• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi pada Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi pada Kelinci"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

HUBUNGAN KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DENGAN

PENCITRAAN ULTRASONOGRAFI LEMAK PERIRENAL DAN OTOT

LONGISSIMUS DORSI PADA KELINCI

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi pada kelinci adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Tia Irmayanty Amalianingsih

(4)

RINGKASAN

TIA IRMAYANTY AMALIANINGSIH. Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot

Longissimus dorsi pada Kelinci. Dibimbing oleh JAKARIA dan BRAM BRAHMANTIYO.

Bangsa kelinci Rex, Satin, Reza (persilangan Rex dan Satin) merupakan bangsa kelinci yang dikembangkan di Balai Penelitian Ternak sebagai plasma nutfah kelinci pedaging di Indonesia. Adanya seleksi dan persilangan yang dilakukan terhadap kelinci dengan potensi daging serta pelt - fur selama ini hanya dilihat dari aspek fenotipik meliputi performa dan produktivitas, sedangkan aspek genetik (gen) belum pernah dilakukan. Identifikasi gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis sangat diperlukan untuk perbaikan dan perkembangan kualitas genetik kelinci. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman gen hormon pertumbuhan (GH) pada tiga bangsa kelinci yaitu Rex, Satin dan Reza, yang selanjutnya dihubungkan dengan pencitraan ultrasonografi dari citra ketebalan otot Longissimus dorsi dan lemak perirenal.

Identifikasi keragaman gen GH menggunakan teknik PCR-RFLP dari 33 sampel darah kelinci jantan dewasa di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) dan dilakukan sekuensing pada sampel dengan genotipe yang berbeda. Primer gen GH yang digunakan dengan runutan primer forward: 5’- GTA TAG TGG GAT GGG GTT GG -3’, primer reverse: 5’- TTA CGC TCC CAT TCA GAA GC -3’ (nomor akses GenBank Z28137). Produk PCR dari fragmen gen GH (231 pasang basa (pb)) dipotong dengan enzim pemotong Bsh1236I. Ketebalan otot Longissimus dorsi dan lemak perirenal dicitrakan dan diukur menggunakan alat ultrasonografi yang dilengkapi oleh transduser mikro-convex dengan frekuensi 7.5 MHz pada posisi lumbar vertebrae ke 2 hingga ke 3 pada sisi kiri tubuh. Analisis data PCR-RFLP dilakukan dengan menghitung frekuensi genotipe dan frekuensi alel. Hubungan antara data fenotipik terhadap setiap bangsa kelinci serta hubungan antara data keragaman gen GH|Bsh1236I terhadap peubah tebal lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi dianalisis menggunakan metode General Linear Model (GLM). Perhitungan koefisien korelasi digunakan untuk menemukan hubungan antara peubah bobot badan dan hasil pencitraan ultrasonografi dari ketebalan lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi.

Pola PCR-RFLP yang dihasilkan yaitu: alel T dihasilkan dari fragmen yang tidak terpotong dengan posisi 231 pb; alel C dihasilkan dari fragmen 169 pb dan 62 pb. Hasil menunjukkan bahwa gen GH|Bsh1236I memiliki tiga genotipe yaitu CC, CT, dan CT. Analisis sekuensing pada sampel hasil PCR genotipe CC dan TT yang dibandingkan dengan GenBank menunjukkan keberadaan adanya mutasi pada basa C menjadi T. Frekuensi genotipe CC yang paling tinggi ditemukan pada kelinci Rex dan frekuensi genotipe CT paling tinggi ada pada kelinci Satin. Kelinci Reza yang merupakan persilangan kelinci Rex dan Satin memiliki frekuensi genotipe TT yang paling tinggi. Berdasarkan frekuensi alel yang diukur, alel C memiliki frekuensi yang cukup tinggi pada sebagian besar bangsa kelinci termasuk bangsa kelinci yang diteliti. Bangsa kelinci berpengaruh terhadap pencitraan USG ketebalan otot Longissimus dorsi. Kelinci Satin memiliki otot

(5)

tidak dipengaruhi oleh bangsa kelinci. Hubungan polimorfisme gen GH|Bsh1236I

tidak berpengaruh nyata terhadap hasil pencitraan USG ketebalan lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi, namun keragaman gen GH|Bsh1236I memiliki potensi untuk dijadikan marker assisted selection (MAS)

(6)

SUMMARY

TIA IRMAYANTY AMALIANINGSIH. The Variability of Growth Hormone Gene is Associated with Ultrasound Imaging of Longissimus dorsi Muscle and Perirenal Fat in Rabbit. Supervised by JAKARIA and BRAM BRAHMANTIYO.

Rex, Satin, and Reza (crosses Rex and Satin) are rabbit that developed breed in IRIAP which animal genetic resources in Indonesia. Currently, the existence of selection and crossbreeding conducted on the rabbits with potential for meat and pelt-fur had only seen from phenotypic aspects include performance and productivity, while the genetic aspects (gene) has not been done. Identification of gene was to associated with economic traits very required to improvement and development of genetic quality of rabbit. The objective of this research was to analyse the variability of growth hormone gene (GH) in three rabbit breeds i.e. Rex, Satin, and Reza (Rex and Satin crosses) then associated with ultrasound imaging of Longissimus dorsi muscle and perirenal fat thickness.

Identification the variability of growth hormone gene was analysed by using PCR-RFLP technique from 33 blood sample of male mature rabbit in Indonesian Research Institute for Animal Production (IRIAP) and sequencing for sample with different genotype. Primers used were for forward 5'- GTA TAG TGG GAT GGG GTT GG -3 'and reverse 5'- TTA CGC TCC CAT TCA GAA GC -3' (Gen Bank access number Z28137). PCR product of GH gene fragment (231 base pair (bp)) was digested with restriction enzyme Bsh1236I. Thickness of perirenal fat and

Longissimus dorsi muscle was imaged and measured by using ultrasound unit equipped with a transducer micro-convex with frequency 7.5MHz at 2nd to 3rd lumbar vertebrae in the left body side. PCR-RFLP data were analyzed by calculating allele and genotype frequencies. Characteristic phenotypic data of each rabbit breed and Variability data of GH gene|Bsh1236I to measurement of perirenal fat thickness and Longissimus dorsi muscle were analyzed using the General Linear Model (GLM). Calculation of the correlation coefficient used to find the relationship between body weight and variables ultrasound of perirenal fat thickness and Longissimus dorsi muscle.

PCR-RFLP patterns were the following: allele T resulted in an undigested fragment of 231 bp; allele C resulted in fragment of 169 bp and 62 bp. The result showed that Bsh1236I GH gene had three genotypes i.e. CC, TT, and CT. Analysis sequencing on samples of CC and TT genotypes were compared with GenBank showed the presence of the mutation in the base C to T. Rex rabbit has frequency of genotype CC highest than Satin and Reza rabbit breeds. Satin rabbit has highest frequency of genotype CT. Reza (Rex and Satin crosses) has most influenced by Satin rabbit in this case that frequency of genotype TT same with CT. Based on measurement the allele frequency, C allele have higher frequency in most breeds including research breeds. There were signifficant association between rabbit breed with Longissimus dorsi muscle thickness (P<0.05) but perirenal fat thickness was not significant. Satin rabbit reached higher thickness of

Longissimus dorsi muscle than Rex and Reza rabbit. Correlation analysis of

(7)

measurement phenotype was not signifficant but its potentially to be marker assisted selection.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

HUBUNGAN KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DENGAN

PENCITRAAN ULTRASONOGRAFI LEMAK PERIRENAL DAN OTOT

LONGISSIMUS DORSI PADA KELINCI

(12)
(13)

Judul Tesis : Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi pada Kelinci

Nama : Tia Irmayanty Amalianingsih NIM : D151120081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Jakaria, SPt MSi Ketua

Dr Ir Bram Brahmantiyo, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 9 Mei 2014

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Desember 2013 adalah “Hubungan Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dengan Pencitraan Ultrasonografi Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi pada Kelinci”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penulisan dari tesis ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih. Kepada yang terhormat Dr Jakaria SPt MSi dan Dr Ir Bram Brahmantiyo selaku komisi pembimbing, penulis menghaturkan ucapan terimakasih atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr Ir Rudy Priyanto selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan.

Kepada Eryck Andreas SPt MSi, Ferdy Saputra SPt MSi, Irene SPt MSi, dan Shelvi SSi, penulis mengucapkan terimakasih atas pendampingannya selama melakukan penelitian di Laboratorium Genetika dan Molekuler. Kepada Bapak Herry dan Ibu Ros atas bantuannya selama penulis mengambil data di kandang kelinci Balai Penelitian Ternak Ciawi.

Kepada Dr Ir Salundik MSi selaku Ketua Program Studi ITP serta jajarannya (Ibu Ade dan Mba Okta) di sekretariat Pasca ITP, penulis menghaturkan terimakasih atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP angkatan 2012 khususnya grup Helix ITP terimakasih atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini dan semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin pada waktu mendatang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terima kasih.

Terima kasih kepada Direktorat Jendral Perguruan Tinggi atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Unggulan) dan Dr Ir Bram Brahmantiyo atas bantuan dana penelitian sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan lancar.

(15)

DAFTAR ISI

Pencitraan USG Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi Bangsa

Kelinci 13

Hubungan Polimorfisme Gen GH dengan Pencitraan USG Lemak Perirenal

(16)

DAFTAR TABEL

1 Frekuensi genotipe fragmen gen GH Bsh1236I pada kelinci Rex,

Satin, dan Reza 12

2 Frekuensi alel fragmen gen GH Bsh1236I berdasarkan bangsa dan

jumlah individu 13

3 Pengukuran rataan ketebalan otot Longissimus dorsi (LD) dan lemak perirenal hasil pencitraan USG berdasarkan bangsa kelinci 14 4 Pengukuran pencitraan USG dengan genotipe berbeda untuk fragmen

gen GH Bsh1236I 15

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran penelitian 2

2 Struktur gen GH kelinci. Kotak abu-abu mengindikasikan coding regions dari lima ekson (E) (Fontanesi et al. 2012) 4 3 Posisi primer, produk PCR (nomor akses GenBank Z28137) dan

enzim restriksi Bsh1236I 9

4 Hasil elektroforesis PCR fragmen gen GH Bsh1236I pada kelinci bangsa Rex, Satin, dan Reza (M = penanda; 1, 2, dan 3 = sampel) 10 5 Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GH dengan

enzim Bsh1236I pada genotipe CC, TT, dan CT. 10 6 Hasil analisis sekuensing dan keberadaan mutasi basa C menjadi T 11 7 Grafik perbandingan basa C (1) dan T (2) hasil sekuensing 11 8 Pencitraan USG lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi kelinci.

(D= Dermis (kulit), M = Muscle (otot), F = Fat (lemak) (ujung panah adalah permukaan dinding luar lambung), K= Kidney (ginjal)). 13

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak kelinci mempunyai beberapa keunggulan selain sebagai hewan kesayangan, hewan laboratorium, juga dapat dijadikan sebagai penghasil daging dan pelt - fur (kulit – rambut) (Rogel-Gaillard et al. 2009). Ternak kelinci yang banyak dikembangbiakkan dan dikenal cukup lama oleh masyarakat merupakan kelinci impor dari berbagai negara di Eropa dan Amerika yang telah beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia. Adaptasi di daerah tropis menyebabkan kinerja yang berbeda dengan negara asalnya (Brahmantiyo et al. 2010).

Kelinci sebagai ternak yang berpotensi sebagai penghasil daging, produk daging kelinci di Indonesia belum sepopuler di negara lain. Produksi daging kelinci terbesar di dunia dilaporkan di negara China dengan estimasi produksi mencapai 550 000–600 000 ton karkas per tahun (Lebas 2009). Populasi kelinci di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1 075 000 ekor dan tersebar di 22 provinsi (Ditjen PKH 2013). Seiring dengan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap daging kelinci, hal ini meningkatkan kebutuhan akan bibit kelinci pedaging, tetapi konsumsi daging kelinci di Indonesia relatif rendah yang disebabkan rendahnya pasokan. Padahal daging kelinci memiliki karakteristik yang berbeda dengan daging sapi, ayam, babi, ataupun domba. Daging kelinci termasuk ke dalam daging putih, memiliki serat yang halus dan lembut serta lebih tinggi protein dengan lemak kolesterol dan kalori yang lebih rendah (Rogel-Gaillard et al. 2009).

Kelinci Rex, Satin, Reza (persilangan Rex dan Satin) merupakan bangsa kelinci yang dikembangkan di Balai Penelitian Ternak sebagai plasma nutfah kelinci di Indonesia. Adanya seleksi dan persilangan yang dilakukan terhadap kelinci dengan potensi daging serta pelt - fur selama ini hanya dilihat dari aspek fenotipik meliputi performa dan produktivitas, sedangkan aspek genetik (gen) masih terbatas. Identifikasi gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis sangat dibutuhkan untuk peningkatan dan pengembangan mutu genetik kelinci.

Gen target yang digunakan yaitu gen hormon pertumbuhan (GH) yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan. Efek dari gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan (Akers 2006). Polimorfisme pada gen ini telah digunakan sebagai penanda genetik yang berasosiasi dengan performa dan sifat produksi yang berbeda seperti bobot badan, bobot lahir dan bobot sapih pada kambing (Wickramaratne et al. 2010; Supakorn dan Pralomkarn 2013), produksi susu dan bobot badan pada sapi (Misrianti et al.

2012; Jakaria et al. 2007; Katoh et al. 2008), domba (Adams dan Briegel 2005), sifat karkas pada babi (de Faria et al. 2006). Gen GH pada kelinci telah disekuensing oleh Wallis dan Wallis (1995) dan telah diteliti sebagai gen yang berasosiasi dengan bobot pasar pada kelinci komersial (Fontanesi et al. 2012).

(18)

2

kambing atau domba (Stouffer 2004). Beberapa laporan juga diketahui bahwa teknik ini dapat digunakan untuk evaluasi komposisi tubuh pada kelinci (Pascual

et al. 2000; Cardinali et al. 2008). Pengambilan gambar dengan USG tidak mengganggu ternak, biayanya murah dan merupakan metode yang bermanfaat untuk mengevaluasi jaringan adipose subkutan dan visceral pada anatomi dan aktivitas metabolisme yang berbeda (Stouffer 2004).

Persentase lemak perirenal merupakan prediktor dari persentase bagian lemak pada keseluruhan karkas (Blasco dan Ouhayun 1993). Lemak perirenal pada kelinci sangat sensitif terhadap variasi pakan dan dapat meningkat hingga 40% pada kelinci dengan pakan yang tinggi lemak. Penggunaan USG untuk mengakses ketebalan lemak perirenal merupakan metode praktis yang dapat menduga ketebalan lemak perirenal, otot Longissimus dorsi, keseimbangan energi, dan perubahan kondisi tubuh pada kelinci (Silva et al. 2012).

Pentingnya menganalisis gen yang berkaitan dengan pertumbuhan pada kelinci pedaging dapat memaksimalkan program pemuliaan sebagai acuan untuk

marker assisted selection (MAS), sehingga dapat menyeleksi kelinci dengan genetik unggul dan fenotip yang berkualitas dalam waktu yang singkat.

Perumusan Masalah

Program seleksi pada kelinci masih berdasarkan aspek fenotipik yang menyebabkan respon genetik yang cukup lambat. Adanya analisis pada aspek genetik diharapkan dapat mempercepat respon genetik. Informasi mengenai keragaman genetik terutama gen hormon pertumbuhan pada kelinci bangsa Rex, Satin, dan Reza belum tersedia. Dengan adanya informasi keragaman dari gen hormon pertumbuhan yang diasosiasikan dengan ketebalan lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi melalui pencitraan ultrasonografi diharapkan dapat dijadikan sebagai Marker Assisted Selection. Bagan kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

(19)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman gen hormon pertumbuhan (GH) bangsa kelinci Rex, Satin, dan Reza (persilangan Rex dan Satin), yang dihubungkan dengan ketebalan lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi melalui pencitraan ultrasonografi.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu dijadikan dasar penentuan seleksi untuk mendapatkan kelinci pedaging yang berkualitas dalam penerapan

marker assisted selection (MAS).

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bangsa – bangsa Kelinci

Kelinci domestik merupakan keturunan dari Oryctolagus cuniculus, spesies asli untuk Mediterania basin barat (Spanyol dan Afrika Utara). Kelinci liar lainnya memiliki genus: Sylvilagus, Coprolagus, Nesolagus dan Brachylagus. Kelinci adalah hewan yang relatif baru dijinakkan jika dibandingkan dengan hewan lain. Keturunan yang didomestikasi oleh manusia tidak lebih tua dari 200 atau 300 tahun, itulah sebabnya mengapa ada beberapa ras baru yang disesuaikan dengan daerahnya. Salah satu cara untuk menilai keunikan genetik dari keturunan yang berbeda adalah dengan mempelajari asal mereka (Rogel-Gaillard et al. 2009).

Kelinci Eropa, Oryctolagus cuniculus, adalah nenek moyang dari semua bangsa kelinci domestik, yang mana memiliki banyak variasi ukuran, tipe rambut, dan warna. Lebas et al. (1997) mengklasifikasikan bangsa kelinci berdasarkan bobot dewasa menjadi :

Heavy breed (bangsa berat), dikarakterisasi dengan bobot dewasa lebih dari 5 kg, seperti kelinci Flemish Giant dengan bobot dewasa hingga mencapai 7-9 kg.

Average breed (bangsa medium), ini merupakan bangsa kelinci yang paling banyak jenisnya, dengan bobot dewasa berkisar 3.5 hingga 4.5 kg. Kelinci jenis ini yaitu New Zealand White, Rex, Satin.

Lightweight breed dengan berat dewasa sekitar 2.5 hingga 3 kg seperti kelinci Dutch, small Himalayan small Chincilla.

Small atau dwarf breed, dengan bobot tubuh tidak sampai 1kg dan biasanya berfungsi sebagai kelinci kesayangan.

Kelinci yang ada di Indonesia, kecuali jenis Sylvilagus yang berasal dari Sumatera, adalah kelinci impor dari berbagai negara di Eropa dan Amerika. Dengan adaptasi di daerah tropik baik dengan iklim maupun ketersediaan pakan menyebabkan kinerja dari turunan-turunan yang dihasilkan sangat berbeda dari galur murni di negara asalnya.

Kelinci Rex

(20)

4

kelinci dengan produksi kulit-rambut nya yang cukup terkenal. Rex merupakan kelinci ukuran medium dengan bobot sekitar 3-3.5kg dan memiliki karakteristik rambut (fur) seperti sutra, tebal, dan homogen. Sifat ini adalah mutasi resesif autosomal yang menyebabkan hampir semua guard hair menghilang. Performa produksi kelinci ini berdasarkan Brahmantiyo et al. (2010) yaitu dilihat dengan adanya pertumbuhan yang cukup baik, daya adaptasi terhadap lingkungan suhu dan kelembaban serta pakan yang tinggi juga memiliki produksi karkas yang memadai.

Kelinci Satin

Kelinci Satin didatangkan pertama kali ke Indonesia (Balitnak-Ciawi) dari Amerika Serikat pada tahun 1996. Kelinci ini memiliki ciri khas fur yang mengkilat. Menurut Prasetyo (2007) berkilaunya kulit kelinci Satin disebabkan oleh ketiadaan sel medula dari batang rambut. Ciri lain dari kulit rambut kelinci Satin adalah halus, padat, tebal dan lembut.

Kelinci Reza (silangan Rex dan Satin)

Kelinci Reza merupakan kelinci hasil silangan antara kelinci Rex dan Satin.

Prasetyo (2007) membentuk kelinci ini dengan harapan diperoleh kelinci dengan rambut kilap halus perpaduan dari rambut kelinci Rex dan Satin. Pertumbuhan kelinci Reza lebih cepat dari pertumbuhan anak-anak kelinci Rex dan Satin hingga umur 20 minggu. Kelinci ini memiliki perpaduan genetik antara kelinci Rex dan Satin sehingga bobot dewasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelinci pembentuknya. Selain itu, kelinci ini memiliki daya adaptasi yang cukup baik dan produksi karkas yang memadai sama halnya dengan kelinci Rex dan Satin (Brahmantiyo et al. 2010).

Gen Hormon Pertumbuhan

(21)

5

PCR-RFLP

PCR-RFLP (polymerase chain reaction- restriction fragmen length polymorphism) merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan untuk mencari keragaman genotipe (Yahyaoi et al. 2001). Teknik ini berjalan dengan menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas tertentu dan monomer nukleotida dengan cara in vitro. Proses PCR harus berjalan dengan adanya bantuan dari enzim dan primer. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim polymerase

merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams 2005). Penentuan jenis primer dan enzim restriksi disesuaikan dengan kondisi urutan basa nukleotida diantara dan di dalam target.

Teknik RFLP yang dikombinasikan dengan teknik PCR telah secara luas digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) pada genom maupun pada daerah yang tidak ada penyandi atau daerah non-coding. Metode ini biasa digunakan untuk mencari keragaman genotipe. Secara umum, komponen-komponen yang dibutuhkan dalam suatu reaksi PCR-RFLP adalah DNA, Enzim Taq polymerase DNA, Deoxynucleos triphosphat (dNTP), larutan penyangga (buffer) primer forward dan reverse serta enzim restriksi (Muladno 2002). Dasar terpotong atau tidaknya fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi (Nei dan Kumar 2000).

Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik yang secara luas digunakan untuk prediksi in vivo dari karkas atau komposisi tubuh pada sapi, babi, kambing atau domba (Stouffer 2004). Beberapa laporan juga diketahui bahwa teknik ini dapat digunakan untuk evaluasi komposisi tubuh dan karkas pada kelinci (Pascual et al. 2000; Cardinali et al. 2008). Pengambilan gambar dengan USG tidak mengganggu, biayanya murah dan metode yang bermanfaat untuk mengevaluasi jaringan adipose subkutan dan visceral pada anatomi dan aktivitas metabolisme yang berbeda.

Pengukuran USG terkait dengan pendugaan ketebalan otot Longissimus dorsi dan lemak perirenal telah diteliti pada berbagai ternak diantaranya domba (Sahin et al. 2008; Esquivelzeta et al. 2012), sapi (Williams 2002; Wall et al.

(22)

6

3

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Fakultas Peternakan IPB dan Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor pada bulan Juli hingga Desember 2013.

Materi

Sampel Darah

Sampel darah yang digunakan sebanyak 33 ekor kelinci jantan dewasa (berumur 1-3 tahun berdasarkan catatan) dari bangsa Rex, Satin, dan Reza (persilangan Rex dan Satin) milik Balitnak Ciawi.

Primer

Primer gen GH yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti Fontanesi et al. (2012) dengan runutan primer forward: 5’- GTA TAG TGG GAT GGG GTT GG -3’, primer reverse: 5’- TTA CGC TCC CAT TCA GAA GC -3’ (nomor akses Gen Bank Z28137, Oryctolagus cuniculus gh gene).

Prosedur

Sampel Darah dan Ekstraksi DNA

Sampel darah diambil melalui vena aurikularis pada telinga kelinci. Darah diambil menggunakan syringe sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung vakum berantikoagulan EDTA K3 (intherma vacuum®). Sampel darah selanjutnya disimpan dalam suhu sekitar 4oC hingga digunakan untuk proses ekstraksi DNA. Prosedur ekstraksi mengikuti metode phenol-chloroform (Sambrook et al. 1989): a. Preparasi Sampel. Sampel dari darah sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam

tabung 1,5 ml dan ditambahkan NaCl 0.2% sebanyak 800 µl. Tabung yang berisi darah dan NaCl kemudian divorteks dan didiamkan selama lima menit. Sampel kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama lima menit, supernatan dibuang.

b. Degradasi Protein. Sampel ditambahkan 1xSTE (sodium tris EDTA) sampai volume 350 µl, 40 µl SDS 10% dan 20 µl proteinase K 5 mg/ml. Campuran diinkubasi pada suhu 55 ˚C selama dua jam sambil digoyang pelan.

c. Degradasi Bahan Organik. Ditambahkan 400 µl larutan phenol, 400 µl

chloroform:isoamyl alcohol (24:1) dan 40 µl NaCl 5M. Campuran digoyang pada suhu ruang selama satu jam.

(23)

7 µl TE 80% (Elution Buffer). Sampel DNA disimpan pada suhu -20˚C dan siap untuk digunakan.

Amplifikasi Fragmen Gen

Amplifikasi fragmen gen dilakukan dengan metode two step gradient cycle

PCR (Polymerase Chain Reaction) (Lopez dan Prezioso 2001; Xiong 2004). Pereaksi yang digunakan untuk amplifikasi ruas gen target adalah 1 µl sampel DNA, masing-masing primer 25 pmol, campuran dNTP 200 µM, MgCL21mM, dan taq polymerase 0.5 unit dan bufernya dalam larutan total 15 µl. Amplifikasi in vitro dengan mesin thermal cycler dilakukan dengan kondisi suhu pradenaturasi 95°C selama lima menit,15 siklus pertama yang terdiri dari denaturasi pada suhu 95°C selama 10 detik, penempelan primer pada suhu 68°C selama 20 detik, pemanjangan DNA baru pada suhu 72°C selama 30 detik, dan pemanjangan akhir 72°C selama 5 menit. Lima belas siklus kedua terdiri dari denaturasi pada suhu 95°C selama 10 detik, penempelan primer pada suhu 60°C selama 20 detik, pemanjangan DNA baru pada suhu72°C selama 30 detik, dan pemanjangan akhir 72°C selama 5 menit.

Analisis PCR-RFLP

Enzim restriksi yang digunakan untuk gen GH yaitu enzim Bsh1236I yang mengenali situs restriksi CG*CG (ER0921 Fermentas). Produk PCR sebanyak 5 µl dipindahkan ke tabung 0.5 ml, ditambahkan destilated water 1 µl, enzim restriksi 0.3 µl serta buffer R 0.7 µl, dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 16 jam. Setelah diinkubasi selanjutnya sampel yang divisualisasikan pada gel agarosa 2% dengan TBE 0.5 x (Tris Borat EDTA) dan 2.5 µl ethidium bromida pada 100 v selama 40 menit yang divisualisasikan pada UV transiluminator. Setelah elektroforesis dengan gel agarosa, akan muncul pita-pita DNA. Setiap pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui panjang fragmennya. Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotip pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu alel.

Analisis Sekuensing

Sekuensing dilakukan pada individu kelinci yang mewakili genotipe berbeda dengan masing-masing satu sampel. Sekuensing dilakukan dengan menggunakan mesin sekuenser (ABI Prims 3100-Avant Genetic Analyzer) pada fragmen primer forward dan reverse melalui jasa perusahaan sekuensing 1st Base di Selangor Malaysia.

Pengukuran USG

Gambar diperoleh menggunakan alat ultrasound (SonoDop® S5, PT Karindo Alkestron, Indonesia), yang dilengkapi oleh transdusermikro-convex

dengan frekuensi 7.5 MHz. Gambar lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi

(24)

8

Analisis Data

Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap jumlah populasi. Keragaman genotipe pada masing-masing individu ternak dapat ditentukan melalui pita-pita DNA yang ditemukan. Frekuensi genotipe dapat diketahui dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe tertentu pada setiap populasi, dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut:

Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada suatu lokus dalam populasi. Frekuensi alel ( ) gen dapat dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000), sebagai berikut:

Keterangan:

= frekuensi genotipe ke-ii = frekuensi alel ke-i

nii = jumlah individu bergenotipe ii nij = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah individu sampel

Hubungan antara data fenotipik terhadap setiap bangsa kelinci dianalisis menggunakan metode GLM (General Linear Model). Jika respon yang diperoleh menunjukkan hasil yang berbeda, dilakukan uji selang berganda Duncan. Model matematis dirumuskan sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995):

Yij = µ + αi + βXij + Єij

Xij = nilai kovarian (bobot badan)

Єij = pengaruh galat yang menyebar normal

(25)

9 Hubungan antara data keragaman gen GH|Bsh1236I terhadap peubah tebal lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi dianalisis menggunakan metode GLM (General Linear Model) pada tiga genotipe kelinci. Jika respon yang diperoleh menunjukkan hasil yang berbeda, dilakukan uji selang berganda Duncan. Model matematis dirumuskan sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995):

Yij = µ + αi + βXij + Єij

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh aditif dari genotipe ke-i β = koefisien regresi linier

Xij = nilai kovarian (bangsa kelinci)

Єij = pengaruh galat yang menyebar normal

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan

Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) kelinci dilakukan di posisi bagian dari 5’ flanking region dan 5’ untranslated region ekson 1 untuk fragmen gen GH Bsh1236I dengan panjang produk PCR sebesar 231 pasang basa (pb) (Gambar 3 dan Gambar 4). Hasil amplifikasi Fontanesi et al. (2012) menyatakan penempelan (annealing) primer fragmen gen GH Bsh1236I pada suhu 58oC. Namun berbeda pada penelitian ini, suhu optimal untuk mendapatkan produk PCR berkisar pada suhu 68oC selama 15 siklus pertama dan dilanjutkan dengan penurunan suhu hingga 60oC selama 15 siklus selanjutnya (two step gradient cycle). Keberhasilan amplifikasi fragmen gen GH Bsh1236I sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target). Faktor yang membedakan waktu penempelan primer bisa berasal dari bahan pereaksi PCR serta kondisi mesin PCR.

Gambar 3 Posisi primer, produk PCR (nomor akses GenBank Z28137) dan enzim restriksi Bsh1236I

(26)

10

Produk PCR fragmen gen GH Bsh1236I (231 pb) yang telah dipotong dengan enzim Bsh1236I menghasilkan tiga macam fragmen, yaitu fragmen yang terpotong (169 pb) yang dikenal dengan genotipe CC, fragmen yang tidak terpotong (231 pb) yang dikenal dengan genotipe TT, dan fragmen gabungan (231 pb dan 169 pb) yang dikenal dengan genotipe CT (Gambar 5). Tiga macam genotipe yang diperoleh yaitu CC, TT, dan CT dengan dua macam alel yaitu alel C dan T. Kedua alel tersebut dideteksi adanya situs polimorfik pada ekson 1 (Fontanesi et al. 2012). Individu kelinci yang dapat dipotong fragmen gen GH-nya berarti memiliki situs pemotong sekuens enzim Bsh1236I yaitu CG*CG, sedangkan yang tidak dapat dipotong berarti fragmen gen GH Bsh1236I

mengalami mutasi pada situs pemotong sekuens enzim Bsh1236I.

Gambar 5 Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GH dengan enzim Bsh1236I pada genotipe CC, TT, dan CT.

(27)

11

Gambar 6 Hasil analisis sekuensing dan keberadaan mutasi basa C menjadi T

(28)

12

Analisis sekuensing pada sampel hasil PCR genotipe CC dan TT yang dibandingkan dengan GenBank menunjukkan keberadaan mutasi basa pada genotipe TT (Gambar 6 dan Gambar 7). Genotipe TT seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan fragmen yang tidak terpotong oleh enzim restriksi, yaitu adanya mutasi pada basa C menjadi T seperti terlihat pada Gambar 6. Sedangkan genotipe CC memiliki basa yang sama dengan GenBank dan memiliki situs pemotongan enzim Bsh1236I. Mutasi ini tidak menyebabkan perubahan asam amino dikarenakan tempat terjadinya mutasi ada pada daerah yang tidak dapat ditranslasikan (untranslated region) (Li dan Graur 1991).

Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan

Hasil analisis frekuensi genotipe fragmen gen GH Bsh1236I

dikelompokkan berdasarkan bangsa kelinci disajikan pada Tabel 1. Frekuensi genotipe CC yang paling tinggi ditemukan pada kelinci Rex dan frekuensi genotipe CT paling tinggi ada pada kelinci Satin. Kelinci Rex dan Satin merupakan bangsa kelinci dengan keunggulan rambutnya. Kelinci Reza yang merupakan persilangan kelinci Rex dan Satin memiliki frekuensi genotipe TT yang paling tinggi. Hal yang menarik pada kelinci Reza kemungkinan besar kelinci ini banyak dipengaruhi oleh kelinci Satin terhadap pembentukan kelinci Reza sehingga dalam hal ini frekuensi genotipe TT dan CT pada kelinci Reza sama besar. Berdasarkan Prasetyo (2007) pembentukan kelinci berbulu halus dan kilap yang disebut dengan kelinci Reza, terbentuk pada keturunan kedua dari hasil perkawinan silang kelinci Rex dengan kelinci Satin serta proporsi kelompok kelinci yang terbentuk tidak sesuai dengan Hukum Mendel.

Berdasarkan frekuensi alel yang diukur, alel C memiliki frekuensi yang cukup tinggi pada sebagian besar bangsa kelinci termasuk bangsa kelinci yang diteliti (Tabel 2). Fontanesi et al. (2012) dalam penelitiannya mengukur frekuensi alel dari berbagai kelinci hias membentuk suatu pola bahwa kelinci dengan frekuensi alel C tinggi sebagian besar merupakan kelinci tipe Giant (Rogel-Gaillard et al. 2009). Kelinci Rex, Satin dan Reza merupakan bangsa kelinci dengan potensi daging dan hias (Brahmantiyo et al. 2010) yang memiliki frekuensi alel C dan alel T yang tidak berbeda jauh.

(29)

13

Pencitraan USG Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi Bangsa Kelinci

Pencitraan ultrasonografi dari ketebalan lemak perirenal dan otot

Longissimus dorsi pada kelinci ditunjukkan pada Gambar 8. Lemak perirenal terlihat berwarna putih (hiperekhoik) berbentuk melengkung pada dinding lambung, sedangkan otot merupakan bagian berwarna abu-abu hitam (hipoekhoik) yang terukur dari bawah kulit. Pengukuran ini dilakukan secara melintang dengan menggunakan probe linier berfrekuensi 7.5 MHz. Kemampuan prediksi dari probe ini lebih konsisten dibandingkan dengan probe 5Mhz, yang digunakan untuk estimasi area pengukuran (Silva et al. 2006).

Gambar 8 Pencitraan USG lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi kelinci. (D= Dermis (kulit), M = Muscle (otot), F = Fat (lemak) (ujung panah adalah permukaan dinding luar lambung), K= Kidney

(ginjal)).

Tabel 2 Frekuensi alel fragmen gen GH Bsh1236I berdasarkan bangsa dan jumlah individu

Bangsa n Frekuensi alel

C T

Californian 4 0.625 0.375

Champagne d'Argent 13 1.000 0.000

Checkered Giant 16 0.406 0.594

Chincilla 8 0.937 0.063

Giant Grey 4 1.000 0.000

Giant White 3 1.000 0.000

Loop 3 1.000 0.000

New Zealand White 12 0.625 0.375

Rhinelander 3 1.000 0.000

Vienna Blue 4 0.875 0.125

Rex*) 11 0.864 0.136

Satin*) 11 0.500 0.500

Reza*) 11 0.455 0.545

(30)

14

Pengukuran fenotipik berupa ketebalan otot Longissimus dorsi (LD) pada setiap bangsa kelinci menunjukkan hasil yang berbeda (P<0.05) (Tabel 3). Analisis pengukuran ketebalan otot dari kelinci Rex dan Satin menghasilkan pengaruh yang sama dan keduanya nyata lebih tinggi dari kelinci Reza. Kelinci Reza yang merupakan hasil persilangan dari kelinci Rex dan Satin memiliki rataan ketebalan otot yg lebih rendah dari tetuanya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelinci Reza yang diteliti terdapat aksi gen non aditif yang menyebabkan kemungkinan terjadinya heterosis yang negatif (Nofal et al. 2004; Khalil dan Youssef 2010; Fayeye 2013) serta pendugaan terjadinya variasi transgresif (Wuletaw et al. 2006; Notter 1999) bahwa fenotipe anak yang lebih rendah dari tetuanya.

Ketebalan lemak perirenal hasil pengukuran USG tidak dipengaruhi oleh bangsa kelinci. Hal ini berkaitan dengan jenis kelamin kelinci yang diukur merupakan kelinci jantan. Kelinci jantan memiliki perlemakan yang lebih rendah dari kelinci betina (Brahmantiyo et al. 2010). Kelinci Rex, Satin, dan Reza merupakan kelinci dengan tujuan produksi pelt-fur dan daging serta memiliki pertumbuhan yang lambat sehingga perlemakan tidak terbentuk dalam jumlah banyak (Brahmantiyo et al. 2011). Tetapi berbeda dengan hasil penelitian dari Yonkova et al. (2011) ketebalan lemak dalam hal ini termasuk lemak perirenal hasil pencitraan USG pada kelinci New Zealand White jantan, meningkat sejalan dengan peningkatan bobot badan dengan hasil statistik yang berbeda nyata.

Analisis korelasi pada peubah ketebalan otot Longissimus dorsi hasil pencitraan USG dengan bobot badan menunjukkan nilai yang positif (0.166). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ketebalan otot Longissimus dorsi hasil pencitraan USG berkaitan erat dengan peningkatan bobot badan sesuai dengan Metzger et al. (2011).

Hubungan Polimorfisme Gen GH dengan Pencitraan USG Lemak Perirenal dan Otot Longissimus dorsi

Polimorfisme dari gen GH|Bsh1236I dengan pencitraan USG dari tebal lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi pada kelinci jantan Rex, Satin, dan Reza menunjukkan bahwa kelinci dengan genotipe CT memiliki ketebalan otot

Longissimus dorsi serta bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci genotipe CC dan TT (Tabel 4) walaupun secara statistik hal ini tidak signifikan (P>0.05). Fontanesi et al. (2012) dalam penelitiannya menyebutkan Tabel 3 Pengukuran rataan ketebalan otot Longissimus dorsi (LD) dan lemak

perirenal hasil pencitraan USG berdasarkan bangsa kelinci

Bangsa n Otot LD Lemak perirenal

(31)

15 bahwa kelinci genotipe CT memiliki bobot yang lebih tinggi dari genotipe CC dan TT yang mendukung aksi gen overdominan.

Dilihat dari segi genotipe kelinci yang homozigot yaitu CC dan TT, kelinci dengan genotipe CC memiliki ketebalan otot Longissimus dorsi yang lebih tinggi dari kelinci dengan genotipe TT. Hal ini berkaitan dengan ketebalan lemak yang berbanding terbalik dengan ketebalan otot. Kelinci dengan otot yang lebih tebal memiliki lemak yang lebih sedikit. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan tingkat kecepatan dewasa kelamin. Ternak yang dewasa kelamin lambat memiliki bobot yang lebih tinggi yang berarti proporsi otot yang lebih banyak dan lemak yang lebih sedikit (Irshad et al. 2012).

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penciri PCR-RFLP fragmen gen GH Bsh1236I memiliki polimorfisme tinggi pada kelinci Rex, Satin dan Reza. Bangsa kelinci berpengaruh terhadap pencitraan USG ketebalan otot Longissimus dorsi. Kelinci Satin memiliki otot Longissimus dorsi yang lebih tebal dari Rex dan Reza. Ketebalan lemak perirenal tidak dipengaruhi oleh bangsa kelinci. Hubungan polimorfisme gen GH|Bsh1236I tidak berpengaruh nyata terhadap ketebalan lemak perirenal dan otot Longissimus dorsi hasil pencitraan USG, namun keragaman gen GH|Bsh1236I memiliki potensi untuk dijadikan

Marker Assisted Selection (MAS).

Saran

Hasil dari amplifikasi gen GH|Bsh1236I dengan metode PCR-RFLP yang didapat masih harus diungkap lebih jauh dengan sampel yang lebih banyak karena beragam dan ultrasonografi dilakukan pada saat kelinci dalam masa pertumbuhan, sehingga keragaman ini bisa menjadi bukti kuat sebagai Marker Assisted Selection

(MAS).

(32)

16

DAFTAR PUSTAKA

Adams NR, Briegel JR. 2005. Multiple effects of an additional growth hormone gene in adult sheep. J Anim Sci. vol83 1868-1874

Akers RM. 2006. Major advances associated with hormone and growth factor regulation of mammary growth and lactation in dairy cows. J Dairy Sci. 89:1222-1234. http://dx.doi.org/10.3618/jds.S0022-0302(06)72191-9

Andreas E, Sumantri C, Nuraini H, Farajallah A, Anggraeni A. 2010. Identification of GH|AluI and GHR|AluI Genes Polymorphisms in Indonesian Buffalo. J Indon Trop Anim Agric. 35:215-221

Bourdon RM. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey 07458.

Brahmantiyo B, Raharjo YC, Martojo H, Mansjoer SS. 2010. Rex, Satin, and their crossbreed rabbit production. JITV. 15(2): 131-137

Brahmantiyo B, Raharjo YC. 2011. Improving productivity of Rex, Satin and Reza rabbits through selection. JITV. 16(4): 243-252.

Blasco A. Ouhayun J. 1996. Harmonization of criteria and terminology in rabbit meat research. World Rabbit Sci. 4, 93-98.

Cardinali R, Dal Bosco A, Bonanno A, Di Grigoli A, Rebollar PG, Lorenzo PL, Castellini C. 2008. Connection Between Body Condition Score, Chemical Characteristics Of Body and Reproductive Traits Of Rabbit Does. Livestock Science, 116:209-215.

de Faria DA, Guimaraes SEF, Lopes PS, Pires AV, Paiva SR, Sollero BP Wenceslau AA. 2006. Association between G316A growth hormone polymorphism and economic traits in pigs. Genet Mol Biol. 29,634–640

[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Buku Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan [internet]. [diunduh 2014 April 21]. Tersedia pada: http://ditjennak.deptan.go.id/

Esquivelzeta C, Casellas J, Fina M, Piedrafita J. 2012. Backfat thickness and longissimus dorsi real-time ultrasound measurements in light lambs. J Anim Sci. 90: 5047-5055. doi: 10.2527/jas.2012-5116

Fayeye TR. 2013. Heterosis for Preweaning Litter Characteristics in Nigerian Rabbit Crosses. International Journal of Agricultural and Food Research

(IJAFR) 2

(33)

17 Kaps M, Lamberson WR. 2004. Biostatistic for Animal Science. UK: CABI

Publishing.

Katoh K, Kouno S, Okazaki A, Suzuki K, Obara Y. 2008. Interaction of GH polymorphism with body weight and endocrine functions in Japanese black calves. Domest Anim Endocrinol. 34: 25-30 [internet]. [diunduh 2012 Des 20]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.domaniend.2006.10.003

Khalil MH, Youssef YMK. 2010. Heterosis, maternal and direct genetic effects for litter performance and reproductive intervals in rabbit crosses. World Rabbit Sci. 3: p. 99-105.

Lebas F. 2009. Rabbit production in the World, with a special reference to Western Europe. Quantitative estimation and Methods of production [internet]. [diunduh Desember 2012 15]. Tersedia pada: http://www.cuniculture.info. Li WH, Graur D. 1991. Fundamentals of Molecular Evolution. Sinauer Associates

Inc. Publishers, Sunderland.

Lopez J, Prezioso P. 2001. A better way to optimize: two-step gradient PCR.

Eppendorf Bionews Application Notes [internet]. [diunduh 2014 Januari 9] Mayfield WM. 2012. Evaluating the Relationship between Ultrasound-derived

Carcass Characteristics and Production Traits in Angus Cattle.

Metzger, Szilvia, Meinrad Odermatt, András Szabó, István Radnai, Edit Biró-Németh, István Nagy and Zsolt Szendrö. 2011. Effect of age and body weight on carcass traits and meat composition of rabbits. Archiv fur tierzucht-archives of animal breeding. 54: 406-418.

Micklander, Elisabeth, Bertram HC, Marnø H, Lone Søvad Bak, Henrik Jørgen Andersen, Søren Balling Engelsen, Lars Nørgaard. 2005. Early post-mortem discrimination of water-holding capacity in pig longissimus muscle using new ultrasound method. LWT-Food Science and Technology. 38: 437-445.

Misrianti R, Anggraeni A, Andreas E, Sumantri C. 2012. Growth hormone gene polymorphism and its association with partial cumulative milk yields of Holstein Friesian dairy cattle. Media Petern 145-151. DOI: 10.5398/medpet.2012.35.3.145

Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetic. New York: Oxford University Press.

Nofal R, Szendro ZS, Kenessey A, Jensen JE. 2005. Crossbreeding effects on carcass traits at 12 weeks of age in Pannon and Danish White rabbits and their reciprocal crosses. In Crossbreeding effects on carcass traits at 12 weeks of age in Pannon and Danish White rabbits and their reciprocal crosses, Proceedings of the 8th World Rabbit Congress, September 7-10, 2004, Pueblo, Mexico., 102-110: World Rabbit Science Association (WRSA).

Notter, D.R. 1999. The importance of genetic diversity in livestock populations of the future. J Anim Sci. 77:61-69.

Pascual JJ, Castella F, Cervera C, Blas E, Fernández-Carmona J. 2000. The Use of Ultrasound Measurement of Perirenal Fat Thickness To Estimate Changes In Body Condition Of Young Female Rabbits. J Anim Sci. 70:435-442.

(34)

18

Prasetyo S. 2007. Kemungkinan pembentukan kelinci berbulu halus dan kilap.

Majalah Ilmiah Peternakan Vol 10 no 2. Universitas Udayana.

Rogel-Gaillard C, Ferrand N, Hayes H. 2009. Genome Mapping and Genomics in Domestic Animal. Di dalam : Noelle E. Cockett, Chittaranjan Kole, editor. Chapter 7: Rabbit. Springer- Verlag Berlin Heidberg [internet]. [diunduh 2012 Desember 10]. Tersedia pada: www.springer.com

Sahin EH, Yardimci M, Cetingul IS, Bayram I, Sengor E. 2008. The use of ultrasound to predict the carcass composition of live Akkaraman lambs. Meat Science 79: 716-721.

Sambrook JEF, Fritsch, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. Ed ke-2. Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Silva SR, Afonso JJ, Santos VA, Monteiro A, Guedes CM, Azevedo JM Dias-da-Silva A. 2006. In vivo estimation of sheep carcass composition using real-time ultrasound with two probes of 5 and 7.5 MHz and image analysis. J Anim Sci

84: 3433-3439.

Silva SR, Guedes CM, Mourão JL, A Pio, Pinheiro VM. 2009. The value of in vivo real time ultrasonography in assessing loin muscularity and carcass composition of rabbits. Meat Science 81: 357-363.

Silva SR, da Rocha E, Jorge AM, Mourao Jose Luis TaMM, Guedes Cristina VM, Pinheiro Victor MC. 2012. Realtime Ultrasound to predict rabbit carcass composition and volume of Longissimus Dorsimuscle. R. Bras. Zootec.41(12): 2463-2466. hormone (GH), insulin-like growth factor 1 (IGF-1) and diacylglycerol acyltransferase 2 (DGAT-2) genes and their effect on birth weight and weaning weight in goats. The Philippine Agricultural Scientist Vol. 96 No. 1 18-25 Wall PB, Rouse GH, DE Wilson, Tait RG, Busby WD. 2004. Use of ultrasound to

predict body composition changes in steers at 100 and 65 days before slaughter. J Anim Sci 82: 1621-1629

Wallis OC. dan Wallis M. 1995. Cloning and characterization of the rabbit growth hormone encoding gene. Gene. 63,253–256.

Warwick EJ, Astuti JM, Harjosubroto W. 1983. Pemuliaan Genetik Ternak. Gadjahmada University Press Jogjakarta.

Wickramaratne SHG, Ulmek BR, Dixit SP, Kumar S, Vyas MK. 2010. Use of growth hormone gene polymorphism in selecting Osmanabadi and Sangamneri goats. Tropical Agricultural Research Vol. 21(4): 398 - 411 (2010)

Williams AR 2002. Ultrasound applications in beef cattle carcass research and management. J Anim Sci 80: E183-E188.

Williams JL. 2005. The use of marker-assisted selection in animal breeding and biotechnology. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 24: 379-391.

(35)

19 Xiong AS, Yao QH, Peng RH, Li X, Fan HQ, Cheng ZM, Li Y. 2004. A simple, rapid, high-fidelity and cost-effective PCR-based two-step DNA synthesis method for long gene sequences. Nucleic acids research.32(12), e98-e98 Yonkova P, Rusenov A, Kanakov D, Zapryanova D, Vachkova E, Serbest A,

Dimitrov R, Kostov D. 2011. Ultrasound Imaging, biochemical blood analyses, and weight investigations of dissectible fat depots in New Zealand White rabbits. Turk J Vet Anim Sci.36(6):635-641. Doi : 10.3906/vet-1105-17

Yokoo MJ, Albuquerque LG, Lôbo RB, Bezerra LAF, Araujo FRC, Silva JAV, Sainz RD. 2008. Genetic and environmental factors affecting ultrasound measures of longissimus muscle area and backfat thickness in Nelore cattle.

(36)

20

Lampiran 1 GenBank Z38127.1 Oryctolagus cuniculus

1 gagctcctaa attatccatc agtacaggcc gtcagggccc ctgcataaat gtatagtggg 61 atggggttgg gggtgggggg gcgggaaggg accagggtat aaaaagggcc cgcgagggac 121 caactccagg ctcccagggc acagctcccc aaagcacgca gggtccgtgg acagctcccc 181 aagctgtgat ggctgcaggt aagtgccctc aaatcccttt gggcatagta aggagacagg 241 gggccctgca gatcggaggg ggcttctgaa tgggagcgta accaccccag cccaatgtta 301 gcccatctag aatgtcctcg gtccctgaca gggctagggg cgggctgggg tgggctaggg 361 actagcctag gggaggactg gggactagcc taggggcagg gcaagagctg atcgcctgct 421 cccaggccct gccctgacct cctgtctctc tccctctagg ctcttggacc gcaggcctcc 481 tggctttcgc cctgctctgc ctgccctggc ctcaggaggc cagcgccttc ccagccatgc 541 ccttgtccag cctgtttgcc aacgccgtgc tccgcgccca gcacctgcac cagctggctg 601 ctgacaccta caaagagttt gtgagttccc aggaaggggt gctgggcggc gggcagtccc 661 tggggaatct gcggcgctca gggctgtgaa gatgctgtcg gatgagcata gactgggggt 721 ggggtagggg tcggcgaggg actgttctga tcagcagcca tgagggccgg acccaggctt 781 gcacgtcaac ggacggccct tcccgcagga gcgcgcctac atcccggagg ggcagcgcta 841 ctccatccag aacgcccagg ctgccttctg cttctcagag accatcccgg cccccacggg 901 caaagacgag gcccagcaga gatcggtgag cggcggggcg ggcggagggg cagggccccc 961 tctggaggcc gtgtgcccag tggtgggtct gtgggctggg ctggtgcctg cacacacccc 1021 ctgcccggcc tccccgcagg acatggagct gctccgcttc tcgctgctgc tcatccagtc 1081 ctggctgggg cccgtgcagt tcctcagcag ggccttcacc aacaccctgg tgtttggcac 1141 ctcggaccgc gtctacgaga agttgaagga cctggaggaa ggcatccaag ccctgatgcg 1201 ggtgagcctg gcgctgggcg gccccaccgc agggccactc ccacccgggc ccggagcccg 1261 cccccgtggg tgggggggat aaagtcctgt ctcctagcag ccaggccttg gctggggaga 1321 acgcatcctt ttcctcagtt tcccttttgc acctccctgg gctgtctcta agccccggag 1381 tgggggaggg aggaaaccgg acagaagggg aaaacagctt ccaaggcctc tctcctcctc 1441 ctcctcttcc tgcgctttgc aggagctgga agacggcagc ccccgggttg ggcagctcct 1501 caagcaaacc tacgacaagt ttgacacaaa cctgcgcggc gacgacgcac tgctcaagaa 1561 ctacgggctg ctgtcctgct tcaagaagga cctgcacaag gctgagacct acctgcgggt 1621 gatgaagtgt cgccgcttcg tggagagcag ctgcgtcttc taggggcacc cctccctgcc 1681 tcgccagcac ctccccctag cctggaaagt gctgccccgg ggcccactgg cctcgtccta 1741 ataaaattca gttgcatcag gttgtctcac taggtgtctt tctactatgg gacggaaggg 1801 ggcagtatgg ggcagaaggg cccgatgctg gggggattat gggaaaccag gcggctgaac 1861 ttaacttccc ccactcctcc agggctagaa gggaactggc ttgtcgttct tagtctcaca 1921 cactaagtcc acgcccccag gtcggggtcc cgccttgcaa gggagtcaca ggtcggcaag 1981 ggccaggtgg acccgatcaa gcccgcgaga ataagacaga accagaaagc aggattgagc 2041 gcagaagtga gttgagaaaa caaagtgcga aatcagcatt atagctttcg aacagacact 2101 tcagatgaga gcccctcgga ccgaaccact cgcgggaact gagaacagtg caaagacggc 2161 ttcccggaac ccgtgtgttt gggtctgacc tggagcaagg gagggagacg agagattcta 2221 aaggaggggc tgcacctacc gtgccaacag gtgtcggcac gagggccggt gtgcgggcct 2281 gaactgaagc tggctcccag ctgcttgcca cggatacagc tcggagctgg cggcaccagc 2341 cggggtgggc cgacctcctg attctccaag acggccagga catccaagct t

(37)

21

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2 Struktur gen GH kelinci. Kotak abu-abu mengindikasikan coding
Gambar 5 Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GH dengan
Gambar 6  Hasil analisis sekuensing dan keberadaan mutasi basa C menjadi T
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini memfokuskan kepada kata pinjaman Inggeris dalam bahasa Melayu.Perbincangan melibatkan aspek penerimaan dan sikap bahasa pelajar terhadap penyerapan kata pinjaman Inggeris

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi

Demi kemudahan penyimpanan dan penemuan kembali arsip pada saat diperlukan, maka pengelolaan arsip sejak tahap penciptaan harus menggunakan sistem yang tepat, sesuai

• Menganggap bahwa konflik memiliki kekuatan positif dalam suatu kelompok kerja dan mutlak diperlukan untuk mencapai kinerja yang. efektif.Ketiadaan konflik cenderung tidak

So I said, ‘Can I think about it?’ and he nodded but told me not to take too long, because he didn’t want to be wasting time when we could be having fun.. Now I’m wondering what

sebelumnya tidak memiliki pekerjaan pokok maupun sampingan, sesudah adanya Desa Wisata mendapatkan pekerjaan pokok maupun sampingan yang berkaitan dengan Desa

Apabila aplikasi identifikasi nantinya tidak dapat memberikan solusi dikarenakan tingkat permasalahannya tinggi dan memang harus ditangani oleh bagian EDP,

Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan II tahun 2017 (y on y) mengalami kenaikan sebesar 5.37 persen dibandingkan triwulan yang sama