i
VARIASI 0%, 2%, 4% dan 6% PADA CAMPURAN AC
-
WC
DITINJAU DARI KARAKTERISTIK MARSHALL
Disusun oleh:
WINDI DEWI ASARYANTI NIM 20120110179
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
i
VARIASI 0%, 2%, 4% dan 6% PADA CAMPURAN AC
-
WC
DITINJAU DARI KARAKTERISTIK MARSHALL
Disusun oleh:
WINDI DEWI ASARYANTI NIM 20120110179
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
ii
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri..”
(QS. Al-Isra‟: 7)”
“Kadang Naluri Kesatria akan lebih tajam melebihi pedangnya ketika sebuah kerikil sudah
menjadi Hambatanya”
“Orang yang dikatakan Bodoh dan Malas, sekali dia bekerja keras akan mengalahkan seseorang
yang biasanya dikatakan Cerdas”
iii
kesempatan kepada penulis hingga saat ini dapat menyelesaikan salah satu tugas yaitu tugas akhir ini, serta Nabi Muhammad SAW yang menjadi paratron
kehidupan uswatun hasanah sebagai abdi kehidupan menurut-NYA.
Untuk kedua orang tua ku bapak Jawahir dan ibu Karniti yang sangat ku sayangi , kakakku Winda Dewi Pajriyanti yang sangat menyayangi dan mencintaiku disaat
apapun yang telah terjadi dalam hidupku, dan telah memberikan kekuatannya untuk menguatkan ku, dan selalu mendo‟akanku disetiap do‟anya.
Untuk teman-temanku yang telah memberikan banyak pengalaman dan motivasi kepada ku, dan selalu ada disaat suka maupun duka,Wahyu Widianto, Feris Van houten, Liawati, Farid kurniawan, Utman Dwi Prabowo, Rendi julio Herlandez, Aditya Wibawa Mukti,Sutriazal Hartawan, serta teman-teman Teknik Sipil UMY
2012. Dan juga banyak pemahaman terhadap materi perkuliahan yang ku dapat dari kakak-kakakku.
Untuk dosen pembimbingku Anita Rahmawati, S.T., M.Sc.dan bapak Emil Adly ST., M.Eng yang telah membimbing dan telaten mendampingi hingga selesainya proses pengerjaan laporan ini. Serta bapak Dian Setiawan M., S.T., M.Sc., Sc yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam pendadaran tugas akhir ini.
iv
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN MONITORING ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
INTISARI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penelitian ... 2
D. Manfat Penelitian ... 2
E. Batasan Masalah... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. Perkerasan Jalan ... 4
B. Perkerasan Lentur... 4
C. Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) ... 8
D. Aspal ... 8
E. Agregat ... 10
F. Styrofoam ... 13
G. Desain Campuran Metode Marshall ... 14
H. Penggunaan Styrofoam Sebagai Bahan Campuran dalam Aspal ... 14
BAB III LANDASAN TEORI ... 17 A. Bahan Penyusun Campuran AC-WC ... 17
B. Pembagian Butir Agregat ... 25
v
G. Kadar Aspal Optimum (KAO) ... 44
BAB IV METODE PENELITIAN... 46
A. Bagan Alir Penelitian ... 46
B. Tahapan Penelitian ... 47
C. Bagan Alir Pelaksanaan ... 49
D. Tahapan Pelaksanaan ... 51
E. Lokasi Penelitian ... 56
F. Metode Pengambilan Data ... 56
G. Variabel Penelitian ... 57
H. Presentasi Hasil ... 58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
A. Hasil Pengujian Agregat ... 59
B. Hasil Pengujian Aspal ... 59
C. Hasil Pengujian Aspal Styrofoam... 60
D. Hasil dan Pembahasan pengujian Marshall ... 64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA... 75
vi
Tabel 3.3 Persyaratan Aspal Keras penetrasi 60/70 ... 24
Tabel 3.4 Ukuran Bukaan Saringan ... 27
Tabel 3.5 Gradasi agregat gabungan untuk campuran Laston ... 28
Tabel 3.6 Ketentuan sifat-sifat campuran AC-WC ... 45
Tabel 4.1 Hasil pengujian dari pengujian sifat fisik aspal ... 48
Tabel 4.2 Metode pengujian agregat kasar dan halus ... 51
Tabel 4.3 Jumlah benda uji yang diperlukan untuk menentukan KAO ... 57
Tabel 4.4 Jumlah benda uji yang diperlukan untuk variasi kadar styrofoam ... 57
Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus ... 59
Tabel 5.2 Hail pengujian aspal keras AC 60/70 ... 59
Tabel 5.3 Hasil pengujian aspal styrofoam ... 61
vii
Gambar 4.2 Bagan Alir Pelaksanaan ... 48- 49
Gambar 5.1 Hubungan kadar styrofoam dengan Penetrasi ... 61
Gambar 5.2 Hubungan kadar styrofoam dengan Titik Lembek ... 62
Gambar 5.3 Hubungan kadar styrofoam dengan Elastisitas ... 62
Gambar 5.4 Hubungan kadar styrofoam dengan Berat Jenis ... 63
Gambar 5.5 Hubungan kadar styrofoam dengan Density ... 64
Gambar 5.6 Hubungan kadar styrofoam dengan Stabilitas ... 65
Gambar 5.7 Hubungan kadar styrofoam dengan flow ... 66
Gambar 5.8 Hubungan kadar styrofoam dengan VITM ... 67
Gambar 5.9 Hubungan kadar styrofoam dengan VMA ... 68
Gambar 5.10 Hubungan kadar styrofoam dengan VFWA ... 69
viii
Lampiran 2 Pemeriksaan penetrasi aspal setelah kehilangan berat Lampiran 3 Pemeriksaan titik lembek aspal
Lampiran 4 Pemeriksaan kehilangan berat aspal
Lampiran 5 Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar aspal Lampiran 6 Pemeriksaan daktalitas aspal
Lampiran 7 Pemeriksaan berat jenis aspal
Lampiran 8 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat kasar Lampiran 9 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat halus Lampiran 10 Pemeriksaan pembagian butiran
Lampiran 11 Pemeriksaan grafik pembagian butir Agregat Lampiran 12 Pemeriksaan kelekatan agregat
Lampiran 13 Pemeriksaan keausan agregat dengan mesin los angeles Lampiran 14 Pemeriksaan tabel hasil uji marshall AC-WC
Lampiran 15 Pemeriksaan grafik kadar aspal Design AC-WC
Lampiran 16 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 2% Lampiran 17 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 4% Lampiran 18 Pemeriksaan penetrasi campuran aspal dengan styrofoam 6% Lampiran 19 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 2% Lampiran 20 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 4% Lampiran 21 Pemeriksaan titik lembek aspal dengan campuran styrofoam 6% Lampiran 22 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 2% Lampiran 23 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 4% Lampiran 24 Pemeriksaan berat jenis aspal dengan campuran styrofoam 6% Lampiran 25 Pemeriksaan elastisitas aspal dengan alat daktalitas
Penggunaan limbah bahan Styrofoam cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari tetapi sangat sedikit yang dimanfaatkan. Tingkat penggunaan Styrofoam yang begitu banyak memicu limbah Styrofoam yang banyak juga. Untuk itu pemanfaatan limbah domestik Styrofoam yang tidak bisa hancur hingga 100 tahun kedepan harus dilakukan dengan cerdas mengingat bahan yang ringan serta gangguan estetika yang timbul yang disebab kan oleh limbah yang terjadi jika tidak dikelola secara baik dan benar. Selain itu menipisnya persediaan agregat, seperti batu kerikil dan pasir juga menjadi masalah yang terkait dengan konstruksi dalam perkerasan jalan.
Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan alat, pengujian bahan, perencanaan campuran, pembuatan benda uji dan pengujian Marshall. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Styrofoam, Aspal penetrasi 60/70 dan Agregat. Gradasi agregat yang digunakan yaitu gradasi menerus (AC-WC). Adapun Parameter penentuan Kadar Aspal Optimum yaitu terdiri atas Density, Voids Filled With Asphalt (FVWA), Voids in Mix (VITM), Void in the Mineral Agregat (VMA), Stabilitas, Flow dan Marshall Quetient (MQ) dengan variasi kadar aspal 5%, 5,5%, 6%, 6,5% dan 7% sedangkan kadar variasi styrofoam terhadap aspal yaitu mulai dari 0%, 2%, 4% dan 6%.
Dengan penambahan styrofoam pada aspalmenunjukan hasil yang signifikan terhadap pengujian sifat fisik aspal. Beberapa Parameter penentuan Kadar Aspal Optimum pada aspal dengan bahan tambah styrofoam mulai dari kadar variasi styrofoam 0%, 2%, 4% dan 6% juga telah memenuhi spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) dengan nilai FVWA diatas 65% yaitu mulai dari 75.203% - 80.133%, nilai VITM diantara 3-5% yaitu 3.375% - 4.440%, nilai VMA diatas 15% yaitu 16.990 - 17.905%, nilai Stability diatas 1000kg yaitu 1580.460 – 1651.692, dan nilai flow diantara 2 - 4 mm yaitu mulai dari 2.460mm - 3.900 mm.
1
Ketahanan perkerasan beton aspal terhadap beban lalu lintas dan temperatur sangat tergantung pada kualitas aspal sebagai bahan pengikat dan kualitas agregat pembentuk campuran. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas campuran beton aspal, salah satunya adalah pengunaan bahan tambah pada aspal. Aspal ialah bahan hidro karbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam kecoklatan, tahan terhadap air dan viskoelastis. Aspal sering juga disebut bitumen merupakan bahan pengikat pada campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur .
Aspal modifikasi dibuat dengan mencampur aspal keras dengan suatu bahan. Aspal modifikasi mulai diperkenalkan diluar negeri lebih dari 15 tahun lalu (Caribit, Cariphalt, Mexphalt, Superphalt,dsb) dengan maksud mencegah retak pada waktu musim dingin, mencegah deformasi plastis pada beban berat di musim panas, dan diharapkan akan lebih awet terhadap oksidasi terik matahari.
Penggunaan limbah bahan Styrofoam cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari tetapi sangat sedikit yang dimanfaatkan. Tingkat penggunaan Styrofoam yang begitu banyak memicu limbah Styrofoam yang banyak juga. Untuk itu pemanfaatan limbah domestik Styrofoam yang tidak bisa hancur sehingga 100 tahun kedepan harus dilakukan dengan cerdas mengingat bahan yang ringan serta gangguan estetika yang timbul yang disebab kan oleh limbah yang terjadi jika tidak dikelola secara baik dan benar.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, bahan Styrofoam telah digunakan sebagai campuran pada aspal dengan variasi 0%, 2%, 4%, dan 6% terhadap berat aspal. Beberapa masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana sifat fisis limbah Styrofoam yang terikat dengan sifat fisis aspal yang digunakan?
2. Apakah penggunaan limbah Styrofoam memberikan pengaruh terhadap karakteristik Marshall pada campuran Lapis Aspal Beton (Laston-WC)?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sifat-sifat fisik limbah styrofoam yang digunakan sebagai campuran aspal pada perkerasan jalan.
2. Mengetahui KAO (kadar Aspal Optimum) yang akan digunakan pada campuran AC-WC terhadap stabilitas dan durabilitas campuran.
3. Mengetahui kinerja campuran Aspal dan Styrofoam dengan Metode Marshall.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian mengenai Styrofoam sebagai bahan additive dalam campuran aspal adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam perencanaan penggunaan Styrofoam sebagai bahan additive dalam aspal pada perkerasan jalan.
2. Untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan Styrofoam dalam mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh limbah Styrofoam.
E. Batasan Masalah Batasan masalah kegiatan penelitian ini adalah :
1. Pemeriksaan aspal (penetrasi, titik lembek, titik nyala, penurunan berat aspal, daktilitas, berat jenis aspal).
2. Pengujian Marshall dengan komposisi Styrofoam 0%, 2%, 4%, dan 6% dari berat aspal.
3. Komposisi kimia pada agregat dan bahan additive (Styrofoam) dan pengaruhnya terhadap campuran tidak dibahas dalam laporan ini.
4. Aspal yang digunakan adalah penetrasi 60/70 produksi pertamina.
5. Pengujian ini dibatasi pada campuran Lapis Aspal Beton jenis AC-WC sesuai dengan spesifikasi umum bidang jalan dan jembatan, Departemen Perekerjaan Umum 2010 revisi 3.
6. Pengujian dilakukan di laboratorium Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4
Perkerasan jalan adalah suatu lapisan yang terletak diatas tanah dasar, yang telah mengalami pemadatan dan mempunyai fungsi untuk mendukung lalu lintas. Beban lalu lintas kemudian disebarkan ke badan jalan, sehingga tanah dasar tidak menerima beban yang lebih besar dari pada daya dukung tanah dasar yang diijinkan. Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
1. Perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Plat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapisan fondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton. 3. Perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang
dikombinasikan dengan perkerasan lentur, dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
B. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Struktur perkerasan lentur dikonstruksi baik untuk jalan yang melayani beban lalu lintas ringan sampai sedang, seperti jalan perkotaan, jalan dengan sytem ultilitas terletak dibawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.
lapisan di bawahnya. Muatan yang terjadi pada setiap lapisan berbeda-beda dan semakin kebawah semakin kecil dikarenakan adanya sifat penyebaran gaya. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, oleh karena itu terdapat perbedaan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing lapisan. Adapun jenis Lapis perkerasaan yang tersusun yaitu sebagai berikut:
1. Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapis Permukaan (Surface Course) adalah lapisan perkerasan yang paling atas dan lapisan yang bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan. Selain memiliki stabilitas yang tinggi dan kedap air, lapis permukaan ini dapat menambah daya tahan perkerasaan terhadap penurunan mutu, sehingga secara keseluruhuan menambah masa pelayanan dari konstruksi perkerasaan. Lapis permukaan ini memiliki fungsi utama sebagai berikut :
a. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
b. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
c. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan tidak meresap ke lapis dibawahnya yang berakibat rusaknya struktur perkerasan jalan dan air mengalir ke saluran disamping jalan.
d. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah,Sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang punya daya dukung lebih jelek.
2. Lapis Pondasi Atas (Base Course)
Lapis Pondasi Atas (Base Course) adalah lapisan perkerasan yang terletak antara lapis pondasi bawah dan permukaan. Karena tepat dibawah permukaan perkerasan, maka lapis ini menerima pembebanan yang berat. Material yang digunakan untuk lapisan ini diharuskan material dengan kualitas yang tinggi sehingga kuat untuk menahan beban yang direncanakan.
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dalam menyebarkan beban ke lapisan bawahnya.
b. Pemikul beban vertikal dan horizontal c. Bantalan terhadap lapisan permukaan
d. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah
Syarat-syarat untuk material pondasi atas antar lain :
a. Mutu bahan harus sebaik mungkin dimana tidak mengandung kotoran lumpur, besisi tajam dan kaku
b. Susunan gradasi harus merupakan susunan yang rapat, artinya butiran batuan harus mempunyai susunan gradasi yang saling mengisi antara butiran agregat kasar, agregat sedang, dan agregat halus sehingga rongga semakin kecil.
c. Material yang digunakan untuk lapisan pondasi atas haruslah awet dan kuat dan untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50% dari indeks plastisitas (PI) <4%.
3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) adalah bagian perkerasaan yang terletak antara perkerasan atas dan tanah dasar. Dengan demikian jenis Lapisan ini merupakan pondasi yang mendukung perkerasan atas dan lapisan permukaan. Fungsi Subbase Course adalah :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasaan yang menyebarkan beban-beban roda ke tanah dasar.
b. Untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.
c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak mengumpul pada pondasi maupun tanah dasar.
Material yang digunakan untuk lapisan pondasi bawah mempunya CBR 20 % dan Plastisitas Indeks (PI) ≤ 10 %. Biasanya di Indonesia lapisan ini memakai lapisan pasir dan batu (Sirtu) kelas A, B atau kelas C atau tanah lempung / kepasiran. Selain itu juga dapat pula digunakan stabilitas agregat atau tanah dengan semen atau kapur.
4. Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar adalah permukaan galian tanah yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan, walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Tanah dasar merupakan dasar untuk peletakan bagian-bagian perkerasan yang lainnya. Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat dan daya dukung tanah dasar. Sehingga tanah dasar ini menentukan tebal tipisnya lapisan tanah di atasnya. Untuk menentukan kekuatan tanah dasar biasanya dipakai cara CBR (California Bearing Ratio). Sistem klasifikasi yang umum dipakai pada jalan raya adalah UNIFIED dan AASTHO system, sedang untuk lapangan terbang digunakan FAA system.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalulintas. b. Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air c. Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat
C. Asphalt Concrete–Wearing Course (AC–WC)
Asphalt Concrete adalah campuran bergradasi menerus dari mineral agregat, pengisi dan bahan aspal yang membentuk struktur saling kunci. Struktur saling kunci antar agregat ini adalah penyumbang utama terhadap kekuatan dan kinerja dari bahan digunakan (Laitinen 1998)
Asphalt concrete berdasarkan Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum 2010 (Revisi 3), lebih dikenal dengan istilah Lapis Aspal Beton (Laston). Berdasarkan fungsinya, aspal beton atau Asphalt concrete dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC). Wearing Course atau lapis aus merupakan lapis diatas pondasi. AC-WC berfungsi sebagai lapis permukaan yang tahan cuaca, gaya geser dan tekanan roda serta memberikan lapis kedap air yang dapat melindungi lapis dibawahnya dari rembesan air.
2. Asphalt Concrete-Binder Course (AC-BC). Binder Course atau lapis pengikat atau lapis antara meerupakan lapis transisi antara lapis pondasi dengan lapis permukaan. AC-BC berfungsi sebagai lapis pengikat.
3. Asphalt Concrete-Base (AC-BC). Berfungsi sebagai lapis pondasi jika dipergunakan pada pekerjaan peningkatan atau pemeliharaan jalan.
Setiap jenis Campuran AC yang menggunakan aspal dimodifikasi dengan aspal Alam disebut masing-masing sebagai AC-WC Modified, AC-BC Modified, dan AC-Base Modified. Bahan penyusun dari AC-WC yaitu Aspal dan Agregat, dimana agregat ini terdiri atas agregat kasar, agregat halus dan filler.
D. Aspal
Aspal pada lapis keras jalan berfungsi sebagai bahan ikat antara agregat untuk membentuk campuran yang kompak, sehingga akan membentuk kekuatan yang lebih besar dari masing-masing agregat. Aspal adalah bahan yang padat sampai semi padat dalam suhu ruang. Aspal mempunyai sifat adhesiv yaang kuat, kedap air, awet terhadap serangan asam, alkali, dan garam. Kerbs dan Walker (1971) menyatakan bahwa aspal keras adalah aspal yang digunakan dalam keadaan cair apabila dipanaskan pada suhu tertentu dan pada temperatur 25ºC - 30 ºC berbentuk padat.
Aspal terbuat dari minyak mentah, melalui proses penyulingan atau dapat ditemukan dalam kandungan alam sebagai bagian dari komponen alam yang ditemukan bersama sama material lain. Aspal dapat pula diartikan sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal yang terbentuk dari senyawa-senyawa komplek seperti Asphaltenese, Resins dan Oils. Aspal mempunyai sifat visco-elastis dan tergantung dari waktu pembebanan. ( Sukirman 1999)
Dalam campuran berbahan pengikat aspal, selain agregat, sifat aspal sangat menentukan kinerja dari campuran tersebut. Sifat-sifat aspal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :
1. Sifat kimia, ditentukan berdasarkan kandungan asphaltness dan kandungan malthness (resins, aromatics, saturates).
2. Sifat fisik, yang ditentukan berdasarkan : durabilitasnya (penetrasi, titik lembek, dan daktilitas), adhesi / kohesi, kepekaan terhadap perubahan temperatur dan pengerasan / penuaan.
Menurut Sukirman (1999) aspal sering digunakan sebagai material perkerasan jalan karena berfungsi sebagai :
a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat dan antara sesama aspal.
E. Agregat
Agregat atau batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras dan solid. ASTM (1974) mendefinisikan batuan sebagai suatu bahan yang terdiri dari mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen-fragmen.
Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yang mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% - 85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian, daya dukung, keawetan, dan mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. (Sukirman 1999)
Sifat-sifat agregat adalah yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan, sehingga harus memenuhi :
a. Ukuran butir maksimum dan gradasi
Semua lapisan perkerasan lentur membutuhkan agregat yang terdistribusi dari besar sampai kecil. Semakin besar ukuran maksimum partikel agregat yang digunakan semakin banyak variasi ukuran dari besar sampai kecil yang dibutuhkan. Batasan ukuran maksimum yang digunakan dibatasi oleh tebal lapisan yang diharapkan.
b. Kekuatan dan kekerasan
Agregat dapat mengalami degradasi, yaitu perubahan degradasi akibat pecahnya butiran – butiran agregat. Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis, seperti gaya – gaya yang terjadi selama proses pelaksanaan perkerasan jalan (penimbunan, penghamparan, pemadatan), pelayanan terhadap beban lalu lintas dan proses kimiawi, seperti pengaruh kelembaban, kepanasan dan perubahan suhu sepanjang hari.
Daya tahan agregat terhadap beban mekanis diperiksa dengan melakukan pengujian abrasi menggunakan alat abrasi Los Angeles sesuai dengan SNI– 03–2417–1991. Gaya mekanis pada pemeriksaan dengan alat abrasi Los Angeles diperoleh dari bola – bola baja yang dimasukkan bersama dengan agregat yang hendak diuji.
c. Keawetan (Soundness)
Keawetan adalah kemampuan bahan perkerasan untuk menahan keausan akibat pengaruh cuaca, yaitu air dan perubahan suhu, ataupun keausan akibat dari gesekan roda kendaraan, yang dapat mengakibatkan :
1) Perubahan pada bahan pengikat (bitumen) dan mengelupasnya selaput bitumen dari agregat dan kehancuran agregat
2) Faktor yang dapat mempengaruhi durabilitas adalah VITM (Voids in Mix) kecil sehingga lapisan menjadi kedap air dan udara tidak masuk kedalam campuran
3) Terjadinya oksidasi dan aspal menjadi rapuh
4) VMA (Voids in Mineral Aggregate) besar sehingga film aspal dapat dibuat tebal
5) Jika VMA dan VITM dibuat kecil serta kadar aspal tinggi maka kemungkinan terjadinya bleeding cukup besar
6) Untuk mengatasinya dengan VMA besar menggunakan agregat bergradasi senjang film aspal yang tebal dapat menghasilkan beton aspal yang berdurabilitas tinggi tetapi kemungkinan terjadinya bleeding menjadi besar.
d. Bentuk butiran (Particle shape)
e. Bentuk dan tekstur permukaan agregat (Surface texture)
Bentuk dan tekstur mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk bulat (Rounded), Lonjong (Elongated), Kubus (cubical), Pipih (Flaky) dan Tak beraturan (Irregular). Berdasarkan jenis permukaan, agregat dibedakan atas agregat yang permukaannya kasar (rough), agregat yang permukaannya halus (smooth), agregat yang permukaannya licin dan mengkilap (glassy), dan agregat yang permukaannya berpori (porous). Gesekan timbul terutama pada partikel-partikel yang permukaannya kasar seperti ampelas. Sudut geser dalam antar partikel bertambah besar dengan semakin bertambah kasarnya permukaan. Selain itu agregat kasar lebih mampu menahan deformasi yang timbul dan agregatdengan ikatan antara aspal
f. Berat jenis
Berat jenis agregat adalah perbandingan antara berat volume agregat dengan berat dari volume air yang sama. Besarnya berat jenis agregat penting dalam perencanaan campuran agregat dengan aspal karena umumnya direncanakan berdasarkan perbandingan berat dan juga untuk menentukan banyak pori. Agregat dengan berat jenis yang kecil mempunyai volume yang besar sehingga dengan berat yang sama membutuhkan jumlah aspal yang lebih banyak. Disamping itu agregat dengan kadar pori besar membutuhkan jumlah aspal yang banyak.
g. Porositas
yang dapat diserap oleh agregat ketika direndam dalam air. (Toruan L. Armin 2013)
h. Kebersihan permukaan
Kebersihan agregat ditentukan oleh banyaknya bahan impurities yang ada pada agregat seperti butiran yang lewat saringan no. 200, yaitu adanya lempung, lanau, ataupun adanya tumubuh-tumbuhan pada campuran agregat. Apabila agregat mengandung butiran halus melebihi dari ketentuan, akan menghasilkan beton aspal berkualitas rendah sebagai akibat dari butiran halus tersebut menghalangi ikatan aspal dengan agregat sehingga dapat berakibat nilai stabilitas rendah dan mudah lepasnya ikatan antara aspal dengan agregat. Untuk mengukur kebersihan agregat ini, dilakukan pengujian dengan metode Sand Equivalent Test.
i. Daya lekat terhadap aspal (afinitas agregat)
Kelekatan agregat terhadap aspal adalah kecenderungan agregat untuk menerima, menyerap dan menahan lapisan aspal. Afinitas agregat adalah kecenderungan agregat untuk menerima dan menahan penyelimutan aspal. Daya lekat aspal terhadap agregat dipengaruhi oleh sifat agregat terhadap air. Agregat berupa diroit, andesit merupakan hydro pobic yaitu agregat yang mudah diresapi air, hal ini mengakibatkan agregat tersebut tak mudah terikat air, tetapi mudah terikat dengan aspal.
F. Styrofoam
bensin, styrofoam akan melunak dan dapat berfungsi sebagai perekat. Selain itu juga memiliki sifat tahan terhadap asam, basa dan sifat korosif lainnya seperti garam dan memiliki sifat mudah larut dalam hidrocarbon aromatic (Dharma Giri, 2008).
Melihat adanya beberapa kelebihan yang dimiliki styrofoam dan aspal juga terdiri dari senyawa hidrokarbon, diharapkan styrofoam dapat digunakan sebagai alternatif bahan tambah pada campuran beton aspal yang dapat meningkatkan daya rekat antara agregat dan aspal sehingga dapat meningkatkan kualitas perkerasan asphalt concrete.
G. Desain Campuran Metode Marshall
Konsep metode Marshall untuk rancangan campuran perkerasan dirumuskan oleh Bruce Marshall dan kemudian dikembangkan oleh The US Army Corp Enginee. (Lavin, 2003) melanjutkan penelitian dengan intensif dan mempelajari hal-hal yang ada kaitannya, meningkatkan dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian Marshall dan akhirnya mengembangkan rancangan campuran pengujian ini, yang telah distandarisasikan di dalam ASTM D-1559. Dua sifat yang diperoleh dengan metode Marshall adalah stabilitas (stability) dan kelelehan (flow) . Perbandingan antara stabilitas dan kelelehan dikenal dengan Marshall Quotient (MQ) dan juga akan diperoleh kepadatan (density), analisis rongga (voids analysis) yang dilakukan dengan pengukuran terhadap benda uji dan menghasilkan parameter kepadatan (density), Void Mineral Aggregate (VMA), Void in The Mix Aggregate (VITM), dan Voids Filled with Asphalt (VFWA).
H. Penggunaan Styrofoam Sebagai Bahan Campuran dalam Aspal
Studi-studi mengenai perbandingan hasil parameter uji Asphalt concrete Wearing Coarse modifikasi antara lain :
meningkatkan kualitas aspal sebagai bahan pengikat beton aspal. Dalam tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui karakteristik campuran aspal porus dengan substitusi styrofoam kedalam aspal penetrasi 60/70. Gradasi agregat yang digunakan adalah gradasi terbuka dengan kadar aspal 4,5%, 5%, 5,5%, 6% dan 6,5% sebelum substitusi styrofoam. Selanjutnya dilakukan pengujian dan perhitungan parameter Marshall, Cantabo Loss (CL), dan Asphalt Flow Down(AFD) untuk mendapatkan KAO. Setelah KAO diperoleh, dibuat benda uji pada KAO dan variasi ± 0,5 dari nilai KAO dengan variasi substitusi styrofoam 5%, 7% dan 9%. Uji permeabelitas dan durabilitas pada kadar aspal terbaik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh KAO sebesar 5,76% dan kadar aspal terbaik pada 6,26% dengan substitusi styrofoam 9%, dimana semua parameternya telah memenuhi spesifikasi yang ditentukan kecuali nilai stabilitas yang hanya 495,92 kg atau sedikit dibawah spesifikasi yang disyaratkan Australian Asphalt Pavement Association (1997) untuk lalu lintas sedang yaitu minimum 500 kg.
spesifikasi yang ditentukan kecuali nilai stabilitas yang belum memenuhi yang disyaratkan Australian Asphalt Pavement Association (1997) untuk lalu lintas sedang yaitu minimum 500 kg.
17
Adanya lapisan padat dan awet pada beberapa lapisan beraspal dikarenakan aspal tersebut memiliki susunan agregat yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, bahan pengisi (filler) dan bahan ikat aspal yang telah dicampur di pusat instalasi pencampuran, serta dihampar dan dipadatkan diatas pondasi atau permukaan jalan yang telah disiapkan, oleh karena itu semua jenis pencampuran itu harus sesuai spesifikasi yang ada.
1. Agregat
Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90-95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Berikut adalah agregat yang digunakan dalam campuran beton aspal :
a. Agregat Kasar
Tabel 3.1. Persyaratan agregat kasar
Kelekatan agegat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min. 95 %
Butir Pecah pada Agregat Kasar SNI 7619:2012 95/90
Partikel Pipih dan Lonjong
ASTM D4791
Perbandingan
1:5
Maks.10 %
Material lolos Ayakan No. 200 SNI
03-4142-1996 Maks. 2%
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) b. Agregat Halus
Agregat halus yang digunakan untuk campuran aspal harus bersih, kering, kuat, bebas dari gumpalan-gumpalan lempung dan bahan-bahan lain yang dapat mengganggu serta terdiri dari butir-butir yang bersudut tajam dan mempunyai permukaan yang kasar. Agregat halus dapat digunakan dalam campuran AC sampat suatu batas tidak melampau 15% terhadap berat total campuran dan untuk memperoleh agregat halus yang memenuhi ketentuan diatas :
1. Bahan baku untuk agregat halus harus dicuci terlebih dahulu secara mekanis sebelum dimasukan ke mesin pemecah batu.
Tabel 3.2.Persyaratan agregat halus
Pengujian Standar Nilai
Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 60%
Angularitas dengan uji kadar
rongga SNI 03-6877-2002 Min 45%
Agregat lolos ayakan no.200 SNI ASTM C117:2012 Maks 10%
Kadar lempung SNI 03-4141-1996 Max 1%
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 (Revisi 3) c. Bahan pengisi (Filler)
Filler merupakan bahan pengisi yang berupa atas debu batu kapur yang sesuai dengan AASHTO M303-89 (2006), filler didefinisikan sebagai fraksi debu mineral yang lolos saringan no. 200 (0,075 mm) tidak kurang dari 75% beratnya bisa berupa debu kapur, debu dolomit atau semen portland. Filler harus dalam keadaan kering dengan kadar air maksimum 3 % dari berat total aggregat. Pemberian filler pada campuran lapis keras mengakibatkan lapis keras mengalami berkurangnya kadar pori. Partikel filler menempati rongga diantara partikel-parikel yang lebih besar, sehingga ruang antara partikel-partikel menjadi berkurang. Bahan pengisi (filler) dapat berfungsi ganda dalam campuran beton aspal, selain sebagai bagian dari agregat, filler dalam mengisi rongga dan menambah bidang kontak antar butir agregat sehingga akan meningkatkan kekuatan campuran. Bila dicampur dengan aspal, filler akan membentuk bahan pengikat yang berkonsisten tinggi sehingga mengikat butiran agregat secara bersama-sama. Penambahan filler pada aspal akan meningkat konsistensi aspal.
2. Aspal
cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal, merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan, sedangkan oils yang berwarna lebih muda merupakan media dari asphaltenes dan resins. Maltenes merupakan komponen yang mudah berubah sesuai perubahan temperature dan umur pelayanan.
Menurut Sukirman (1999) aspal sering digunakan sebagai material perkerasan jalan karena berfungsi sebagai :
a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat dan antara sesama aspal.
b. Bahan pengisi, mengisi rongga antar butir agregat dan pori-pori yang ada di dalam butir agregat itu sendiri.
Aspal yang digunakan dalam campuran beraspal Laston (AC-WC) adalah aspal keras / asphalt cement penetrasi 60/70 yang memenuhi persyaratan seperti pada Tabel 3.3. Kadar aspal dalam campuran Laston merupakan perbandingan antara persentase berat aspal terhadap berat total campuran agregat, yang mana besaran persentase tersebut akan ditentukan dari hasil perhitungan pada benda uji pemeriksaan kadar aspal optimum (KAO). Kadar aspal yang semakin tinggi akan mempengaruhi kemampuan aspal untuk saling mengikat antar butir agregat dan mengurangi kadar rongga dalam campuran, tetapi apabila kadar aspal terlalu tinggi maka akan terjadi bleeding dimana material campuran lapisan perkerasan beraspal akan terpompa keluar atau lepas akibat beban lalu lintas (Sukirman, 2003).
Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut penyelubung agregat dalam bentuk tebal film aspal yang berperan menahan gaya geser permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang lebih lanjut, juga berarti mengurangi penetrasi air dalam campuran.
Pemeriksaan aspal tersebut antara lain : a. Pemeriksaan Penetrasi
Nilai penetrasi didapat dari uji penetrasi dari alat penetrometer pada suhu 25º C dengan beban 100 gram selama 5 detik, dilakukan sebanyak 5 kali.
Penelitian ini menggunakan jenis aspal keras dengan angka penetrasi 60/70 yang mengacu pada spesifikasi umum bidang jalan dan jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).
b. Pemeriksaan Titik Lembek
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengukur nilai temperatur saat bola-bola baja mendesar turun lapisan aspal yang ada pada cincin, hingga aspal tersebut menyentuh dasar pelat yang terletak dibawah cincin pada jarak 1 inchi, sebagai akibat dari percepatan pemanasan tertentu. Berat bola baja 3,45 – 3,55 gram dengan diameter 9,53 mm. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui batas kekerasan aspal. Pengamatan titik lembek dimulai dari suhu 5º C sebagai batas paling tinggi sifat kekakuan dari aspal yang disebabkan oleh sifat termoplastik. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).
c. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar
d. Pemeriksaan Kehilangan Berat
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui pengurangan berat akibat penguapan unsur – unsur aspal yang mudah menguap dalam aspal. Apabila aspal dipanaskan di dalam oven pada suhu 163º C dalam waktu 4,5 – 5 jam, maka akan terjadi reaksi terhadap unsur – unsur pada aspal, sehingga dimungkinkan sifat aspal akan berubah, hal ini tidak diharapkan pada lapis perkerasan lentur, untuk itu disyaratkan kehilangan berat aspal maksimum adalah 0,8% dari berat semula. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).
e. Pemeriksaan Daktilitas Aspal
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik pada cetakan yang berisi aspal sebelum putus pada suhu 25º C dengan kecepatan tarik 5 cm / menit. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).
f. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal
Berat jenis aspal merupakan perbandingan antara berat aspal dengan berat air suling dengan volume yang sama. Penelitian ini mengacu pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 (Revisi 3).
g. Elastisitas
Untuk mendapatkan campuran yang berkualitas baik terhadap aspal dan agregat, maka kadar aspal dalam campuran harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendapatkan kadar aspal optimum. Bila kadar aspal yang ditambahkan lebih rendah dari kadar aspal optimum, maka film aspal yang menyelimuti agregat akan tipis. Film aspal yang tipis menyebabkan ikatan antara aspal dan agregat mudah mengelupas, mengakibatkan lapis permukaan atau perkerasan tidak lahi kedap air, oksidasi mudah terjadi, sehingga lapisan perkerasan mudah menjadi rusak.
Penambahan kadar aspal yang lebih tinggi dari kadar aspal optimum akan menyebabkan aspal tidak lagi dapat menyelimuti agregat dengan baik. Jika volume pori dalam total campuran kecil, maka dengan adanya pemadatan tambahan akibat beban lalu lintas dan temperatur udara yang tinggi akan menyebabkan aspal keluar dari lapisan (bleeding), dan mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin dan tidak aman bagi pengguna jalan. Bleeding atau kegemukan adalah jenis kerusakan yang disebabkan sebagian atau seluruh agregat dalam campuran terselimuti aspal terlalu tebal, salah satunya akibat dari kelebihan prosentase aspal didalam campuran atau sebab lainnya. Kelebihan kadar aspal juga dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan permukaan seperti keriting (corrugation), bergelombang (washboarding), dan pergeseran (shoving).
Tabel 3.3. Persyaratan Aspal Keras Pen 60/70
No Jenis Pemeriksaan Cara pemeriksaan Penetrasi
60/70 Satuan
2 Viskositas Dinamis SNI 06-6441-2000 160-240 60°C 240-360 320-480
3 Viskositas kinemis SNI 06-6441-2000 >300 135°C
385-2000 < 3000 12 Viskositas dinamis SNI 03-6441-2000 <800 °C <1200 <1600
13 Penetrasi pada 25
Ada beberapa persamaan dalam menentukan kadar aspal optimum, salah satunya yang dirumuskan oleh Departemen Pekerjaan Umum (2010), dan SNI M-01-2003 pada metode pengujian campuran beraspal panas dengan alat Marshall, perkiraan awal kadar aspal rancangan adalah :
Pb = 0,035(% CA) + 0,045 (% FA) + 0,18 (% Filler) + K (3.1)
dengan,
Pb = kadar aspal perkiraan
CA = agregat kasar tertahan saringan No. 8 (Course Aggregate)
FA = agregat halus lolos saringan No. 8 dan tertahan No. 200
(Fine Aggregate)
Filler = agregat halus lolos saringan No. 200
K = konstanta ; 0,5-1,0 untuk Laston (AC), 2,0-3,0 untuk Lataston (HRS)
Kadar aspal optimum adalah nilai tengah dari rentang kadar aspal yang menggambarkan hubungan antara kadar aspal rancangan dengan nilai dari setiap parameter karakteristik Marshall, dan yang memenuhi sifat-sifat campuran serta ketentuan yang disyaratkan. Sifat-sifat benda uji yang sudah dipadatkan dihitung menggunakan metode persamaan yang ditunjukkan dalam petunjuk rancangan campuran aspal.
B. Pembagian Butir Agregat
Gradasi agregat menentukan besarnya rongga atau pori yang mungkin terjadi dalam campuran agregat. Distribusi butiran agregat dengan ukuran tertentu yang dimiliki oleh suatu campuran menentukan jenis gradasi agregat. Gradasi agregat dapat dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu :
1. Gradasi Menerus (Continous Graded), atau biasa disebut gradasi rapat (dense graded) yaitu ukuran butir agregat dimana rongga antar butiran besar diisi oleh butiran yang lebih kecil lagi, atau gradasi yang mempunyai ukuran butiran dari terbesar sampai terkecil. Biasanya disebut juga gradasi padat atau gradasi baik karena memadat akibat saling mengisi dan mengunci (interlocking). Campuran agregat bergradasi rapat akan menghasilkan lapis perkerasan dengan stabilitas tinggi, kurang kedap air, sifat drainase jelek, dan berat volume besar.
2. Gradasi Tunggal (Single Graded), atau gradasi seragam (uniformly atau one size graded), adalah butiran agregat yang mayoritas satu ukuran, biasanya masih terdapat sedikit butiran halus yang ikut terbawa sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi ini tidak rawan terhadap segregasi dan umumnya merupakan produk crusher yang dapat dengan mudah diatur proporsinya untuk mencapai gradasi yang diinginkan. Campuran agregat ini mempunyai pori yang cukup besar, sehingga sering disebut juga agregat bergradasi terbuka (open graded). Campuran agregat bergradasi tunggal atau seragam akan menghasilkan lapis perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, dan berat volume kecil.
Menurut Robert (1991), gradasi agregat merupakan gambaran distribusi ukuran partikel agregat berupa presentase lolos saringan. Gradasi ditentukan dari analisis saringan dengan menggunakan satu set saringan sesuai dengan spesifikasi gradasi campuran, saringan yang paling besar diletakkan paling atas dan saringan yang paling kecil diletakkan paling bawah. Satu set saringan berdasarkan AASHTO menunjukkan ukuran bukaan dari masing-masing saringan seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.4 dibawah ini.
Tabel 3.4.Ukuran Bukaan Saringan
Sumber : Sukirman, 2006
Pada campuran AC – WC digunakan agregat dengan gradasi menerus (Single graded). Seperti terlihat pada contoh batas-batas “bahan bergradasi menerus‟‟ yang lolos ayakan No. ¾ (19 mm) dan tertahan ayakan No. 200 (0,075 mm) dalam Tabel 3.5.
Ukuran Saringan
Bukaan (mm)
Ukuran Saringan
Bukaan (mm)
4 inchi 100 3/8 inchi 9,5
3 1/2inchi 90 No. 4 4,75
3 inchi 75 No. 8 2,36
2 1/2 inchi 63 No. 16 1,18
2 inchi 50 No. 30 0,6
1 1/2 inchi 37,5 No. 50 0,3
1 inchi 25 No. 100 0,15
3/4 inchi 19 No. 200 0,075
Tabel 3.5. Gradasi agregat gabungan untuk campuran Laston (AC-WC) Ukuran Ayakan % Berat lolos terhadap
total agregat Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi (Revisi 3)
C. Pengujian Metode Marshall(Marshall Test)
Pada pengujian ini meliputi pengukuran stabilitas dan pelelehan (flow) suatu campuran beraspal dengan butir agregat berukuran maksimum 25,4 mm. Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran aspal untuk menerima beban sampai terjadi alir (flow) yang dinyatakan dalam kilogram. Alir (flow) adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban, dinyatakan dalam mm. Acuan normatif yaitu SNI 06-2489-1991, AASHTO T 245-97, AASHTO T 209-90, BS 598, dan Asphalt Institute MS-2-1994.
(flow) dengan ketelitian 0,25 mm digunakan untuk mengukur kelelehan plastis (flow) beserta perlengkapannya.
Sebelum melakukan pengujian, ada persiapan pengujian. Adapun persiapan pengujiannya adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan benda uji dari kotoran-kotoran yang menempel. 2. Mengukur tinggi benda uji dengan ketelitian 0,1 mm (0,004 inci). 3. Menimbang benda uji.
4. Merendam benda uji dalam air selama kira-kira 10 menit pada temperature ruang.
5. Menimbang benda uji dalam air untuk mendapatkan isi/volume dari benda uji. 6. Menimbang benda uji dalam kondisi kering permukaan jenuh.
Setelah itu waktu yang diperlukan dan saat diangkatnya benda uji dari rendaman air sampai tercapai beban maksimum tidak boleh melebihi 30 detik. Untuk pengujian campuran dengan Metode Marshall adalah sebagai berikut: 1. Merendam benda uji aspal panas dalam penangas air selama 30 sampai 40
menit dengan temperature tetap 60°C.
2. Mengeluarkan benda uji dari penangas air dan meletakan dalam bagian bawah alat penekan uji Marshall, dengan melapisi benda uji dengan selebaran plastik agar tidak menempel dengan alat penguji.
3. Kemudian memasangkan bagian alat penekan benda uji Marshall diatas benda uji dan meletakkan seluruhnya dalam mesin uji Marshall.
4. Sebelum pembebanan diberikan, kepala penekan beserta benda uji dinaikkan sehingga menyentuh alas cincin penguji.
5. Mengatur jarum arloji pengukur stabilitas dan pengukur pelelehan pada kedudukan angka nol.
D. Metode Pengujian Material 1. Agregat Kasar
Agregat kasar merupakan kerikil sebagai hasil disintegrasi „alami‟ dari batuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir antara 4,75 mm (No.4) sampai 40 mm (No.11/2 inchi). Beberapa perhitungan dalam agregat kasar yaitu :
a. Berat Jenis Curah Kering
Dalam perhitungan berat jenis curah kering (Sd) menggunakan persamaan
sebagai berikut :
Berat Jenis Curah Kering = (3.2)
dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram)
B = Berat Benda Uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = Berat Benda Uji dalam air (gram)
b. Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan)
Dalam perhitungan berat jenis curah kering permukaan (SS) menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan) = (3.3) dengan,
B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)
c. Berat Jenis Semu
Dalam perhitungan berat jenis semu (Sa) menggunakan persamaan sebagai
berikut :
dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)
d. Penyerapan Air
Dalam perhitungan persentase penyerapan air (Sw) menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Penyerapan air = x 100% (3.5) dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram)
B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
e. Keausan Agregat dengan mesin Los Angeles
Keausan Agregat dengan mesin Los Angeles merupakan pengujian untuk mengetahui angka keausan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan aus terhadap berat semula dalam persen. Untuk menghitung keausan agregat maka digunakan persamaan sebagai berikut :
Keausan = x 100% (3.6)
dengan,
A = berat benda uji semula (gram)
B = berat benda uji tertahan saringan No.12 (1,70mm) (gram)
2. Agregat Halus
0,15 mL. Hitung berat total piknometer, benda uji dan air dengan rumus :
C = 0,9975.Va + S + W (3.7)
dengan,
C = berat piknometer, benda uji dan air pada batas pembacaan (gram) Va = volume air yang dimasukkan kedalam piknometer (mL)
S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram) W = berat piknometer kosong (gram)
Langkah alternatif lainnya menggunakan labu Le Chatelier adalah dengan mengisi labu tersebut dengan air sampai pada posisi garis yang berada di antara 0 dan 1mL. Beberapa perhitungan dalam agregat halus yaitu :
a. Berat Jenis Curah Kering
Dalam perhitungan berat jenis curah kering (Sd) menggunakan persamaan
sebagai berikut :
Berat Jenis Curah Kering = (3.8)
dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram) B = berat piknometer yang berisi air (gram) C = berat piknometer dengan benda (gram)
S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram)
Jika labu Le Chatelier digunakan, maka berat jenis curah kering dihitung dengan persamaan :
Berat jenis curah kering = (3.9)
dengan,
R1 = pembacaan awal posisi air pada labu Le Chatelier
R2 = pembacaan akhir posisi air pada labu Le Chatelier
S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram) S1 = berat benda uji kondisi jkp yang dimasukkan ke labu (gram)
b. Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan)
Dalam perhitungan berat jenis curah kering permukaan (SS) menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Berat Jenis Curah = (3.10) dengan,
B = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C = berat benda uji dalam air (gram)
S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan (gram)
Jika labu Le Chatelier digunakan, maka berat jenis curah kering dihitung dengan persamaan :
Berat jenis curah kering = (3.11)
dengan,
R1 = pembacaan awal posisi air pada labu Le Chatelier
R2 = pembacaan akhir posisi air pada labu Le Chatelier
S1 = berat benda uji kondisi jkp yang dimasukkan ke labu (gram)
c. Berat Jenis Semu
Dalam perhitungan berat jenis semu (Sa) menggunakan persamaan sebagai
berikut :
dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram) B = berat piknometer yang berisi air (gram)
C = berat piknometer dengan benda uji dan air sampai batas pembacaan (gram)
d. Penyerapan Air
Dalam perhitungan persentase penyerapan air (Sw) menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Penyerapan air = x 100% (3.13)
dengan,
A = berat benda uji kering oven (gram)
S = berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
3. Aspal
Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut penyelubung agregat dalam bentuk tebal film aspal yang berperan menahan gaya geser permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang lebih lanjut, juga berarti mengurangi penetrasi air dalam campuran.
Pemeriksaan aspal tersebut antara lain : a. Pemeriksaan Penetrasi
Penetrasi merupakan kekerasan yang dinyatakan sebagai kedalaman masuknya jarum penetrasi standar secara vertikal yang dinyatakan dalam satuan 0,1 mm pada kondisi beban, waktu dan temperatur yng diketahui.Untuk mendapatkan nilai penetrasi dilakukan dengan cara menggunakan alat penetrometer.
b. Titik Lembek
menentukan angka titik lembek aspal yang berkisar dari 30º sampai 157º dengan cara Ring and Ball.
c. Berat Jenis
Didalam mencari nilai berat jenis pada campuran aspal, maka digunakan alat piknometer. Perhitungan berat jenis aspal dapat dilihat dari persamaan berikut :
Berat Jenis = (3.14)
dengan,
A = massa piknometer dan penutup
B = massa piknometer dan penutup berisi air C = massa piknometer, penutup, dan benda uji D = massa piknometer, penutup, benda uji, dan air
Untuk mencari berat isi benda uji maka digunakan persamaan :
Berat isi = Berat jenis x WT (3.15)
dengan,
WT = berat isi air pada temperatur pengujian
d. Daktilitas
Pada pengujian daktilitas dilakukan pada temperatur 25ºC ± 0,5ºC atau temperatur lainnya dengan cara menentukan jarak pemuluran aspal dalam cetakan pada saat putus setelah ditarik dengan kecepatan 50 mm per menit ± 2,5 mm sehingga akan didapat nilai daktilitas.
e. Kehilangan Berat Minyak dan Aspal
Hitunglah penurunan berat = x 100% (3.16) dengan,
A = berat benda uji semula
B = berat benda uji setelah pemanasan
f. Elastisitas
Elastisitas merupakan perbandingan antara panjang aspal setelah mengalami elastisitas selama satu jam dengan panjang penarikkannya dalam satuan persen. Untuk perhitungan elastisitas dengan menggunakan persamaan berikut :
% Elastisitas = x 100% (3.17)
dengan,
X = perpanjangan benda uji dalam satuan cm setelah mengalami Elastisitas
g. Titik nyala dan Titik Bakar
Standar untuk menentukan titik nyala dan titik bakar aspal dengan menggunakan alat cleveland open cup secara manual dan dapat digunakan untuk semua jenis aspal yang mempunyai titik nyala dalam rentang 79ºC sampai dengan 400ºC. Untuk perhitungan titik nyala dan titik bakar menggunakan persamaan sebagai berikut :
Titik nyala / titik bakar terkoreksi = C + 0,25 (101,3 – K) (3.18) dengan,
E. Metode Pengujian Campuran
Didalam perhitungan rancangan campuran dibutuhkan parameter penunjuk berat, yaitu berat jenis. Analisis berat jenis diperlukan dalam perhitungan untuk mencari karakteristik Marshall, sehingga perlu dipahami terlebih dahulu konsep mengenai berat jenis kering agregat, berat jenis efektif agregat, dan berat jenis maksimum teoritis campuran.
1. Berat Jenis Kering Agregat (Bulk Specific Gravity of Aggregate)
Berat jenis kering agregat dinyatakan dalam berat jenis curah untuk agregat yang merupakan campuran berbagai fraksi agregat, yaitu agregat kasar, agregat halus, dan filler.
Berat jenis kering (bulk spesific gravity) dari total agregat ditentukan dari:
2. Berat Jenis Semu Agregat (Apparent Specific Gravity of Aggregate)
Berat jenis semu untuk agregat yang merupakan campuran berbagai fraksi agregat, yaitu agregat kasar, agregat halus dan filler.
Berat jenis semu (apparent spesific gravity) dari total agregat dapat dihitung dari:
dengan,
Gsb total agregat = Berat jenis kering agregat gabungan (gr/cc)
Gsa total agregat = Berat jenis semu agregat gabungan (gr/cc)
Gsb1, Gsb2, Gsbn = Berat jenis kering masing-masing agregat 1, 2, 3...
n (gr/cc)
Gsa1, Gsa2, Gsan = Berat jenis semu masing-masing agregat 1, 2, 3...
n (gr/cc)
P1, P2, Pn = Persentase berat dari masing-masing agregat (%)
(3.19)
3. Berat Jenis Efektif Total Agregat
Berat jenis efektif total agregat sulit untuk diukur sehingga belum ada standarnya dan selama ini nilainya diperkirakan. Berat jenis efektif dari agregat dapat dihitung dengan persamaan berikut:
dengan,
Gsb = Berat jenis kering/bulk spesific gravity (gr/cc)
Gsa = Berat jenis semu/apparent spesific gravity (gr/cc)
Gb = Berat jenis aspal (gr/cc)
Gse total agregat = Berat jenis efektif agregat gabungan (gr/cc)
Gse1, Gse2... Gsen = Berat jenis efektif dari masing-masing agregat 1,
2, 3... n
Gmm = Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah
pemadatan (gr/cc)
Pmm = Persen berat total campuran (=100)
Pb = Persentase kadar aspal terhadap total campuran
(%)
4. Volume Campuran dan Berat Jenis Campuran Setelah Pemadatan
Volume campuran setelah pemadatan dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Vbulk = VSSD - WW (3.23)
Berat jenis campuran setelah pemadatan dapat ditentukan dengan perhitungan berikut:
Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan (Gmm)
(3.21)
(3.22)
dengan,
Vbulk = Volume campuran setelah pemadatan (cc)
Pmm = Persen berat total campuran (=100)
Ps = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran
Pb = Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran
Wa = Berat dalam air (gr)
Gmb = Berat jenis campuran setelah pemadatan (gr/cc)
Gmm = Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan
(gr/cc)
F. Karakteristik Marshall
Konsep dasar dari karakteristik Marshall dalam campuran aspal di kembangkan oleh Bruce Marshall seorang insinyur bahan aspal bersama-sama dengan The Mississipi State Highway Department. The U.S. Army Corp Of Engineers (Lavin, 2003) melanjutkan penelitian dengan intensif dan mempelajari hal-hal yang ada kaitannya, meningkatkan dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian Marshall dan akhirnya mengembangkan rancangan campuran pengujian ini, yang telah distandarisasikan di dalam ASTM D-1559.
Parameter penting yang ditentukan dalam pengujian Marshall adalah beban maksimum yang dapat dipikul oleh benda uji sebelum hancur atau yang biasa disebut Marshall flow, serta turunan dari keduanya yang merupakan perbandingan antara Marshall stability dengan Marshall flow yang disebut Marshall Quotient, yang merupakan nilai kekakuan berkembang (pseudo stiffness), yang menunjukan ketahanan campuran terhadap deformasi permanent.
Karakteristik campuran dari lapisan perkerasan dipengaruhi oleh susunan dan kualitas dari bahan-bahan penyusunya, selain itu proses pelaksanaan dalam pengerjaanya dapat mempengaruhi kualitas campuran. Adapun karakteristik yang harus dimiliki oleh beton aspal campuran panas, antara lain adalah :
1. Kepadatan (Density)
Kepadatan merupakan berat campuran yang diukur tiap satuan volume. Kepadatan dipengaruhi oleh kualitas bahan, kadar aspal, jumlah tumbukan, komposisi bahan penyusunnya. Nilai kepadatan yang semakin tinggi menghasilkan kemampuan menahan beban lalu lintas yang lebih baik serta memiliki kekedapan terhadap air dan udara yang tinggi pula. Nilai kepadatan dari benda uji ini dapat dihitung dengan persamaan :
Gmb = (3.26) dengan,
Gmb = berat volume benda uji (density) (gr/cc)
Wmp = berat kering benda uji sebelum direndam air (gram)
Wmssd = berat benda uji dalam keadaan jenuh air (gram)
Wmv = berat benda uji dalam air (gram)
γw = berat volume air (gr/cc)
2. Rongga antara Mineral Agregat (Void in the Mineral Agregat,VMA)
VMA adalah ruang antara partikel agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). Volume rongga yang terdapat antara partikel agregat suatu campuran beraspal yang telah dipadatkan, yaitu rongga udara dan volume kadar aspal efektif, yang dinyatakan dalam persentase terhadap volume total benda uji. Peran VMA penting didalamnya untuk membuat ruang yang cukup bagi aspal untuk membuat campuran mempunyai durabilitas yang baik. Jika nilai VMA terlalu besar, dibutuhkan aspal dalam jumlah yang berlebihan untuk mengurangi rongga udara sehingga sesuai standar yang diisyaratkan. Jumlah aspal yang berlebihan di dalam suatu campuran juga dapat membuat stabilitas terganggu (Lavin, 2003).
VMA dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
dengan,
VMA : voids mineral aggregate (%) Gb : berat jenis agregat (gr/cc)
Gmb :berat jenis curah campuran padat (gr/cc)
Ps : persen agregat terhadap berat total campuran (%)
3. Rongga Udara dalam Campuran (Voids in Mix, VITM)
VITM adalah presentase volume rongga terhadap volume total campuran setelah dipadatkan, dinyatakan dalam % . VITM digunakan untuk mengetahui besarnya rongga campuran, demikian sehingga rongga tidak terlalu kecil (menimbulkan bleeding) atau terlalu besar (menimbulkan oksidasi / penuaan aspal dengan masuknya udara). Nilai VITM yang besar mengakibatkan rongga yang terlalu banyak sehingga air dan udara mudah masuk, akibatnya durabilitas berkurang. Sebaliknya jika nilai VITM kecil, campuran menjadi rapat dan kekakuannya akan meningkat (stabilitas tinggi). Nilai VITM mengalami penurunan dengan penambahan kadar aspal hingga mencapai rongga udara dalam campuran minimum (Lavin, 2003).
VITM dibutuhkan untuk tempat bergesernya butir-butir agregat akibat pemadatan tambahan dari beban lalulintas, atau tempat jika aspal menjadi lunak akibat naiknya temperatur. VITM dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
VITM = 100 x (3.28)
dengan,
VITM : kadar rongga terhadap campuran (%) Gmb : berat volume benda uji (gr/cc)
Gmm : berat jenis maksimum teoritis (gr/cc)
4. Rongga terisi Aspal (Voids Filled with Asphalt, VFWA)
aspal (Sukirman, 2003). VFA merupakan bagian VMA yang terisi aspal, dimana aspal tersebut berfungsi menyelimuti butir-butir agregat dlam campuran agregat aspal padat. Untuk mengitung VFA dapat di gunakan persamaan berikut ini :
VITM = 100 x (3.29)
dengan,
VFA : rongga terisi aspal (%)
VMA : rongga diantara mineral agregat (%) VITM : rongga di dalam campuran (%)
5. Stabilitas
Stabilitas adalah kemampuan lapis perkerasan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk permanen seperti gelombang, alur ataupun bleeding (Sukirman, 2003). Stabilitas tergantung dari gesekkan antar agregat dalam campuran dan kohesi. Nilai stabilitas yang terlalu tinggi menyebabkan lapisan menjadi kaku dan cepat mengalami retak, selain itu karna volume rongga antar agregat kurang,mengakibatkan kadar aspal yang di butuhkan rendah sehingga ikatan aspal dengan agregat mudah lepas dan durabilitasnya rendah. Besarnya stabilitas benda uji didapat dari pembacaan arloji stabilitas alat tekan marshall yang dicocokkan dengan kalibrasi proving ringnya dalam satuan kilogram (kg). Selanjutny nilai stabilitas dikoreksi dengan faktor koreksi tebal benda uji.
Formula untuk menghitung nilai stabilitas dapat dihitung juga dengan menggunakan persamaan :
O = q x kalibrasi proving ring x koreksi tebal benda uji (3.30) dengan,
O : stabilitas (kg)
6. Kelelehan Plastis atau Alir (Flow)
Kelelehan adalah bentuk keadaan perubahan bentuk suatu campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban, dinyatakan dalam millimeter (mm). Parameter kelelehan diperlukan untuk mengetahui deformasi (perubahan bentuk) vertikal campuran pada saat dibebani hingga hancur (pada saat stabilitas maksimum). Kelelehan akan meningkat seiring meningkatnya kadar aspal (Lavin, 2003).
Apabila pembacan pada arloji menunjukkan nilai flow rendah, maka campuran cenderung menjadi getas, sebaliknya jika nilai flow tinggi campuran cenderung plastis.
7. Marshall Quotient (MQ)
MQ adalah hasil bagi dari stabilitas dengan kelelehan yang dipergunakan untuk pendekatan terhadap nilai kekakuan atau kelenturan campuran, dinyatakan dalam kN/mm. Nilai MQ yang tinggi menunjukkan nilai kekakuan lapis keras tinggi. Lapis keras yang mempunyai nilai MQ yang terlalu tinggi akan mudah terjadi retak-retak akibat repetisi beban lalu lintas. Sebaiknya nilai MQ yang terlalu rendah menunjukkan campuran terlalu fleksibel yang mengakibatkan perkerasan mudah berubah bentuk bila menahan beban lalu lintas.
Marshall Quotient dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(3.31)
dengan,
MQ : Marshall Quotient (kg/mm) MS : Marshall Stability (kg) MF : Flow Marshall (mm)
8. Penyerapan Aspal
dipergunakan persamaan berikut :
Pba = 100 x (3.32)
dengan,
Pba = penyerapan aspal (%)
Gse = berat jenis efektif agregat (gr/cc)
Gsb = berat jenis curah agregat (gr/cc)
Gb = berat jenis aspal (gr/cc)
9. Kadar Aspal Efektif
Kadar aspal efektif adalah kadar aspal total dikurangi jumlah aspal yang diserapdalam partikel agregat. Untuk menghitung kadar aspal efektif dapat digunakan
persamaaan :
Pbe = Pb - x Ps (3.33)
dengan,
Pbe = kadar aspal efektif, persen terhadap berat total campuran Pb = kadar aspal total, persen terhadap berat total campuran
Ps = persen agregat terhadap berat total campuran
Pbs = penyerapan aspal, persentase agregat.
G. Kadar Aspal Optimum (KAO)
with aggregate (VFWA), kadar aspal dengan stabilitas, kadar aspal dengan flow, kadar aspal dengan Marshall Quotient (MQ).
Kadar Aspal optimum yang baik adalah kadar aspal yang memenuhi sifat campuran yang diinginkan dengan rentang kadar aspal optimum lebih besar 0,5%. Persyaratan karakteristik campuran Laston yang diuji Marshall harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Berdasarkan spesifikasi umum Bina Marga edisi 2010 revisi 3 persyaratan campuran Laston dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel. 3.6. Ketentuan sifat-sifat campuran AC-WC
Sifat-sifat Campuran Laston
Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Jumlah tumbukan perbidang 75 112
Rasio partikel lolos ayakan 0,075mm dengan kadar aspal efektif
Min. 1,0
Maks. 1,4
Rongga dalam campuran (%) Min. 3,0
Maks. 5,0
Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min. 15 14 13
Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 65 65
Stabilitas Marshall (kg) Min. 800 1800
Pelelehan (mm) Min. 2 3
Maks. 4 6
Stabilitas Marshall (%) setelah
Min. 90
perendaman selama 24 jam. 60°C Rongga dalam campuran (%) pada
Min. 2
kepadatan membal (refusal)
46
Bagan alir dibawah ini adalah tahapan penelitian di laboratorium secara umum untuk pemeriksaan bahan yang di gunakan pada penentuan uji Marshall.