• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waveform Retracking Satelit Jason 2 Tahun 2012 Di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Waveform Retracking Satelit Jason 2 Tahun 2012 Di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN

2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT

MEILANI PAMUNGKAS

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Waveform Retracking

Satelit Jason 2 Tahun 2012 Di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Meilani Pamungkas

(4)
(5)

ABSTRAK

MEILANI PAMUNGKAS. Waveform Retracking Satelit Jason 2 Tahun 2012 di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan MULIA PURBA.

Waveform retracking yang digunakan untuk Satelit Jason 2 adalah suatu metode untuk menganalisis bentuk-bentuk waveform pulsa yang dipancarkan berulang dari permukaan laut dan diterima oleh sensor Satelit Altimetri. Bentuk waveform dipengaruhi oleh ingar yang semakin tinggi ketika mendekati wilayah pantai sehingga sulit untuk dianalisis dan berbeda saat waveform terbentuk di laut lepas. Penelitian ini berlokasi di wilayah pesisir Mentawai, Sumatera Barat. Data yang digunakan adalah data Satelit Jason 2 menggunakan data Sensor Geophysical Data Record type D (SGDR-D) dan data undulasi geoid global Earth Gravitational Model 2008 (EGM08). Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan hasil dari bentuk waveform retracking terhadap metode ocean retracking di wilayah pesisir, Menganalisis nilai Improvement Precentage (IMP) dari setiap metode retracking, serta SSH selama tahun 2012. Penelitian ini menggunakan lintasan dengan nomor 001 pada periode 130, 135, 148, 151, 162 dan 164 dengan kategori jarak 0 – 10 km, 10 – 50 km, dan 50 – 100 km. Membandingkan analisis waveform digunakan beberapa metode, yaitu Offset Centre of Gravity (OCOG), ocean, ice, threshold

(level 10%, 20%, 50%), dan improve retracking (level 10%, 20%, 50%). Bentuk

waveform di pesisir pantai Mentawai, Sumatera Barat yaitu peak echoes. Bentuk

waveform di laut lepas memiliki bentuk yang ideal, adalah brown echoes. Peforma setiap metode waveform retracking berbeda di setiap jarak. Metode threshold 10% merupakan metode yang paling optimal untuk menganalisis waveform yang terdapat di setiap lintasan. Rata-rata tinggi muka laut dari geoid pada lintasan 001 selama tahun 2012 di Musim Barat adalah 5,03 m, sedangkan di Musim Timur (Mei-Oktober) sebesar 4,91 m dan metode yang paling optimal adalah threshold

10%.

(6)

ABSTRACT

MEILANI PAMUNGKAS. Waveform Retracking Jason 2 satellite in 2012 at the Coastal of Mentawai Island, West Sumatra. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and MULIA PURBA.

Waveform retracking used for the satellite Jason 2 is a retracking method for analyzing waveform pulse shapes that were repeatedly transmitted from sea surface and received by Altimetry Satellite sensor. Waveform shape affected by the noise when it approaches the shore and this forms are difficult to analyze, but such effect is dissapeared when the wave formed on the open seas. The location for this research is the coastal areas Mentawai, West Sumatra with the Jason 2 satellite during 2012 using Sensor Geophysical Data Recordtype D (SGDR-D) data and Earth Gravitational Model 2008 global geoid (EGM08) data. The purpose of this research was to compare the result of the waveform retracking to the ocean retracking method in coastal areas, analyze Improvement Precentage

(IMP) values of Sea Surface Height (SSH) changes, and SSH during 2012 period. This research uses tracks with the number 001 on periods of 130, 135, 148, 151, 162, and 164 with distance category 0 – 10 km, 10 – 50 km, and 50 – 100 km. The waveform analysis are Offset Centre of Gravity (OCOG), ocean, ice, threshold

(level 10%, 20%, 50%), and improve retracking (level 10%, 20%, 50%). Waveform shape in the Mentawai coast, West Sumatra were peak echoes. Waveform shape that formed on the open seas has the ideal shape, which is brown + peaky echoes. Performance in each waveform retracking methods are different in each distance. Threshold 10% method is the most optimal method for analyzing waveform contained in every track. Sea surface height average from geoid in track 001 during 2012 period in West Monsoon (November-April) is the 5,03 m, whereas East Monsoon (May-October) is the 4,91 m and the most optimal method is the threshold 10%.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN

2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT

MEILANI PAMUNGKAS

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Waveform Retracking Satelit Jason 2 Tahun 2012 Di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat

Nama : Meilani Pamungkas NIM : C54080048

Disetujui oleh

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan selesai. Skripsi dengan judul “Waveform Retracking Satelit Jason 2 Tahun 2012 Di Pesisir Pulau Mentawai, Sumatera Barat” yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si dan Bapak Prof. Dr. Mulia Purba, M.Sc selaku dosen pembimbing serta Bapak Dr. Ir Parluhutan Manurung selaku pembimbing lapang. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku dosen penguji. Ibu Risti Endriani Arhatin, S. Pi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik. Kedua orang tua, Ayah Adelinsyah, Ibu Rr Suari Ayu Woro Donowati. Kedua kakak, Seto Bramono Eko Saputro dan Ade Sovia Ekasanty. Danu Adrian, sahabat yang membantu dan menyemangati sampai penelitian ini selesai. Teman-teman ITK 45 dan lainnya yang selalu mendoakan dan menyemangati selama penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, saran dan doa demi kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain dan mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikkan dan pengembangan lebih lanjut untuk penelitian ini.

Bogor, Januari 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL……….. xi

DAFTAR GAMBAR……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xi

PENDAHULUAN……….. 1

Latar Belakang………... 1

Tujuan Penelitian………... 2

METODE………... 2

Waktu dan Tempat Penelitian………... 2

Sumber Data………... 3

Alat……… 3

Metode Analisis Data……… 4

Perolehan dan Pengolahan Data……… 4

Metode Ocean and Ice Retracker………. 5

Metode Offset Centre of Gravity Retracker (OCOG)……….. 6

Metode Threshold……… 8

Metode Improved Threshold………. 9

Metode Perhitungan Sea Surface Height (SSH) ..………. 10

Metode Perhitungan Improvement Precentage ………..…………. 11

HASIL DAN PEMBAHASAN………. 11

Bentuk Waveform di Perairan Mentawai, Sumatera Barat……… 11

IMP Tinggi Muka Laut (SSH) Perairan Mentawai……….…. 18

Variasi Nilai SSH Selama Tahun 2012………..……. 25

SIMPULAN DAN SARAN……….. 26

Simpulan………... 26

Saran………. 27

DAFTAR PUSTAKA………... 27

LAMPIRAN……….. 30

(13)

DAFTAR TABEL

1 Koordinat Pengamatan Waveform Retracking Jason 2 Lintasan 001... 3 2 Parameter Metode Waveform Retracking ………. 6 3 Statistik Hasil Waveform Retracking pada Kategori Jarak 0 – 10 km

Periode 130, 10 – 50 km Periode 148 dan 50 – 100 Periode 162……. 19 4 Statistik Hasil Waveform Retracking pada Kategori Jarak 0 – 10 km

Periode 135, 10 – 50 km Periode 151 dan 50 – 100 Periode 164…….. 22

DAFTAR GAMBAR

1 Daerah Pengamatan di Pesisir Mentawai, Sumatera Barat …..…………. 3 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian ………. 5

3 Skema Metode OCOG ………. 8

4 Diagram Alir Improved Threshold Retracker ……….. 10 5 Waveform Lintasan 001 Periode 130 (Bulan Januari) dengan Jarak 0 –

10 km Tampak Samping (a) dan Tampak Atas (b) Tahun 2012 ……….. 12 6 Waveform Lintasan 001 Periode 135 (Bulan Maret) dengan Jarak 0 – 10

km Tampak Samping (a) dan Tampak Atas (b) Tahun 2012 …………... 13 7 Bentuk Waveform Periode 130 (a) dan 135 (b) Jarak 0 – 10 km ...…….. 13 8 Waveform Lintasan 001 Periode 148 (Bulan Juli) dengan Jarak 10 – 50

km Tampak Samping (a) dan Tampak Atas (b) Tahun 2012 …………... 14 9 Waveform Lintasan 001 Periode 151 (Bulan Agustus ) dengan Jarak 10

– 50 km Tampak Samping (a) dan Tampak Atas (b) Tahun 2012 ……... 15

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Bentuk Kelas Waveform dari Jason 2 ………... 30 2 Prevalensi Bentuk Waveform Jason-2 Sebagai Fungsi dari Jarak Ke

Pantai Terdekat ………….……… 30

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini pemanasan global menjadi isu penting karena dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia di masa mendatang. Faktor pemicu utama adalah peningkatan suhu di bumi karena efek gas rumah kaca (Wood, 1909). Pemanasan global ini menyebabkan lapisan es di Kutub mencair dengan laju yang lebih besar sehingga laju tinggi muka laut meningkat.

Kenaikan muka laut ini berdampak besar bagi penduduk pesisir karena akan mengganggu kegiatan masyarakat, seperti menyebabkan banjir yang lebih parah dan tenggelamnya daratan yang rendah. Di Indonesia dampak naiknya muka laut mulai terasa akan mengancam wilayah di daerah pesisir, sehingga kenaikan muka laut perlu dipantau.

Satelit altimetri merupakan Radio Detection and Ranging (RADAR) gelombang mikro dapat digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara permukaan dengan satelit di antariksa. Pengukuran ini dapat menghasilkan topografi permukaan laut sehingga dapat menduga geoid laut, arus permukaan dan ketinggian gelombang. Prinsip kerja satelit altimetri adalah memancarkan pulsa pendek ke arah paras laut tepat di bawahnya dan menerima kembali pantulannya, sehingga waktu perjalanan pulsa dapat dihitung apabila kecepatan gelombang mikro diketahui. Waktu perjalanan pulsa dikonversi untuk mendapatkan jarak antara satelit dan paras laut (Stewart, 1985; Chelton, 1987; Robinson, 1991).

Tinggi muka laut dihitung berdasarkan pengurangan tinggi satelit terhadap elipsoid referensi dengan jarak satelit dan paras laut. Waktu yang direkam oleh satelit dikoreksi terhadap kelambatan waktu perjalanan sinyal melalui atmosfer (Harini, 2004).

Satelit Altimetri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Satelit Jason-2. Menurut NASA (2009), satelit ini melanjutkan pengukuran tinggi muka laut dengan menggunakan presisi tinggi untuk mengukur jarak vertikal dari satelit ke permukaan laut. Satelit Jason-2 mempunyai ketelitian dalam penentuan tinggi muka laut sebesar ± 4 cm (Digby, 1999). Ketelitian tersebut hanya berlaku bagi pengukuran tinggi muka laut di wilayah laut terbuka dan dalam. Wilayah laut tertutup, dangkal dan sekitar pantai, ketelitiannya jauh lebih rendah ± 10-42 cm (Heliani et al., 2002, Heliani dan Anom, 2007). Hal ini disebabkan (Cotton dan Menard, 2008); (1) kesulitan satelit untuk melakukan pengambilan data sesaat satelit melintas dari daratan menuju perairan (lost of lock) dan (2) kompleksitas kondisi pasut pada wilayah pantai dan perairan dangkal. Beberapa metode penelitian yang digunakan untuk mengukur tinggi muka laut dengan menggunakan satelit altimetri seperti melakukan koreksi dengan pemrosesan ulang terhadap data waveform dengan menggunakan algoritma atau biasa disebut dengan waveform retracking.

(17)

2

dan dapat dihilangkan ingar yang disebabkan oleh daratan. Metode waveform retracking ini biasa digunakan di daerah pantai. Waveform memiliki beberapa bentuk, misalnya bentuk brown echoes yang sering ditemukan di laut lepas. Peak echoes dan peak noise yang biasanya ditemukan dekat wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh daratan (Lampiran 1).

Metode analisis waveform retracking sudah banyak diteliti seperti, metode

Offset Centre of Gravity (OCOG) mampu menganalisis dengan baik waveform

yang terbentuk dan mendapatkan nilai Sea Suraface Height (SSH) paling akurat jika dibandingkan dengan metode ice, threshold, ocean di Laut Cina (Yang et al., 2008). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2010) menunjukkan bahwa metode ocean retracking tidak mampu menganalisis dengan baik

waveform yang terbentuk di wilayah pesisir. Hal ini karena pengukuran di wilayah pesisir memberikan informasi yang salah dan kesalahan dalam pengukuran.

Beberapa peneliti sebelumnya menyatakan adanya hasil analisis yang berbeda-beda dengan metode sama. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian waveform retracking di wilayah laut Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (a) Membandingkan analisis waveform

tinggi muka laut dengan menggunakan beberapa metode retracking terhadap metode ocean retracking di wilayah pesisir; (b) Menganalisis nilai Improvement Precentage (IMP) dari setiap metode retracking; (c) Menganalisis perubahan nilai SSH dari proses waveform retracking selama tahun 2012.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012 hingga Oktober 2013, bertempat di Kampus Institut Pertanian Bogor dan Badan Informasi Geospasial (BIG), Cibinong. Lokasi pengamatan adalah daerah bagian selatan perairan Mentawai, Sumatera Barat (Gambar 1) dimana lintasan pengamatan satelit Jason 2 pada lintasan 001 dengan koordinat awal 1º51’2.56” LS dan 99º15”30.92 BT hingga 2º47’53.21” LS dan 98º54’34.01” BT.

(18)

3

Gambar 1. Daerah Pengamatan di Pesisir Mentawai, Sumatera Barat Tabel 1. Koordinat Pengamatan Waveform Retracking Jason 2 Lintasan 001

Stasiun Koordinat Lintasan

Jason-2 Lintang (LS) Bujur (BT)

1 1º51’02.58” 99º15’30.92” 001

2 1º56’09.89” 99º04’17.52” 001

3 2º21’53.21” 99º21’53.21” 001

4 2º47’12.89” 99º54’34.01” 001

Sumber Data

Data yang digunakan adalah data Satelit Jason 2 Sensor Geophysical Data Record (SGDR) dengan nomor lintasan (pass) 001 selama tahun 2012. Lintasan 001 merupakan lintasan ascending, yaitu pergerakan satelit saat melakukan pengamatan dimulai dari bumi bagian selatan menuju ke utara. Data ini diperoleh dari situs “NOAA’s Compreshensive Large Array-data Stewardship System

(http://www.class.ncdc.noaa.gov/)”. Data pasang surut selama tahun 2012 yang diperoleh dari situs “IOC-Sea Level Monitoring (http://www.ioc-sealevelmonitoring.org/)”. Syntax MATLAB untuk pengolahan waveform retracking, serta data Geoid Global EGM2008 versi WGS 84 yang diperoleh dari situs “National Geospatial-Intelligence Agency (NGA)“.

Alat

Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari perangkat keras berupa Laptop berbasis Intel Core 2 dan perangkat lunak MATLAB R2012a

(19)

4

(7.14.0.739) untuk mengolah data SGDR-D satelit Jason-2. Pembuatan peta lokasi penelitian digunakan perangkat lunak ArcGIS 9, Google Earth, Global Mapper dan hsynth_WGS84.exe untuk menghasilkan nilai geoid EGM08.

Metode Analisis Data

Perolehan dan Pengolahan Data

Tahapan pelaksanaan penelitian tertera pada Gambar 2. Setelah data didapatkan dilakukan proses seleksi untuk wilayah yang akan diamati dengan menggunakan software hsynth_WGS84,exe. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MATLAB dengan menginput algoritma ke dalam sebuah

listing program (sintak). Kemudian masukkan data geoid pada MATLAB yang digunakan untuk menghitung nilai SSH dari tinggi geoid dan IMP.

Tahap retracking data waveform satelit Jason-2 menggunakan nilai 20 Hz yang merupakan hasil koreksi dari beberapa parameter geofisik dan atmosferik. Kemudian dilakukan retracking terhadap data waveform dari band Ku (13.575 GHz) yang merupakan jarak yang direkomendasikan untuk SGDR Jason-2 (OSTM, 2009).

Penelitian ini dilakukan menjadi beberapa tahap, seperti membaca data dan proses editing, penerapan metode waveform retracking, menghitung nilai SSH dengan metode ocean retracking dan ice retracking yang sudah menghasilkan pengukuran data SGDR-D. Kedua metode tersebut tidak perlu dianalisis kembali terhadap waveform, karena dua dari sembilan metode sudah memberikan hasil pengukuran pada data SGDR-D.

Metode lain yang digunakan untuk menganalisis waveform hingga mendapatkan nilai jarak yang sudah ditentukan adalah OCOG, Threshold (tingkat ambang batas 10%, 20% dan 50%), improved threshold (tingkat ambang batas 10%, 20% dan 50%). Metode yang digunakan sebanyak sembilan metode dengan beberapa parameter (Tabel 1). Proses ini menghasilkan nilai gate retracking yang berbeda-beda dan akan dikoreksi dengan melihat nilai rata-ratanya hingga dihasilkan nilai SSH.

(20)

5

Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian

Metode Ocean and Ice Retracker

Ocean retracking dan ice retracker digunakan untuk menghasilkan nilai jarak antara satelit dengan permukaan bumi. Perhitungan rata-rata kekuatan sinyal yang dikembalikan dari permukaan lautan P (t) dideskripsikan sebagai perhitungan dari ketiga kondisi berdasarkan perubahan waktu (t), seperti Flat Sea Surface Response, Point Target Response dan Probability Density Function

(21)

6

dimana : P (t) = rata-rata kekuatan sinyal yang dikembalikan dari permukaan lautan

FSSR (t) = rata-rata respon impuls dari permukaan datar lautan PTR (t) = respon titik target pada sistem radar

PDF (t) = fungsi probabilitas kerapatan dari tinggi permukaan laut pada pantulan spekular.

Pengamatan di atas permukaan laut, persamaan ini tidak berlaku. Namun ketika satelit mengamati di atas perairan dekat dengan daratan persamaan ini berlaku. Hal ini karena pantulan sinyal dari daratan bersama-sama terekam oleh satelit, sehingga on-board menghitung jarak dari waveform yang terdapat ingar

dan menyebabkan berbagai kesalahan perhitungan (Tourian et al., 2012). Data metode ice retracker tersedia dalam data SGDR Jason 2 (Lee et al., 2010).

Tabel 2 Parameter metode waveform retracking

Metode

OCOG (Offset Center of Gravity)

Threshold (10%, 20%, 50%)

Improved Threshold (10%, 20%, 50%)

Sea Surface Height

Improvement Precentage (IMP)

Metode Offset Centre of Gravity Retracker (OCOG)

Menurut Gommenginger et al. (2011), metode OCOG digunakan untuk menemukan pusat gravitasi dari bentuk empat persegi panjang pada waveform

(Gambar 3) berdasarkan kekuatan gelombang yang diterima kembali oleh satelit di setiap gerbang (gate). Tahapan awal, yaitu data waveform diolah dengan menggunakan tujuh metode retracking yaitu, OCOG, Threshold dan Improved threshold (tingkat ambang batas 10%, 20%, 50%). Menurut Gommenginger et al. (2011) bahwa amplitudo (A) dan lebar (W) waveform serta posisi gate waveform centre of gravity (COG) yang diperkirakan dari bentuk data waveform

(22)

7

dimana :

Pi (t) = Energi waveform dari gerbang (gate) ke-i

N = Jumlah gerbang (gate) pengamatan (Jason-2 memiliki 104 gerbang atau N = 104)

n1 = Nomor gerbang (gate) awal

n2 = Nomor gerbang (gate) akhir (nilai n1 dan n2 = 4 (Hwang et al, 2006))

Perhitungan Leading Edge Point (LEP), digunakan nilai COG yang dihasilkan untuk mendapatkan waktu terjadinya LEP atau setengah titik kemiringan pada waveform dengan menggunakan rumus :

dimana :

COG = Variabel Centre of Gravity dari setiap bentuk gelombang

A = Amplitudo

W = Lebar gerbang pengamatan gelombang yang dijadikan sampel perhitungan

Metode OCOG mudah diterapkan untuk retracker waveform yang kuat, tergantung pada statistik sampel waveform. Hal ini sangat baik untuk diadaptasi di permukaan bumi, dimana jarak bervariasi dengan cepat (seperti es di benua) namun penggunaannya untuk pengambilan jarak terbatas karena perumusan tidak terkait dengan sifat fisik dari pantulan permukaan bumi. Terkadang OCOG digunakan untuk menghitung nilai awal retracker threshold dan meningkatkan

(23)

8

Gambar 3 Skema Metode OCOG (Gommenginger et al., 2011)

Metode Threshold

Threshold digunakan untuk menghasilkan estimasi jarak antara satelit dengan permukaan yang lebih baik pada satelit altimetri (Davis, 1997). Pada metode threshold didasarkan pada dimensi dari persegi panjang yang dihitung menggunakan metode OCOG. Nilai threshold direferensikan sehubungan dengan nilai amplitudo OCOG atau nilai amplitudo waveform 10%, 20 % dan 50 % dari amplitudo. Penggunaan threshold level yang optimal sangat penting pada metode ini, karena level dari amplitudo digunakan untuk mengukur elevasi perubahan lapisan es (Davis, 1997). Menurut Gommenginger et al. (2011), tahap perhitungan metode threshold seperti berikut :

Menghitung thermal noise :

Hitung tingkat threshold :

h = PN + q (A – PN) (6)

Rentang retrack di leading edge dari waveform dihitung dengan

interpolasi linier antara gate yang berdekatan dengan Th menggunakan :

Gr = Gk-1 + (7)

dimana :

A = Ditentukan oleh persamaan 1

PN = Rata-rata dari energi waveform dari lima gate pertama

(24)

9 Gr = Gerbang pengamatan saat terjadi LEP hasil retracking

Gk = Energi di gate ke k, dimana k adalah lokasi yang melebihi

dari Th gate pertama.

Th = Threshold level

Metode Improved Threshold

Pengembangan metode Improved Threshold menurut Hwang et al. (2006) untuk menghasilkan nilai jarak antara satelit dengan permukaan yang lebih baik pada bentuk gelombang yang kompleks. Hal ini karena metode OCOG dan metode threshold tidak dapat menentukan saat terjadinya LEP, sehingga tidak mampu menghasilkan jarak yang baik antara satelit dengan permukaan. Prosedur

Improved Threshold dapat dilihat pada Gambar 4.

Leading edge sesuai retrack dan jarak SSH dihitung untuk setiap

sub-waveform. Metode digunakan saat data mulai berada di laut terbuka dan lanjut ke arah daratan, sehingga SSH dapat ditetapkan lebih akurat di laut terbuka daripada di perairan pantai. Pertama, jika salah menghitung berarti adanya perbedaan antara kekuatan di setiap gate (gerbang) lainnya, yang dihitung sebagai:

Jika nilai lebih besar dari nilai yang diberikan , hal ini berarti energi menunjukkan puncak dan sub-waveform terdeteksi. Nilai Pi adalah energi kembali untuk i yang merupakan gate (gerbang). Jika setengah perbedaan lebih besar dari nilai yang diberikan , itu berarti energi menunjukkan puncak dan sub-waveform terdeteksi. Perbedaan antara dua gelombang yang berhasil diperoleh berturut-turut kemudian dihitung. Jika perbedaan ini lebih besar dari nilai yang diberikan , gate yang sesuai disertakan dalam sub-waveform yang sebenarnya. Sub-waveform tertentu akan berakhir bila perbedaan lebih kecil daripada , dimana gerbang permukaan jalur sub-waveforms ditentukan menggunakan equivalent 1 untuk menentukan amplitudo A dan dengan menerapkan persamaan

threshold retracker 5 untuk 7 (Gommenginger et al. 2011).

(25)

10

Gambar 4 Diagram Alir prosedur Improved Threshold Retracker (Gommenginger

et al., 2011)

Metode Perhitungan Sea Surface Height (SSH)

Untuk mendapatkan nilai SSH dari satelit altimetri dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan secara umum dengan menggunakan rumus seperti berikut :

i = Batas1-Batas2 k = 0

Tidak Maka, i = i + 1

Membandingkan energi gelombang pada gerbang yang berurutan dengan nilai

k dimulai dengan nilai 0

Ya

Maka, k = k + 1 Batas 1 = i

Tidak Batas 2 = k

Bentuk sub-waveform dari i-4 hingga i+k+4

Tentukan sebuah gerbang pelacakan dari sub-waveform

yang terbentuk menggunakan persamaan 1 di metode OCOG dan persamaan 5 serta 7 di metode Threshold

lalu pilih nilai yang paling baik. Selesai

Dimulai dari gate ke

i dan nilai i adalah 5

gerbang pertama pada gelombang

(26)

11 dimana nilai H merupakan ketinggian satelit terhadap referensi ellipsoid (WGS84) (Yang et al., 2008). Nilai R adalah nilai range yang sudah dikoreksi dengan metode retracking atau non retracking dan nilai adalah jumlah nilai variabel-variabel koreksi instrument, geofisikal dan atmosferik.

Metode Perhitungan Improvement Presentage (IMP)

Berdasarkan tingkat kemampuan analisis waveform untuk beberapa metode retracking dapat dilakukan perbandingan dengan menghitung nilai IMP (Hwang et al. 2006). Untuk mengetahui keakuratan dari beberapa metode retracking

dilakukan dengan cara menghitung nilai Improvement Presentage (IMP) atau persentase perbaikkan kemampuan. Nilai IMP diperoleh dengan mencari nilai

Standard Deviation (SD) atau simpangan baku dari selisih antara SSH dengan geoid. Untuk menghitung nilai IMP (Hwang et al., 2006) :

Persamaan ini menjelaskan bahwa merupakan standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH metode Ocean dengan geoid dan selisih SD antara SSH retracker dengan geoid. Untuk melihat keakuratan performa retracker

yang baik adalah hasil retracker memiliki nilai IMP tertinggi pada masing-masing kategori jarak di lintasan yang diamati. Jika nilai negatif pada hasil perhitungan IMP maka metode retracker yang digunakan tidak lebih baik dari data SSH hasil perhitungan metode ocean retracking.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Waveform di Perairan Mentawai, Sumatera Barat

Bentuk waveform pada jarak 0 – 10 km di periode 135 bulan Januari adalah

peaky echoes (memuncak dan meruncing), peaky +noise (Gambar 5a dan 5b).

(27)

12

terlihat adanya pengaruh daratan dan memiliki nilai parameter “range_rms_ku

dimana metode ocean retracking tidak dapat digunakan karena lebih dari 0.2 m dari pantai. Hal ini disebabkan tidak tersedia informasi hasil pengukuran jarak antara satelit dengan permukaan pada jenis data altimetri 1 Hz atau GDR (Geophysical Data Record) dari Satelit Jason-2 (Lee et al. 2010). Biasanya 94%

waveform dengan bentuk Brown echoes waveform dapat ditemukan pada jarak lebih dari 15 km dari pantai dan biasanya pada jarak 5 – 6 km dari pantai

waveform akan memiliki bentuk peaky (Deng et al., 2006).

Gambar 5 Waveform lintasan 001 periode 130 (bulan Januari) dengan jarak 0 – 10 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

Waveform (Gambar 6a dan 6b) di bulan Maret dengan jarak 0 – 10 km menggunakan periode lintasan 135. Pengaruh daratan masih terlihat di jarak 0 – 1.5 km. Hasil pengamatan dapat dikategorikan jenis peaky echoes, peaky + noise

(Gambar 7a dan 7b). Waveform yang terbentuk dekat dengan perairan pantai biasanya sangat dipengaruhi oleh ingar yang dihasilkan oleh daratan dan kedalaman perairan. Bentuk waveform dipengaruhi oleh ingar yang semakin tinggi ketika mendekati wilayah pantai (Lee et al. 2010).

a

(28)

13

Gambar 6 Waveform lintasan 001 periode 135 (bulan Maret) dengan jarak 0 – 10 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

Gambar 7 Bentuk waveform periode 130 (a) dan 135 (b) jarak 0 – 10 km

Power Waveform Pre-Given Gate

a

b

a

b

(29)

14

Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di wilayah pesisir bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kategori jarak 0 – 10 km, 10 – 50 km, dan 50 – 100 km selama tahun 2010 - 2012. Pada jarak 0 – 10 km terdapat bentuk

peaky waveform yang biasanya ditemukan di perairan dekat daratan (Adrian, 2013). Hal ini diakibatkan adanya ingar berupa pantulan sinyal dari daratan (Lampiran 2) yang dimulai dari bagian belakang (trailing edge) waveform dan perlahan mendekati posisi LEP pada waveform yang berada semakin dekat dengan pantai (Gommenginger et al. 2011). Waveform pada jarak ini terbentuk karena adanya salah satu parameter kriteria edit “alt_echo_type”, yang menandakan waveform ini tidak menunjukkan bentuk Brown waveform.

Bentuk waveform pada jarak 10 – 50 km di periode lintasan 148 di bulan Juli (Gambar 8a dan 8b) adalah brown + peaky echoes. Hal ini diperkirakan karena gangguan yang ditimbulkan oleh daratan masih mempengaruhi waveform

(Gambar 10a). Selain itu pada periode 151 di bulan Agustus (Gambar 9a dan 9b) juga memiliki kategori bentuk waveform yang sama yaitu brown + peaky echoes

(Gambar 10b), sehingga waveform untuk nilai ocean retracking dapat dianalisis di wilayah ini. Brown + peaky echoes dan brown echoes biasanya memiliki satu LEP, tetapi hal itu tidak terlihat pada waveform periode 148 karena memiliki banyak kemiringan akibat perubahan yang cukup fluktuatif yang diakibatkan dari efek pantulan dari daratan.

Gambar 8 Waveform lintasan 001 periode 148 (bulan Juli) dengan jarak 10 – 50 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

a

(30)

15

Gambar 9 Waveform lintasan 001 periode 151 (bulan Agustus ) dengan jarak 10 – 50 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

Gambar 10 Bentuk waveform periode 148 (a) dan 151 (b) jarak 10 – 50 km

Power Waveform Pre-Given Gate

a

b

Power Waveform Pre-Given Gate

(31)

16

Pengamatan di pesisir bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kategori jarak 10 – 50 km selama tahun 2010-2012 menunjukkan bentuk

waveform yang berbeda, yaitu memiliki bentuk Brown echoes. Hal tersebut karena

ingar yang dihasilkan oleh daratan tidak mempengaruhi sinyal yang diterima oleh satelit (Adrian, 2013).

Berdasarkan jarak pengamatan 50 – 100 km di periode 162 (Gambar 11a dan 11b) dan 164 (Gambar 12a dan 12b) dari pantai, kategori bentuk waveform

adalah brown + peaky echoes (Gambar 13a dan 13b). Hal ini karena gangguan dari daratan sedikit mempengaruhi waveform. Jarak 50 – 100 km biasanya tidak selalu memiliki bentuk brown echoes karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor – faktor tersebut seperti kedalaman dan bentuk perairan, kondisi lingkungan pesisir, aerosol di atmosfer, adanya bangunan seperti mercusuar ataupun kapal. Waveform yang berada di laut lepas memiliki perbedaan bentuk dengan waveform yang berada di wilayah dekat perairan dekat pantai. Brown echoes menggambarkan bentuk yang ideal dari sinyal yang diterima kembali ke satelit di wilayah laut lepas (Deng dan Featherstone, 2006).

Gambar 11 Waveform lintasan 001 periode 162 (bulan November) dengan jarak 50 - 100 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

b

(32)

17

Gambar 12 Waveform lintasan 001 periode 164 (bulan Desember ) dengan jarak 50 - 100 km tampak samping (a) dan tampak atas (b) tahun 2012

Gambar 13 Bentuk waveform periode 162 (a) dan 164 (b) jarak 50 – 100 km

Power Waveform Pre-Given Gate

a

b

Power Waveform Pre-Given Gate

a

(33)

18

Bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kategori jarak 50 – 100 km dari perairan pantai memiliki bentuk Brown echoes. Hal ini disebabkan tidak adanya gangguan dari daratan yang mempengaruhi waveform (Adrian, 2013).

Hasil pengamatan lain di Indonesia, yang berada di wilayah perairan Jawa Timur pada tahun 2009 – 2012 dilakukan di enam titik dengan kategori jarak pengamatan 0 – 10 km, 10 – 50 km, 50 – 100 km dan 100 – 200 km. Bentuk

waveform yang teramati di wilayah ini, yaitu peaky + noise, brown + peaky echoes dan brown echoes. Bentuk tersebut dipengaruhi oleh jarak daratan yang jauh, sehingga pengaruh daratan pada bentuk waveform sangat kecil (Sumerta, 2013).

IMP Tinggi Muka Laut (SSH) Perairan Mentawai

Nilai perbandingan IMP tinggi muka laut pada lintasan 001 dengan periode 130 pada jarak 0 – 10 km di bulan Januari 2012 ditampilkan pada Tabel 3, dimana metode retracking threshold 10% memiliki nilai IMP terbesar. Hal ini karena

waveform dapat dianalisis lebih baik dari metode waveform retracking lainnya. Nilai IMP metode ini sebesar 89,4658% dengan standar deviasi 0,099% dan dapat menganalisis waveform dengan tingkat keberhasilan sebesar 100%. Selain itu nilai IMP threshold 20% memiliki nilai cukup baik, yaitu sebesar 79,1987% dengan standar deviasi 0,1121%. Menurut Davis (1997) penggunaan threshold 20% dan 30% biasanya dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai dengan jarak 0 – 10 km. Namun untuk nilai yang dihasilkan ocean retracking hanya mampu menganalisis waveform dengan tingkat keberhasilan 69,45%, hasil ini dapat dikatakan rendah. Hal ini terjadi karena dalam pengolahan waveform kategori jenis yang dihasilkan tidak meyerupai bentuk brown waveform. Hasil pengamatan

waveform retracking dengan metode ocean retracking pada jarak 0 – 10 km tidak terlalu baik, karena pengaruh gangguan yang diterima dari sinyal yang dipantulkan oleh daratan.

Berdasarkan pengamatan pada jarak 0 – 10 km di bagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat, metode retracking threshold 10% merupakan metode yang terbaik karena dapat menganalisis waveform dibandingkan dengan menggunakan metode ocean retracking. Metode ini dapat menganalisis semua

waveform dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%. Namun menurut Adrian (2013), metode ocean retracking memiliki tingkat keberhasilan yang rendah sebesar 64.89%.

Gambar 14 terdapat 5 grafik yang mengilustrasikan tahap kemampuan analisis dari metode retacking, yaitu OCOG, threshold 10% dan Ice. Kemampuan

ocean retracking menghasilkan nilai SSH dari jarak 0 km hingga mencapai 10 km dari pantai. Begitu juga dengan metode lainnya, seperti threshold 10% memiliki jarak yang stabil dengan mengikuti nilai undulasi dari geoid. Metode OCOG (Gambar 14) memiliki kemampuan analisis waveform yang rendah. Hal ini karena metode OCOG dipengaruhi pantulan dari daratan dan tidak dapat mengenali saat

(34)

19 Tabel 3 Statistik nilai IMP dari hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 –

10 km periode 130, 10 – 50 km periode 148 dan 50 – 100 km periode 162

Lintasan Metode Retacking STD

(m)

Improve Threshold 10% 0,1606 87,2475 100

Improve Threshold 20% 0,1886 77,5591 100

Improve Threshold 50% 0,3939 59,8438 100

Ice 0,1274 71,534 100

Improve Threshold 10% 0,7087 87,7395 100

Improve Threshold 20% 0,7276 76,6273 100

Improve Threshold 50% 0,7387 57,9902 100

Ice 0,7268 69,5749 100

Improve Threshold 10% 0,0719 95,5948 100

Improve Threshold 20% 0,0586 84,8379 100

Improve Threshold 50% 0,0837 66,9104 100

Ice 0,0625 78,7411 100

Keterangan : IMP = Improvement Precentage STD = Standard Deviation SR = Succes Rate

Di bagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat, metode threshold

(35)

20

Gambar 14 SSH retracking pada jarak 0 – 10 km periode 130 di bulan Januari 2012

Periode 148 (Gambar 15) dengan jarak 10 – 50 km di bulan Juli 2012 tidak berbeda jauh dengan bulan Januari, yaitu metode threshold 10% memiliki nilai terbaik dengan nilai IMP sebesar 88,2265%. Nilai IMP yang dihasilkan mampu menganalisis waveform sangat baik dengan metode ocean retracking dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%. Gambar 15 menunjukkan metode ocean retracking memiliki nilai SSH yang sejajar dengan bentuk geoid.

Gambar 15 SSH retracking pada jarak 10 – 50 km periode 148 di bulan Juli 2012

(36)

21

Gambar 16 SSH retracking pada jarak 50 – 100 km periode 162 di bulan November 2012

Kemampuan metode ocean retracking dalam IMP ini sebagai kontrol bagi metode lainnya, sehingga nilai IMP yang dihasilkan kosong. Selain itu metode

ocean retracking dalam menganalisis waveform tidak terlalu baik. Hal ini karena

waveform pada jarak tersebut banyak menerima gangguan dari sinyal yang dipantulkan oleh daratan. Akibatnya terdapat informasi SSH yang hilang pada jarak pengamatan tersebut (Hwang et al., 2006).

Hasil statistik waveform pada Tabel 4 merupakan lintasan, tahun dan jarak yang berbeda periode yaitu 135, 151 dan 164. Adanya keberagaman bentuk yang dihasilkan oleh setiap waveform disebabkan karena pengaruh dari daratan pada jarak 0 – 10 km. Di jarak 10 – 50 km dan 50 – 100 km pengaruh daratan lebih kecil jika dibandingkan dengan jarak 0 – 10 km.

Periode 135 (Gambar 17) di bulan Maret 2012, dengan jarak 0 – 10 km metode threshold 10% masih menjadi yang terbaik diantara metode lainnya. Nilai IMP yang dihasilkan sebesar 82,7965% dan mampu menganalisis semua

waveform lebih baik jika dibandingkan dengan metode ocean retracking yang hanya mampu menganalisis di tingkat keberhasilan sebesar 83.78%. Namun nilai yang dihasilkan di periode 135 lebih baik jika dibandingkan dengan periode 130 yang hanya memiliki tingkat keberhasilan sebesar 69,45%. Hal ini karena di periode 130 tidak dapat mengolah waveform yang dapat menghasilkan brown waveform, karena dipengaruhi banyak gangguan dari sinyal yang dipantulkan oleh daratan. Berdasarkan pengamatan Adrian (2013) adanya perbedaan lintasan pada bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan jarak 0 – 10 km metode

(37)

22

Tabel 4 Statistik nilai IMP dari hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 – 10 km periode 135, 10 – 50 km periode 151 dan 50 – 100 km periode 164

Lintasan Metode Retacking STD

(m) IMP (%) SR (%)

Improve Threshold 10% 0,09 80,9108 100

Improve Threshold 20% 0,1061 72,1946 100

Improve Threshold 50% 1,7402 54,2748 100

Ice 2,4109 64,7283 100

Improve Threshold 10% 0,07 89,3329 100

Improve Threshold 20% 0,0702 78,1263 100

Improve Threshold 50% 0,0955 59,5723 100

Ice 0,686 71,6076 100

Improve Threshold 10% 0,0758 88,1048 100

Improve Threshold 20% 0,0764 78,4304 100

Improve Threshold 50% 0,1106 61,7242 100

Ice 0,0822 72,3938 100

Keterangan : IMP = Improvement Precentage STD = Standard Deviation

SR = Succes Rate

(38)

23

Gambar 17 SSH retracking pada jarak 0 – 10 km periode 135 di bulan Maret 2012

sangat baik untuk menganalisis waveform yang dipantulkan oleh kolom perairan (Davis, 1997). Metode OCOG retracking memiliki kemampuan analisis waveform

untuk menghasilkan SSH dengan nilai IMP rendah. Retracking ini dipengaruhi karena koreksi dari beberapa parameter geofisik dan atmosferik yang tidak memberikan nilai yang akurat pada wilayah dekat dengan pantai (Chelton et al. 2001). Selain itu metode OCOG dipengaruhi pantulan dari daratan dan tidak dapat mengenali saat waveform membentuk LEP yang menandakan terjadinya pantulan sinyal yang ditransmisikan oleh permukaan bumi (Deng et al., 2006).

Berdasarkan hasil OCOG pada wilayah bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat tidak berbeda. Menurut Adrian (2013) nilai OCOG yang dihasilkan rendah dalam menganalisis waveform. Selain metode threshold 20% yang terbaik, terdapat metode yang paling optimal dalam menganalisis waveform yaitu metode ice retracking.

Pengamatan nilai IMP di periode 151 dengan jarak 10 – 50 km (Gambar 18), metode yang mampu menganalisis dengan optimal yaitu threshold 10% sebesar 88,1641% dan improve threshold 10% sebesar 89,3329%. Nilai IMP yang dihasilkan mampu menganalisis waveform sangat baik dengan metode ocean retracking dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%. Nilai OCOG yang dihasilkan sebesar -76,2615 dengan tingkat keberhasilan 100%, nilai peforma di periode ini lebih baik jika dibandingkan dengan metode ocean retracking (Tabel 3). Nilai IMP yang dihasilkan pada jarak 10 – 50 km lebih kecil jika dibandingkan dengan jarak 0 – 10 km, karena semakin kecil pengaruh dari daratan maka sinyal yang diterima kembali oleh satelit menjadi kecil.

Hasil pengamatan keseluruhan perhitungan secara statistik dengan jarak 10 – 50 km, wilayah bagian selatan Jawa Barat dan Jawa tengah selama tahun 2010 – 2012 diperoleh bahwa metode ice retracking memberikan nilai yang paling optimal jika dibandingkan dengan metode ocean retracking. Metode retracking

(39)

24

Gambar 18 SSH retracking pada jarak 10 – 50 km periode 151 di bulan Agustus 2012

Jarak pengamatan 50 – 100 km (Tabel 3), memiliki pengamatan yang lebih baik karena menunjukkan pengaruh daratan yang mengakibatkan ingar semakin kecil jika dibandingkan dengan jarak sebelumnya. Pada periode 164 (Gambar 19) di bulan Desember 2012 dengan menggunakan metode OCOG, threshold 10%,

improve threshold 10%, ice. Nilai terbaik di periode ini masih dengan metode

threshold 10% sebesar 88,1641% disusul oleh improve threshold 10% sebesar 88,1048%. Untuk nilai OCOG didapatkan hasil -79,3796% dengan tingkat keberhasilan 100%, nilai IMP metode ice sebesar 72,3938%. peforma analisis nilai OCOG (Gambar 19) terhadap waveform berkurang, namun untuk tingkat keberhasilan mencapai 100%. Pada hasil metode OCOG retracking memiliki kemampuan analisis waveform untuk menghasilkan SSH dengan nilai IMP rendah. Retracking ini dipengaruhi karena koreksi dari beberapa parameter geofisik dan atmosferik yang tidak memberikan nilai yang akurat pada wilayah dekat dengan pantai (Chelton et al. 2001).

Gambar 19 SSH retracking pada jarak 50 – 100 km periode 164 di bulan Desember 2012

(40)

25 menghasilkan nilai SSH adalah metode ice retracking. Metode ini mampu memberikan peforma analisis terhadap waveform, jika dibandingkan dengan metode ocean retracking (Adrian, 2013).

Hasil ini berbeda dengan pengamatan di wilayah perairan Jawa Timur dengan kategori jarak 0 – 10 km, 10 – 50 km, dan 100 – 200 km. Menurut Sumerta (2013) berdasarkan metode retacking yang bekerja paling optimal adalah

threshold 20% dan 30%. Jarak 0 – 200 dari pinggir pantai metode yang paling optimal, yaitu ice , threshold 20%, improve threshold 20% dan improve threshold

30%. Hasil pengamatan perairan di Jawa Timur dengan menggunakan metode

waveform retracking dapat dikatakan sesuai dengan kondisi perairan dan bentuk pantai di wilayah tersebut. Namun penggunaan 6 (enam) stasiun masih tidak cukup untuk menilai peforma metode retracking untuk keseluruhan wilayah perairan di Bumi.

Berdasarkan nilai STD metode waveform retracking di perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur hasil yang didapatkan lebih kecil terhadap STD metode

waveform tanpa retracking (Raw). Nilai SSH yang diperoleh dari metode

waveform retracking tidak mengalami perubahan drastis ketika mendekati pantai jika dibandingkan dengan metode waveform tanpa retracking yang menunjukkan perubahan drastis ketika mendekati pantai. Hal ini disebabkan adanya pengaruh daratan yang mengganggu pengukuran nilai range (Sumerta, 2013).

Variasi Nilai SSH Selama Tahun 2012

Nilai SSH pada lintasan 001 selama tahun 2012 dari masing-masing metode

retracking bervariasi (Gambar 20). Pada lintasan 001 dengan menggunakan beberapa periode yang berhasil diperoleh data dari pantai selama tahun 2012, metode yang paling optimal adalah metode threshold 10%. Lain hal dengan pengamatan yang berada di wilayah perairan Jawa Timur, metode ice dan

threshold 20% memiliki nilai yang optimal di titik pengukurannya (Sumerta, 2013). Di wilayah pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat metode yang paling optimal adalah ice (Adrian, 2013).

Selama tahun 2012 terlihat adanya perbedaan nilai rata-rata SSH antara Musim Barat dan Musim Timur (Gambar 20). Nilai rata-rata di Musim Barat (November-April) memiliki nilai sebesar 5,03 m, sedangkan di Musim Timur (Mei-Oktober) memiliki nilai sebesar 4,91 m. Perbedaan nilai rata-rata ini disebabkan beberapa faktor, seperti gelombang dan angin yang besar pada Musim Barat dan lemah pada Musim Timur (Satibi et al., 2006).

(41)

26

Gambar 20 Variasi nilai SSH di lintasan 001 selama tahun 2012 di Mentawai, Sumatera Barat

Gambar 21 Variasi nilai SSH di lintasan 001 selama tahun 2012 (diperbesar) di Mentawai, Sumatera Barat

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bentuk waveform retracking di daerah Mentawai, Sumatera Barat selama tahun 2012 pada jarak 0 – 10 km adalah kategori peak echoes, peaky + noise.

Waveform yang terbentuk dekat dengan perairan pantai sangat dipengaruhi oleh ingar yang dihasilkan oleh daratan. Bentuk waveform pada jarak 10 – 50 km adalah bentuk bentuk brown + peaky echoes. Hal ini disebabkan gangguan yang ditimbulkan oleh daratan pada jarak ini masih mempengaruhi waveform. Bentuk

(42)

27 Berdasarkan pengamatan terhadap nilai Improvement Precentage (IMP) secara umum, metode threshold 10% merupakan metode yang paling optimal untuk menganalisis waveform yang berada di wilayah Mentawai, Sumatera Barat selama tahun 2012.

Selama tahun 2012 adanya perbedaan nilai rata-rata SSH antara Musim Barat dan Musim Timur di lintasan 001 dengan menggunakan metode waveform retracking. Nilai rata-rata di Musim Barat (November-April) memiliki nilai sebesar 5,03 m, sedangkan di Musim Timur (Mei-Oktober) memiliki nilai sebesar 4,91 m dan metode yang paling optimal adalah threshold 10%.

Saran

Penelitian ini perlu dilakukan keberlanjutannya. Ketelitian dalam pengukuran tinggi muka laut, serta melakukan klasifikasi waveform secara rinci dari wilayah pantai hingga menuju ke laut lepas perlu diperhatikan. Selain itu pengembangan algoritma untuk dilakukan pengujian terlebih dahulu. Data pengamatan yang digunakan juga perlu ditambahkan rentang waktu dan jumlah stasiun yang akan diamati, sehingga mendapatkan hasil data yang lebih real dalam mendapatkan nilai perubahan tinggi muka laut.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian D. 2013. Waveform Retracking Satelit Jason-2 Pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 49 hlm. Barrick, DE. and B. J. Lipa. 1985. Analysis and Interpretation of Altimeter Sea

Echo. Vol. 27: 61–100. Advances in Geophysics. Academic Press.

Bosch W. 2005. Discrete Cross Over Analysis, in Procc. Dynamic Planet, Rizos., Ch and P. Tregoning, editor. IAG Symposia 13. Springer.

Brown G. 1977. The Average Impulse Response of Rough Surface and its Applications. IEEE Trans Antennas and Propag, 25 (1): 67-74.

Chelton DB. 1987. World Ocean Circulation Experiment. US WOCE Technical Report Number 2. WOCE/NASA Altimeter Algorithm Workshop. Tersedia dari : http://podaac.jpl.nasa.gov/toppos_ref.html. [Diacu 7 Maret 2012].

Chelton DB, Ries JC, Haines BJ, Fu L-L, Callahan PS. 2001. Satellite altimetry. In: Fu L-L, Cazenave A (eds). Satellite altimetry and Earth sciences: a handbook of techniques and applica-tions. Academic, San Diego, USA, p 1–132. Cotton PD, Menard Y. 2008. The future role of Satellite Altimeter: Earl recommendation from Gamble project.

Cotton D, Menard Y. 2008. Requerements for Future Satellite Altimetry Recommendations from the EC GAMBLE Project. CNES . Venice Davis CH. 1997. A Robust Threshold Retracking Algorithm for Measuring Ice-

(43)

28

Deng X, Featherstone WE, 2006. A Coastal Retracking System for Satellite Radar Altimeter Waveforms: Application to ERS-2 around Australia. Vol 111. J Geophys. doi: 10.1029/2005JC003039.

Digby S. 1999. Use of Altimeter Data, Jet Propulsion Laboratory. California. California Institute of Technology, Pasadena.

Gómez-Enri J, Vignudelli S, Quartly GD, Gommenginger CP, Cipollini PG, Challenor PG dan Benveniste J. 2010. Modeling Envisat RA-2 Waveforms in The Coastal Zone: Sase-study of Calm Water Contamination. IEEE Geosc Rem Sens Lett. 7(3): 474–478. doi: 10.1109/LGRS.2009.2039193

Gommenginger C, Thibaut P, Fenoglio-Marc L, Quartly G, Deng X, Gomez-Enri, Challenor P, Gao YG. 2011. Retracking Altimeter Waveforms near the Coasts. Coastal Altimetry. Vignudelli Set al. editor. Springer. Berlin. hlm: 63-99. doi: 10.1007/978-3-642-12796-0_4.

Harini WS. 2004. Pola Arus Permukaan di Wilayah Perairan Indonesia dan Sekitarnya yang Diturunkan Berdasarkan Data Satelit Altimetri Topex/Poseidon. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Hayne, GS. 1980. Radar Altimeter Mean Return Waveform From Near Normal Incidence Ocean Surface Scattering. IEEE Trans on Antennas and Propag. AP-28 (5): 687-692.

Heliani LS, Anom IGA. 2007. Determination of Effective Ship-track Between Indonesia and Autralia (Hindia Ocean) Using Topex/Poseidon Satellite and QuickSCAT Data. Media Teknik.

Heliani LS, I. Ateya, Fukuda Y, Takemoto S. 2002. Mean Sea Level and Sea Surface Variability of Indonesian Waters From TOPEX/Poseidon. IAG Symposia 124. Drewes H et al., editor. Springer: 259-263.

Hwang C, Guo JY, Deng XL, Hsu HY, Liu YT. 2006. Coastal Gravity Anomalies From Retracked Geosat/GM altimetry: Improvement, Limitation and The Role of Airborne Gravity Data. J Geodesy. 80:204–216

Lee H, Shum CK, Emery W, Calmant S, Deng X, Kuo CY, Roesler C, Yi Y. 2010. Validation of Jason-2 Altimeter Data by Waveform Retracking over California Coastal Ocean. J Mar Geod. 33(S1):304-316 doi:

Ocean Surface Topography Mission. 2009. OSTM/Jason – 2 Product Handbook. http://www.osdpd.noaa.gov/ml/ocean/J2_handbook_v1-3_no_rev.pdf. [Diacu 26 Maret 2012].

OSTM/Jason-2 Products Handbook. 2011. JPL, OSTM-29-1237

Robinson IS. 1991. Satelite Oceanography: An Introduction for Oceanographers and Remote-sensing Scientists. England. Ellis Harwood.

Tapley BD, Chambers DP, Bettadpur S, Ries JC. 2003. Large Scale Ocean

(44)

29 Tourian MJ, Sneeuw N, Riegger J, Bardossy Andras. 2012. A New Method to Derive River Discharge From Satellite Altimetry (ENVISAT). IGARSS 2012: 5250-5253

Satibi M, Osawa T, Arthana IW. 2006. Evaluation of Tuna Fishing Ground in Southern Coast of Java - Sumbawa Sea Using Satellite Observed Data. Bali. Universitas Udayana. Ecotrophic – 4 (1): 25-30

Stewart R. 1985. Methods of Satellite Oceanography. University of California Press. hlm 360

Sumerta KS. 2013. Waveform Retracking Satelit Jason 2 Di Perairan Jawa Timur. Bogor. [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 104 hlm.

Vignudelli S, Cipollini P, Gommenginger H, Snaith S, Coelho H, Fernandes J, Bastos L, Barbosa S, Gómez-Enri J, Martin-Puig C, BenvenisteJ, Kosttianoy AG. 2011. Coastal Altimetry Processing. Reselecasea Project Meeting. Itali. Springer. Berlin. doi: 10.1007/978-3-642-12796-0.

Wood RW. 1909. Note on The Theory of The Greenhouse. The Philosophical Magazine London. Connolley WM. 2000, editor.Vol 17, p319-320. Cambridge. http://www.wmconnolley.org.uk/sci/wood_rw.1909.html. [Diacu, 14 November 2013]

(45)

30

LAMPIRAN

Lampiran 1 Bentuk Kelas Waveform Dari Jason 2

(46)

31 Lampiran 3 Bentuk waveform di daerah Mentawai, Sumatera Barat

(Gommenginger et al., 2011)

Lintasan 001 periode 132 dengan jarak 0 – 10 km pada bulan Febuari 2012

Lintasan 001 periode 140 dengan jarak 0 – 10 km pada bulan April 2012

(47)

32

Lampiran 3 (Lanjutan)

Lintasan 001 periode 155 dengan jarak 50 - 100 km pada bulan September 2012

(48)

33 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, pada tanggal 26 Mei 1990. Penulis merupakan anak kandung dari Ayah Adelinsyah dan Ibu Rr. Suari Ayu Worodono Wati, anak ketiga dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2005 – 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Purwakarta, Jawa Barat. Tahun 2008 penulis lulus seleksi sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Iktiologi tahun 2011 – 2012, asisten Ekologi Laut Tropis Tahun 2012 dan asisten Biologi Hewan Laut tahu 2013. Selain itu penulis pernah berpartisipasi beberapa seminar dan pelatihan di bidang perikanan dan ilmu kelautan yaitu, Alternative Aviation Fuel in Asia & ASEAN Algae Biofuel Initiative Conference tahun 2012 di Singapura, dan International Training and Workshop on Coastal Satellite Altimetry, the RESELECASEA Project dari Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2012 di Bogor. Penulis juga aktif dalam keorganisasian dan terpilih sebagai Kesekretariatan di HIMITEKA 2010 – 2012.

Penulis melaksanakan penelitian dengan judul Waveform Retracking

Gambar

Gambar 1. Daerah Pengamatan di Pesisir Mentawai, Sumatera Barat
Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian
Tabel 2 Parameter metode waveform retracking
Gambar 3 Skema Metode OCOG (Gommenginger  et al., 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Persentase butir patah (pecah) dihitung berdasarkan perbandingan berat butir atau biji beras pecah dengan total berat beras dan dinyatakan dalam persentase. Butir patah menjadi

Modul praktikum ini disusun untuk membantu mahasiswa dalam melaksanakan praktikum untuk mata kuliah Pemasaran Agribisnis pada semester IV program studi Agribisnis

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah serta batasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti dapat menarik rumusan masalah sebagai

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika peserta didik. Tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut

Biasanya kayu tidak banyak mengandung senyawa-senyawa yang larut dalam air, meskipun jumlah yang tinggi dari tannin dan arabinogalaktan terdapat dalam beberapa spesies.

Surat kabar Republika diterbitkan atas adanya keinginan untuk mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkuaitas, yakni bangsa yang mampu duduk

Istilah “Perbandingan” yang terkandung dalam Perbandingan Administrasi Negara (PAN), Administrasi Negara Perbandingan (ANP), Administrasi Publik Komparatif, atau