• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Kereta Api Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Kereta Api Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT KEBISINGAN DENGAN KELUHAN KESEHATAN PADA MASINIS DIPO LOKOMOTIF MEDAN

TAHUN 2011

SKRIPSI

OLEH

071000163

DINA MAYA SARI SIREGAR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN TINGKAT KEBISINGAN DENGAN KELUHAN KESEHATAN PADA MASINIS DIPO LOKOMOTIF MEDAN

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

071000163

DINA MAYA SARI SIREGAR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul

HUBUNGAN TINGKAT KEBISINGAN DENGAN KELUHAN KESEHATAN PADA MASINIS DIPO LOKOMOTIF MEDAN

TAHUN 2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

NIM. 071000163

DINA MAYA SARI SIREGAR

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 24 April 2012

Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

dr. Surya Dharma, MPH

NIP. 195804041987021001 NIP. 196803201993032001 Ir. Evi Naria, MKes

Penguji II Penguji III

Ir. Indra Chahaya, MSi dr. Devi Nuraini Santi, MKes NIP. 196811011993032005 NIP. 197002191998022001

Medan, 26 Januari 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

ABSTRAK

Salah satu jenis transportasi darat yang cukup diminati oleh masyarakat adalah kereta api. Kereta api tidak saja memberi dampak positif, tetapi juga dampak negatif berupa peningkatan kebisingan diakibatkan oleh suara yang dihasilkan alat transportasi tersebut yang berpengaruh langsung terhadap kesehatan kita.

Penelitian ini dilakukan di PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Medan yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kebisingan dengan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini sama dengan jumlah populasi masinis yang bertugas di Dipo Lokomotif Medan, yaitu sebanyak 43 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kabin lokomotif memiliki tingkat kebisingan > 85 dB(A), yaitu sebanyak 39 kabin (90,7%). Berdasarkan keluhan kesehatan, pada umumnya masinis Dipo Lokomotif Medan mengalami keluhan kesehatan berupa telinga berdenging, pusing, mual, kesemutan, otot leher terasa tegang, dan kenaikan tekanan darah, yaitu sebanyak 40 orang (93,0%). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna pada variabel tingkat kebisingan dan masa kerja dengan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011. Sedangkan variabel umur dan lama pemaparan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan kepada PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Medan memperbaiki alat-alat peredam kebisingan di dalam lokomotif kereta api, menyediakan alat pelindung telinga yang dapat dikombinasikan sebagai alat komunikasi, serta melakukan Program Konversi Pendengaran pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

(5)

ABSTRAC

One type of land transport is sufficient demand by the public railway. Train not only a positive impact, but also the negative impact of increased noise caused by the sound produced by the means of transport which directly affects our health.

The research was conducted at PT Railways (Persero) Regional Division I Medan that aims to determine the noise level relationships with the health complaints at the Medan machinist Locomotive Dipo in 2011.

Types of research used in this study is a survey of cross sectional analytic approach. Samples in this study with a population of machinist who served in Locomotive Dipo of Medan, as many as 43 people.

The results showed that in general the locomotive cabin noise levels > 85 dB(A), as many as 38 cabin (90,7%). Based on the health complaints, in general machinist Locomotive Dipo of Medan experienced health complains of tinnitus, dizziness, nause, tingling, tense neck muscles, and incerases in blood pressure, as many as 40 people (93%). Results of bivariate analysis showed a significant relationship to the variable level of noise and years of service with health complains locomotive Dipo of Medan in 2011. While the variable age and duration of exposure showed no significant association with health complains in the machinist locomotive Dipo of Medan in 2011.

Based on the results of the study are expected to PT Railways (Persero) Regional Division I Medan to reduce noise in the cabin of a locomotive with improve the noise damper devices in railway locomotives, provide ear plugs that can be combined as a communication tool, and do conversion of Hearing Program in the Locomotive Dipo machinist Medan.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hj. Dina Maya Sari Siregar

Tempat/ Tanggal Lahir : Rantauprapat, 08 Desember 1988

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Saudara : 2 (dua) orang

Alamat : Jl. Perumnas Kampung Baru No.28 Rantauprapat, Labuhan Batu Pusat

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri 112140 Rantauprapat Labuhan Batu Pusat, Tamat 2001. 2. SLTP Negeri 2 Rantauprapat Labuhan Batu Pusat, Tamat 2004. 3. SMA Negeri 3 Plus Rantau Utara Labuhan Batu Pusat , Tamat 2007. 4. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU, Tamat 2012.

Riwayat Organisasi

1. Ketua Zahra Ukhuwah Centre SMA Negeri 3 Plus Rantau Utara, Tahun 2006. 2. Bendahara Forum Kerohanian Islam Labuhan Batu (FORLAB), Tahun 2006. 3. Anggota Kaderisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU,

Tahun 2008.

(7)

5. Ketua Lembaga Jurnalistik Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU Tahun 2010.

6. Sekretaris Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU, Tahun 2011.

7. Dewan Badan Pengembangan Organisasi Himpunan Mahasiswa Labuhan Batu

(HIMLAB), Tahun 2011-2012.

8. Dewan Penasehat Lembaga Jurnalistik dan Kesekretariatan UKMI Ad-Dakwah

USU, Tahun 2012-2013. Riwayat Pekerjaan

1. Manajer dan Distributor Herba Penawar Al-Wahida (HPA), 2009 s.d. sekarang. 2. Instruktur Dakwah Training Centre (DTC) UKMI Ad-Dakwah USU, Tahun

(8)

KATA PENGANTAR

Ba’da tahmid dan sholawat, tiada ungkapan seindah untaian segala puji bagi Allah Rabbul`Alamin bersama iringan salam kepada Rasulullah SAW yang telah membawa pesan untuk kesempurnaan akhlak manusia di masa lalu, kini, dan yang akan datang.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Kereta Api Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011.”

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan FKM-USU, dan sekaligus sebagai dosen pembimbing II.

3. Bapak dr. Surya Dharma, MPH, selaku dosen pembimbing I.

4. Bapak Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik.

5. Bapak Kiki Rudiana, selaku Manajer SDM dan Umum PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara.

6. Seluruh Masinis kereta api Dipo Lokomotif Medan, J.M Inspector Operasi, dan

(9)

7. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Kesehatan Lingkungan.

8. Kedua orangtua, H. Edi Ranto Siregar dan Hj. Nurdiana, Amd yang selalu mendukung dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Kedua adikku, Desi Irasari Siregar dan Muhammad Iqbal yang turut mendukung

dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Almarhum abang tercinta, Rudi Hansari Siregar, terima kasih untuk kehadiran

singkatnya di kehidupan penulis.

11. Keluarga Besar DW, UKMI Ad-Dakwah USU, SPSS 17, serta UKMI FKM USU yang senantiasa memotivasi dan melangkah bersama satu tujuan hingga ke surga-Nya.

12. Sahabatku Tetty Zuriah Lubis, Feby Mayrizka, dan Ikan yang turut mendukung,

memotivasi, dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Adik-adik FKM USU, Sri Lestari, Yolanda Sivia Dhani, Suryati, Nura Miftah Al-Amri, Sri Erlina, Rahmi Fitri Laoli, Winni R.E. Tumanggor, Nur Hapni Nst, Isnatur Rahmi, Shafratul Husna, Defi Wahyuningsih, Suliyanti, Siti Khodijah, Humaira Anggie Nauli, Syafrina Ulfah, Sri Rezeki Hasanah yang turut mengingatkan akan arti sebuah perjuangan.

(10)

Lailan Sahrina, Zul Husni Siregar, dan Khodri Ibrahim Nst yang turut memotivasi, dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.

15. Tim Terjun KA Ha-Ndut, Sri Zhaw, Sikho, Angkatan 07, dan Nura yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Dengan segala keterbatasan kemampuan penulis dirasakan masih banyak ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan serta saran yang konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis, peneliti selanjutnya, ataupun pembaca pada umumnya.

Medan, April 2012 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

2.1.3. Jenis-Jenis Kebisingan ... 9

2.1.4. Sumber-Sumber Kebisingan ... 10

2.1.5. Pengukuran Dan Penilaian Kebisingan ... 11

2.1.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan ... 12

2.1.7. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan ... 13

2.1.7.1. Gangguan Auditori ... 14

2.1.7.2. Gangguan Nonauditori ... 19

2.1.8. Pengendalian Kebisingan ... 20

2.1.9. Peraturan Perundang-Undangan ... 27

2.2. Pendengaran Manusia ... 27

2.2.1. Anatomi Organ Pendengaran Manusia ... 27

2.2.2. Fisiologi Pendengaran Manusia ... 29

2.2.3. Cara Pemeriksaan Pendengaran... 30

2.3. Jenis-Jenis Lokomotif Kereta Api ... 31

(12)

3.3.2. Sampel ... 36

3.6.2. Karakteristik Responden ... 38

3.6.3. Keluhan Kesehatan ... 39

3.7. Prosedur Pengukuran Tingkat Kebisingan ... 40

3.8. Pengolahan Data ... 42

3.9. Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 44

4.1. Sejarah Perkeretaapian ... 44

4.1.1. Sejarah Perkeretaapian Indonesia ... 44

4.1.2. Sejarah Perkerataapian di Sumatera Utara ... 46

4.1.3. Visi dan Misi ... 48

4.1.4. Logo PT Kereta Api Indonesia (Persero) ... 48

4.2. Analisis Univariat Penelitian ... 49

4.2.1. Karakteristik Responden ... 49

4.2.2. Gambaran Tingkat Kebisingan ... 50

4.2.3. Keluhan Kesehatan Responden ... 51

4.3. Analisis Bivariat Penelitian ... 52

4.3.1. Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan ... 52

4.3.2. Hubungan Karakteristik Responden Dengan Keluhan Kesehatan ... 53

BAB V PEMBAHASAN ... 56

5.1. Karakteristik Responden ... 56

5.2. Gambaran Tingkat Kebisingan ... 57

5.3. Keluhan Kesehatan Responden ... 60

5.4. Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan ... 61

5.5. Hubungan Karakteristik Responden Dengan Keluhan Kesehatan64 5.5.1. Hubungan Umur Dengan Keluhan Kesehatan... 64

5.5.2. Hubungan Lama Pemaparan Dengan Keluhan Kesehatan65 5.5.3. Hubungan Masa Kerja Dengan Keluhan Kesehatan ... 66

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

6.1. Kesimpulan ... 68

6.2. Saran ... 69

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. NAB Bising Menurut Kepmenaker No.51 Tahun 1999 ... 13 Tabel 2.2. Pedoman Dalam Pemilihan APT ... 25 Tabel 3.1. Aspek Pengukuran ... 40 Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Masinis Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 49 Tabel 4.2 Distribusi Tingkat Kebisingan Pada Kabin Lokomotif Kereta Api Medan Tahun 2011 ... 50 Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Kesehatan Pada Masinis

Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 51 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Keluhan Kesehatan Pada

Masinis Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 52 Tabel 4.5. Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 52 TAbel 4.6. Hubungan Umur Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Dipo

Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 53 Tabel 4.7. Hubungan Lama Pemaparan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis

Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011 ... 54 Tabel 4.8. Hubungan Masa Kerja Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Dipo

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Fisiologi Telinga ... 29

Gambar 2.2. Jenis Sumbu Roda Lokomotif ... 33

Gambar 4.1. Lima Nilai Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) ... 47

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Suvei Pendahuluan Dari Fakultas Kesehatan Masyrakat Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3. Surat Izin Riset Dari PT Kereta Api (Persero) Divre I Sumatera Utara

Lampiran 4. Kuesioner Penelitian

Lampiran 5. Data Hasil Pengukuran Kebisingan Dan Wawancara

Lampiran 6. Hasil-Hasil Pengolahan Statistik

Lampiran 7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Lingkungan Kerja

(16)

ABSTRAK

Salah satu jenis transportasi darat yang cukup diminati oleh masyarakat adalah kereta api. Kereta api tidak saja memberi dampak positif, tetapi juga dampak negatif berupa peningkatan kebisingan diakibatkan oleh suara yang dihasilkan alat transportasi tersebut yang berpengaruh langsung terhadap kesehatan kita.

Penelitian ini dilakukan di PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Medan yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kebisingan dengan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini sama dengan jumlah populasi masinis yang bertugas di Dipo Lokomotif Medan, yaitu sebanyak 43 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kabin lokomotif memiliki tingkat kebisingan > 85 dB(A), yaitu sebanyak 39 kabin (90,7%). Berdasarkan keluhan kesehatan, pada umumnya masinis Dipo Lokomotif Medan mengalami keluhan kesehatan berupa telinga berdenging, pusing, mual, kesemutan, otot leher terasa tegang, dan kenaikan tekanan darah, yaitu sebanyak 40 orang (93,0%). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna pada variabel tingkat kebisingan dan masa kerja dengan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011. Sedangkan variabel umur dan lama pemaparan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan tahun 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan kepada PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Medan memperbaiki alat-alat peredam kebisingan di dalam lokomotif kereta api, menyediakan alat pelindung telinga yang dapat dikombinasikan sebagai alat komunikasi, serta melakukan Program Konversi Pendengaran pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

(17)

ABSTRAC

One type of land transport is sufficient demand by the public railway. Train not only a positive impact, but also the negative impact of increased noise caused by the sound produced by the means of transport which directly affects our health.

The research was conducted at PT Railways (Persero) Regional Division I Medan that aims to determine the noise level relationships with the health complaints at the Medan machinist Locomotive Dipo in 2011.

Types of research used in this study is a survey of cross sectional analytic approach. Samples in this study with a population of machinist who served in Locomotive Dipo of Medan, as many as 43 people.

The results showed that in general the locomotive cabin noise levels > 85 dB(A), as many as 38 cabin (90,7%). Based on the health complaints, in general machinist Locomotive Dipo of Medan experienced health complains of tinnitus, dizziness, nause, tingling, tense neck muscles, and incerases in blood pressure, as many as 40 people (93%). Results of bivariate analysis showed a significant relationship to the variable level of noise and years of service with health complains locomotive Dipo of Medan in 2011. While the variable age and duration of exposure showed no significant association with health complains in the machinist locomotive Dipo of Medan in 2011.

Based on the results of the study are expected to PT Railways (Persero) Regional Division I Medan to reduce noise in the cabin of a locomotive with improve the noise damper devices in railway locomotives, provide ear plugs that can be combined as a communication tool, and do conversion of Hearing Program in the Locomotive Dipo machinist Medan.

(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (UUD RI No.36, 2009). Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal diselenggarakan upaya-upaya kesehatan, salah satu diantaranya adalah upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat serta bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya kebisingan yang melebihi nilai ambang batas.

Salah satu jenis transportasi darat yang cukup diminati oleh masyarakat adalah kereta api. Kereta api sebagai salah satu jenis transportasi darat yang berdampak positif pada masyarakat dengan multi keunggulan komparatif seperti hemat lahan dan energi, rendah polusi, bersifat massal, adaptif dengan perubahan teknologi,

(19)

mengantarkan penumpang dan barang dengan cepat juga memberikan dampak negatif berupa polusi suara (kebisingan) (Purnomohadi, 2001).

Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan yang penting (Slamet, 2006). Bising dapat berasal dari bunyi atau suara yang merupakan aktivitas alam seperti bicara, pidato, tertawa dan lain-lain. Bising juga dapat berasal dari bunyi atau suara buatan manusia seperti bunyi mesin kendaraan dan mesin-mesin yang ada di pabrik. Untuk menilai bunyi sebagai bising sangatlah relatif. Misalnya musik di tempat-tempat diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi tempat itu tidaklah merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orang-orang yang tidak pernah berkunjung di tempat diskotik akan merasa suatu kebisingan yang mengganggu.

(20)

mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku permukiman, ketidaknyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia bahwa kebisingan dengan intensitas di atas 85 dB(A) menyebabkan terjadinya gangguan-gangguan kesehatan pada tenaga kerja yang bekerja di lingkungan bising tersebut, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Srisantyorini (2002) bahwa tenaga kerja pada PT.

Friesche Vlag Jakarta Timur dengan tingkat kebisingan 74,6-100,6 dB(A). Dari 154 tenaga kerja diperoleh 63% mengalami gangguan komunikasi, 51,9% mengalami gangguan kenyamanan, 57% mengalami gangguan aktivitas, dan 33,1% mengalami gangguan konsentrasi.

Bey (1997) telah meneliti di kilang minyak Pertamina wilayah II Dumai yang mempunyai tingkat kebisingan 95-110 dB(A). Dari 147 tenaga kerja yang diperiksa didapatkan 32,65% masih normal pendengarannya, 36,05% mengalami penurunan pendengaran tingkat ringan, 19,05% mengalami penurunan pendengaran tingkat sedang dan 12,15% mengalami gangguan pendengaran tingkat berat.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui berapa tingkat kebisingan di kabin kerja masinis kereta api dan keluhan kesehatan yang dirasakan oleh masinis Dipo Lokomotif Medan.

(21)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas diketahui bahwa kabin lokomotif kereta api merupakan tempat yang berisiko terhadap terjadinya polusi suara (kebisingan). Kondisi lingkungan kerja yang bising ini berasal dari mesin kereta api, interaksi antara roda kereta dan rel, klakson dan rem kereta yang mereka jalankan, serta suara bising dari luar lokomotif. Keterpaparan terhadap kebisingan yang melebihi nilai ambang batas pada kurun waktu yang cukup lama dapat memicu timbulnya keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan. Untuk itu perlu diketahui tingkat kebisingan pada kabin lokomotif kereta api dan keluhan kesehatan masinis Dipo Lokomotif Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat kebisingan dengan keluhan kesehatan pada masinis kereta api Dipo Lokomotif Medan tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik masinis Dipo Lokomotif Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat kebisingan di kabin kerja masinis Dipo

Lokomotif Medan.

3. Untuk mengetahui keluhan kesehatan yang terjadi pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

(22)

5. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi masinis Dipo Lokomotif Medan sebagai bahan informasi mengenai kebisingan dan akibat yang ditimbulkannya.

2. Bagi Fakultas sebagai bahan bacaan dan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

3. Bagi pihak PT Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara sebagai bahan masukan dalam melakukan upaya pengendalian lingkungan, keselamatan, dan kesehatan kerja karyawan.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan

2.1.1. Definisi Bunyi

Bunyi didefinisikan sebagai gelombang yang bergerak di udara atau sesuatu yang merangsang mekanisme pendengaran kemudian menghasilkan suara. Menurut Husein (2009) suara dapat didengar karena adanya medium yaitu udara, partikel udara berpindah dari kedudukan semula, karena adanya gaya elastis udara maka partikel udara tersebut kembali lagi ke kedudukan semula. Partikel udara yang bergerak ini menggerakkan partikel yang berada disebelahnya dan seterusnya.

Suma’mur (2009) mengemukakan bahwa bunyi didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga melalui gelombang longitudinal yang timbul dari getaran sumber bunyi dan manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kualitasnya terutama ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya.

Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang sampai di telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi getaran sumber bunyi (Suma’mur, 2009).

(24)

1. Infrasonic, bila suara dengan gelombang antara 0 - 16 Hz. Infrasonic tidak dapat didengar oleh telinga manusia karena biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah dan bangunan. Frekuensi <16 Hz akan mengakibatkan perasaan kurang nyaman, lesu dan kadang - kadang perubahan penglihatan.

2. Sonic, bila gelombang suara antara 16-20.000 Hz, merupakan frekuensi yang

dapat ditangkap oleh telinga manusia.

3. Ultrasonic, bila gelombang >20.000 Hz. Frekuensi di atas 20.000 Hz sering

digunakan dalam bidang kedokteran, seperti untuk penghancuran batu ginjal, pembedahan katarak karena dengan frekuensi yang tinggi bunyi mempunyai daya tembus jaringan cukup besar.

2.1.2. Definisi Kebisingan

Kebisingan atau noise pollution sering disebut sebagai suara atau bunyi yang tidak dikehendaki atau dapat diartikan pula sebagai suara yang salah pada tempat dan waktu yang salah (Chandra, 2007).

Definisi lain adalah semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan atau belajar) (Doelle, 2006).

Sedangkan definisi kebisingan menurut Depnaker (1999) adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

(25)

WHO (1993) menyebutkan bahwa bahaya bising dihubungkan dengan beberapa faktor, yaitu :

1. Intensitas

Intensitas bunyi yang ditangkap oleh telinga berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Tingkat tekanan bunyi diukur dengan skala logaritma dalam desibel (dB). 2. Frekuensi

Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak antara 20-20000 Hz. Frekuensi bicara terletak pada rentang 500-2000 Hz. Bunyi dengan frekuensi tinggi merupakan bunyi yang paling berbahaya.

3. Durasi

Efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya pajanan dan terlihat berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam. Jadi perlu untuk mengukur semua elemen lingkungan akustik meskipun sulit untuk melaksanakannya. Untuk tujuan ini digunakan pengukur bising yang dapat merekam dan memadukan bunyi.

4. Sifat

(26)

2.1.3. Jenis-Jenis Kebisingan

Kebisingan sangat beragam jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria. Berikut ini akan dipaparkan jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja, yang dikelompokkan berdasarkan sifatnya menurut Roestam (2004) :

1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Contoh dari jenis bising ini adalah bunyi kipas angin dan suara di dalam kokpit pesawat helikopter.

2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit

Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Contoh bising jenis ini adalah suara gergaji sirkuler dan suara katup gas.

3. Bising terputus-putus (intermitten)

Bising ini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya adalah suara lalu lintas dan kebisingan di lapangan terbang.

4. Bising impulsif

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contohnya adalah suara tembakan atau suara ledakan bom.

5. Bising impulsif berulang

(27)

Sementara itu, Buchari (2008) mengelompokkan bising menurut pengaruhnya terhadap manusia, yaitu :

1. Bising yang mengganggu (irritating noise)

Bising jenis ini memiliki intensitas yang tidak terlalu keras. Contohnya adalah suara orang mendengkur.

2. Bising yang menutupi (masking noise)

Masking noice merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain. 3. Bising yang merusak (damaging/injurious noise)

Damaging noise adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

2.1.4. Sumber-Sumber Bising

Sumber bising adalah sumber bunyi yang kehadirannya dianggap menganggu pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat transportasi, dan kegiatan rumah tangga. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam dua kelompok : 1. Bising interior yang berasal dari manusia seperti alat-alat rumah tangga, mesin

gudang dan aktivitas di dalam ruangan atau gedung.

(28)

industri-industri, pembangunan gedung-gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lainnya (Doelle, 1993).

2.1.5. Pengukuran dan Penilaian Kebisingan

Pengukuran kebisingan adalah memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di perusahaan atau di mana saja serta menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja atau perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan, ketenangan dalam kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya (Suma’mur, 2009).

Benjamin (2005) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil pengukuran tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus. Dua perangkat keras yang populer digunakan untuk menganalisis tingkat kebisingan pada berbagai jenis industri, lalu lintas dan ilmiah adalah Sound Level Meter dan Noise Dosimeter. Alat utama untuk mengukur tingkat kebisingan adalah Sound Level Meter.

Sound Level Meter adalah alat utama yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan dalam desibel (

Sound Level Meter dibuat berdasarkan standar ANSI (American National Standard Institute) tahun 1977 yang dilengkapi dengan tiga skala pengukuran frekuensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekuensi bising tersebut. Berikut tiga skala pengukuran untuk Sound Level Meter, yaitu :

(29)

a. Skala pengukuran A

Untuk memperlihatkan perbedaan kepekaan yang besar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi telinga untuk intensitas rendah (35-135 dB)

b. Skala pengukuran B

Untuk memperlihatkan kepekaan telinga untuk bunyi dengan intensitas sedang (40-135 dB)

c. Skala pengukuran C

Untuk bunyi dengan intensitas tinggi (45-135 dB)

(Himpunan Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja, 1984) 2.1.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Kepmenaker No. 51 Tahun 1999).

(30)

Tabel 2.1. Nilai Ambang Batas Bising Menurut Kepmenaker No.51 Tahun 1999 Satuan Waktu Lama Pemajanan Per Hari Tingkat Kebisingan (dBA)

Jam

Sumber : Kepmenaker No. 51 Tahun 1999

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan yang diperkenankan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 Tahun 1999 adalah 85 dB dengan waktu maksimum 8 jam perhari. Dan apabila pemaparan bising secara terus-menerus di tempat kerja 85 dB maka akan menimbulkan berbagai keluhan kesehatan dan gangguan pendengaran.

2.1.7. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan

(31)

fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi, ancaman bahaya keselamatan, performa kerja menurun, kelelahan, dan stres).

ILO (1996) mengemukakan suatu metode sederhana untuk menganalisis pajanan kebisingan. Caranya adalah dengan berdiri pada jarak selebar bahu dari pekerja. Jika analisis tidak dapat berbicara pada tingkat suara normal (normal tone)

dan harus berteriak untuk dapat berkomunikasi dengan pekerja, berarti tingkat kebisingan sudah terlalu tinggi dan harus dikurangi.

Jika kebisingan sudah seperti kondisi itu, maka akan menimbulkan gangguan pada pekerja yang ada pada tempat kerja tersebut. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai beberapa gangguan yang terjadi akibat kebisingan.

2.1.7.1. Gangguan Auditori (Gangguan Pendengaran)

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan yang paling serius terjadi adalah gangguan terhadap pendengaran, karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara, tetapi bila bekerja terus-menerus di tempat bising maka daya dengar pekerja akan hilang secara menetap atau tuli. Berikut ini akan dipaparkan mengenai beberapa gangguan pendengaran, yaitu :

1. Tinitus

(32)

sebagian besar kasus, gangguan ini merupakan sesuatu yang normal tidak ada yang perlu di khawatirkan (Surodjo, 2008).

Tinitus dapat dibagi atas tinitus obyektif, bila suara tersebut dapat didengar juga oleh pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinitus bersifat subyektif bila suara tersebut hanya didengar oleh responden sendiri, jenis ini sering terjadi (Arsyad, 2007).

2. Tuli

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan yang paling serius terjadi adalah gangguan terhadap pendengaran, karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara, tetapi bila bekerja terus-menerus di temapat bising tersebut maka daya dengar pekerja akan hilang secara menetap atau tuli (Soetirto, 1997).

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara dan fungsi sosial. Gangguan dalam frekuensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan konsonan. Menurut Iskandar (1996), gejala dan tanda tuli akibat bising adalah :

(33)

b. Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural bilateral yang permanen, biasanya derajat ketuliannya sama pada telinga kanan dan kiri. Terjadinya setelah terpapar oleh bising selama bertahun-tahun.

Tuli dibagi atas tuli koduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) dan tuli campuran (mixed deafness).

a. Tuli Konduktif

Tuli konduktif adalah gangguan hantaran suara yang disebabkan karena adanya masalah di telinga bagian luar mapun di telinga bagian dalam. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh karena adanya kotoran dalam liang telinga atau karena perfarasi membrane simfoni, blokade/penyumbatan tuba estachius, terputusnya hubungan rantai assiculun yang disebabkan suatu trauma ataupun penyakit atau dapat pula disebabkan karena infeksi dari cairan telinga tengah sehingga bagian dasar stapedius menjadi infeksi/kaku (Arsyad, 2007).

b. Tuli Sensorineural

Tuli sensorineural adalah gangguan yang disebabkan adanya masalah di telinga bagian dalam (koklea) atau di pusat pendengaran. Tuli jenis ini dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.

(34)

rambut dalam organ corti. Keadaan ini dapat makin diperberat oleh adanya kerusakan sel-sel spiral ganglion dan serabut-serabut syaraf penifer pendengar.

Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons sereblum, kieloma multipel, cedera otak, perdarahan dan kelainan otak lainnya.

c. Tuli Campuran

Tuli campuran adalah gangguan telinga yang merupakan kombinasi dari tuli konduktif dengan tuli sensorineural. Misalnya, radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, tumor nervus VII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah.

ISO mengklasifikasikan ketulian menjadi beberapa derajat (berdasarkan batas ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri), yaitu :

a. Normal, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar antara 0-25 dB

b. Tuli ringan, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar antara 0-25 dB

c. Tuli sedang, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar antara 41-60 dB

d. Tuli berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar

antara 61-90 dB

(35)

3. Vertigo

Vertigo adalah keluhan rasa pusing berputar adaan pusing yang dirasakan luar biasa. Seseorang yang menderita vertigo merasakan seolah-olah bergerak atau berputar atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan muntah bahkan penderita merasa tak mampu berdiri dan kadang terjatuh. Ini dikarenakan adanya gangguan keseimbangan yang berpusat di area labirin atau rumah siput di daerah telinga (Arsyad, 2007).

Penyebab vertigo adalah bukan karena faktor keturunan, namun karena adanya gangguan pada sistem vestibular perifer (ganguan pada telinga bagian dalam) yang dapat muncul sebagai akibat dari gangguan sistem vestibular sentral (saraf vestibular, batang otak, dan otal kecil). Gangguan vestibular perifer meliputi Benign Paroksimal Positional Vertigo

Gejala yang dikeluhkan biasanya datang secara tiba-tiba pada perubahan posisi kepala atau anggota tubuh lainnya yang dapat menimbulkan keluhan vertigo.

yang merupakan gangguan keseimbangan yang sering dijumpai.

4. Otalgia

Otalgia adalah keluhan nyeri dalam telinga yang perlu ditanyakan apakah terjadi pada telinga kiri atau kanan. Nyeri telinga (reffered pain) dapat disebabkan rasa nyeri di gigi molar atas, sendi mulut, dasar mulut, tonsil atau tulang servikal karena telinga dipersarafi oleh saraf sensori yang berasal dari organ–organ tersebut (Arsyad, 2007). 5. Otore

(36)

dari telinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom, bila bercampur darah dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor dan bila cairan yang keluar seperti air jernih, dicurigai adanya cairan likuor serebrospinal (Arsyad, 2007).

2.1.7.2. Gangguan Nonauditori

Gangguan nonauditori dapat disebut juga keluhan yang dirasakan oleh seseorang (keluhan subyektif) (Siswanto, 1992).

1. Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat kebisingan. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, pembicara terpaksa berteriak-teriak selain memerlukan ekstra tenaga juga menambah kebisingan. Misalnya, naiknya tekanan darah, nadi menjadi cepat, vasokontriksi pembuluh darah (semutan), mempengaruhi keseimbangan, sakit kepala (pusing), perasaan mual, otot leher terasa tegang atau metabolisme tubuh meningkat (Buchari, 2007).

Selain itu, menurut Suma’mur (1996) kebisingan juga dapat menurunkan kinerja otot yaitu berkurangnya kemampuan otot untuk melakukan kontraksi dan relaksasi, berkurangnya kemampuan otot tersebut menunjukkan terjadi kelelahan pada otot. 2. Gangguan Psikologis

(37)

Pemaparan jangka waktu lama juga dapat menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan lainnya.

Eksposur terhadap kebisingan yang berlebihan dapat menimbulkan pengaruh pada perilaku seperti kehilangan konsentrasi, kehilangan keseimbangan dan disorientasi (berkaitan dengan pengaruh kebisingan pada cairan di dalam saluran semisirkular telinga dalam) dan juga kelelahan (John Ridley, 2003).

3. Gangguan Komunikasi

Kebisingan berpengaruh pada komunikasi dengan pembicaraan. Risiko potensial pada pendengaran terjadi, apabila komunikasi dengan pembicaraan harus dilakukan secara berteriak. Gangguan komunikasi semacam itu dapat menyebabkan gangguan pada pekerjaan atau bahkan mengakibatkan kesalahan dan kecelakaan kerja terutama pada pekerja baru (Chandra, 2007).

2.1.8. Pengendalian Kebisingan

Upaya untuk mengendalikan kebisingan di tempat kerja biasa disebut sebagai Program Konservasi Pendengaran (Hearing Cnservation Program/HCP). Program Konservasi Pendengaran merupakan rangkaian kegiatan yang sistematik dan bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian pada pekerja yang terpapar kebisingan tinggi. Kebisingan yang tinggi diartikan berada di atas 85 dB(A) (merupakan nilai ambang batas kebisingan seperti yang tertera dalam Kepmenaker No.51 tahun 1999), dimana ditetapkan untuk pemaparan 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.

(38)

keseluruhan, ada 8 elemen yang terdapat dalam program konservasi pendengaran. Sesuai dengan Pedoman Program Konservasi Pendengaran di tempat kerja yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan (2006), ke delapan elemen tersebut adalah :

1. Monitoring pajanan bising (Noise Survey/Monitoring)

Monitoring pajanan bising ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :

a. Memperoleh informasi spesifik mengenai tingkat kebisingan yang ada pada

setiap tempat kerja

b. Menetapkan control bising (teknis maupun administratif)

c. Menetapkan tempat-tempat yang akan diharuskan menggunakan alat

pelindung diri

d. Menetapkan pekerja yang harus menjalani pemeriksaan audiometri secara

periodik

e. Menilai apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku

Dalam melakukan survei dan monitoring kebisingan, beberapa jenis survei yang dapat dilakukan :

a. Survei Kebisingan Dasar

(39)

b. Survei Kebisingan Detail

Survei detail dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) untuk menetapkan tingkat pemaparan rerata berbobot (TLV-TWA). Peralatan lainyang dapat digunakan pada survei kebisingan ini adalah

Octave Band Analyzer dan Noise Dosimeter.

Survei kebisingan harus dapat memberikan gambaran kebisingan (noise map) pada seluruh lokasi kerja. Noise map menggambarkan lantai kerja dimana dapat diketahui pembagian lokasi kerja berdasarkan kriteria keanggotaan program konservasi pendengaran dan prioritas pemakaian alat pelindung telinga (APT). Ringkasan tertulis hasil survei kebisingan harus disampaikan kepada pimpinan perusahaan dan kepala departemen terkait. Sementara hasil pengukuran dari tiap lokasi kerja harus diberitahukan kepada pekerja pada saat pelatihan dan juga diinformasikan melalui papan pengumuman atau di ruangan kerja.

2. Pengendalian secara Teknik

Kebisingan yang tinggi harus dikendalikan dengan meredam berbagai peralatan yang bising sehingga menurunkan pemaparan pada pekerja. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam mengendalikan sumber bising antara lain desain akustik, substitusi peralatan dengn peralatan lain yang memiliki tingkat kebisingan lebih rendah, serta mengganti atau memodifikasi proses produksi (Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan, 2006).

(40)

a. Pemeliharaan mesin (maintenance), yaitu mengganti, mengencangkan bagian mesin yang longgar, memberi pelumas secara teratur, dan lain-lain

b. Mengurangi getaran dengan cara mengurangi tenaga mesin, kecepatan putaran atau isolasi

c. Mengurangi transmisi bising yang dihasilkan benda padat dengan

menggunakan lantai berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit-langit kerja

d. Mengurangi turbulensi udara dan mengurangi tekanan udara

e. Melakukan isolasi operator ke dalam ruang yang relatif kedap suara 3. Pengendalian Administratif

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan menyangkut dua elemen, yaitu lama pemajanan dan intensitas kebisingan. Oleh karena itu, waktu kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga intensitas kebisingan yang diterima oleh pekerja tidak melebihi Nilai Ambang Batas. Selain pengaturan jam kerja, beberapa hal lain yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengendalian administratif adalam mengukur jarak pekerja dan menutup sumber bising (Direktorat Bina Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006).

4. Pengendalian Perorangan

(41)

a. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector)

Alat ini dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani dan dapat mengurangi bising sampai dengan 30 dB. Sumbat telinga memiliki beberapa tipe, yaitu formable type, custom molded type, dan premolded type.

b. Tutup telinga (earmuff/insert device/aural insert protector)

Earmuff dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan digunakan untuk mengurangi bising sebesar 40-50 dB.

c. Helmet atau enclosure

APT jenis ini dapat menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi bising maksimum 35 dBA pada 250 Hz dan 50 dBA pada frekuensi tinggi.

Penggunaan alat pelindung telinga dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Roestam (2004), antara lain :

a. Kecocokan

Alat pelindung telinga tidak akan memberikan perlindungan apabila tidak dapat menutupi liang telinga dengan rapat.

b. Nyaman dipakai

Para pekerja tidak akan mau menggunakan APT apabila alat tersebut tidak nyaman diapakai.

(42)

Tabel 2.2. Pedoman Dalam Pemilihan dan Pemakaian APT

Tingkat Bising (dBA) Pemakaian APT Pemilihan APT < 85 Tidak Wajib Bebas Memilih

85-89 Optional Bebas Memilih

90-94 Wajib Bebas Memilih

95-99 Wajib Pilihan Terbatas

>100 Wajib Pilihan Sangat Terbatas

Sumber : Direktorat Bina Kesehatan Kerja Depkes RI Tahun 2006

APT harus tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya atau dengan kata lain, perusahaan harus menyediakan APT tersebut.

5. Pelatihan dan Pendidikan Pekerja

Program pendidikan dan pelatihan menekankan bahwa program konversi pendengaran sangat bermanfaat untuk melindungi pendengaran tenaga kerja, dan mendeteksi perubahan ambang pendengaran akibat paparan bising. Tujuan pendidikan adalah untuk menekankan keuntungan tenaga kerja jika mereka memelihara pendengaran dan kualitas hidupnya. Lebih lanjut penyuluhan tentang hasil audiogram mereka, sehingga tenaga kerja temotivasi untuk berpartisispasi melindungi pendengarannya sendiri. Juga melalui penyuluhan diharapkan tenaga kerja mengetahui alasan melindungi telinga serta cara penggunaan alat pelindung telinga.

6. Audiometri

Audiometri adalah salah satu cara mengetes kemampuan pendengaran seseorang. Ada beberapa tipe audiogram, yaitu :

(43)

b. Annual monitoring, yaitu pemeriksaan berkala bagi para pekerja yang terpajan bising lebih dari nilai ambang batas

c. Exit, diperuntukkan bagi pekerja yang pindah/keluar dari tempat kerja yang bising, atau saat pensiun

7. Evaluasi dan Dokumentasi

Menurut Direktorat Bina Kesehatan Kerja Depkes RI (2006), evaluasi program ditujukan untuk mengevaluasi hasil program-program konservasi, dengan sasaran: a. Review program dari sisi pelaksanaan serta kualitasnya, misalnya pelatihan

dan penyuluhan, kesertaan supervisor dalam program, pemeriksaan masing-masing area untuk meyakinkan apakah semua komponen program telah dilaksanakan

b. Hasil pengukuran kebisingan, identifikasikan apakah ada daerah lain yang

perlu dikontrol lebih lanjut

c. Kontrol engineering dan administratif

d. Hasil pemantauan audiometrik dan pencatatannya, bandingkan data

audiogram dengan baseline untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program

e. APD yang digunakan 8. Audit Program

(44)

a. Audit Eksternal, dapat dilakukan program audit oleh pihak luar untuk mengetahui cost-effectiveness dan cost-benefit dari program konservasi pendengaran

b. QQ program (Quality Qontrol Program) dilakukan secara internal, terus menerus untuk menilai efektivitas program konservasi pendengaran.

2.1.9. Peraturan Perundang-Undangan

Terdapat cukup banyak peraturan perundang-undangan nasional yang menjadi dasar dasar dari pengaturan kebisingan di tempat kerja. Peraturan perudang-undangan tersebut antara lain adalah Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, teruatam pasal 23 mengenai kesehatan kerja. Selain itu, ada juga Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 mengenai Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Lingkungan Kerja.

Indonesia menetapkan Nilai Ambang Batas kebisingan sebesar 85 dBA untuk waktu pemajanan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, dengan Exchange Rate

sebesar 3 dB(A). Nilai tersebut mengadopsi dari Threshold Limit Value-Time Weighted Average (TLV-TWA) yang ditetapkan oleh American Conference of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH).

2.2. Pendengaran Manusia

2.2.1. Anatomi Organ Pendengaran Manusia

(45)

1. Telinga Luar

Telinga luar manusia terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang yang panjangnya kira-kira 2,5-3 cm (Soetirto,1997).

Soetirto (1997) juga memaparkan bahwa sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjer keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

2. Telinga Tengah

Telinga tengah meliputi gendang telinga, tiga tulang pendengaran (maleus, inkus, dan staples). Muara saluran eustachius juga berada di telinga tengah. Getaran suara yang diterima oleh gendang telinga akan disampaikan ke tulang pendengaran. Masing-masing tulang pendengaran akan menyampaikan getaran ke tulang berikutnya. Tulang sanggurdi, yang merupakan tulang terkecil di tubuh, akan meneruskan getaran ke koklea atau rumah siput. Peradangan atau infeksi pada bagian telinga ini disebut sebagai otitis media.

3. Telinga Dalam

(46)

buah kanalis semisirkularis. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap.

Pada irisan melintang koklea, tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis korti, yang membentuk organ korti (Soetirto, 1997).

2.2.2. Fisiologi Pendengaran Manusia

Gambar 2.1. Struktur Fisiologi Telinga

(47)

Persepsi bunyi terjadi karena gendang telinga menangkap getaran yang merambat melalui udara. Getaran gendang telinga diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang menggetarkan cairan (endolymph). Getaran endolymph ini kemudian ditangkap oleh organ corti dan diteruskan urat saraf ke otak sebagai rangsangan listrik. Rangsangan bunyi diinterpretasikan di otak pada bagian yang disebut lobus temporalis (Soetirto & Hendarman, 1997).

2.2.3. Cara Pemeriksaan Pendengaran

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan cara kualitatif (memakai garpu tala), semikuantitatif, dan kuantitatif (menggunakan audiometer nada murni).

1. Tes Penala

Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Penala (garpu tala) terdiri dari satu set (lima buah) dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Pada umumnya dipakai tiga macam penala, yaitu 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Ada berbagai macam tes penala, seperti yang dikemukakan oleh Soetirto dan Hendarmin (1997), yaitu :

a. Tes Rinne

Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.

b. Tes Weber

(48)

c. Tes Schwabach

Tes Schwabach digunakan untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksaan yang pendengarannya normal.

d. Tes Bing (Tes Oklusi)

Tes Bing merupakan tes pendengaran untuk pemeriksaan tuli saraf. e. Tes Stenger

Tes Stenger ini digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli).

2. Tes Berbisik

Pemeriksaan ini bersifat semikuantitatif, yang menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, tidak terjadi gema, dengan panjang minimal 6 meter.(Al-Fatih, 2008).

3. Audiometri Nada Murni

Pemeriksaan audiometri nada murni ini bersifat kuantitatif. Hasil dari pemeriksaan ini disebut audiogram. Sedangkan untuk membuat audiogram diperlukan alat yang disebut Audiometer (Soetirto dan Hendarmin, 1997).

2.3. Jenis-Jenis Lokomotif Kereta Api

Lokomotif adalah bagian dari rangkai

(49)

1.

Merupakan cikal bakal mesin kereta api. Uap yang dihasilkan dari pemanasan air yang terletak di ketel uap digunakan untuk menggerakkan torak atau turbin dan selanjutkan disalurkan ke roda. Bahan bakarnya bisanya dari kayu bakar atau batu bara.

2.

Menggunakan mesin diesel sebagai sumber tenaga yang kemudian ditransfer ke roda melalui transmisi mekanis. Lokomotif ini biasanya bertenaga kecil dan sangat jarang karena keterbatasan kemampuan dari transmisi mekanis untuk dapat mentransfer daya.

3.

Merupakan lokomotif yang paling banyak populasinya. Mesin diesel dipakai untuk memutar generator agar mendapatkan energi listrik. Listrik tersebut dipakai untuk menggerakkan motor listrik besar yang langsung menggerakkan roda.

4.

Lokomotif ini menggunakan tenaga mesin diesel untuk memompa oli dan selanjutnya disalurkan ke perangkat hidrolik untuk menggerakkan roda. Lokomotif ini tidak sepopuler lokomotif diesel elektrik karena perawatan dan kemungkinan terjadi problem besar.

5.

(50)

kereta api. Jangkauan lokomotif ini terbatas hanya pada jalur yang tersedia jaringan transmisi listrik penyuplai tenaga.

Sedangkan jenis lokomotif berdasarkan konfigurasi sumbu/as roda lokomotif, yaitu :

1. Kode B artinya lokomotif denga

Misalnya Lokomotif Uap Tahun 1898: Seri B Bristol.

2. Kode C artinya lokomotif dengan 3 roda penggerak atau Co-Co

Misalnya Lokomotif Uap Tahun 1905: Seri C Birmingham.

3. Kode BB artinya lokomotif bergandar 2 2 jadi dengan roda penggerak ada 4 as roda atau memiliki 8 roda. Misalnya Lokomotif Uap Tahun 1920: Seri BB Manchester.

4. Kode CC artinya lokomotif bergandar 3 3 jadi total penggeraknya ada 6 as roda

atau memiliki 12 roda . Misalnya Lokomotif Uap Tahun 1930: Seri CC Manchester.

5. Kode D artinya lokomotif bergandar 4 loko jenis ini biasanya hanya memiliki

gandar tunggal sehingga total penggeraknya ada 4 as roda dengan jumlah roda. Misalnya Lokomotif Uap Tahun 1954: Seri D54 Krupp Liepzig.

(51)

Berdasarkan keterangan di atas, Dipo Lokomotif Medan menggunakan lokomotif diesel hidrolik dan memiliki dua poros penggerak yang saling dihubungkan (kode BB). Misalnya lokomotif tipe BB301, BB303, BB306.

2.4. Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis Penelitian

Ho: Tidak ada hubungan tingkat kebisingan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

Ha: Ada hubungan tingkat kebisingan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

dalam kabin lokomotif : 1. Kategori tidak baik

apabila hasil ukur kebisingan > 85 dB 2. Kategori baik d. Penggunaan Alat

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional dimana seluruh variabel dalam penelitian ini diukur satu kali pada saat yang sama dengan tujuan untuk mengetahui hubungan dari kebisingan yang ditimbulkan kereta api terhadap keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kabin lokomotif kereta api Medan, Sumatera Utara. Selain itu, tempat lain yang dijadikan tempat penelitian adalah kantor Dipo Lokomotif Medan untuk pengurusan izin penelitian, pengambilan data mengenai gambaran umum PT. Kereta Api (Persero), pengisian kuesioner, serta pengambilan data-data kepegawaian masinis kereta api.

Adapun alasan memilih tempat tersebut sebagai lokasi penelitian adalah: 1. Kabin lokomotif merupakan tempat yang beresiko terjadinya polusi suara

(kebisingan) sehingga perlu diadakannya penelitian.

2. Belum pernah diadakannya penelitian tentang tingkat kebisingan di kabin

lokomotif dan keluhan kesehatan yang dialami masinis Dipo Lokomotif Medan. 3. Adanya kemudahan dari pihak manajemen dalam memberi izin untuk keperluan

(53)

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Maret 2012. 3.3. Populasi Dan Sampel

3.3.1. Populasi

Adapun yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh masinis Dipo Lokomotif Medan yang berjumlah 43 orang.

3.3.2. Sampel

Penelitian ini menggunakan total sampling, maka semua populasi yang ada dijadikan sebagai sampel dalam penelitian. Jadi, jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 43 sampel.

3.4. Data Penelitian 3.4.1. Data Primer

Data primer merupakan data hasil pengukuran kebisingan dan data yang diperoleh dari wawancara langsung kepada masinis Dipo Lokomotif Medan dengan berpedoman kepada kuesioner penelitian yang telah dipersiapkan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kantor Dipo Lokomotif Medan, Rumah Sakit Mandiri PT Kereta Api (Persero) Divre I Sumatera Utara, dan kantor PT Kereta Api (Persero) Divre I Sumatera Utara.

3.5. Definisi Operasional

(54)

menggunakan alat Sound Level Meter (SLM), dan dikategorikan berdasarkan Nilai Ambang Batas (NAB) :

a. Kategori tidak baik apabila hasil ukur > 85 dB. b. Kategori baik apabila hasil ukur ≤ 85 dB.

2. Umur masinis kereta api adalah umur masinis kereta api yang dihitung sejak lahir

sampai pada saat pengumpulan data berlangsung.

3. Lama pemaparan adalah lama masinis terkena pajanan bising di dalam kabin

lokomotif kereta api, dihitung dari rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh satu perjalanan kereta api setiap hari kerjanya.

4. Masa kerja masinis kereta api adalah lama masinis kereta api bekerja atau

menjadi pegawai di PT. Kereta Api (Persero) Divre I Medan sebagai masinis kereta api, mulai dari awal menjadi masinis kereta api sampai pada saat pengambilan data berlangsung.

5. Penggunaan alat pelindung telinga (APT) yaitu pemakaian alat-alat bantu, seperti

ear plug atau ear muff, yang dapat mengurangi tingkat kebisingan yang dirasakan oleh telinga masinis kereta api.

6. Keluhan kesehatan adalah keluhan yang dialami oleh masinis kereta api akibat

dari lingkungan kerja yang bising yaitu berupa kesemutan, pusing, mual, otot leher terasa tegang, tinitus, dan kenaikan tekanan darah.

7. Tinitus adalah telinga mendenging.

8. Pusing adalah kondisi sakit kepala dimana keadaan keseimbangan terganggu serasa keadaan sekitar berputar.

(55)

10. Kesemutan adalah suatu kondisi dimana anggota tubuh terasa kaku sesaat atau biasa disebut rasa baal/semutan.

11. Otot leher terasa tegang adalah suatu kondisi dimana otot leher terasa kaku untuk digerakkan.

12. Kenaikan tekanan darah adalah naiknya tekanan darah sistolik maupun distolik

dari batas normal yaitu 120/80 mmHg, sesuai dengan standar tekanan darah normal menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI).

13. Pengukuran dengan Sound Level Meter adalah pencatatan angka yang terbaca di alat ukur kebisingan, untuk mengetahui berapa tingkat kebisingan pada kabin lokomotif kereta api Medan.

3.6. Aspek Pengukuran 3.6.1. Tingkat Kebisingan

Tingkat kebisingan dikategorikan berdasarkan Nilai Ambang Batas (NAB) : 1. Kategori tidak baik apabila hasil ukur > 85 dB.

2. Kategori baik apabila hasil ukur ≤ 85 dB.

3.6.2. Karakteristik Responden a. Umur

Umur responden dikategorikan berdasarkan pengelompokkan oleh Hurlock (2001) yaitu umur dewasa muda apabila ≤ 40 tahun dan umur setengah baya apabila > 40 . Karakteristik umur sebagai berikut :

(56)

b. Lama pemaparan

Lama pemaparan dikategorikan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999, sebagai berikut :

1. Lama pemaparan > 8 jam 2. Lama pemaparan ≤ 8 jam c. Masa Kerja

Masa kerja dikategorikan sesuai dengan yang dikemukan Alberti (1991), yaitu masa kerja baru apabila ≤ 10 tahun dan lama apabila > 10 tahun, sebagai berikut :

1. Masa kerja > 10 tahun 2. Masa kerja ≤ 10 tahun

d. Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT)

Penggunaan alat pelindung telinga dikategorikan sebagai berikut : 1. Ya, menggunakan APT

2. Tidak

3.6.3. Keluhan Kesehatan

Untuk mengetahui keluhan kesehatan dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dibagi menjadi dua kategori yaitu :

a. Terjadi keluhan kesehatan apabila responden mengatakan adanya salah satu keluhan kesehatan pada saat pengambilan data.

(57)

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran

Variabel Metode Pengukuran Skala Ukur

Tingkat kebisingan di dalam kabin lokomotif

Pengukuran langsung ke sumber bising

Ordinal

Umur masinis Wawancara Nominal

Lama pemaparan Wawancara Nominal

Masa kerja Wawancara Nominal

Penggunaan alat pelindung

telinga Observasi

Nominal Tekanan darah Pengukuran langsung oleh

tenaga kesehatan kereta api

Nominal

Keluhan kesehatan Wawancara Nominal

3.7. Prosedur Kerja

3.7.1. Prosedur Pengukuran Tingkat Kebisingan

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di kabin lokomotif Putri Deli (Ekonomi) rute Medan-Tebingtinggi kira-kira selama 2 jam 16 menit. Berikut prosedur pengukuran tingkat kebisingan :

a. Persiapan Alat

1. Hidupkan Sound Level Meter dengan cara menggeser tombol dari posisi

OFF ke posisi ON.

2. Kalibarasi Sound Level Meter dengan menggeser tombol Cal/pengatur

kalibrasi.

3. Stel tombol pengaturan pengukuran kebisingan pada posisi A (desibel A). 4. Stel tombol pengatur tingkat kebisingan sesuai dengan skala yang

(58)

b. Cara Pengukuran Tingkat Kebisingan

1. Penentuan lokasi pengukuran yang dilakukan pada kabin lokomotif

kereta api dengan beberapa titik pengukuran selama perjalanan kereta api, misalnya ketika persiapan berangkat (kereta berhenti, mesin ON), klakson panjang persiapan berangkat, awal jalan kereta api, jalan kecepatan rendah kereta api, jalan kecepatan tinggi kereta api, persiapan berhenti di stasiun berikutnya, berhenti di stasiun berikutnya, melewati jembatan, melewati persinyalan, melewati persinyalan ditambah klakson panjang.

2. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan selama 1 menit dengan periode

waktu pengukuran setiap 4 detik untuk satu angka/tingkat kebisingan. Kemudian 15 angka pengambilan dirata-ratakan dan hasil rata-rata ditetapkan sebagai tingkat kebisingan yang diukur pada satu titik.

Rumus :

Keterangan :

K : Kebisingan rata-rata pada satu titik K1

K

: Kebisingan 4 detik pertama

2 K

: Kebisingan 4 detik kedua

(59)

3. Hasil pengukuran kebisingan di beberapa titik dirata-ratakan dan hasilnya ditetapkan sebagai tingkat kebisingan yang didengar oleh responden pada kabin lokomotif kereta api.

3.8. Pengolahan Data

Untuk menghasilkan informasi yang benar, maka data yang telah diperoleh akan diolah dengan melalui beberapa tahapan yaitu sebagai berikut:

1. Editing

Merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian kuesioner apakah sesuai dengan apa yang diharapkan.

2. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

3. Tabulating

Mengelompokkan data dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya sesuai dengan tujuan penelitian.

4. Cleaning

Merupakan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan. 3.9. Analisis Data

Data disajikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat kebisingan dengan keluhan kesehatan pada masinis Dipo Lokomotif Medan dengan menggunakan uji Chi Square

(60)
(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Sejarah Perkeretaapian

4.1.1. Sejarah Perkeretaapian Indonesia

Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA di desa Kemijen Jumat tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara Kemijen - Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA didaerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km.

(62)

meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.

Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA disana.

Jenis jalan rel KA di Indonesia semula dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm, 750 mm (di Aceh), dan 600 mm dibeberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 km antara Muaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro - Pekanbaru.

(63)

Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).

4.1.2. Sejarah Perkeretaapian di Sumatera Utara

Perkeretaapian di Sumatera Utara diawali oleh Perusahaan Swasta Belanda pada 17 Juli 1889 yang bernama Deli Spoorweg Maatchscapay (DSM). Setelah pendudukan Jepang pada 01 Januari 1942 s.d 17 Agustus 1945, seluruh kereta api di Indonesia berada dibawah pendudukan tentara Jepang.

Era kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, perkeretaapian di Sumatera Utara dikembalikan kepada Deli Spoorweg Maatchscapay (DSM) sampai masa dilakukan alih wewenang pada perusahaan milik Belanda kepada penguasa militer daerah Sumatera Utara.

Mulai tanggal 29 april 1963 seluruh kereta api ex Deli Spoorweg Maatchscapay (DSM) menjadi bagian Djawatan Kereta Api (DKA) yang berpusat di Bandung. Dalam penguasaannya telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu :

• 28 Mei 1963 menjadi Perusahaan Negara

• 15 September 1971 menjadi Perusahaan Jawatan

• 30 Oktober 1990 menjadi Perusahaan Umum

(64)

Demikian sekilas sejarah kereta api di Sumatera Utara yang sejak 2 Januari 2001 telah ditetapkan perubahan nama dari eksploatasi menjadi Divisi Regional I Sumatera Utara & Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Gambar 4.1. Lima Nilai Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) 4.1.3. Visi dan Misi

Visi Perusahaan yaitu menjadi penyedia jasa perkeretaapian terbaik yang fokus pada pelayanan pelanggan dan memenuhi harapan stakeholders

Sedangkan Misi Perusahaan yaitu menyelenggarakan bisnis perkeretaapian dan bisnis usaha penunjangnya, melalui praktek bisnis dan model organisasi terbaik untuk memberikan nilai tambah yang tinggi bagi

.

stakeholders

4.1.4. Logo PT Kereta Api Indonesia (Persero)

dan kelestarian lingkungan berdasarkan 4 pilar utama : keselamatan, ketepatan waktu, pelayanan dan kenyamanan.

Gambar 4.2. Logo PT Kereta Api Indonesia (Persero)

(65)

1. 3 Garis Melengkung melambangkan gerakkan yang dinamis PT Kereta Api Indonesia (Persero) dalam mencapai Visi dan Misinya.

2. 2 Garis Warna Orange melambangkan proses Pelayanan Prima (Kepuasan Pelanggan) yang ditujukan kepada pelanggan Internal dan Eksternal.

3. Anak Panah Berwarna Putih melambangkan Nilai Integritas, yang harus

dimiliki Insan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dalam mewujudkan Pelayanan Prima.

4. 1 Garis Lengkung Biru melambangkan semangat Inovasi yang harus dilakukan dalam memberikan nilai tambah kepada Stakeholders (Inovasi dilakukan dengan semangat sinergi di semua bidang dan dimulai dari hal yang paling kecil sehingga dapat melesat).

4.2. Analisis Univariat

4.2.1. Karakteristik Responden

Gambar

Tabel 2.1.  Nilai Ambang Batas Bising Menurut Kepmenaker No.51 Tahun 1999
Tabel 2.2.  Pedoman Dalam Pemilihan dan Pemakaian APT
Gambar 2.1. Struktur Fisiologi Telinga
Gambar 2.2. Jenis Sumbu Roda Lokomotif
+7

Referensi

Dokumen terkait

serta keluhan kesehatan dan perilaku penjual tentang bahaya kesehatan pada pakaian bekas di pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang lemah antara intensitas kebisingan dengan tingkat stres kerja pada pegawai di PT KA (Persero) Daop IV Semarang.. Saran

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan metode deskriptif untuk mengetahui kadar Timbal (Pb) pada urin dan keluhan kesehatan sopir angkot Rahayu Medan

Skor 2 : Dirasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit pada baian otot. dan sudah menganggu pekerjaan, tetapi rasa kenyerian

Penelitian ini dilakukan pada pekerja cukur rambut di Kelurahan Padang Bulan I, Kota Medan tahun 2015 untuk mengetahui hubungan antara lama kerja dan masa

Penelitian ini dilakukan pada pekerja cukur rambut di Kelurahan Padang Bulan I, Kota Medan tahun 2015 untuk mengetahui hubungan antara lama kerja dan masa