• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Saing Dan Integrasi Pasar Lada Indonesia Di Pasar Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Daya Saing Dan Integrasi Pasar Lada Indonesia Di Pasar Internasional"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA SAING DAN INTEGRASI PASAR LADA

INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

DEWI ASRINI FAZARIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan Integrasi Pasar Lada Indonesia di Pasar Internasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

DEWI ASRINI FAZARIA. Analisis Daya Saing dan Integrasi Pasar Lada Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan SAHARA.

Lada Indonesia merupakan komoditas tradisional yang telah diperdagangkan sejak lama. Lada memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Permintaan lada dunia meningkat sekitar 5-7 persen pertahun, namun produksi Indonesia berfluktuasi dengan pertumbuhan penawaran yang tidak sebanding dengan permintaan. Ketidakmampuan Indonesia dalam mengikuti pertumbuhan permintaan lada dunia dapat dimanfaatkan negara lain untuk meningkatkan perdagangan dan menguatkan daya saing mereka dalam perdagangan lada dunia. Hal tersebut tentu membahayakan posisi dan daya saing Indonesia dalam perdagangan lada dunia. Harga yang merupakan sinyal dalam pengambilan keputusan ekonomi dirasa kurang menarik menjadi insentif peningkatan produksi sehingga mempengaruhi kemampuan ekspor lada Indonesia. Ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor menjadikan harga lada Indonesia mengikuti fluktuasi yang terjadi di pasar internasional. Analisis integrasi harga di pasar lada Indonesia dan pasar internasional diperlukan untuk mengetahui efisiensi pemasaran yang salah satunya ditandai dengan lancarnya penyaluran informasi harga.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis daya saing ekspor lada Indonesia dan negara eksportir utama di negara importir utama; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing lada ekspor Indonesia; (3) menganalisis integrasi pasar lada hitam dan lada putih Indonesia dengan pasar lada hitam dan lada putih dunia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series harga bulanan dari tahun 1995-2014 dan data time series tahunan dari tahun 1975-2014. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis daya saing ekspor lada Indonesia adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA). Error Correction Model (ECM) digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi daya saing lada ekspor Indonesia untuk negara-negara importir utama sedangkan metode yang digunakan untuk analisis integrasi pasar lada adalah uji kointegrasi dengan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM).

(6)

panjang dipengarui oleh tingkat daya saing lada ekspor Indonesia untuk Jerman pada satu tahun sebelumnya. (3) pasar lada hitam lokal dengan pasar lada hitam spot dan pasar lada hitam ekspor dengan pasar lada hitam spot memiliki hubungan kointegrasi atau integrasi pada jangka panjang. Namun integrasi yang terjadi belum sempurna karena perubahan harga pada satu tingkat pasar belum dapat disalurkan secara penuh ke tingkat pasar lainnya. Hal ini diduga karena adanya waktu penyesuaian yang dibutuhkan. Pada hubungan integrasi jangka pendek, kecepatan penyesuaian untuk keseimbangan jangka panjang pada pasar lada hitam ekspor adalah 0.186 dan 0.268 per bulan dan pada pasar lada hitam spot adalah 0.184 per bulan. Pada pasar lada putih terdapat satu hubungan integrasi jangka panjang yaitu antara pasar lada putih lokal dengan pasar lada putih ekspor dan spot. Besarnya koreksi kesalahan pada jangka pendek untuk menuju keseimbangan di jangka panjang adalah 0.256 per bulan untuk pasar lada putih spot.

(7)

SUMMARY

DEWI ASRINI FAZARIA. The competitiveness and market integration analysis of Indonesian pepper to international market. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and SAHARA.

Indonesian pepper was traditional commodity which has been traded since long time ago. Pepper has important role in economic growth for Indonesia. Pepper world demand increased by about 5-7 percent annually, but the pepper supply growth in Indonesia was not propotionate to the world demand of pepper. Indonesia's inability to follow the growth of world’s pepper demand can be utilized and filled by other countries by increasing their trade and strengthen their competitiveness in world pepper trade. Prices as a signal in economic decision making was less attractive as an incentive to increase production so it affected the ability of Indonesian pepper export. Indonesia's dependence on export markets cause the domestic pepper price to follow the fluctuations in the international market. Analysis of the price integration in Indonesian market pepper to the international market is needed to indentify the marketing efficiency which is marked by the ability to transfer the price information effectively.

The purposes of the study was to analyze: (1) the competitiveness of Indonesian pepper to the largest pepper importing countries.; (2) the factors affecting the competitiveness of Indonesian pepper; (3) the integration of Indonesian black and white pepper market to international pepper market. The data used in this study were monthly time series data from 1995-2014 and annual time series data from 1975-1994. The methods used were the cointegration test with the approach of Vector Error Correction Model (VECM) for the analysis of pepper market integration; Revealed Comparative Advantage (RCA) and Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA) for the analysis of competitiveness to importing countries and Error Correction Model (ECM) was used to analyze the factors affecting the competitiveness of Indonesian pepper to the major importing countries.

(8)

local black pepper market and spot black pepper market and between the export and spot black pepper market were integrated in short and long term. The relationship between each level of black pepper market was still not perfectly integrated. The change in price information is not perfectly transfered. This may occured by the existance of time adjustment for equilibrium. In the short-term integration relationship, the adjustment speed for the long-term equilibrium of black pepper export market was 0.186 and 0.268 per month and the black pepper spot market was 0.184 per month. There was also long term integration relationship in white pepper market. There was cointegration relationship between white pepper local market price with white pepper exporter and spot market price. The adjustment speed in for white pepper spot market was 0.256 per month;

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

ANALISIS INTEGRASI PASAR DAN DAYA SAING LADA

INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Analisis Daya saing dan Integrasi Pasar Lada Indonesia di Pasar Internasional. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaam setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Sahara, SP MSi selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikan mulai dari tahap awal penulisan hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku penguji luar komisi serta Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji wakil komisi program studi EPN yang telah memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini. 3. Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS sebagai ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staff pengajar pada Program Studi EPN atas segala ilmu yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi yang telah memberikan kesempatan beasiswa BPPDN program magister kepada penulis.

5. Mbak Ina, Mas Johan, Mas Widi, Ibu Kokom, Bapak Husein dan Mas Erwin selaku tenaga kependidikan Program Studi EPN atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

6. Seluruh anggota keluarga khususnya orang tua, Ibunda Kasriyati dan alm Ayahanda Yusman, kakak-kakak, abang-abang dan keponakan yang selalu memberikan semangat, dorongan, doa dan kasih sayang yang tidak terhingga kepada penulis.

7. Teman-teman EPN angkatan 2013 atas doa, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menjalani pendidikan di Program Studi EPN.

8. Sahabat-sahabat di Griya Putri Cibanteng (GPA), Dea, Iski, Nora, Vhira dan Ira atas motivasi, doa dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan in, untuk itu penulis berharap penelitian-penelitian selanjutnya dapat menyempurnakan kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi motivasi bagi civitas akademika untuk terus menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat.

Bogor, Juni 2016

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA 11

Daya Saing Ekspor 11

Integrasi Pasar 14

Model Analisis Integrasi Pasar 16

Penelitian Terdahulu 18

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 23

3 METODE PENELITIAN 24

Jenis dan Sumber Data 24

Metode Pengolahan dan Analisis Data 25

Analisis Daya Saing Lada 25

Analisis Integrasi Pasar 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Gambaran Umum Perdagangan Lada 30

Analisis Daya Saing Lada 35

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Lada Indonesia 41

Integrasi Pasar Lada Indonesia 53

5 SIMPULAN DAN SARAN 76

Simpulan 76

Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 78

LAMPIRAN 83

(17)

DAFTAR TABEL

1 Negara tujuan dan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia tahun

2010-2014 (000 USD) 1

2 Luas areal, produksi dan ekspor lada di Indonesia tahun 2006-2013 3 3 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 24 4 Rata-rata nilai indeks RCA dan RSCA untuk pasar lada Amerika Tahun

1975-2014 38

5 Rata-rata nilai indeks RCA dan RSCA untuk pasar lada Belanda tahun

1975-2014 40

6 Rata-rata nilai indeks RCA dan RSCA untuk pasar lada Jerman tahun

1975-2014 40

7 Hasil uji unit root pada level 42

8 Hasil uji unit root pada fist different 43

9 Pengujian lag optimal untuk setiap pasar importir utama lada dunia 43

10 Hasil uji unit root variabel residual 44

11 Hasil kointegrasi faktor yang mempengaruhi daya saing lada Indonesia 45 12 Estimasi hubungan jangka pendek faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Amerika tahun 1975-2015 47 13 Estimasi hubungan jangka panjang faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Amerika tahun 1975-2015 48 14 Estimasi hubungan jangka pendek faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Belanda tahun 1975-2015 49 15 Estimasi hubungan jangka panjang faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Belanda tahun 1975-2015 50 16 Estimasi hubungan jangka pendek faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Jerman tahun 1975-2015. 52 17 Estimasi hubungan jangka panjang faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing lada Indonesia di pasar Jerman tahun 1975-2015 53 18 Deskripsi statistik harga lada hitam dan lada putih dari Januari 1995

hingga Desember 2014. 54

19 Uji unit root variabel pada pasar lada hitam 57

20 Hasil pengujian lag optimal pasar lada hitam 58

21 Hasil uji kointegrasi pada pasar lada hitam 59

22 Hubungan kointegrasi pada pasar lada hitam 60

23 Estimasi model VECM jangka pendek antar pasar lada hitam 61

24 Hubungan kausalitas Granger pasar lada hitam 63

25 FEVD pasar lada hitam lokal 66

26 FEVD pasar lada hitam ekspor 67

27 FEVD pasar lada hitam spot 67

28 Uji unit root variabel pada pasar lada putih 68

29 Hasil pengujian lag optimal pasar lada putih 69

30 Hasil uji kointegrasi pada pasar lada putih 69

31 Hubungan kointegrasi pada pasar lada putih 70

32 Estimasi model VECM jangka pendek antar pasar lada putih 71 33 Hubungan kausalitas Granger pasar lada putih 72

34 FEVD pasar lada putih lokal 74

(18)

36 FEVD pasar lada putih spot 75

DAFTAR GAMBAR

1 Negara-negara eksportir lada terbesar di dunia tahun 2013 2

2 Negara importir lada di dunia tahun 2009-2013 4

3 Negara tujuan ekspor lada putih indonesia tahun 2009-2013 5 4 Negara tujuan ekspor lada hitam indonesia tahun 2009-2013 5 5 Perkembangan harga lada putih Indonesia dan harga spot lada putih di

Amerika tahun 2008-2014 7

6 Perkembangan harga lada hitam di Indonesia dan harga spot lada hitam

di Amerika tahun 2008-2014 8

7 Kerangka pemikiran 23

8 Saluran pemasaran lada putih di Bangka tahun 2002 31 9 Saluran pemasaran lada hitam di Lampung tahun 2002 32

10 Pangsa pasar impor lada dunia tahun 2013 32

11 Pangsa pasar ekspor lada dunia tahun 2013 33

12 Rata-rata harga FOB lada hitam Indonesia, Vietnam dan Brazil pada

Tahun 2005-2014. 34

13 Rata-rata harga FOB lada putih Indonesia, Vietnam dan Brazil pada

Tahun 2005-2014. 34

14 Pangsa ekspor lada Indonesia, Vietnam dan Brazil di pasar Amerika

tahun 1990-2014 35

15 Pangsa ekspor lada Indonesia, Vietnam dan Brazil di pasar Belanda

tahun 1990-2014 36

16 Pangsa ekspor lada Indonesia, Vietnam dan Brazil di pasar Jerman

tahun 1990-2014 37

17 Perkembangan harga lada hitam tahun 1995-2014 55 18 Perkembangan harga lada putih tahun 1995-2014 56 19 Grafik impuls response function model pasar lada hitam 65 20 Grafik impuls response function model pasar lada putih 73

DAFTAR LAMPIRAN

1 Adopsi standar mutu lada putih SNI 01-0004-1995 dengan ASTA, ESA,

IPC dan ISO 85

2 Adopsi standar mutu lada hitam SNI 01-0005-1995 dengan ASTA,

ESA, IPC dan ISO 86

3 Penentuan panjang lag optimal model integrasi pasar lada hitam 87

4 Ringkasan kointegrasi pasar lada hitam 87

5 Estimasi VECM untuk pasar lada hitam 88

6 Penentuan panjang lag optimal model integrasi pasar lada putih 90

7 Ringkasan kointegrasi pasar lada putih 90

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rempah-rempah adalah salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia dan sudah dikenal serta diperdagangkan sejak lama. Beberapa jenis rempah-rempah yang dihasilkan di Indonesia antara lain adalah lada, pala, cengkeh, vanili dan kayu manis. Rempah-rempah sangat diminati karena memiliki berbagai fungsi, yaitu sebagai pemberi rasa, aroma dan warna, bahkan untuk pengobatan. Pada pemanfaatannya, rempah dapat digunakan dalam keadaan segar maupun kering.

Rempah-rempah Indonesia masuk ke dalam sepuluh komoditas ekspor potensial yang diekspor ke berbagai negara seperti Amerika, Vietnam, India, Belanda, Singapura dan lain-lain (Kemendag 2015). Berdasarkan data Kemendag (2015), nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke berbagai negara di dunia pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 62 persen di tahun 2012 yaitu dari US$ 417 juta menjadi US$ 672 juta. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa rempah-rempah dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia. Beberapa negara tujuan ekspor rempah-rempah Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Lada merupakan salah satu produk sub sektor perkebunan yang masuk ke dalam kategori rempah-rempah. Lada memiliki peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan memberikan sumbangan PDB yang besar bagi Indonesia selain kelapa sawit, karet, kopi, teh dan kakao. Pada tahun 2013, PDB yang diperoleh dari perdagangan lada adalah PDB yang paling besar ke lima setelah kelapa sawit, karet, kopi, kakao dan kelapa yaitu sebesar 342 juta USD atau 1.5 persen dari total PDB yang diperoleh dari sub sub sektor perkebunan (Ditjenbun 2014). Budidaya tanaman lada merupakan usaha yang padat karya. Pada tahun 2013 ada sebanyak 262 574 rumah tangga yang mengusahakan perkebunan lada di Indonesia (BPS 2015) sehingga dapat dikatakan bahwa perkebunan lada mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar bagi masyarakat. Pada pengusahaan tanaman lada secara intensif, satu KK hanya mampu mengelola kurang lebih 0.5 ha lahan perkebunan lada (Suwarto

Tabel 1 Negara tujuan dan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia tahun 2010-2014 (000 USD)

No. Negara 2010 2011 2012 2013 2014

1 Amerika Serikat 129 716 134 880 205 957 166 933 125 308

2 Italia 7 640 14 618 13 302 12 039 10 557

3 Prancis 6 578 8 919 11 927 11 886 10 229

4 Singapura 29 178 31 264 33 051 53 351 95 921

5 Vietnam 80 638 68 109 142 587 111 269 82 288

6 India 26 136 41 472 52 267 33 461 49 521

7 Belanda 32 889 39 594 43 945 50 277 48 449

8 Jerman 22 886 26 885 31 948 34 239 42 609

9 Jepang 13 634 23 016 24 373 21 670 19 356

10 Malaysia 8 854 11 375 13 639 10 483 12 115

(20)

2

2013). Besarnya kebutuhan tenaga kerja dalam pengelolaan lada, menjadikan usaha pembudidayaan lada menjadi usaha yang mampu memberikan kesempatan kerjayang luas bagi masyarakat. Berdasarkan manfaat yang dapat diperoleh, diketahui bahwa lada memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan lebih lanjut.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan eksportir lada terbesar di dunia setelah Vietnam (UNCTAD 2014). Negara pengekspor utama lain selain Indonesia dan Vietnam adalah Brazil, India, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, China dan Meksiko. Menurut data dari IPC (2014), pada tahun 2013, pangsa pasar ekspor lada Indonesia adalah 18 persen terhadap total lada yang diperdagangkan di dunia, sedangkan pada tahun 2000 pangsa pasar Indonesia mencapai 23 persen dari total ekspor lada dunia. Sementara itu Vietnam sebagai eksportir lada terbesar memiliki pangsa pasar 47 persen terhadap ekspor lada dunia pada tahun 2013 yang lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2010 sebesar 43 persen. Rendahnya pangsa ekspor Indonesia menunjukkan kemungkinan daya saing ekspor lada Indonesia yang masih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam dan negara lain. Hal tersebut bisa saja diakibatkan oleh rendahnya kemampuan produksi dan ekspor Indonesia. Produksi dan ekspor lada yang dilakukan oleh negara pesaing seperti Vietnam terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut tentu dapat membahayakan posisi Indonesia sebagai eksportir lada utama dunia. Urutan beberapa negara eksportir lada terbesar dunia dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurunnya kemampuan produksi dan ekspor lada dapat dikaitkan dengan luas lahan produksi lada yang mengalami penurunan. Luas lahan perkebunan lada menurun sekitar 6 persen pada tahun 2014 jika dibandingkan tahun 2006. Komposisinya sekitar sebesar 70 persen untuk produksi lada hitam dan sekitar 30 persen untuk produksi lada putih. Semakin menyusutnya lahan perkebunan lada disebabkan oleh semakin tingginya konversi lahan perkebunan lada menjadi fungsi lain. Selain itu penurunan luas lahan, produksi juga bisa disebabkan oleh perubahan iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman, serta rendahnya tingkat pemeliharaan akibat harga yang berfluktuasi (Kementan 2012). Fluktuasi produksi dan ekspor lada Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Sumber: IPC (2014, diolah)

Gambar 1 Negara-negara eksportir lada terbesar di dunia tahun 2013

0 100 000 200 000 300 000 400 000 500 000 600 000 700 000 800 000 900 000 1 000 000

(21)

3

Selain permasalahan luas lahan yang berkurang, pada on farm, petani lada dihadapkan pada inefisiensi usahatani dan ketidakberdayaan menghadapi ketidakadilan pasar. Petani harus membeli input produksi, khususnya pupuk dengan harga yang mahal sementara harga merosot tajam. Akibatnya petani cendrung merugi dan beralih investasi ke sektor pertambangan timah inkonvensional yang lebih memberikan keuntungan (Marwoto 2003). Konversi lahan perkebunan lada menjadi fungsi lain seperti tambang timah menyebabkan semakin menurunnya luasan perkebunan lada. Selain adanya penurunan luas areal perkebunan, permasalahan lain yang dihadapi dalam pengusahaan lada adalah tidak berkembangnya sistem agribisnis lada di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistem agribisnis lada di Indonesia antara lain disebabkan karena sebagian besar teknologi belum dapat digunakan oleh petani, tidak tersedianya peralatan yang mudah didapat dan murah, kurangnya diversifikasi produk lada, serta adanya pesaing Indonesia sebagai produsen lada dunia seperti Brazil, India, Malaysia, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam (Kemala 2007).

Penurunan produksi lada Indonesia menyebabkan kemampuan ekspor lada Indonesia menurun dan menurunnya pangsa pasar lada Indonesia di pasar dunia. Secara teoritis, volume ekspor lada dipengaruhi oleh harga lada dunia dan di pasar domestik. Kenaikan harga lada akan menyebabkan penurunan permintaan lada, begitu juga sebaliknya saat terjadi penurunan harga lada. Semakin tinggi harga lada akan mendorong produsen dan eksportir untuk lebih banyak mengekspor lada Indonesia ke berbagai negara. Mengingat lada sebagai salah satu komoditas potensial ekspor Indonesia, perubahan yang terjadi di pasar dunia baik di pasar eksportir maupun di negara tujuan ekspor akan mempengaruhi keputusan produksi dan pemasaran lada Indonesia.

Perumusan Masalah

Perdagangan mendorong negara-negara yang terlibat untuk mengoptimalkan kemampuan produksi dan spesialisasi suatu negara dalam

Tabel 2 Luas areal, produksi dan ekspor lada di Indonesia tahun 2006-2013

Tahun ArealLuas

2007 113 58 0.513 38 446 132 493

2008 114 52 0.454 52 407 185 701

2009 114 50 0.440 50 642 140 313

2010 110 59 0.533 62 599 245 924

2011 111 47 0.424 36 487 214 681

2012 113 75 0.664 62 608 423 477

2013 113 63 0.557 47 908 346 973

2014 115 52 0.452 34 733 323 802

Rata-rata

Pertumbuhan -0.094 2.640 2.781 5.407 28.375

(22)

4

memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Lada merupakan tanaman perkebunan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dapat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber devisa, penyediaan lapangan kerja, sumber bahan baku industri maupun penggunaan dalam rumah tangga. Lada dari Indonesia merupakan komoditas yang diekspor ke berbagai negara di dunia, bahkan sudah dikenal luas dengan sebutan Muntok white pepper dan Lampung black pepper karena memiliki rasa dan aroma yang khas.

Negara yang paling banyak mengimpor lada adalah Amerika, Belanda dan Jerman. Amerika merupakan negara importir lada terbesar dunia. Pada tahun 2013, pangsa impor lada Amerika mencapai hampir 25 persen dari total lada yang diperdagangkan di dunia. Jerman merupakan negara importir lada terbesar kedua setelah Amerika dengan pangsa impor sebesar 11 persen pada tahun 2013 (IPC 2014). Menurut IPC (2014), pada tahun 2011, Belanda mengimpor 21 680 MT lada dari berbagai negara, yang menjadikan Belanda sebagai importir lada terbesar kedua setelah Jerman. Namun pada tahun 2013, impor lada oleh Belanda menurun menjadi 14 996 MT. Beberapa negara importir lada terbesar di dunia dapat dilihat pada Gambar 2.

Terdapat dua jenis lada yang paling banyak diekspor oleh Indonesia, yaitu lada hitam dan lada putih. Negara tujuan utama ekspor lada putih Indonesia adalah Amerika, Singapura, Jerman, Vietnam, Belanda dan Malaysia. Indonesia paling banyak mengekspor lada putih ke Amerika. Berdasarkan data dari IPC (2014), pada tahun 2013, ekspor lada putih Indonesia ke Amerika mencapai 3 319 MT dengan nilai USD 30 juta atau sekitar 20 persen dari total ekspor lada putih Indonesia. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan ekspor lada putih tahun 2012 ke Amerika yang mencapai 3 816 MT dengan nilai USD 34 juta atau sekitar 29 persen dari total ekspor lada putih Indonesia. Ekspor lada putih Indonesia ke Singapura mengalami peningkatan yang tajam pada tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2012. Ekspor lada putih Indonesia ke Singapura pada tahun 2013 mencapai 3 933 MT dengan nilai USD 35 juta. Perkembangan ekspor lada putih Indonesia ke beberapa negara tujuan dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: IPC (2014)

Gambar 2 Negara importir lada di dunia tahun 2009-2013

(23)

5

Sedangkan negara tujuan ekspor utama lada hitam Indonesia terbesar adalah Amerika, Vietnam, India, Singapura, Jepang dan Belanda. Ekspor lada hitam Indonesia paling banyak adalah ke Amerika. Ekspor lada hitam ke Amerika pada tahun 2012 mencapai 19 103 MT dan mengalami penurunan menjadi 11 330 MT pada tahun 2013. Pangsa ekspor lada hitam Indonesia ke Amerika menurun dari 38 persen pada tahun 2013 dari total ekspor lada hitam Indonesia menjadi 36 persen pada tahun 2013. Penurunan jumlah ekspor lada hitam Indonesia juga dialami oleh ekspor lada hitam Indonesia ke Vietnam. Pada tahun 2013, ekspor lada hitam Indonesia ke Vietnam adalah 9 395 MT dengan nilai USD 57 juta. Ekspor tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 15 016 MT dengan nilai mencapai USD 85 juta. Sedangkan ekspor lada hitam untuk Singapura, Belanda dan Jepang cendrung stabil dengan perubahan yang tidak terlalu besar. Perkembangan ekspor lada hitam ke beberapa negara tujuan ekspor lada hitam dari Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.

Menurut Bappebti (2014) secara keseluruhan, permintaan lada dunia mencapai 400 000 ton per tahun dan meningkat sekitar 5 - 7 persen setiap tahun. Pertumbuhan permintaan lada terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan dan industri kesehatan. Sebanyak sekitar 80 persen produksi lada Indonesia

Sumber: IPC (2014)

Gambar 4 Negara tujuan ekspor lada hitam indonesia tahun 2009-2013

0

Gambar 3 Negara tujuan ekspor lada putih indonesia tahun 2009-2013

(24)

6

diperuntukkan untuk kebutuhan ekspor sebagai upaya pemenuhan kebutuhan lada dunia. Kemala (1996) juga mendapati berdasarkan analisa proyeksi permintaan dan penawaran lada Indonesia akan terjadi tren permintaan sebesar 5.44 persen yang terbagi menjadi tren konsumsi sebesar 2 persen dan tren ekspor sebesar 3.44 persen. Sedangkan peningkatan tren penawaran lada Indonesia hanya 4.69 persen. Perbedaan tren penawaran dan permintaan menggambarkan bahwa pada tahun-tahun yang akan datang jumlah permintaan lada akan melebihi jumlah persediaan lada karena jumlah konsumsi yang terus meningkat setiap tahunnya. Terdapat potensi yang besar dalam pengembangan komoditas lada sebagai komoditas ekspor untuk pemenuhan kebutuhan lada yang terus meningkat pesat.

Besarnya peningkatan ekspor lada Indonesia yang tidak sesuai dengan besarnya peningkatan kebutuhan lada dunia, serta semakin intensifnya negara eksportir pesaing dalam meningkatkan produksi dan ekspor lada, dapat menurunkan pangsa pasar lada Indonesia dan bergesernya Indonesia sebagai salah satu produsen lada terbesar. Liberalisasi perdagangan mendorong semakin terbukanya pasar sehingga persaingan menjadi lebih tinggi. Semakin ketatnya persaingan dalam perdagangan lada dunia mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan posisi dan daya siang dalam perdagangan lada. Berbagai upaya pemenuhan syarat yang ditetapkan negara tujuan ekspor semakin dilakukan untuk menghindari penolakan produk lada yang diperdagangkan. Tingginya persaingan dalam perdagangan lada antar negara-negara eksportir mendorong Indonesia untuk harus terus meningkatkan produksi dan kualitas lada yang diperdagangkan.

Liberalisasi perdagangan menunjukkan kecendrungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga liberalisasi pasar dapat menggambarkan semakin terbukanya pasar domestik untuk barang-barang luar negeri (Hardono, Rachman dan Suhartini 2004). Era liberalisasi mampu mendorong kinerja perekonomian menjadi lebih efisien melalui aplikasi teknologi baru sebagai implementasi liberalisasi di sektor perdagangan dan investasi (Lubis dan Arianti 2011). Semakin berkurangnya intervensi pasar dengan kata berarti penurunan proteksi domestik yang diharapkan dapat meningkatkan perdagangan antar negara. Upaya liberalisasi telah dilakukan sejak lama yaitu telah dimulai dari tahun 1947 dengan dibentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Proses yang dilalui GATT cukup panjang hingga delapan putaran. Putaran terakhir dikenal dengan Urugay Round dilaksanakan pada tahun 1994 kemudian dibentuk badan perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO).

Kebijakan penurunan bahkan penghapusan tarif sejak WTO dibentuk mendorong terbentuknya hambatan baru dalam perdagangan yaitu hambatan non tarif (Non Tariff Meassure/ NTM). Kebijakan NTM yang ditetapkan oleh negara importir bertujuan untuk memastikan keamanan dan kesehatan produk lada yang masuk ke negara mereka. Kebijakan Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) termasuk kedalam bentuk kebijakan NTM yang ditetapkan oleh negara-negara importir. Indonesia menjadi anggota WTO sehingga harus bersedia membuka pasar dalam negeri bagi negara lain dan menerima konsekuensi dari perdagangan bebas.

(25)

7 ditinggalkannya pengusahaan lada. Ketergantungan pasar lada Indonesia kepada pasar lada ekspor mengakibatkan harga lada yang terjadi cendrung mengalami fluktuasi. Fluktuasi harga lada di tingkat lokal diduga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga lada di tingkat yang lebih tinggi. Fluktuasi harga lada yang terjadi sangat terkait dengan suplai yang berasal dari negara produsen utama (Kium 2014). Harga yang diterima oleh pelaku usaha khususnya petani sangat berpengaruh terhadap keinginan petani untuk berproduksi. Harga yang tinggi akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya sehingga kemampuan ekspor yang dimiliki suatu negara dapat meningkat, pangsa ekspor lada dunia dapat ditingkatkan dan pada akhirnya dapat meningkatkan posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir lada dunia. Permasalahan harga yang rendah dan berfluktuasi dihadapi oleh petani lada sehingga tidak cukup menarik untuk para petani untuk merawat dan meningkatkan produksi lada mereka (Ginting 2014). Hal ini yang diindikasi menjadi penyebab dari tren produksi dan ekspor lada Indonesia yang terus berfluktuasi.

Secara keseluruhan pergerakan harga yang terjadi pada komoditas lada putih, baik pada tingkat lokal, maupun eksportir dan juga harga lada putih dunia mengalami pergerakan yang sama. Berdasarkan perubahan harga yang terjadi, diduga bahwa terjadi integrasi antara pasar lada putih di tingkat pedagang besar, ekpsortir dan dunia, namun hal tersebut harus dibuktikan karena pergerakan harga pada grafik belum tentu menunjukkan integrasi pasar. Pasar yang terintegrasi merupakan salah satu indikator terjadinya efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Pergerakan harga pada pasar lada putih pada pasar dunia dan pasar domestik dapat dilihat pada Gambar 5.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa perubahan harga lada putih dunia yang diwakilkan oleh harga spot New York segera direspon oleh pasar domestik dengan adanya perubahan pada harga lada putih pada tingkat eksportir (FOB) dan lokal yang diwakili oleh pedagang besar. Namun fluktuasi harga putih yang terjadi pada tingkat lokal, eksportir dan dunia terkadang tidak sama. Pada tahun 2010, harga lada putih Amerika sempat mengalami penurunan, namun harga lada

Sumber: IPC (diolah)

Gambar 5 Perkembangan harga lada putih Indonesia dan harga spot lada putih di Amerika tahun 2008-2014

0 2 000 4 000 6 000 8 000 10 000 12 000 14 000 16 000

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

USD/T

on

Tahun

(26)

8

domestik baik pada tingkat pedagang besar maupun pada eksportir tidak mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2012 dan 2014 dimana perubahan harga lada putih spot tidak segera direspon dengan peningkatan dan penurunan pada pasar lada putih ekspor dan lokal.

Pada pasar lada hitam, harga lada hitam dunia yang diwakili oleh harga spot New York dan harga lada hitam di dalam negeri baik pada tingkat pedagang besar maupun eksportir juga mengalami fluktuasi setiap tahun. Hampir serupa dengan harga pada komoditas lada putih, pada pasar lada hitam, perubahan harga yang terjadi pada lada hitam di tingkat dunia yang diwakili oleh pasar spot Amerika dapat direspon oleh harga lada domestik baik pada tingkat eksportir maupun pada tingkat pedagang besar. Namun, fluktuasi yang terjadi terkadang berbeda. Secara umum, pergerakan harga lada sudah menunjukkan terpadunya pasar antara lada hitam dunia, eksportir dan tingkat produsen, namun hal tersebut harus dibuktikan lebih lanjut untuk melihat integrasi pasar lada hitam yang terjadi. Pergerakan harga lada hitam yang terjadi di pasar dunia dan pasar domestik dapat dilihat pada Gambar 6.

Perdagangan yang terjadi antar satu wilayah dengan wilayah lainnya dapat menimbulkan pasar yang terpadu. Perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat mempengaruhi perubahan harga di pasar lainnya jika terjadi keterpaduan atau integrasi yang baik diantara kedua pasar. Pasar lada Indonesia yang merupakan pasar penyedia lada bagi pasar lada dunia akan mengalami pergerakan harga yang sama jika terintegrasi dengan baik. Pasar lada yang terintegrasi dengan baik mengindikasikan bahwa pasar lada yang terbentuk berjalan dengan efisien. Pasar lada yang efisien mengindikasin bahwa informasi yang diterima untuk setiap perubahan di tingkat pasar lada tertentu dapat diketahui dengan baik oleh tingkat pasar lada lainnya.

Menurut Asmarantaka (2012) integrasi pasar dibedakan atas dua jenis, yaitu integrasi pasar vertikal dan horizontal. Integrasi pasar horizontal termasuk integrasi spasial, temporal dan harga silang. Integrasi spasial merupakan hubungan antar pasar yang terpisah secara geografis atau wilayah. Analisis

Sumber: IPC (diolah)

Gambar 6 Perkembangan harga lada hitam di Indonesia dan harga spot lada hitam di Amerika tahun 2008-2014

0 2 000 4 000 6 000 8 000 10 000 12 000

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

USD/to

n

Tahun

(27)

9 integrasi pasar spasial dapat digunakan untuk menganalisis pasar lada domestik dan pasar dunia untuk melihat efisiensi harga yang terjadi.

Identifikasi keberadaan integrasi pasar lada di Indonesia dengan pasar dunia akan memberikan gambaran mengenai dampak perkembangan harga yang diterima oleh pelaku pemasaran lada di Indonesia. Integrasi pasar sebagai salah satu indikator efisiensi pasar sangat penting untuk diketahui dalam pembangunan pertanian. Informasi yang diketahui dari integrasi pasar akan berguna untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga yang terjadi sehingga dapat diambil keputusan secara cepat dan tepat.

Apabila pasar lada Indonesia tidak terintegrasi dengan pasar lada dunia, perubahan harga lada yang terdapat pada pasar internasional belum tentu berdampak nyata pada perubahan harga lada di Indonesia. Oleh karena itu, analisis integrasi pasar lada Indonesia dengan pasar lada internasional dapat memberikan informasi mengenai cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, pemantauan pergerakan harga, melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran lada untuk meningkatkan kesejahteraan petani lada Indonesia dan meningkatkan daya saing lada ekspor Indonesia. Perkembangan harga lada yang terjadi juga merupakan suatu aspek yang kompeks karena dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Perubahan harga yang diterima oleh petani dapat menjadi sinyal dalam pengambilan keputusan produksi. Produksi yang baik akan sangat menunjang kemampuan Indonesia dalam ekspor lada. Semakin menurunnya produksi lada Indonesia juga berarti semakin berkurangnya kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan lada dunia atau kebutuhan ekspor. Hal ini amat disayangkan karena kesempatan pemenuhan kebutuhan lada dunia tersebut akan dimanfaatkan oleh negara eksportir lain dengan meningkatkan produksinya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi ini dapat mengakitbatkan tergesernya posisi Indonesia oleh negara-negara pesaing sebagai salah satu eksportir utama pada perdagangan lada dan menurunnya daya saing lada ekspor Indonesia. Penurunan ekspor sebagai akibat dari penurunan produksi juga berpotensi dalam menurunkan penerimaan pemerintah dari perdagangan komoditas lada. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka beberapa hal yang kemudian menjadi pertanyaan pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana daya saing lada Indonesia dan negara eksportir utama lain di negara importir utama.

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing lada ekspor Indonesia. 3. Bagaimana integrasi harga di pasar lada hitam dan lada putih Indonesia

dengan pasar lada hitam dan lada putih dunia

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang serta permasalahan yang telah dijabarkan, tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis daya saing ekspor lada Indonesia dan negara eksportir utama lain di negara importir utama.

(28)

10

3. Menganalisis intergrasi harga di pasar lada hitam dan lada putih Indonesia dengan pasar lada hitam dan lada putih dunia

Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai integrasi pasar dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengembangan perdagangan lada Indonesia dan dapat berguna bagi:

1. Pemerintah dan pengambil keputusan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam rangka pengembangan pemasaran lada Indonesia.

2. Penulis diharapkan dapat bertambah wawasannya terutama mengenai kondisi perdagangan lada di pasar internasional.

3. Pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat, masukan dan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Produk lada yang digunakan adalah lada dengan kode Harmonized system (HS) 4 dan 10 dijit menurut Kementerian Perdagangan, yaitu:

0904 : Pepper, peppers, and capcisum

0904111000 : White pepper, neither crushed nor ground 0904112000 : Black pepper, neither crushed nor ground 0904121000 : White pepper, crushed or ground

0904122000 : Black pepper, crushed or ground

2. Lada yang digunakan untuk analisis integrasi pasar tidak dibedakan berdasarkan bentuk (hancur atau utuh) namun dibedakan berdasarkan jenis lada hitam dan lada putih.

3. Lada yang digunakan untuk analisis daya saing dan faktor yang mempengaruhi daya saing merupakan agregat dan tidak dibedakan berdasarkan jenis-jenisnya.

4. Negara importir utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Amerika, Jerman dan Belanda yang merupakan negara importir terbesar lada dunia. 5. Negara eksportir utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Vietnam,

Indonesia dan Brazil.

6. Penelitian ini tidak menganalisis re-eskpor lada dari negara-negara konsumen-pengekspor di pasar dunia.

7. Integrasi pasar lada hitam dan lada putih hanya ditinjau melalui hubungan harga dengan menganggap biaya transportasi konstan antar waktu.

8. Harga ekspor yang dimaksud dalam penelitian adalah harga FOB.

9. Harga domestik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga di tingkat pedagang besar.

(29)

11

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Saing Ekspor

Daya saing merupakan kemampuan komoditi dalam memasuki pasar internasional dan bertahan pada pasar internasional tersebut. Ketahanan daya saing suatu negara banyak ditentukan oleh kemampuan negara tersebut menggunakan sumberdaya yang tersedia untuk memperkuat posisinya dalam persaingan global. Harga dapat menentukan daya saing suatu negara. Perbedaan harga dapat memberikan keuntungan komparatif bagi masing-masing negara. Negara yang mampu memproduksi dan menjual barang dengan harga yang lebih rendah dibandingkan negara pesaing akan memperoleh keuntungan paling sedikit setara dengan opportunity cost sumberdaya yang digunakan. Terdapat dua pendekatan yang sering digunakan dalam mengukur daya saing, yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif. Suatu komoditi yang memiliki keunggulan komparatif belum tentu memiliki keunggulan kompetitif karena bisa terjadi kegagalan pasar (Wijaya 2011).

Menurut Porter (1990), keunggulan kompetitif didefenisikan sebagai produktivitas suatu negara yang menggunakan sumberdaya manusia, modal, dan sumberdaya alam lainnya. Daya saing suatu industri pada suatu negara bergantung pada keunggulan empat atribut yang dimilikinya yang disebut dengan The Diamond of Porter yang terdiri dari: (1) kondisi faktor, (2) kondisi permintaan, (3) industri yang terkait dan penunjang, dan (4) strategi, struktur dan persaingan perusahaan.

Keunggulan komparatif diperkenalkan oleh David Ricardo. Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa walaupun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis barang tertentu dibandingkan negara lain, perdagangan akan tetap saling menguntungkan dan dapat terus berjalan bagi dua negara selama rasio harga antar negara masih berbeda dibandingkan tidak adanya perdagangan. Menurut teori keunggulan komparatif, suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan dan mengekspor barang yang dapat diproduksi dengan efisien oleh negara tersebut dan mengimpor barang yang kurang efisien jika diproduksi oleh negara tersebut (Oktaviani dan Novianti 2014). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menunjukkan indikator perubahan keunggulan komparatif atau daya saing adalah metode Revealed Comparative Advantage (RCA) yang dikembangkan oleh Balassa (1965). RCA merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur keuntungan maupun kerugian relatif suatu negara dalam perdagangan suatu komoditas yang dapat tercermin dari pola perdagangannya, seperti pangsa pasar ekspor.

(30)

12

RCAiE,M= � �, � �, � �

...

2.1

Dimana:

RCAiE,M = RCA ekspor komoditas i dari negara eksportir E ke negara importir M

XiE,M = Nilai ekspor komoditas i negara eksportir E ke negara importir M

XtE,M = Nilai ekspor total negara eksportir E ke negara importir M

WiM = Nilai ekspor dunia untuk komoditas i ke negara importir M

WtM = Nilai ekspor total dunia ke negara importir M

Dengan:

RCA > 1= negara eksportir utama memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia sehingga komoditi lada memiliki daya saing yang kuat. RCA < 1 = negara eksportir utama memiliki keunggulan komparatif dibawah

rata-rata dunia

Keunggulan dari metode RCA adalah dapat mengurangi dampak dari campur tangan pemerintah sehingga keunggulan komparatif dari waktu ke waktu dapat terlihat. Namun metode RCA juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu:

1. Diasumsikan bahwa suatu negara dapat mengekspor semua komoditi walaupun pada kenyataan tidak begitu.

2. Pengukuran berdasarkan nilai RCA mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik dan perkembangannya. 3. Indeks RCA tidak dapat menjelaskan apakah suatu pola perdagangan yang

sedang terjadi sudah optimal atau belum.

4. RCA tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk-produk yang berpotensi di masa depan.

Penentuan tingkat daya saing menggunakan RCA juga memiliki kekurangan yang disebabkan karena hasil indeks yang tidak simetris (Shohibul A 2013; Laursen 2015). Output yang dihasilkan analisis RCA tidak dapat dibandingkan pada kedua sisinya. Maka dilakukan modivikasi RCA atau indeks Balassa (1965) oleh Dalum et al. (1998) yang dikenal dengan Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA). Range pengukuran RSCA berkisar antara -1 hingga 1 dan secara umum dirumuskan sebagai berikut:

RSCAiE,M(t) = ���������, �−1

�, (�)+ 1 ... 2.2

Dimana RSCAiE,M adalah RSCA ekspor komoditas i dari negara eksportir

E ke negara importir M. Nilai RSCA berkisar antara -1 hingga 1. Ketika nilai RSCAiE,M diatas nol (bernilai positif), artinya negara E tersebut memiliki

keunggulan komparatif untuk produk i pada negara impor M. Sebaliknya jika RSCAiE,M bernilai negatif, maka negara E tidak memiliki keunggulan komparatif

komoditas i. Sedangkan adapun beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi daya saing ekspor adalah:

1. Harga ekspor lada Indonesia dan negara pesaing

(31)

13 berpengaruh terhadap permintaan lada dari negara importir. Semakin tinggi harga lada di negara pesaing diduga berhubungan positif dengan daya saing Indonesia. Semakin tinggi harga lada di negara pesaing akan menurunkan permintaan terhadap lada di negara tersebut dan meningkatkan permintaan lada di Indonesia sehingga daya saing ekspor lada yang dimiliki oleh Indonesia dapat meningkat.

2. Produksi

Lada Indonesia merupakan komoditas yang berorientasi kepada ekspor. Peningkatan produksi lada Indonesia akan mampu meningkatkan kemampuan ekspor lada. Semakin besar produksi suatu negara, maka akan semakin besar kemampuan ekspor negara tersebut sehingga daya saing juga ikut meningkat. Produksi dan daya saing diduga memiliki hubungan yang positif dimana saat terjadi peningkatan produksi ada akan meningkatkan daya saing lada Indonesia melalui peningkatan kemampuan ekspor.

3. Pendapatan

Pendapatan negara importir berpengaruh terhadap permintaan lada yang akan diekspor oleh Indonesia. Pendapatan terkait dengan daya beli masyarakat. Semakin tinggu pendapatan yang dicerminkan dengan PDB akan semakin meningkatkan permintaan atas suatu komoditas. PDB neagra tujuan ekspor dan negara eksportir diguga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap daya saing. Peningkatakn PDB negara tujuan ekspor yang menyebabkan peningkatan permintaan atas lada Indonesia. Permintaan yang tinggi akan meningkatkan ekspor lada Indonesia dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan daya saing lada Indonesia. Berkebalikan dengan PDB negara tujuan ekspor, peningkatan PDB Indonesia sebagai negara eksportir diduga dapat menurunkan daya saing. Peningkatan PDB akan meningkatkan daya beli masyarakat baik untuk konsumsi langsung maupun pengolahan lebih lanjut sehingga ekspor menjadi menurun dan daya saing ekspor Indonesia mengalami penurunan.

4. Nilai tukar riil

Pada umumnya eksportir menghitung pendapatannya dalam mata uang domestik, sedangkan harga biasanya dinyatakan mata uang asing. Apabila nilai tukar riil Indonesia terhadap mata uang negara importir meningkat atau rupiah terapresiasi, maka harga lada ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di negara tujuan sehingga ekspor menurun (Ginting 2013). Hal ini akan mendorong penurunan daya saing lada Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai tukar riil memiliki pengaruh yang negatif terhadap daya saing lada Indonesia.

5. Dummy NTM

Pemberlakuan non tariff meassure (NTM) diantaranya berupa penetapan berbagai aturan mutu dan persyaratan impor untuk komoditas lada dapat menurunkan ekspor lada Indonesia ke negara tujuan ekspor. Penurunan ekspor lada tersebut kemudian dapat menurunkan tingkat daya saing lada Indonesia.

Secara keseluruhan faktor-faktor yang berpengaruh dalam daya saing ekspor udang Indonesia ke pasar internasional adalah sebagai berikut :

(32)

14 Dimana:

RCAE,M(t) = Tingkat daya saing lada negara eksportir M untuk negara importir M

untuk pada tahun t.

PXt = Harga ekspor ladapada tahun t.

PXV,t = Harga ekspor lada pesaing utama pada tahun t.

ERE,t = Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara importir utama E

pada tahun t.

GDPt = GDP Indonesia pada tahun t.

GDPM,t = GDP negara importir utama M tahun t.

PRODt = Produksi lada pada tahun t.

DNTM = Dummy pemberlakuan NTM (0 = sebelum diberlakukan kebijakan NTM sebelum 1995, 1 = setelah diberlakukan kebijakan NTM setelah 1995).

Integrasi Pasar

Perdagangan internasional memiliki keterkaitan yang erat dengan integrasi pasar. Pasar yang saling melakukan perdagangan kemungkinan besar akan terpadu atau terintegrasi satu sama lain. Menurut Asmarantaka (2012), integrasi pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran terutama efisiensi harga. Integrasi pasar dapat diartikan sebagai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Jika pasar tidak terintegrasi secara parsial, agregasi tingkat nasional atau regional akan banyak kehilangan informasi spesifik pada pasar individual. Saat pasar tidak terintegrasi, kondisi pasar persaingan sempurna (PPS) tidak terpenuhi antar pasar yang tersegmentasi. Jika pasar tidak PPS, mungkin pasar berada pada kondisi monopoli, monopsoni, oligopoli atau oligopsoni dan karenanya kesimpulan yang diturunkan dari asumsi PPS tidak sesuai bagi analisis kebijakan ( Anwar 2005).

Produk akan mengalir dari negara yang memiliki harga jual yang lebih rendah ke negara yang memiliki harga jual yang lebih tinggi sehingga harga pada pasar acuan (referensi) akan mampu mempengaruhi harga pada pasar pengikut. Integrasi pasar menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di tingkat pasar acuan akan menyebabkan terjadinya perubahan di tingkat pasar pengikut.

(33)

15 Pasar yang terintegrasi didefenisikan sebagai lokasi yang memiliki korelasi harga yang tinggi (Harriss 1979 dalam McNew 1996). Jika pasar terintegrasi, transmisi perubahan harga akan dengan sempurna terjadi di kedua lokasi. Jika tanpa adanya integrasi, akan tidak terdapat mekanisme yang membuat perubahan excess demand ditransfer secara spasial sehingga tidak ada perubahan harga yang dibagi diantara pasar yang tidak terintegrasi (McNew 1996).

Uji integrasi pasar merupakan goncangan atau perubahan ditransmisikan diantara pasar-pasar yang terpisah secara spasial. Integrasi pasar memiliki implikasi yang penting dalam penentuan harga dan operasi pasar. Pasar yang terintegrasi secara baik merupakan pasar yang efisien karena informasi dapat disalurkan dengan baik, hal ini ditandai dengan bergeraknya harga di satu pasar dikarenakan adanya perubahan harga di pasar lain (Goodwin dan Piggott 2001). Jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga yang berlaku di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion 1986).

Ekonom sering mendefenisikan integrasi pasar sebagai derajat transmisi harga diantara dua pasar yang berhubungan baik secara spasial maupun vertikal sebagai proksi dari efisiensi pemasaran (Meyer 2003). Pasar dapat berjalan dengan efisien saat informasi yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan baik dan secara cepat dapat disalurkan dari satu pasar ke pasar lainnya. Informasi mengenai harga dan kemungkinan adanya barang substitusi dari barang yang diperdagangkan antar pasar akan mempengaruhi keputusan yang diambil oleh penjual maupun pembeli. Sedangkan transmisii harga yang tidak sempurna dapat terjadi karena lambatnya informasi pasar mengenai naik turunnya harga yang diteruskan kepada petani (Miller dan Hayenga 2001 dalam Sahara dan Wicaksana 2013). Fluktuasi harga yang terjadi saat adanya integrasi pasar, menyebabkan perubahan harga pada suatu pasar dapat segera ditangkap oleh pasar lain. Hal ini kemudian dapat digunakan sebagai signal dalam pengambilan keputusan.

Tingkat integrasi atau keterpaduan yang tinggi pada pasar menunjukkan bahwa telah terjadinya arus informasi yang lancar diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi di pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah sebagai pengaruh dari perubahan harga di tingkat pemasaran yang lebih tinggi dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat terjadi bila arus informasi yang terjadi berjalan dengan lancar dan seimbang. Lembaga pemasaran yang lebih rendah dapat mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga.

(34)

16

Menurut Faminow dan Benson (1990), pada kasus pasar spasial, produk yang identik diasumsikan dibedakan berdasarkan lokasi. Jika dua pasar melakukan perdagangan, perubahan harga pada satu pasar akan menyebabkan respon harga pada pasar lainnya. Hubungan harga spasial telah umum digunakan untuk mengindikasikan market performance.

Integrasi dari pasar spasial menunjukkan pergerakan harga yang terjadi dan merupakan signal dari keterpaduan harga dan informasi yang dipertukarkan di pasar yang terpisah. Menurut Tomek dan Robinson (1990), konsep integrasi pasar spasial ditunjukkan dari hubungan antar pasar yang terpisah secara geografis, dapat dijelaskan dengan model keseimbangan spasial (spatial equilibrium model). Pada perdagangan internasional, integrasi pasar spasial merupakan hubungan yang erat antara pasar eksportir dan importir dimana harga di pasar importir adalah sama dengan harga di pasar eksportir ditambah dengan biaya transportasi dan biaya transfer lainnya. Model keseimbangan spasial dikembangkan dari kurva excess demand dan excess supply yang terjadi pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Senada dengan Tomek dan Robinson (1990), menurut Fitrianti (2009), integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial.

Model Analisis Integrasi Pasar

Analisis integrasi pasar dapat dilakukan melalui empat metode pendekatan, yaitu pendekatan korelasi harga, metode regresi sederhana, kointegrasi dan metode VAR/VECM. Metode pendekatan korelasi digunakan hanya untuk menganalisis keterkaitan harga pada dua pasar yang berbeda. Namun, metode korelasi tidak memperhitungkan faktor-faktor lain seperti inflasi harga, musim, pertumbuhan populasi dan lain-lain. Pendakatan korelasi memiliki kelemahan yaitu terdapat masalah spurious correlation yang dapat menimbulkan kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan dan juga karena adanya ketidakstasioneran yang sering terjadi. Hutabarat (1988) menyatakan bahwa pendekatan dengan koefisien korelasi dapat memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga yang terjadi bisa saja dikarenakan pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Umumnya sistem pasar yang efisien memiliki derajat korelasi positif yang tinggi namun korelasi yang rendah tidak selalu menunjukkan pasar yang tidak efisien (Asmarantaka 2012).

Metode yang kedua yang dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar adalah regresi sederhana. Keunggulan yang dimiliki oleh metode ini adalah dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antara pasar yang terintegrasi. Namun metode ini tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel dependen ataupun independen. Hal ini merupakan kelemahan dari metode regresi sederhana karena pada metode ini harga yang terjadi di pasar mungkin saja hanya bergerak secara bersamaan.

(35)

17 diperoleh tidak sporious (semu), mampu menentukan besarnya integrasi, arah transformasi harga dan menganalisis pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi sehingga merupakan solusi atas kekurangan yang terdapat pada metode pendekatan sebelumnya. Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR adalah:

1. Semua peubah tidak bebas harus bersifat stasioner (mean, variance, dan covariance bersifat konstan).

2. Semua sisaan bersifat white noise (memiliki rataan nol, ragam yang konstan dan saling bebas).

Secara umum model VAR dengan n variabel endogen pada waktu t adalah sebagai berikut (Enders 2004):

Yt = A0 + A1Yt-1 + A2Yt-2 + ... + Apyt-p + εt ... 2.4

Dimana:

Yt = Vektor peubah tak bebas ( y1t, y2t, ...,ynt) yang berukuran n x 1

A0 = Vektor intersep berukuran n x 1

A1 = Matriks parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2, ..., p

εt = Vektor dari residual berukuran n x 1

n = Jumlah baris pada matriks n x m m = Jumlah kolom pada matrik n x m.

Brooks (2003) menyatakan bahwa model VAR memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan dengan model deret waktu tunggal (univariate) maupun model struktur persamaan simultan. Keunggulannya yaitu:

1. Peneliti tidak memerlukan penentuan variabel manakah yang merupakan variabel endogenous ataupun eksogenous karena semuanya merupakan model endogenous

2. VAR memperkenalkan nilai dari variabel untuk bergantung lebih dari pada lag-nya sendiri, jadi VAR lebih fleksibel daripada model univariate AR,yang selanjutnya ditunjukkan sebagai kasus restriksi dari model VAR. Sehingga model VAR dapat menawarkan lebih banyak struktur, mengimplikasikan bahwa VAR mampu mendapatkan lebih banyak fitur dari data

(36)

18

Model VECM merupakan model VAR non struktural yang juga disebut dengan VAR terestriksi (restricted VAR) karena merestriksi perilaku hubungan jangka panjang antar variabel agar konvergen dalam hubungan kointegrasi tetapi tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Istilah error correction digunakan karena adanya koreksi secara bertahap melalui penyesuaian jangka pendek terhadap deviasi dari equilibrium model jangka panjang (Hidayanto 2014). Secara umum persamaan model VECM dapat dituliskan sebagai berikut:

ΔYt = ki=1−1ΓiΔYt-1 – γβYt-1 + εt ... 2.5

Dimana:

Γ = Koefisien hubungan jangka pendek β = Koefisien hubungan jangka panjang

γ = Kecepatan menuju keseimbangan (speed of adjustment)

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai integrasi pasar, daya saing dan faktor yang mempengaruhi daya saing pada sektor pertanian sudah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan penulis adalah sebagai berikut:

Daya Saing Ekspor

Penelitian mengenai daya saing ekspor lada pernah dilakukan sebelumnya oleh Marlina (2008). Herfidhal Index dan Concentration Ratio digunakan untuk melihat struktur pasar lada. Hasilnya adalah pasar lada memiliki kencendrungan kearah pasar oligopoli dengan tingkat konsentrtasi yang sedang dan terdapat empat produsen lada tersebesar dengan pangsa 62 persen. Metode RCA digunakan dalam melihat daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Hasilnya adalah lada memiliki keunggulan komparatif lebih dari satu. Bahkan pada tahun 2006, nilai RCA adalah 14.32. namun angka tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam.

Kustiari, et al. (2012), meneliti kinerja ekspor dan daya saing manggis Indonesia di pasar internasional. Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dari daerah sentra produksi manggis di Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Kinerja manggis Indonesia di dunia dianalisis menggunakan Constant Market Share (CMS) dan daya saing diukur menggunakan PAM. Dihasilkan kesimpulan bahwa walaupun volume ekspor manggis Indonesia meningkat dari waktu ke waktu, namun pangsa pasar dan daya saing ekspor yang dimiliki cenderung menurun. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan mencari negara yang permintaan impornya besar dengan laju pertumbuhan yang cepat.

(37)

19 kakao, karet, kayu manis, kelapa sawit, kelapa, kopi, lada, pala, teh dan tembakau. Hasil yang diperoleh, secara keseluruhan posisi dan tingkat daya saing yang paling tinggi dimiliki oleh kelapa sawit sedangkan komoditas yang paling kompetitif di pasar internasional adalah komoditi kacang mete. Pasar yang paling baik menjadi pasar tujuan ekspor Indonesia akibat permintaan yang selalu meningkat adalah pasar Malaysia, India, Tiongkok, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan dunia. Sedangkan empat pasar lainnya yaitu Belanda, Belgia, Australia dan Inggris memiliki permintaan komoditi yang menurun.

Kustiari (2007) melakukan penelitian mengenai posisi dan prospek kopi Indonesia di pasar internasional. Kustiari (2007) menggunakan CMS dalam menganalisis daya saing kopi Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah kinerja ekspor kopi Indonesia lebih baik pada masa pasar bebas dibandingkan dengan pada saat diberlakukannya sistem kuota oleh ICO (1986-1989). Ekspor Indonesia tampak terkonsentrasi pada pasar-pasar yang memiliki pertumbuhan yang lambat.

Sudarlin (2008) menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dalam menganalisis daya saing komoditas lada putih yang dikenal dengan Muntok white pepper di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Responden yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 25 orang. Kesimpulan yang diperoleh adalah pengusahaan lada putih di Kecamatan Airgegas masih memiliki daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) yang ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRCP masing-masing sebesar 0.22 dan 0.18. dengan demikian pengusahaan lada putih sangat ekonomis untuk terus dikembangkan.

Analisis yang diperoleh oleh Hasyim (1994) menemukan bahwa keempat negara produsen utama lada, yaitu India, Malaysia, Brazil dan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif karena nilai biaya sumberdaya korbanan yang digunakan lebih kecil daripada nilai devisanya dan lebih kecil dari nilai tukar. Metode yang digunakand alam analisis komparatif adalah Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Indonesia juga diketahui berada pada urutan pertama negara dengan keunggulan kompetitif yang paling baik selanjutnya secara berurutan adalah India, Malaysia dan Brazil.

Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sudah pernah dilakukan oleh Rahmanu (2009); Widyastutik dan Ashiqin (2011). Rahmanu (2009) menganalisis faktor yang mempengaruhi daya saing pada industri pengolahan dan hasil olahan kakao Indonesia. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao adalah harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah produktivitas industri pengolahan kakao karena daya saing lebih dipengaruhi oleh mutu dan kualitas produk. Sedangkan Widyastutik dan Ashiqin (2011) menganalisis faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor CPO menggunakan model regresi panel data. Ditemukan bahwa penawaran ekspor secara signifikan dipengaruhi oleh produksi domestik, harga internasional, harga domestik, nilai tukar dan lag ekspor.

Integrasi Pasar

(38)

20

terjadi. Sebanyak 60 orang dijadikan responden dalam penelitian ini. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pada pemasaran lada hitam di Lampung, petani menerima sebagian besar yaitu sebanyak 85 persen dari harga FOB, sedangkan petani lada putih adalah 80 persen dari harga FOB. Harga lada hitam di tingkat petani dan harga eksportir tidak berhubungan, sedangkan antara harga eksportir dan harga dunia terintegrasi sangat lemah. Integrasi harga lada putih di tingkat petani dan eksportir terintegrasi sangat lemah, sedangkan antara harga eksportir dan harga dunia cendrung terintegrasi kuat. Terintegrasinya harga eksportir dan harga dunia mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi dinamika harga di pasar internasional.

Sianturi (2005) melakukan penelitian mengenai integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia menggunakan metode VAR. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sianturi (2005), pasar gula domestik ternyata terintegrasi secara lemah dengan pasar gula dunia. Harga gula dunia jenis raw sugar berpengaruh secara nyata dan bertindak sebagai pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga gula dunia.

Kustiari (2007) melakukan penelitian mengenai posisi dan prospek kopi Indonesia di pasar internasional. Integrasi pasar sebagai salah satu analisis struktur pasar digunakan dalam penelitian tersebut. Metode VECM yang digunakan dalam penelitian memberikan hasil berupa harga kopi biji di tingkat petani, baik robusta dan rabika, terintegrasi dengan harga di pasar internasional. Harga kopi robusta menyesuaikan keseimbangan jangka panjang relatif lebih lambat karena harga kopi robusta lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan kopi arabika.

Aprilia et al, (2014) melakukan penelitian mengenai hubungan antara harga di tingkat petani dan retail pada pasar jagung di Indonesia. Penggunaan TVECM dilakukan untuk mengestimasi Threshold Cointegration seri harga jagung. Harga di tingkat retail meningkat lebih cepat jika dibandingkan dengan harga di tingkat petani. Harga jagung di tingkat petani lebih efisien jika dibandingkan harga jagung di tingkat retailer. Hal ini mengindikasikan bahwa harga di tingkat petani memiliki biaya transaksi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan harga di tingkat retail, dan proses penyesuaian harga lebih efisien pada tingkat petani, dan juga harga jagung hanya dipengaruhi oleh satu periode sebelumnya.

Goodwin dan Piggott (2001), melakukan penelitian pengenai integrasi pasar jagung dan keledai pada empat pasar terminal di Carolina Utara. Harga jagung diwakili diperoleh dari pasar Williamston, Candor, Cofield dan Kinston. Harga kedelai diperoleh dari Fayetteville, Raleigh, Greenville dan Kinston. Pada setiap pengamatan, pasar terbesar dalam hal volume (Williamston untuk jagung dan Fayyetteville untuk kedelai) diambil sebagai pasar utama untuk dibandingkan dengan tiga pasar lainnya. Goodwin dan Piggott (2001) membandingkan harga pada tiap pasar terhadap pasar pusat. Hasil yang didapatkan adalah pasar terintegrasi. Analisisnya menyatakan adanya signifikasni dari efek Threshold dan menunjukkan jika keberadaannya dapat mempengaruhi hubungan pasar spasial secara signifikan.

Gambar

Tabel 1 Negara tujuan dan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia tahun 2010- 2010-2014 (000 USD)  No
Tabel 2 Luas areal, produksi dan ekspor lada di Indonesia tahun 2006-2013
Gambar 2 Negara importir lada di dunia tahun 2009-2013
Gambar 3 Negara tujuan ekspor lada putih indonesia tahun 2009-2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dibingkai dalam topik besar implementasi metode tematik pada anak tunagrahita yang secara khusus melihat praktek pendidikan di sekolah menengah pertama

Teknik menghentikan bola ini berguna untuk mengendalikan bola, mengatur tempo permainan, dan memudahkan untuk memberikan umpan pada pemain lainnya.. Ada beberapa cara

5.1 Kesimpulan Penerapan PPh OP dari online forex trading yang menggunakan broker dalam negeri dan luar negeri dilakukan secara self assesment system dengan mengharapkan

Pada dasarnya, yang disebut dengan bunga kecombrang adalah suatu. karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung,

Adanya peningkatan kemampuan problem solving dalam penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan

Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini merupakan penelitian korelasi, yaitu upaya untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan terminal Pulogadung

Ketika negara kuat memutuskan untuk tidak mematok biaya dan menjadikannya insentif, maka biaya besar harus siap ditanggung oleh negara kuat, dalam hal ini adalah AS dan Eropa

Pada DP 3 diperoleh harga konstanta laju disolusi paling tinggi dari masing-masing perbandingan serbuk ketoprofen, hal ini disebabkan adanya matrik yang bersifat