• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Hasil dan Pembahasan

4.4 Pengujian Hipotesis

Koefisien Korelasi Spearman Rho

Uraian:

1) Pada perhitungan koefisien korelasi dengan menggunakan Spearman Rho Koefisien di dapat hasil 256 yang diartikan sebagai 0,256. Angka tersebut adalah angka koefisien korelasi. Angka tersebut menunjukkan hubungan rendah tapi pasti antara variabel X dengan Y karena terletak antara 0,20 – 0,39 pada skala Guilford. Dengan demikian, dapat diuraikan bahwa terdapat hubungan yang rendah tapi pasti antara komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di wisata Bukit Lawang.

2) Signifikasi atau nilai penerimaan hasil korelasi Spearman Rho dapat diuji dengan menyusun hipotesis sebagai berikut:

Ho : tidak terdapat hubungan antara dua variabel Ha : terdapat hubungan antara dua variabel 3) Dasar pengambilan keputusan signifikasi :

Jika thitung > ttabel

Jika t

, maka hubunganya signifikan dan Ho ditolak.

hitung < ttabel

4) Dari tabel diketahui bahwa nilai korelasi (r) = 0,256 dan signifikansi (2 tailed) = 0,018 ( 99, 982%). Disini diketahui bahwa nilai signifikansi adalah 0,18 (99,982%) ≤ α = 0 ,5 ( 9 5%). Dengan demikian, maka hubungan antara variabel x dan y (rxy) sebesar 0,18 secara statistik dan dapat dikatakan signifikan. Dengan demikian, maka Ho, yakni tidak

, maka hubungannya tidak signifikan dan Ho diterima. Correlations 1,000 ,256* . ,018 86 86 ,256* 1,000 ,018 . 86 86 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X Y Spearman's rho X Y

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.

terdapat hubungan antara implementasi komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di wisata Bukit Lawang ditolak. Sedangkan Ha, yakni komunikasi lintas budaya terhadap pembentukan persepsi wisatawan Internasional di wisata Bukit Lawang.

Sedangkan untuk peramalan indeks korelasi yang menentukan besar hubungan variabel X (Komunikasi lintas budaya) terhadap variabel Y (kunjungan wisatawan pada objek wisata Bukit Lawang), digunakan rumus :

Kp = (rs)2 Kp = (0,256) x 100% 2 Kp = 0,065 x 100% x 100% Kp = 6,5%

Maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan pengaruh variabel X terhadap variabel Y dalam penelitian ini adalah sebesar 6,5% dan terdapat 93,5% faktor- faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Temuan dan Pembahasan

Berdasarkan temuan yang diadapat selama melakukan penelitian pada Maret 2013 mengenai komunikasi non verbal, jarak kominikasi, pakaian dan penampilan, kepercayaan danl lainnya, yang merupakan sub pembahasan dari komunikasi lintas budaya yang telah dipaparkan oleh Edward T Hall sebelumnya. Selain menyebarkan kuesioner peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa responden untuk mendapatkan infromasi secara langsung yang dapat menguatkan hasil dari kuesioner tersebut. Pada pembahasan ini peneliti juga akan mengunakan index dari The Hofstede Center untuk mengetahui bagai mana pringkat Indonesia berdasarkan 5 dimensi lensa Model (

1. Jarak komunikasi

Jarak komunikasi dapat dipahami bagaimana anggota lembaga yang kurang kuat pada suatu organisasi dalam suatu negara mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan dengan tidak merata. Dimensi ini berkaitan dengan fakta bahwa semua individu didalam masyarakat tidak sama dalam mengungkapkan sikap budaya dari ketidaksetaraan antara satu dengan yang lain.

Indonesia mendapatkan skor tinggi dalam dimensi ini (78 skor) yang berarti bahwa Indonesia menjadi tergantung pada hirarki, hak yang tidak sama antara pemegang kekuasaan dan bukan pemegang kekuasaan, atasan yang diakses, pemimpin direktif, kontrol managemen dan delegasi. Manager mengandalkan ketaatan keanggotaan tim sebagai pusat kekuatan sedangkan karyawan mengharapkan adanya arahan untuk apa yang seharusnya mereka lakukan. Adanya pengaharapan pada sistem pengendalian sehingga manager dapat dihormati dan dihargai sesuai dengan posisi mereka. Komunikasi merupakan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

PDI IDV MAS UAI LTO

Indonesia

umpan balik langsung (feedback) dan negatif tersembungi. Jarak komunikasi yang tinggi di Indonesia dapat menunjukkan bahwa kolega kerja diharapkan secara jelas diarahkan oleh bos atau manager sebagai suatu korelasi yang dinamis diberlakukan di Indonesia. Di wilayah barat mungkin akan jelas terlihat bagaimana keterimaan secara sosial, kesenjangan yang luas dan merata antara kaya dan miskin.

Namun pada temuan dilapangan dari beberapa informan tidak merasakan hal yang semikian, bagi mereka orang-orang di Indonesia tepatnya yang berdada di Bukit Lawang tidak berkomunikasi secara klasik yang kaku melainkan secara dinamis. Dari pengamatan peneliti hal tersebut dapat terjadi karena Bukit Lawang merupakan kawasan wisata sehingga komunikasi yang terjadi bersifat vertikal sehingga antara yang satu dengan yang lainnya dapat berkomunikasi secara dinamis namun tetap dalam korodor adat dan norma yang berlaku.

2. Rasa diri

Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap anggotanya menjadi isu yang ,mendasar pada dimensi ini. Adanya hubungan antara citra diri yang didefinisikan dalam hal “aku” atau “kami”. Dalam masyarakat yang individualis berati orang hanya menjaga diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja sedangkan dalam masyarakat kolektivis orang yang berada dalam kelompo yang memiliki pertukaran loyalitas.

Indonesia, dengan skor rendah (14) adalah masyarakat kolektivis. Ini berarti ada preferensi tinggi untuk kerangka sosial didefinisikan kuat di mana individu diharapkan sesuai dengan cita-cita masyarakat dan dalam kelompok- mana mereka berasal. Satu tempat ini terlihat jelas dalam aspek keluarga dalam

peran hubungan. Sebagai contoh, Anak-anak Indonesia berkomitmen untuk orang tua mereka, seperti orang tua

berkomitmen untuk mereka semua hidup mereka tumbuh. Keinginan mereka adalah untuk membuat hidup orangtua mereka lebih mudah. Ada keinginan untuk merawat orang tua dan memberi mereka dukungan di usia tua mereka. Ada pepatah Asia yang diterima di Indonesia, "Anda bisa mendapatkan istri lain atau

suami tapi tidak ibu atau ayah yang lain". Kesetiaan keluarga ini juga terlihat dalam kenyataan bahwa keluarga Indonesia tetap penatua (seperti kakek-nenek) di rumah daripada mengirim mereka kepada institusi manapun. Dalam masyarakat individualistis fokusnya adalah pada keluarga inti saja.

Hasil yang diperoleh dari responden dan informan mengenai rasa diri sesuai dengan dimensi kedua yaitu kebanyakan dari Orang Indonesia lebih senang melakukan segala sesuatu secara bersama-sama (berkelompok) di bandingkan secara individual.

3. Maskulinitas dan Feminitas

Sebuah skor tinggi (maskulin) pada dimensi ini menunjukkan bahwa masyarakat akan didorong oleh kompetisi, prestasi dan kesuksesan, dengan keberhasilan yang ditetapkan oleh pemenang / terbaik di bidang - suatu sistem nilai yang dimulai di sekolah dan berlanjut sepanjang perilaku organisasi. Sebuah skor rendah (feminin) pada dimensi berarti bahwa nilai-nilai dominan di masyarakat yang merawat orang lain dan kualitas hidup. Sebuah masyarakat feminin adalah satu di mana kualitas hidup adalah tanda keberhasilan dan berdiri keluar dari keramaian tidak mengagumkan. Masalah mendasar di sini adalah apa yang memotivasi orang, ingin menjadi yang terbaik (maskulin) atau menyukai apa yang Anda lakukan (feminin).

Skor Indonesia (46) pada dimensi ini dan dengan demikian dianggap rendah Maskulin. Indonesia kurang Maskulin dari beberapa negara Asia lainnya seperti Jepang, Cina dan India. Dalam status Indonesia dan simbol terlihat keberhasilan yang penting tetapi tidak selalu keuntungan materi yang membawa motivasi.

Indonesia merupakan negara yang tingkat kemaskunilitasnya rendah dengan skror 46, hal tersebut dikarenakan orang Indonesia lebih melakukan apa yang mereka sukai dibanding dengan apa yang terbaik. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan

peneliti dimana masyarakat di Bukit lawang lebih memilih melakukan suatu hal yang mereka sukai.

4. Penghindaran ketidak pastian

Dimensi Penghindaran Ketidakpastian harus dilakukan dengan cara bahwa masyarakat berkaitan dengan fakta bahwa masa depan tidak dapat diketahui: kita harus mencoba untuk mengontrol masa depan atau hanya membiarkan hal itu terjadi? Ambiguitas ini membawa serta kecemasan dan budaya yang berbeda telah belajar untuk mengatasi kecemasan ini dengan cara yang berbeda. Sejauh mana para anggota suatu budaya merasa terancam oleh situasi ambigu atau tidak diketahui dan telah menciptakan keyakinan dan lembaga yang mencoba untuk

menghindari ini tercermin dalam skor UAI.

Pada dimensi ini Indonesia mendapatkan skor (48) dengan demikian Indonesia memiliki preferensi rendah media untuk menghindari ketidakpastian. Ini berarti bahwa ada preferensi yang kuat di Indonesia terhadap budaya Jawa pemisahan diri internal dari diri eksternal. Ketika seseorang marah, itu adalah kebiasaan bagi Indonesia untuk tidak menunjukkan emosi negatif atau marah eksternal. Mereka akan tetap tersenyum dan bersikap sopan, tidak peduli seberapa marah mereka berada di dalam.

5. Orientasi jangka panjang

Jangka panjang Dimensi orientasi berkaitan erat dengan ajaran Konfusius dan dapat diartikan sebagai berurusan dengan pencarian masyarakat untuk kebajikan, sejauh mana masyarakat menunjukkan perspektif berorientasi masa depan pragmatis daripada sejarah titik jangka pendek konvensional pandang.

Selain tidak ada nilai yang tersedia untuk Indonesia pada dimensi ini, peneliti juga tidak membahas mengenai orientasi jangka panjang pada masyarakat di Bukit Lawang.

Dokumen terkait