PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
MASYARAKAT
(Studi Kasus : Nagori Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)
SKRIPSI
Oleh :
CHARIS B.K.N.SIMANGUNSONG 031201027/MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Pengesahan
Judul : Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat
(Studi Kasus : Nagori Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)
Nama : Charis B.K.N. Simangunsong NIM : 031201027
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui oleh,
Komisi Dosen Pembimbing
Ketua Anggota
(Oding Affandi, S.Hut, MP) (Ir. April Harini)
NIP. 132 259 566 NIP. 710 020 129
Diketahui,
Ketua Departemen Kehutanan
(Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS)
Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun).Dibawah bimbingan Oding
Affandi, S.Hut,MP dan Ir.April Harini
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat dan dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Keberadaan hutan rakyat sudah menunjukkan hasil-hasil yang positif, baik ditinjau dari sisi ekologinya (tata air, keanekaragaman hayati, pelindung/konservasi tanah, dsb) maupun sebagai kontribusi bagi pendapatan rumah tangga petani/masyarakat.
Hutan rakyat di Nagori Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun terbentuk dari hasil program penghijauan dari pemerintah sejak pertengahan tahun 1970-an dengan jenis tanaman homogen (Pinus merkusii). Sistem pengelolaannya terdiri dari kegiatan pendaftaran peserta dan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Penjualan kayu oleh masyarakat/petani hutan rakyat hanya sebatas kepada pengusaha kayu/pengumpul kayu, tetapi pengolahan dan pemasaran selanjutnya tidak dilakukan oleh petani karena terbatasnya sumber daya manusia dan modal. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani di desa ini pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 76.600.000 atau berkisar 15,02 % dari seluruh sumber-sumber pendapatan petani. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja dengan curahan tenaga kerja mencapai 8 HOK/ha/petani. Taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat pinus yang diperoleh adalah sebesar 1.590,48 m3 dengan nilai total tegakan yang mencapai Rp 159.048.000.
ABSTRACT
Charis B.K.N Simangunsong. The Management System of Commonly Forest
and It’s Influence to Society Economic (Study Case of Raya Huluan Village, Subdistrict of Raya, Simalungun Regency). Guided by : Oding Affandi, S.Hut,
MP and Ir. April Harini.
Forest as a part of nationality natural resource has the important meaning and role in some aspects of social life, development and life environtment. Commonly forest is one of natural resource management type which based in society initiative, expanded on society’s land. The existence of commonly forest has showed the positive crops, viewed from the ecology side (watering, biological variety, protector/conservation of land, etc) although as the contribution for the farmer/society household income.
Commonly forest in Nagori Raya Huluan, Subdistrict of Raya, Simalungun Regency has formed from reforesting program crop of government since the middle of year of 1970 with the species of homogen plant (Pinus
merkusii). The management system is divided in activity of participant registration
and arrangement of land, planting, cultivation, harvesting, and marketing. The selling of wood by commonly forest of society/farmer is only up to wood enterpreneur/collector but the furthermore manufacture and marketing is not done by farmers because of the limited of human resource and financial capital. The contribution of commonly forest to farmer’s income in this village in 2007 is amount Rp 76.600.000 or around 15,02% from all farmer’s income resources. The activity of commonly forest management, apparently is able to absorb labor force with the outflow of labor force which reachs 8 HOK/ha/farmer. The appraisal of a stand total volume (potential) of commonly pine forest which is obtained amount 1.590,48 m3 with a stand total value that reachs Rp 159.048.000.
Key word : pine, the head of household, farmer, the day of labor force people.
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan berkat dan perlindungan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Sistem
Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Oding Affandi, S.Hut, MP dan ibu Ir.April Harini selaku Dosen Pembimbing yang
telah banyak memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan penelitian ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih juga kepada para Dosen dan Staf Pegawai Departemen Kehutanan
Universitas Sumatera Utara. Proses perjalanan penyelesaian skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan doa, semangat, nasehat dan perhatian dari kedua orang tua
penulis Pdt.D.P.Simangunsong, S.Th, MA dan Dra. R.Siregar, keluarga dan
sahabat-sahabat yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam
penyempurnaan tulisan ini. Khususnya kepada Bapak Amiruddin Purba dari Dinas
Kehutanan Kabupaten Simalungun yang telah menolong, mendampingi dan telah
banyak berkorban bagi penulis selama penulis berada di lokasi penelitian mulai
dari awal sampai dengan berakhirnya penelitian ini.
Kiranya hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dunia ilmu
pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembacanya
dalam penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Agustus 2008
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah
Tangga Petani tahun 2006 – 2007 ………... 48
2. Taksiran Potensi Tegakan Pinus pada Setiap Lahan Responden … 60
3. Taksiran Nilai Tegakan Hutan Rakyat Pinus di Nagori Raya
Huluan ………. 62
Halaman
1. Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ……….. 28
2. Persentase Jumlah Penduduk Usia Produktif (18-35 thn)
Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………. 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Desa Raya Hulun / Nagori Raya huluan ……… 26
2. Industri Kecil non-Kerajinan Tangan di Nagori
Raya Huluan ………... 29
3. Sebuah Surat Keterangan Asal Usul ( SKAU ) yang Diurus Melalui
Penghulu (Kepala Desa) di NagoriRaya Huluan……… 44
4. Saluran Pemasaran Hasil Hutan Rakyat di Nagori Raya Huluan …. 45
5. Hasil Hutan Non Kayu (Bambu) yang berada di Sekitar Kawasan
Hutan Rakyat di Nagori Raya Huluan ……….. 47
6. Salah satu kegiatan pertanian (cabai) yang dikelola petani ……….. 50
7. Kegiatan Inventarisasi yang dilakukan di Hutan Rakyat Pinus
Nagori Raya Huluan.………... 60
Halaman
1. Sumber – Sumber Pendapatan Petani Hutan Rakyat
Pinus Tahun 2006 – 2007 ………... 67
2. Data Responden Petani Hutan Rakyat Nagori Raya
Huluan ………... 68
3. Tabel Plot Contoh pada Setiap Lahan Responden ... 69
ABSTRAK
Charis B.K.N.Simangunsong.Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan
Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat (Studi Kasus Desa Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun).Dibawah bimbingan Oding
Affandi, S.Hut,MP dan Ir.April Harini
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat dan dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Keberadaan hutan rakyat sudah menunjukkan hasil-hasil yang positif, baik ditinjau dari sisi ekologinya (tata air, keanekaragaman hayati, pelindung/konservasi tanah, dsb) maupun sebagai kontribusi bagi pendapatan rumah tangga petani/masyarakat.
Hutan rakyat di Nagori Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun terbentuk dari hasil program penghijauan dari pemerintah sejak pertengahan tahun 1970-an dengan jenis tanaman homogen (Pinus merkusii). Sistem pengelolaannya terdiri dari kegiatan pendaftaran peserta dan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Penjualan kayu oleh masyarakat/petani hutan rakyat hanya sebatas kepada pengusaha kayu/pengumpul kayu, tetapi pengolahan dan pemasaran selanjutnya tidak dilakukan oleh petani karena terbatasnya sumber daya manusia dan modal. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani di desa ini pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 76.600.000 atau berkisar 15,02 % dari seluruh sumber-sumber pendapatan petani. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja dengan curahan tenaga kerja mencapai 8 HOK/ha/petani. Taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat pinus yang diperoleh adalah sebesar 1.590,48 m3 dengan nilai total tegakan yang mencapai Rp 159.048.000.
Subdistrict of Raya, Simalungun Regency). Guided by : Oding Affandi, S.Hut,
MP and Ir. April Harini.
Forest as a part of nationality natural resource has the important meaning and role in some aspects of social life, development and life environtment. Commonly forest is one of natural resource management type which based in society initiative, expanded on society’s land. The existence of commonly forest has showed the positive crops, viewed from the ecology side (watering, biological variety, protector/conservation of land, etc) although as the contribution for the farmer/society household income.
Commonly forest in Nagori Raya Huluan, Subdistrict of Raya, Simalungun Regency has formed from reforesting program crop of government since the middle of year of 1970 with the species of homogen plant (Pinus
merkusii). The management system is divided in activity of participant registration
and arrangement of land, planting, cultivation, harvesting, and marketing. The selling of wood by commonly forest of society/farmer is only up to wood enterpreneur/collector but the furthermore manufacture and marketing is not done by farmers because of the limited of human resource and financial capital. The contribution of commonly forest to farmer’s income in this village in 2007 is amount Rp 76.600.000 or around 15,02% from all farmer’s income resources. The activity of commonly forest management, apparently is able to absorb labor force with the outflow of labor force which reachs 8 HOK/ha/farmer. The appraisal of a stand total volume (potential) of commonly pine forest which is obtained amount 1.590,48 m3 with a stand total value that reachs Rp 159.048.000.
Key word : pine, the head of household, farmer, the day of labor force people.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan
peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
lingkungan hidup. Hutan memiliki berbagai aspek manfaat bagi kehidupan berupa
manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat
hutan diperoleh bila manfaat dan fungsi hutan terjamin eksistensinya sehingga
dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari
hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelola sumber daya alam
berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan
nasional berkelanjutan (Zain, 1995).
Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh terhadap
kehidupan manusia. Manusia melakukan interaksi dengan hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan (UU RI No 41 tahun 1999 tentang kehutanan). Sehingga hutan
merupakan sumber daya alam yang banyak memberikan pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia.
Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam
yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Hutan rakyat di Indonesia pada umumnya
dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Dalam banyak contoh di
masyarakat sendiri. Demikian pula halnya dengan sumbangan produksi kayu dari
hutan rakyat di banyak tempat di Jawa sudah menunjukkan signifikansi yang
sangat nyata. Dalam hutan rakyat biasanya ditanam jenis-jenis jati, mahoni,
buah-buahan, nangka, kelapa dan sengon. Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk
mendorong perkembangan hutan rakyat di Indonesia antara lain melalui: (1)
program penghijauan yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1970-an: (2)
program swadaya masyarakat. Dari banyak pengamatan di lapangan ternyata ada
indikasi jelas bahwa tingkat keberhasilan justru lebih besar di program swadaya
tersebut.
Berbagai istilah lokal yang sering kita dengar sesungguhnya sangat
memperkaya khasanah hutan rakyat itu sendiri. Tentu kita sepakat bahwa istilah
itu tidak harus satu, tetapi biarkan istilah tersebut bervariasi sesuai dengan tradisi
wilayah masing-masing. Di luar Jawa, hutan rakyat terbentuk melalui dua cara,
yaitu melalui campur tangan kegiatan penanaman, dan berasal dari perubahan
bentuk dan fungsi hutan alam menjadi hutan serba guna yang dikelola,
diusahakan, dan dimanfaatkan oleh sekumpulan orang dalam sebuah pedesaan.
Variasi sumber daya hutan seperti ini tidak statis, mereka selalu mengalami
perkembangan dan perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Banyak contoh menunjukkan bahwa kelestarian hutan rakyat di suatu tempat
sangat ditentukan oleh faktor-faktor : (1) kebutuhan ekonomi masyarakatnya; (2)
kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional; dan (3) sistem pengaturan dan
pembagian manfaat antar warga masyarakat; dan (4) pandangan-pandangan
kebutuhan penyelamatan lingkungan (pelestarian air, pencegahan erosi, dan
3
Penduduk Indonesia masih banyak yang tinggal di dalam dan di sekitar
hutan. Menurut warga dari desa-desa tersebut pada umumnya memiliki
pengalaman hidup di dalam hutan yang dikembangkan sebagai satu tradisi
turun-temurun. Akhir-akhir ini tradisi tersebut mulai mendapat perhatian berbagai pihak
guna menyingkap sistem-sistem interaksi antara mereka dengan hutan. Dengan
kata lain, bahwa masyarakat asli (adat) yang bermukim di dalam dan di sekitar
hutan secara turun–temurun memiliki kemampuan mengelola sumberdaya hutan
secara berkelanjutan. Keberadaan hutan bagi masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan sangat penting, karena hutan merupakan sumber kehidupan, antara
lain hutan merupakan sumber pangan, papan, obat – obatan dan penghasilan bagi
masyarakat setempat. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan semakin besar
sehingga diperlukan upaya–upaya yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan
kehutanan sehingga mereka mendapatkan hasil dan hutan dapat terjaga dan lestari.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan kajian untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi pengelolaan hutan rakyat di desa Raya Huluan
Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagi para pemerintah setempat dan masyarakat di dalam
maupun di luar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tercapainya kelestarian hutan.
Perumusan Masalah
Keberadaan hutan sangat mutlak bagi kehidupan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan. Kehidupan masyarakat tersebut sangat bergantung dari keberadaan
menunjukkan hasil-hasil yang positif, baik ditinjau dari sisi ekologinya (tata air,
keanekaragaman hayati, pelindung/konservasi tanah, dsb) maupun sebagai
kontribusi bagi pendapatan rumah tangga petani/masyarakat. Oleh karena itu, hal
ini harus mendapat perhatian yang besar dari berbagai pihak, baik Lembaga
Swadaya Masyarakat maupun pemerintah pada khususnya. Faktor-faktor yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta berapa besar daya
dukung masyarakat dan pemerintah untuk lebih lagi mengembangkan kegiatan
pengusahaan hutan rakyat adalah sangat tergantung dari sistem pengelolaannya.
Hutan Rakyat di Kecamatan Raya merupakan hutan yang berpotensi
untuk dikembangkan. Dalam pengusahaan hutan rakyat, secara kumulatif
menunjukkan berbagai kekurangan, kelemahan serta kurang akurat. Gejala
kelemahannya tidak meletakkan posisi dan kedudukan hukum hutan rakyat ini ke
dalam status legal, antara lain:
a. Tidak adanya data jumlah pemilik hutan rakyat, baik dalam skala regional
maupun skala nasional.
b. Secara umum areal hutan rakyat belum diukur dan dipetakan sebagaimana
dilakukan terhadap hutan negara.
c. Belum diterbitkannya aturan-aturan teknis pembinaan administrasi dan tata
cara pengelolaan hutan rakyat sebagai payung untuk dipedomani secara
seragam disetiap wilayah.
d. Sistem pungutan, retribusi dan perizinan usaha hutan rakyat, diperlakukan
serupa dengan hutan negara. Contohnya: Dalam penggunaan Surat Angkutan
Kayu Bulat (SAKB) yang digunakan dalam kegiatan eksploitasi tebangan
5
e. Gambaran umum usaha hutan rakyat terletak diatas tanah negara .Lebih dari
70-80% hutan rakyat atau bahkan merupakan areal lokasi penghijauan yang
diokupasi (diduduki) rakyat secara ilegal.
f. Tidak adanya aturan hukum yang jelas tentang kepemilikan hutan rakyat
secara yuridis formal, terkait erat dengan kebijakan hukum pertanahan yang
masih terus dibebani dewasa ini.
Berkaitan dengan masalah tersebut diatas, timbul beberapa pertanyaan
yang merupakan ruang lingkup kajian dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh para
petani hutan rakyat di Desa Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun.
2. Seberapa besar pengaruh ekonomi hutan rakyat berupa tambahan pendapatan
petani dan penyerapan tenaga kerja di Desa Raya Huluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun.
3. Berapa besar potensi hutan rakyat di Desa Raya Huluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Raya Huluan
2. Mengetahui manfaat ekonomis hutan rakyat berupa tambahan pendapatan
petani dan penyerapan tenaga kerja.
3. Mengetahui potensi hutan rakyat di Desa Raya Huluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun.
Manfaat
Manfaat dari kajian ini adalah sebagai bahan masukan kepada Pemerintah
Daerah, stake holders dan berbagai pihak pengelola yang terlibat di dalamnya
dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di desa Raya Huluan Kecamatan
7
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan
peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh
terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun
1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang, 2002).
John A.Helms (1998) memberi pengertian hutan suatu ekosistem yang
dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali
terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis,
struktur, kelas umur, dan proses-proses yang terkait, dan umumnya mencakup
padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan, dan satwa liar. Definisi tersebut dan
beberapa defenisi lain menekankan komponen pohon yang dominan terhadap
komponen lainnya dari ekosistem itu, dan mensyaratkan adanya (akibat dari
pohon-pohon itu) kondisi iklim (iklim mikro) dan ekologis yang berbeda dengan
kondisi luarnya (UU No 41, 1999). Penekanan hutan sebagai suatu ekosistem
mengandung maksud bahwa di dalam hutan terjadi hubungan saling tergantung
satu komponen dengan komponen lainnya yang terjalin sebagai suatu sistem. Satu
komponen dari sistem itu rusak (atau tidak berfungsi) menyebabkan komponen
sendiri sebagai bagian atau komponen dari ekosistem yang lebih besar, sehingga
apabila hutan rusak akan mengganggu sistem yang lebih besar itu (Suharjito,
2000).
Hutan Bagian Sumber Daya Alam
Secara umum klasifikasi sumber daya alam (SDA) terbagi ke dalam
bentuk yaitu: (1) lahan pertanian, (2) hutan dengan aneka ragam hasilnya, (3)
lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah, (4) perikanan
darat dan perikanan laut, (5) sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar,
(6) sumber energi non mineral, misalnya panas bumi, tenaga surya, angin, sumber
tenaga air, gelombang pasang, dan sebagainya. Sumber daya alam dapat
dibedakan terhadap keadaan antara sumber daya yang dapat diperbarui atau dapat
diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbarui
atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Umumnya dikelompokkan
sebagai renewable resources dan non-renewable resources. Contoh renewable
resources adalah : hutan, perikanan, hasil pertanian dan lain-lain. Sedangkan
contoh non-renewable resources seperti : biji mineral, bahan bakar fosil, dan
sebagainya (Reksohadiprodjo, 1988).
Pemerintah di dalam mengajukan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran
Belanja Negara, biasanya membagi jenis-jenis sumber daya alam secara sektoral
dimasukkan ke dalam rincian berikut : (a) sumber daya pertanian meliputi :
tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengairan
9
nuklir, dan bahan galian lainnya. Sumber daya ini selanjutnya akan dijadikan
masukan bagi industri dan jasa (Zain, 1995).
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan
peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan
yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari
berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki
berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan
dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan
terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi
ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila
pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian
guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995).
Pengertian dan Konsepsi Kehutanan Masyarakat di Indonesia
Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry) sebenarnya relatif
baru karena community forestry (CF) muncul sebagai tanggapan dari kegagalan
konsep indusrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang
menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena
terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby
(Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak
terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang
pikiran-pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan
kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai :
“konsep radikal kehutanan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat
diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka
kehendaki”. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang
diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola dan melindungi
sumber daya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari
sumber daya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai
gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada
masyarakat pedesaan yang miskin (Awang dkk, 2001).
Beberapa tahun terakhir ini, konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering
dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan
dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk
pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari
pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di
Indonesia Perum Perhutani sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia
mendefinisikan bahwa SF adalah : “Suatu sistem dimana masyarakat lokal
berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan
tanaman”. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan
meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan
11
Hutan Rakyat
Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengenal dan
mengerti hutan rakyat. Sudut pandang yang sering digunakan adalah sudut
pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan
pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan
kepentingan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang
tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat.
Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem
hutan rakyat tersebut, berbeda satu sama lain tergantung letak geografis, ada yang
di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi, dan jenis penyusunnya berbeda
menurut tempat tumbuh, dan sesuai dengan keadaan iklim mikro. Pandangan
sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang
dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain (Awang dkk, 2002).
Menurut statusnya (sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan), hutan
hanya dibagi ke dalam 2 kelompok besar, yaitu : (1) hutan negara, hutan yang
berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ; dan (2) hutan hak adalah
hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat.
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani
secara perorangan maupun bersama-sama. Ada banyak pendapat yang
mengatakan bahwa hutan rakyat terbentuk dari kegiatan swadaya masyarakat
dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis
dengan memperhatikan unsur-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka
memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan sosial. Hutan rakyat dalam
hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan
untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah
yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah
mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan
progam penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan.
Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang
tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh
masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara
alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980 ;
Jaffar, 1993).
Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat
bahwa secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik
pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas
kehidupan, sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga
lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh
organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat,
maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan
ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan,
satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam.
Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah
antara lain : hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan
rakyat suren di Bukit Tinggi (disebut Parak), dan hutan adat campuran (Awang,
13
Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program
pembangunan kehutanan dan disebut dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan
(UUPK) tahun 1967 dengan terminologi ‘hutan milik”. Di Jawa, hutan rakyat
dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka,
pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang
Kitri”. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah
payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana
Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat
telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Di
dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka
ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati
(Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain
sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax
benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa
buah antara lain kemiri (Aleuritas molucana), durian, kelapa dan bambu
(Suharjito dan Darusman, 1998).
Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun
di atas lahan milik. Pengertian semacam itu kurang mempertimbangkan
kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola rakyat,
melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat’ kiranya lebih
ditujukan kepada pengelola yaitu ‘rakyat kebanyakan’, bukan pada status
pemilikan tanahnya. Dengan menekankan pada kata ‘rakyat’ membuka peluang
bagi rakyat sekitar hutan untuk mengelola hutan di lahan negara. Apabila istilah
kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (menengah dan besar)
menguasai tanah milik untuk mengusahakan hutan (Suharjito dan Darusman,
1998). Hardjosoediro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah
semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai
oleh pemerintah, hutan yang dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat
bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat
terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis. Jadi
hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat, dengan jenis
tanaman kayu-kayuan, yang pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh
suatu badan usaha, dengan berpedoman kepada ketentuan yang telah digariskan
oleh pemerintah.
Menurut Jaffar (1993), sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan
milik dengan kriteria :
1. areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang
mempunyai kelerengan lebih dari 30%;
2. areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan
pertanian tanaman pangan semusim;
3. areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk
perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup
dengan tanaman tahunan;
4. lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan
15
Sedangkan tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Jaffar, 1993) :
1. meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara
optimal dan lestari;
2. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat;
3. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku
industri serta kayu bakar;
4. meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya;
5. memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang
berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Pekarangan
Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar
rumah dengan batas-batas jelas, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman
keras, semusim, dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan atau fungsional
dengan rumah yang bersangkutan (Awang dkk, 2001).
Fungsi ekonomi dari pekarangan adalah : (1) menghasilkan bahan
makanan tambahan; (2) dapat menghasilkan setiap hari, (3) menghasilkan bahan
bangunan; (4) menghasilkan bumbu-bumbu, rempah-rempah dan bunga-bungaan;
(5) menghasilkan kayu bakar; dan (6) menghasilkan pakan ternak. Lahan
pekarangan mempunyai potensi yang tidak kecil dalam mencukupi kebutuhan
hidup petani atau pemiliknya, bahkan kalau dikembangkan lebih intensif akan
Dalam banyak teori, pengelompokan jenis-jenis tanaman di suatu
hamparan lahan ditentukan oleh kemampuan jenis tersebut untuk berasosiasi
dengan jenis lainnya. Perubahan komposisi jenis dalam satu hamparan lahan
tergantung dari kompetisi di antara jenis-jenis yang ada dan perbedaan
kemampuan jenis-jenis tersebut untuk berkembang menjadi pohon yang masak
pada keadaan tertentu. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman
jenis yang tinggi, jika terdiri dari banyak jenis dan masing-masing jenis
mempunyai jumlah individu yang besar. Sebaliknya jika suatu komunitas
mempunyai banyak jenis dengan jumlah individu sedikit atau mengelompok pada
jenis tertentu, maka dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis rendah.
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan suatu komunitas yang komplek,
karena keanekaragaman yang lebih besar akan memberikan kesempatan yang
lebih tinggi bagi terjadinya variasi interaksi antar jenis. Interaksi populasi tersebut
yang berupa transfer energi dan saling berkompetisi, secara teoritis akan lebih
komplek dan beragam di dalam suatu masyarakat yang mempunyai
keanekaragaman tinggi (Brower dan Zar, 1977).
Keanekaragaman jenis ini memberikan banyak keuntungan biologis,
terutama dilihat dari stabilitas ekologis dan ekonomis. Keanekaragaman jenis di
pekarangan dapat meningkatkan pendapatan keluarga dengan peningkatan
tanaman buah-buahan (durian, mangga, rambutan), tanaman kayu bakar (turi,
lamtoro) dan sebagainya. Semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu ekosistem
(alami dan buatan) akan semakin mantap pula ekosistem tersebut. Kondisi
ekosistem dengan keanekaragamannya yang semakin tinggi akan semakin tahan
17
Hutan Kemasyarakatan
Istilah hutan kemasyarakatan mulai diperbincangkan dalam seminar
PERSAKI pada tahun 1985 dan pola pengembangannya dijabarkan oleh
Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan tahun 1986. Hutan
kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita Kelima (1989/1990 s/d
1993/1994). Dalam dokumen Repelita Kelima disebutkan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahakan agar kawasan hutan
mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya dalam jumlah yang
lebih banyak dan mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau hutan
sosial yang dikembangkan di sekitar desa-desa dan dikelola oleh organisasi sosial
masyarakat secara mandiri (Awang dkk, 2001).
Pengembangan hutan rakyat, hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan
dikaitkan dengan program penyelamatan hutan, tanah dan air. Hal itu berkaitan
dengan adanya masalah-masalah banjir, kekeringan, tanah longsor, tanah kritis,
kebutuhan kayu bakar dan bencana kelaparan. Dengan demikian kegiatan
pengembangan hutan rakyat, hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan berada
di bawah payung program reboisasi, penghijauan, pengendalian perladangan dan
konservasi tanah (Awang dkk, 2001).
Perhutanan Sosial
Istilah perhutanan sosial pertama kali digunakan dalam penyelenggaraan
program oleh Perum Pehutani di Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan
oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di Belangian, Kalaan dan
Dormena, Ormu, dan Parieri Irian Jaya. Semua kegiatan tersebut memperoleh
dukungan dari The Ford Foundation. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di
Jawa merupakan penyempurnaan program-program prosperity approach, yaitu
intensifikasi tumpangsari dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan).
Pada awal perkembangannya oleh Perhutani kegiatan Perhutanan Sosial meliputi
kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan diluar
kawasan hutan yaitu kegiatan pengembangan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan
berbagai usaha produktif seperti perdagangan, industri rumah tangga dan
peternakan. Pengembangan agroforestry merupakan pengembangan pola-pola
tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat bisa memperoleh manfaat lebih
besar. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melebarkan jarak tanam dan
mengembangkan tanaman buah-buahan tahunan seperti srikaya, mangga, jambu,
apokat, di samping tanaman pangan yang sudah biasa ditanam dalam program
tumpangsari (Awang dkk, 2001).
Kelompok Tani Hutan dibangun untuk meningkatkan komunikasi timbal
balik antara petani dan Perhutani sehingga dicapai persamaan persepsi dan
hubungan yang lebih harmonis. Sementara itu pengembangan usaha produktif di
luar kawasan hutan merupakan kelanjutan dari program PMDH. Implementasi
program ini antara lain dalam bentuk pembinaan USKOP (Usaha Kecil dan
Koperasi). Sampai dengan tahun 1996, luas agroforestry program perhutanan
sosial mencapai 54.019 ha dengan jumlah petani peserta 160.336 orang yang
19
Pengertian, Konsepsi dan Penyebaran Hutan Rakyat
Istilah ‘Hutan Rakyat’ merupakan fenomena yang relatif baru untuk
Indonesia. Oleh karena itu dalam UUPK No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Kehutanan, perihal istilah hutan rakyat juga belum dimasukkan secara
proporsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digunakan adalah
hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan (Simon,
1998).
Sementara itu Departemen Kehutanan mendefinisikan bahwa hutan rakyat
adalah : “Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh
pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan
hidup alam hayati beserta lingkungannya” (Dephut, 1998).
Definisi ini sesungguhnya hanyalah untuk membedakan hutan yang
tumbuh di lahan negara dan lahan milik rakyat. Sedangkan menurut Kamus
Kehutanan (1990), hutan rakyat adalah : “Lahan milik rakyat atau milik adat atau
ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis
kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman”.
Pola Hutan Rakyat
Secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang sangat beragam.
Namun demikian sebagian besar hutan rakyat yang ada di lapangan pada
umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yakni campuran antara
tanaman pangan dan tanaman kayu-kayuan. Menurut Munawar (1986), hutan
rakyat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam berdasarkan pola tanam, yaitu :
b. penanaman pohon di teras bangku
c. penanaman pohon di seluruh lahan milik
Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan
tingkat kesuburan lahan dan ketersediaan tenaga kerja. Tujuan pengembangan
pola seperti yang telah disebutkan di atas adalah dalam rangka meningkatkan
produksi lahan secara optimal, baik ditinjau dari nilai ekonomi maupun ekologi.
Sementara itu berdasarkan Rencana Pengembangan Hutan Rakyat yang disusun
oleh Kanwil Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, pola-pola hutan rakyat
meliputi kayu-kayuan, buah-buahan, HMT (Hijauan Makanan Ternak) dan
21
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan April
2008. Lokasi kegiatan penelitian adalah desa Raya Huluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun karena desa ini adalah desa yang memiliki hutan rakyat
yang merupakan salah satu contoh dalam keberhasilan Program Penghijauan
tahun 1975.
Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :
1. Peta wilayah kabupaten dan dokumen lain yang berkaitan dengan
lokasi studi.
2. Kuesioner untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer.
3. Laporan – laporan hasil penelitian (individu dan lembaga) terdahulu
dan berbagai pustaka penunjang sebagai sumber data sekunder untuk
melengkapi pengamatan langsung di lapangan.
4. Tape recorder untuk pengumpulan informasi melalui wawancara dan
kamera untuk dokumentasi dan visualisasi obyek kegiatan guna
kelengkapan pelaporan.
5. Alat inventarisasi hutan (pita ukur, tali rafia, haga, dan tally sheet).
Objek dan Data Kegiatan
Kegiatan ini melibatkan pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan
rakyat di wilayah studi, dengan objek penelitian :
a. Aparat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat pengelola
hutan rakyat
b. Kawasan hutan rakyat, baik pekarangan, kebun, maupun ladang
2. Data Penelitian
Data penelitian yang diambil adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah kondisi umum lokasi penelitian
atau data umum yang ada pada instansi pemerintahan desa dan kecamatan.
Sedangkan data primer yang dikumpulkan antara lain adalah data sosial ekonomi
masyarakat, bentuk pengelolaan dan hasil penelitian yang terkait dengan tujuan
penelitian.
Metode Pengumpulan Data
1. Pengambilan Sampel
1.1. Sampel Desa
Pendekatan yang digunakan dalam menentukan lokasi penelitian adalah
metode purposive sampling (penarikan contoh secara bertujuan), yang mana
dalam hal ini desa yang diambil adalah Desa Raya Huluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun.
1.2. Sampel Responden
Dari 387 Kepala Keluarga seluruh penduduk desa ini, diambil jumlah
responden kasus dalam penelitian ini sebanyak 15 Kepala Keluarga karena saat ini
23
2. Teknik dan Tahapan Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan sebagai berikut :
a. Identifikasi jenis dan inventarisasi tanaman hutan yang dibudidayakan
masyarakat di wilayah studi.
b. Melakukan observasi dan analisis pengelolaan tanaman hutan rakyat yang
ada di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai proses
pengelolaannya.
c. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner terhadap para
pelaku (aktor utama) yang mewakili dan para pihak pemangku
kepentingan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat.
d. Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder selanjutnya diedit dan
ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan
analisis data. Data primer yang bersifat kualitatif dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta dilakukan analisis para
pihak untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan
hutan rakyat. Sedangkan data yang bersifat kuantitatif diolah secara
tabulasi.
Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari responden dilakukan
dengan wawancara dan pengukuran langsung di lapangan. Informasi yang
diperoleh dari setiap responden meliputi :
a. Identifikasi diri responden.
c. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat
atau teknis budidayanya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
dan pemanenan) serta waktu kegiatan tersebut dilakukan.
d. Metode penjualan hasil kayu yang dilakukan petani dan harga jualnya.
e. Potensi tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan yang meliputi jenis,
sebaran diameter, tinggi pohon, luas bidang dasar, dan volume tegakan.
Data potensi tegakan diukur dengan membuat 3 plot contoh berbentuk
lingkaran dengan jari-jari 17,8 meter dan luas masing-masing plot 0,1 ha pada
masing-masing lahan pemilik hutan rakyat (responden). Lalu dihitung jumlah
pohon dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang
pohonnya.
Analisis Data
1. Potensi Tanaman Hutan Rakyat
Penaksiran potensi kayu tanaman hutan rakyat dimulai dengan perhitungan
potensi tanaman hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap sampel responden pada
desa/wilayah kajian. Data dari hasil inventarisasi kayu di tanaman hutan rakyat
kemudian dapat dihitung parameter-parameter tegakannya yang meliputi jenis
pohon, jumlah pohon, luas bidang dasar (lbds), dan volume per satuan luas.
Lbds dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Lbds = 0,25 x π x Di2
Dimana :
25
Di : diameter batang (tinggi pengukuran 1,3 m) untuk pohon jenis i (m)
Penghitungan volume tegakan berdiri tanaman hutan rakyat dapat dihitung
dengan rumus berikut (Widayanti dan Riyanto, 2005) :
Vi = Lbds x ti x fi
Dimana :
Vi : Volume pohon jenis i (m3)
ti : Tinggi total pohon jenis i (m)
fi : Bilangan bentuk pohon i (jati : 0,6 dan jenis lainnya : 0,7)
Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi. Analisa
26
Kondisi Geografis
Desa Raya Huluan atau yang biasa disebut dengan nama lokal adalah
Nagori Raya Huluan yang menjadi lokasi penelitian merupakan salah satu desa
yang terletak di Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera
Utara. Desa ini terletak ± 30 km dari kota Siantar. Kabupaten Simalungun
merupakan kabupaten yang dikelilingi oleh gunung-gunung yaitu di sebelah timur
dikelilingi oleh gunung Simbolon, di sebelah tenggara dikelilingi oleh Bukit
Barisan, di sebelah selatan dikelilingi oleh gunung Simarjarunjung, di sebelah
barat dikelilingi oleh gunung Sipiso-piso dan gunung Sibayak, di sebelah utara
dikelilingi oleh gunung Simasi dan Simeluk, dan di sebelah timur laut dikelilingi
oleh gunung Simarsolpa dan Simarsupit. Sebelah utara Nagori Raya Huluan
berbatasan dengan Kecamatan Purba, di sebelah barat juga berbatasan dengan
Kecamatan Purba, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Dolok Huluan, dan
di sebelah timur berbatasan dengan desa Raya Usang. Luas keseluruhan Nagori
Raya Huluan adalah 1020 ha dan terletak pada ketinggian ± 800 meter diatas
permukaan laut.
27
Topografi wilayah Nagori Raya Huluan adalah dataran
bergelombang/berbukit dengan tingkat kesuburan tanah sedang (tak basah dan tak
kering). Nagori Raya Huluan memiliki kemiringan tanah 15°-45°, pH tanah = 4,5–
6,7 dan tingkat drainase sedang. Desa ini memiliki curah hujan rata-rata 1467,5
mm per tahun dan banyaknya hari hujan tahunan adalah 143 hari (data instansi
pemerintahan desa tahun 2007).
Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk
Tata guna lahan di Nagori Raya Huluan didominasi oleh perladangan,
yaitu tanaman-tanaman pertanian (tanaman pangan semusim) seperti padi,
palawija, jagung, dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu ditanami juga
dengan tanaman kopi dan sebagian besar penduduk di desa ini memiliki kebun
kopi. Selebihnya tata guna lahan di desa ini digunakan untuk pekarangan dan
hutan rakyat. Pekarangan ini biasanya ditanami dengan berbagai komposisi jenis
tanaman, seperti tanaman pangan semusim, kopi, dan sedikit tanaman keras (jati,
dan suren).
Jumlah penduduk Nagori Raya Huluan berdasarkan data terbaru tahun
2007 adalah sebanyak 1575 orang mencakup 387 KK, terdiri dari 778 laki-laki
(49,39%) dan 797 perempuan (50,60 %). Berdasarkan informasi yang sudah
diperoleh mengenai keadaan penduduk, jumlah penduduk Nagori Raya Huluan
untuk usia 10–17 tahun adalah sebanyak 425 orang (27 %), usia 18–35 tahun
sebanyak 155 orang (10 %), usia 36–60 tahun sebanyak 570 orang (36 %), dan
usia 60 tahun ke atas sebanyak 425 orang (27 %). Agama kepercayaan penduduk
sebanyak 378 Kepala Keluarga (97,67 %) dan sisanya adalah pemeluk agama
Islam sebanyak 9 Kepala Keluarga (2,32 %).
Seperti pada umumnya di daerah-daerah pedesaan, warga Nagori Raya
Huluan mayoritas mata pencahariannya adalah bertani, baik sebagai petani
sebanyak 689 orang (95 %) maupun sebagai buruh tani sebanyak 7 orang (1%),
sedangkan petani yang menyewa tanah adalah sebanyak 29 orang (4 %). Tingkat
pendidikan penduduk di Nagori Raya Huluan pada usia produktif (18–35 thn)
sebagian besar adalah tamat SLTA, yaitu sebanyak 58 orang. Selebihnya adalah
tamat SD sebanyak 13 orang, tamat SLTP sebanyak 35 orang, tamat D1 (Diploma
1) sebanyak 15 orang, tamat D2 (Diploma 2) sebanyak 10 orang, tamat D3
(Diploma 3) sebanyak 17 orang, tamat S1 (Strata 1) sebanyak 5 orang, dan tamat
S2 (Strata 2) sebanyak 2 orang.
Kondisi demikian menunjukkan masyarakat di Nagori Raya Huluan ini
berusaha dan berjuang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang
perguruan tinggi atau akademi, minimal sampai ke tingkat Sekolah Lanjutan Atas
(SLTA).
29
Diagram 2. Persentase jumlah penduduk usia produktif (18- 35 thn) berdasarkan tingkat pendidikan
Beberapa sarana dan prasarana umum yang terdapat di Nagori Raya
Huluan antara lain adalah sarana ekonomi seperti 1 unit koperasi yang bernama
C.U. Saroha. Untuk sarana produksi terdiri dari industri kecil kerajinan tangan dan
industri kecil non-kerajinan tangan yang memproduksi podium Gereja dan peti
mati dari bahan-bahan kayu gergajian atau papan.
Gambar 2. Industri Kecil Non-Kerajinan Tangan di Nagori Raya Huluan
Prasarana perhubungan berupa jalan darat atau jalan utama (beraspal)
Huluan–Gotting. Jalan utama ini biasa disebut dengan jalan protokol. Selain itu,
tersedia juga prasarana perhubungan jalan dusun yang menghubungkan dari jalan
protokol ke dusun, seperti misalnya jalan yang menghubungkan dari protokol ke
dusun Huta Bayu (2200 meter), dari protokol ke dusun Jandi Raya (2 km), dari
protokol ke dusun Haban (4 km), dan dari protokol ke dusun Gunung Pane (1
km). Sebagian besar jalan-jalan ini masih jalan berbatu.
Nagori Raya Huluan memiliki sarana perhubungan angkutan darat
misalnya mobil angkutan umum yang memiliki rute perjalanan Siantar–Saribu
Dolok melalui jalan utama. Jalan utama ini merupakan suatu aksesibilitas penting
yang memperlancar kegiatan ekonomi maupun sosial-budaya di Kabupaten
Simalungun, terutama di Nagori Raya Huluan.
Nagori Raya Huluan belum memiliki sarana komunikasi seperti telepon,
telegram, dan kantor pos. Tetapi pada umumnya penduduk di Nagori Raya
Huluan sudah memiliki dan menggunakan telepon genggam (ponsel) pribadi
karena bagi mereka sangat praktis dan cepat sehingga sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan komunikasi mereka. Sarana kesehatan terdiri dari
PUSKESMAS dan POSYANDU, dan sarana ibadah seperti Gereja dan Mesjid
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Hutan Rakyat
Pembuatan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan sudah dimulai sejak tahun
1975. Pada tahun 1975, hutan rakyat di desa ini dimulai karena adanya Program
Inpres Penghijauan dari pemerintah, yaitu berupa pemberian bibit Pinus merkusii
dan bantuan dana untuk pengelolaan kepada petani pemilik lahan. Menurut
Awang (2001), salah satu model pembentuk hutan rakyat berasal dari hasil
kegiatan penghijauan yang dilaksanakan sejak tahun 1970-an, dan sampai
sekarang masih terus berlangsung. Demikian juga halnya dengan hutan rakyat di
Jawa pada tegalan, perkembangannya mulai nampak pada tahun 1970-an. Berarti,
pada tahun 1970-an, secara nasional di seluruh Indonesia dilaksanakan program
penghijauan, dimana dalam Instruksi Presiden No.8 tahun 1978 pengertian
penghijauan adalah penanaman tanaman tahunan atau rumput-rumputan serta
bangunan pencegah erosi di areal yang tidak termasuk areal hutan negara atau
areal lain yang berdasarkan tata guna tanah tidak diperuntukkan sebagai hutan.
Penghijauan itu dilakukan setelah melihat lahan-lahan terlantar dan lahan kritis,
terkhususnya lahan-lahan masyarakat yang berada dengan kemiringan yang cukup
tinggi (45°) sehingga tidak dapat ditanami tanaman-tanaman pangan. Bantuan
berupa bibit dan dana itu selanjutnya dikelola petani. Mulai dari penanaman,
pemeliharaan, pemanenan sampai dengan pemasaran semuanya diserahkan
kepada petani/masyarakat bagaimana untuk mengelola dan melakukan yang
terbaik sehingga kegiatan ini dapat berhasil. Maka dari itu, pola pengembangan
Dengan terlaksananya pembuatan hutan rakyat ini, maka akan memberikan
manfaat yang besar bagi masyarakat pemilik lahan hutan rakyat tersebut. Manfaat
itu antara lain dapat merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas lahan-lahan
kritis/terlantar, memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak
produktif agar berfungsi sebagai lahan produktif, membantu masyarakat dalam
menyediakan kayu bahan bangunan, kayu bakar dan bahan baku industri,
memperbaiki tata air dan lingkungan, mencegah terjadinya banjir dan erosi
permukaan, dan dapat membantu perbaikan pendapatan masyarakat/menambah
kontribusi pendapatan masyarakat pemilik/penggarap hutan rakyat. Hal ini
didukung oleh pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa tujuan
pembangunan hutan rakyat adalah :
6. meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara
optimal dan lestari;
7. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat;
8. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku
industri serta kayu bakar;
9. meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya;
10.memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang
berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan dimulai dengan
kegiatan pendaftaran peserta dan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
27
1. Pendaftaran peserta dan persiapan lahan
Tahap pertama adalah dengan pendaftaran para peserta program
penghijauan/hutan rakyat kepada petugas penyuluh kehutanan (fasilitator). Setelah
semua terdaftar, lalu ditetapkan atau dipilih ketua kelompok tani peserta
penghijauan berdasarkan kesepakatan bersama para peserta. Kemudian daftar
peserta yang diketahui oleh kepala desa dibawa ke Dinas Kehutanan, dan
kesepakatanpun dilakukan. Adapun bentuk kesepakatan atau perjanjian antara
petani dan Dinas Kehutanan adalah dalam bentuk Surat Perjanjian Kerja (SPK).
SPK ini berisi kesepakatan bahwa hasil dari kayu kegiatan penghijauan ini
menjadi hak milik dari yang punya lahan dan lahan yang ditanami ini tetap
menjadi milik petani. SPK ini ditandatangani oleh peserta program penghijauan,
ketua kelompok, kepala desa dan Dinas Kehutanan.
Adapun kewajiban dari para peserta (petani) adalah menanam dan
memelihara bibit Pinus merkusii yang telah diberikan dengan sebaik-sebaiknya.
Kewajiban pemerintah (Dinas Kehutanan) adalah :
• memberikan bantuan berupa bibit pinus dan biaya/dana kepada para peserta
melalui ketua kelompok, dan besarnya dana ini sudah ditentukan oleh Dinas
Kehutanan.
• Dinas Kehutanan berkewajiban mengawasi dan memberikan bimbingan
teknis di lapangan melalui petugas teknis lapangan (penyuluh) bagi para
peserta penghijauan selama kegiatan berlangsung mulai dari pembibitan, cara
pembuatan larikan, jarak tanam, piringan, lubang tanam, dan penanaman.
Setelah SPK selesai diurus, maka dilakukan pengukuran dan pemetaan
yang akan ditanami. Adapun tujuan dari pengukuran lokasi ini adalah untuk
mengetahui batas-batas dari masing-masing pemilik lahan dan memetakannya
sehingga diketahui dengan jelas lokasi yang akan ditanami menjadi hutan rakyat.
Setelah itu, dilakukan pembuatan larikan tanaman sebagai arah acuan
penanaman sesuai dengan garis kontur sekaligus pemasangan ajir dengan jarak
tanam 5 m x 5 m. Kemudian dilakukan pembuatan piringan tanaman dengan
diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan
selama 1-2 minggu dengan tujuan supaya tanahnya gembur.
Kemudian Dinas Kehutanan mengadakan pembibitan pinus di lokasi desa
yang bersangkutan. Dinas Kehutanan melalui petugas teknis lapangan (penyuluh
kehutanan) berperan memberikan bimbingan teknis dan mengawasi pembibitan
ini. Tenaga kerja dalam pembibitan ini adalah penduduk/warga setempat, dan
biasanya juga ada mandor yang mengawasi kegiatan ini. Upah yang diberikan
oleh Dinas Kehutanan kepada para tenaga kerja dalam pembibitan ini sesuai
dengan UMR (Upah Minimum Relatif) pada saat itu.
2. Persemaian
2.1. Pemilihan tempat persemaian
Tempat – tempat persemaian harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Lapangan harus datar dan bila tempatnya miring maka derajat kemiringan
tempat jangan melampaui 5 %.
b. Mudah memperoleh air sepanjang tahun.
c. Sebaiknya iklim dan ketingian tempat dari permukaan laut harus sesuai
29
d. Tanahnya yang subur, tidak liat dan bebas dari batu kerikil.
e. Jangan dipilih tempat penggembalaan atau bekas tanah pertanian/areal
yang telah terjangkit hama/penyakit tanaman.
f. Letak persemaian sebaiknya di tengah-tengah atau dekat dengan lapangan
penanaman.
g. Dipinggir jalan angkutan untuk memudahkan pengangkutan dan
pengawasan.
h. Dekat dengan desa untuk memudahkan mendapat tenaga kerja dan
bahan-bahan yang diperlukan.
2.2. Pembuatan bedeng persemaian
a. Standar bedengan penaburan dan penyapihan adalah 5 x 1 m pada
tempat-tempat yang memungkinkan. Adanya ketentuan ini akan memudahkan
dalam pengaturan pekerjaan dan dalam pengaturan perhitungan banyaknya
bibit. Untuk beberapa jenis tanaman berbiji halus, diperlukan bak–bak
penaburan berukuran 1 x 1 m atau 2 x 1 m.
b. Lapangan untuk keperluan bedengan harus dicangkul dan digebrus
beberapa kali agar tanahnya menjadi halus dan ringan bila perlu tanah
yang lebih halus lagi (untuk bedeng tabur) dapat dilakukan pengayakan
tanah dengan ayakan yang dibuat dari kawat, semua akar-akar atau batu
yang ada didalamnya dibuang.
c. Bentuk bedengan empat persegi panjang dimana pinggirnya diperkuat
dengan bamboo, batu merah, kayu atau bahan lain yang dapat digunakan
d. Permukaan bedengan ditinggikan 10 cm–15 cm sehingga lebih tinggi dari
permukaan tanah.
e. Letak bedengan memanjang ke arah Utara Selatan dan antar jalur
bedengan lainnya harus ada jalan kecil selebar 0,45 m untuk bekerja.
f. Setiap 5–10 m bedengan harus dibuat jalan pemeriksaan selebar 60–100
m.
g. Saluran–saluran air umumnya dibuat sepanjang kanan kiri jalan
pemeriksaan. Pembuatannya harus memudahkan penyaluran air ke setiap
bagian persemaian.
h. Bagi benih yang perkecambahannya membutuhkan naungan, maka
bedengan–bedengan penaburan perlu diberi atap, tiap–tiap atap
menghadap ke arah timur dengan tiang yang tingginya 75 cm dan tiang
yang menghadap ke Barat tingginya 50 cm.
2.3. Pemeliharaan bibit persemaian
Bibit–bibit didalam bedeng sapih harus dipelihara sampai bibit tersebut
siap untuk ditanam di lapangan. Pemeliharaan tersebut meliputi penyiraman,
penyiangan, pemupukan serta pencegahan dan pemberantasan hama/penyakit.
3. Penanaman
Sebelum penanaman dilakukan, adapun kegiatan yang harus dipersiapkan
dahulu di lokasi penanaman adalah pembuatan larikan sesuai garis kontur dan
sekaligus pemasangan ajir. Lalu dilakukan pembuatan piringan tanaman dengan
diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan
31
Pada pelaksanaan pembuatan hutan rakyat, penanamannya dapat
dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan
dikembangkan. Pada umumnya setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan
tumbuh, hal ini tergantung pada kondisi tempat tumbuhnya. Pinus merkusii
merupakan tanaman yang dipilih dalam penghijauan di desa ini dan sangat
mendominasi. Hal ini disebabkan karena pinus merupakan jenis yang sangat
cocok dengan kondisi tempat tumbuh di desa ini dan sangat mudah dalam
pemeliharaannya. Menurut Dinas Kehutanan Simalungun (1997), Pinus merkusii
memiliki persyaratan tumbuh sebagai berikut :
- dapat tumbuh pada ketinggian 200–2000 meter diatas permukaan laut
- tidak meminta persyaratan tempat tumbuh yang tinggi
- Curah Hujan antara 1500 mm–4000 mm / tahun
Kondisi lingkungan di Nagori Raya Huluan sangat sesuai dengan
persyaratan tempat tumbuh pinus ini, sehingga pada umumnya hutan rakyat pada
program penghijauan di Nagori Raya Huluan ini adalah tanaman hutan rakyat
pinus (Pinus merkusii) atau tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman pinus
sehingga menjadi suatu hutan rakyat yang memiliki manfaat yang cukup tinggi,
baik itu manfaat ekonomis (menambah pendapatan petani hutan rakyat, sebagai
bahan bangunan untuk membangun rumah petani, sebagai bahan untuk kayu
pertukangan/industri) maupun manfaat ekologis (mencegah erosi/degradasi
lahan).
Namun demikian, sumber pendapatan para petani ini tidak hanya dari
dan tanaman pangan semusim, (jagung, padi, cabai, kunyit, dll) dan juga berkebun
kopi, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Penanaman pinus dilakukan ke dalam lubang–lubang yang telah dibuat
dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Dengan demikian, maka per hektarnya ada
terdapat 400 batang tanaman pinus dan ini merupakan suatu kebijakan dan
ketetapan dari pemerintah (Dinas Kehutanan). Pada pelaksanaan pembuatan
tanaman, teknik penanaman dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung
dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Menurut Dishut Simalungun (1997),
teknik penanaman pinus dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
3.1. dengan cara puteran
Cara ini dilakukan dengan menanam bibit di lapangan berikut tanah asal dari
pembibitan, akar tidak telanjang. Umumnya semua jenis tanaman dapat dengan
cara puteran.
3.2. dengan bumbung
Cara ini hampir sama dengan puteran, hanya bibit masih dalam bumbung. Pada
waktu menanam hendaknya bumbung dilepas/disobek supaya tidak mengganggu
pertumbuhan selanjutnya, khususnya untuk tanaman berbiji kecil baik dilakukan
dengan cara ini.
4. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi :
4.1. Penyiangan, pendangiran, dan penyulaman.
Penyiangan dan pendangiran adalah upaya untuk membebaskan tanaman
33
pembebasan tanaman dari jenis–jenis pengganggu atau gulma seperti rumput–
rumputan dan semak. Pendangiran adalah upaya penggemburan tanah disekeliling
tanaman dengan maksud memperbaiki kondisi fisik tanah. Penyiangan dilakukan
dengan jarak 50 cm, sedangkan penggemburan tanah minimum jarak 25 cm
disekeliling tanaman agar dapat tumbuh dengan baik. Sedangkan penyulaman
adalah upaya atau usaha penanaman untuk mengganti tanaman yang rusak/mati.
4.2. Pengawasan terhadap api
Pengawasan terhadap timbulnya api merupakan salah satu hal yang paling
penting dalam pemeliharaan pinus karena pinus merupakan tanaman yang sangat
mudah terbakar. Hal ini juga menjadi kewajiban para petani peserta program
penghijauan, jadi sangat diperlukan perhatian dan pengawasan terhadap api.
Kebakaran di hutan pinus bisa dengan mudah terjadi bila kurangnya kesungguhan
perhatian terhadap pohon–pohon pinus dari gangguan api. Gangguan api/titik–titik
api bisa ditimbulkan oleh beberapa hal, misalnya pembakaran ampas–ampas padi
dalam kegiatan–kegiatan pertanian di lembah–lembah atau jurang–jurang yang
lokasinya berdekatan dengan pohon–pohon pinus. Faktor lain yang dapat
menyebabkannya adalah faktor ketidaksengajaan, misalnya puntung–puntung
rokok yang dibuang dengan sembarangan oleh orang–orang yang tidak
bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Selain kegiatan–kegiatan tersebut, tidak
ada lagi kegiatan pemeliharaan yang lain seperti pemupukan, penjarangan maupun
pemberantasan hama penyakit.
Pada umumnya, pinus dapat dipanen pada umur ± 20 tahun. Kayu pinus
ditebang petani hutan rakyat hanya ketika dibutuhkan saja, baik untuk keperluan
membangun rumah/bangunan sendiri maupun untuk dijual guna mendapatkan
uang tunai. Para petani akan memanen atau menjual kayu pinus tersebut di lahan
miliknya masing-masing disaat mereka memang benar-benar membutuhkannya
(untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak). Salah satu kebutuhan yang
mendesak itu adalah keperluan untuk biaya melanjutkan pendidikan/sekolah
anak-anaknya, khususnya ke jenjang perguruan tinggi.
Sistem penebangan di desa ini dilakukan dengan sistem tebang habis.
Biasanya di desa ini, petani menjual kayu pinusnya kepada pembeli (pengusaha)
dalam keadaan pohon berdiri dan diborongkan. Pemanenan kayu gelondongan ini
biasanya dilakukan oleh pembeli, karena mereka telah mempunyai modal dan
peralatan yang lebih memadai seperti gergaji mesin (chain saw) dan sarana
pengangkutan. Sistem pemanenan yang tebang habis menyebabkan banyak
tegakan yang memiliki diameter kurang dari 16 cm (syarat minimal industri
pembeli) ditebang dan tidak bisa dijual sehingga hanya dijadikan kayu bakar.
Sistem penebangan seperti ini juga bisa kita jumpai di hutan rakyat pinus
desa Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara, dimana di desa ini (hasil penelitian
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Aek Nauli tahun 2006) memiliki
sistem penebangan yang sama dengan Nagori Raya Huluan. Hal ini juga bisa kita
bandingkan dengan sistem penebangan kayu hutan rakyat (jati, akasia dan
mahoni) di kawasan pegunungan Kapur Selatan pulau Jawa yang berbeda dengan
di Nagori Raya Huluan. Perbedaannya adalah sistem penebangan hutan rakyat di
35
6. Pemasaran
Kayu yang dijual oleh masyarakat/pemilik hutan rakyat di Nagori Raya
Huluan biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu adalah seseorang
yang profesinya/pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan kayu (dalam hal
ini kayu pinus) dari lahan-lahan petani hutan rakyat kepada pengusaha–pengusaha
pinus rakyat (pembeli kayu), baik pengusaha industri kecil maupun besar untuk
keperluan sumber bahan baku bagi industri–industri tersebut. Agen kayu di
Nagori Raya Huluan dalam hal ini adalah seorang penduduk yang berdomisili di
desa tersebut.
Agen kayu ini memiliki keahlian dalam mencari kayu dan
menaksir/menghitung berapa kira–kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari
suatu lahan hutan rakyat yang benar–benar layak untuk dikomersilkan. Dengan
demikian, agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada
pengusaha kayu pinus rakyat yang sedang mencari kayu pinus, yaitu berapa
jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu.
Agen kayu ini dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu
atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para
pengusaha kayu yang memang benar–benar membutuhkan jasanya. Tentu saja
pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya
nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan
dan negosiasi diantara mereka.
Sistem penjualan kayu pinus di Nagori Raya Huluan ada 2 macam, yaitu :