• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi nilai WTP yang diberikan responden terhadap beras analog dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda dipilih karena variabel independent yang digunakan yaitu WTP mencapai metrik. Dalam model ini taraf nyata yang

digunakan adalah lima (5) persen (α = 0,05) yang artinya tingkat kepercayaan dalam penarikan kesimpulan penelitian adalah 95 persen. Model fungsi nilai WTP yang disusun dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap tingkat kelayakan suatu model berdasarkan asumsi OLS (Ordinary Least Square). Untuk itu model yang dihasilkan diuji asumsi multikolinieritas, normalitas sisaan, homoskedastisitas ragam sisaan, dan kebebasan sisaan terlebih dahulu. Untuk menguji multikolinieritas dapat dilihat pada nilai VIF pada output regresi pada

Jumlah Responden N ila i W TP 20 15 10 5 0 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000

Tabel 5. Nilai VIF semua variabel bernilai kurang dari 10, sehingga tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinieritas antar variabel.

Untuk uji asumsi kenormalan sisaan, kehomogenan ragam sisaan, dan kebebasan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada plot normal probability

menunjukan bahwa data menyebar mengikuti garis linier, sehingga asumsi normalitas sisaan terpenuhi. Pada plot versus fits menunjukan bahwa plot setiap sisaan memiliki lebar pita yang sama serta mendekati nilai 0, asumsi kehomogenan ragam sisaan terpenuhi. Pada plot versus order menunjukan bahwa plot setiap sisaan tidak membentuk pola, sehingga asumsi kebebasan sisaan terpenuhi. Koefisien determinasi (R-sq) pada tabel menunjukkan angka 41,9 persen yang menunjukkan bahwa keragaman nilai WTP responden dapat dijelaskan oleh variabel dalam model sebesar 41,9 persen, sedangkan sisanya sebesar 58,1 persen dijelaskan oleh variabel di luar model.

Variabel respon (dependent) adalah nilai WTP yang diberikan setiap responden. Sedangkan variabel penjelas (independent) yang diduga mempengaruhi nilai WTP tersebut terdiri dari dummy jenis kelamin ( 1JK), usia (USIA), lama pendidikan (PDDKN), dummy status pernikahan ( 2PNKHN), jumlah anggota keluarga (JAK), dummy pekerjaan ( 3PKRJN), pendapatan (PDPTN), dummy konsumsi beras konvensional ( 4KONV), tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan (DIVER), dummy preferensi pangan sumber karbohidrat ( 5KARBO), dan dummy pengetahuan beras analog ( 6ANLG). Hasil analisis faktor-faktor yang memepengaruhi nilai WTP responden terhadap beras analog dapat dilihat pada Tabel 5.

Dari hasil analisis tersebut dapat disusun dugaan model persamaan nilai WTP beras analog, sebagai berikut:

= −3535 + 935 1 −533 + 943 −11 2

−69 −2646 3 + 1567 −1247 4

Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai WTP Responden Beras Analog

Predictor Coef P VIF

Constant -3535 0,549 JK 935 0,457 1,2 USIA -533,0 0,520 1,9 PDDKN 943,5 0,013 1,5 PNKHN -11 0,996 4,3 JAK -68,9 0,884 3,9 PKRJN -2649 0,035 1,4 PDPTN 1567,0 0,017 2,2 KONV -1247 0,408 1,9 DIVER 3267 0,002 1,7 KARBO -863 0,457 1,2 ANLG 3585 0,003 1,2 R-Sq = 40,3% Analysis of Variance Source DF F P Regression 11 5,77 0,000 Residual Error 88 Total 99

Uji F dilakukan untuk menjelaskan apakah model analisis berganda tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTP pada taraf nyata 5%. Nilai Fhitung

sebesar 5,77 dengan P-value yang menunjukkan angka 0,000 menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden (P-value 0,000<0,05) pada taraf nyata 5%. Selanjutnya dilakukan uji T untuk mengetahui minimal ada peubah ke–i yang berpengaruh nyata di model regresi analisis berganda tersebut. Pada taraf nyata 5%, peubah yang signifikan berpengaruh nyata terhadap nilai WTP yang diberikan responden terhadap beras analog adalah lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, dan pengetahuan beras analog. Variabel-variabel tersebut akan signifikan pada taraf nyata 5% dan pada saat variabel lainnya tetap (ceteris paribus). Sehingga didapatkan model persamaan WTP beras analog sebagai berikut:

= −3535 + 943 −2646 4 + 1567

+ 3267 + 3585 3

Adapun penjelasan masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel jenis kelamin diperoleh bernilai positif sebesar 935 yang berarti bahwa jenis kelamin perempuan akan meningkatkan nilai WTP beras analog sebesar Rp 935,00 per 800 gram. Daulay (2012) menyatakan bahwa adanya kecenderungan perempuan yang bersedia membayar lebih tinggi dibanding laki-laki. Radam et al.

(2010) juga menyatakan bahwa perempuan lebih sadar kesehatan dibandingkan dengan laki-laki saat ini.

Namun, ternyata pada taraf nyata 5 persen (0,05), variabel jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P-value yang bernilai lebih besar dari taraf nyata (0,457>0,005). Berdasarkan karakteristiknya, hanya sedikit responden perempuan yang bekerja, sebagian besar responden perempuan merupakan ibu rumah tangga sehingga tidak memiliki pendapatan sendiri dan lebih terbatas dalam pembelian suatu produk. Alasan ini didukung dengan sifat perempuan yang cenderung sensitif terhadap harga membuat responden enggan membayar beras analog yang lebih mahal dibanding beras konvensional.

2. Usia

Variabel usia memiliki hubungan yang negatif dan bernilai 533, yang berarti bahwa apabila usia responden naik satu tingkatan lebih tinggi, maka akan menurunkan WTP beras analog sebesar Rp 533,00. Ameriana (2006) menyatakan bahwa variabel usia belum tentu berpengaruh terhadap kesediaan membayar premium, tergantung dari produk dan kasus yang menjadi objek penelitian. Jika berpengaruh pun arahnya bisa negatif atau positif, sehingga sulit menjelaskannya. Pada penelitian ini, usia tidak berpengaruh terhadap nilai WTP beras analog. Nilai P-value pada variabel usia menunjukkan angka 0,520 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,520>0,05) yang berarti bahwa variabel usia tidak dapat mengindikasikan nilai yang bersedia dibayar untuk beras analog. Hal ini dikarenakan responden usia muda cenderung lebih royal dan tidak terlalu berpikir panjang, sehingga dalam pemberian nilai WTP cenderung memberikan nilai yang tinggi. Sedangkan responden pada tingkat usia lebih tua, dalam pemberian nilai WTP untuk beras analog cenderung membutuhkan banyak pertimbangan. Selain itu, kalangan usia tua sebagian besar sudah tidak produktif

dan tidak memiliki pekerjaan sehingga alokasi pendapatan yang dimiliki untuk membayar beras analog semakin berkurang dan membuat konsumen pada kalangan usia ini enggan membayar beras analog.

3. Status Pernikahan

Nilai koefisien regresi pada variabel status pernikahan bernilai 11 dan menunjukkan arah yang negatif terhadap nilai WTP beras analog yang berarti bahwa responden yang sudah menikah akan menurunkan nilai WTP sebesar Rp 11,00. Pada hasil analisis regresi yang dilakukan, untuk variabel status pernikahan diperoleh nilai P-value sebesar 0,996 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,996>0,05). Hal ini menunjukkan pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel status pernikahan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai WTP yang bersedia dibayarkan untuk beras analog. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan nilai yang nyata antara responden yang sudah menikah maupun yang belum menikah untuk membayar beras analog.

Husodo et al (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa responden yang belum menikah memiliki kesanggupan membayar WTP lebih tinggi dibanding responden yang sudah menikah. Sedangkan Radam et al. (2010) menyatakan bahwa responden sudah menikah dan memiliki anak, cenderung kurang peduli dengan harga ketika membuat keputusan. Orang tua memiliki tanggung jawab dan kepentingan intrinsik dalam menyediakan makanan yang aman dan sehat bagi anak-anak mereka. Perbedaan hasil penelitian terdahulu tersebut menunjukkan bahwa status pernikahan tidak dapat mengindikasikan nilai yang bersedia dibayarkan konsumen terhadap suatu produk. Pada penelitian ini, beras analog merupakan alternatif pangan yang lebih sehat dan berpotensi sebagai pangan pokok, sehingga baik responden sudah menikah maupun yang belum menikah berpotensi sebagai konsumen yang akan meningkatkan nilai kesediaan membayar beras analog.

4. Jumlah anggota keluarga

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk jumlah anggota keluarga bernilai negatif sebesar 68,9. Ini menunjukkan bahwa jika jumlah anggota keluarga bertambah satu orang maka nilai WTP akan menurun sebesar Rp 68,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen,

variabel jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Ini ditunjukkan oleh nilai P value yang lebih dari taraf nyata 5% (0,884>0,005). Sehingga dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka belum tentu menurunkan nilai WTP yang diberikan responden.

Responden dengan ukuran jumlah anggota keluarga yang relatif sedikit, mengaku lebih memperhatikan kandungan gizi dari pangan yang akan dikonsumsi keluarganya dan bersedia membayar beras analog, dibandingkan responden dengan jumlah anggota keluarga yang relatif banyak. Selain itu, konsumen yang sudah menikah biasanya memiliki rencana anggaran rumah tangga yang terstruktur sehingga sulit mengalokasikan pengeluaran konsumsi keluarganya dan membutuhkan banyak pertimbangan dalam kesediaan membayar. Berbeda halnya dengan responden yang belum menikah. Sebagian responden ini mengaku tidak keberatan jika membayar beras analog dengan harga premium karena hanya perlu memperhatikan konsumsi pangan dirinya sendiri. Sedangkan responden yang belum menikah lainnya mengaku tidak terlalu tertarik dengan manfaat kesehatan yang ditawarkan beras analog, karena merasa masih muda dan sehat.

5. Lama Pendidikan

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel lama pendidikan bernilai positif yaitu sebesar 943,5 yang berarti jika lama pendidikan responden naik satu tahun, maka akan meningkatkan nilai WTP beras analog sebesar Rp 943,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95%, variabel lama pendidikan berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P- value yang lebih kecil dari taraf nyata (0,013<0,05).

Semakin lama seseorang menempuh pendidikan, semakin memiliki kesadaran akan diversifikasi pangan dan kesehatan sehingga lebih responsif dan bersedia membayar beras analog. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih mengenai pangan yang akan dikonsumsi. Sehingga dalam kesediaan pembayarannya, responden tersebut telah mengetahui mana pangan yang baik dan mana yang buruk untuk dikonsumsi. Radam et al. (2010) menyatakan bahwa responden yang telah menempuh pendidikan tingkat universitas cenderung bersedia membayar lebih untuk produk-

produk yang mengurangi risiko kesehatan. Pada penelitian ini, responden yang bersedia membayar beras analog adalah responden yang telah menempuh pendidikan sarjana, sehingga memiliki pengetahuan akan diversifikasi pangan yang lebih sehingga bersedia membayar beras analog, yang pada akhirnya responden tersebut akan meningkatkan nilai WTP

6. Pekerjaan

Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel pekerjaan memiliki nilai koefisien regresi negatif sebesar -2646, artinya konsumen yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai akan mengurangi nilai WTP sebesar Rp 2.646,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaaan 95 persen, variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P value yang kurang dari taraf nyata 5% (0,035<0,05) yang berarti bahwa responden yang memiliki pekerjaan sebagai non-pegawai secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan nilai WTP beras analog.

Responden dengan pekerjaan pegawai cenderung memiliki pola pikir lurus, tidak mau mengambil resiko, dan selalu dituntut oleh rutinitas. Pola pikir ini nantinya mempengaruhi pola konsumsi pangan sehingga responden pegawai cenderung enggan mencoba beras analog yang merupakan produk baru karena telah terbiasa mengonsumsi beras konvensional. Selain itu, jika dikaitkan dengan pendapatan, responden dengan pekerjaan pegawai umumnya memiliki pendapatan yang tetap setiap bulannya, sehingga rencana anggaran untuk konsumsi telah diatur setiap bulannya. Karakteristik-karakteristik pegawai tersebut menyebabkan responden pegawai menurunkan nilai WTP.

7. Pendapatan

Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel pendapatan memiliki nilai koefisien regresi positif sebesar 1567,0 artinya konsumen dengan satu kategori pendapatan yang lebih besar akan menaikkan nilai WTP untuk beras analog sebesar Rp 1.567,00 per 800 gram untuk beras analog. Pada tingkat kepercayaaan 95 persen, variabel pendapatan berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P-value yang kurang dari taraf nyata 5% (0,017<0,05). Sehingga semakin tinggi tingkat

pendapatan responden maka secara signifikan akan meningkatkan nilai WTP beras analog pada taraf nyata 5%.

Radam et al. (2010) menyatakan bahwa konsumen dengan pendapatan yang lebih tinggi lebih mampu membayar produk lingkungan. Pendapatan berkaitan erat dengan sumberdaya yang dimiliki konsumen. Jika sumberdaya yang dimiliki meningkat, daya beli konsumen tersebut akan meningkat. Berdasarkan survei yang dilakukan, responden beras analog didominasi oleh kalangan menengah ke atas dengan pendapatan per bulan lebih dari Rp 4.500.000,00. Selanjutnya Husodo et al. (2009) juga menyatakan bahwa adanya kecenderungan saat ini dimana konsumen berpendapatan kalangan menengah ke atas cenderung lebih memiliki kesadaran akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan. Responden kalangan menengah ke atas yang bersedia membayar beras analog mengaku yakin bahwa produk beras analog ini masuk akal jika harganya lebih tinggi karena beras analog ini memiliki manfaat kesehatan yang lebih dan juga aman dibandingkan produk alternatif pangan lainnya.

Pada penelitian Bernard dan Mitra (2007), sebagian responden kalangan menengah ke atas setuju dengan pernyataan “Saya bersedia mengubah gaya hidup

saya saat ini jika membantu untuk menyelamatkan lingkungan” Hal ini

mengindikasikan bahwa responden kalangan menengah ke atas identik dengan gaya hidup sehat dan seringkali lebih mementingkan prestise untuk menyelamatkan lingkungan.

8. Konsumsi beras konvensional

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel konsumsi beras konvensional bernilai negatif sebesar 1247. Ini menunjukkan bahwa jika responden tersebut terbiasa mengonsumsi beras konvensional setiap hari maka nilai WTP akan menurun sebesar Rp 1247,00 per 800 gram. Namun, pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel konsumsi beras kovensional tidak berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Ini ditunjukkan oleh nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata 5% (0,408>0,005). Sehingga dengan konsumsi beras konvensional setiap hari belum tentu menurunkan nilai WTP yang diberikan responden pada taraf nyata 5%. Sebagian besar responden mengaku memiliki kesadaran akan diversifikasi

pangan dan ingin mengaplikasikannya pada pola konsumsinya sehari-hari. Namun, sampai sekarang ini belum ada pangan alternatif lain yang dianggap seseuai dan convenience untuk dikonsumsi. Ubi, jagung, singkong, tiwul, sorgum, dan pangan lainnya masih dirasa belum pas untuk menggantikan beras. Sejauh ini pangan-pangan tersebut hanya diolah menjadi bahan tambahan untuk kue dan penganan lainnya sehingga pangan tersebut hanya menjadi makanan selingan bahkan cenderung dianggap pangan inferior.

9. Tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan bernilai positif yaitu sebesar 3267. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian responden terhadap diversifikasi pangan maka nilai WTP akan semakin meningkat sebesar Rp 3.267,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Nilai P-value menunjukkan angka yang kurang dari taraf nyata 5% (0,002<0,005), sehingga variabel tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan berpengaruh nyata dalam nilai WTP yang diberikan responden.

Responden yang digunakan pada penelitian ini merupakan responden yang peduli akan diversifikasi pangan. Ameriana (2006) menyatakan bahwa tingkat kepedulian konsumen dapat dijadikan indikator untuk memprediksi peluang diterimanya produk di pasaran. Adanya kecenderungan saat ini dimana munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan adalah dari konsumen kalangan menengah ke atas. Mayoritas responden yang bersedia membayar beras analog merupakan responden kalangan menengah ke atas yang mengaku peduli akan lingkungan dan diversifikasi pangan.

10.Preferensi pangan sumber karbohidrat

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel preferensi pangan sumber karbohidrat bernilai negatif sebesar 863. Ini menunjukkan bahwa jika responden tersebut lebih memilih untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat, maka nilai WTP akan

menurun sebesar Rp 863,00 per 800 gram. Namun, variabel preferensi pangan sumber karbohidrat tidak mempengaruhi nilai WTP beras analog yang diberikan responden. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, diperoleh nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata yaitu 0,457 (0,457>0,005). Sehingga responden yang lebih memilih untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat belum tentu meningkatkan nilai WTP yang diberikan responden pada taraf nyata 5%. Kelompok responden yang lebih memilih mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat mengaku lebih memilih pangan lokal seperti ubi, jagung, dan singkong karena harganya yang murah dan memang terbukti memiliki kandungan karbohidrat yang baik. Namun sejauh ini pangan pokok hanya dijadikan makanan selingan karena belum adanya olahan pangan yang

convenience untuk dijadikan pangan pokok. Sedangkan kelompok responden yang lebih memilih pangan impor mengaku bahwa responden tersebut menjadikan pangan berbahan dasar gandum (mie, sereal, dan roti) sebagai sumber karbohidrat setelah beras. Responden pada kelompok ini mengaku percaya bahwa gandum memiliki kandungan gizi dan kualitas yang lebih baik. Adanya kecenderungan konsumen tersebut menyebabkan preferensi pangan sumber karbohidrat tidak berpengaruh terhadap nilai WTP.

11.Pengetahuan beras analog

Pengetahuan konsumen terhadap produk diduga berpengaruh positif dalam nilai (harga) yang bersedia dibayarkan. Hasil koefisien regresi pada variabel pengetahuan responden terhadap beras analog menunjukkan angka 3585 yang berarti jika responden yang telah mengetahui beras analog sebelumnya akan meningkatkan nilai WTP sebesar Rp 3.585,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel pengetahuan beras analog berpengaruh nyata terhadap nilai WTP yang diberikan. Dapat dilihat pada nilai P-value yang menunjukkan angka sebesar 0.003 yang bernilai kurang dari taraf nyara yang digunakan (0,003<0,005).

Ameriana (2006) menyatakan bahwa konsumen yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai manfaat lingkungan yang ditimbulkan jika mengonsumsi suatu produk, informasi pelabelan dapat membentuk/menambah keyakinan konsumen. Sementara itu, bagi konsumen yang

pengetahuan dan pengalamannya masih kurang, pelabelan dapat menimbulkan keingintahuan konsumen mengenai produk tersebut, yang pada akhirnya dapat mendorong konsumen menjadi ingin membeli. Responden yang telah mengetahui beras analog sebelumnya, berarti telah memiliki gambaran mengenai beras analog baik dari segi karakteristik, manfaat dan kualitasnya. Beras analog yang dijual di Serambi Botani, dikemas sedemikian rupa dan diberi label seperti informasi kandungan gizi yang dimiliki beras analog dibandingkan beras biasa, hingga cara memasak nya yang lebih praktis juga disajikan (Lampiran 6.). Jadi, dengan diberi pelabelan, dapat menambah keyakinan responden. Sedangkan bagi responden yang belum memiliki pengetahuan mengenai beras analog, pelabelan pada kemasan beras analog dapat menimbulkan keingintahuan dan mendorong responden untuk bersedia membayar beras analog dan meningkatkan nilai WTP yang bersedia dibayarkan untuk beras analog.

Dokumen terkait