• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Lintas Budaya Dan Ketertarikan Wisatawan (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Pembentukan Persepsi Wisatawan Internasional Di Bukit Lawang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Lintas Budaya Dan Ketertarikan Wisatawan (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Pembentukan Persepsi Wisatawan Internasional Di Bukit Lawang)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DAN KETERTARIKAN

WISATAWAN

(Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Pembentukan Persepsi Wisatawan Internasional di Bukit Lawang)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu

Komunikasi

DISUSUN Oleh: ERA NADIRA RANGKUTI

090904015

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul komunikasi lintas budaya dan ketertarikan wisatawan (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Pembentukan Persepsi Wisatawan Internasional di Bukit Lawang) yang bertujuan untuk menganalisis apakah interaksi yang dilakukan oleh wisatawan dengan penduduk setempat berpengaruh pada kunjungan wisatawan Internasional di Bukit Lawang pada Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013.

Penelitian ini mengunakan metode korelasional yang mencari hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabel tunggal, analisis tabel silang, dan uji hipotesis dengan mengunakan rumus Keofisien Korelasi Tata Jenjang ( Rank Order) oleh Spearman. Untuk melihat kuat lemahnya korelasi (hubungan) kedua variabel digunakan skala Guilford. Untuk menguji tingkat signifikasi pengaruh variabel X terhadap Y digunakan rumus Ttest

Hasil uji hipotesa yang telah diperoleh dengan mengunakan SPSS 15.0. menunjukkan besar koefisien kerelasi Rank Spearman yaitu nilai Rho lebih besar dari nol yakni nilai korelasi (r) = 0,256 dan signifikansinya (2 tailed) = 0,18 (99,982%) ≤ α = 0,10 ( 90%). Berdasarkan pernyataan tersebut maka hipotesa H

. Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana keseluruhan populasi dijadikan sebagai sampel.

o

(4)

ABSTRACT

The title of this research is cross-cultural communication and tourist interest (Correlational study about the influence of cross-cultural communication towards the establishment of international tourist perception in the Bukit Lawang. This research is conducted on March 2013.

This research is using correlational method to find a relationship between variables. In order to analyze the data that has been used in this research, the researcher would use frequency, crosstabs, and Spearman coefficient correlation formula for testing the hypothesis. Scale Guilford has been used to identify whether the relationship between variables is strong or weak. T-test has been used in order to test the significance level of variable X influence towards variable Y. The sample method for this research is total sampling, whereby the whole population has been used as sample.

The result of hypothesis test that has been obtained by using SPSS 15.00 has indicate bigger coefficient correlation rank spearman which is the value of Rho is bigger than zero, correlation value (r) = 0.256 and significance value (2-tailed) = 0.18 (99.982%) ≤ α = 0.10 (90%). According to the statement therefore Hypothesis H0 and Hypothesis

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada tara penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya dalam setiap hari-hari yang dijalani sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini berjudul “ Komunikasi Lintas Budaya dan Perspektif wisatawan terhadap budaya Indonesia melalui interaksi yang dilakukan pada masyarakat di Bukit Lawang” hal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar sarjana sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. bukanlah tanpa kendati dalam menyelesaikan skripsi ini, melainkan membutuhkan waktu yang panjang dari hasi pelajaran yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Berjuta-juta terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis sejak awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. Secara khusus, terimakasi kepada kedua orang tua penulis , papa H.Rahmanuddin Rangkuti,SH,Mkn ; mama Hj. Erma Sari Siregar ; nenek Hj. Ramiati Sembiringdan seluruh keluarga besar, yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik moril maupun materil yang tiada terhingga nilainya, sehingga penulis dapat menjalani dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Sumatera Utara dengan hasil yang baik dan memuaskan.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Bapak Drs. Hendra, Msi selaku Dosen yang telah banyak memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan skripsi.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan FISIP USU pada umumnya, yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

5. Pengelola dan penyiar radio USUKOM, Ibu Drs. Nurbani, Msi, kak Widi Siregar, Sos dan seluruh penyiar teman-teman penyiar.

6. Kepada Muhamad Fais Lubis selaku abang sepupu saya, Sulaiman Harahap, Nia Rahmadaniyati yang telah membantu saya dalam mengolah data SPSS, membuat tabel, grafik serta mengecek kesalahan dalam pengetikan.

7. Kepada teman-teman yang telah membantu dan memberikan motifasi XVII (andri, dara, ivan, hadi, ardhi, doli, doni, darius, anggita, adina, awal, mutiara, athira) DEMISSY (Dwieta, mia, sherly, Sonya, Ivo) dan 3G (Amel dan Alyn).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai titik kesempurnaan. Penulis sangat berharap bagi para pembaca untuk dapat memberikan saran dan kritik yang dapat mendukung kesempunaan skripsi ini sehingga menulis dan para pembaca dapat menjadikan skripsi ini sebuah pengetahuan yang dapat dipahami oleh banyak pihak.

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract……… ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Gambar……….. vii

Daftar Tabel ... …… viii

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.2 Pembatasan Masalah….……… 7

1.3 Rumusan Masalah……… 8

1.4 Tujuan Penelitian………..………..….. 8

1.5 Manfaat Penelitian………. …….. 8

BAB II URAIAN TEORIS………... 10

2.1 Kerangka Teori………. 1

2.1.1 Komunikasi……….11

2.1.2 Budaya………. 13

2.1.3 Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar budaya……… 16

2.1.4 Komunikasi Non Verbal……….. 20

2.1.5 Komunikasi Konteks Tinggi dan Komunikasi Konteks Rendah………... 26

2.1.6 Persepsi……… 29

2.2 Kerangka Konsep………. 38

2.3 Variabel Penelitian ……….. 38

2.4 Defenisi Operasional………. 38

(8)

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………. 40

3.2 Metode Penelitian……… 41

3.3. Populasi dan Sampel……….. 45

3.3.1. Populasi………... 45

3.3.2. Sampel………. 49

3.3.3. Area Sampeling……….. 51

3.3.4. Purposive Sampeling……….. 52

3.4. Teknik Pengumpulan Data……….. 52

3.4.1. Penelitian Perpustakan……… 52

3.4.2. Penelitian Lapangan……… 52

3.5 Teknik Analisis Data……….. 52

BAB IV Hasil dan Pembahasan………. 55

4.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian……….. 55

4.1.1 Pra Penelitian……… 55

4.1.2 Penelitian Perpustakaan………. .. 55

4.1.3 Penelitian Lapangan………. 55

4.2 Analisis Tabel Tunggal……….. 57

4.3 Analisis Tabel Silang……… ….………. 57

4.4 Pengujian Hipotesis………. 92

BAB V Kesimpulan dan Saran……… 107

5.1 Kesimpulan……… 107

5.2 Saran………. 107

Daftar Pustaka LAMPIRAN

(9)

3. Lembar Absensi Seminar 4. Kuesioner Penelitian 5. Surat Izin Penelitian BIODATA PENULIS Daftar Gambar

Gambar 1 Format Penelitian Kuantitatif ………. 46

Gambar 2 Sampel Representatif ………. 5

Gambar 3 Intensitas KLB antara Wisatawan dengan Penduduk Loka.. 69

Gambar 4 Komunikasi dan Bahasa……… 84

Gambar 5 Pakaian Dan Penampilan………. 85

Gambar 6 Rasa Diri………. 86

Gambar 7 Komunikasi Non Verbal……… 87

Gambar 8 Jarak………. 88

Gambar 9 Kepercayaan Dan Sikap……… 89

Gambar 10 Penghargaan Dan Pengakuan ………. 90

Gambar 11 Waktu Dan Kesadaran Akan Waktu………. 91

Gambar 12 Jujur Dan Dapat Dipercaya………. 92

Daftar Tabel Tabel 1 High Context dan Low Context Culture……….. 27

Tabel 2 Oprsasional Variabel………. 38

Tabel 3 Karakteristik Penelitian Kuantitatif……….. 42

Tabel 4 Populasi Wisatawan Internasional pada Objek Wisata Bukit Lawang Pada Maret 2012……….. 47

Tabel 5 Populasi Wisatawan Internasional pada Objek Wisata Bukit Lawang Pada Maret 2011……….. 47

Tabel 6 Populasi Wisatawan Internasional pada Objek Wisata Bukit Lawang Pada Maret 2010………. 49

Tabel 7 Kewarganegaraan Responden………. 59

(10)

Tabel 9 Kedatangan Responden ke Bukit Lawang……… 62

Tabel 10 Lamanya Tinggal di Bukit Lawang……… 63

Tabel 11 Tujuan datang ke Bukit Lawang……….. 63

Tabel 12 Hal yang disukai dari Bukit Lawang……… 64

Tabel 13 Yang dibawa Saat Berkunjung……….. 64

Tabel 14 Sumber Informasi……….. 65

Tabel 15 Tempat Menginap………. 65

Tabel 16 Bertanya Mengenai Penginapan……… 66

Tabel 17 Bertanya Mengenai Makanan……… 66

Tabel 18 Bertanya Mengenai Transportasi Umum……… 67

Tabel 19 Bertanya Mengenai Objek Wisata……… 67

Tabel 20 Bertanya Mengenai Sejarah Bukit Lawang……….. 68

Tabel 21 Bertanya Mengenai Mata Pencaharian……….. 68

Tabel 22 Spontan Dalam Berbicara………. 69

Tabel 23 Suka Mengunakan Pribahasa……… 70

Tabel 24 Berbelit-belit Dalam Mengeritik………... 70

Tabel 25 Ekspresif Dalam berkomunikasi……… 71

Tabel 26 Sopan Dalam Berpakaian………. 71

Tabel 27 Kurang Percaya Diri Dalam Penampilan……….. 72

Tabel 28 Kurang Antusias Dalam Berdandan………. 72

Tabel 29 Mengunakan Baju Adat………. 73

Tabel 30 Peduli Terhadap Komunikasi Non Verbal ……… 73

Tabel 31 Murah Senyum………. 74

Tabel 32 Berkomunikasi Dengan Kontak Mata……….. 74

Tabel 33 Mudah Melakukan Pendekatan Dengan Orang Asin………. 75

Tabel 34 Berbicara Spontan Dengan Orang Asing……….. 75

(11)

Tabel 36 Terlambat Bila Berjanji……… 76

Tabel 37 Memberi Pujian Kepada Orang Lain………. 77

Tabel 38 Bangga Akan Kewarganegaraannya………. 77

Tabel 39 Bersahabat………. 78

Tabel 40 Peduli Dengan Orang Lain………. 78

Tabel 41 Jujur Dalam Berbicara……….. 79

Tabel 42 Dapat Dipercaya………..……. 79

Tabel 43 Beragama……… 80

Tabel 44 Beragama Teguh Nilai Budaya………. 80

Tabel 45 Berfikir Terbuka……… 81

Tabel 46 Mudah Menerima Budaya Dari Luar……… 81

Tabel 47 Super Natural Masih Kental……… 82

Tabel 48 Kesetaraan Gender Dalam Memperoleh Informasi………... 82

Tabel 49 Perempuan Yang Kuat……….. 83

Tabel 50 Komunikasi Tatap Muka Dengan Jarak Yang Dekat …….. 83

Tabel 51 Merasa Nyaman Dengan Komunikasi Tatap Muka Dengan Jarak Yang Dekat………. 83

Tabel 52 Tabel Silang Kedatangan Responden Dengan Ekspresif Dalam Berkomunikasi………. 93

Tabel 53 Tabel Silang Kedatangan Responden Dengan Berbicara Spontan Dengan Orang Asing……… 94

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul komunikasi lintas budaya dan ketertarikan wisatawan (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Pembentukan Persepsi Wisatawan Internasional di Bukit Lawang) yang bertujuan untuk menganalisis apakah interaksi yang dilakukan oleh wisatawan dengan penduduk setempat berpengaruh pada kunjungan wisatawan Internasional di Bukit Lawang pada Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013.

Penelitian ini mengunakan metode korelasional yang mencari hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabel tunggal, analisis tabel silang, dan uji hipotesis dengan mengunakan rumus Keofisien Korelasi Tata Jenjang ( Rank Order) oleh Spearman. Untuk melihat kuat lemahnya korelasi (hubungan) kedua variabel digunakan skala Guilford. Untuk menguji tingkat signifikasi pengaruh variabel X terhadap Y digunakan rumus Ttest

Hasil uji hipotesa yang telah diperoleh dengan mengunakan SPSS 15.0. menunjukkan besar koefisien kerelasi Rank Spearman yaitu nilai Rho lebih besar dari nol yakni nilai korelasi (r) = 0,256 dan signifikansinya (2 tailed) = 0,18 (99,982%) ≤ α = 0,10 ( 90%). Berdasarkan pernyataan tersebut maka hipotesa H

. Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana keseluruhan populasi dijadikan sebagai sampel.

o

(13)

ABSTRACT

The title of this research is cross-cultural communication and tourist interest (Correlational study about the influence of cross-cultural communication towards the establishment of international tourist perception in the Bukit Lawang. This research is conducted on March 2013.

This research is using correlational method to find a relationship between variables. In order to analyze the data that has been used in this research, the researcher would use frequency, crosstabs, and Spearman coefficient correlation formula for testing the hypothesis. Scale Guilford has been used to identify whether the relationship between variables is strong or weak. T-test has been used in order to test the significance level of variable X influence towards variable Y. The sample method for this research is total sampling, whereby the whole population has been used as sample.

The result of hypothesis test that has been obtained by using SPSS 15.00 has indicate bigger coefficient correlation rank spearman which is the value of Rho is bigger than zero, correlation value (r) = 0.256 and significance value (2-tailed) = 0.18 (99.982%) ≤ α = 0.10 (90%). According to the statement therefore Hypothesis H0 and Hypothesis

(14)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau disebut makhluk bermasyarakat, selain itu manusia juga diberikan akal dan pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menunjukkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Selain itu manusia juga memiliki dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.

Dengan dasar itulah manusia saling ketergantungan dengan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sama halnya seperti manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Budaya dan Komunikasi juga merupakan suatu hal yang saling mempengaruhi antara satu sama lain sehingga terjalinlah kesepahaman dalam memaknai sesuatu.

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.

(15)

(1976) menyatakan bahwa “komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan” atau pernyataan Edward T.Hall (1959) yaitu “ komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”.

Komunikasi antarbudaya memiliki dua konsep didalamnya yaitu konsep komunikasi dan konsep kebudayaan. Konsep komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui lambang-lambang yang berarti, yaitu lambang-lambang verbal (lisan dan tulisan) dan lambang-lambang non-verbal (isyarat/gesture) dengan maksud untuk merubah tingkah laku. Sedangkan konsep kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 2000). Ini berkaitan dengan berbagai perbedaan gagasan, ide, karya yang dibuat, dipelajari oleh manusia yang berada dalam kelompoknya masing-masing.

Bila dalam pemaknaan mengenai komunikasi antarbudaya, maka dapat diartikan bahwa komunikasi antarbudaya itu sendiri sebagai pengalihan informasi dari seseorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain. (Liliweri, 2003). Bahkan, William B. Hart II (1996) menyatakan “perlu dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi”. Dengan demikian dianggap bahwa kebudayaan sangat mempengaruhi berjalannya interaksi yang terjadi antara mereka yang berbeda latarbelakang budaya.

(16)

kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Disinlah komunikasi antar budaya berperan penting, karena tak jarang terjadi akibat kesalahan dalam mengartikan sebuah kata dalam berkomunikasi memiliki dampak yang besar dari komunikasi tersebut.Seperti pada contoh berikut

Suatu perang terjadi antara sebuah kerajaan Melayu di Indonesia dan sebuah angkatan perang penjajah karena perkara “ sepele”. Ketika berkunjung ke kerajaan itu, komandan dari negara asing mencium tangan sang permaisuri sebagai tanda penghormatan. Raja marah, menganggap kolonial itu kurang ajar.

Presiden Amerika Sekirat John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962. Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan tangan Presiden Meksiko. Kennedy pun memuji Lopez “ Betapa indahnya jam tangan anda”. Lopez segera memberikan arlojinya kepada Presiden Amerika seraya berkata,”Jam tangan ini milik anda sekarang”. Kennedy merasa malu karena pemberian itu. Ia berusaha menolaknya, namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai sesuatu, sesuatu itu harus di berikan kepadanya, kepemilikan adalah masalah perasaan dan kebutuhan manusia, bukan milik pribadi. “Kennedy terkesan oleh penjelasan itu dan menerima arloji itu dengan rendah hati. Tak lama kemudian, Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata “Aduh, betapa cantiknya istri Anda,” yang di jawab oleh Kennedy” silahkan ambil kembali jam tangan Anda”. (dalam codon dan Yousef,1985:89)

Contoh cerita diatas merupakan komunikasi antarbudaya. Yang berkibat fatal dikarenakan ketidak sepahaman dalam mengartikan suatu informasi yang didapat. Hingga saat ini kesalahan – kesalahan untuk memahami makna masih sering terjadi ketika kita bergaul dengan seseorang ataupun kelompok yang memiliki budaya yang berbeda.

(17)

adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Sehubungan dengan itu Edward T. Hall menyatakan bahwa “Komunikasi adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah komunikasi”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam komunikasi yang terjadi terdapat pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat eksis terjadi.

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa , aturan, adat – istidadat, dan nilai yang berbeda. Sehingga merasa sulit untuk memahami komunikasi bila kita tidak open minded ataupun etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “ memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya, dan hal-hal lainnya di ukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”. Pandangan etnosentrik lainnya dapat terlihat pada bentuk sterotip, dimana memandang budaya lain dengan pandangan mengeneralisasi (biasanya berupa pandangan negatif) budaya lain terhadap budaya yang ia miliki.

(18)

lain, maka pengertian tidak akan tercapai. Dalam hal ini diperlukan empati, dan toleransi dari masing-masing budaya agar kesepahaman akan mudah dicapai. Dengan empati dan toleransi yang tinggi, komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang berbeda budaya akan meminimalkan prasangka negatif.

Kesalahan- kesalahan dalam memahami budaya lain, seperti contoh diatas dapat di minimalisir, apabila kita dapat memahami, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan dapat mempraktikkan dalam penelitian yang pasti akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda. Komunikasi akan lebih berhasil bila seseorang menggunakan informasi tentang orang lain sebagai individu alih – alih berdasarkan informasi budaya ( Hopper dan Whitehead, 1979:177 )

Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.

Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut:

1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.

2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.

3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya. 4. Setiap individu dan budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri. 5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan

pola-pola budaya mendasar yang berlaku.

(19)

7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.

8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.

9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.

10.Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.

11.Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.

12.Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statis dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan. Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:

1. Menyadari bias budaya sendiri 2. Lebih peka secara budaya

3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.

(20)

6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.

7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya

8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.

9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.

10.Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Kawasan wisata pada umumnya merupakan suatu tempat yang selalu banyak di kunjungi orang, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga secara sadar ataupun tidak komunikasi antarbudaya pasti selalu digunakan disana. Bukit Lawang merupakan salah satu objek wisata yang cukup terkenal hingga banyak diketahui masyarakat lokal dan internasional yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Dengan banyaknya wisatawan yang mengunjungi Bukit Lawang dengan latar belakang, budaya, agama dan berbeda menjadikan Bukit Lawang salah satu tempat perlintasan komunikasi antarbudaya yang tinggi.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di Bukit Lawang.

1.2Pembatasan Masalah

(21)

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bersifat korelasional, yaitu bersifat mencari ataupun menjelaskan hubungan dan menguji hipotesis.

2. Penelitian ini difokuskan kepada pengaruh komunikasi lintas budaya warga setempat terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di Bukit Lawang.

3. Objek penelitian adalah masyarakat setempat dan wisatawan Internasional

4. Penelitian di lakukan pada bulan Maret 2013

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengajukan perumusan masalah sebagai berikut: “ Sejauh manakah pengaruh komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di Bukit Lawang?”

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui motif terjadinya komunikasi antar budaya di Bukit Lawang.

2. Untuk menganalisis pengaruh komunikasi lintas budaya pada objek wisata Bukit Lawang terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

(22)

2. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menguji pengalaman teoritis peneliti selama mengikuti studi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

(23)

BAB II

URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori

Ketika objek penelitian telah ditetapkan, tahapan penelitian selanjutnya adalah menimbang mengapa peneliti mengkajinya. Permasalahan mengapa membawa topik sentral mengenai teori. Kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk mendukung pemecahan masalah dengan jelas, melihat dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti, serta cara yang sistematis.

Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematik tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Pentingnya teori sebagai sebuah alat pembantu peneliti memikirkan yang tidak bisa diabaikan, tetapi juga tidak boleh dilebih-lebihkan (Stakes, 2007: 13-14). Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok – pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan di soroti (Nawawi, 2001:9).Secara umum, teori (theory) adalah sebuah sistem konsep abstrak yang menindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Stephen Littlejohn and Karen Foss (2005) menyatakan bahwa sistem abstrak yang didapatkan dari pengalaman sistematis.

(24)

2.1.1 Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication berasal dari bahasa Latin “ communication” yang bersumber dari kata communis yang artinya sama. Dalam Ilmu Komunikasi sama berarti “ memiliki kesamaan makna”.

Proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (message) dari pengiriman pesan sebagai komunikator kepada penerima pesan sebagai komunikan yang bertujuan (feed back) untuk mencapai saling pengerian (mutual undersanding) antar kedua belah pihak. Sebelum komunikator mengirimkan pesan-pesan/ informasi kepada komunikan, terlebih dahulu memberikan makna dalam pesan-pesan tersebut (decode). Pesan tersebut ditangkap oleh komunikasi dan diberikan makna sesuai dengan konsep yang dimilikinya (encode) (Ruslan, 2003 : 69-70).

Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi.

(25)

seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.

Menurut Gary Cronkhite (Ruslan, 2003 ; 86-87), ada empat pendekatan atau asumsi pokok untuk memahami tentang komunikasi, Yaitu:

a) Komunikasi merupakan suatu proses (communication is a process). b) Komunikasi adalah seuatu pertukaran pesan (communication is

message trasactive).

c) Komunikasi merupakan interaksi yang bersifat multi dimensi (communication is multi dimensional), yaitu berkaitan dengan

dimensi dan karakter komunikator (sources), pesan (message) yang disampaikan, media (channels or as tools) yang dipergunakan, komunikasi (audience) yang akan menjadi sasarannya, dan dampak (effect) yang ditimbulkan.

d) Komunikasi merupakan interaksi yang mempunyai tujuan-tujuan atau maksud ganda (communication is multi-purposeful).

Harold Lasswell dalam bukunya The Structure and funcsion of communication in Soecity mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan

komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagi berikut : Who Says What In which Channel to Whom With What Effect? Atau ‘Siapa mengatakan Apa dengan

Saluran apa kepada Siapa dengan Efek apa?’ (Effendy 1993: 10)

(26)

2.1.2 Budaya

Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi, politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18)

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu.

Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya

(27)

Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan.

Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada:

• Komunikasi dan Bahasa Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal.

• Pakaian dan Penampilan

Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural.

• Makanan dan Kebiasaan Makan

Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian.

• Waktu dan Kesadaran akan waktu

Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu.

(28)

Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas.

• Hubungan-Hubungan

Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan. • Nilai dan Norma

Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara total.

• Rasa Diri dan Ruang Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya linnya lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah.

• Proses mental dan belajar

Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.

• Kepercayaan dan sikap

(29)

2.1.3 Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan

Pada awalnya studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial budaya yang bersifat depth description yaitu penggambaran mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu. Sehingga di awalnya Komunikasi lintas budaya diartikan sebagai proses mempelajari komunikasi di antara individu maupun kelompok suku bangsa dan ras yang berbeda negara. Alasannya, karena pasti beda negara pasti beda kebudayaan. Sebaliknya, KAB adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suatu bangsa yang sama.

Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut:

1. Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik terhadap pembentukan persepsi

2. Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara berpikir.

3. Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan institusionalisasi; dan

4. Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter atau watak bangsa.

Definisi Komunikasi Lintas Budaya

(30)

relativitas kegiatan kebudayaan. KLB umumnya lebih terfokus pada hubungan antar bangsa tanpa harus membentuk kultur baru sebagaimana yang terjadi dalam KAB (Purwasito, 2003)

2. Menurut Fiber Luce (1991) hakikat studi lintas budaya adalah studi komparatif yang bertujuan membandingkan : (1) variabel budaya tertentu, (2) konsekuensi atau akibat dari pengaruh kebudayaan, dari dua konteks kebudayaan atau lebih. Harapannya dengan studi ini, setiap orang akan memahami kebudayaannya sendiri dan mengakui bahwa ada isu kebudyaan yang dominan yang dimiliki orang lain dalam relasi antarbudaya. Artinya KAB dapat dilakukan kalau kita mengetahui kebudayaan kita dan kebudayaan orang lain.

3. KLB adalah proses komunikasi untuk membandingkan dua kebudayaan atau lebih melalui sebuah survey lintas budaya

4. KLB menurut Williams (1966) dalam Samovar dan Porter (1976) berkisar pada perbandingan perilaku KAB dengan menunjukkan persamaan dan perbedaan : (1) persepsi dari pengalaman, peran lingkungan sosial dan fisik, (2) kognisi terdiri unsure-unsur khusus kebudayaan, proses bahasa dan cara berpikir, (3) sosialisasi dan (4) kepribadian seperti tipe-tipe budaya pribadi yangmempengaruhi etos, tipologi karakter atau watak bangsa. Analisis lintas budaya (sering disebut analisis komparatif) sebagai metode umum yang sering digunakan untuk meakukan komparasi dan menguji perbedaan antar budaya (Alo Liliweri, 2005). Metode ini bersifat krusial untuk membedakan aspek-aspek universal dari kebudayaan manusia dan organisasi sosial dari sebagian kelompok sosial atau individu dari masyarakat tertentu.

Pengertian Komunikasi Antarbudaya

1. Komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misal suku bangsa, etnik dan ras atau kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976).

(31)

3. KAB melibatkan peserta yang mewakili pribadi, antarpribadi, kelompok dengan tekanan perbedaan latar belakang yang mempengaruhi pesan komunikasi (Dood, 1991).

4. Proses komunikasi simbolik, intepretatif, transaksional, konstekstual yang dilakukan sejumlah orang (Lustig dan Koester, 1993).

5. KAB merupakan interaksi antarpribadi seorang anggota dengan kelompok yang berbeda

Jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.

Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya Dengan Komunikasi Antar Budaya, Komunikasi Transrasial Dan Komunikasi Internasional.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi dari kebudayaan yang berbeda. Tidak masalah apakah kejadian itu terjadi dalam satu bangsa atau antar bangsa yang berbeda, yang jelas adalah budayanya yang berbeda.

(32)

1. Pendekatan peta bumi (geographical approach) yang membahas arus informasi maupun, liputan internasional pada bangsa atau negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun lingkup dunia, disamping antar wilayah.

2. Pendekatan media (media approach), adalah pengkajian berita internasional melalui satu medium atau multi media.

3. Pendekatan peristiwa (event approach) yang mengkaji satu peristiwa lewat medium.

4. Pendekatan ideologis (ideological approach), yang membandingkan sistem pers antar bangsa atau melihat penyebaran arus berita internasional dari sudut ideologis semata-mata.

Selanjutnya kita akan membicarakan tentang komunikasi transrasial. Transrasial berarti melintasi batas rasial. Dalam antropologi, konsep transrasial ini sama dengan konsep antar etnik. Smith (1973) mengatakan bahwa kelompok etnik adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh kesamaan warisan sejarah, kebudayaan, aspirasi, cita-cita dan harapan, tujuan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang sama.

komunikasi transrasial dilakukan antara dua orang yang berbeda etnik/ras. Dimana masing-masing inisiator mengirimkan pesan melintasi suatu “ambang” batas simbol-simbol yang dapat dipahami bersama. Komunikasi transrasial sebenarnya memiliki kemiripan dengan komunikasi lintas budaya, hanya saja dalam komunikasi transrasial lebih diarahkan pada proses komunikasi internasional yang meliputi komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik dan ras. Komunikasi transrasial bisa berbentuk diadic dan bisa juga berbentuk komunikasi massa. Ada empat kategorisasi komunikasi transrasial “diadic” yang didasarkan pada:

1. Kesamaan kodifikasi, yang meliputi proses pembakuan kode-kode komunikasi/simbol dan “sign” yang tumpang tindih;.

2. Kedekatan pengirim dan penerima; 3. masalah perspektif; dan

(33)

Persamaan dan Perbedaan KLB dan KAB

Kesamaan :

• Keduanya menjadikan kebudayaan sebagai varian besar kajiannya • Keduanya memusatkan perhatian pada komunikasi antarpersonal

Perbedaan :

• KLB menekankan perbandingan

• KLB mempelajari efek media (perbandingan efek media dengan efek media yanglain)

• KAB menekankan interaksi antarpribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan

• KAB mempelajari komunikasi dan hubungan internasional juga

2.1.4 Komunikasi Nonverbal

Untuk merumuskan pengertian “komunikasi nonverbal” biasanya ada beberapa defenisi yang digunakan secara umum:

° Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

° Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara.

° Komunikasi nonverbal dapat berupa setiap hal yang dilakukan oleh orang lain diberi makna oleh orang lain

° Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan, waktu, gerak, syarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. (Samovar, et.al,2010)

(34)

Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memiliki potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu-individu lain.

Setiap manusia peduli dengan kebiasaan dalam menggunakan bahasa nonverbal, dimana dilakukan tanpa berpikir panjang, spontan, dan tanpa disadari( Andresen, 1999 ; Burgoon, 1985 ; samovar porter,1985). Manusia biasanya tidak menyadari kebiasaan dari bahasa nonverbal mereka sendiri, sehingga sangat sulit untuk mengenali dan menguasai kebiasaan bahsa nonverbal dari budaya lain. Meskipun begitu komunikasi nonverbal memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebanyakan ahli komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam komunikasi tatap muka umumnya, hanya 35 persen dari “ social context” suatu pesan yang disampaikan dengan kata-kata ( Lusiana Andriani, 2012). Meskipun penggunaan bahasa verbal itu penting dalam berkomunikasi, namun dalam hal ini penggunaan bahasa nonverbal tidak kalah pentingnya.

Pesan atau perilaku nonverbal menyatakan pada kita bagaimana menginterpretasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya, misalnya : ada orang yang menyatakan pesan serius, bercanda, mengancam dan lain-lain. Hal demikian tersebut “second-order message”atau “metocommunication” (Gregory Bateson), yakni kerangka yang mengelilingi pesan sehingga merupakan pedoman untuk penafsiran pesan.

Edward T. Hall (1959) menyebutkan fenomena nonverbal ini sebagai “silent language” ia mengatakan pendapatnya bahwa kesulitan orang Amerika

Serikat dalam berhubungan dengan negara-negara lain, adalah karena kurangnya pengetahuan tentang komunikasi silang budaya. Pendidikan formal tentang bahasa, sejarah, pemerintah, kebiasaan dari negara-negara lain hanyalah langkah pertama dari suatu program menyeluruh. Pada hal suatu yang sama pentingnya adalah proses nonverbal yang ada dalam setiap negara di dunia dan diantara macam-macam kelompok dalam masing-masing negara.

Adapun macam-macam Perilaku nonverbal dapat dibagi secara garis besar ke dalam beberapa bagian seperti :

(35)

budaya dan akhirnya mendiskusikan 6 dasar dimensi variasi budaya, termasuk keakraban, individual, jenis kelamin, jarak kekuasaan, menghindari ketidak pastian dan konteks budaya, dan membantu menjelaskan ribuan pertukaran budaya- dalam perbedaan budaya pada komunikasi nonverbal.

1. Penampilan (“objecties”) 2. Gerakan badaniah (“ Kinesics”) 3. Persepsi indrawi (“Sensoric”)

4. Penggunaan ruang jarak (“Proxemic”)

5. Penggunaan waktu (“Chronemics”) (Ruben,1984 : 129-155),

1) Penampilan (“objecties”)

Merupakan salah satu hal yang paling berpengaruh dalam melakukan komunikasi dengan seseorang. Tak jarang untuk memutuskan akankah memulai sebuah komunikasi dengan orang lain kita dipengaruhi oleh penampilan. Dari penampilan tersebut banyak orang menilai tentang staus sosial, profesi, atau kecerdasan dilihat dari apa yang mereka tampilkan. Misalnya saja cara bedandan ataupun berpakaian.

2) Gerakan badaniah (“ Kinesics”)

(36)

dalam hal : postur atau sikap badan, isyarat badan, gerakan kepala, ekspresi muka,kontak mata,serta gerakan tangan dan lengan.

3) Persepsi indrawi (“Sensoric”) − Rabaan atau Sentuhan

Kebudayaan mengajarkan kepada anggota-angotanya sejak kecil tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa raba atau sentuh. Dalam banyak hal juga kebudayaan mengajarkan kita bagaimana menafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan.

Dalam hal berjabat tangan juga ada variasi kebudayaan. Di negara Jerman orang berjabat tangan hampir pada setiap pertemuan, sehingga sedikit modifikasinya dari satu situasi ke situasi lain. Tetapi di Amerika Serikat jabatan tangan lebih digunakan untuk menunjukan perasaan, misalnya jabatan tangan yang kuat, lemah, atau sensual.

Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Seperti di Indonesia, umumnya kepada dianggap badan yang terhormat sehingga tidak sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang yang sebaya ataupun lebih muda apalagi belum dikenal.

− Penciuman “Olafaction”

Indra penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna. Berapa contoh dibawah ini melukiskan peranan penciuman dalam berbagai kebudayaan.

Dinegara-negara yang penduduknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi ikan dan daging sapi, ada anggapan bahwa orang-orang Amerika Serikat mengeluarkan bau yang tidak enak karena terlalu banyak makan daging. Persepsi memang berbeda antara satu kebudayaan dengan budaya lainnya. Jika orang Amerika cerminan kebudayaan yang anti bau, maka berdo’a di negara Arab, prianya menginginkan etnis wanita untuk mempunyai bau alam, yang dianggap sebagai perluasan dari pribadi individu.

(37)

Cara kita mengunakan ruang jarak sering kali menyatakan kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan ruang jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing kebudayaan. Sebagai contoh ruang jaraka pada kantor-kantor di Amerika, mereka lebih suka ada meja yang membatasi mereka dengan orang lain. Namun dalam kebudayaan lain seperti Amerika Latin ataupun Israel, hal tersebut dianggap membatasi komunikasi mereka, sehingga mereka berusaha untuk mendekati pihak orang yang di ajak bicara.

− Sikap Terhadap Waktu “Chronemics”

Kebiasaan – kebiasaan bisa berbeda pada macam-macam kebudayaan dalam hal:

 Persiapan berkomunikasi  Saat dimulainya komunikasi

 Saat proses komunikasi berlangsung  Saat mengakhiri

− “Paralanguage”

Sesungguhnya termasuk dalam unsur-unsur linguistik, yaitu bagaimana cara suatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. “Paralanguage” memberikan informasi mengenai informasi, atau di sebut “metakomunikasi” (Ruben, 1984:115). Termasuk didalamnya berupa aksen, volume suara, nada, intonasi, kecepatan bicara, waktu berhenti dalam bicara.

Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi perilaku nonverbal digunakan secara bersama-sama dengan bahasa verbal (Samovar, et-al, 1981:1661) :

• Perilaku nonverbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Contohnya : menyatakan terikamakasi dengan tersenyum ataupun mengangkat tangan.

(38)

dibelakang gedung ini”, kemudian mengulang pesan yang sama dengan menunjuk ke arah tersebut.

• Tindakan nonverbal melengkapi pernyataan verbal. Misalnya : mengatakan kepada teman karena tidak dapat meminjamkan uang, dan mimik wajah yang sungguh-sungguh mengekspresikan keadaan kantong yang tengah menipis.

• Perilaku nonverbal sebagai penganti dari bahasa verbal. Contohnya : menyatakan rasa haru tanpa menggunakan kata-kata, melainkan dengan mata yang berkaca-kaca ataupun linangan air mata.

• Tindakan nonverbal berlawanan dengan untur-unsur verbal. Contohnya: saat menyatakan sangat tertarik pada suatu lukisan tanpa pernah memandang sekalipun.

Fungsi-fungsi Pesan Non VerbalMenurut Simon Capper, (Suzugamine Women’s College, Hirosima, 1997 )setidaknya ada lima kategori fungsi komunikasi non verbal:

a. Fungsi Regulasi

Fungsi regulasi menjelaskan bahwa simbol non verbal yang digunakan mengisyaratkan bahwa proses komunikasi berbak sudah berakhir. Dalam percakapan dengan sesama, kita akan menpyatakan diri, atau memberikan reaksi balik (feedback). Fungsi regulasi dimaksudkan untuk membantu orang yang sedang mendengarkan anda memberikan interpretasi yang tepat terhadap apa yang sedang anda sampaikan secara verbal. Jadi fungsi regulasi bermanfaat untuk mengatur pesan non verbal secara seksama untuk meyakinkan orang lain menginterpretasi makna yang disampaikan secara verbal.

b. Fungsi Interpersonal

(39)

c. Fungsi Emblematis

Untuk menerangkan bahwa pesan non verbal dapat disampaikan melalui isyarat-isyarat gerakan anggota tubuh, terutama tangan.

d. Fungsi Ilustrasi

Fungsi ini dapat menerangkan bahwa pesan non verbal digunakan untuk mengindikasikan ukuran, bentuk, jarak dan lainnya. (Simon, capper 1997)

e. Fungsi Adaptasi

Fungsi adaptasi disini merupakan sebagai fungsi pesan non verbal untuk menyesuaikan berbagai pesan verbal maupun nonverbal. Gerakan refleks seperti memegang-megang jenggot, menggigit kuku termasuk dalam kategori fungsi adaptasi.

2.1.5 Komunikasi Konteks Tinggi dan Komunikasi Konteks Rendah Sebuah kebudayaan yang mana prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan disebut dengan Komunikasi konteks rendah (High Culture Context). Sebaliknya suatu kebudayaan yang mana prosedur pengalihan informasinya menjadi lebih mudah atau gampang dikomunikasikan disebut dengan komunikasi konteks rendah (Low Culture Context). Para anggota kebudayaan HCC umumnya bersifat implisit sedangkan LCC umumnya bersifat eksplisit (Liliweri, 2003:154:155)

(40)

Sedangkan komunikasi konteks rendah cepat dan mudah berubah, karena tidak mengikat kelompok. oleh karena perbedaan tersebut, orang-orang dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang asing. Sangat bertolak belakang dengan budaya konteks tinggi, budaya konteks rendah cenderung dengan spesifikasi, rincian dan jadwal yang persis dengan mengabaikan konteks. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas. Orang-orang yang berbudaya konteks-rendah dianggap berbicara berlebihan, mengulang-ulang apa yang sudah jelas, sedangkan orang berbudaya konteks tinggi gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Dalam budaya konteks tinggi, ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dengan tipe seperti ini mengharapkan orang lain dapat memahami suasana hati walaupun tanpa ucapan terucapkan.

(41)

High Context dan Low Context Culture Tabel 1

High Culture Context Low Culture Context

 Prosedur pengalihan informasi sukar

 Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang

Persepsi terhadap itu dan orang yang menyebarkan isu  Tidak memisahkan isu dan

orang yang mengkonsumsikan isu

 Memisahkan isu dan orang mengkonsumsikan isu

Persepsi terhadap tugas dan relasi  Mengutamakan relasi sosial

dalam melaksanakan tugas  Social oriented

 Personal relation

 Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas  Task oriented

 Impersonal relation

Persepsi terhadap kelogisan informasi  Tidak menyukai informasi yang

rasional

 Mengutamakan emosi  Mengutamakan basa-basi

 Menguasai informasi yang rasional

 Menjauhi sikap emosi  Tidak mengutamakan basa-

basi

Persepsi terhadap gaya komunikasi  Memakai gaya komunikasi

tidak langsung

 Mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal  Mengutamakan suasana

komunikasi yang infomal

 Memakai gaya komunikasi langsung

 Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal  Mengutamakan suasana

(42)

Persepsi terhadap pola negosiasi  Mengutamakan perundingan

melalui human relation  Pilihan komunikasi meliputi

perasan dan intuisi

 Mengutamakan hati dari pada otak

 Mengutamakan perundingan melalui bargaining

 Pilihan komunikasi melipiti pertimbangan rasional

 Mengutamakan otak dari pada hati

Persepsi terhadap informasi tentang individu  Mengutamakan individu dengan

mempertimbangkan dukungan faktor sosial

 Mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok

 Mengutamakan kapasitas individu tanpa memperhatikan faktor sosial

 Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu dari pada kelompok

Bentuk pesan / informasi  Sebagian besar pesan

tersembunyi dan implisit

 Sebagian besar pesan jelas, tampak dan eksplisit

Reaksi terhadap sesuatu  Reaksi terhadap sesuatu tidak

selalu nampak

 Reaksi terhadap sesuatu selalu nampak

Memandang in group dan out group  Selalu luwes dalam melihat

perbedaan in group dengan out group

 Selalu memisahkan

kepentingan in group dengan out grup

Sifat pertalian antarpribadi  Pertalian antarpribadi sangat

kuat

 Pertalian antarpribadi sangat lemah

(43)

 Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes

 Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir

2.1.6 Persepsi

Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif (Robbins, 2006). Menurut Daviddof, persepsi adalah suatu proses yang dilalui oleh suatu stimulus yang diterima panca indera yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari yang diinderanya itu. Atkinson dan Hilgard mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Seba gai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Anonim, 2009).

Menurut Walgito, proses terjadinya persepsi tergantung dari pengalaman masa lalu dan pendidikan yang diperoleh individu. Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adan ya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi

dengan interpretation, begitu juga berinteraksi dengan closure. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh (Anonim, 2009).

(44)

pengalaman yang dimiliki dengan komunikasi yang mereka lakukan terhadap penduduk setempat. Untuk itu, dalam melihat berbagai aktifitas masyarakat setempat yang diketahui dengan cara mengamati dan berkomunikasi dengan warga setempat sehingga menimbulkan berbagai perspektif dengan 10 karakteristik sebagai berikut: ( Deddy Mulyana, 2005 : 58)

1) Komunikasi dan bahasa

Sistem komunikasi, verbal dan non verbal membedakan suatu kelompook dari kelompok lainnya. Terdapat banyak “bahasa asing” di dunia. Sejumlah bangsa memiliki limabelas atau lebih bahasa utama (dalam suatu kelompok bahasa terdapat dialek, aksen, logat, jargon dan ragam lainnya), lebuh jauh lagi makna yang diberikan kepada gerak-gerik, misalnya sering berbeda secara kultural. Meskipun bahasa tubuh mungkin universal, perwujudannya mungkin berada secara lokal. Subkultur-subkultur seperti kelopok militer, mempunyai peristilahan dan tanda-tanda yang menerobos batas-batas nasional (seperti gerakan menghormat , atau sistem kepangkatan).

2) Pakaian dan Penampilan

Ini merupakan pakaian dan dandanan (perhiasan) luar, juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural. Kita mengetahui adanya kimoni Jepang, penutup kepala Afrika, payung inggris, sarung Polynesia, dan ikat kepala Indian Amerika. Beberapa suku bangsa mencorengi wajah-wajah mereka untuk bertempur, sementara sebahagian wanita menggunakan kosmetik untuk peralatan kecantikan. Banyak subkultur menggunakan pakaian yang khas-jeans sebagai pakaian kaum muda di seluruh dunia, seragam untuk sekelompok orang tertentu seperti anak-anak sekolah atau polisi. Dalam sub-kultur militer, adat istiadat dan peraturan-peraturan menentukan pakaian harian, panjang rambut, perlengkapan yang di pakai dan sebagainya.

3) Makanan dan Kebiasaan

(45)

Amerika menyenangi danging sapi, tapi sapi terlarang untuk orang-orang yang memeluk agama Hindu, sedangkan makanan yang terlarang bagi orang Islam dan Yahudi adalah daging babi, tapi daging babi boleh di makan bagi orang Cina dan lainnya. Di kota-kota metropolitan, restoran-restoran sering menjaikan makanan “nasional” tertentu untuk memenuhi selera budaya yang berlainan. Cara makan juga berbeda-beda. Ada orang yang makan dengan tangan saja, ada yang menggunakan sumpit, bahkan ada yang mengunakan seperangkat alat makan yang lengkap seperti sendok, garpu dan pisau. Dalam penggunaan alat makan itu sendiripun masih dapat dibedakan asal budayanya, seperti penggunaan garpu, cara orang Amerika dan orang Eropa memiliki perbedaan tersendiri. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, restoran vegetarian, dan lainnya.

4) Waktu dan Kesadaraan Akan Waktu

Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagaian orang lainnya melalaikan waktu. Umumnya, orang-orang Jerman tepat waktu, sedang orang-orang di Amerika Latin lebih santai. Dalam beberapa budaya kesegeraan di tentukan oleh usia atau status – maka dibeberapa negeri orang-orang bawahan di harapkan datang tepat pada waktunya ketika menghadiri rapat staf, sedangkan bos orang yang terakhir kali tiba. Beberapa subkultur, seperti subkultur militer, mempunyai sistem waktu mereka sendiri dalam menandai waktu dua puluh empat jam. Waktu yang disebut pukul 1 siang oleh golongan sipil disebut pukul 13.00 oleh golongan militer. Dalam budaya-budaya demikian, kesegeraan dihargai. Namun ada penduduk-penduduk pribumi di beberapa negara lain yang tidak memperdulikan waktu yang terus berjalan baik dalam hitunganan menit bahkan jam, tetapi hanya menandai waktu mereka dengan terbit dan terbenamnya matahari.

(46)

wilayah Barat Tengah (Midwest) lebih menyadari adanya keempat musim tersebut, sementara mereka yang tinggal di wilayah Barat atau wilayah Barat laut cenderung mengabaikan keemapat musim tersebut, khususnya orang-orang yang berada di Kalifornia yang lebih memperhatikan bulan-bulan hujan dan lingsiran lumpur, atau bulan-bulan kering dan api yang membakar hutan.

5) Penghargaan dan Pengakuan

Suatu cara lain untuk mengamati budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberika pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas. Pengakuan bagi para prajurit perang adalah dengan membolehkan mereka menato tubuh mereka. Pengakuan-pengakuan lainnya bagi prajurit-prajurit perang yang berani itu adalah dengan memberi mereka topi perang, ikat pinggang bahkan intan permata. Dahulu celana panjang merupakan tanda kedewasaan bagi seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh pada usia tertentu. Dalam subkultur bisnis, terdapat penghargaan-penghargaan untuk mengakui hak-hak istimewa kaum eksekutif seperti pemberian jamuan makan malam. Dalam subkultur kepolisian, penghargaan ini dapat berupa pemberian medali. Golongan militer menunjukkan pangkat dan jabatan dengan trip, pita, bintang jasa dan sebagainya. Jamuan makan untuk merayakan suatu keberhasialan juga beragam, sesuai dengan kultur dan subkulturnya masing-masing.

6) Hubungan-hubungan

(47)

Dibeberapa negeri hubungan pernikahan lazimnya adalah monogami, sedangkan dinegeri lain mungkin poligami atau poliandri merupakan suatu hal yang biasa. Dalam budaya-budaya tertentu, orang yang harus dipatuhi dalam keluarga adalah lelaki yang merupakan suatu kepala dalam keluarga, dan hubungan yang sudah tetap ini meluas ke masyarakat. dalam beberapa budaya orang tua sering dianggap memiliki strata lebih tinggi, patut dihormati dan ada pula sebagian budaya yang menganggap orang tua dapat di jadikan seperti teman.

7) Nilai dan Norma

Sistem kebutuan bervariasi pula, sebagaimana prioritas-prioritas yang melekat pada suatu perilaku tertentu dalam kelompok. Mereka menginginkan kelangsungan hidup, menghargai usaha-usaha mengumpulkan makanan, penyediaan pakaian dan perumahan yang memadai, sementara mereka memiliki kebutuhan lebih tinggi dari materi, uang, gelar, pekerjaan, hukum dan keteraturan. Amerika adalah salah satu negeri yang berada dipertengahan revolusi nilai. Di sini orang-orang sangat mendambakan nilai-nilai lebih tinggi, seperti kualitas kehidupan, prestasi diri dan makna dalam pengalaman. Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam beberapa budaya dikepulauan Pasifik, orang yang statusnya lebih tinggi, diharapkan pula untuk memberikan lebih banyak barang pribadinya.

(48)

upacara kelahiran, kematian, dan pernikahan; aturan untuk tidak mengaku orang lain, memperlihatkan rasa hormat, menyatakan sopan santun dan sebagainya.

8) Rasa Diri dan Ruang

Kenyamanan yang orang miliki dengan dirinya dapat diekspersikan secara berbeda oleh budaya. Identitas diri dan penghargaan dapat diwujudkan dengan sikap yang sederhana dalam suatu budaya, sementara dalam budaya lain ditujukan dengan perilaku yang agresif. Dalam budaya-budaya tertentu rasa kebebasan dan kreativitas dibalas oleh kerjasama dan konformitas kelompok. Orang-orang dari budaya tertentu, seperti orang Amerika, memiliki rasa ruang yang sangat membutuhkan jarak lebih besar antara individu dengan individu lainnya, sementara orang Amerika Latin dan orang-orang Vietnam menginginkan jarak lebih dekat lagi. Beberapa budaya yang sangat terstruktur dan formal, sementara budaya-budaya lain lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup budaya lain lebih terbuka dan berubah . setiap budaya meresahkan diri dengan suatu cara yang unik.

9) Proses Mental dan Belajar

(49)

suatu proses berpikir, namun setiap budaya mewujudkan proses tersebut dengan cara yang berbeda.

10)Kepercayaan dan Sikap

(50)

semakin menjauhi agama, mengganti kepercayaan pada agama-agama tradisional dengan kepercayaan kepada ilmu pengetahuan.

Kesepuluh klasifikasi yang di uraikan diatas merupakan suatu model yang sederhana untuk menilai suatu budaya tertentu. Model ini adalah suatu paradigma, atau tatanan mental untuk mengevaluasi karakteristik-karaketristik budaya tertentu. Sehingga dapat mempermudah peneliti dalam mengetaui paradigma ataupun pandangan dari wisatawan terhadap penduduk setempat di Bukit Lawang

2.2 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan pada perumusan hipotesa ( Nawawi,1995:40 ).Konsep menggambarkan suatu fenomena secara abstrak yang dibentuk dengan jalan membuat generalisasi terhadap sesuatu yang khas ( Nazir:1988:148 ).Kerlinger (1986 ) menyebutkan konsep sebagai abstraksi yang dibentuk dengan mengeneralisasikan hal-hal khusus. Jadi, konsep merupakan sejumlah ciri atas standar umum suatu objek ( Rachmat,2008:17 ).Konsep adalah penggambaran secara tepat tentang fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial ( Singaribun, 1995:57 ).

Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang sebenarnya merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan di atas ada beberapa konsep yang harus dioperasionalkan menjadi:

a Variabel Bebas ( X )

(51)

b Variabel Terikat ( Y )

Variabel terikat adalah sejumah gejala berbagai unsur atau factor di dalamnya yang ditentukan atau dipengaruhi oleh adanya varibel yang lain ( Nawawi, 1955:42).Variabel terikat dalam penelitian ini adalah para wisatawan yang berkunjung di Bukit Lawang.

c Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah Usia, Jenis Kelamin, Pekerjaan, dan penghasialan

2.3 Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah di uraikan di atas, maka untuk mempermudah penelitian perlu dibuat operasional variabel – variabel sebagai berikut :

Tabel 2 Operasional Variabel

Variabel Teoritis Variabel Operasional

Variabel Bebas ( X )

Masyarakat dan Pengelola objek wisawa Bukit Lawang

o Kemampuan dalam memahami bahasa

o Promosi

o Latar belakang budaya o Fasilitas

o Keamanan

Variabel Terikat ( Y ) Wisatawan di Bukit Lawang

o Motivasi o Informasi

(52)

o Budaya o Informasi

2.4 Defenisi Operasional

Defenisi Operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah di kelompokkan dalam kerangka konsep. Defenisi operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara mengukur variabel. Defenisi operasional juga merupakan suatu informasi yang sangat membantu peneliti yang lain yang mengunakan variabel yang sama ( Singarimbun,2006:46 )

Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas ( X ) :

 Kemampuan masyarakat dan pengelola dalam berkomunikasi dengan wisatawan lokal maupun internasional.

 Cara yang digunakan untuk mempromosiakan objek wisata Bukit Lawang  Latar belakang dan budaya yang ada di Bukit Lawang

 Fasilitas yang tersedia

 Keamanan untuk para wisatawan

2. Variabel Terikat ( Y )

 Motivasi untuk mengunjungi objek wisata Bukit Lawang  Informasi yang didapat mengenai objek wisata Bukit Lawang  Harga dan Fasilitas yang diberikan

3. Karakteristik Responden

Indikator dalam karakteristik responden adalah sebagai berikut :  Dapat berbahasa Inggris secara aktif maupun pasif  Kewarganegaraan

(53)

2.5 Hipotesis

Hipotesis adalah sarana penelitian ilmiah yang pentik dan tidak bisa ditinggalkan karena merupakan instrument kerja dari teori ( Singaribun, 1995:43 ). Hipotesis merupakan pernyataan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho : Tidak terdapat hubungan dan efektifitas komunikasi lintas budaya terhadap kunjungan wisatawan lokal dan internasional di Bukit Lawang.

(54)

BAB III

METEDOLOGI PENELITIAN 3.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Bukit lawang adalah salah satu objek wisata di sumatera utara, tepatnya berada di kecamatan Bahorok - Kabupaten Langkat. Bukit Lawang terletak dikaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan udara sejuk oleh hujan tropis, dimana terdapat lokasi konservasi orang hutan (mawas) yang dikelola oleh WNF Taman Nasional gunung Leuser sejak tahun 1970an. Bukit lawang juga merupakan asset Nasional terdapat berbagai satwa yang dilindungi seperti: Badak Sumatera, Rusa, Kijang, Burung Kuau, siamiang juga terdapat tidak kurang dari 320 jenis burung, 176 binatang menyusui, 194 binatang melata, 52 jenis ampibi serta 3500 jenis species tumbuh-tumbuhan serta yang paling menarik adalah bunga raflesia yang terbesar di dunia.

Pada setiap tahunnya ada sekitar 115.000 wisatawan lokal dan internasional yang datang untuk mengujungi bukit lawang (sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat). Bukit lawang memiliki

beberapa objek wisata seperti sungai bahorok, pengembangan orang hutan, gua kelelawar, gua kapal, menelusuri hutan(jungle track) dan masih banyak lainnya. Sungai bahorok bukan hanya di jadikan untuk mandi dan berenang saja, karena arus sungai yang bersahabat untuk berbagai macam jenis hiburan air sehingga sungai bahorok memiliki fasilitas untuk olahraga air seperti arung jeram. Selain karena kekayaan alam yang begitu memukau, keramah tamahan penduduk dan ditambah lagi akomodasi dan penginapan yang relatif terjangkau dengan fasilitas yang nyaman sehingga menjadikan wisatawan salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan .

Gambar

 Tabel 1
Tabel 3
Gambar 1
Tabel  7 Kewarganegaraan
+7

Referensi

Dokumen terkait