• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Coping Masyarakat Pulau Kecil Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Coping Masyarakat Pulau Kecil Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI COPING MASYARAKAT PULAU KECIL

DALAM MENGHADAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

H e ru Se t ia w a n

Balai Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Makassar

E-mail: hiero_81@yahoo.com

ABSTRAK - Masyarakat nelayan terutama yang tinggal di kawasan pulau kecil dengan sumberdaya yang terbatas merupakan kelompok masyarakat yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Berbagai bentuk strategi coping diterapkan nelayan agar dapat bertahan menghadapi dampak negatif yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai bentuk strategi coping masyarakat nelayan pulau kecil dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan penelitian deskriptif dan strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Unit analisis adalah komunitas nelayan di Pulau Tanakeke. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan responden kunci dengan menggunakan panduan pertanyaan. Teknik observasi dilakukan untuk mengidentifikasi dampak strategi coping yang dilakukan masyarakat terhadap ekosistem pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk strategi coping yang dilakukan masyarakat nelayan Pulau Tanakeke terdiri dari empat tipe, yaitu strategi coping ekonomi, struktural, sosial dan kultural. Strategi coping ekonomi dilakukan dengan memperbanyak alternatif sumber pendapatan, menerapkan berbagai teknik penangkapan ikan dan meningkatkan kerjasama sosial ekonomi. Strategi coping struktural dilakukan dengan membuat tanggul pelindung dan penanaman mangrove guna mencegah banjir rob akibat gelombang pasang. Strategi coping yang bersifat sosial dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat, dan strategi coping kultural dilakukan dengan menjaga hutan mangrove kawasan Bangko Tapampang dengan aturan adat. Beberapa pilihan strategi coping masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan ekosistem pesisir, diantaranya adalah kerusakan terumbu karang dan ekosistem mangrove.

Kata kunci: Strategi coping, masyarakat nelayan, pulau kecil, perubahan iklim

PENDAHULUAN Latar Belakang

(2)

perubahan rata-rata dan / atau variasi sifat-sifatnya dan berlangsung untuk periode yang panjang, biasanya satu dekade atau lebih (IPCC, 2014). Perubahan tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya suhu permukaan bumi atau yang dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global adalah peristiwa meningkatnya suhu bumi akibat terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (gelombang panas/inframerah) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4dan N2O di atmosfer bumi (Cruzet al., 2007). Badan

dunia yang bertugas memonitor isu pemanasan global, yaitu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Fenomena pemanasan global inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, antara lain suhu dan distribusi curah hujan, yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia dan terjadi dalam kurun waktu yang panjang (Gernowo & Yulianto, 2010). Berubahnya iklim berpengaruh terhadap berubahnya aspek lingkungan perairan, termasuk suhu, oksigenasi, keasaman, salinitas dan kekeruhan laut, danau dan sungai, kedalaman dan arus perairan dalam, sirkulasi arus laut, dan berkembangnya penyakit air, parasit dan melimpahnya ganggang beracun (FAO, 2015). Salah satu sektor yang rentan menerima dampak perubahan iklim adalah sektor perikanan. Diposaptono et al. (2009) menyebutkan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan fisik lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain intrusi air laut ke darat, gelombang pasang, banjir, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai. IPCC (2007) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab kerentanan wilayah pesisir, faktor pertama adalah pemanasan global ditengarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir dan faktor kedua adalah pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut antara 1-3°C yang berakibat meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis.

(3)

manusia untuk bertahan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim.

Pulau Tanakeke merupakan salah satu pulau kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Luasan Tanake yang hanya 43,12 km2 membuat

terbatasnya sumberdaya yang ada di pulau ini sehingga pilihan mata pencaharian masyarakatnya juga sangat terbatas, yaitu hanya mengandalkan pada sektor kelautan. Hal ini mempuat tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim berada pada tingkat rendah. Kondisi topografi Pulau Tanakeke yang mempunyai tingkat kelerengan yang datar (0-8%) dan ketinggian tidak lebih dari 10 m dpl sangat rentan terhadap gelombang pasang dan angin kencang. Dengan semakin meningkatnya berbagai ancaman yang diakibatkan fenomena perubahan iklim, maka masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke berusaha menerapkan berbagai strategi coping untuk tetap dapat bertahan menghadapi dampak negatif terjadinya perubahan iklim. Berbagai strategi coping dilakukan masyarakat Pulau Tanakeke untuk mempertahankan kehidupan, baik secara individu maupun membentuk komunitas (kelompok masyarakat). Akan tetapi, kadang pilihan bentuk strategi coping yang dilakukan masyarakat tidak sesuai dengan semangat pelestarian lingkungan. Akibatnya terjadi degradasi kualitas lingkungan yang secara tidak langsung dapat mengancam kehidupan mereka. Makalah ini akan membahas mengenai bentuk-bentuk strategi coping masyarakat Pulau Tanakeke dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Oktober Desember 2015 di Pulau Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar. Pulau ini terletak di sisi barat daya daratan Sulawesi Selatan dan berhadapan langsung dengan perairan Selat Makassar. Secara geografis, pulau ini terletak pada 119° 14 22 119° 20 29 BT dan 5° 26 43 5° 32 34 LS.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan sebagai obyek kajian adalah masyarakat pesisir yang tinggal dan menetap di Pulau Tanakeke dan bentuk-bentuk strategi coping yang mereka lakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Bahan pendukung penelitian diantaranya adalah peta tematik Pulau Tanakeke dan data-data sekunder terkait tema penelitian yang diperoleh dari beberapa instansi di Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan antara lain daftar panduan pertanyaan, kuesioner, alat perekam, alat tulis, kompas dan kamera.

Metode Pengambilan Data

(4)

pemahaman responden tentang berbagai aspek sosial yang berkaitan dengan proses adaptasi komunitas nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan di Pulau Tanakeke yang tersebar di lima desa, yaitu Desa Maccini Baji, Desa Tompotana, Desa Balandatu, Desa Rewataya dan Desa Mattiro Baji.

Berdasarkan kondisi biofisik tempat tinggal, terdapat dua tipe komunitas yang menjadi subyek dalam penelitian ini, yaitu komunitas nelayan daratan dan komunias nelayan lautan. Komunitas nelayan daratan adalah kelompok masyarakat nelayan yang tinggal di Desa Maccini Baji dan Desa Balandatu. Kondisi biofisik kedua desa tersebut mempunyai kemiripan yaitu terdapat area daratan yang luas, sehingga selain sebagai nelayan masih terdapat alternatif pekerjaan lain, yaitu sebagai petani dan peternak. Berbagai komoditas pertanian yang dikembangkan masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah padi, jagung, kacang hijau, cabe, tomat dan semangka, sedangkan komoditas peternakan yang biasa dikembangkan masyarakat adalah peternakan sapi yang dikelola dengan secara tradisonal. Komunitas nelayan lautan adalah kelompok masyarakat yang tempat tinggalnya berhadapan dengan laut lepas. Kelompok ini tinggal di Desa Tompotana, Desa Rewatayya da Desa Mattiro Baji. Kelompok nelayan lautan tinggal pada suatu area yang relatif sempit dan berhadapan langsung dengan laut, sehingga kehidupan ekonominya sangat bergantung pada hasil laut dan pertanian rumput laut.

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Pulau Tanakeke, sedangkan responden dalam penelitian adalah individu (subjek) yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian. Responden dipilih secara sengaja (purposive sampling) sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan pengalaman responden. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik snow-ball sampling dan key person. Beberapa key responden yang wawancarai diantaranya adalah kepala desa, perangkat desa, ketua kelompok pelestari mangrove, dan tokoh masyarakat. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) secara langsung pada subjek dan pengamatan langsung di lapangan. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan juga pengumpulan data sekunder dan studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen terkait lainnya.

(5)

masyarakat nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Metode pengamatan langsung di lapangan sangat penting dilakukan sebagaitoolsuntuk memvalidasi data-data yang didapatkan dari hasil wawancara.

Data yang didapatkan dari hasil wawancara dan observasi lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif bertujuan menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dalam komunitas, memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses suatu fenomena sosial (Subair, 2013). Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles & Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data. Hasil analisis data kualitatif selanjutnya dilengkapi dengan hasil interpretasi data kuantitatif yang didapatkan dari laporan atau kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

HASIL

Kondisi Sosial Ekonomi dan Biofisik Pulau Tanakeke

Secara umum, masyarakat yang bermukim di Pulau Tanakeke adalah masyarakat asli yang yang berasal dari Suku Makassar. Selain masyarakat asli, penduduk Pulau Tanakeke sebagian kecil adalah pendatang yang datang ke Pulau Tanakeke melalui program transmigrasi. Berdasarkan hasil wawancara diketahui, jumlah keseluruhan penduduk Pulau Tanakeke pada tahun 2014 mencapai 6.364 jiwa dan 1.658 KK. Mata pencaharian utama masyarakat adalah nelayan. Menurut kondisi biofisik tempat tinggalnya, komunitas masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke dibedakan berdasarkan dua, yaitu komunitas nelayan yang mengandalkan pendapatannya dari hasil laut. Komunitas ini bermukim di Desa Tompotana, Desa Mattiro Baji dan Desa Rewatayya. Sedangkan tipe yang satunya adalah masyarakat nelayan yang mempunyai mata pencaharian lain yang lebih beragam karena mempunyai wilayah daratan yang luas. Komunitas nelayan ini bermukim di Desa Maccini Baji dan Desa Balandatu.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, Tanakeke merupakan pulau daratan rendah yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan. Pulau Tanakeke secara umum memiliki bentuk garis pantai terluar yang berlekuk-lekuk sehingga membentuk teluk. Kondisi ini membuat Pulau Tanakeke kaya akan endapan lumpur yang merupakan habitat yang sesuai untuk mangrove. Luasan mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 20% dari total mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014, luas mangrove di Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan tersebut hanya 5.238 ha yang masih dalam kategori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak dan sangat rusak. Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke mempunyai luasan mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014).

Pulau Tanakeke mempunyai luasan 43,12 km2, berdasarkan UU No 27

(6)

luasan kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 dikategorikan sebagai pulau

kecil, sedangkan berdasarkan UNESCO (1991), pulau ini termasuk dalam kategori sangat kecil karena mempunyai ukuran tidak lebih dari 100 km2atau lebarnya

tidak lebih besar dari 3 km. Dengan kondisi biofisik Pulau Tanekeke seperti yang dijelaskan diatas, maka masyarakat yang menempati kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan tinggi muka air laut, perubahan musim dan semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan angin kencang. Kondisi ini diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat yang mengandalkan kehidupannya dari hasil laut. Masyarakat secara otomatis harus beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan akibat perubahan iklim agar kehidupan mereka dapat berjalan sebagaimana biasa.

Strategi Coping Masyarakat Menghadapi Perubahan Iklim

Perubahan ekologis pada ekosistem pesisir akibat terjadinya perubahan iklim merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari. Agar dapat bertahan terhadap dampak dari perubahan iklim, masyarakat melakukan berbagai strategi coping. Strategi coping dilakukan masyarakat sebagai bentuk tindakan pertahanan dan penyesuaian dalam mengurangi kerentanan sesuai dengan skala tertentu seperti komunitas, region atau kawasan dan selanjutnya pada tingkat nasional. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, secara umum masyarakat tidak mengetahui bahwa fenomena perubahan alam yang telah mereka rasakan seperti semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan angin kencang, semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan, berkurangnya sumber air bersih, semakin seringnya banjir rob yang melanda pemukiman, abrasi di pemukiman dan tambak, daerah tangkapan ikan yang berubah dan berubahnya musim tangkap merupakan dampak terjadinya perubahan iklim. Perubahan pola angin, menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di beberapa kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya berhembus angin timur menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi gelombang badai di lautan dan pesisir (Rahmasari, 2011). Perubahan ekologi yang mereka rasakan merupakan proses yang terjadi dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, diperluka edukasi berkaitan dengan ancaman terjadinya perubahan iklim bagi komunitas nelayan karena mereka adalah kelompok yang sangat rentan menerima dampak perubahan iklim.

(7)

masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke adalah nelayan tradisonal yang menggunakan kapal berukuran kecil dan mengandalkan peralatan tangkap sederhana seperti pancing, bubu dan jaring. Beberapa kelompok nelayan menggunakan teknik menangkap ikan yang disebut dengan paropo. Teknik ini menggunakan kayu bakau yang ditumpuk dengan teknik tertentu di dasar perairan dengan tujuan agar ikan dapat berkumpul sehingga memudahkan dalam menangkap ketika laut dalam keadaan surut. Untuk meningkatkan hasil tangkapan, nelayan dengan modal besar membuat perahu dengan ukuran lebih besar, sehingga daya jelajahnya lebih jauh dan daya tampungnya lebih besar. Diversifikasi mata pencaharian juga merupakan salah satu bentuk strategi coping ekonomi yang dilakukan masyarakat. Pola musim yang tidak jelas dan seringnya terjadi gelombang pasang mengakibatkan pendapatan nelayan menurun. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, masyarakat mencari alternatif sumber pendapatan lain, diantaranya adalah menjadi buruh bangunan di kota, mencari batu karang untuk bahan bangunan, mencari pasir, membuat perahu, bertani dan berternak, usaha tambak, membuat arang, mencari kayu bakar, dan meningkatkan usaha pertanian rumput laut. Selain dominasi laki-laki sebagai kepala rumah tangga, salah satu strategi coping ekonomi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan adalah melibatkan para istri untuk ikut mencari nafkah. Peran serta istri nelayan dalam usaha meningkatkan pendapatan rumah tangga dilakukan dengan cara mendirikan warung yang menjual kebutuhan rumah tangga dan pelibatan istri dalam usaha pertanian rumput laut.

Strategi coping yang bersifat structural lebih menekankan pada usaha yang bersifat fisik dan pengaplikasian teknologi yang ditujukan untuk mengurangi kerugian akibat dampak perubahan iklim. Beberapa strategi coping yang bersifat struktural yang dilakukan masyarakat diantaranya adalah : (a) Membangun tanggul dari beton yang bertujuan untuk melindungi pemukiman dan tambak dari hempasan ombak dan bahaya abrasi; (b) Memperkokoh struktur bangunan rumah dengan menggunakan beton dan membatasi bagian bangunan yang berbatasan dengan laut lepas dengan menggunakan beton; (c) Membangun fasilitas air bersih untuk mengantisipasi kekurangan air bersih di musim kemarau; (d) Merehabilitasi area tambak yang sudah tidak produktif dengan melakukan penanaman mangrove yang dilakukan baik secara individu maupun berkelompok. Strategi coping yang bersifat structural lebih menekankan pada usaha yang bersifat kelompok, dan dengan bantuan dari pihak lain, baik dari pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Beberapa contoh bantuan dari pemerintah adalah fasilitas air bersih, pembuatan tanggul dan rehabilitasi kawasan bakau, sementara bantuan dari lembaga non-pemerintah diantaranya adalah rehabilitasi kawasan tambak yang tidak produktif dengan mangrove dan pendampingan dalam pembentukan kelompok-kelompok masyarakat.

(8)

organisasi non pemerintah contohnya adalah kelompok Setia Kawan yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga nelayan di Desa Tompotana. Kelompok ini bergerak dalam bidang peningkatan pengelolaan usaha rumput laut. Selain itu juga terdapat kelompok Women Group di Desa Balandatu yang bergerak dalam bidang peningkatan pendapatan rumah tangga dengan membuat persemaian, membuat keripik dan makanan berbahan dasar mangrove dan kegiatan penanaman bakau. Kelompok Surya Sejati dibentuk oleh masyarakat di Desa Maccini Baji yang bergerak dalam bidang peningkatan produksi hasil pertanian. Disamping kelompok-kelompok tersebut, juga terdapat kelompok lain yang bergerak dalam bidang peningkatan hasil pertanian rumput laut dan kelompok pelestari mangrove.

Strategi kultural yang diterapkan masyarakat Pulau Tanakeke dalam menghadapi perubahan iklim dilakukan dengan menetapkan area perlindungan untuk pelestarian ekosistem mangrove. Sudah menjadi kesepakatan warga yang tidak tertulis bahwa kepemilikan mangrove di pulau ini merupakan milik pribadi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Nilai jual tegakan mangrove yang tinggi hingga mencapai 30 juta/ha inilah yang membuat sebagian besar warga tergiur untuk menjual mangrove untuk dijadikan bahan baku arang. Untuk menghindari kerusakan mangrove yang lebih luas, upaya pelestarian ekosistem mangrove dilakukan oleh masyarakat dengan menetapkan kawasan mangrove Bangko Tapampang sebagai kawasan pelestarian mangrove. Kawasan Bangko Tapampang merupakan satu-satunya kawasan mangrove di Pulau Tanakeke yang tidak dimiliki perseorangan. Bangko Tapampang yang berarti bakau melintang ini mempunyai luas sekitar 50,5 ha, yang terletak melintang diantara dua desa, yaitu Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Untuk lebih menguatkan kesepakatan tersebut, dibuatlah peraturan desa (perdes) yang telah disepakati oleh lima desa yang ada di Pulau Tanakeke, yaitu Desa Maccini Baji, Desa Tompotana, Desa Balandatu, Desa Rewataya dan Desa Mattiro Baji. Dalam perdes ini disebutkan bahwa kawasan Bangko Tapampang terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Zona inti yang luasnya mencapai sekitar 40,5 ha diperuntukkan bagi kawasan yang vegetasinya masih dalam kategori baik, yang ditetapkan sebagai daerah perlindungan dan dilarang melakukan aktivitas penebangan. Zona penyangga dengan luasan sekitar 5 ha, ditetapkan sebagai kawasan yang dimanfaatkan masyarakat secara terbatas. Zona rehabilitasi dengan luasan sekitar 5 ha ditetapkan sebagai kawasan yang difokuskan untuk perbaikan karena telah mengalami kerusakan. Selain menetapkan Bangko Tapampang sebagai kawasan perlindungan ekosistem mangrove, perdes ini juga mengatur tata cara penebangan mangrove yang dimiliki pribadi. Dalam peraturan tersebut disebutkan, setiap penebangan mangrove dengan luasan 4 m2diwajibkan untuk

(9)

Warga masyarakat juga mulai sadar perlunya pengelolaan mangrove yang baik demi menunjang kehidupannya.

Dampak Strategi Coping Masyarakat Pada Ekosistem Pesisir

Strategi coping masyarakat pesisir dalam menghadapi dampak perubahan iklim berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap ekosistem pesisir. Usaha penanaman mangrove dalam rangka meredam bajir ROB dan abrasi yang dilakukan masyrakat, baik yang dilakukan secara swadaya atau dengan dukungan pihak luar, berpengaruh positif bagi ekosistem pesisir. Diversifikasi mata pencaharian nelayan, terutama ketika dalam musim angin dan gelombang pasang, beberapa diantaranya dapat mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Beberapa bentuk strategi coping yang dapat mengancam kelestarian ekosistem pesisir diantaranya adalah penambangan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan yang dapat memicu abrasi dan penebangan vegetasi mangrove untuk kayu bakar, bahan baku arang, tiang pancang rumput laut dan untuk pembuatan paropo(teknik tradisional menangkap ikan).

Sebagian masyarakat di Desa Balandatu dan Desa Rewataya melakukan aktivitas penambangan batu karang untuk memenuhi permintaan bahan bangunan. Aktivitas penambangan ini dilakukan masyarakat sebagai pekerjaan sampingan dikala penghasilan sebagai nelayan kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Aktifitas penambangan pasir untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan juga dilakukan masyarakat nelayan di Desa Maccini Baji. Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat terhadap kedua jenis bahan bangunan tersebut membuat kegiatan penambangan semakin meningkat. Hal tersebut jika dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada semakin menurunnya kualitas ekosistem pesisir di Pulau Tanakeke. Kegiatan penambangan tersebut dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang yang dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan (Satria, 2009).

Salah satu strategi coping yang dilakukan masyarakat menghadapi perubahan iklim adalah memanfaatkan ekosistem mangrove, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menambah penghasilan. Beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Tompotana sangat intensif melakukan penebangan mangrove untuk digunakan bahan baku arang. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove yang sangat bermanfaat menjadi keseimbangan ekologi ekosistem pulau. Sebagain besar masyarakat petani rumput laut di Pulau Tanakeke juga memanfaatkan kayu mangrove untuk tiang pancang. Kebutuhan tiang pancang ini sangat besar karena hampir lima bukan sekali selalu diganti. Walaupun sudah ada peraturan desa mengenai pengelolaan mangrove, tapi karena ketergantungan masyarakat pada kayu mangrove sangat tinggi, sehingga beberapa masyarakat masih melakukan penebangan secara serampangan.

(10)

yang harus dilakukan rumah tangga nelayan untuk menjaga kelangsungan hidupnya ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan. Sebagian nelayan melakukan strategi coping yang malah berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem pesisir. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar kehidupan perekonomian rumah tangga dapat terus berjalan. Oleh karena itu, peran serta dari berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah dalam penguatan kapasitas masyarakat nelayan sudah sangat dibutuhkan agar mereka dapat bertahan menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim tanpa merusak sumberdaya yang ada di Pulau Tanakeke.

KESIMPULAN

Terjadinya perubahan iklim berdampak pada perubahan ekologis ekosistem pesisir di Pulau Tanekeke. Perubahan yang dirasakan nelayan diantaranya adalah semakin seringnya terjadi gelombang pasang dan angin kencang, semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan, daerah tangkapan ikan yang berubah-ubah, berubahnya musim tangkap, semakin berkurangnya sumber air bersih, semakin seringnya banjir ROB yang melanda pemukiman dan terjadinya abrasi di area pemukiman dan tambak. Masyarakat nelayan di Pulau Tanakeke melakukan berbagai bentuk strategi coping dalam merespon perubahan ekologis. Beberapa bentuk strategi coping yang dilakukan masyarakat Pulau Tanakeke adalah strategi coping ekonomi, struktural, sosial dan kultural. Strategi coping ekonomi dilakukan dengan memperbanyak alternatif sumber pendapatan, menerapkan berbagai teknik penangkapan ikan dan meningkatkan kerjasama sosial ekonomi. Strategi coping struktural dilakukan dengan membuat tanggul pelindung dan penanaman mangrove guna mencegah banjir rob akibat gelombang pasang. Strategi coping yang bersifat sosial dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat, dan strategi coping kultural dilakukan dengan menjaga hutan mangrove kawasan Bangko Tapampang dengan aturan adat. Beberapa pilihan strategi coping masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan ekosistem pesisir, diantaranya adalah kerusakan terumbu karang dan ekosistem mangrove.

PENGHARGAAN (Acknowledgement)

(11)

REFERENSI

Berman, R. Quinn, C.H. Paavola, J. Identifying drivers of household coping strategies to multiple climatic hazards in Western Uganda: implications for adapting to future climate change. Centre for Climate Change Economics and Policy and Sustainability Research Institute

Bogdan, R. Biklen, S. 1992. Qualitative Research for Education. Boston, MA. Allyn and Bacon.

Cruz, R.V. H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh. 2007. Asia climate change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of working group II to the fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506. Diposaptono, S. Budiman. Firdaus, A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Ellis, F. 1998. Household strategies and rural livelihood diversification. Journal of

Development Studies, 35(1), pp.1-38.

FAO. 2015. Coping with climate change the roles of genetic resources for food and agriculture. Rome.

Gernowo, R.Yulianto, T. 2010. Fenomena perubahan iklim dan karakteristik curah hujan ekstrim di DKI Jakarta. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, tanggal 10 April 2010. Semarang. Hlm. 13-18.

IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Working Group II Contribution to the 4thAssessment Report. Cambridge

Univ. Press, Cambridge, UK.

IPCC. 2014. Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlömer, C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Moediarta, R. Stalker, P. 2007. Sisi lain perubahan iklim : Mengapa Indonesia

harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. United Nations Development Programme Indonesia.

Rahmasari,L. 2011. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir. Jurnal Sains dan Teknologi Maritim X (1) : 1-11

Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. IPB Press. Bogor.

Sitorus, FMT. 1998. Penelitian Kualitatif: suatu perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

menunjukan bahwa pada masa inflamsi pada post cateterisasi jantung setelah diberi tindakan aff sheath radialis didapatkan 47% responden dengan hasil tidak mengalami

Dan kebanyakan orang akan lebih percaya apabila seseorang telah membuktikan kelezatannya, maka akan lebih banyak konsumen lainnya yang penasaran akan rasa Donut Kentang, dan

Perihal : Undangan Pelatihan Fasilitator Tahap II (Provinsi Jawa Tengah I) Program Pamsimas III TA 2016 Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan

Ada 34 (94,44%) siswa sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5 yang dapat memperoleh konsep teoritis tentang sifat larutan garam yang tersusun dari asam kuat dan

Uji persentase daya hambat dilakukan pada media agar dengan cara menginokulasikan isolat bakteri dan patogen yang ada secara berpasangan dalam cawan petri berdiameter 9 cm..

Sebuah film yang berbau illuminati dapat dilihat dari perusahaan yang memproduksi film tersebut, sekilas memang rumah produksi atau production house

Pengetesan dilakukan pada suhu dingin untuk memudahkan pengamatan, karena jika suhu larutan panas maka suhu endapan akan tinggi dan menyebabkan endapan akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien memiliki persepsi kualitas pelayanan cukup baik, persepsi harga obat yang bersaing, dan sebagian besar