• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed – Bed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed – Bed"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN

BIOFILTRASI ANAEROB DALAM REAKTOR FIXED – BED

TESIS

OLEH AMIR HUSIN 047022001/TK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN

BIOFILTRASI ANAEROB DALAM REAKTOR FIXED – BED

TESIS

OLEH AMIR HUSIN 047022001/TK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN

BIOFILTRASI ANAEROB DALAM REAKTOR FIXED – BED

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Kimia

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh AMIR HUSIN 047022001/TK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul Tesis : PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN BIOFILTRASI ANAEROB DALAM REAKTOR FIXED – BED

Nama Mahasiswa : Amir Husin

Nomor Pokok : 047022001

Program Studi : Teknik Kimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia) (Dr. Halimatuddahliana, ST, MSc) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(5)

Telah diuji pada :

Tanggal 17 April 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia

Anggota : 1. Dr. Halimatuddahliana, ST, MSc.

2. Dr. Ir. Fatimah, MT

3. Drs. Chairuddin, MSc.

4. Mersi Suriani Sinaga, ST, MT

(6)

ABSTRAK

Penelitian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi COD influent, hydraulic retention time (HRT) dan tinggi unggun terhadap % penurunan COD dan MLSS secara biofiltrasi anaerob dari limbah cair industri tahu telah dilaksanakan dalam reaktor fixed-bed dua tahap dengan media kerikil. Variabel operasi penelitian adalah konsentrasi COD

influent (2000, 3000 mg/L dan tanpa pengenceran), HRT (12, 18 dan 24 jam) dan tinggi unggun (100 dan 125 cm). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peningkatan HRT berpengaruh terhadap penurunan total COD tetapi tidak terhadap MLSS. Penurunan konsentrasi COD umpan meningkatkan persentase reduksi total COD dan MLSS. Reduksi total COD dan MLSS pada tinggi unggun 125 cm lebih tinggi dibanding tinggi unggun 100 cm. Penggunaan HRT 18 – 24 jam dan konsentrasi COD influent 2000 mg/L memberikan hasil yang terbaik untuk penurunan total COD (71,94% dan 59,85% masing-masing untuk tinggi unggun 125 dan 100 cm). Sementara pada kondisi yang sama penyisihan MLSS masing-masing sebesar 81,37% dan 75,98%.

(7)

ABSTRACT

Study on the effect of varying influent COD concentration, hydraulic retention time (HRT) of the reactor, and height of medium of the reactor to percentage reduction of COD and mixed liquor suspended solid (MLSS) from tofu wastewater was conducted in a two stages anaerobic biological filter reactor by using gravel packing medium. The operation variables were the COD influent (2000, 3000 mg/L and without dilution), the HRT (12, 18 and 24 hours) and the height of medium (100 and 125 cm). The results of the analysis showed that the reduction of COD was affected by HRT, while the reduction MLSS was not affected by HRT. The percentages of COD and MLSS removal were increased as well as the decrease of the concentration of COD influent. Total reduction of COD and MLSS at 125 cm bed height was higher than 100 cm bed height. The use of 18 to 24 hours HRT and the 2000 mg/L of COD influent gave the best percentage total reduction of COD (71.94 and 59.85% for 125 and 100 cm the bed height, respectively). At the same condition, the average of percentage MLSS removal was 81.37% and 75.98%.

(8)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan, serta salawat dan salam

kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang syafaatnya diharapkan di hari

kemudian.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional yang telah

memberikan bantuan beasiswa BPPS sehingga saya dapat mengikuti pendidikan program

Magister di Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia selaku Ketua

Program Studi Magister Teknik Kimia Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara, Kepala Laboratorium Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik USU dan sekaligus

pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan

dorongan, bimbingan, saran, waktu, izin penggunaan fasilitas laboratorium serta

pemikiran mulai sejak saya diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Magister

Teknik Kimia USU hingga selesainya penulisan tesis ini.

Tak lupa pula ucapan terima kasih saya kepada Dr. Halimatuddahliana, ST., MSc

selaku Sekretraris Program Studi Magister Teknik Kimia Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Co-Pembimbing yang telah banyak

memberikan bantuan dan dorongan, bimbingan, saran, waktu hingga selesainya penulisan

tesis ini.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang

(9)

− Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.

− Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc atas kesempatan menjadi mahasiswa

Program Magister pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. − Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku Dekan Fakultas Teknik USU

− Ir. Renita Manurung selaku Ketua Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik USU yang telah memberikan izin penggunaan fasilitas laboratorium.

− Para staf pengajar pada Program Studi Magister Teknik Kimia Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengenang ayahanda Abdul Muis Pulungan

(Almarhum) dan Ibunda Tiriam Harahap (Almarhumah) yang telah dengan susah payah

membesarkan dan mendidik saya agar kiranya dapat menjadi manusia yang berguna

ditengah-tengah masyarakat dan ta’at menjalankan perintah Allah SWT serta mendorong

saya tanpa bosan-bosannya untuk terus dengan gigih dalam meningkatkan ilmu

pengetahuan, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan menerima segala amal

ibadah selama hidupnya dan ditempatkan di surga jannatul na’im, Amin Ya Rabbal

Alamin.

Khusus kepada istriku yang tercinta, Dra. Deny Supriharti, MSc saya sampaikan

penghargaan dari lubuk hati yang paling dalam dan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya atas kesetiaan dan kesabarannmu mendampingiku, pengorbananmu baik moril

maupun materil, pengertian dan dorongan yang telah engkau berikan kepadaku selama

ini. Kiranya Allah SWT senantiasa memberikan kesabaran, rahmat dan hidayahNya

kepada kita sekeluarga. Dan tak lupa kepada anakku Nayla Afifah, Faiza Azzahra dan

Muhammad Dzaqi Al Aqsha yang telah turut memberikan semangat kepada ayahanda

(10)

Saya menyadari, bahwa sebagai manusia biasa tentunya masih banyak

kekurangan-kekurangan dalam penulisan tesis ini baik dari segi isi, bahasa maupun penyusunannya.

Untuk itu, saya mengharapkan masukan dan saran-saran untuk kesempurnaan tesis ini.

Medan, Pebruari 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sigalangan pada tanggal 15 Pebruari 1969. Penulis adalah anak ke

tiga dari pasangan Bapak Abdul Muis Pulungan (Almarhum) dan Ibu Tiriam Harahap

(Almarhumah).

Pendidikan SD ditempuh di SDN No. 142509 Sigalangan dari tahun 1976 – 1982.

Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri Sigalangan sampai tahun 1985 dan pada

tahun 1988 menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Padang Sidimpuan Tapanuli

Selatan.

Pada tahun 1988 penulis diterima menjadi mahasiswa Universitas Sumatera Utara,

Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Kimia melalui jalur SIPENMARU, dan lulus

sarjana teknik pada tahun 1994. Sejak Tahun 1995 hingga sekarang penulis bekerja

sebagai staf pengajar pada Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik USU.

Pada Tahun 1997, penulis menikah dengan Dra. Deny Supriharti, MSc staf

pengajar Program Studi Biologi FMIPA USU Medan dan saat ini juga sedang

melaksanakan tugas belajar Program Doktor di Program Studi Bioteknologi Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Alhamdulillah Allah SWT telah

mengkaruniakan dua orang putri dan satu orang putra, masing-masing bernama Nayla

Afifah (9 thn), Faiza Azzahra (7 thn) dan Muhammad Dzaqi Al Aqsha (4 thn).

Pada tahun 2004, penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan

Pascasarjana di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pada Program Studi

Magister Teknik Kimia dengan biaya bersumber dari beasiswa BPPS, Direktorat

Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Di

samping itu, selama pendidikan program magister ini penulis juga menerima bantuan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN xiii I. Pendahuluan ……….……… 1

1.1. Latar Belakang ……….... 1

1.2. Masalah Penelitian ………... 4

1.3. Tujuan Penelitian ………..… 5

1.4. Manfaat Penelitian ……….……… 5

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……… 6

II. Tinjauan Pustaka ………... 7

2.1. Proses Pembuatan Tahu ……...………...… 7

2.2. Limbah Cair Industri Tahu ………...… 9

2.2.1. Karakteristrik Limbah Cair Industri Tahu. ..……… 10

2.3. Pengolahan Limbah Cair Industri ..………... 12

2.4. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerob ………...……… 16

2.4.1. Biodegradasi Limbah Cair Secara Anaerob ……… 18

2.5. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofilter Anaerob 22 2.5.1. Proses Pembentukan Biofilm……… 25

(13)

Halaman

2.5.3. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Proses

Biodegradasi Anaerob ………... 29

2.6. Mikroorganisme yang Terlibat dalam Proses degradasi Anaerob 33 III. Metode Penelitian dan Bahan ……… 37

3.4.1. Persiapan Bahan Baku Limbah Cair Industri Tahu ………... 41

3.4.2. Pembuatan Starter ... 42

3.4.3. Pembuatan Biofilm (Aklimatisasi) ………... 43

3.4.4. Pelaksanaan Percobaan ………....… 43

4.2. Hubungan Antara Waktu Operasi Terhadap COD ... 48

4.3. Pengaruh Waktu Tinggal Cairan (Hydraulic Retention Time) ... 51

4.3.1. Pengaruh Variasi HRT Terhadap COD ... 51

4.3.2. Pengaruh Variasi HRT Terhadap COD dalam Reaktor I dan II 55 4.3.3. Pengaruh Variasi HRT Terhadap MLSS ... 59

4.4. Pengaruh Konsentrasi COD Awal ... 61

4.4.1. Pengaruh Variasi Konsentrasi COD Awal Terhadap COD ... 61

(14)

Halaman

4.5. Pengaruh Tinggi Unggun ... 68

4.5.1. Pengaruh Tinggi Unggun Terhadap COD ... 68

4.5.2. Pengaruh Tinggi Unggun Terhadap MLSS ... 70

V. Kesimpulan dan Saran ... 72

5.1. Kesimpulan ... 72

5.2. Saran ... 73

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Prakiraan Kebutuhan Air pada Pengolahan Tahu dari 3 kg

Kedelai ... 9

3.1. Variasi Percobaan yang Dilakukan ... 41

4.1. Hasil Perhitungan Persentase Reduksi Total COD dan MLSS

di Seluruh Sistem ... 47

4.2. Hasil Perhirungan Persentase Reduksi COD pada Reaktor I

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Bagan Proses Pembuatan Tahu ………... 8

2.2. Tahapan Proses Anaerobik : Hidrolisis, Fermentasi dan

Metanogenesis ………...…. 21

3.1. Skema Alat Utama Penelitian ………...…… 39

4.1. Reduksi Total COD (%) di Dua Reaktor. ... 50

4.2. Pengaruh HRT Terhadap Reduksi COD (%), Tinggi Unggun 100

cm. ... 52

4.3. Pengaruh HRT Terhadap Reduksi COD (%), Tinggi Unggun 125

cm. ... 53

4.4. Reduksi COD (%) di R1 dan R2 ... 56 4.5. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor. ... 60

4.6. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem Pada Konsentrasi

Awal 2000, 3000 mg/L dan Alamiah, Tinggi Unggun 100 cm

... 62

4.7. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem Pada Konsentrasi Awal

2000, 3000 mg/L dan Alamiah, Tinggi Unggun 125 cm ...

62

4.8. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor Pada COD Awal 2000,

3000 mg/L dan Alamiah, Tinggi Unggun 100 cm ... 66

4.9. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor Pada COD awal 2000, 3000

(17)

Nomor Judul Halaman

4.10. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem pada Tinggi

Unggun 100 dan 125 cm. (a). HRT 12 jam, (b). HRT 18 jam

dan (c). HRT 24 jam ... 69

4.11. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor Pada Tinggi Unggun

100 dan 125 cm. (a). HRT 12 jam, (b). HRT 18 jam dan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

A. Prosedur Analisis ... ………...… 81

B. : Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri ……...………... 85

C. Perancangan Bioreaktor ………...…...…... 87

D. Data Pengamatan ………...…...…... 90

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar

kacang kedelai (Glysine spp) yang sangat akrab khususnya bagi masyarakat Indonesia

dan bahkan Asia umumnya. Sebagian besar produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh

industri skala kecil yang kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. Berdasarkan laporan Proyek

Environmental Managenet Development in Indonesia atau EMDI (Bapedal, 1994), pada

tahun 1990 jumlah industri tahu di Indonesia tercatat sebanyak 25.870 dan 63 diantaranya

merupakan industri skala besar dan menengah sedang sisanya berskala kecil.

Proses pembuatan tahu relatif sederhana, protein-nabati dalam bahan baku

diekstraksi secara fisika dan digumpalkan dengan koagulan antara lain batu tahu, asam

asetat atau whey tahu (Santoso, 1993). Whey tahu merupakan limbah cair tahu yang

diasamkan dengan cara penyimpanan dalam wadah terbuka selama 24 jam. Dalam

pemrosesannya, setiap tahapan proses umumnya menggunakan air sebagai bahan

pembantu dalam jumlah yang relatif banyak. Menurut Nuraida (1985), untuk tiap 1 kg

bahan baku kedelai dibutuhkan rata-rata 45 liter air dan akan dihasilkan limbah cair

berupa whey tahu rata-rata 43,5 liter. Whey mengandung bahan-bahan organik berupa

protein, karbohidrat, lemak dan minyak yang tinggi (Nurhasan dan Pramudyanto, 1987)

dan dapat segera terurai dalam lingkungan berair (EMDI–Bapedal, 1994) menjadi

(20)

(1997a) dan Husin (2003) melaporkan, bahwa air buangan industri tahu mengandung

BOD, COD, TSS, nitrogen dan fosfor yang tinggi.

Suatu hasil studi tentang karakteristik air buangan industri tahu-tempe di Medan

(Bappeda Medan, 1993), dilaporkan bahwa air buangan industri tahu rata-rata

mengandung BOD, COD, TSS dan minyak/lemak berturut-turut sebesar 4583, 7050,

4743 dan 26 mg/l. Sementara EMDI – Bapedal (1994) melaporkan kandungan rata-rata

BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520 dan 1500 mg/l. Bila dibandingkan

dengan baku mutu limbah cair industri produk makanan dari kedelai menurut

KepMenLH No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi

Kegiatan Industri, kadar maksimum yang diperbolehkan untuk BOD5, COD dan TSS

berturut-turut adalah 50, 100 dan 200 mg/l, sehinga jelas bahwa limbah cair industri ini

telah melampaui baku mutu yang dipersyaratkan.

Upaya untuk menurunkan kandungan bahan organik dalam air buangan industri

tahu telah banyak dilakukan, diantaranya menggunakan metode fisika-kimia (Husin,

2003 dan Satyanaran et al, 2004), biologis aerob (Tay, 1990 dan Upe, 2001), dan

pemanfaatan gulma air (Lisnasari, 1995). Akan tetapi, penerapan ketiga metode tersebut

dalam skala riil khususnya di Indonesia relatif sulit karena beberapa alasan, antara lain :

metode dan operasi relatif kompleks, kebutuhan jumlah koagulan besar dan biaya energi

listrik untuk aerasi tinggi, serta lahan fasilitas pengolahan yang relatif luas (MetCalf dan

Eddy, 2003) serta produksi lumpur atau biomassa tinggi (Tobing dan Loebis, 1994).

Dengan demikian, para pengusaha industri tahu sering membuang limbah ke badan air

(21)

diperlukan metode pengolahan alternatif baru yang efektif, murah dan efisien serta

mudah dioperasikan.

Biofilter merupakan suatu reaktor biologis film-tetap (fixed-film) menggunakan

packing berupa kerikil, plastik atau bahan padat lainnya dimana limbah cair dilewatkan

melintasinya secara kontinu. Adanya bahan isian padat menyebabkan mikroorganisme

yang terlibat tumbuh dan melekat atau membentuk lapisan tipis (biofilm) pada permukaan

media tersebut (MetCalf dan Eddy, 2003). Biofilter berupa filter dari medium padat

tersebut diharapkan dapat melakukan proses pengolahan atau penyisihan bahan organik

terlarut dan tersuspensi dalam limbah cair.

Filtrasi merupakan proses pemisahan padatan–material tersuspensi yang ada di

dalam air dengan melewatkannya melalui media berpori (Montgomery, 1985). Adanya

bahan organik dan aktivitas biologis menyebabkan terjadinya perubahan sifat pelekatan

material tersuspensi terhadap media filter.

Aplikasi metode biofiltasi telah banyak dilaporkan khususnya dalam pengolahan

limbah cair, seperti limbah cair industri tahu-tempe (BPPT, 1997a), limbah cair rumah

sakit (BPPT, 1997b), air buangan industri (Darmawan,1998), air sungai yang sangat

kotor (Laura, 1995; Hadi dan Santoso, 2000), limbah pabrik alkohol (Suwarno et al,

2003). Menurut Young (1991) dan Rittmann dan McCarty (2001), biofiltrasi juga dapat

diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair bahan-bahan kimia, domestik, bahan

makanan, soft drink, landfill leachate dan industri farmasi.

Uji coba yang telah dilakukan di daerah Jakarta dalam mengolah limbah cair

(22)

dalam kondisi anaerob-aerob membuktikan adanya penurunan BOD, COD dan TSS yang

cukup signifikan (BPPT, 1997a). Akan tetapi, penggunaaan packing dari bahan plastik

mempunyai kelemahan yaitu biaya packing relatif tinggi (MetCalf dan Eddy, 2003) dan

kecenderungan kehilangan padatan biologis yang lebih besar (Rittmann dan McCarty,

2001).

Meskipun unjuk kerja biofilter secara anaerob-aerob memberikan hasil yang cukup baik seperti dilaporkan oleh BPPT (1997a), tetapi pengujian proses tersebut khususnya untuk industri tahu berskala kecil secara individual di Indonesia dan penggunaan media biofilter yang lain masih jarang.

Dalam penelitian ini, penyusun mencoba mempergunakan proses biofiltrasi anaerob dalam reaktor fixed-bed dua tahap dengan batu kerikil berdiameter 1 – 2 cm yang diisi secara curah ke dalam reaktor sebagai media pembiakan mikroba. Penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dengan laju alir umpan kontinu dan aliran downflow – upflow pada temperatur ruang.

1.2. Masalah Penelitian

Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi, bila dibuang ke

lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu akan menimbulkan dampak negatif berupa

penurunan kualitas badan air penerima. Upaya penanganan dampak dengan cara

pengolahan limbah cair industri tahu menggunakan metode koagulasi– flokulasi, proses

lumpur aktif dan gulma air belum memberikan hasil yang memuaskan.

Uji coba pengolahan limbah cair industri tahu-tempe secara biofiltrasi anaerob

menggunakan packing bahan plastik berbentuk sarang tawon yang telah dilakukan di

daerah Jakarta menunjukkan adanya penurunan BOD, COD dan TSS yang cukup

signifikan (BPPT, 1997a). Akan tetapi, penggunaaan packing dari bahan plastik masih

mempunyai kelemahan antara lain biaya packing relatif tinggi dan kecenderungan

kehilangan padatan biologis yang lebih besar. Metode pengolahan limbah cair secara

biofiltrasi anaerobik menggunakan packing batu kerikil diharapkan akan dapat menjawab

(23)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hydraulic retention time

(HRT), konsentrasi COD awal limbah dan tinggi media unggun terhadap reduksi

kandungan COD dan MLSS limbah cair industri tahu secara biofiltrasi anaerob

menggunakan reaktor fixed-bed dua tahap dengan packing dari bahan kerikil.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam mengolah limbah cair

industri tahu

b. Sebagai bahan masukan baik bagi pengusaha industri tahu maupun peneliti,

bahwa biofiltrasi anaerobik dapat digunakan untuk mendegradasi bahan organik

dalam limbah cair industri tahu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1). Pada penelitian ini digunakan limbah cair industri tahu yang terdapat di sekitar

daerah Padang Bulan Medan.

(2). Parameter uji yang diamati adalah chemical oxygen demand (COD) dan mixed

liquor suspended solid (MLSS).

(3). Kondisi operasi percobaan dilakukan pada temperatur ruang dengan pH awal

(24)

a. Hydraulic retention time (HRT) atau waktu tinggal cairan : 12 ; 18 dan 24

jam.

b. Konsentrasi COD awal limbah masuk ke reaktor : 2000 dan 3000 mg/L dan

alamiah (tanpa pengenceran).

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Pembuatan Tahu

Kedelai dan produk makanan yang terbuat dari kacang kedelai merupakan sumber

bahan makanan yang dapat diperoleh dengan harga yang murah serta kandungan protein

tinggi. Bagi penduduk dunia terutama orang Asia, tahu merupakan makanan yang umum.

Di Indonesia, peningkatan kualitas kesehatan secara langsung merupakan bagian dari

peningkatan produk makanan yang terbuat dari kedelai, seperti tahu, tempe, kecap dan

produk lain yang berbasis kedelai.

Industri tahu di Indonesia berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah

penduduk. Namun di sisi lain industri ini menghasilkan limbah cair yang berpotensi

mencemari lingkungan. Industri tahu membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu

untuk proses sortasi, perendaman, pengupasan kulit, pencucuian, penggilingan, perebusan

dan penyaringan. Secara umum, skema proses pembuatan tahu dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

Air buangan dari proses pembuatan tahu ini menghasilkan limbah cair yang menjadi

sumber pencemaran bagi manusia dan lingkungan. Limbah tersebut, bila dibuang ke

perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mengakibatkan kematian makhluk hidup

dalam air termasuk mikroorganisme (jasad renik) yang berperan penting dalam mengatur

keseimbangan biologis air, oleh karena itu penanganan limbah cair secara dini mutlak

(26)

Kedelai

Gambar 2.1. Bagan Proses Pembuatan Tahu

Tahu Perebusan

Air air rebusan

Pencetakan/pengepresan/pemotongan Air tahu Penggumpalan

(27)

2.2. Limbah Cair Industri Tahu

Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat. Dari kedua

jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari

lingkungan. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan bersumber dari cairan kental

yang terpisah dari gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan yang

disebut air dadih atau whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan

pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses dan

lantai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebanding

dengan penggunaan air untuk pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan

air proses dan jumlah limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45

dan 43,5 liter untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri

tahu, sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khususnya air dadih) dimanfaatkan kembali

sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat, 1990). Perincian pengggunaan air dalam setiap

tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai

Tahap Proses Kebutuhan Air (Liter)

• Pencucian 10

• Perendaman 12

• Penggilingan 3

• Pemasakan 30

• Pencucian ampas 50

• Perebusan 20

(28)

Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks yang tinggi

terutama protein dan asam-asam amino (EMDI Bapedal, 1994) dalam bentuk padatan

tersuspensi maupun terlarut (BPPT, 1997a). Adanya senyawa-senyawa oeganik tersebut

menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi

(Tay, 1990; BPPT, 1997a; dan Husin, 2003) yang apabila dibuang ke perairan tanpa

pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran.

2.2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Secara umum karakteristik air buangan dapat digolongkan atas sifat fisika, kimia

dan biologi. Akan tetapi, air buangan industri biasanya hanya terdiri dari karakteristik

kimia dan fisika. Menurut Eckenfelder (1989), parameter yang digunakan untuk

menunjukkan karakter air buangan industri adalah :

a. Parameter fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain-lain.

b. Parameter kimia, dibedakan atas:

b.1. Kimia Organik : kandungan organik (BOD, COD, TOC), oksigen terlarut (DO),

minyak/lemak, Nitrogen-Total (N-Total), dan lain-lain.

b.2. Kimia anorganik : pH, Ca, Pb, Fe, Cu, Na, sulfur, H2S, dan lain-lain.

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain :

(1). Padatan tersuspensi, yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam

air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air,

semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air akan semakin

(29)

(2). Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai

jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang

diperlukan oleh aktivitas mikroba dalam menguraikan zat organik secara

biologis di dalam limbah cair (MetCalf & Eddy, 2003). Limbah cair industri

tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi.

(3). Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi merupakan

jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhromat) untuk

mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat

dalam air (MetCalf & Eddy, 2003). Jika kandungan senyawa organik dan

anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol

sehingga tumbuhan air, ikan-ikan dan hewan air lainnya yang membutuhkan

oksigen tidak memungkinkan hidup.

(4). Nitrogen-Total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran senyawa

kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam

amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-organik,

N-amonia, nitrat dan nitrit (Sawyer et al, 1994). Nitrogen organik dan nitrogen

amonia dapat ditentukan secara analitik menggunakan metode Kjeldahl,

sehingga lebih lanjut konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan sebagai Total

Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa N-Total adalah senyawa-senyawa

yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui aksi mikroorganisme

(30)

Kuswardani (1985) limbah cair industri tahu mengandung N-Total sebesar

434,78 mg/L.

(5). Derajat Keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam

(BPPT, 1997a), pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah

menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau

busuk.

Berdasarkan hasil studi Balai Perindustrian Medan terhadap karakteristik air

buangan industri tahu di Medan (Bappeda Medan, 1993), diketahui bahwa limbah cair

industri tahu rata-rata mengandung BOD (4583 mg/l); COD (7050 mg/l), TSS (4743

mg/l) dan minyak atau lemak 26 mg/l serta pH 6,1. Sementara menurut Laporan EMDI

Bapedal (1994) limbah cair industri tersebut rata-rata mengandung BOD, COD dan

TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520, dan 1500 mg/l.

Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4) atau asam asetat sebagai

koagulan tahu juga menyebabkan limbah cair tahu mengandung ion-ion logam.

Kuswardani (1985) melaporkan bahwa limbah cair industri tahu mengandung Pb (0,24

mg/l); Ca (34,03 mg/l); Fe (0,19 mg/l); Cu (0,12 mg/l) dan Na (0,59 mg/l).

2.3. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu

Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba dan

dikembangkan. Secara umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut dapat

(31)

Cara fisika, merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran

khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan

gaya-gaya fisika (Eckenfelder, 1989 dan MetCalf & Eddy, 2003). Dalam pengolahan limbah

cair industri tahu secara fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan

pengendapan (sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring

terutama untuk menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan

tersuspensi dari limbah cair. Dalam sedimentasi, flok-flok padatan dipisahkan dari aliran

dengan memanfaatkan gaya gravitasi.

Cara kimia, merupakan metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa

polutan dalam limbah cair dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia

lainnya (MetCalf & Eddy, 2003). Beberapa proses yang dapat diterapkan dalam

pengolahan limbah cair industri tahu diantaranya termasuk koagulasi-flokulasi dan

netralisasi.

Proses netralisasi biasanya diterapkan dengan cara penambahan asam atau basa

guna menetralisir ion-ion terlarut dalam limbah cair sehingga memudahkan proses

pengolahan selanjutnya.

Dalam proses koagulasi-flokulasi menurut Mysels (1959), partikel-partikel koloid

hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui

sifat adsorpsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif.

Koloid bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ion-ion

bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi

(32)

negatif lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus). Kedua

lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel koloid dan membuatnya

menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil menurut Davis dan Cornwell

(1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya membentuk flok-flok

berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi

ataupun filtrasi.

Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan

dengan cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid,

dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain

membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflok-mikroflok yang telah terbentuk dengan

dibantu pengadukan lambat megalami penggabungan menghasilkan makroflok

(flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara pengendapan atau

filtrasi (Eckenfelder, 1989; Farooq dan Velioglu, 1989).

Koagulan yang biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan

garam-garam besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya

endapan lumpur yang dihasilkan (Ramalho, 1983; Eckenfelder, 1989; MetCalf dan Eddy,

2003), sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut.

Selain kedua metode tersebut di atas, metode gabungan fisika-kimia mencakup

flokulasi yang dikombinasikan dengan sedimentasi juga telah dicoba digunakan dalam

skala laboratorium antara lain oleh Husin (2003) dan Satyanaran et al (2004). Namun,

penerapan metode fisika, kimia atau gabungan keduanya dalam skala riil hasilnya kurang

(33)

metode pengolahan fisika-kimia terlalu kompleks, kebutuhan bahan kimia cukup tinggi,

serta lumpur berupa endapan sebagai hasil dari sedimentasi menjadi masalah penanganan

lebih lanjut.

Cara biologi dapat menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan

mikroorganisme atau tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan

molekul kompleks menjadi molekul sederhana. Proses ini sangat peka terhadap faktor

suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat beracun.

Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri, algae, atau

protozoa (Ritmann dan McCarty, 2001). Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat

digunakan termasuk gulma air (aquatic weeds) (Lisnasari, 1995).

Metode biologis lainnya juga telah dicoba diterapkan dalam penanganan limbah

cair industri tahu. Tay (1990) mencoba menggunakan proses lumpur aktif (activated

sludge) untuk mendegradasi kandungan organik dalam limbah cair tahu dan susu kedelai.

Hasil yang dicapai dilaporkan secara teknis cukup memuaskan, dimana diperoleh

penurunan BOD terlarut, nitrogen dan fosfor berturut-turut sebesar 95%, 67% dan 57%.

Akan tetapi melihat tingkat pengetahuan para pengrajin tahu khususnya di Indonesia

yang relatif minim dalam hal penanganan limbah dan faktor-faktor teknis lainnya, seperti

biaya investasi dan operasi cukup tinggi, luas lahan yang diperlukan cukup besar, serta

pengendalian proses yang relatif kompleks. Sehingga, penerapan metode ini khususnya di

Indonesia kurang berdaya guna. Hal ini dapat dilihat, bahwa banyak di antara pengrajin

tahu membuang limbahnya ke perairan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu

(34)

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, perlu dicari metode pengolahan limbah

cair yang lebih sederhana, efektif dan murah dan mudah dioperasikan, sehingga dapat

diterima dan diterapkan di Indonesia. Berdasarkan laporan EMDI Bapedal (1994)

metode pengolahan biologis yang juga patut dipertimbangkan untuk mengolah limbah

cair tahu di antaranya adalah proses aerob dan anaerob di samping metode penimbunan

pada tanah dan penyemprotan irigasi. Berdasarkan informasi tersebut, salah satu cara

pengolahannya adalah menggunakan proses anaerob. Pemilihan metode ini sesuai dengan

gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Eckenfelder (1989) dan Tobing (1989), bahwa

untuk limbah cair pekat dengan kandungan BOD5> 1000 mg/l metode pengolahan yang

lebih layak adalah dekomposisi anaerob.

2.4. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerobik

Pengolahan limbah cair dengan proses anaerob pada dasarnya sama dengan proses

aerobik, dimana sama-sama memanfaatkan aktivitas mikroorganisme atau metabolisme

sel untuk menurunkan atau menghilangkan substrat tertentu terutama senyawa-senyawa

organik biodegradable dalam air buangan. Proses metabolisme sel dapat dipisahkan atas

2 jenis proses, yaitu katabolisme dan anabolisme (Davis dan Cornwell, 1991; Manahan,

1994 ; Rittmann dan McCarty, 2001). Katabolisme adalah semua proses biokimia yang

terlibat dalam degradasi atau oksidasi substrat menjadi produk akhir yang disertai dengan

pelepasan energi. Energi yang dilepas dalam proses oksidasi tersebut ditransfer ke energy

(35)

untuk pergerakan sel, maintenance sel serta kebutuhan energi proses lainnya (Rittmann

dan McCarty, 2001).

Anabolisme adalah termasuk semua proses biokimia yang dilakukan bakteri untuk

sintesa sel baru atau komponen seluler dari sumber karbon. Proses sintesa ini digerakkan

oleh energi yang telah tersimpan atau tersedia dalam energy carrier (Davis dan Cornwell,

1991). Jadi suatu organisme dapat menggunakan proses metabolisme baik untuk

menghasilkan energi maupun untuk memodifikasi senyawa-senyawa biomolekuler

(Manahan, 1994).

Berdasarkan pemanfaatan oksigen dalam proses metabolisme sel, pengolahan

limbah cair secara biologis dapat dikelompokkan atas 2 kelompok, yaitu proses aerob dan

anaerob. Pada proses aerob, katabolisme senyawa organik berlangsung dengan

memanfaatkan oksigen bebas yang terdapat dalam lingkungan sebagai penerima elektron

terakhir. Pada proses anaerob atau disebut respirasi anaerob, katabolisme senyawa

organik berlangung tanpa oksigen bebas dalam lingkungan dan penguraian terjadi dengan

memanfaatkan senyawa organik sebagai penerima elektron terakhir (Rittmann dan

McCarty, 2001).

Dalam perlakuan biologis, prinsip biologi diterapkan untuk mengolah limbah cair

dengan bantuan mikroorganisme yang dapat diperoleh secara alamiah (Rittmann dan

McCarty, 2001; MetCalf & Eddy, 2003) atau seleksi (Tobing dan Loebis, 1994). Sistem

ini cukup efektif dengan biaya pengoperasian rendah dan dapat mereduksi BOD hingga

90% (Fardiaz, 1992). Oleh karena itu, pengolahan limbah cair secara biologis merupakan

(36)

dihasilkan dari pengolahan limbah khususnya proses anaerob relatif sedikit (Rittmann

dan McCarty, 2001; MetCalf dan Eddy, 2003).

Perlakuan anaerobik untuk degradasi senyawa organik kompleks dalam limbah cair

tahu muncul sebagai pilihan yang logis dan menarik, karena biodegradasi

senyawa-senyawa organik kompleks dapat dilakukan dalam sistem anaerob. Dalam proses

anaerob, senyawa-senyawa organik kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak)

berantai panjang mula-mula didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana

dan berantai pendek serta sejumlah kecil gas hidrogen (Parkin dan Owen, 1986; Ridlo,

1996; MetCalf dan Eddy, 2003). Selanjutnya asam-asam organik dan asam-asam amino

sederhana diuraikan lebih lanjut menjadi gas metan (CH4), karbon dioksida (CO2) dan

sejumlah kecil H2, hidrogen sulfida (H2S) dan nitrogen serta biomassa (Balch et al, 1977;

Speece, 1983).

2.4.1. Biodegradasi Limbah Cair Secara Anaerobik

Biodegradasi senyawa-senyawa organik kompleks dalam limbah cair secara

anaerob atau disebut juga proses destabilisasi (Tobing dan Loebis, 1994) dapat

menghasilkan produk intermediet berupa asam lemak volatil, asam amino sederhana

seperti asam asetat, asam propionat, butirat, glysin, leusin dan lain-lain. Beberapa

literatur tentang proses penguraian substrat organik kompleks dalam limbah cair secara

anaerob dilaporkan oleh Andrews etal (1962); McCarty dan Smith (1986); Damayanthie

(37)

Andrews et al (1962) mempelajari kinetika dan karakteristik degradasi limbah cair

organik menggunakan reaktor batch dalam keadaan anaerob. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan, bahwa :

(1). Pada awal proses degradasi anaerob, pH cairan mengalami penurunan karena di

dalam sistem terjadi pembentukan asam-asam organik. Setelah tahap ini berakhir

terjadi fermentasi metana, dimana asam-asam organik dipecah akibatnya pH

campuran mengalami kenaikan. Proses ini mulai terjadi setelah operasi

berlangsung kurang lebih 2 hari.

(2). Setelah periode penahanan yang lama, hampir seluruh asam-asam organik volatil

dikonversi menjadi gas metan dan karbon dioksida.

Dhamayanthie (2000) mencoba meneliti pengolahan limbah cair industri tekstil

dengan proses anaerob-aerob menggunakan reaktor alir kontinu. Hasil penelitian

dilaporkan bahwa dalam tahap anaerob dengan temperatur ruang dan waktu tinggal 12 –

24 jam dihasilkan penurunan COD 21,76 – 29,56 % dan BOD 14,80 – 41,91%.

Berdasarkan grup bakteri yang berperan, proses biodegradasi bahan organik

kompleks secara anaerob menjadi gas metana dapat dibagi atas tiga tahap seperti terlihat

pada Gambar 2.2 (Polprasert dan Hoang, 1983; Spaan, 1983; Ridlo, 1996; Rittmann dan McCarty, 2001; dan MetCalf & Eddy, 2003).

Pada tahap hidrolisis, mikro organisme hidrolitik akan mendegradasi bahan organik

kompleks menjadi monomer-monomer. Produk akhir pada proses hidrolisis ini terutama

monosakarida, asam lemak, asam amino serta purin dan pirimidin (Spaan, 1983; Speece,

(38)

bahan-bahan organik yang sukar terhidrolisis (Tobing dan Loebis, 1994). Akan tetapi hasil

proses ini tidak merubah nilai COD (Eckenfelder, 1989).

Dalam tahap fermentasi (asidifikasi), monomer-monomer hasil proses hidrolisis

didegradasi lebih lanjut oleh bakteri asidogenik menjadi asam lemak volatil seperti asam

propionat, butirat, valerat dan sebahagian kecil asam asetat, H2 dan CO2 MetCalf &

Eddy, 2003), etanol, amoniak dan hidrogen sulfida (Tobing dan Loebis, 1994; dan Ridlo,

1996) . Asam-asam organik yang molekulnya lebih berat dari asam asetat akan diubah

lebih lanjut oleh bakteri asetogenik menjadi asam asetat, H2 dan CO2 (Parkin dan Owen,

1986). Eckenfelder (1989) dan McCarty dan Smith (1986) melaporkan bahwa penguraian

asam-asam organik seperti propionat, butirat dan valerat oleh bakteri asetogenik hanya

dapat terjadi bila konsentrasi H2 sangat rendah, yaitu jika tekanan parsial gas H2< 10- 4

atm. Produk akhir tahap fermentasi ini merupakan perintis dalam pembentukan gas

metana.

Amir Husin : Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed-Bed, 2008 USU e-Repository © 2008

Tahap hidrolisis

Tahap fermentasi

BAHAN ORGANIK KOMPLEKS

(Protein, lipid, polisakarida, asam nukleat)

(39)

Tahap ketiga, yaitu tahap metanogenesis (metanasi) merupakan tahap pembentukan

gas metana dari asam asetat dan H2 serta CO2 (Tobing, 1989; dan Ridlo, 1996). Proses

metanasi dilakukan oleh dua grup mikroorganisme yang secara kolektif disebut

metanogenik (Balch et al, 1977). Kedua jenis organisme metanogenik tersebut

sama-sama menghasilkan gas metana dan CO2. Grup pertama disebut asetilastik metanogen

(Balch et al, 1977) berfungsi mengubah substrat asam asetat menjadi metana dan CO2

melalui reaksi :

CH3COOH ⎯⎯⎯→ CH4 + CO2 ……….………(1)

Grup kedua disebut bakteri metanogenik pengguna hidrogen atau methanogen

hidrogenotropik (Balch et al, 1977) menggunakan hidrogen (H2) sebagai elektron donor

dan CO2 sebagai akseptor untuk membentuk metana seperti reaksi anaerobik.

(40)

Dalam proses anaeobik, tahap metanogenesis ini merupakan tahap yang paling

penting dalam pengolahan limbah cair, karena pada tahap ini terjadi reduksi COD atau

BOD cukup tinggi. Eckenfelder (1989) dan Rittman dan McCarty (2001) melaporkan

bahwa dalam proses ini, setiap 1 kg COD atau BODultimate yang dihilangkan dan atau

diproses dihasilkan 0,35 m3 gas metana pada temperatur dan tekanan standard.

2.5. Pengolahan Limbah Cair Secara Biofilter Anaerobik

Berdasarkan keadaan aggregat biakan mikroorganisme dalam medium limbah cair,

secara garis besar pengolahan limbah cair dapat dibedakan atas biakan tersuspensi

(suspended culture) dan biakan melekat (attached culture). Pada sistem dengan biakan

tersuspensi, kultur mikroba dibiakkan secara tersuspensi diseluruh volume limbah cair.

Sistem pengolahan yang menggunakan metode ini diantaranya adalah proses lumpur aktif

(activated sludge), step aerasi, stabilisasi kontak, proses campur sempurna (completely

mixed process) dan lain-lain.

Pada sistem pengolahan dengan biakan melekat (sering disebut biofilter), kultur

mikroba dibiakkan pada suatu media, sehingga mikroorganisme yang terlibat melekat

atau membentuk lapisan tipis (biofilm) pada permukaan media padat (MetCalf dan Eddy,

2003). Berdasarkan posisi media biofilter dalam bioreaktor, MetCalf dan Eddy (2003)

membagi proses pertumbuhan melekat atas 3 macam, yaitu non-submerged, suspended

growth process dengan fixed film packing dan submerged.

a. Proses pertumbuhan melekat dengan biakan tidak terendam (non-submerged)

(41)

terendam dalam bulk cairan. Unit proses yang termasuk ke dalam kelompok ini

antara lain adalah trickling filter (MetCalf dan Eddy , 2003).

b. Proses pertumbuhan tersuspensi dengan packing film tetap (suspended growth

process with fixed-film packing) pada dasarnya merupakan proses pengolahan

dengan biakan tersuspensi sebagaimana halnya dalam sistim lumpur aktif. Akan

tetapi penggunaan jenis bahan packing yang tersuspensi ke dalam tangki

menyebabkan mikroorganisme yang terlibat melekat pada bahan packing tersebut.

Di samping itu, bahan packing tetap yang sebahagian tercelup ke dalam tangki

seperti halnya rotating biological contactor (RBC) yang terendam sebagian dapat

digolongkan ke dalam pertumbuhan melekat. (WEF, 2000).

c. Proses pertumbuhan melekat dengan biakan terendam (submerged) merupakan

proses pengolahan limbah secara biologis dimana media biakan terendam

sepenuhnya dalam bulk cairan. Unit proses yang termasuk ke dalam kelompok ini

antara lain adalah reaktor biologis unggun-tetap aliran ke atas (upflow) dan aliran ke

bawah (downflow), unggun terfluida (fluidized bed), upflow anaerobic sludge

blanket (UASB), dan lain-lain (MetCalf & Eddy, 2003).

Dari ketiga jenis sistem biofilter tersebut, proses pertumbuhan melekat dengan

biakan terendam merupakan metode pengolahan limbah cair yang relatif baru khususnya

dalam pengolahan biologis anaerobik. Aplikasi proses ini pertama sekali dikemukakan

oleh Young dan McCarty pada tahun 1963 (Rittman dan McCarty, 2001; Bal dan Dhagat,

(42)

anaerob dalam proses pengolahan limbah cair organik dalam skala laboratorium dan

mendapatkan bahwa biofilter mampu mendegradasi kandungan organik air limbah.

Sistem biofilter anaerob merupakan pengembangan dari sistem pengolahan limbah

anaerob dengan biakan tersuspensi, dimana dengan adanya filter tersebut konsentrasi

padatan biologis (biomassa) dalam reaktor dapat dipertahankan. Dengan penahanan

padatan biologis ini diperoleh sludge retention time (SRT) yang lebih lama meskipun

pada aliran limbah cair yang besar (Bal dan Dhagat, 2001). Dengan demikian, bila

dibandingkan dengan proses biakan tersuspensi, sistem biofilter atau biakan melekat

mempunyai beberapa keuntungan,antara lain :

(1). Proses degradasi substrat secara anaerob dalam limbah cair terjadi dalam 3 step

reaksi biokimia, yaitu hidrolisis, fermentasi dan metanasi. Ketiga proses tersebut

berhubungan langsung dengan SRT atau hydraulic retention time (HRT).

Semakin tinggi SRT maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya ketiga reaksi

tersebut di atas. Bila SRT kurang dari SRT minimum, bakteri tidak dapat tumbuh

dengan cepat dan proses degradasi akan mengalami kegagalan (WEF, 1998).

(2). Adanya air buangan yang melalui media tumbuh biofilm lama-kelamaan

mengakibatkan tumbuhnya lapisan lendir yang menyelimuti packing atau disebut

biofilm. Selain berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan BOD

dalam aliran limbah, biofilter juga mengurangi konsentrasi TSS (BPPT, 1997a

dan 1997b).

Sistem pengolahan limbah cair biofilter anaerobik dengan biakan terendam dapat

(43)

(downflow), atau gabungan keduanya, unggun terekspansi dan unggun terfluida

(Rittmann dan McCarty, 2001).

2.5.1. Proses Pembentukan Biofilm

Biofilm atau biofilter pada dasarnya adalah sekumpulan aggregat mikroorganisme

atau produk polimer ekstrasellular yang melekat pada permukaan padatan dan/atau bahan

inert dalam lingkungan berair (Marshall, 1992; Behrendt, 2000; Rittmann dan McCarty,

2001) atau tergantung dengan antarmuka (Davey dan O’Toole, 2000). Menurut Costerton

et al (1985) populasi bakteri pada lingkungan berair paling banyak dijumpai dalam

keadaan aggregat yang dapat membentuk biofilm dari pada keadaan planktonik (bebas).

Bakteri dalam keadaan plaktonik bertindak sebagai suatu individu, sehingga tidak mampu

bersaing untuk mendapatkan ruang, oksigen dan faktor lainnya. Hal ini menyebabkan

bakteri dalam keadaan planktonik mempunyai tingkat kepadatan yang rendah. Dalam

keadaan aggregat dan molekul bakteri mampu memperoleh nutrisi lebih banyak.

Mekanisme pembentukan biofilm dimulai ketika sel melekat ke permukaan sel

lainnya dan/ atau bahan inert. Beberapa faktor yang berperan dalam proses pelekatan sel

pada permukaan suatu media adalah transportasi sel, adsorpsi reversible, adhesi

irreversible dan penggandaan sel (Schmindt dan Ahring, 1996). Proses pelekatan sel

bakteri dimulai dengan pembentukan butiran perintis (aggregat bakteri yang kecil) yang

cenderung tercuci (washout) dari reaktor dan kemudian tumbuh menjadi butiran-butiran

mikroorganisme (Callander dan Barford, 1983). Pada awal pelekatannya, bakteri tertarik

pada permukaan, namun tidak langsung melekat erat dan bakteri melakukan gerak Brown

(44)

selanjutnya melekat erat pada permukaan. Kecepatan pelekatan bakteri berbeda-beda

tergantung pada struktur dan daya rekatnya. Beberapa bakteri seperti substansi polimer

ekstra sellular dan fimbriae memiliki struktur dan daya rekat yang kuat, sehingga dengan

cepat akan melekat erat pada permukaan media. Tetapi ada juga bakteri yang

membutuhkan waktu kontak yang lama agar dapat melekat erat pada permukaan media

(Marshall, 1992).

2.5.2. Proses Degradasi Bahan Organik Kompleks dengan Biofiltrasi Anaerob

Upaya untuk menurunkan kandungan bahan organik kompleks dalam limbah cair

telah banyak dilakukan baik dengan cara aerob maupun anaerob. Proses yang banyak

dilakukan antara lain proses activated sludge (MetCalf & Eddy, 1930; Eckenfelder, 1989;

Mines Jr. dan Sherrard, 1989; Tay, 1990; dan Upe, 2001) dan Upflow Anaerobic Sludge

Blanket atau UASB (Speece, 1983; Lettinga et al, 1988; Vidal et al, 2001; Bal & Dhagat,

2001; Gomec et al, 2005) atau reaktor lainnya. Akan tetapi pengolahan limbah cair

industri tahu menggunakan biofilter anaerob dalam reaktor unggun tetap (fixed-bed

reactor) belum banyak dilakukan. Biofilter merupakan filter dari media kerikil, batu

apung, karbon aktif, plastik dan bahan padat lainnya diharapkan dapat melakukan proses

pengolahan atau penyisihan bahan organik kompleks terlarut atau tersuspensi dalam

limbah cair.

Young (1991) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja filter anaerob

aliran-vertikal, mendapatkan bahwa proses biofiltrasi dapat mendegradasi COD limbah cair

domestik 90 – 96% pada laju beban COD 0,2 – 0,7 kg COD/(m3.hari), 37oC dan

(45)

Sachs et al (1978) mengolah limbah cair bahan organik sintesis dan mendapatkan

penghilangan COD 80% pada laju beban 0,56 kg COD/ (m3.hari), (35oC) dan HRT 36

jam. Sementara, Young (1991) memperoleh 80 – 90 % untuk laju beban COD 12 – 15 kg

COD / (m3. hari), 37oC dan HRT 0,9 – 1,3 hari.

Darmawan (1998) yang meneliti proses pengolahan air buangan industri dengan

menggunakan kerikil, pecahan genting dan batu apung sebagai media biofilter

mendapatkan, bahwa untuk bahan baku dengan kadar organik 80 mg/l dengan beban

permukaan 1,5 m/jam diperoleh efisiensi pemisahan organik rata-rata yang diyatakan

dalam bilangan permanganat masing-masing sebesar 83%, 86% dan 87%.

Studi kemampuan biofilter anaerob untuk menurunkan kadar BOD dan COD dalam

air sungai yang kotor juga telah dilakukan oleh Laura (1995) menggunakan media kerikil

dengan diameter media 9 mm ⎯ 25 mm, variasi HRT 8 dan 12 jam. Hasil yang dicapai

menunjukkan bahwa air baku dengan kadar 25 – 1000 mg/l setelah dilewatkan reaktor

pada kecepatan filtrasi 1 – 10 m/jam diperoleh efisiensi pemisahan yang bervariasi antara

90 – 99%.

Uji coba penggunaan biofilter untuk mendegradasi bahan-bahan organik polutan

dalam limbah cair industri tahu-tempe dengan kombinasi anaerob dan aerob berkapasitas

10 – 16 m3/hari telah dilakukan oleh BPPT (1997a) menggunakan media plastik sarang

tawon. Proses yang dilakukan, mula-mula sistem dioperasikan secara anaerob, kemudian

kombinasi anaerob-aerob (khusus untuk tangki biofilter terakhir). Percobaan tersebut

dilakukan dengan memvariasikan HRT total 16 – 24 jam. Hasil yang dicapai

(46)

berjalan 4 minggu diperolah efisiensi penghilangan BOD 74,5%, COD 75,4% dan TSS

84%. Sedang pada proses kombinasi anaerob-aerob setelah proses berjalan 2 bulan

diperoleh efisiensi penurunan BOD 89,4%, COD 88,2% dan TSS 94%.

Dari sekian banyaknya referensi yang menyatakan kemampuan biofilter untuk

menurunkan kandungan organik dalam limbah cair, penulis belum menjumpai aplikasi

biofilter anaerobik dengan media batu kerikil dalam pengolahan limbah cair industri tahu.

Rittmann dan McCarty (2001), menyatakan bahwa proses biofiltrasi dalam kondisi

anaerob maupun aerob dapat dilakukan dengan menggunakan media kerikil, batu apung,

karbon aktif, plastik serta bahan padat inert lainnya. Di samping itu, proses biofiltrasi

anaerob dalam reaktor packed-bed baik aliran vertikal maupun horizontal dapat

diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair antara lain limbah rumah tangga dan

perkotaan, limbah industri pengolahan bahan makanan, minuman, industri farmasi serta

industri bahan kimia.

Dari informasi-informasi tersebut penyusun menduga bahwa proses biofiltrasi

anaerob dengan media batu kerikil juga dapat diaplikasikan dalam pengolahan limbah

cair industri tahu. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, penyusun mencoba

menggunakan biofilter anaerob dalam reaktor unggun diam (fixed-bed reactor) dua tahap

dengan media batu kerikil untuk mengolah kandungan bahan organik dalam limbah cair

industri tahu.

(47)

Menururt MetCalf dan Eddy (2003), proses degradasi anaerob bahan organik

kompleks menjadi gas metan dan CO2 dalam limbah cair selain ditentukan oleh jenis

mikroorganisme yang berperan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, antara

lain :

a. pH dan Alkalinitas

Proses anaerob sangat sensitif terhadap perubahan pH lingkungan, oleh karena itu

agar proses dapat berlangsung dengan baik, pH lingkungan harus mendekati netral,

yaitu 6,6 – 7,6. Bila nilai pH kurang dari 6,6 dapat menghambat aktivitas

metanogenik (Rittmann dan McCarty, 2001). Dalam tahap reaksi metanogenesis

dihasilkan gas metan dan CO2, sehingga dalam proses ini kandungan gas CO2

cenderung meningkat dan dapat mencapai hingga 30 – 35%. Oleh sebab itu, untuk

memastikan pH mendekati netral diperlukan alkalinitas yang tinggi. Dalam beberapa

proses sering dijumpai konsentrasi alkalinitas dalam range 3000 – 5000 mg/L

sebagai CaCO3.

Untuk limbah cair yang mengandung protein dan asam-asam amino yang tinggi,

alkalinitas yang cukup dapat diperoleh dari peruraian senyawa-senyawa tersebut

menghasilkan NH3, dan bersama-sama dengan gas CO2 dan H2O membentuk

alkalinitas sebagai NH4(CO3) (MetCalf dan Eddy, 2003). Dengan demikian tidak

diperlukan penambahan alkalinitas untuk mengontrol pH. Untuk aplikasi limbah cair

industri yang komponen substratnya hanya mengandung karbohidrat, diperlukan

penambahan alkalinitas agar diperoleh pH mendekati netral. Bahan alkalinitas yang

(48)

bikarbonat (NaHCO3), soda abu (Na2CO3), sodium hidroksida (NaOH), amoniak

(NH3), atau asam bikarbonat (NH4HCO3).

b. Senyawa Inhibitor

Menurut Parkin dan Owen (1986) kehadiran beberapa senyawa baik organik

maupun anorganik dapat menjadi inhibitor atau bersifat toksik dalam proses anaerob.

Garam-garam (seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cu2+, Cr(4), Zn2+, Ni2+ dan lain-lain),

bahan organik (seperti fenol, formaldehid, propanol, etil asetat, dan lain-lain) dan

bahan anorganik (seperti NH4+ ; H2S dan lain-lain) dapat menghambat laju reaksi

metanogenik bila konsentrasinya cukup tinggi. Misalnya, amonium (NH4+) dengan

konsentrasi diatas 3000 mg/l merupakan inhibitor yang kuat dalam proses

metanogenesis (McCarty dan McKinney, 1961). Keracunan sulfida merupakan

masalah yang sering dijumpai dalam pengolahan limbah cair yang mengandung

konsentrasi sulfat yang tinggi. Dalam proses anaerob, sulfat lebih disukai sebagai

akseptor elektron dan akan dikonversi menjadi sulfida. Keracunan sulfida cenderung

menjadi problem bila konsentrasi sulfida terlarut mencapai lebih kurang 200 mg/l

(McCarty, 1964).

c. Solid Retention Time

Solid retention time (SRT) merupakan periode waktu rata-rata sludge tertahan di

dalam sistem. Solid retention time merupakan landasan desain dan parameter operasi

bagi semua proses anaerobik. Ketiga reaksi biokimia dalam proses degradasi anaerob

secara langsung berhubungan dengan SRT. Jika SRT kurang dari SRT minimum,

(49)

gagal (WEF, 1998). Secara umum, untuk proses anaerobik diperlukan nilai SRT > 20

hari pada 30oC agar diperoleh kinerja pengolahan yang efektif.

d. Hydraulic Retention Time

Hydraulic retention time (HRT) merupakan periode waktu rata-rata penahanan

cairan di dalam sistem. Sama halnya dengan SRT, HRT juga merupakan landasan

desain dan parameter operasi proses anaerobik. Semakin tinggi HRT, cairan semakin

lama berada di dalam sistem, akibatnya waktu kontak antara biomassa dalam reaktor

dengan substrat dalam aliran umpan semakin lama. Dengan demikian, diharapkan

proses degradasi biologis anaerob berlangsung semakin baik. Akan tetapi, dalam

operasional biorekator, HRT yang tinggi akan membutuhkan volume reaktor yang

besar. Oleh karena itu untuk memperoleh efisiensi pengolahan yang efektif, nilai

HRT harus ditentukan serendah mungkin dengan konversi setinggi mungkin.

e. Temperatur

Dalam proses degradasi anaerob, temperatur merupakan faktor penting dalam

penentuan laju degradasi, terutama laju hidrolisis dan pembentukan metana.

Pemilihan temperatur operasi sangat penting, karena bakteri terutama pembentuk

metana merupakan mikroorganisme yang sensitif terhadap perubahan temperatur.

WEF (1998) menyarankan perubahan temperatur operasi harus kurang dari

0,5oC/hari agar tidak berpengaruh terhadap kinerja proses. Secara umum, kebanyakan

sistem anaerobik dirancang beroperasi dalam range temperatur mesofilik, antara 30 –

38oC. Sistem yang lain didesain untuk beroperasi dalam range temperatur termofilik

(50)

f. Bahan Nutrisi

Meskipun proses anaerobik menghasilkan sedikit lumpur, sehingga kebutuhan

senyawa nitrogen dan fosfor untuk pertumbuhan biomassa sedikit, namun pada

kebanyakan limbah cair industri, jumlah kebutuhan nutrien sering tidak mencukupi.

Oleh sebab itu, sering diperlukan penambahan senyawa nitrogen dan fosfor. Secara

umum, untuk menjaga agar aktivitas metanogenik maksimum, disarankan bahwa

konsentrasi nitrogen, fosfor, dan sulfur dalam fase cair berturut-turut tidak kurang

dari 50 , 10 dan 5 mg/L (Speece, 1983).

2.6. Mikroorganisme Yang Terlibat Dalam Proses Degradasi Anaerobik

Pengolahan limbah cair dengan biofilter anaerobik melibatkan mikroorganisme

untuk mendegradasi substrat dalam limbah cair menjadi bahan yang tidak mengakibatkan

pencemaran. Secara umum, di dalam air limbah ditemukan banyak sekali jenis

mikroorganisme yang diantaranya termasuk bakteri uniseluler, jamur, virus, protozoa,

alga dan rotifera. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, mikroorganisme ini juga

membutuhkan nutrisi untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya. Menurut MetCalf dan

Eddy (2003), kebutuhan tersebut antara lain :

a. Sumber energi dapat berupa cahaya (mikroba fototrof) atau senyawa kimia

(mikroba khemototrof).

b. Sumber karbon dalam bentuk bahan-bahan organik (mikroba heterotrof) atau

bentuk karbon dioksida (mikroba autotrof).

c. Nutrient dalam bentuk anorganik ( N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, dan Cl) dan

(51)

d. Faktor Pertumbuhan atau nutrient organik dalam bentuk asam-asam amino,

senyawa-senyawa berbasis nitrogen (seperti purin dan pirimidin) serta vitamin.

e. Air, karena semua nutrient harus berada dalam keadaan terlarut sebelum masuk ke

dalam sel mikroorganisme (Damayanthie, 2000).

Selain membutuhkan nutrisi (Damayanthie, 2000; Rittmann dan McCarty, 2001;

MetCalf dan Eddy, 2003), mikroorganisme juga membutuhkan kondisi lingkungan yang

sesuai untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya secara normal. Adanya kandungan

nutrisi yang cukup dan seimbang dalam limbah cair disertai kondisi lingkungan yang

sesuai, dapat menjadikan air limbah sebagai media pertumbuhan bagi mikroorganisme

tertentu. Dalam kondisi demikian, mikroorganisme akan mendegradasi bahan-bahan

organik dan anorganik dalam limbah cair melalui metabolisme sel dan metabolisme

energi.

Dalam proses fermentasi anaerob, proses degradasi bahan-bahan organik kompleks

menjadi gas metan, CO2 dan biomassa terjadi dalam 3 tahapan reaksi biokimia, yaitu

hidrolisis, fermentasi asam dan metanogenesis (Ridlo, 1983; Spaan, 1983; dan Polprasert,

1989). Mikroorganisme yang terlibat dalam tiap tahap proses degradasi tersebut dapat

dikelompokkan atas 2 jenis mikroorganisme (MetCalf dan Eddy, 2003), yaitu :

a. Mikroorganisme yang merespon proses hidrolisis dan fermentasi . Mikroorganisme

ini termasuk dalam grup non-metanogenik terdiri dari bakteri fakultatif dan obligat

anaerob. Baketri fakultatif adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk

tumbuh pada kondisi ada atau tanpa molekul-molekul oksigen. Sedangkan obligat

(52)

dapat eksis hanya dalam lingkungan yang tidak terdapat oksigen (Rittmann dan

McCarty, 2001).

Beberapa organisme yang diisolasi dari digester anaerob termasuk :

Clostridium spp, Peptococcus anaerobus, Bifidobacterium spp, Corynobacterium

spp, Lactobacillus, Actinomycetes, Staphylococcus, dan Escheria Coli (Polprasert

dan Hoang, 1983; Speece, 1983). Grup fisiologis lain yang ada termasuk

diantaranya yang memproduksi proteolytic, lipolytic, ureolytic, atau enzyme

cellulytic (MetCalf dan Eddy, 2003).

b. Mikroorganisme yang merespon untuk produksi metana. Mikroorganisme ini

diklasifikasikan sebagai archaea merupakan obligat anaerob. Kebanyakan

mikroorganisme metanogenik yang diidentifikasi dalam digester anaerob sama

dengan yang dijumpai dalam perut hewan mammalia dan sedimen yang diambil

dari dasar danau dan sungai (MetCalf dan Eddy, 2003). Genera utama

mikroorganisme yang telah teridentifikasi pada kondisi mesofilik termasuk bakteri

berbentuk batang (Methanobacterium, Methanobacillus) dan bakteri berbentuk bola

(Methanococcus, Methanothrix,dan Methanosarcina) (Lettinga et al, 1988).

Diantara mikroorganisme methanogenik tersebut, hanya Methanosarcina dan

Methanothrix (juga disebut Methanosaeta) saja yang mampu menggunakan asetat

untuk menghasilkan methana dan CO2. Sedangkan mikroorganisme yang lain

mengoksidasi hidrogen dengan CO2 sebagai elektron akseptor untuk memproduksi

metana (Balch et al, 1977). Mikroorganisme metanogen pengguna asetat juga

(53)

dan Ahring, 1995). Beberapa spesies Methanosarcina terinhibisi oleh temperatur

pada 65oC, sebaliknya yang lain tidak (MetCalf dan Eddy, 2003).

(54)

III. METODE PENELITIAN DAN BAHAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik

USU Medan dengan lama waktu penelitian selama 6 (enam) bulan dari Bulan Juli sampai

Desember 2007.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam percobaan adalah limbah cair industri tahu

yang terdapat di sekitar Padang Bulan Kota Medan. Bahan analisis dan pembantu yang

digunakan untuk keperluan analisa parameter percobaan, yaitu :

1. K2Cr2O7 anhidrous (p.a.)

2. Ferro Ammonium Sulfat (FAS), (p.a)

3. H2SO4 pekat

4. 1-10 Fenantrolin monohidrat

5. Ag2SO4 (p.a)

6. Aquadest

7. FeSO4.7H2O (p.a).

(55)

3.2.2. Alat

Peralatan Utama yang diperlukan meliputi :

1. Reaktor tangki (fixed-bed reactor) ……… 6 unit

Reaktor yang digunakan adalah reaktor biofilter anaerob dua tahap yang terbuat

dari bahan plastik PVC (paralon), masing-masing berdiameter 0,1 m (4 inchi),

tinggi total reaktor 1,60 m. Media biofilter adalah kerikil berukuran rata-rata 1 –

2 cm yang diisi secara curah. Tinggi media filter dalam tiap zona reaktor 100 dan

125 cm.

2. Tangki umpan ……… 2 unit

3. Tangki penampung produk ……… 3 unit

4. Pompa cairan ……… 2 unit

5. Tangki penampung gas bio ……… 3 unit

Sketsa peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1, sedangkan perhitungan desain reaktor dapat dilihat pada Lampiran C. Peralatan tambahan untuk analisis parameter percobaan :

1. pH meter

2. Neraca elektronik

3. Oven

4. Peralatan gelas lainnya, seperti gelas kimia, labu erlenmeyer, pipet volume,

labu takar, buret dan lain-lain.

(56)

1

2 3

4

5 6

K-1

K-2

K-4

P

Gambar 3.1. Skema Alat Utama Penelitian

Keterangan Gambar :

1. Tangki umpan 6. Penangkap gas 2. Reaktor biofilter anaerob 7. Pipa saluran gas 3. Rotameter P = Pompa umpan

4. Tangki effluent K = Kran pengambilan sample

5. Botol pengaman

K-3 7

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan uji coba kemampuan reaktor fixed-bed 2 tahap aliran

(57)

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3

(tiga) faktor. Setiap kombinasi perlakuan diberikan 1 (satu) kali ulangan.

(1). Faktor A (tinggi media unggun) terdiri dari 2 taraf, yaitu 100 cm dan 125 cm.

(2). Faktor B (hydraulic retention time (HRT)) terdiri dari 3 taraf , yaitu 12, 18 dan 24

jam.

(3). Faktor C (Konsentrasi COD dalam influent dengan cara pengenceran limbah),

terdiri dari 3 taraf : konsentrasi COD alamiah (tanpa pengenceran); 2000 dan

3000 mg COD/liter. Hal ini didasarkan bahwa untuk limbah cair dengan

konsentrasi BOD tinggi (BOD5 > 1000 mg/L) tidak sesuai menggunakan

dekomposisi aerob karena relatif sulit mensuplai kebutuhan oksigen yang cukup

untuk proses aerob tersebut (Davis dan Cornwell, 1991).

Faktor perlakuan : 2 x 3 x 3 = 18 perlakuan x 2 (1 kali ulangan) = 36 kombinasi

perlakuan. Variasi percobaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Untuk mendapatkan pengaruh perlakuan terhadap substrat limbah cair industri tahu

dilakukan pengambilan sampel dari pipa inlet ke reaktor 1), output zona anaerob I

(K-3) dan pipa outlet reaktor (K-4) setiap 24 jam. Percobaan dihentikan setelah 6 (enam)

hari operasi atau apabila hasil analisis laboratorium terhadap parameter uji (COD dan

MLSS) relatif stabil. Analisis COD dan MLSS dilakukan sesuai dengan metode yang

termuat dalam buku Standard Methods for Examination of Water and Wastewater

Gambar

Tabel 2.1.  Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3  kg kedelai
Gambar  3.1.   Skema Alat Utama Penelitian
Tabel  3.1.  Variasi Percobaan Yang Dilakukan
Tabel  4.1.   Hasil Perhitungan Persentase Reduksi Total COD dan MLSS     di Seluruh Sistem
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedang sikap pada dasarnya merupakan hasil dari proses sosialisasi dan interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari pikiran,

20 Tahun 2001 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “ Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

Laporan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan pada sekolah binaan (setiap laporan setiap tahun) Muda = 3,0 Madya = 4,5 Utama = 6,01. Memiliki Laporan

Paket IPTEK peningkatan produktivitas HHBK penghasil obat terutama penyakit degeneratif dan penyakit akibat perubahan iklim Konservasi tanaman hutan penghasil

Penyelesaian Pangkasan Bagian Depan Sisi Kanan Dan Kiri (Winarni: 2001:20).. e) Selesaikan pangkas rambut selapis demi selapis, dari bagian belakang ke muka dengan garis

Selamat Sempurna (SMSM) menganggarkan Rp100 miliar untuk belanja modal (capex) yang berasal dari kas internal perusahaan, Jumlah belanja modal tersebut sama dengan tahun lalu..

Setelah dilakukan pretes, kemudian kelas eksperimen diberikan perlakuan ( treatment ) yaitu dengan penerapan model Cooperative Learning tipe CIRC sebagaimana

a. Pertumbuhan pikiran dan mental. Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis