• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri Sesuai Proper Klhk Peringkat Hijau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri Sesuai Proper Klhk Peringkat Hijau."

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

TEMMY WIKANINGRUM

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Pengelolaan

Lingkungan Kawasan Industri sesuai Proper KLHK Peringkat Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Temmy Wikaningrum

(4)

TEMMY WIKANINGRUM. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri sesuai Proper KLHK Peringkat Hijau. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT dan ERLIZA NOOR.

Sejalan dengan dengan pesatnya pertumbuhan sektor industri di Indonesia telah terbit Peraturan Pemerintah (PP) No 24 tahun 2009. PP tersebut antara lain mengatur keharusan perusahaan industri yang baru didirikan agar berlokasi di kawasan industri. Hal ini menyebabkan tingginya kebutuhan penyediaan lahan kawasan industri agar mengimbangi permintaan pasar, serta kebutuhan suatu sistem dalam kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri yang berkelanjutan. Mengingat kemajemukan tolok ukur pengelolaan lingkungan bagi suatu kawasan industri, dalam penelitian ini kriteria pengelolaan lingkungan berdasarkan kriteria Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penilaian PROPER (Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) peringkat hijau yang mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No : 03 tahun 2014. Peringkat hijau PROPER menunjukkan perusahaan telah melampaui ketaatan dalam pengelolaan lingkungan.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri sesuai dengan kriteria PROPER KLHK peringkat hijau. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan beberapa tahapan tujuan khusus yang terdiri dari : (a) menganalisis perkembangan kinerja keberlanjutan pengelolaan lingkungan KIJA selama tahun 2008 sampai tahun 2014 ditinjau dari dimensi ekonomi, teknologi, ekologi, sosial, dan kelembagaan dengan menggunakan atribut sesuai multi dimensi kriteria PROPER KLHK peringkat hijau. (b) menentukan faktor-faktor pengungkit pengelolaan lingkungan kawasan industri berdasarkan analisis multi dimensi kondisi tahun 2014 sebagai base line,

(c) mengindentifikasi faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan kawasan industri dengan analisis prospektif, (d) menyusun skenario kebijakan operasional yang implementatif pada pengelolaan lingkungan kawasan industri dengan kriteria PROPER KLHK peringkat hijau berdasarkan faktor-faktor penting dan berpengaruh pada keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Penelitian ini merupakan studi kasus di Kawasan Industri Jababeka (KIJA) Cikarang Bekasi. Untuk menetapkan status keberlanjutan pengelolaan KIJA eksisting serta untuk mendapatkan faktor-faktor pengungkit yang berperan dalam pengelolaan lingkungan kawasan industri, pengolahan data dilakukan dengan metoda Multidimensional Scaling (MDS) dengan bantuan software rapfish yang telah dimodifikasi. Hasil analisis MDS tersebut selanjutnya digunakan dalam analisis prospektif oleh dewan pakar yang mewakili dari berbagai pemangku kepentingan untuk menghasilkan faktor-faktor kunci . Selanjutnya faktor-faktor kunci tersebut digunakan sebagai dasar untuk membangun skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri secara kualitatif prospektif.

(5)

berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan KIJA didukung dengan telah diperolehnya sertifikasi ISO 9001: 2008 untuk mutu, ISO 14001:2004 untuk sistem manajemen lingkungan, OHSAS 18001: 2007 untuk kesehatan dan keselamatan kerja.

Dari analisis MDS dari data tahun 2014 dapat disimpulkan adanya 15 faktor- faktor pengungkit dalam pengelolaan kawasan industri yaitu : (a) ekologi

(1) implementasi 3R (reduce, reuses, recycle) Limbah B3 (bahan berbahaya dan

beracun), (2) implementasi penurunan pencemaran emisi udara, dan (3) implementasi penurunan konservasi air dan penurunan beban pencemaran air limbah; (b) ekonomi : (4) alokasi dana untuk implementasi penurunan konservasi air dan penurunan beban pencemaran air limbah, (5) implementasi program penurunan pencemaran emisi udara, (6) implementasi program 3R limbah B3, (7) implementasi pengembangan masyarakat, dan (8) implementasi sistem manajemen lingkungan; (c) sosial : (9) monitoring dan evaluasi program pengembangan masyarakat, serta (10) hubungan sosial internal dan eksternal; (d) teknologi : (11) program penurunan pencemaran udara, (12) program 3R limbah B3, dan (13) audit dan efisiensi energi; (e) kelembagaan : (14) benchmarking, dan (15) DRKPL (dokumen ringkasan kinerja pengeloaan lingkungan).

Berdasarkan analisis prospektif dengan metoda expert judgement pada

faktor-faktor pengungkit dari hasil analisis MDS diperoleh kesimpulan terdapat tujuh faktor-faktor penting dan berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan kawasan industri yaitu : (1) DRKPL, (2) implementasi program 3R limbah B3, (3) implementasi konservasi air dan penurunan beban pencemaran air, (4) alokasi dana konservasi air dan penurunan beban pencemaran air, (5) monitoring dan evaluasi program pengembangan masyarakat, (6) teknologi 3R limbah B3, dan (7)

benchmarking.

Berdasarkan faktor-faktor penting dan berpengaruh hasil dari analisis prospektif disusun skenario kebijakan pesimis, moderat dan optimis pada keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Skenario kebijakan moderat direkomendasikan sebagai skenario yang paling implementatif. Hal ini dengan pertimbangan prioritas peningkatan pada faktor-faktor penting yang berkontribusi besar pada nilai PROPER, ketersediaan alokasi dana, kemungkinan pencapaian, ketersediaan infrastruktur, serta kemampuan sumber daya manusia. Faktor-penting berpengaruh dominan yang ditingkatkan dalam skenario moderat adalah (1) DRKPL, (2) implementasi program 3R limbah B3, (3) implementasi konservasi air dan penurunan beban pencemaran air, (4) alokasi dana konservasi air dan penurunan beban pencemaran air, (5) monitoring dan evaluasi program pengembangan masyarakat.

(6)

TEMMY WIKANINGRUM. The Policy of Industrial Estate Environmental

Management Complying to the Green Rating of “PROPER KLHK” . Supervised by BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT and ERLIZA NOOR.

According to the high growth rate of industrial sector in Indonesia, the Government Regulation number 24 year 2009 had been issued that stated almost all of the new industrial developments should be located in industrial estate. It enhances the high industrial land demand and sustainable environmental policy. The complexity in the industrial estate environmental management was

approached by “green rating” of PROPER’s criteria regulated by Ministry of

Environment & Forestry (KLHK) number 03 year 2014. PROPER is the assessment program of company performance rating in environmental management. Green rating is classified by PROPER in terms of beyond compliance performance.

The main objective of the research is to develop the policy of industrial estate environmental management complying to green rating criteria of PROPER KLHK. The phases to obtain the objective are (a) to analyze the development status of environmental sustainability period 2008-2014 in economical, technological, ecological, social, and institutional points of view referring to green rating PROPER KLHK criteria, (b) to identify the leverage factors based on data year 2014 as a base line, (c) to identify the critical factors in industrial estate environmental management referring to the green rating PROPER KLHK criteria by prospective analysis approach, (c) to develop the prospective policy scenarios of industrial estate environmental management qualitatively.

The research has been conducted in Jababeka Industrial Estate (KIJA) in Cikarang Bekasi. Multidimensional Scaling method (MDS) with rapfish software has been applied to identify the sustainability of existing KIJA’s environmental management and its leverage factors. The leverage factors of MDS analysis year 2014 were applied in prospective analysis by expert judgement who represented of the related stakeholders. The key parameters of prospective analysis were applied to develop the policy scenarios of industrial estate environmental management.

The MDS analysis result showed that environmental management of KIJA did not sustainable complying to the green rating of PROPER KLHK in period 2008-2014. The MDS analysis had identified that only institutional aspect had achieved in sustainable performance, while the ecological, economical, social, and technological aspects were not in sustainable performance. The institutional sustainability has been supported by ISO 9001:2008 certification for quality control, ISO 14001:2001 certification for environmental management system, and OHSAS 18001:2007 for occupational health and safety.

(7)

(11) 3R hazardous waste, (12) air emission reduction, (13) audit and energy efficiency, and (e) : institutional : (14) benchmarking, (5) DRKPL (summary document of environmental management performance), organizational structure of company.

The key factors of prospective analysis result are : (1) DRKPL; (2) implementation of 3R hazardous waste; (3) implementation of water conservation and reduction of water pollution; (4) funding for water conservation and reduction of water pollution; (5) monitoring and evaluation of community development program; (6) technology of 3R hazardous waste; and (7) benchmarking.

Referring to the most influencing leverage factors provided by prospective analysis, the prospective policies were be developed in pessimistic, moderate and optimistic scenarios. The moderate scenario was recommended to be the most implementable policy. The recommendation was considered that the priority program will be applied in the factors which has more contribute to PROPER’s score, funding availability, achievable performance, and infrastructure and human resources availability. The most influencing leverage factors which recommended to be interfered are (1) DRKPL; (2) implementation of 3R hazardous waste; (3) implementation of water conservation and reduction of water pollution; (4) funding for water conservation and reduction of water pollution; (5) monitoring and evaluation of community development program.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

TEMMY WIKANINGRUM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Kerangka Pikir Penelitian 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan 8

Kawasan Industri 9

Sistem Manajemen Lingkungan 13

PROPER 15

Hasil-hasil Penelitian yang Relevan 18

3 METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian 24

Metode Pengumpulan Data 24

Metode Analisis Data 26

Tahapan Penelitian 31

Lokasi dan Waktu Penelitian 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Situasional Perusahaan KIJA 32

Analisis Keberlanjutan dan Faktor pengungkit dengan metoda MDS 57

Analisis Pengaruh Langsung Antar Faktor Pengelolaan Lingkungan 77

Formulasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri 81

Perbandingan Antar Skenario Kebijakan 86

Rekomendasi Skenario Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri 87

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 91

Saran 93

(12)

1 Data pertumbuhan investasi sektor industri nasional 9

tahun 2010 – 2013 2 Jenis-jenis industri yang termasuk sektor sekunder 11

3 Jenis dan sumber data 25

4 Kategori status keberlanjutan 27

5 Pedoman penilaian analisis prospektif 29

6 Matriks pengaruh langsung antar faktor 30

7 Standar air limbah kualitas KIJA dibandingkan 37

ketentuan pemerintah 8 Implementasi efisiensi energi 42

9 Data efisiensi energi di sistem filtrasi instalasi pengolahan air bersih-1 43

10 Data efisiensi energi di sistem filtrasi instalasi pengolahan air bersih-2 43

11 Implementasi efisiensi energi dibandingkan kawasan industri lain 44

12 Penurunan CO2 dengan penghijauan KIJA 45

13 Pengurangan dan pemanfaatan limbah padat non B3 49

14 Rencana strategis perlindungan keanekaragaman hayati 50

15 Data konservasi fauna tahun 2014 52

16 Data populasi pohon, taman dan rumput di KIJA 53

17 Kriteria PROPER KLHK peringkat hijau sesuai Peraturan 58

Menteri Lingkungan Hidup No 3 tahun 2014 18 Atribut- atribut dalam lima dimensi MDS sesuai kriteria PROPER 60

19 Standar penilaian proper dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 64

20 Nilai indeks hasil analisis MDS tahun 2008 65

sampai dengan tahun 2014 21 Rekapitulasi nilai R2 , Stress dan selisih nilai MDS 66

dengan Monte Carlo 22 Status keberlanjutan multi dimensi tahun 2008 – 2014 66

23 Ringkasan faktor pengungkit multi dimensi tahun 2008 – 2014 69

24 Faktor-faktor pengungkit pengelolaan lingkungan hasil analisis MDS 77

Tahun 2014 25 Nilai pengaruh dan ketergantungan setiap faktor 78

26 Nilai skor kekuatan global tertimbang untuk masing-masing faktor 80

27 Faktor-faktor penting hasil analisis prospektif 80

28 Kondisi (state) yang mungkin terjadi di waktu mendatang pada masing- 82 masing faktor kunci 29 Kombinasi kondisi (state) antar faktor yang tidak mungkin terjadi 83

pada saat bersamaan 30 Pemetaan keadaan faktor-faktor penentu pengelolaan lingkungan 84

kawasan industri sesuai kriteria PROPER KLHK peringkat hijau 31 Skenario pengelolaan lingkungan kawasan industri sesuai 85

(13)

1 Perbandingan pertumbuhan manufaktur industri (■) terhadap 1

pertumbuhan ekonomi GDP nasional (♦) 2 Kerangka pikir penelitian 6

3 Sebaran luas kawasan industri di Indonesia pada semester-2/2014 11

4 Model sistem manajemen lingkungan dalam Standar 13

Nasional Lingkungan (SNI 19-14001-2005) 5 Sistem manajemen lingkungan sesuai kriteria PROPER KLHK 14

6 Sejarah perkembangan PROPER KLHK 15

7 Diagram alir penilaian peringkat hijau dan emas PROPER KLHK 17

8 Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi keberlanjutan 27

(Suyitman 2010) 9 Diagram pengaruh dan ketergantungan Bourgeios dan Jesus (2004) 30

10 Lokasi kawasan industri Jababeka 32

11 Master Plan pengembangan KIJA 34

12 Diagram alir proses pengolahan air bersih 35

13 Komposisi jenis industri yang berlokasi di KIJA 36

14 Diagram alir pengolahan air limbah (IPAL) 38

15 Struktur organisasi sistem manajemen lingkungan 40

16 Implementasi efisiensi energi di instalasi pengolahan air bersih 42

(IPA) dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) 17 Perbandingan antara volume produksi (■) dan distribusi air bersih (□) 46

18 Profil kehilangan air bersih di pipa distribusi kawasan industri 47

dan kawasan perumahan 19 Penurunan kadar air dalam limbah B3, sebelum (■) dan 47

sesudah (□) diproses dengan belt filter press 20 Penurunan kadar air dalam limbah B3, sebelum (■) dan sesudah 48

(□) proses dengan sludge drying area di IPAL-1 dan IPAL-2 21 Diagram layang hasil analisis MDS tahun 2008 sampai dengan 2014 67

22 Faktor pengungkit dimensi ekologi tahun 2014 73

23 Faktor pengungkit dimensi ekonomi tahun 2014 74

24 Faktor pengungkit dimensi sosial tahun 2014 75

25 Faktor pengungkit dimensi teknologi tahun 2014 76

26 Faktor pengungkit dimensi kelembagaaan tahun 2014 76

27 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada pengelolaan 79

(14)

1 Data kualitas udara ambien KIJA tahun 2013 dan 2014 97

2 Data analisa air hasil instalasi pengolahan air limbah IPAL-1 101

tahun 2013 dan 2014

3 Data analisa air hasil instalasi pengolahan air limbah dari IPAL-2 102 tahun 2013 dan 2014

4 Data analisis kebisingan KIJA tahun 2013 dan 2014 103

5 Data analisis air tanah dan sumur masyarakat sekitar 107

tahun 2013 dan 2014

6 Data analisis air sungai di sekitar KIJA tahun 2014 111

7 Penjabaran nilai proper ke dalam nilai atribut MDS 115

8 Atribut, definisi, dan kriteria dimensi ekologi dalam analisis MDS 117

berdasarkan hasil pembahasan pakar

9 Atribut, definisi, dan kriteria dimensi ekonomi dalam analisis MDS 119

berdasarkan hasil pembahasan pakar

10 Atribut, definisi, dan kriteria dimensi sosial dalam analisis MDS 121 berdasarkan hasil pembahasan pakar

11 Atribut, definisi, dan kriteria dimensi teknologi dalam analisis MDS 123 berdasarkan hasil pembahasan pakar

12 Atribut, definisi, dan kriteria dimensi kelembagaan dalam 125

analisis MDS berdasarkan hasil pembahasan pakar

13 Hasil isian skor sesuai atribut MDS dari hasil FGD manajemen KIJA 127

14a Hasil analisis MDS tahun 2008 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 128 ekonomi dan kelembagaan

14b Hasil analisis MDS tahun 2009 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 133 ekonomi dan kelembagaan

14c Hasil analisis MDS tahun 2010 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 138 ekonomi dan kelembagaan

14d Hasil analisis MDS tahun 2011 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 143 ekonomi dan kelembagaan

14e Hasil analisis MDS tahun 2012 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 148 ekonomi dan kelembagaan

14f Hasil analisis MDS tahun 2013 dimensi ekologi, ekonomi, sosial , 153 ekonomi dan kelembagaan

14g Hasil analisis MDS tahun 2014 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, 158

ekonomi dan kelembagaan

15 Format kuesioner analisis prospektif 161

16 Rekapitulasi isian skor oleh enam orang pakar pada 162

(15)

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata sebesar 6.2 % dalam periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, sedangkan tahun 2015 diproyeksikan menurun

menjadi 4.9 % oleh Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank

(ADB). Perlambatan ekonomi makro nasional Indonesia disebabkan oleh kondisi eksternal dan internal. Faktor eksternal karena ekonomi global yang cenderung belum stabil. Sementara faktor internal dipengaruhi oleh tertundanya sejumlah proyek infrastruktur (sumber : http://ekbis.sindonews.com/read/1047104/33/adb-kembali-koreksi-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-1442907135, diunduh tanggal 2 Oktober 2015).

Sesuai laporan Standard Chartered, peningkatan ekonomi mendatang diharapkan lebih inklusif sebagai pertumbuhan per kapita (GDP), dan akan menjadi empat kali lipat pada tahun 2020. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan tumbuhnya kelas ekonomi menengah dan stabilitas pertumbuhan ekonominya. Indonesia termasuk dalam daftar Negara MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria dan Turki), yaitu sebagai negara-negara yang paling menarik bagi para investor dalam jangka panjang dengan kondisi demografinya, yaitu berlimpahnya tenaga kerja usia produktif. Perbandingan hutang per GDP (Gross Domestic Product) dari sebesar 83% pada tahun 2001, telah turun menjadi

26%-28 % pada tahun 2013–2014.

Sumber : BPS dalam HKI (2011)

Gambar 1 Perbandingan pertumbuhan manufaktur industri (■) terhadap

pertumbuhan ekonomi GDP nasional (♦) -15

-10 -5 0 5 10 15

P

e

r

tu

m

b

u

h

an

(%

)

(16)

Dengan turunnya jumlah hutang luar negeri, dan membaiknya perekonomian 2016, maka rasio hutang terhadap GDP dapat ditekan pada posisi antara 25%

sampai dengan 27% pada tahun 2015(sumber :

http://www.ibpa.co.id/News/ArsipBerita/tabid/126/ EntryId / 5578 / Rasio - Utang-terhadap-PDB-Diprediksi-Naik-di-Kuartal-III.aspx, diunduh tanggal 2 Oktober 2015). Dengan demikian Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang terendah nilai rasio hutang terhadap GDP setelah negara Singapura, yaitu negara tanpa hutang. Perbandingan pertumbuhan sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi GDP selama tahun 1994-2012 ditunjukkan dalam Gambar 1.

Menurut Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) yang disajikan dalam Gambar 1, perbandingan pertumbuhan terbagi menjadi dua kondisi (HKI 2011). Kondisi tersebut adalah dari tahun 1994 sampai tahun 2001 dengan pertumbuhan sektor indutri manufaktur selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi GDP, sedangkan tahun 2002 sampai dengan tahun 2011berlaku sebaliknya yaitu pertumbuhan sektor indutri manufaktur selalu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi GDP. Setelah krisis moneter tahun 1998, pertumbuhan industri pada tahun 1999 mengalami pertumbuhan lebih baik, yaitu sebesar 3.54 % dibandingkan GDP sebesar 0.79 %. Periodetahun 2002 sampai dengan tahun 2009 disebut sebagai masa de-industrialisasi, namun mulai kuartal kedua tahun 2011 pertumbuhan sektor industri sebesar 6.61 % kembali lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi GDP sebesar 6.49 %.

Sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan peningkatan pengelolaan lingkungan serta sektor-sektor penting yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu sektor yang penting adalah sektor industri. Sektor industri memberikan kontribusi sebesar 1.42% dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.78% pada tahun 2013 terhadap 2012 tanpa migas, sedangkan bila dengan migas 6.28% (sumber www.bps.go.id). Dengan demikian kajian mengenai keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidak dapat terlepas dari kajian atas pertumbuhan kegiatan industrinya. Sejalan dengan dengan pesatnya pertumbuhan sektor industri di Indonesia tersebut di atas, telah terbit Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2009. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur keharusan perusahaan industri yang baru didirikan agar berlokasi di kawasan industri. Hal ini berarti adanya kebutuhan penyediaan lahan kawasan industri yang cukup dan dapat mengimbangi permintaan pasar. Dengan demikian suatu sistem dalam kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri sangat dibutuhkan.

(17)

(2012) yang meneliti kawasan industri di Isfahan Iran menyatakan bahwa kualitas lingkungan kawasan perumahan dengan radius 2,500 m diperkirakan terkena dampak kawasan industri, sehingga seharusnya AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) agar dibuat dengan lebih antisipatif. Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan. Pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang seperti India (Muthukumaran dan Ambujam 2003)

Pengelolaan lingkungan di beberapa negara maju pada akhir-akhir menuju

konsep Eco Industrial Park (EIP). EIP merupakan sekumpulan industri penghasil

produk dan jasa yang berlokasi pada suatu tempat dimana para pelaku-pelaku didalamnya secara bersamaan mencoba meningkatkan kinerja lingkungan, ekonomi, dan sosialnya (Lowe 2001). Ciri utama dalam EIP adalah adanya kerjasama antar perusahaan industri dalam pertukaran hasil samping industri (industrial by product exchange). Beberapa model pengelolaan lingkungan kawasan industri juga dikembangkan antara lain di kawasan industri Burnside di Halifax Provinsi Nova Scotia di Canada (Cote et al. 1994), serta di Beijing China (UNEP 2001). Namun contoh yang paling fenomental adalah implementasinya di kawasan industri berat di Kalundborg, Covenhagen, Denmark (Ehrenfeld and Gertler 1997). Di Kalundborg terjadi simbiosis industri dalam satu kawasan yang di dalamya terjadi kemitraan antar industri untuk mengurangi biaya-biaya produksi, memenuhi bersama peraturan lingkungan, mengatur dan memanfaatkan limbah industri dan pengunaan kembali air serta energi terbuang, untuk tujuan efisiensi dalam kawasan industri.

Penelitian ini merupakan studi kasus pada PT Kawasan Industri Jababeka, Tbk. (KIJA)di Cikarang Bekasi. KIJA pada tahun 2001 sampai dengan 2003 ditunjuk oleh KLH sebagai pilot project dalam implementasi EIP di Indonesia dibawah bimbingan teknis dari GTZ Germany. Namun hasilnya kurang memuaskan karena masih rendahnya kepedualian antar industri untuk melakukan kemitraan pertukaran hasil samping produknya. Namun demikian menurut Mubin (2012), penerapan EIP di KIJA sangat berpotensi untuk diterapkan di masa mendatang. Dalam penelitian model simbiosis industri sebagai strategi peningkatan kinerja keberlanjutan kawasan industri Jababeka, Mubin (2012) menunjukkan hasil identifikasi dan pemetaan industri dengan kesimpulan bahwa

penggunaan sumber daya (bahan baku, energi, air, by poduct dan limbah) sangat

potensial untuk dilakukan simbiosis industri guna meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan (sustainable performance) di kawasan industri.

Selain konsep EIP, secara regional negara-negara di Asia yang tergabung dalam APO (the asian productivity organization) yang telah berdiri sejak 1961,

juga meluncurkan konsep green productivity yang bertujuan meningkatkan

produktivitas di negara-negara Asia dalam kerjasama yang saling menguntungkan

(18)

di negara-negara Asia mengalami kesulitan karena tanpa komitmen penuh dari pemerintah dan dukungan kondisi politik. Rendahnya law of enforcement dalam penaatan peraturan-peraturan lingkungan menjadi kendala yang serius. Khususnya untuk usaha kecil dan menengah memerlukan pembinaan yang lebih baik, peningkatan pengetahuan, serta dukungan finansial (APO 2000).

Perumusan Masalah

Pengelolaan lingkungan kawasan industri merupakan permasalahan yang relatif kompleks karena melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang bersifat komprehesif diperlukan agar dicapai pendekatan yang lebih mewakili (representative) terhadap kenyataan permasalahan yang sebenarnya (Kodrat 2006). Untuk itu pertama-tama diperlukan analisis atas kondisi pengelolaan lingkungan yang sedang berlangsung maupun perkembangannya pada beberapa tahun terkahir.

Mengingat kemajemukan tolok ukur pengelolaan lingkungan bagi suatu kawasan industri, dalam penelitian ini kriteria pengelolaan lingkungan kawasan industri berdasarkan kriteria Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan)peringkat hijau yang mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No : 03 tahun 2014 mengenai Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan perbedaan keadaan yang diinginkan sesuai kriteria peringkat hijau PROPER dengan kondisi situasional yang sebenarnya pada tahun 2014, selanjutnya disusun skenario sebagai pertimbangan strategis untuk pembuatan koreksi-koreksi atas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup agar sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Kerangka Pemikiran

Pengembangan kawasan industri termasuk berwawasan lingkungan apabila secara ekonomis dinyatakan efisien dan layak, secara ekologis dinyatakan lestari, dan secara sosial dinyatakan berkeadilan (WCED 1987). Untuk itu dalam pengelolaan lingkungan kawasan industri terdapat keragaman kebutuhan, baik dilihat dari sisi perusahaan kawasan industri sebagai pengelola, perusahaan industri yang berlokasi dalam kawasan sebagai investor sekaligus sebagai

“tenant” bagi pengelola kawasan industri, Pemerintah Daerah maupun Pusat sebagai regulator, serta masyarakat di desa-desa penyangga di sekitar kawasan industri. Berbagai pemangku kepentingan ini berpotensi timbulnya perbedaan kepentingan, bahkan konflik kepentingan, oleh karena keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.

(19)

kriteria PROPER tersebut sudah mencakup aspek yang lengkap antara lain terkait dengan kriteria aspek ekologi, ekonomi dan sosial sebagai tiga pilar dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Sedangkan lokasi yang dipilih adalah di Kawasan Industri Jababeka di Kabupaten Bekasi, yaitu merupakan kawasan industri yang terbanyak jumlah investor-nya yang berasal lebih dari dari 30 negara (www.hki-industrialestate.com, diunduh tanggal 2 Oktober 2015).

Menurut Dewi (2009), di Kabupaten Bekasi, elasitisitas output modal lebih besar daripada elastisitas output tenaga kerja sehingga sektor industri di Kabupaten Bekasi dapat dikatakan industri yang lebih sensitifterhadap padat modal. Variabel tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap output sektor industri disebabkan oleh produktivitasnya yang rendah sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produktivitas tersebut. Selanjutnya Dewi (2009) menyarankan agar pemerintah dan industri di Kabupaten Bekasi meningkatkan investasinya dengan cara penyediaan sarana penunjang seperti investasi, insentif pemerintah, eliminasi hambatan struktural misalnya penyederhanaan rantai birokrasi dalam memberikan perizinan investasi, serta pelatihan tenaga kerja.

Dalam penelitian tentang pengelolaan lingkungan kawasan industri ini diawali dengan kajian kinerja pengelolaan Kawasan Industri Jababeka selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2014. Pengelolaan Kawasan Industri Jababeka dengan nama perusahaan pengembang / holding company PT Kawasan Industri

Jababeka, Tbk (KIJA), dilaksanakan oleh anak perusahaannya yaitu PT Jababeka

Infrastruktur (JI) sejak tahun 1997. JI secara mandatory telah mengikuti program PROPER KLHK sejak tahun 2005, dan tercatat termasuk dalam peringkat biru, sedangkan pada tahun 2009 dan 2011 mendapat peringkat hijau.

Menurut KLH (2012), peringkat biru PROPER diberikan kepada penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peringkat hijau PROPER diberikan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance), melalui pelaksanaan sistem manajemen lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dengan baik.

Berhubung kinerja pengelolaan lingkungan KIJA telah menunjukkan sedikitnya peringkat biru dalam sepuluh tahun terakhir, maka sebagai gambaran kinerja saat ini direpresentasikan dalam analisa status pengelolaan kualitas lingkungan dengan kriteria sesuai dengan PROPER peringkat hijau. Kriteria tersebut meliputi multi dimensi, yaitu sistem manajemen lingkungan, efisiensi energi, penurunan emisi udara, implementasi prinsip 3R (reduce, reuse, and recycle) limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), implementasi prinsip 3R limbah padat non B3, konservasi air dan penurunan beban pencemaran air,

perlindungan keanekaragaman hayati (kehati), program pengembangan

(20)

Dari hasil analisis multi dimensi dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 diketahui perkembangan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan kawasan industri KIJA. Faktor-faktor pengungkit pengelolaan lingkungan kawasan industri ditentukan berdasarkan hasil analisis MDS kondisi tahun 2014 sebagai base line. Status keberlanjutan dan faktor-faktor pengungkit dari analisis tahun 2014 menjadi pertimbangan skenario prospektif dalam kebijakan di masa mendatang dengan melibatkan para pakar. Secara skematis kerangka pikir penelitian tercantum dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pikir penelitian

PP No 24 tahun 2009

(Kawasan Industri) PerMenperin No 35/2010 : Pedoman Teknis Kawasan

Industri

Kriteria beyond compliance

1. Dokumen ringkasan pengelolaan lingkungan 2. Sistem manajemen lingkungan

3. Pemanfaatan sumber daya a. Efisiensi energi

kriteria PROPER hijau b. Penurunan emisi dan gas rumah kaca PerMen LH No : 03 / 2014 c. Efisiensi air

d. Penurunan dan pemanfaatan limbah B3 e. 3R sampah / limbah non B3

f. Keanekaragaman hayati 4. Pengembangan masyarakat

Multidimensional Scaling (MDS) (Rapid Appraisal) Forum group discussion

Faktor-faktor pengungkit

Identifikasi faktor-faktor penting Analisis prospektif (expert judgement) Expert judgement

Penentuan atribut, definisi, dan kriteria skor multi dimensi berdasarkan kriteria PROPER KLHK peringkat hijau

Pengelolaan kawasan industri berwawasan lingkungan

Pengelolaan lingkungan kawasan industri

Status kualitas lingkungan kawasan berdasarkan PROPER KLHK peringkat

hijau

Skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri

(21)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri sesuai dengan kriteria PROPER KLHK peringkat hijau. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan beberapa tahapan tujuan khusus yang terdiri dari :

1. Menganalisis perkembangan kinerja keberlanjutan pengelolaan lingkungan

KIJA selama tahun 2008 sampai tahun 2014 ditinjau dari dimensi ekonomi, teknologi, ekologi, sosial, dan kelembagaan dengan menggunakan atribut sesuai multi dimensi kriteria PROPER KLHK peringkat hijau.

2. Menentukan faktor-faktor pengungkit pengelolaan lingkungan kawasan

industri berdasarkan analisis multi dimensi kondisi tahun 2014 sebagai base line.

3. Mengindentifikasi faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam pengelolaan

lingkungan kawasan industri dengan analisis prospektif.

4. Menyusun skenario kebijakan operasional yang implementatif pada

pengelolaan lingkungan kawasan industri dengan kriteria PROPER KLHK peringkat hijau berdasarkan faktor-faktor penting dan berpengaruh pada keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pengelola kawasan industri secara umum dan

khususnya KIJA, sebagai alternatif skenario kebijakan pengelolaan lingkungan di masa mendatang.

2. Sebagai masukan bagi instansi-instansi pemerintah daerah terkait dalam

merumuskan pengelolaan lingkungan kawasan industri.

3. Masukan bagi KLHK dan tim penilai PROPER dalam penilaian pengelolaan

lingkungan kawasan industri.

4. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat dalam rangka kerangka berpikir secara pendekatan sistem, khususnya mengenai kebijakan pengelolaan lingkung kawasan industri.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan mencakup :

1. Kawasan industri yang diteliti adalah kawasan industri Jababeka (KIJA) Cikarang di Kabupaten Bekasi.

2. Batasan daerah penelitian adalah kawasan industri yang berbatasan dengan 16

desa dalam wilayah lima kecamatan di Kabupaten Bekasi yaitu Kecamatan Cikarang Utara, Cikarang Timur, Cikarang Barat, Cikarang Selatan, dan Cikarang Pusat.

(22)

4. Data yang dikaji sebagai dasar pembuatan skenario kebijakan adalah data KIJA pada penilaian PROPER KLHK tahun 2008 sampai dengan tahun 2014.

5. Kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan industri yang dibangun adalah

skenario deskriptif kualitatif berdasarkan analisis prospektif data tahun 2014.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan sebagai sebuah gagasan, prinsip dan konsep berkaitan dengan bagaimana hal ini kemudian di implementasikan dalam kehidupan manusia. Terutama pada keterkaitan antara aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi (Munasinghe 1993). Adanya aspek ekologi sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap fungsi lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan. Keterkaitan implementasi pembangunan berkelanjutan di bidang pemerintah dan perusahaan menunjukkan bahwa berarti sebuah investasi bisnis harus sejalan dengan standar-standar yang berlaku secara nasional dan internasional.

Prinsip pembangunan berkelanjutan muncul pertama kalinya dengan

terbentuknya WCED (World Commission on Environment and Development) atau

Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan pada tahun 1984, yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan memberi saran padaproses pembangunan berkelanjutan,

yang laporannya terangkum dalam buku“Our Common Future” (WCED 1987).

Komisi ini terdiri dari sembilan orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup.Selanjutnya pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB

melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations

Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang mendasari dari seluruh sendi kegiatan manusia mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional, dan peraturan perundang-undangan, dalam berbagai aspek baik di bidang ekonomi, sosial maupun lingkungan.

(23)

Setiawan dan Rahmi dalam Hayati (2012) merumuskan tujuan kebijakan pembangunan dan lingkungan adalah (1) memikirkan kembali makna pembangunan; (2) mengubah kualitas pertumbuhan; (3) memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, (4) menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan penduduk tertentu; (5) mengkonversi dan meningkatkan sumber daya; (6) mengubah arah teknologi dan mengelola resiko; (7) mendahulukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian prinsip dan arah pembagunan berkelanjutan adalah keterpaduan keputusan lingkungan dan ekonomi, pemaduan, pembagian tanggung jawab, pelestarian, daur ulang, rehabilitasi dan reklamasi, inovasi dan teknologi, serta tanggung jawab global. Adapun ciri-ciri pembangunan berkelanjutan adalah menjamin pemerataan keadilan, meghargai keanekaragaman hayati, pendekatan integratif, serta menggunakan pandangan jangka panjang.

Kawasan Industri

Sesuai data BKPM (sumber : www.bkpm.go.id, diunduh 5 Juli 2015), perkembangan investasi di bidang manufaktur di Indonesia ditandai dengan kecenderungan makin tingginya investasi di sektor industri, baik investasi dari dalam negeri (penanaman modal dalam negeri, PMDN) maupun investasi asing (penanaman modal asing, PMA), yaitu meningkat sebesar 211 % dari tahun 2013 terhadap tahun 2010 yang ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1 Data pertumbuhan investasi sektor industri nasional tahun 2010 sampai dengan tahun 2013

Sumber : www.bkpm.go.id

Dalam penelitian ini dibatasi untuk membuat kajian dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan industri di kawasan industri. Pada umumnya jenis industri yang berlokasi dalam kawasan industri adalah jenis industri sekunder.

2010 2011 2012 2013

PMA & PMDN 76,841 95,475 116,747 156,768

PMA 16,215 19,475 24,565 28,618

PMDN 60,626 76,001 92,182 128,151

% - kenaikan 25% 21% 39%

PMA 3,337 6,790 11,770 15,859

PMDN 25,613 38,534 49,889 51,171

Total 28,950 45,323 61,659 67,030

% - kenaikan 57% 36% 9%

% - sekunder terhadap total 38% 48% 53% 43%

Total investasi sektor industri (US$ juta)

(24)

Menurut BKPM, jenis industri sekunder adalah sesuai dengan daftar sesuai Tabel 2. Jenis industri sekunder umumnya tergolong industri ringan sampai dengan menengah dengan jenis industri antara lain makanan dan minuman, tekstil, industri kulit, industri kayu, industri kertas dan percetakan, industri kimia dan farmasi, karet dan plastik, serta mineral dan logam. Sedangkan industri sektor primer seperti industri tanaman pangan dan perkebunan, peternakan, kehutanan, dan pertambangan, serta industri sektor tersier seperti industri listrik, konstruksi, hotel, properti tidak masuk dalam jenis industri yang umumnya berlokasi dalam kawasan industri.

Menurut Sagala (2003) pengembangan kawasan industri (industrial estate) di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, merangsang tumbuhnya iklim industri, terutama bagi daerah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang seperti Cilacap, Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi sarana bagi pengaturan ruang, terutama untuk menghindari timbulnya kasus-kasus polusi lingkungan yang dapat berakibat terhadap tuntutan biaya sosial yang tinggi khususnya di daerah-daerah yang iklim industri dan investasinya tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, Rungkut di Surabaya dan KIM (kawasan industri Medan) di Medan. Namun hal ini berubah sejak diterbitkannya Keputusan Presiden No. 53 tahun 1989, yaitu berupa

kebijakan pengembangan kawasan industri yang pada prinsipnya

memperbolehkan pihak swasta nasional maupun swasta asing menjadi perusahaan pengembang dan sekaligus menjadi pengelola kawasan industri. Sejak diterbitkannya Keputusan Presiden tersebut terjadi lonjakan jumlah perusahaan kawasan industri, termasuk PT Kawasan Industri Jababeka di Cikarang Kabupaten Bekasi yang berdiri pada tahun 1989 .

Menurut Napitupulu (2009), dilihat dari segi produktivitasnya, tenaga kerja industri pada subsektor padat modal lebih tinggi daripada subsektor padat karya. Contohnya, produktivitas tenaga kerja pada subsektor logam dasar dan subsektor barang dari logam, yang merupakan industri padat modal, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan subsektor lainnya.Produktivitas rata-rata tenaga kerja pada subsektor logam dasar adalah sebesar 139,4 juta rupiah per orang per tahun, sedangkan pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi yang merupakan industri padat karya rata-rata hanya 18,5 juta rupiah per orang per tahun. Namun demikian, subsektor industri padat karya memiliki kemampuan sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja dibandingkan dengan subsektor padat modal yang banyak mengganti tenaga manusia dengan mesin-mesin pabrik.

Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri sebagai pengganti Peraturan pemerintah No 41 tahun 1996, merupakan ketentuan pemerintah dalam pembangunan industri dengan tujuan mengendalikan pemanfaatan ruang, meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, mempercepat pertumbuhan industri di daerah, meningkatkan daya saing industri, meningkatkan daya saing investasi, dan memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait.

(25)

a. Perusahaan industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.

b. Industri mikro, kecil, dan menengah.

c. Perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.

Tabel 2 Jenis-jenis industri yang termasuk sektor sekunderb

Sumber : www.bkpm.go.id

Dengan demikian kebijakan sistem pengelolaan lingkungan di kawasan industri menjadi hal yang penting untuk dilakukan kajian. Sesuai dengan data dari himpunan kawasan industri pada http://www.hki-industrialestate.com/data-of-location/ akses tanggal 12 Juli 2015, sampai dengan akhir tahun 2014 terdapat 233 perusahaan pengembang kawasan industri yang mengembangkan total lahan industri sebesar 81,700 ha di seluruh Indonesia. Sebaran luasan kawasan industri nasional sesuai dengan Gambar 3 yaitu seluas 29,856 ha atau sekitar 36 % berlokasi di Jawa Barat.

Sumatera 7%

Kepulauan Riau dan Bintan

23%

Ambon, Papua, Kalimantan dan

Sulawesi 6% Banten

13% Jawa Barat

36% DKI Jakarta

1% Jawa Tengah

5%

Jawa Timur 9%

Sumber : http://www.hki-industrialestate.com/data-of-location/

Gambar 3 Sebaran luas kawasan industri di Indonesia pada semester 2/2014

No Jenis Industri yang termasuk sektor industri sekunder

1 Industri makanan / Food industry

2 Industri tekstil / Textile industry

3 Industri barang dari kulit dan alas kaki / Leather goods and footwear industry

4 Industri kayu / Wood industry

5 Industri kertas dan percetakan/ Paper and printingi Industry

6 Industri kimia dan farmasi / Chemical and pharmaceutical industry

7 Industri karet dan plastik / Rubber and plastic industry

8 Industri mineral non logam / Non metallic mineral industry

9 Industri logam, mesin dan elektronik / Metal, machinery and electronic industry

(26)

Pada saat ini ini Peraturan tentang kawasan industri yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2009 tanggal 9 Maret 2009. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, definisi kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Perusahaan kawasan industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Dengan demikian perusahaan pengembang kawasan industri sekaligus sebagai perusahaan pengelola kawasan industri selama kegiatan industri yang berada dalam kawasan industri tersebut berlangsung. Perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan kawasan industri, meskipun penunjukkan pengelolaan kawasan industri kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi tanggung jawab perusahaan kawasani yang bersangkutan.

Sebagai pengelola kawasan industri, terutama di bidang lingkungan hidup, perusahaan kawasan industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri. Dalam Tata Tertib Kawasan Industri tersebut, paling sedikit memuat informasi mengenai :

a. Hak dan kewajiban masing-masing pihak antara perusahaan kawasan industri

dan perusahaan industri yang berlokasi dalam kawasan industri.

b. Ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL dan RPL)

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.

d. Ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola kawasan industri.

Bagi perusahaan industri yang berlokasi di dalam kawasan industri :

a. Wajib memiliki Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya

Pemantauan Lingkungan (UKL dan UPL).

b. Bagi perusahaan industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan mendapat pengesahan.

Menyusul Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2009, pada tanggal 12 Maret tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Perindustrian No : 35/M-IND/PER/3/2010 mengenai Standar Teknis Kawasan Industri dengan lingkup ruang lingkup pedoman teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 mencakup :

a. Aspek perencanaan, meliputi kelayakan lingkungan, kelayakan lokasi dan

penyusunan masterplan.

b. Aspek pembangunan, meliputi pembebasan lahan, penyusunan Detail Engineering Design (DED) dan pembangunan fisik.

c. Aspek pengelolaan, mencakup kelembagaan dan peran / kewajiban pengelola kawasan industri dalam melaksanakan kegiatan usaha kawasan industri.

(27)

Dokumen Tata Tertib Kawasan Industri merupakan suatu dokumen kesepakatan yang mengatur hubungan kerja antara pihak pengelola dengan pihak industri, serta mengatur prosedur kerja yang berlaku di lingkungan kawasan industri yang bersangkutan. Dokumen tata tertib ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kontrak dan bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.

Sistem Manajemen Lingkungan

Pemerintah Indonesia menetapkan Standar Nasional Indonesia yaitu SNI

19-14001-2005 tentang “Sistem manajemen lingkungan-Persyaratan dan panduan

penggunaan”. Maksud utama standar ini adalah untuk mendukung perlindungan

lingkungan dan pencegahan pencemaran yang seimbang dengan keperluan sosial ekonomi.

Standar nasional tersebut disusun untuk dapat dapat diterapkan pada semua jenis dan ukuran organisasi dan juga dengan kondisi geografis, budaya dan sosial yang beragam. Landasan pendekatan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4, yaitu prinsipnya perbaikan secara berkesinambungan.

Gambar 4 Model sistem manajemen lingkungan dalam Standar Nasional Lingkungan (SNI 19-14001-2005)

Keberhasilan sistem tersebut tergantung pada komitmen semua tingkatan dan fungsi, terutama manajemen puncak. Manajemen puncak harus menetapkan kebijakan lingkungan organisasi dan memastikan bahwa kebijakan dalam lingkup sistem manajemen:

a. Sesuai dengan sifat, ukuran dan dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan

jasanya.

b. Mencakup komitmen pada perbaikan berkelanjutan dan pencegahan

(28)

c. Mencakup komitmen untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan persyaratan lain yang diikuti organisasi, yang terkait dengan aspek lingkungannya.

d. Menyediakan kerangka untuk menentukan dan mengkaji tujuan dan sasaran

lingkungan.

e. Didokumentasikan, diterapkan, dan dipelihara.

f. Dikomunikasikan kepada semua orang yang bekerja pada atau atas nama

organisasi.

g. Tersedia untuk masyarakat.

SNI tersebut merupakan terjemahan dari ISO 14001:2004 mengenai

Environmental Management Systems edisi kedua. Dengan demikian standar ini mengadopsi secara keseluruhan dari standar internasional tersebut (tingkat keselarasan ini adalah adopsi identik). Ruang lingkup standar nasional yang mencakup manajemen lingkungan ini dimaksudkan untuk menyediakan unsur-unsur suatu sistem manajemen lingkungan yang efektif yang dapat diintegrasikan dengan persyaratan manajemen lainnya dan membantu organisasi mencapai tujuan lingkungan dan ekonominya.

Menurut ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sistem Manajemen Lingkungan (SML) menjadi salah satu kriteria dalam penilaian PROPER. Prinsip penilaiannya sesuai dengann yang tercantum dalam Gambar 5 berdasarkan Keputusan Menteri LH Nomor 519 Tahun 2009. Sesuai kriteria dari KLHK tersebut, pada prinsipnya SML meliputi tiga aspek utama, yaitu sistem, sertifikasi oleh pihak ketiga, dan dokumen. Sistem mencakup unsur komitmen manajemen puncak, struktur organisasi, personel, dan sistem dokumentasi operasional.

Sumber : www.menlh.go.id/proper/, diunduh tanggal 11 Juli 2015

(29)

PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan Perusahaan)

PROPER singkatan dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan merupakan program yang digulirkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagai instrument alternatif penataan berdasarkan (a) rendahnya kinerja penaatan perusahaan, (b) kebutuhan transparansi dalam pengelolaan lingkungan, (c) keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, (d) nilai tambah bagi perusahaan dalam pengelolaan lingkungan.

PROPER merupakan instrumen penaatan alternatif yang dikembangkan untuk bersinergi dengan instrumen penaatan lainnya, guna mendorong penaatan

perusahan melalui penyebaran informasi kinerja kepada masyarakat (public

disclosure).

Sejarah perkembangan PROPER tidak dapat terlepas dari program Prokasih yang menjadi program unggulan sejak tahun 1990 hingga tahun 1995. Sejak tahun 2002 menjadi program PROPER sebagai perbaikan dan penyempurnaannya. Skematis sejarah PROPER dapat dilihat pada Gambar 6. Sejarah penilaian PROPER dimulai sejak tahun 2002 berdasarkan kriteria yang berbeda-beda yang makin lama makin ketat dan rinci. Penilaian berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan urutan sebagai berikut berlaku berdasarkan tahun terbit, yaitu :

a. No 07 tahun 127 tahun 2002, selanjutnya diganti dengan

b. No 250 tahun 2004, selanjutnya diganti dengan

c. No 07 tahun 2008, selanjutnya diganti dengan

d. No 519 tahun 2009, selanjutnya diganti dengan

e. No 18 tahun 2010, selanjutnya diganti dengan

f. No 05 tahun 2011, selanjutnya diganti dengan

g. No 06 tahun 2013, selanjutnya diganti dengan

h. No 03 tahun 2014 yang berlaku sampai dengan penelitian ini dilaksanakan

Sumber : www.menlh.go.id/proper/, diunduh tanggal 11 Juli 2015

(30)

Sejak berlakunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 05 tahun 2011, mulai didefinisikan secara rinci kriteria penilaian, serta mekanisme penilaian secara desentralisasi mengingat makin banyaknya perusahaan yang diharuskan untuk mengikuti program PROPER.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 3 tahun 2014, PROPER adalah evaluasi kegiatan dan kinerja melebihi ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan hidup, serta pengeloaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Pelaksanaan PROPER dilakukan terhadap usaha dan /atau kegiatan wajib AMDAL atau UKL dan UPL (upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan), yang :

a. Hasil produknya tujuan eksport.

b. Terdapat dalam pasar bursa.

c. Menjadi perhatian masyarakat dalam lingkup regional maupun nasional.

d. Skala kegiatan signifikan untuk menimbulkan dampak terhadap

lingkungan hidup.

PROPER tidak boleh diikuti oleh usaha dan/kegiatan yang sedang melaksanakan audit lingkungan yang wajib dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan, dan / atau dalam proses penegakan hukum. PROPER dilaksanakan melalui mekanisme pembinaan dan pengawasan lingkungan hidup terhadap kinerja penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan, yaitu aspek :

a. Ketaatan pelaksanaan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan

di bidang :

- Pengendalian pencemaran lingkungan hidup

- Pengendalian kerusakan lingkungan hidup

- Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun

b. Kinerja usaha dan/atau kegiatan yang melebihi ketaatan dari yang

dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan adalah ketaatan setelah dilakukan evaluasi pada aspek-aspek sebagai berikut :

a. Pemenuhan ketentuan dalam izin lingkungan

b. Pengendalian pencemaran air

c. Pengendalian pencemaran udara

d. Pengelolaan limbhan berbahaya dan beracun

e. Pengendalian kerusakan lingkungan hidup, khusus untuk kegiatan

pertambangan.

Pelaporan ketaatan lingkungan wajib disusun sebagai Dokumen Ringkasan Kinerja Pengelolaan Lingkungan (DRKPL) dengan mengikuti format tertentu mengikuti ketentuan pada Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 3 tahun 2014. Selanjutnya status ketaatan akan menjadi dasar pemeringkatan. Adapun peringkat ketaatan terdiri dari :

a. Biru untuk penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang telah dilakukan

upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dapam peraturan perundang-undangan.

b. Merah untuk penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang upaya

(31)

c. Hitam untuk penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memperoleh peringkat biru, yang berarti hasil evaluasi pengelolaan lingkungan hidup telah memenuhi seluruh kewajiban, dengan syarat :

a. Tidak ada temuan yang signifikan pada saat dilakukan pengawasan.

[image:31.595.118.514.167.742.2]

b. Konflik dengan masyarakat pada saat dan setelah dilakukan pengawasan.

Gambar 7 Diagram alir penilaian peringkat hijau dan emas PROPER KLHK Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 03/2014

Peringkat sementara

Ya

Calon kandidat Penilaian hijau DRKPL

ya

Tidak

Tidak

Konsisten Tidak

2 tahun Tidak

hijau

Memenuhi

Ya kriteria Ya

emas

Bukan calon kandidat hijau

Dokumen hijau

DRKPL > nilai rata2

Calon kandidat

emas

Penilaian dokumen

hijau

EMAS Kandidat emas

HIJAU BIRU

Kandidat hijau Nilai < 25 %

Nilai > 25% 1)Ke taatan 100% pe raturan 2)Housekeeping, 3)Tidak ada te muan major

(32)

Selanjutnya dapat dilakukan penilaian melebihi ketaatan (beyond compliance) dengan menyerahkan ke KLHK dokumen :

a. DRKPL (Dokumen Ringkasan Kinerja Pengelolaan Lingkungan)

b. Evaluasi kinerja yang melebihi ketaatan dilakukan terhadap kegiatan :

a) Penerapan sistem manajemen lingkungan.

b) Pencapaian di bidang efisiensi energi.

c) Pengurangan dan pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

d) Penerapan prinsip pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang

limbah padat non B3.

e) Pengurangan pencemar udara dan emisi gas rumah kaca.

f) Pencapaian di bidang efisiensi air dan penurunan beban pencemaran air.

g) Perlindungan keanekaragaman hayati.

h) Pemberdayaan masyarakat.

Dari hasil evaluasi dan penilaian melebihi ketaatan, dihasilkan peringkat sebagai berikut :

a. Hijau untuk penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang telah melakukan

pengelolaan lingkungan hidup melebihi ketaatan melalui pelaksanaan sistem manajemen lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara efisien dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dengan baik.

b. Kandidat emas untuk penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan hidup dalam proses produksi dan/atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Usaha dan/atau kegiatan dapat ditetapkan sebagai kandidat peringkat emas apabila :

a) Telah memperoleh peringkat hijau dua tahun berturut-turut, dan

b) Dipilih sebagai kandidat peringkat emas pada penilaian tahun berjalan.

Tata cara penilaian kinerja yang melebihi ketaatan sesuai dengan Gambar 7 berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 03/2014.

Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Kebijakan dan model pengelolaan kawasan, baik kawasan pesisir maupun kawasan industri telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya, baik secara nasional maupun internasonal. Adapun beberapa penelitian yang menjadi referensi antara lain yang diuraikan di bawah ini.

Ehrenfeld dan Gertker (1997), dalam penelitian penerapan ekologi industri di Kalundborg Denmark, menyimpulkan bahwa pertukaran limbah, produk samping dan energi diantara perusahan-perusahaan industri yang berlokasi terdekat merupakan ciri utama dalam penerapan prinsip ekologi industri, sehinggan kawasan industri di Kalundborg Denmark sering diberi label ekosistem industri atau simbiosis industri karena terdapat banyak hubungan pertukaran limbah, produk samping maupun energi diantara perusahaan-perusahaan industri. Pendorong utama keberhasilan simbiosis ini adalah layak secara ekonomi.

Hasmanto (2001), dengan judul penelitian evaluasi keterkaitan

(33)

lingkungan (studi kasus Kawasan Berikat Nusantara Cakung dan Marunda, Jakarta). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor yang terkait dengan perkembangan industri di dalam kawasan berikat nusantara meliputi: a. Faktor industri yang dinyatakan sebagai variabel jumlah industri, karena

akan mempengaruhi variabel laju perkembangan polusi industri dan variabel ketersediaan kesempatan bekerja.

b. Faktor kependudukan, variabel jumlah penduduk mempengaruhi variabel laju

perkembangan polusi domestik dan variabel permintaan akan kebutuhan perumahan.

c. Faktor pencemaran, variabel tingkat polusi akan mempengaruhi variabel tingkat kesehatan lingkungan.

Selain itu tingkat pencemaran merupakan variabel kunci pada keterkaitan pengembangan industri terhadap masalah kependudukan dan pencemaran lingkungan. Laju pencemaran industri di sekitar Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda mempunyai kecenderungan meningkat lebih besar dibandingkan dengan sekitar Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Dengan demikian tingkat pencemaran industri di Kawasan Berikat Nusantara Marunda telah melebihi baku mutu pada tahun 2008. Sumbangan tingkat pencemaran industri lebih didominasi oleh tingkat pencemaran limbah cair seperti BOD dan COD. Pencemaran domestik pada awalnya lebih didominasi oleh Kawasan Berikat Nusantara Cakung, namun dari tahun ke tahun akan beralih ke sekitar Kawasan Berikat Nusantara Marunda seiring dengan laju perkembangan penduduk. Untuk itu strategi untuk menurunkan tingkat pencemaran perlu lebih mempertegas pelaksanaan pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) bagi investor yang melakukan pembangunan industri dan mengantisipasi peningkatan pencemaran domestik diperlukan pengendalian arus migrasi masuk ke sekitar Kawasan Berikat Nusantara.

Menurut Muthukumaran dan Ambujam (2003), pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan. Pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang seperti India.

Menurutt Kodrat (2006), dalam penelitian berjudul analisis sistem pengembangan kawasan industri terpadu berwawasan lingkungan (studi kasus pada PT Kawasan Industri Medan) dengan cakupan aspek penelitian dengan mempersekutukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Dan hasil uji statistik chi square diperoleh bahwa kelompok masyarakat yang bekerja di dalam PT. Kawasan Industri Medan (KIM) mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kelompok masyarakat yang bekerja di luar PT. Kawasan Industri Medan terhadap tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan faktor usia. Berdasarkan hasil analisis kualitas limbah cair, terdapat lima parameter yang masih berada diatas nilai baku mutu sesuai KepMenLH No.51/1997, yaitu: BOD, COD, TSS, klorida, dan NH3.Perilaku model pengembangan kawasan industri terpadu

berwawasan lingkungan diperoleh berbentuk kurva S (pola pertumbuhan sigmoid)

(34)

yaitu: jumlah industri, permintaan lahan, kebijakan pemerintah, modal pengembangan, dan iklim investasi yang kondusif. Pengembangan kawasan industri terpadu berwawasan lingkungan dapat dilakukan dengan strategi moderat dengan kebijakan yang mencakup jumlah industri bertambah secara bertahap dengan meningkatnya permintaan lahan serta kebijakan pemerintah yang memfasilitasi peningkatan modal pengembangan dan didukung oleh iklim investasi kondusif.

Menurut Salmi dan Toppinen (2007) yang meneliti tentang ekologi industri sebagai model sumber daya alam ditinjau dari politik yang dilakukan di Kola Peninsula, Russia. Hasilnya adalah bahwa kerangka umum instrumen kebijakan, seperti efisiensi, ekonomi, dan lingkungan harus selaras dengan persepsi kondisi lokal. Namun pada akhirnya proses politik dalam membuat kerangka juga terbentuk oleh model ilmu pengetahuan dan teknologi yang diaplikasikan.

Menurut Ehrenfeld (2007), ekologi industri, yang berlangsung dalam 15 tahun terakhir, merupakan kekuatan metafora dari ekosistem alam. Evolusinya sejalan dengan timbulnya kepedulian tentang tidak keberlanjutan yang mengancam kehidupan manusia secara global. Ekosistem klasik tidak mengindahkan aspek sosial budaya. Namun dengan perkembangan model saat ini, sistem dalam ekosistem disusun berdasarkan teori yang lebih kompleks, yaitu yang dapat memperluas lingkupnya untuk mengakomodasi aspek yang mempengaruhi keberlanjutan dengan lebih lengkap. Model yang kompleks dari sistem hidup dapat juga menjadi alternatif model normatif untuk keberlanjutan, dibandingkan output dari model ekonomi mekanistis untuk bidang-bidang yang berkaitan dengan masyarakat.

Suwandi (2007) melakukan penelitian mengenai analisis pengembangan kawasan pelabuhan perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di masing-masing kawasan sejauh ini masih perlu dikoordinasikan secara terpadu, baik secara horizontal (yang menyangkut masyarakat sekitarnya) maupun vertikal (yang menyangkut pemerintah dan instansi lainnya), dengan tetap mewadahi aspirasi masyarakat lokal untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Perlu keterpaduan win-win solution

program antara kedua kawasan pelabuhan tersebut dengan saling mendukung tanpa perlu pengembangan kawasan baru.

(35)

Teluk Banten dalam skala yang lebih mikro yang melibatkan komponen sub model secara lebih terbatas namun tinjauan yang lebih detail.

Menurut Samawi (2007) yang melakukan penelitian tentang desain sistem pengendalian pencemaran perairan pantai kota (studi kasus perairan pantai Kota Makassar), menyimpulkan bahwa dominasi beban pencemaran yang masuk ke Pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi, namun tingkat terjadinya pencemaran pantai masih pada kategori ringan. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran perairan pantai Kota Makassar termasuk kategori tinggi. Dengan kondisi di Kota Makassar mempunyai tiga tipologi aliran beban limbah, maka strategi yang diterapkan untuk menekan beban limbah agar sesuai baku mutu lingkungan secara komprehensif adalah (1) pembangunan instalasi pengolahan air limbah pada muara kanal bertahap, (2) pengawasan limbah dari kawasan industri sesuai dengan baku mutu, (3) peningkatan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi pencemaran pantai melalui pola hidup bersih dengan menerapkan 4R (reduce, reuse, recycle, dan replant).

Menurut Marganof (2007) dalam penelitian model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan untuk pengendalian beban limbah agar sesuai dengan baku mutu air yang diperuntukkan sebagai sumber air baku air minum berdasarkan prioritas adalah : 1) meningkatkan persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang dampak pencemaran perairan danau; 2) mengurangi laju pertumbuhan keramba jaring apung (KJA); 3) menekan laju pertumbuhan penduduk; dan 4) mengupayakan pembangunan instalasi pengolahan limbah rumah tangga (tengki septik) di sekitar danau. Pengendalian pencemaran Danau Maninjau dapat dilakukan dengan strategi optimistik, namun perlu didukung oleh beberapa kebijakan berupa (1) dukungan pemerintah untuk membangun fasilitas pengolahan limbah cair penduduk dan pengadaan pakan yang rendah kandungan fosfornya serta infrastruktur penunjang lainnya; (2) peningkatan kesadaran, kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan; dan (3) menyusun rencana strategis daerah khusus bidang pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Dewi (2009), outpu

Gambar

Gambar 7  Diagram alir penilaian peringkat hijau dan emas PROPER KLHK
Tabel 6  Matriks pengaruh langsung antar faktor
Gambar 10  Lokasi kawasan industri Jababeka (sumber  : KIJA)
Gambar 11  Master Plan pengembangan KIJA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian Kementerian Lingkungan Hidup menciptakan Program Penilaian Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) sebagai bentuk instrumen ekonomi

Tahapan analisis pada pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri baja melalui pendekatan sistem meliputi: (a) analisis kebutuhan stakeholders, (b)

Tahapan analisis pada pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri baja melalui pendekatan sistem meliputi: (a) analisis kebutuhan stakeholders, (b)

Kebijakan integrasi sistem mana- jemen mutu dan lingkungan Kawasan Industri Jababe- ka (KIJA) yang telah ada terdiri dari (1) kualitas produk dan jasa yang melampaui

Strategi Pengelolaan Kawasan Industri Menuju Eco Industrial Park (Studi Pada Kawasan Industri Cilegon Provinsi Banten).. Disertasi : Sekolah Pascasarjana

PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN WILAYAH.. DAN

Berdasarkan uraian tersebut perlu dilakukan studi dalam rangka melakukan inovasi kelembagaan pembangunan dan pengelolaan kawasan industri khususnya pada kawasan industri

Kebijakan integrasi sistem mana- jemen mutu dan lingkungan Kawasan Industri Jababe- ka (KIJA) yang telah ada terdiri dari (1) kualitas produk dan jasa yang melampaui