• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian yang Menyebabkan Rusak atau Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus PT. Tiki Cabang Gelugur Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian yang Menyebabkan Rusak atau Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus PT. Tiki Cabang Gelugur Medan)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN

BARANG TERHADAP KELALAIAN YANG MENYEBABKAN

RUSAK ATAU HILANGNYA BARANG PENGIRIMAN

MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

(Studi Kasus PT. TIKI Cabang Gelugur Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Dinda Adistya Nugraha

NIM : 090200395

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN

BARANG TERHADAP KELALAIAN YANG MENYEBABKAN

RUSAK ATAU HILANGNYA BARANG PENGIRIMAN

MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

(Studi Kasus PT. TIKI Cabang Gelugur Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat

beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa

Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Rusak Atau

Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(Studi Kasus PT. TIKI Cabang Gelugur Medan)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan

didalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran

yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari

dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,

dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

(4)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku

Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Sinta Uli Pulungan, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan

skripsi ini.

5. Ibu Zulfi Chairi, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,

serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada ayahanda dan ibunda, Drs. Bambang Wahyuandi dan Alm

Mainiah, SE.Msi, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih

sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

USU.

8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009 selama

(5)

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2013

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN ... 9

A. Pengertian Perjanjian Pengangkutan ... 9

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian Pengangkutan... 11

C. Jenis-Jenis Perjanjian Pengangkutan... 15

D. Tanggungjawab Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat... 19

(7)

BAB III TINJAUAM UMUM TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN ... 24

A. Pengertian Konsumen ... 24

B. Hak Dan Kewajiban Konsumen Dan Perusahaan ... 32

C. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 56

D. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen 58

BAB IV TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG TERHADAP KELALAIAN YANG MENYEBABKAN RUSAK ATAU HILANGNYA BARANG ... 62

A. Tanggung Jawab Perusahaan PT. TIKI Akibat Kelalaian Yang Menyebabkan Rusaknya Atau Hilangnya Barang ... 62

B. Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang ... 69

C. Penyelesaian Perselisihan Dalam Perjanjian Pengiriman Barang ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA

(8)

ABSTRAK

Banyak peristiwa hukum yang berkaitan dengan perjanjian pengangkutan khususnya yang berkaitan dengan tanggungjawab pihak jasa pengiriman barang terhadap rusaknya atau hilangnya barang kiriman tersebut. Kenyataan yang ditemukan sering kali klaim yang diajukan oleh pengirim kurang ditanggapi oleh pihak perusahaan pengiriman sehingga terkadang timbul sengketa. Sebagai suatu bentuk perjanjian maka konsumen pengirim barang dilindungi oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, demikian juga halnya dengan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha pengiriman barang. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab perusahaan PT. TIKI akibat kelalaian yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang, bagaimana perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang dan bagaimana penyelesaian perselisihan dalam perjanjian pengiriman barang.

Untuk membahas permasalahan yang disebutkan di atas maka dilakukan penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian dengan pendekatan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan pada PT. TIKI Cabang gelugur Medan.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan tanggungjawab Perusahaan PT. TIKI akibat kelalaian yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang adalah PT. TIKI bertanggung jawab mengganti kerugian yang dialami pengirim akibat kerusakan atau kehilangan dokumen atau barang oleh PT. TIKI sepanjang kerugian tersebut terjadi ketika barang atau dokumen masih berada dalam pengawasan PT. TIKI, dengan catatan bahwa kerusakan tersebut semata-mata disebabkan karena kelalaian karyawan atau agen PT. TIKI. Perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang akibat lalainya petugas PT TIKI yang menghilangkan barang konsumen. Konsumen dapat meminta ganti kerugian, ganti kerugian mengacu pada Pasal 1243 BW yang menyatakan bahwa penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, dalam hal ini penggantian biaya ganti rugi lahir akibat tindakan wanprestasi pelaku usaha yaitu telah lalai dalam tugas dan membuat barang konsumen hilang. Penyelesaian perselisihan dalam perjanjian pengiriman barang dilakukan dengan cara: Non Litigasi, Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Litigasi, Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Jasa Pengiriman, Kelalaian, Rusak, Hilangnya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(9)

ABSTRAK

Banyak peristiwa hukum yang berkaitan dengan perjanjian pengangkutan khususnya yang berkaitan dengan tanggungjawab pihak jasa pengiriman barang terhadap rusaknya atau hilangnya barang kiriman tersebut. Kenyataan yang ditemukan sering kali klaim yang diajukan oleh pengirim kurang ditanggapi oleh pihak perusahaan pengiriman sehingga terkadang timbul sengketa. Sebagai suatu bentuk perjanjian maka konsumen pengirim barang dilindungi oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, demikian juga halnya dengan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha pengiriman barang. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab perusahaan PT. TIKI akibat kelalaian yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang, bagaimana perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang dan bagaimana penyelesaian perselisihan dalam perjanjian pengiriman barang.

Untuk membahas permasalahan yang disebutkan di atas maka dilakukan penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian dengan pendekatan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan pada PT. TIKI Cabang gelugur Medan.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan tanggungjawab Perusahaan PT. TIKI akibat kelalaian yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang adalah PT. TIKI bertanggung jawab mengganti kerugian yang dialami pengirim akibat kerusakan atau kehilangan dokumen atau barang oleh PT. TIKI sepanjang kerugian tersebut terjadi ketika barang atau dokumen masih berada dalam pengawasan PT. TIKI, dengan catatan bahwa kerusakan tersebut semata-mata disebabkan karena kelalaian karyawan atau agen PT. TIKI. Perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang akibat lalainya petugas PT TIKI yang menghilangkan barang konsumen. Konsumen dapat meminta ganti kerugian, ganti kerugian mengacu pada Pasal 1243 BW yang menyatakan bahwa penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, dalam hal ini penggantian biaya ganti rugi lahir akibat tindakan wanprestasi pelaku usaha yaitu telah lalai dalam tugas dan membuat barang konsumen hilang. Penyelesaian perselisihan dalam perjanjian pengiriman barang dilakukan dengan cara: Non Litigasi, Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Litigasi, Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Jasa Pengiriman, Kelalaian, Rusak, Hilangnya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(10)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Mengikuti perkembangan dari perekonomian yang moderen, adanya

pengangkutan merupakan salah satu sarana yang cukup penting dalam menunjang

pembangunan ekonomi, demikian juga halnya dengan pengangkutan yang

dilakukan di darat.

Pengangkutan di darat berkembang dengan pesat namun dijumpai juga

beberapa hambatan ataupun masalah yang kurang baik oleh perusahaan

pengangkutan maupun para pengguna jasa pengangkutan itu sendiri. Hal ini

timbul juga lebih banyak disebabkan oleh belum sempurnanya

perundang-undangan yang mengatur mengenai pengangkutan ini, sehingga keadaan demikian

menyebabkan tidak terdapatnya kepastian hukum bagi para pihak yang

mengadakan perjanjian pengangkutan ini. Tetapi karena pengangkutan merupakan

perjanjian dimana titik tolak hukum perjanjian adalah diatur dalam KUH Perdata

yang berlaku di Indonesia, maka tidak terlepas dari peranan Buku III KUH

Perdata tersebut.

Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang

membuatnya. Hal ini merupakan tuntutan kepastian hukum, sedang di pihak yang

lain hukum itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila karena kelalaian

pihak yang wajib melakukan prestasi telah melakukan wanprestasi ini mempunyai

akibat hukum.

(11)

Tidak hanya wanprestasi, masalah resiko sering juga terjadi dalam suatu

perjanjian. Persoalan resiko ini sering berpokok pangkal pada terjadinya suatu

peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam

bagian umum Buku III KUH Perdata ada suatu pasal yang mengatur resiko ini,

yaitu Pasal 1237 yang berbunyi sebagai berikut :

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang itu semenjak

perikatan dilahirkan adalah atas tanggung jawab si berpiutang ”.

Setiap terjadinya wanprestasi dan resiko tentu akan menyebabkan

timbulnya kerugian. Dari sinilah penulis akan menyorotinya di dalam perjanjian

pengangkutan laut. Salah satu bentuk wanprestasi tersebut adalah seperti hilang

atau rusak. Hilang diartikan dengan tidak ada lagi, lenyap atau tidak kelihatan.1

Rusak diartikan sudah tidak sempurna, tidak utuh lagi.2

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 401.

2

Ibid., hal. 971.

Di satu sisi pada dasarnya pelaksanaan perjanjian pengangkutan tidak

dilakukan di atas suatu perjanjian secara tertulis. Pelaksanaan perjanjian

pengangkutan dalam hukum kebiasaan didasarkan kepada dokumen-dokumen

pengangkutan saja, yang di dalamnya menerangkan tujuan pengiriman, nama

pengirim, nama pengangkut serta biaya pengangkutan. Berdasarkan hukum

kebiasaan tersebut para pihak melakukan kewajiban-kewajibannya, sehingga

apabila terjadi suatu sengketa di belakang hari maka yang diajukan sebagai bukti

adalah dokumen-dokumen tersebut, sedangkan hubungan antara pengirim dan

(12)

Dengan keadaan demikian adalah sangat menarik untuk mengetahui

secara lebih dekat lagi tentang pelaksanaan perjanjian dalam hukum pengangkutan

ini terutama perihal bagaimana sebenarnya perjanjian pengangkutan tersebut

disepakati.

Banyak peristiwa hukum yang berkaitan dengan perjanjian pengangkutan

khususnya yang berkaitan dengan tanggungjawab pihak jasa pengiriman barang

terhadap rusaknya atau hilangnya barang kiriman tersebut. Kenyataan yang

ditemukan sering kali klaim yang diajukan oleh pengirim kurang ditanggapi oleh

pihak perusahaan pengiriman sehingga terkadang timbul sengketa.

Sebagai suatu bentuk perjanjian maka konsumen pengirim barang

dilindungi oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, demikian juga halnya dengan pengusaha yang melakukan kegiatan

usaha pengiriman barang.

Dari uraian di atas jelaslah yang menjadi latar belakang persoalan

pembahasan skripsi ini sekitar tentang tanggung jawab para pihak akibat adanya

suatu hubungan yaitu perjanjian pengangkutan terutama dalam hal ini perjanjian

pengangkutan barang dengan judul “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa

Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Rusak Atau

Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(13)

B. Permasalahan

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena

dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian

dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

1. Bagaimanakah tanggung jawab perusahaan PT. TIKI akibat kelalaian yang

menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang?

2. Bagaimanakah perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang?

3. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan dalam perjanjian pengiriman barang?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab perusahaan PT. TIKI akibat

kelalaian yang menyebabkan rusaknya atau hilangnya barang.

2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen dalam perjanjian

pengiriman barang.

3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perselisihan dalam perjanjian

pengiriman barang.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum

perdata dalam kaitannya dengan perjanjian pengangkutan barang .

(14)

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui dari pelaksanaan

pertanggungjawaban para pihak dalam perjanjian pengangkutan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis

atau bahan hukum yang lain.3

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data

sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti

KUH Perdata, KUH Dagang dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan

sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

3

(15)

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta hasil

penelitian pada PT. TIKI Cabang Gelugur Medan yang dilakukan dengan cara

wawancara.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa

kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang

teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik

beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Perusahaan

Jasa Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Rusak Atau

Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(Studi Kasus PT. TIKI Cabang Gelugur Medan)” ini merupakan hasil pemikiran

penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya.

(16)

secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan

Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan,

serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pengangkutan

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang

berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian

Pengangkutan, Asas-Asas Dalam Perjanjian Pengangkutan,

Jenis-Jenis Perjanjian Pengangkutan, serta Tanggung Jawab Pihak Dalam

Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat.

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang

secara umum dibahas mengenai container yaitu: Pengertian

Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Perusahaan, Asas dan

Tujuan Perlindungan Konsumen, serta Bentuk-Bentuk Perlindungan

Hukum Terhadap Konsumen.

(17)

Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Rusak Atau Hilangnya

Barang.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Tanggung

Jawab Perusahaan PT. TIKI Akibat Kelalaian Yang Menyebabkan

Rusaknya Atau Hilangnya Barang, Perlindungan Konsumen Dalam

Perjanjian Pengiriman Barang serta Penyelesaian Perselisihan Dalam

Perjanjian Pengiriman Barang.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN

A. Pengertian Perjanjian Pengangkutan

Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau

mengirimkan. Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau

memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.4

3. Ada tempat yang dapat dilalui oleh angkutan.

Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan

atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan

sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam

hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut :

1. Ada sesuatu yang diangkut.

2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.

5

Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia

dari tempat asal ke tempat tujuan.6

Menurut pendapat R. Soekardono, pengangkutan pada pokoknya berisikan

perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang,

karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat

serta efisiensi.7

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1996, hal. 45.

5

Ridwan Khairandy, dkk Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 194.

6

Ibid., hal. 195. 7

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 5.

(19)

Adapun proses dari pengangkutan itu merupaka gerakan dari tempat asal

dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu

diakhiri.8

Mengenai pengertian perjanjian pengangkutan di dalam Buku II Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang tidak diberikan definisinya. Perjanjian

pengangkutan itu sendiri bersifat konsensuil, sehingga untuk terciptanya

perjanjian pengangkutan tidak diperlukan adanya syarat tertulis, jadi hanya

bersifat konsensuil.

Menurut pendapat yang diungkapkan R. Subekti, yang dimaksud dengan

perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi

untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain,

sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya.9

Sedangkan menurut pendapat H.M.N. Purwosutjipto, yang dimaksud

dengan perjanjian pengangkutan adalah perjanjian antara pengangkut dengan

pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu

dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang

angkutan.10

Di dalam perjanjian pengangkutan terdapat kesepakatan antara

pihak-pihak yang ingin mengadakan pengangkutan maka perjanjian pengangkutan

8

Muchtarudin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan,

Lembaga penerbitan FE UI, Jakarta, 1981, hal. 5. 9

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung 1979, hal. 81. 10

(20)

menimbulkan hak dan kewajiban. Dimana para pihak yang dimaksud harus

dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.

Dalam perjanjian pengangkutan di laut para pihak dapat meminta untuk

dibuatkannya suatu akta yang disebut carter party. Tapi carter party ini bukan

merupakan syarat adanya perjanjian itu melainkan semata-mata sebagai alat bukti

bahwa telah terjadi perjanjian pengangkutan.

Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan

perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang

dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan

pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak

pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos

angkutannya.11

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian Pengangkutan

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku

sebagai asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum

perjanjian pengangkutan, yang memiliki asas-asas sebagai berikut:

1. Asas Personalia

”Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan

bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah

hanya untuk kepentingan perseorangan saja”.12

11

Ibid., hal. 2. 12

(21)

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1)

KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “pada umumnya tak

seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

Sedangkan Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “persetujuan hanya berlaku

antara pihak-pihak yang membuatnya.”

Namun, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya, yaitu berdasarkan

ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi: “dapat pula diadakan

perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat

untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat

seperti itu.”

2. Asas konsensualisme

”Asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata

sepakat atau kehendak mengenai isi atau pokok perjanjian”.13

3. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian,

bahwa dengan adanya konsensualisme, perjanjian itu telah lahir atau terbentuk

pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak diperlukan

formalitas lain.

Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338

ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

13

Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

(22)

Asas ini merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena

dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan Hak Asasi Manusia

dalam mengadakan perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari

hukum perjanjian. ”Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata

banyak didalam Undang-Undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan

pada asas ini”.

Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi

perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh

undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan ”sepanjang perjanjian

tersebut dilaksanakan dengan itikad baik dan mereka wajib melaksanakan

perjanjian yang telah mereka buat layaknya undang-undang”.

Oleh karena Buku III KUHPerdata bersistem terbuka dan pasal-pasalnya

merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap, maka para pihak boleh

mengenyampingkan pasal-pasal dalam hukum perjanjian jika mereka

menghendaki. ”Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut para pihak tidak

mengatur mengenai sesuatu hal, maka bagi sesuatu hal tersebut berlakulah

ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata”.

Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

c) Menentukan mengenai klausula/isi dalam perjanjian, pelaksanaan,

(23)

d) Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

e) Menentukan cara membuat perjanjian.

4. Asas Kepercayaan.

”Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan

antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu

perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu

pemenuhan prestasi dikemudian hari”.

5. Asas Kekuatan Mengikat.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat

sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi

para pihak. ”Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran

terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar

undang-undang”.

6. Asas Itikad Baik

Asas ini menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanankan dengan itikad

baik. Itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a) Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum tidak lain

adalah perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa

syarat-syarat yang diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah

menurut hukum sudah terpenuhi semuanya.

b) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang timbul dari suatu hubungan hukum tidak lain

(24)

Itikad baik disini juga terletak pada sanubari manusia, yang selalu

ingat bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus mengindahkan

norma-norma kepatutan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari

perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.14

7. Asas Keseimbangan.

Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan

melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk

menuntut prestasi (kreditur) berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari

pihak lainnya (debitur), namun kreditur juga memiliki beban untuk

melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. ”Jadi, kedudukan

kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan

itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang”.

8. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.

Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan

bahwa: “perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di

dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan

oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.

C. Jenis-Jenis Perjanjian Pengangkutan

Adapun sebagai jenis-jenis pengangkutan adalah:

1. Pengangkutan udara

14

(25)

Pengangkutan udara adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk

pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di udara.

Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang

Penerbangan menjelaskan Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan

menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos

untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain

atau beberapa bandar udara.

Pasal 1 butir 14 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

Tentang Penerbangan menjelaskan berbagai jenis angkutan udara yang meliputi:

a) Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan

memungut pembayaran.

b) Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan

untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung

kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

c) Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga

untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain

di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d) Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk

melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar

udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

(26)

e) Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam

negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk

menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum

terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum

menguntungkan.

2. Pengangkutan Laut

Pengangkutan laut yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik

yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk penangngkutan

orang atau barang yang dijalankan di laut.

Yang diatur di dalam :

a) KUHD, Buku II, Bab V, tentang “Perjanjian Carter kapal”.

b) KUHD, Buku II, Bab V-A, tentang “Pengangkutan barang-barang”.

Pengangkutan barang-barang ini adalah merupakan suatu bentuk

pengangkutan dengan objek yang diangkut berupa barang-barang. Muatan

barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah

yang sah menurut undang-undang. Dalam pengertian barang termasuk juga

hewan.

c) KUHD, Buku II, Bab V-B, tentang “Pengangkutan orang”.

d) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menjelaskan

angkutan laut merupakan angkutan di perairan. Pasal 1 butir 3

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menjelaskan angkutan di

Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang

(27)

3. Pengangkutan Darat yaitu :

Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada

kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang

di jalan selain daripada kendaraan yang berjalan di atas rel. Yang dapat dibagi :

a) Pengangkutan kereta api yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk

pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas rel.

Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang

Perkeretaapian dijelaskan Angkutan kereta api adalah kegiatan

pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan

menggunakan kereta api.

b) Pengangkutan jalan raya yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk

pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di setiap jalan dalam

bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum.

Undang-Undang yang mengatur tentang pengangkutan di jalan raya adalah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan

Angkutan Jalan.

4. Pengangkutan Perairan darat atau perairan pedalaman

Yaitu kendaraan yang biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang

atau barang yang dijalankan di atas perairan seperti sungai, danau ataupun

(28)

a) KUHD, Buku II, Bab XIII, pasal 748 sampai dengan 754, mengenai

kapal-kapal yang melalui perairan darat.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di

Perairan.

D. Tanggungjawab Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Melalui

Darat

Sebelum menguraikan siapa saja yang terkait dalam angkutan barang

melalui darat, maka dapat dilihat dari praktek pengiriman barang melalui darat

tersebut yaitu:

1. Pihak pengirim.

Pihak pengirim adalah pihak yang berkepentingan atas perpindahan barang

yang dikirimkan ke tempat tujuan.

2. Pihak pengangkut.

Pihak pengangkut yang dimaksudkan disini adalah perusahaan yang

melakukan kegiatan usaha pengiriman barang.

3. Pihak armada pengangkutan.

Pihak armada pengangkutan adalah pihak yang melakukan pengangkutan atau

perpindahan barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan.

4. Pihak asuransi.

Adalah pihak yang menjamin atas risiko yang timbul dari peristiwa

pengiriman barang tersebut.

(29)

mengadakan perjanjian itu, karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka

perjanjian itu tidak mungkin ada. Demikian pula halnya pada perjanjian

pengangkutan, karena tanpa adanya yang mengadakan perjanjian pengangkutan

tidaklah akan ada (lahir).

Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian

pengangkutan itu adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan

pengirim barang, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan

tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya, sedangkan pengirim

mengikatkan diri untuk membayar ongkos (uang angkutan) sebagaimana yang

diperjanjikan.

Dari pengertian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah kita ketahui

bahwa, pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan itu adalah “pengangkut dan

pengirim. Dengan kata lain bahwa, pengangkut dan pengirimlah yang

mengadakan perjanjian pengangkutan.15

Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut barang muatan yang Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan

tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya. Sedangkan pengirim adalah

orang yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos)

sebagai imbalan jasa yang dilakukan oleh pihak pengangkut dalam

menyelenggarakan pengangkutan itu.

15

(30)

diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan barang itu kepada orang yang

ditunjuk (tempat tujuan) sebagai penerima, dan menjaga keselamatan barang

muatan itu. Dalam hal ini, maka si penerima barang tersebut, mungkin saja di

pengirim sendiri atau juga orang lain sebagai pihak ketiga.

Apabila orang lain yang menjadi pengirim barang, maka disini

kedudukan penerima tersebut adalah pihak ketiga (di luar pihak dalam perjanjian

pengangkutan) yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian

pengangkutan itu.

Sebagai dasar hukum bagi si penerima menjadi pihak ketiga yang

berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu, terdapat pada

Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyebutkan : Lagi pula diperbolehkan juga

untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga,

apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau

suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang

seperti itu. Siapa yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh

menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak

mempergunakannya.

Menurut isi pasal tersebut, jelaslah bahwa kedudukan penerima di dalam

perjanjian pengangkutan adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam

perjanjian pengangkutan itu, tetapi ia tidak termasuk dalam perjanjian

pengangkutan tersebut.

Dalam hal ini, pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan

(31)

untuk menerima barang, maka si penerima barang berkewajiban untuk membayar

uang angkutan (ongkos) barang itu jika ada penagihan dari pihak pengangkut.

Apabila penerima telah menerima barang-barang itu sebagaimana yang

telah dialamati dalam surat muatan pada perjanjian pengangkutan di tempat

tujuan, maka penerima telah memasuki perjanjian pengangkutan dan

menaklukkan diri kepada seluruh perjanjian pengangkutan antara si pengangkut

dengan si pengirim.

Penaklukan diri ini berarti, penetapan-penetapan hak dan kewajiban

penerima, dan kewajiban si penerima tersebut adalah seperti membayar uang

angkutan atau ongkos-ongkos lainnya sebagaimana yang termuat dalam perjanjian

pengangkutan”.16

16

R. Soekardono, Op.Cit, hal. 15.

Mengenai uang angkutan, dapat diatur lain antara si pengirim dengan si

penerima. Jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim dapat diketahui oleh

penerima dari surat muatan yang diterimanya. Karena di dalam surat muatan itu

akan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Dengan

demikian jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim, maka penerima wajib

untuk membayar uang angkutan (ongkos) yang dipergunakan dalam perjanjian

pengangkutan itu sebagaimana telah ditentukan di dalam surat muatan.

Pengirim pada suatu perjanjian pengangkutan tidak hanya orang

perorangan saja, tetapi juga dapat merupakan suatu badan yang bergerak di dalam

pengiriman barang, yang kemudian badan seperti ini dikenal dengan nama

(32)

Ekspeditur adalah suatu badan yang pekerjaannya menuruh orang lain

untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, baik melalui darat, laut maupun

udara.17

17

(33)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen

Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum

yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman terhadap si

pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 yang

merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan

pemberian perlindungan kepada konsumen.

Yusuf Shofie mengatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen” 18

Sudaryatmo mengatakan konsumen ialah “setiap orang pemakai barang

dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, organg lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) “ Perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen “.

Dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan “ Konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan”.

18

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Isntrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 5.

(34)

diperdagangkan”. 19

Gunawan Widjaja mengatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.20

Konsumen menurut Fuady adalah adalah pengguna akhur (end user) dari

suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun Perihal terbitnya istilah perlindungan konsumen ini adalah disebabkan

adanya aktivitas-aktivitas perekonomian. Kesenjangan ekonomi merugikan

berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesialah

yang tidak lain sebagai konsumen yang paling dirugikan. Hendaknya diluruskan

anggapan keliru yang menyatakan bahwa para pelaku ekonomi hanyalah terdiri

dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, dan

swasta/konglomerat. Konsumen juga pelaku ekonomi. Tak satupun literatur

ekonomi yang meniadakan peran konsumen. Namun demikian harus diakui bahwa

kosa kata konsumen dirasakan cukup miskin dalam tata hukum kita.

Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata

ekonomi kerakyatan. Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen, di

antaranya penentuan harga barang, dan penggunaan klausula eksonerasi secara

tidak patut, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada konsumen yang

pada umumnya orang kebanyakan.

19

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 17.

20

(35)

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.21

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa sehala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 1

Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

ditentukan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai suatu usaha bersama

berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materiil dan sprituil.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

21

(36)

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang

dkonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsume, serta negara menjamin

kepastian hukum.22

Di dalam era reformasi dewasa ini, Indonesia harus siap menghadapi era

globalisasi ekonomi, dimana perdagangan bebas masih merupakan tanda tanya,

apakah merupakan peluang bagi Indonesia atau justru sebaliknya. Indonesia

termasuk negara yang cukup cepat melangkah dengan telah diratifikasinya

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization /WTO) sebelum

Desember 1994.

Mulai 1 Januari 1995, WTO telah resmi menggantikan dan melanjutkan

GATT (General Agreement of Tariff and Trade / Persetujuan Umum Tentang

Tarif dan Perdagangan). Perlu dipahami disini bahwa WTO merupakan organisasi

antar pemerintah atau dunia yang mengawasi perdagangan di dunia, baik

perdagangan barang maupun jasa. Segala sesuatu yang berbau proteksi atau

perlindungan dianggap anti WTO atau anti liberalisasi perdagangan.23

Bagi konsumen Indonesia, lahirnya WTO masih merupakan pertanyaan

atau permasalahan besar, apakah WTO akan membawa perbaikan nasib konsumen

Indonesia. Selama lebih lima puluh tahun kita merdeka, perlindungan (hukum)

terhadap konsumen tidak banyak memperoleh perhatian dari para pengambil

22

Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.161-162.

23

(37)

keputusan, apalagi prioritas dalam pembangunan nasional. Salah satu instrumen

perlindungan hukum terhadap konsumen yang diundangkan Pemerintah dengan

persetujuan DPR-GR pada tahun 1961, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1961

tentang Barang (Perpu No. 1 Tahun 1961), hampir hanya menjadi huruf mati tidak

bermakna. Perintah undang-undang tersebut untuk membentuk Panitia Barang

tidak dilaksanakan. Disinyalir ketentuan undang-undang ini sudah banyak

dilupakan.

Sebagai salah satu instrumen hukum administrasi negara, praktis ketentuan

tersebut ibarat macan ompong sehingga perlindungan terhadap konsumen

dirasakan tidak efektif dan efisien. Apalagi instrumen-instrumen hukum lainnya,

belum dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada

konsumen.24

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi bahwa semua barang

dan jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke Indonesia bila kita

tidak ingin distigma anti WTO. Masuknya barang dan jasa impor tersebut

bukannya tanpa permasalahan. Lewat perdagangan internasional, penyakit sapi

gila (mad cow) (bivine spongiform encephalapanthy atau BSE) yang diderita

sejumlah besar sapi, dapat membahayakan konsumen Indonesia. Belum lama ini

Irlandia menawarkan daging itu dengan harga murah. Penyakit ini timbul karena

disana, makanan dari tepung daging daging ternak memamah biak (ruminasia)

digunakan untuk makanan sapi. Kasusnya mirip dioksin yang dialami ternak

unggas di Belgia. Penyakit yang bisa menimbulkan gejala kegilaan pada manusia

24

(38)

ini menyerang ternak sapai dengan masa inkubasi 9 – 10 tahun. Hanya saja

penyakit ini tidak menular pada hewan lain, seperti halnya penyakit mulut dan

kuku (PMK). Adapun gejala kegilaan pada manusia bisa berupa insomania,

limbung, depresi serta berubahnya perilaku dan kepribadian.25 Belum lagi

masalah dioksin di Belgia yang diduga mencemari makanan/minuman yang

diekspor negara itu. 26

Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan

dalam bentuk pengaduan atau komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang

dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesaiannya. Tak

hanya itu, secara yuridis muncul pula permasalahan apabila peraturan

undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan

perundang-undangan negara lain, ketentuan/kesepakatan regional, bahkan ketentuan atau

kesepakatan WTO atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi

ketentuan-ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan/kesepakatan regional dan WTO.

Pada pokoknya, hakim (pengadilan) negara manakah yang berwenang mengadili

kasus-kasus konsumen yang berdimensi internasional serta hukum mana yang

digunakan. Kasus-kasus sengketa franchice (waralaba) yang berdimensi

internasional, dimana yang bertindak sebagai franchisor (pemberi waralaba)

pelaku usaha asing, sedangkan yang bertindak sebagai franchiee (penerima

25

Sapi Gila Bisa Membuat Manusia Gila, Kompas 29 Juni 1999, Daging Irlandia Bisa Bawa Sapi Gila, Kompas 1 Juli 1999, Pertimbangkan Risiko Daging Sapi Irlandia, Kompas 5 Juli 1999 dan Impor Daging Sapi Murah Irlandia, Jalan Pintas Penuh Risiko, Kompas 12 Juli 1999.

26

(39)

waralaba) pelaku usaha Indonesia atau sebaliknya, merupakan contoh prediksi

ini.27

Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke Dari segi perlindungan konsumen sengketa ini bisa membawa kerugian bagi

konsumen, misalnya tidal lagi tersedianya produk franchise bersangkutan, harga

produk menjadi lebih mahal, atau bahkan menyangkut tidak tersedianya fasilitas

purna jual bagi konsumen.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dalam

konsiderannya dinyatakan bahwa untuk menciptakan tertib usaha dengan cara

waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu menetapkan

ketentuan waralaba dengan peraturan pemerintah. Dalam ketentuan ini,

perlindungan konsumen yang dimaksud belum konkret, ibarat antara niat dengan

perbuatan tidak seia dan sekata.

Secara teoritis, dapat saja sengketa-sengketa seperti itu diselesaikan,

tetapi pada praktek dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai

sebab yang bersifat juridis–politis– sosiologis.

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas

putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam

kasus-kasus yang serupa. Dalam kasus-kasus-kasus-kasus yang berskala nasional saja, pengadilan

belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kaus konsumen pada

era perdagangan bebas yang bernuansa internasional.

27

(40)

Pengadilan, padahal telah (sangat) dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini

bukanlah karena mereka tidak sadar hukum. Bahkan mereka lebih sadar hukum

ketimbang sebagian dari para penegak hukumnya sendiri. Keengganan mereka

sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999, lebih didasarkan pada :

1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen,

2. Praktek peradilan kita tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan,

3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar

pengusaha.28

Ketiga, tarik menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku

ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang,

termasuk akses di luar jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu

menjangkaunya, itupun hanya sebatas pada mereka yang menjadi tumbal (space –

goat) tarik menarik kepentingan tersebut.

Menghadapi perdagangan bebas, Indonesia memerlukan sejumlah

undang-undang penting, seperti undang-undang-undang-undang intellectual proprety rights,

Undang-Undang Antimonopoli, Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan pengusaha Kecil dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kejelasan asas dan tujuan

perlindungan konsumen, hak-hak konsumen, norma-norma perlindungan

konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen, yang tertuang dalam

undang-undang perlindungan konsumen kita, masih harus dibuktikan dalam praktek

segenap instrumen hukum di Indonesia.

28

(41)

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Perusahaan

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian

dan perdagngan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa

yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas

yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas

ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa. Akibatnya barang dan atau jasa

yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam

negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen

karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta

semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan

kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan

konsumen.29

29

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 37.

Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan

konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah,

yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta

penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan

pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa yang menjadi hak dan

kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan tentang

(42)

Hak konsumen adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa.

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan kosumen ,

7. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif,

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 huruf g Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dijelaskan “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara

benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah,

pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya”.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4

Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen

(43)

Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri dari :

1. Hak memperoleh keamanan,

2. Hak memilih,

3. Hak mendapat informasi,

4. Hak untuk didengar.30

Keempat hak tersebut merupakan bagin dari deklarasi Hak-Hak Asasi

Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing

pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh organisasi Konsumen Sedunia

(International Organization of Consumers Union-IOCU), ditambahkan empat hak

dasar konsumen lainnya, yaitu :

1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.

2. Hak untuk memperoleh ganti rugi,

3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen,

4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.31

Di samping Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau

EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (Recht op besherming van

zijn gezendheid en veiligheid).

2. Hak perlindungan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische

belangen).

3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding)

30

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut

Perjanjian Baku, dimuat dalam Hasil Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan

Konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1986, hal. 61. Lihat juga C. Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hal. 19-21.

31

(44)

4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vprming)

5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord)32

Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan

pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan,

2. Hak untuk memperoleh informasi,

3. Hak untuk memilih

4. Hak untuk didengar

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup,

6. Hak untuk memperoleh ganti rugi

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat,

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.33

Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan.

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin

keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang

diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun

psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi

32

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 61. 33

(45)

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi

yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk

cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat

karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar

dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang

suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk

yang diinginkan/sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat

kesalahan dalam penggunaan produk.

Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah

mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk,

tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi

tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang

dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,

maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media

cetak maupun media elektonik.

Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk

meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan

kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga aka memberikan keuntungan bagi

perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.34

34

James F. Engel, etl. Al. Consumer Behavior, fifth Edition, The Dryden Press, New York, Tanpa Tahun, hal. 593.

Dengan demikian pemenuhan hak

(46)

3. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada

konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya,

tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen

berhak memustuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian

pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang

dipilihnya.

Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif

pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara

monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik

barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih tidak akan

berfungsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan yang dapat membantu

penegakan hak tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik

dalam Pasal 19 maupun Pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 menentukan bahwa :

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan

kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau

b. Meghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

(47)

atau,

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar

yang bersangkutan, atau,

d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan

bahwa:

Pelaku usaha dilarang menggunakan pososo dominan baik secara langsung

maupun tidak langsung untuk.

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah

dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang

bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau,

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau,

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk

memasuki pasar bersangkutan.

4. Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak

dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini

dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan

produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk-produk tersebut kurang

memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami

akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang

suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak

ini dapat disampaikan baik secara perorangan maupun secara kolektif, baik yang

(48)

misalnya YLKI.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak

untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk

memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya

(secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang,

papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan,

kesehatan dan lain-lain.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang

telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa

yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan

penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian

materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)

konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur

tertentu, baik yang diselesaikan secara damai di luar maupun yang diselesaikan

melalui pengadilan.

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar

konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar

dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan

(49)

teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar

konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar

terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan

konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam

memilih suatu produk yang dibutuhkan.

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat

permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen

dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan

atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak

konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak

sehat menentukan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada dasar-dasar bersangkutan

yang sama.

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa : Pelaku usaha

(50)

membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli

lain untuk barang dan jasa atau jasa yang sama.

10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen

yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat

tersebut di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang

dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

sebagaimana dikutip sebelumnya.

Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada 10

hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu hak untuk diperlakukan atau

dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya Pasal 4

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara khusus

tentang hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh lingkungan

hidup yang bersih dan sehat, tetapi hak tersebut dapat dimasukkan ke dalam hak

yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

tersebut, yaitu hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya. Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusannya yang lebih

rinci, tetapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang telah disebutkan

sebelumnya.

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini mencakup tentang teknik budidaya bunga gerbera dan bauran pemasaran yang meliputi empat aspek yaitu produk, harga, tempat dan promosi dalam pemasaran bunga gerbera

Penetapan prioritas pembangunan Tahun 2013 didasarkan atas pertimbangan: (1) memiliki dampak yang besar terhadap pencapaian sasaran sehingga langsung dapat dirasakan

Belum tersedianya sarana jual guna mendukung kegiatan bazar yang sering dilakukan gabungan kelompok tani menjadi fokus masalah pada perancangan ini. Gabungan

Fungsi yang menyangkut kekebalan (Immunity). Darah mentransport lekosit, antibodi dan substansi protektif lainnya. Fungsi yang menyangkut korelasi hormonal. Darah

Dengan demikian, pemilihan subjek foto para fotografer sebagai pelaku bisnis studio foto dengan menyertakan alat ataupun benda yang paling berpengaruh

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laboratorium eksperimental dengan melakukan uji aktivitas inhibitor tirosinase ekstrak daun kelor (Moringa oleifera

Suatu sintesa enzimatik senyawa glukasida yang dipublikasikan pada 1996, memperlihatkan kemungkinan dilakukannya reaksi kimia pada kondisi yang lebih "lunak" dari

Persentase wanita yang melakukan perkawinan pertama pada usia kurang dari 16 tahun tertinggi pada tahun 2013 terdapat di Kalimantan Selatan (15,48 persen), Jawa Barat (15,45