandingkan dengan beras konvensional yang hanya berkisar antara Rp 7000,00 hingga Rp 15.000,00 per kilogram. Harga beras analog yang relatif mahal ini dikarenakan produksi beras analog masih dilakukan dalam skala kecil sehingga biaya produksi menjadi mahal yaitu berkisar antara Rp 9000,00 hingga Rp 14.000,00 per kilogram. Oleh karena itu, pihak Serambi Botani perlu melakukan survei mengenai kesedian membayar beras analog

sehingga dapat menerapkan strategi pemasaran yang tepat, terutama dari aspek penentuan harga.

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian ini, adalah: 1. Bagaimana hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan

membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani?

2. Berapa nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani

2. Mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani.

3. Menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

1. Serambi Botani dan pihak lain yang juga menyediakan beras analog, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pihak perusahaan mengenai kesediaan masyarakat membayar beras analog dan menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan harga beras analog.

2. Masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran akan pentingnya diversivikasi pangan dan menjadikan pertimbangan untuk mengonsumsi beras analog sebagai alternatif pangan yang sehat.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi gagasan untuk memajukan program diversifikasi pangan melalui beras analog dengan memanfaatkan bahan pangan lokal dan mencapai ketahanan pangan nasional.

4. Pembaca, pihak institusi pendidikan, dan pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

5. Penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan sebagai media untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi hanya untuk menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani serta menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog tersebut. Fokus penelitian ini meneliti beras analog yang akan dipasarkan di Serambi Botani, Botani Square, Bogor dan penelitian ini hanya ditujukan kepada penguunjung Serambi Botani tersebut.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian mengenai kesediaan membayar beras analog belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan topik

Willingness to Pay khususnya dalam menilai manfaat dari sumberdaya lingkungan atau sumberdaya ekonomi lainnya yang memiliki intangible benefit.

2.1. Kesediaan Membayar (Willingness to Pay)

Perhitungan WTP biasanya dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan yaitu dengan menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husodo et al (2009), sebanyak 40% responden bersedia membayar produk organik di Kodya Yogyakarta dengan harga premium. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua responden memiliki penilaian yang sama terhadap produk organik, bahkan sebanyak 60 persen responden menolak untuk membayar. Keengganan membayar ini disebabkan karena belum adanva kesadaran akan manfaat produk organik. Selain itu, keraguan akan jaminan mutu produk organik seringkali juga menjadi faktor penyebab konsumen belum sanggup membayar produk organik dengan harga premium.

Berbeda halnya dengan penelitian Daulay (2012) mengenai kesediaan konsumen untuk membayar mie instan sayur di Serambi Botani. Walaupun harga yang dipasarkan mie instan sayur sudah mahal yaitu Rp 8.000,00, namun sebanyak 48 persen responden masih bersedia membayar dengan harga tersebut, bahkan 36 persen responden bersedia membayar di atasnya. Sebagian besar responden mengaku bersedia membayar mie instan sayur karena memiliki manfaat yang tidak dapat dibandingkan dengan uang yaitu manfaat kesehatan, sehingga responden beranggapan bahwa harga mie instan sayur sepadan dengan manfaat yang diberikan.

Radam et al. (2010) mengkaji kesediaan konsumen Malaysia membayar

produk makanan yang berlabel “Tanpa Tambahan MSG”. Dari 200 responden,

sebanyak 159 responden bersedia membayar produk berlabel “Tanpa Tambahan

MSG” karena sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa produk makanan yang berlabel tanpa MSG tidak membahayakan kesehatan dan memiliki

nutrisi yang lebih. Sisanya sebanyak 41 orang menyatakan tidak bersedia dan menyatakan produk tanpa MSG rasanya tidak enak.

Ameriana (2006) mengkaji kesediaan konsumen membayar premium untuk tomat aman residu pestisida di Lembang, Bandung. Dari 162 responden yang diwawancara, 59,26% responden menyatakan bersedia untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida. Dalam artian, seandainya harga tomat tanpa label Rp 2.000,00 per kilogram, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000,00 untuk tomat berlabel aman residu pestisida. Sedangkan sisanya sebanyak 40,74% menyatakan tidak bersedia membayar premium.

Sedangkan hasil penelitian Bernard dan Mitra (2007) yang mengkaji kesediaan membayar produk eco-labelling di Amerika menunjukkan bahwa hanya 13% responden bersedia membayar 10% di atas harga premium, sedangkan sekitar 27% responden tidak bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang baik dari konsumen mengenai perhatian terhadap lingkungan dan penggunaan produk ramah lingkungan.

Dalam mengestimasi WTP konsumen untuk membayar beras berlabel rendah kalori di Tokyo, Iwamoto (2012) menggunakan metode Percobaan Pilihan (Choice Experiment) untuk mengevaluasi nilai setiap atribut secara individu. Metode ini selanjutnya digunakan sebagai metode analisis dalam pertimbangan beberapa atribut beras seperti atribut rendah kalori, atribut produksi asal lokal dan padi kultivar, harga, dan lain-lain. Iwamoto (2012) juga menyatakan bahwa

Choice Experiment dan CVM merupakan metode analisis yang paling cocok untuk digunakan pada pengukuran nilai ekonomi dari non-market goods.

Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Daulay (2012). Untuk mengestimasi nilai WTP mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan pendekatan CVM (Contingent Valuation Method). Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh Daulay (2012), yaitu mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP dan memperkirakan nilai-rata-rata WTP. Tahap CVM tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Radam et al. (2010) yang membuat pasar hipotesis terlebih dahulu dimana Radam et al. (2010) menanyakan apakah responden bersedia

membayar jika harga produk berlabel tanpa tambahan MSG lebih tinggi RM 0,1- 0,5 dibandingkan produk yang memiliki MSG.

Pasar hipotesis merupakan tahapan penting sebelum mendapatkan nilai WTP, karena dari hipotesis ini seseorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang (nilai WTP), berapa nilai maksimum yang bisa responden bayarkan berdasarkan hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Untuk mendapatkan nilai lelang, Radam et al. (2010) menggunakan metode pilihan dikotomi dimana responden diberi pilihan bersedia atau tidak bersedia dengan tawaran yang diberikan. Hal ini serupa dengan metode yang digunakan Husodo et al. (2009) yang juga menggunakan teknik pilihan dikotomi. Sedangkan Daulay menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai lelang dimana responden diberikan kebebasan dalam menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk mie instan sayur. Begitu juga dengan Ameriana (2006) menggunakan metode open-ended question

dalam mendapatkan nilai WTP tomat yang berlabel aman residu. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, tergantung kepada masalah yang diteliti, serta ketersediaan sumberdaya penelitian.

Setelah itu nilai lelang seluruh responden tersebut dihitung rataannya. Berdasarkan hasil yang diperoleh Daulay (2012), rataan nilai WTP responden untuk mie instan sayur adalah sebesar Rp 7.990,00. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan harga mie instan sayur yang dipasarkan yaitu Rp 8.000,00. Sedangkan Radam et al.(2010) memperoleh rataan nilai WTP sebesar RM 0.43

untuk produk berlabel “Tanpa Tambahan MSG” yang mengindikasikan bahwa responden bersedia membayar dengan harga premium sebesar RM 0.43.

Ameriana (2006) mendapatkan harga yang sangggup dibayar konsumen untuk tomat aman residu pestisida adalah berkisar antara Rp 2.250-Rp 6.000 per kilogram atau sekitar 12,50% sampai 200% lebih mahal dari harga tomat tanpa label. Tetapi dari sebarannya, harga premium yang paling banyak disanggupi oleh responden berkisar antara Rp 2.500-Rp 3.000 per kilogram (81,24%). Untuk tahap selanjutnya perlu dibuat kurva lelang sehingga bisa menggambarkan kesediaan konsumen yang ingin membayar terhadap suatu produk, dan rataan WTP tersebut

harus diagregatkan dengan mengonversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.

2.2. Faktor-Faktor Kesediaan Membayar

Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen dalam membayar mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan enam variabel berdasarkan karakteristik demografi, yaitu jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Hasil regresi menyatakan bahwa variabel jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan membayar mie instan sayur,

Dokumen terkait