HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA
DENGAN KEMATANGAN EMOSI REMAJA LAKI-LAKI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
INDAH PERMATA SARI NST
061301066
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang
berjudul:
Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Januari 2011
INDAH PERMATA SARI NST
Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki
Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog
ABSTRAK
Kematangan Emosi adalah kondisi ketika individu mampu mengekspresikan emosi sesuai waktu yang tepat dan dengan cara yang dapat diterima, mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, dan memiki reaksi emosional yang tidak berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lain. Jenis kelamin laki-laki cenderung kurang memiliki kematangan emosi dikarenakan cenderung sulit dalam mengekspresikan emosi. Salah satu fakor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah pola asuh orang tua temasuk didalamnya cara orangtua berinteraksi dengan anak. Keluarga dapat mengajarkan bagaimana individu dapat mengeksplorasi emosi. Perhatian, kasih sayang, dan perasaan aman akan membantu individu menghadapi masalah-masalah tertentu dengan memperhatikan keseimbangan emosinya. Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat diartikan dengan kualitas interaksi antar anggota keluarga.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki. Metode pengambilan sampel adalah multi stage sampling dan jumlah sampel penelitian adalah 65 orang. Penelitian ini menggunakan dua skala sebagai alat ukur, yaitu Skala Keberfungsian Keluarga yang disusun berdasarkan teori Moos dan Moos dan Skala Kematangan Emosi yang disusun berdasarkan teori Hurlock. Nilai reliabilitas skala keberfungsian keluarga sebesar 0,902 terdiri dari 30 aitem dan reliabilitas skala kematangan emosi sebesar 0,900 terdiri dari 31 aitem.
Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki. Koefisien korelasinya sebesar 0,580 dengan p=0,000.
Relationship between family functioning with emotional maturity in adolescent males
Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog
ABSTRACT
Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog
Emotional maturity is the condition when the individual is able to express emotions as the right time and in a manner that is acceptable, able to critically assess the situation first before reacting emotionally, and thinking about the emotional reaction that does not change from one mood to another mood. Men tend to lack the emotional maturity tend to be difficult because in expressing emotion. One factor affecting emotional maturity is the pattern of parenting associated with it the way parents interact with children. Families can be taught how individuals can explore emotions. Attention, affection, and a feeling of security will help individuals deal with certain problems with respect to balance his emotions. Well-functioning family can be defined by the quality of interaction between family members.
This research is a correlational study is aimed to know the relation of family functioning with emotional maturity teenage boys. The sampling method is a multi-stage sampling and sample number is 65 people. This study used two scales as a measurement, namely the Family Functionality Scale which is based on the theory of Moos and Moos and Emotional Maturity Scale which is based on the theory of Hurlock. Family functioning scale reliability value of 0.902 consists of 30 aitem and emotional maturity scale reliability value of 0.900 consists of 31 aitem.
Analysis of research using Pearson Product Moment correlation. Based on the analysis found that there is a relationship between the functioning of families with the emotional maturity of teenage boys. Correlation coefficient of 0.580 with p = 0.000.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan. Terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada orangtua saya yang telah memberikan dukungan
moril dan materil selama saya mengerjakan skripsi ini dan semua yang telah
diberikan adalah kekuatan terbesar bagi diri saya, semoga Allah membalas semua
amal Beliau.
Judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir adalah
”hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja
laki-laki”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, baik sejak masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Untuk itu
penulis ingin mengucapkan kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan
semangat, bantuan, dan saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Kak Silviana Realyta M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak memberikan kesempatan waktu, saran-saran,
3. Ibu Wiwik Sulistyaningsih M.si psikolog selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih atas bimbingan akademik yang telah ibu beikan selama ini.
4. Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan kesempatan waktunya.
5. Kakak-kakak saya yang telah selalu memberikan pertanyaan “kapan sidang?”
kepada saya sehingga membuat saya semangat untuk mengerjakannya walau
sedikir bosa ketika harus ditanya seperti itu.
6. Pak As, Pak Is, Bu Rini, Kak Erna, Kak Devi, Kak Ari, Bang Sono yang telah
membantu penulis dalam mengurus administrasi yang diggunakan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepala Sekolah MAN 3 dan SMA Krakatau yang telah memberikan
kesempatan kepada saya sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini.
8. Ayu, Eky, dan Yasra yang telah memberikan kebersamaan, saran, bantuan,
dan keceriaan selama ini.
9. Fitri, Yanda, Shella, dan teman-teman satu departemen perkembangan
angkatan ’06 yang telah memberikan saran dan batuan kepada penulis.
10.Terima Kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... ...i
HALAMAN ABSTRAK ... ii
HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GRAFIK ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat teoritis ... 8
2. Manfaat praktis ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. Keluarga ... 10
1. Definisi keluarga ... 10
2. Fungsi Keluarga ... 10
3. Keberfungsian Keluarga ... 12
b. Dimensi Keberfungsian keluarga ... 14
B. Kematangan Emosi ... 17
1. Definisi Kematangan emosi ... 17
2. Kematangan emosi remaja ... 18
3. Faktor yang mempengaruhi kematangan emosi... 19
4. Karakteristik kematangan emosi remaja... 21
C. Remaja ... 22
1. Definisi Remaja ... 22
2. Tugas Perkembangan remaja ... 23
3. Ciri Remaja ... 24
D. Remaja Laki-laki ... 25
E. Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki ... 27
F. Hipotesa Penelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 30
B Definisi Operasional Variabel Penelitian... 31
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 32
1. Populasi dan sampel ... 32
2. Jumlah sampel dan teknik pengambilan sampel ... 34
D. Metode pengumpulan data ... 35
1. Skala Keberfungsian Keluarga ... 35
E. Uji Validitas, uji daya beda, dan reliabilitas alat ukur ... 38
1. Uji validitas ... 38
2. Uji daya beda ... 39
3. Uji Reliabilitas ... 41
F. Hasil Uji coba alat ukur ... 41
1. Skala keberfungsian keluarga ... 41
2. Skala kematangan emosi ... 44
G. Prosedur Penelitian ... 47
1. Tahap persiapan penelitian ... 47
a. Pembuatan alat ukur... 47
b. Uji coba alat ukur ... 47
c. Revisi alat ukur ... 47
d. pemeilihan tempat peneitian ... 48
e. Mengurus surat izin penelitian ... 48
2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 48
a. Pemilihan sampel ... 49
b. Penyebaran skala penelitian ... 49
3. Tahap pengolahan data ... 49
H. Metode anaisa data ... 49
1. Uji Normalitas ... 50
2. Uji Linieritas ... 50
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 51
1. Berdasarkan usia ... 51
2. Berdasarkan jumlah saudara ... 52
B. Uji asumsi penelitian ... 52
1. Uji normalitas ... 52
2. Uji linieritas ... 53
C. Hasil analisa data... 54
1. Hasil perhitungan korelasi ... 54
2. Kategorisasi data ... 55
D. Pembahasan ... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
1. Saran Metodologis ... 66
2. Saran Praktis ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perubahan Kematangan Emosi ... 19
Tabel 2 Blue Print Skala Keberfungsian Keluarga ... 36
Tabel 3 Blue Print Skala Kematangan Emosi ... 37
Tabel 4 Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian keluarga ... 41
Tabel 5 Distribusi aitem-aitem skala penelitian keberfungsian keluarga... 43
Tabel 6 Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala kematangan emosi... 44
Tabel 7 Distribusi aitem-aitem skala penelitian kematangan emosi ... 46
Tabel 8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 51
Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jumlah saudara ... 52
Tabel 10 Normalitas sebaran variabel keberfungsian keluarga terhadap kematangan emosi remaja laki-laki ... 53
Tabel 11 Korelasi antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki... 55
Tabel 12 Deskripsi skor hipotetik data keberfungsian keluarga ... 56
Tabel 13 Kategorisasi data hipotetik keberfungsian keluarga ... 56
Tabel 14 Deskripsi skor hipotetik data kematangan emosi ... 57
Tabel 15 Kategorisasi data hipotetik kematangan emosi ... 58
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daya beda aitem dan reliabilitas skala keberfungsian keluarga dan kematangan emosi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai sesuai
dengan tingkat usia. Usia remaja dikatakan sebagai masa peralihan antara masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus
dicapai adalah mencapai kematangan emosi (Cole dalam Yusuf, 2004). Hal ini
sejalan dengan Hurlock (2004) yang mengemukakan bahwa kematangan remaja
mencakup pada kematangan seksual, emosional, sosial, dan fisik. Srivastava
(2005) juga mengemukakan bahwa kematangan emosi merupakan hal yang
penting dalam masa peralihan remaja menuju dewasa.
Remaja dikatakan mencapai kematangan emosi ketika kondisi perasaan atau
reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk
mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan pertimbangan
dan tidak mudah berubah–ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lain
(Hurlock, 2004). Perilaku yang ditunjukkan dari kematangan emosi adalah
mampu menyatakan emosinya secara konstruktif, mampu mencari pemecahan
masalah yang dihadapi dengan cara-cara yang aman dan dapat diterima, serta
diharapkan mampu menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan (Yusuf, 2004).
Remaja berada pada masa peralihan yang membuat remaja rentan terhadap
sebagai periode storm and stress, dimana terjadi peningkatan ketegangan
emosional yang disebabkan oleh perubahan fisik dan hormonal. Masalah yang
dihadapi remaja dapat berasal dari sekolah, keluarga, dan teman kelompok, yang
terkadang menjadi sulit untuk diatasi (Patil dalam Aminbhavi dan Pastey, 2003).
Remaja harus mampu mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh perubahan fisik,
mental, dan kehidupan. Pada saat yang sama, remaja dituntut oleh lingkungannya
untuk mampu mengendalikan emosi. Jika remaja tidak mampu mengendalikan
emosi maka remaja cenderung melakukan tindakan negatif.
Gunarsa (2003) mengemukakan bahwa matangnya emosi individu akan
mengurangi kenakalan remaja. Permasalahan dan ketegangan emosional yang
meningkat pada masa remaja menyebabkan pada masa ini perilaku beresiko
cenderung meningkat. Perilaku tersebut umumnya dikategorikan sebagai
kenakalan remaja yang dapat dilihat dari adanya perilaku kebut-kebutan di jalan
raya, tawuran, membolos sekolah, merampas, mencuri, perilaku yang tidak
mematuhi orangtua dan guru, kecanduan narkoba, melakukan hubungan seks
bebas, dan perjudian (Kartono, 1998).
Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan kenakalan remaja dengan
kematangan emosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivianingsih (2008)
menunjukkan bahwa kenakalan, tawuran, seks bebas, serta ketergantungan
narkoba yang terjadi di masa remaja merupakan perilaku yang mencerminkan
ketidakmatangan emosi. Selain itu, terdapat juga hasil penelitian (Boyd dan
Huffman, 2002) menunjukkan bahwa individu yang minum-minuman alkohol
menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan emosi remaja maka perilaku
agresi akan semakin rendah. Hasil penelitian-penelitian tersebut sejalan dengan
yang dikemukakan Sarwono (2010) bahwa salah satu penyebab tingginya angka
kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam mengendalikan emosi dan
mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma, belum
matangnya emosi individu menyebabkan individu mudah terbawa pengaruh
kelompok untuk melakukan perbuatan tertentu.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi. Pendidikan mengajarkan tanggung jawab yang merupakan
salah satu ciri kematangan emosi individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan
individu maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan
tersebut dapat digunakan untuk melawan tekanan-tekanan yang akan dihadapi dan
mengakibatkan emosi individu semakin matang (Anderson dalam Mappiare,
1983). Namun pada kenyataanya, penelitian mengenai kasus narkoba terhadap 10
Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003 menunjukkan
narapidana narkoba memiliki tingkat pendidikan setara dengan tingkat SMA
(Badan Nasional Narkoba, 2003).
Rentang usia individu yang melakukan kenakalan remaja dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisukarto (dalam Yamani, 2009)
menunjukkan sebagian besar korban penyalahgunaan narkotika dan minuman
keras adalah remaja, yang terbagi dalam kelompok usia 14-16 tahun (47,7%),
kelompok usia 17-20 tahun (51,3%), dan kelompok usia 21-24 tahun (31%).
yaitu 15-19 tahun (Kartono, 2002). Sementara itu, Ria (2010) melakukan
komunikasi personal pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, jumlah
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan
pada Maret 2010 tercatat 37 orang dengan usia 13-15 tahun, 331 orang yang
berusia 16-19 tahun, dan 246 orang berusia 20-23 tahun. Hal ini bertentangan
dengan Hurlock (2004) yang menyatakan bahwa ketika remaja berada pada masa
remaja akhir yaitu usia 16 sampai 18 tahun, seharusnya remaja sudah mampu
mengendalikan emosinya dan menunjukkan kematangan emosi.
Faktor jenis kelamin juga dapat mempengaruhi kematangan emosi. Laki-laki
dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki
pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu
mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini
menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika
dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003). Perbedaan jenis kelamin pada
kematangan emosi dijelaskan sebagai pengaruh sosialisasi awal emosi. Anak
laki-laki diharapkan lebih mandiri, aktif, dan percaya diri, sementara anak perempuan
diharapkan lebih ekspresif, hangat secara emosional, suka menolong, dan sensitif
(Davis dalam Astuti, 2005).
Ketika laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah,
laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi,
menggunakan kemarahan, dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy
dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Remaja laki-laki lebih sering mengalami konflik
sekolah, seperti tidak masuk sekolah, merokok, menggunakan obat terlarang dan
berkelahi (Santrock, 2003). Penelitian yang dilakukan tentang penyalahgunaan
narkoba di 10 lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia menunjukkan
bahwa 52,41% laki-laki tercatat sebagai pemakai narkoba (Badan Nasional
Narkoba, 2003). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa 39% pria lebih
agresif daripada wanita (Frodi dalam Matlin, 2004).
Perilaku tidak masuk sekolah, merokok, dan perilaku-perilaku negatif yang
telah diuraikan sebelumnya dianggap masyarakat sebagai perilaku kenakalan
remaja. Kenakalan remaja ini dapat dikurangi dengan adanya hubungan yang
positif dalam keluarga (Kumpfer dan Alvarado dalam Reinherz, 2003).
Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memiliki
kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al,
2003). Sebaliknya, remaja yang berada dalam keluarga penuh dengan konflik
dapat memicu kenakalan remaja, karena cenderung mengalami ketidakmampuan
dalam mengendalikan emosi (Brook, et.al dalam Santrock, 2003). Pengawasan
orangtua juga berperan penting dalam mencegah kenakalan remaja. Hal ini terlihat
dalam kasus penggunaan obat-obatan terlarang yang menunjukkan bahwa remaja
yang terlibat umumnya kurang mendapat pengawasan dan kontrol orangtua atau
orangtua kurang memiliki pengetahuan mengenai teman-teman dan aktivitas
remaja (Dishion, et.al dalam Coley, 2008).
Adanya pengawasan dan kontrol orangtua dapat menjadi ciri dari keluarga
yang dapat menjalankan fungsi dengan baik. Agustina (dalam Qudsyi, 2005)
keluarga fungsional yang diartikan sebagai keluarga yang dapat menjalankan
fungsi-fungsi yang ada pada keluarga dengan baik. Moos dan Moos (dalam
Stewart, 1998) menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai kualitas
interaksi antar anggota keluarga. Selain itu, dikonsepkan juga sebagai tingkat
kohesifitas dalam keluarga. Namun meskipun keluarga telah berfungsi dengan
baik, ada juga anak remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja.
Perilaku kenakalan remaja seperti terlibat dalam perkelahian antar gang
maupun antar sekolah dan remaja dapat melibatkan remaja berasal dari keluarga
baik-baik (Kartono, 1998). Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survei mengenai
pecandu narkoba di Indonesia menunjukkan bahwa 60 sampai 70% anak-anak
pecandu narkoba berasal dari keluarga yang dapat berfungsi dengan baik atau
keluarga yang harmonis. Hasil survei ini diperoleh dari 613 pecandu di 14 panti
rehabilitasi yang dilakukan oleh Yayasan Cinta Anak Bangsa (Veronica, 2008).
Penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10 lembaga
pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan bahwa
75% narapidana berasal dari keluarga yang memiliki sedikit konflik, 79% berasal
dari orangtua yang tidak membeda-bedakan anaknya, dan 56% berasal dari
proporsi saling berbagi cerita dengan orangtua (Badan Nasional Narkoba, 2003).
Kasus kenakalan remaja banyak ditemukan di media-media masa, daerah yang
tercatat paling sering terjadinya kenakalan remaja adalah Jakarta, Surabaya, dan
Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan
oleh remaja. Data tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994
terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat
lainnya. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar dan 2 anggota
Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas
(Tambunan, 2001). Medan adalah salah satu kota besar yang dapat ditemukan
berbagai bentuk kenakalan remaja. Ria (2010) melakukan komunikasi personal
pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, dalam Lembaga Pemasyarakatan
Tanjung Gusta tercatat berbagai kasus seperti pembunuhan, kesusilaan, penipuan,
pemerasan, perjudian, narkotika, penganiayaan, perampokan, yang dilakukan pada
usia berkisar 13 sampai 21 tahun. Pelaku pada umumnya berasal dari daerah
Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Tembung, Medan Belawan,
Medan Amplas, dan Medan Johor.
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat meskipun keluarga yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik namun perilaku kenakalan remaja tetap
meningkat. Kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh kurangnya kematangan
emosi dalam mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat
diterima norma. Laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku kenakalan remaja,
salah satu penyebabnya karena ketidakmampuan dalam mengekpresikan emosi
yang dirasakan dengan cara yang diterima, melainkan laki-laki cenderung
menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara negatif dan hal ini
menunjukkan laki-laki cenderung kurang matang secara emosi. Hal inilah yang
membuat peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat hubungan antara
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara
keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan antara
keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu
psikologi, khususnya bagian psikologi perkembangan tentang keberfungsian
keluarga terhadap kematangan emosi remaja, terutama pada remaja laki-laki.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi orangtua agar dapat
menciptakan lingkungan dasar yang nyaman, sehingga anak dapat mencapai tugas
perkembangan sesuai dengan usia. Selain itu, diharapkan agar orangtua dapat
lebih memahami pentingnya keluarga yang berfungsi dengan baik. Orangtua dapat
menyediakan waktu untuk saling berkomunikasi tentang aktivitas yang dilakukan
remaja.
Bagi remaja laki-laki, diharapkan dapat memanfaatkan keadaan keluarga yang
Selain itu, diharapkan agar remaja laki-laki lebih mampu menggunakan
kemampuan berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan sehingga dapat
mengurangi perilaku kenakalan remaja tanpa mudah terpengaruh oleh faktor lain.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini berisi:
1. Bab I merupakan pendahuluan menjelaskan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
2. Bab II menjelaskan tentang landasan teori dan hipotesa penelitian.
3. Bab III menjelaskan tentang metodologi penelitian, berisi variabel
penelitian, definisi operasional, metode pengumpulan sampel, alat ukur
yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisa.
4. Bab IV menjelaskan tentang analisa data dan pembahasan yang memuat
gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan
penelitian.
5. Bab V menjelaskan tentang kesimpulan dan saran, yang berisi kesimpulan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keluarga
1. Definisi Keluarga
Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari hubungan laki-laki
dan wanita, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk membesarkan
dan menghasilkan keturunan. Keluarga inti merupakan satu kesatuan sosial yang
terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum menikah (Ahmadi, 1999).
Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008) menambahkan definisi keluarga
merupakan sekelompok individu yang diikat oleh perkawinan atau adopsi,
menjadi satu rumah tangga, saling berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan
yang lain dalam peran sosial sebagai suami dan istri, ayah dan ibu, adik, abang,
dan kakak, serta menjaga budaya dasar keluarga. Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang diikat oleh
hubungan perkawinan atau adopsi dan didalamnya terdapat peran anggota
keluarga yang dituntut untuk menjaga nilai-nilai yang ada dalam keluarga.
2. Fungsi Keluarga
Keluarga yang bahagia diperoleh jika keluarga memerankan fungsinya dengan
baik. Adapun yang menjadi fungsi dasar keluarga inti adalah memberikan rasa
diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak hanya
sebatas perasaan, tetapi menyangkut pemeliharaan, tanggung jawab, perhatian,
pemahaman, dan keinginan untuk mengembangkan anak (Yusuf, 2004). Murdock
(dalam DeGenova, 2008) menjelaskan fungsi keluarga inti, adalah menyediakan
tempat tinggal, bekerjasama dalam hal ekonomi termasuk didalamnya
memperoleh penghasilan dan pendistribusiannya, menghasilkan keturunan, dan
fungsi seksual.
Berns (2004) mengungkapkan fungsi keluarga, terdiri dari:
a. Fungsi reproduksi, termasuk didalamnya meneruskan keturunan yang berfungsi
menggantikan individu-individu yang telah meninggal, memelihara dan
membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, memelihara, dan
merawat anggota keluarga.
b. Fungsi sosialisasi, termasuk didalamnya keluarga menyediakan nilai sosial,
kepercayaan, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang akan digunakan
sampai masa dewasa.
c. Mengatur peran sosial, keluarga menyediakan indentitas untuk keturunannya
seperti suku, etnis, agama, dan peran gender, dimana identitas tersebut
termasuk dalam perilaku dan kewajiban, serta menyediakan peran di
masyarakat.
d. Fungsi dukungan ekonomi, termasuk didalamnya menyediakan tempat,
makanan dan perlindungan, mencari sumber-sumber penghasilan untuk
berfungsi sebagai penyimpanan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dimasa akan datang.
e. Fungsi dukungan emosional, termasuk didalamnya keluarga menyediakan
pengalaman dalam interaksi sosial, pengasuhan, dan memberikan kenyamanan
emosi untuk keturunannya.
f. Fungsi pendidikan, termasuk didalamnya menyekolahkan anak untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai
dengan bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak untuk kehidupan
dewasa akan datang dalam memenuhi perannya sebagai seorang dewasa, serta
mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga
terdiri dari fungsi sebagai pemberian dukungan ekonomi, penerus keturunan,
pengaturan peran sosial, pemberian dukungan emosional, pemberian pendidikan,
dan pemberian dukungan antar anggota keluarga.
3. Keberfungsian Keluarga
a. Definisi Keberfungsian Keluarga
Keberfungsian keluarga mengacu kepada kualitas interaksi anggota keluarga.
Selain itu, dapat juga dikonsepkan sebagai kohesifitas dalam keluarga. Secara
spesifik dapat dilihat dari jumlah komunikasi, keluarga dapat beradaptasi dengan
perubahan-perubahan yang terjadi, konflik yang terjadi dalam keluarga, dukungan
dan kasih sayang antar anggota keluarga, kemampuan mengekspresikan apa yang
keluarga, orientasi prestasi, moral, keagamaan, dan penyelesaian masalah yang
dapat dilakukan anggota keluarga (Moos dan Moos dalam Stewart, 1998).
MacArthur (2000) menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai
keluarga yang dapat menjalankan fungsinya dengan benar. Keberfungsian
keluarga menjadi tempat individu dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri,
didalamnya terdapat rasa cinta dan kebersamaan antara anggota keluarga. Antar
anggota keluarga memberikan waktu dan dukungan antara satu dengan yang lain,
peduli terhadap keluarga dan membuat kesejahteraan anggota keluarga menjadi
prioritas dalam kehidupan.
Keberfungsian keluarga juga dapat didefinisikan sebagai keluarga yang telah
mampu melaksanakan fungsinya, ditandai dengan karakteristik saling
memperhatikan dan mencintai, bersikap terbuka dan jujur, orangtua mau
mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapat anak, terdapat
tukar pikiran pendapat terhadap suatu masalah di antara anggota keluarga,
berusaha mengatasi masalah hidup, saling menyesuaikan diri, orang tua
melindungi anak, komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik,
keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai
budaya, serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari (Yusuf, 2004).
Minuchin (1974) mengajukan skema dari keberfungsian keluarga untuk
membantu dalam menganalisa sebuah keluarga, yang didasarkan atas tiga
komponen. Pertama pengaturan struktur keluarga sebagai cara anggota keluarga
suami dan istri terdiri dari laki-laki dan perempuan yang membentuk keluarga dan
keduanya saling memberikan dukungan; sub sistem orangtua yang terbentuk
ketika kehadiran anak pertama, termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap
pemeliharaan dan pengawasan yang dihubungkan dengan interaksi orangtua dan
anak; sub sistem saudara kandung yang terbentuk dari hadirnya anak kedua dan
melalui interaksi antar saudara saudara kandung dapat belajar berkompetisi dan
saling bekerjasama di dalam keluarga. Komponen kedua yaitu keluarga
berkembang dari satu masa ke masa selanjutnya dan memerlukan perbaikan, dan
komponen ketiga yaitu keluarga mampu beradaptasi dengan perubahan untuk
menjaga kelangsungan dan kesejahteraan anggota keluarga.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli diatas, keberfungsian
keluarga didefinisikan sebagai kondisi dimana kelompok sosial terkecil yang
didalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak yang menjalankan fungsi dalam keluarga
dengan baik dan ditandai dengan adanya komunikasi yang lancar termasuk
didalamnya saling memberikan dukungan dalam interaksi antar anggota keluarga,
mengembangkan nilai-nilai tertentu untuk setiap anggota keluarga, adanya aturan
dan pengawasan terhadap aktivitas keluarga.
b. Dimensi Keberfungsian Keluarga
Dimensi yang terdapat dalam keberfungsian keluarga antara lain (Moos dan
Moos, 2002), antara lain;
1.. Dimensi Relationship memiliki aspek sebagai berikut:
Derajat komitmen, bantuan, dan dukungan yang diberikan anggota
keluarga satu sama lainnya.
b. Expressiveness
Sejauhmana anggota keluarga diperbolehkan untuk mengekspresikan
perasaannya secara langsung.
c. Conflict
Jumlah / banyaknya kemarahan dan konflik yang diekspresikan secara
terbuka diantara anggota keluarga.
2. Dimensi Personal Growth memiliki aspek sebagai berikut :
a. Independence
Sejauhmana anggota keluarga dapat bersikap tegas, mampu mandiri, dan
membuat keputusan sendiri.
b. Achievement Orientation
Seberapa banyak aktifitas yang termasuk dalam kerangka / pola kerja yang
berorientasi pada prestasi atau persaingan.
c. Intellectual-Cultural Orientation
Tingkat ketertarikan anggota keluarga terhadap hal-hal politik, intelektual,
dan budaya.
d. Active-recreational Orientation
Jumlah partisipasi anggota keluarga dalam kegiatan sosial dan rekreasi.
e. Moral-religious emphasis
3. Dimensi System Maintenance memiliki aspek sebagai berikut:
a. Organization
Derajat pentingnya pengaturan yang jelas dalam merencanakan aktivitas
dan tanggungjawab dalam keluarga.
b. Control
Seperangkat aturan dan prosedur yang digunakan untuk menjalankan
kehidupan keluarga.
Berdasarkan uraian mengenai dimensi keberfungsian keluarga yang
diungkapkan oleh Moos dan Moss (2002), maka disimpulkan dimensi
keberfungsian keluarga terdiri dari dimensi relationship dengan aspek saling
mendukung antar anggota keluarga, adanya kesempatan untuk mengeluarkan
pendapat, dan keterbukaan konflik yang terjadi dalam keluarga; dimensi personal
growth dengan aspek adanya kebebasan dalam menentukan keputusan sendiri,
adanya orientasi menekankan pada prestasi, anggota keluarga memberikan
kesempatan untuk menyukai berbagai bidang yang diinginkan, seperti politik,
ilmuan, ataupun budaya, adanya kebersamaan yang diwujudkan melalui rekreasi
ataupun aktivitas sosial, dan antar anggota keluarga menjalankan nilai agama dan
etika yang sudah diatur dalam keluarga; dimensi system maintenance dengan
aspek adanya tanggung jawab masing-masing anggota keluarga terhadap keluarga
B. Kematangan Emosi
1. Definisi Kematangan Emosi
Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi dan
kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai satu
kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari
pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004).
Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan
kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu
(Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan
dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan
pelampiasan perilaku. Misalnya ketika individu sedang mengalami ketakutan,
reaksi fisiologis yang dapat muncul adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih
kencang), kemudian individu akan memikirkan bahwa dirinya sedang dalam
bahaya, sedangkan tingkah laku yang dapat mucul adalah kecenderungan untuk
menghindar dari situasi yang membuat ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001)
menjelaskan jenis-jenis emosi termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa
takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Berdasarkan beberapa
definisi emosi, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang
dirasakan oleh individu dan disertai dengan gejala-gejala fisiologis, perasaan, dan
Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan
perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan
keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga mendefinisikan
kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan
dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola
emosional yang tidak pantas. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan
definisi kematangan emosi merupakan kesiapan individu dalam mengendalikan
dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, kesiapan
tersebut tercapai sesuai dengan perkembangan usia.
2. Kematangan Emosi Remaja
Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat
mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti
kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga
menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa
remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain,
tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima
oleh orang lain. Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan
remaja untuk menilai suatu situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi
secara emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak
berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati yang lain.
Yusuf (2004) menjelaskan tentang bagaimana perubahan kematangan
emosional sebelum masa remaja sampai memasuki masa remaja, hal ini dapat
Tabel 1
Perubahan kematangan emosi
NO DARI ARAH KE ARAH
1. Tidak toleran dan bersikap superior
Bersikap toleran
2. Kaku dalam bergaul Luwes dalam bergaul 3. Peniruan buta terhadap teman
sebaya
Interdependensi dan memiliki harga diri
4. Kontrol orangtua Kontrol diri sendiri 5. Perasaan yang tidak jelas tentang
dirinya/orang lain
Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain
6. Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah
Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi remaja
merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan penyaluran
emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat diterima,
mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi sebelum
menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang didasarkan
pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock (1978),
antara lain:
Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang
dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya.
Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah,
menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara
emosi.
b. Perubahan fisik dan kelenjar
Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja
adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan
fisik dan kelenjar.
Beberapa ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi, antara lain:
a. Pola Asuh Orang Tua
Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula
pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor
yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua
memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam
kehidupan anak (Goleman, 2001).
b. Lingkungan
Kebebasan dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam
pencapaian kematangan emosi remaja. Lingkungan disekitar kehidupan remaja
yang mendukung perkembangan fisik dan mental memungkinkan kematangan
c. Jenis Kelamin
Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan,
mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga
cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh
perempuan. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan
emosi jika dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi adalah usia, perubahan fisik dan kelenjar, cara orangtua
memperlakukan anak-anaknya, lingkungan, dan jenis kelamin.
4. Karakteristik Kematangan Emosi Remaja
Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi,
antara lain:
a. Kontrol emosi
Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu
menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan
cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa
diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol
ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri
dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima
secara sosial.
Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu
emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami
emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui
penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.
c. Pengunaan fungsi kritis mental
Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi
secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap
situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya
seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik remaja yang
telah mencapai kematangan emosi adalah individu yang memiliki kemampuan
dalam mengendalikan diri saat emosi sedang memuncak dengan memperhatikan
situasi, waktu, dan cara yang dapat diterima; individu dapat memahami apa yang
sedang dirasakan dan mengetahui sebab dari emosi yang sedang dihadapi; dan
individu mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu sebelum membuat
keputusan dengan mempertimbangkan pendapat orang lain dan dampaknya; serta
mampu mempertahankan pendapat ketika berbeda dengan orang lain.
C. Remaja
1. Definisi remaja
Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh
yang mencakup dalam kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa
remaja juga merupakan peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi
perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia
antara 13 sampai 18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa
anak-anak ke masa dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk
masa remaja awal dan 16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock,
2004).
2. Tugas Perkembangan Remaja
Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa
remaja, antara lain:
a. Menerima keadaan fisiknya
b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa
c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlawan jenis.
d. Mencapai kemandirian emosional
e. Mencapai kemandirian ekonomi
f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang diperlukan
untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa
h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial
i. Mempersiapkan diri memasuki perkawinan, memamhami dan
j. Memperoleh peranan sosial
k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
l. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
3. Ciri-ciri remaja
Menurut Hurlock (2004) terdapat beberapa ciri masa remaja, antara lain;
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental secara cepat, maka
diperlukannya penyesuaian mental, pembentukan sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Periode peralihan artinya remaja memasuki tahap perkembangan berikutnya
dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan
perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan sebelumnya di masa kanak-kanak.
c. Masa remaja merupakan periode perubahan
Tingkat perubahan sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan
tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik menurun maka perubahan
sikap dan perilaku menurun juga.
Masalah dalam masa remaja menjadi sulit untuk diatasi karena remaja tidak
berpengalaman dalam menyelesaikan masalahnya, karena dimasa sebelumnya
ketika remaja memiliki masalah, masalah tersebut diselesaikan oleh orang tua
dan guru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja berupaya untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa peranannya dalam masyarakat, apakah nantinya dia mampu percaya diri
meskipun latar belakang ras, agama atau nasionalnya sehingga membuat orang
lain merendahkannya, dan bentuk identitas lainnya yang membuat remaja
dapat menjadi dirinya berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menakutkan
Streotip budaya yang menganggap remaja adalah anak-anak yang tidak rapi,
tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang
dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja, dan mereka
bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal.
g. Masa remaja sebagai masa tidak realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan berdasarkan apa yang dia inginkan
bukan berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Remaja mulai memfokuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan
seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Mereka menganggap
bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra dewasa.
D. Remaja Laki-Laki
Laki-laki dan perempuan memiliki streotipe peran jenis kelamin yang berbeda.
Laki-laki memiliki streotip aktif, agresif, individualistik, percaya diri, suka
melanggar peraturan, sedangkan perempuan lebih bersifat ekspresif, hangat secara
emosional, suka menolong, dan sensitif (Rathus, 2005). Perbedaan jenis kelamin
merupakan salah satu hal yang berhubungan dengan kematangan emosi. Faktor
perbedaan jenis kelamin memiliki hubungan yang berkaitan dengan adanya
perbedaan hormonal antara anak laki-laki dan anak perempuan, peran jenis
maupun tuntutan sosial, yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan
karakteristik emosi diantara keduanya (Davis, dalam Astuti 2005).
Laki-laki memiliki emosi yang cenderung kurang matang jika dibandingkan
dengan perempuan karena laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal
agresif, rendah diri, kegelisahan, dan mementingkan diri sendiri (Srivastava,
2005). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap
suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan
perilaku agresi, merespon masalah dengan menggunakan kemarahan, dan
mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008).
Travis (dalam Santrock, 2003) juga menyatakan bahwa remaja laki-laki lebih
ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya
itu ke dalam perilaku agresif.
Broidy dan Hall (dalam Goleman, 2001) menyatakan bahwa laki-laki kurang
mampu mengutarakan perasaan, menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui
perkelahian fisik, dan kurang peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun
diri orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki perilaku
delikuensi lebih tinggi daripada perempuan (Broidy and Agnew, dalam
Sigfusdottir 2008). Pria 39% lebih agresif daripada wanita (Frodi dalam Matlin,
2004). Sedangkan menurut teori biologi, hal itu disebabkan karena hormon
testosteron laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan hormon testosteron
dipercaya sebagai pembawa sifat agresif (Sarwono, 2002).
E. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Remaja Laki-laki
Remaja berada pada masa peralihan rentan terhadap masalah. Masalah dapat
berasal dari sekolah, keluarga, teman kelompok, dan masalah dapat menjadi sulit
untuk diatasi (Patil dalam Aminbhavi, 2003). Perilaku beresiko cenderung
meningkat sejalan dengan meningkatnya permasalahan yang dihadapi remaja,
banyak remaja menghadapi atau menghindari permasalahan dengan merokok,
minum-minuman alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam
seks bebas (Fieldman dan Elliot dalam Santrock, 2003).
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku kenakalan remaja seperti tawuran,
ketidakmatangan emosi (Silvianingsih, 2008). Salah satu faktor yang
mempengaruhi kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam
mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima
norma, matangnya emosi individu akan mengurangi kenakalan remaja (Gunarsa,
2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huffman dan Boyd (2002)
menyatakan remaja laki-laki yang rendah dalam kematangan emosi, cenderung
terpengaruh dalam prilaku minum-minuman keras.
Kenakalan remaja di Indonesia meningkat pada usia 15-19 tahun (Kartono,
2002). Jika dilihat dari usia kenakalan remaja, seharusnya pada usia tersebut
remaja sudah mampu mengendalikan dan menunjukkan kematangan emosi
sebagai tugas perkembangan yang harus dicapai (Hurlock, 2004). Kematangan
emosi dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan
dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan
orang lain (Covey, 2001). Hal ini sejalan dengan perilaku individu yang telah
mencapai kematangan emosi dapat mengubah kontrol orangtua menjadi kontrol
diri sendiri, adanya perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, serta mampu
menyatakan emosi secara konstruktif (Yusuf, 2004).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah jenis
kelamin. Laki-laki cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi terhadap
suatu masalah, cenderung menghadapi masalah dengan kemarahan, dan
menyalurkan emosinya melalui perkelahian fisik (Goleman, 2001). Ketika remaja
laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki
merespon masalah dengan menggunakan kemarahan dan mengikuti dorongan hati
tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Selain itu terdapat juga
faktor pendidikan yang mempengaruhi kematangan emosi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Riyawati (2006) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan. Kematangan emosi individu
yang berpendidikan SMA lebih tinggi daripada yang berpendidikan SD dan SMP.
Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memberikan
kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al,
2003). Penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku kenakalan yang dilakukan
remaja karena adanya manajemen keluarga yang tidak terorganisir dengan baik,
kurangnya pengawasan orang tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol
remaja, rendahnya tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada
remaja (Henderson, et.al, 2006). Namun, meskipun keluarga telah berfungsi
dengan baik, ada juga remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja. Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10
lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan
bahwa 75 % narapidana berasal dari keluarga yang memilki sedikit konflik, 79 %
berasal dari orangtua yang tidak memdeda-bedakan anaknya, dan 56 % berasal
dari proporsi adanya keterbukaan komunikasi anak terhadap orangtua (Badan
Nasional Narkoba, 2003)
Hipotesa dalam penelitian ini adalah : ada hubungan antara keberfungsian
keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut
cara yang benar dalam mengumpulkan data, analisa data, dan pengambilan
kesimpulan penelitian serta dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Pada bab ini akan dijelaskan
mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas identifikasi
variabel penelitian; definisi operasional variabel penelitian; populasi dan metode
pengambilan sampel; metode dan alat pengumpulan data; serta metode analisa
data.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.
Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana
variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau
ingin mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dan kematangan emosi
pada remaja laki-laki.
A. Identifikasi Variabel
Adapun variabel yang terlibat dalam penelitian ini, adalah:
Variabel bebas : Keberfungsian keluarga
Variabel tergantung : Kematangan emosi
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional penelitian bertujuan agar pengukuran variabel-variabel
penelitian lebih terarah sesuai dengan tujuan dan metode pengukuran yang
dipersiapkan. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Kematangan Emosi
Kematangan emosi merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan
mengarahkan penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara
yang dapat diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap
suatu situasi sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil
keputusan yang didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah
berubah-ubah.
Dalam penelitian ini, kematangan emosi diukur dengan menggunakan skala
kematangan emosi yang dikembangkan berdasarkan karakteristik kematangan
Skor tinggi pda skala ini akan menunjukkan tingginya kematangan emosi individu
dan skor rendah pada skala ini menunjukkan rendahnya kematangan emosi
individu.
2. Keberfungsian Keluarga
Keberfungsian keluarga merupakan kondisi dimana kelompok sosial terkecil
yang didalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak menjalankan fungsi dalam keluarga
dengan baik dan ditandai dengan adanya komunikasi yang lancar termasuk
didalamnya saling memberikan dukungan dalam interaksi antar anggota keluarga,
mengembangkan nilai-nilai tertentu untuk setiap anggota keluarga, adanya aturan
dan pengawasan terhadap aktivitas keluarga.
Dalam penelitian ini, keberfungsian keluarga diukur dengan menggunakan
skala keberfungsian keluarga yang dikembangkan berdasarkan dimensi
keberfungsian keluarga yaitu dimensi relationship dengan aspek cohesion,
expresiveness, conflict; dimensi personal growth dengan aspek independence,
achievement orientation, intellectual-culture orientation, active-recreational
orientation, moral-religious emphasis; dan dimensi system maintenance dengan
aspek organization, dan control. Skor tinggi pda skala ini akan menunjukkan
tingginya keberfungsian keluarga yang dimiliki individu dan skor rendah pada
skala ini menunjukkan rendahnya keberfungsian keluarga yang dimiliki individu..
Populasi merupakan keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang
ingin diteliti (Sugiarto, 2003). Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau
individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki.
Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi,
maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan
sebagai subjek penelitian atau yang dikenal dengan nama sampel. Sampel
merupakan sebagian dari populasi yang ingin diteliti, karakteristik subjek
penelitian sebenarnya merupakan gambaran dari populasi yang diteliti dan sampel
yang diambil harus memenuhi karakteristik tersebut karena diambil dari populasi
tersebut (Sugiarto, 2003).
Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Remaja laki-laki
Karakteristik ini dipilih karena menurut Santrock (2003), laki-laki dikenal
lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat
tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu mengekspresikan
emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan, hal ini menunjukkan laki-laki
cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan
perempuan. Ketika laki-laki merasa tidak dapat menghadapi masalah, mereka
cenderung menyalurkan emosinya dengan kemarahan ataupun perilaku agresif
dan menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui perkelahian fisik, dan kurang
peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun diri orang lain (Broidy dan Hall,
b. Remaja SMA
Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan lebih banyak
memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu akan digunakan untuk melawan
tekanan yang akan dihadapi di masa akan datang dan mengakibatkan semakin
matang emosinya (Anderson dalam Mappiare, 1983).
c. Berusia 16-18 tahun
Karakteristik ini dipilih karena menurut Hurlock (2004) ketika remaja berada
pada masa remaja akhir yaitu usia 16-18 tahun, seharusnya remaja sudah mampu
mengendalikan emosinya dan menunjukkan kematangan emosi.
d. Tinggal bersama orangtua
Karakteristik ini dipilih karena orangtua berperan penting dalam
perkembangan anak dalam keluarga dan dalam struktur keluarga terdapat sub
sistem orangtua yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pengawasan
yang dihubungkan dengan interaksi antara orangtua dan anak (Minuchin, 1974).
e. Memiliki saudara kandung
Karakteristik ini dipilih karena dengan adanya interaksi saudara sekandung
dapat belajar berkompetisi dan saling bekerjasama di dalam keluarga dan salah
satu komponen dalam keberfungsian keluarga adalah struktur keluarga dan
didalamnya terdapat sub sistem saudara sekandung (Minuchin, 1974).
2. Jumlah sampel dan teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multi stage sampling
sub-sub daerah dan sub-sub-sub-sub daerah ini dibagi dalam daerah kecil, dan seterusnya
sehingga dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Pada
saat pengambilan sampel bertahap ini anggota kelompok tidak harus seluruhnya
dijadikan sampel (Sugiarto, 2003). Pada kota Medan terdapat 22 kecamatan, yang
kemudian dirandom 2 kecamatan (kecamatan Medan timur dan kecamatan Medan
Amplas). Pengambilan sekolah dilakukan secara random kembalidan terpilih 2
sekolah dari masing-masing kecamatan yaitu MAN 3 dan SMA Krakatau. Adapun
jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 65 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode skala. Skala merupakan suatu prosedur pengambilan data sebagai alat
ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang
menggambarkan aspek kepribadian individu. Penelitian ini menggunakan
penskalaan model Likert dengan model penskalaan pernyataan sikap yang
menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar,
2004).
1. Skala Keberfungsian Keluarga
Skala keberfungsian keluarga, dimana aitem-aitemnya disusun berdasarkan
dimensi keberfungsian keluarga yang diungkapkan oleh Moos dan Moos (2002)
yaitu dimensi relationship dengan aspek cohesion, expresiveness, conflict,
dimensi personal growth dengan aspek independence, achievement orientation,
emphasis, dan dimensi system maintenance dengan aspek organization, dan
[image:49.595.113.555.209.706.2]control.
Tabel 2
Blue Print Skala Keberfungsian Keluarga
NO Dimensi Aspek Indikator
Perilaku
Aitem Total Fav unfav
1. Relationship Cohesion Mendukung dan membantu anggota keluarga 1, 51, 32 13, 30, 49 6
Expresiveness Mengekspresikan apa yang dirasakan secara bebas 2, 11, 31 28, 50, 59 6
Conflict Mengekspresikan perbedaan pendapat dan kemarahan secara terbuka 3, 29, 48 12, 40, 52 6
2. Personal Growth
Independence Membuat keputusan sendiri 4, 27, 46 14, 33, 53 6 Achievement orientation
Belajar bersama di rumah atau belajar di luar rumah 5, 35, 57 15, 25, 45 6 intellectual-culture orientation Mengajak anggota keluarga mendukung hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran, kebudayaan, dan politik 17, 26, 34 6, 47, 54 6 Active-recreational orientation Menjalankan kegiatan sosial di rumah atau di luar rumah 7, 23, 37 16, 56 43 6 Moral-religious emphasis Mengajarkan etika dan ajaran agama
19, 42, 55
8, 24, 36
6
3. System Maintenance
Organization Menentukan tanggung jawab dan rencana dalam keluarga. 9, 21, 44 18, 39, 60 6
Control Menjalankan aturan yang telah ditetapkan
20, 22, 41
10, 38, 58
6
Jumlah 30 30 60
Skala kematangan emosi, aitem yang disusun berdasarkan karakteristik
yang diungkapkan oleh Hurlock (2004) yaitu kontrol diri, pemahaman diri,
[image:50.595.107.522.322.749.2]dan penggunaan fungsi kritis mental.
Tabel 3
Blue Print Skala Kematangan Emosi
NO. Dimensi Kematangan
Emosi
Indikator Perilaku
Aitem Total Fav Unfav
1. Kontrol emosi a. Mengekspresikan emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat 6, 27, 69, 71 46, 72, 70, 11. 8
b. Mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima 18, 47, 66, 67 7, 28, 61, 68 8
c. Mengendalikan diri saat memosi memuncak 2, 12, 37, 60 19, 38. 41, 48 8
2. Pemahaman diri
a. Memperlihatkan
kepekaan terhadap emosi yang dirasakan 5, 36, 49, 62 39, 40, 58, 59 8
b. Mencari cara mengatasi emosi yang dialami dengan mengetahui penyebab emosi 1, 34, 56, 65 13, 15, 35, 57 8
3. Penggunaan fungsi kritis mental
a. Tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan 17, 20, 25, 33 3, 26, 50, 64 8
b. Menerima pendapat orang lain 14, 31, 42, 51 9, 22, 45, 55 8 c.Mempertahankan pendapat ketika berbeda dengan orang lain 4, 29, 54, 32, 16, 43, 52, 63 8
Jumlah 36 36 72
Setiap komponen-komponen di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah
pernyataan favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif
pilihan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor
empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor
dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang
unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu, pilihan S mendapatkan skor
dua, pilihan TS akan mendapatkan skor tiga, dan pilihan STS akan mendapatkan
skor empat.
E. Uji Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas
Uji validitas merupakan ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi
alat ukurnya, artinya alat ukur memang mengukur apa yang diinginkan untuk
diukur (Hadi, 2000). Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini,
peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan
validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem dalam
skala mencakup keseluruhan isi yang ingin diungkapkan oleh tes tersebut. Hal ini
berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta
tidak keluar dari batasan alat ukur (Hadi, 2000). Validitas isi memiliki dua tipe
yaitu validitas muka dan validitas logik.
Validitas muka merupakan tipe validitas yang didasarkan pada penilaian
terhadap format penampilan tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan
dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka
dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi.
b. Validitas logik
Validitas logik menunjukkan sejauhmana isi tes merupakan representasi
dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Untuk memperoleh validitas logik
yang tinggi, suatu tes harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar
berisi aitem yang relevan. Suatu objek ukur yang yang hendak diungkap oleh
tes haruslah dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan
konkret.
Penilaian validitas isi tergantung pada penilaian subjektif individual. Hal
ini dikarenakan estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik
apapun melainkan dengan analisis rasional dan melalui professional
judgement. Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional judgement
yaitu dosen pembimbing peneliti dan dosen bidang psikometri.
2. Uji Daya Beda
Sebelum melakukan pengujian reliabilitas, hendaknya terlebih dahulu
melakukan prosedur seleksi aitem dengan cara menguji karakteristik
memenuhi syarat kualitas yang baik tidak boleh diikutkan menjadi bagian tes.
Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini
adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan
fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2004).
Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi
antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi
skor skala itu sendiri. Komput asi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem
total (rit) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria
pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rit ≥ 0,275.
Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,275, daya pembedanya
dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rit kurang dari 0,275 dapat
diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2004).
Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya beda aitemnya dengan
menghitung antara skor aitem dengan skor total skala. Teknik statistika yang
digunakan adalah koefisiensi Product Moment oleh Pearson. Formulasi koefisien
korelasi Product Moment dari Pearson digunakan bagi tes-tes yang setiap
aitemnya diberi skor berkelanjutan. Semakin tinggi koefisien korelasi positif
antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara
aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya
bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati angka nol berarti fungsi aitem
tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik
(Azwar, 2004). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan menggunakan
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2004). Untuk menguji
reliabilitas dari aitem-aitem yang ada digunakan formula Alpha Cronbach
melalui bantuan SPSS 17.0. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas
(rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin
tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi
reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0
berarti semakin rendahnya reliabilitas.
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur 1. Skala Keberfungsian Keluarga
Uji coba skala keberfungsian keluarga dilakukan terhadap 70 remaja laki-laki
usia 16 sampai18 tahun, bersekolah, tinggal bersama orangtua, memiliki saudara
kandung. Adapun distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian
[image:54.595.108.555.623.753.2]keluarga akan dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 4
Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian keluarga
NO Dimensi Aspek Indikator
Perilaku