• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Pada Remaja Laki-Laki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Pada Remaja Laki-Laki"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA

DENGAN KEMATANGAN EMOSI REMAJA LAKI-LAKI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

INDAH PERMATA SARI NST

061301066

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang

berjudul:

Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip

dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2011

INDAH PERMATA SARI NST

(3)

Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki

Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog

ABSTRAK

Kematangan Emosi adalah kondisi ketika individu mampu mengekspresikan emosi sesuai waktu yang tepat dan dengan cara yang dapat diterima, mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, dan memiki reaksi emosional yang tidak berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lain. Jenis kelamin laki-laki cenderung kurang memiliki kematangan emosi dikarenakan cenderung sulit dalam mengekspresikan emosi. Salah satu fakor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah pola asuh orang tua temasuk didalamnya cara orangtua berinteraksi dengan anak. Keluarga dapat mengajarkan bagaimana individu dapat mengeksplorasi emosi. Perhatian, kasih sayang, dan perasaan aman akan membantu individu menghadapi masalah-masalah tertentu dengan memperhatikan keseimbangan emosinya. Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat diartikan dengan kualitas interaksi antar anggota keluarga.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki. Metode pengambilan sampel adalah multi stage sampling dan jumlah sampel penelitian adalah 65 orang. Penelitian ini menggunakan dua skala sebagai alat ukur, yaitu Skala Keberfungsian Keluarga yang disusun berdasarkan teori Moos dan Moos dan Skala Kematangan Emosi yang disusun berdasarkan teori Hurlock. Nilai reliabilitas skala keberfungsian keluarga sebesar 0,902 terdiri dari 30 aitem dan reliabilitas skala kematangan emosi sebesar 0,900 terdiri dari 31 aitem.

Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki. Koefisien korelasinya sebesar 0,580 dengan p=0,000.

(4)

Relationship between family functioning with emotional maturity in adolescent males

Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog

ABSTRACT

Indah Permata Sari Nst dan Silviana Realyta M.Psi., Psikolog

Emotional maturity is the condition when the individual is able to express emotions as the right time and in a manner that is acceptable, able to critically assess the situation first before reacting emotionally, and thinking about the emotional reaction that does not change from one mood to another mood. Men tend to lack the emotional maturity tend to be difficult because in expressing emotion. One factor affecting emotional maturity is the pattern of parenting associated with it the way parents interact with children. Families can be taught how individuals can explore emotions. Attention, affection, and a feeling of security will help individuals deal with certain problems with respect to balance his emotions. Well-functioning family can be defined by the quality of interaction between family members.

This research is a correlational study is aimed to know the relation of family functioning with emotional maturity teenage boys. The sampling method is a multi-stage sampling and sample number is 65 people. This study used two scales as a measurement, namely the Family Functionality Scale which is based on the theory of Moos and Moos and Emotional Maturity Scale which is based on the theory of Hurlock. Family functioning scale reliability value of 0.902 consists of 30 aitem and emotional maturity scale reliability value of 0.900 consists of 31 aitem.

Analysis of research using Pearson Product Moment correlation. Based on the analysis found that there is a relationship between the functioning of families with the emotional maturity of teenage boys. Correlation coefficient of 0.580 with p = 0.000.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan. Terima kasih

sebanyak-banyaknya kepada orangtua saya yang telah memberikan dukungan

moril dan materil selama saya mengerjakan skripsi ini dan semua yang telah

diberikan adalah kekuatan terbesar bagi diri saya, semoga Allah membalas semua

amal Beliau.

Judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir adalah

”hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja

laki-laki”.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, baik sejak masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Untuk itu

penulis ingin mengucapkan kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan

semangat, bantuan, dan saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Saya ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Silviana Realyta M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah banyak memberikan kesempatan waktu, saran-saran,

(6)

3. Ibu Wiwik Sulistyaningsih M.si psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

Terima kasih atas bimbingan akademik yang telah ibu beikan selama ini.

4. Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan kesempatan waktunya.

5. Kakak-kakak saya yang telah selalu memberikan pertanyaan “kapan sidang?”

kepada saya sehingga membuat saya semangat untuk mengerjakannya walau

sedikir bosa ketika harus ditanya seperti itu.

6. Pak As, Pak Is, Bu Rini, Kak Erna, Kak Devi, Kak Ari, Bang Sono yang telah

membantu penulis dalam mengurus administrasi yang diggunakan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepala Sekolah MAN 3 dan SMA Krakatau yang telah memberikan

kesempatan kepada saya sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini.

8. Ayu, Eky, dan Yasra yang telah memberikan kebersamaan, saran, bantuan,

dan keceriaan selama ini.

9. Fitri, Yanda, Shella, dan teman-teman satu departemen perkembangan

angkatan ’06 yang telah memberikan saran dan batuan kepada penulis.

10.Terima Kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ...i

HALAMAN ABSTRAK ... ii

HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GRAFIK ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat teoritis ... 8

2. Manfaat praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Keluarga ... 10

1. Definisi keluarga ... 10

2. Fungsi Keluarga ... 10

3. Keberfungsian Keluarga ... 12

(8)

b. Dimensi Keberfungsian keluarga ... 14

B. Kematangan Emosi ... 17

1. Definisi Kematangan emosi ... 17

2. Kematangan emosi remaja ... 18

3. Faktor yang mempengaruhi kematangan emosi... 19

4. Karakteristik kematangan emosi remaja... 21

C. Remaja ... 22

1. Definisi Remaja ... 22

2. Tugas Perkembangan remaja ... 23

3. Ciri Remaja ... 24

D. Remaja Laki-laki ... 25

E. Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki ... 27

F. Hipotesa Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 30

B Definisi Operasional Variabel Penelitian... 31

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi dan sampel ... 32

2. Jumlah sampel dan teknik pengambilan sampel ... 34

D. Metode pengumpulan data ... 35

1. Skala Keberfungsian Keluarga ... 35

(9)

E. Uji Validitas, uji daya beda, dan reliabilitas alat ukur ... 38

1. Uji validitas ... 38

2. Uji daya beda ... 39

3. Uji Reliabilitas ... 41

F. Hasil Uji coba alat ukur ... 41

1. Skala keberfungsian keluarga ... 41

2. Skala kematangan emosi ... 44

G. Prosedur Penelitian ... 47

1. Tahap persiapan penelitian ... 47

a. Pembuatan alat ukur... 47

b. Uji coba alat ukur ... 47

c. Revisi alat ukur ... 47

d. pemeilihan tempat peneitian ... 48

e. Mengurus surat izin penelitian ... 48

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 48

a. Pemilihan sampel ... 49

b. Penyebaran skala penelitian ... 49

3. Tahap pengolahan data ... 49

H. Metode anaisa data ... 49

1. Uji Normalitas ... 50

2. Uji Linieritas ... 50

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 51

(10)

1. Berdasarkan usia ... 51

2. Berdasarkan jumlah saudara ... 52

B. Uji asumsi penelitian ... 52

1. Uji normalitas ... 52

2. Uji linieritas ... 53

C. Hasil analisa data... 54

1. Hasil perhitungan korelasi ... 54

2. Kategorisasi data ... 55

D. Pembahasan ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

1. Saran Metodologis ... 66

2. Saran Praktis ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perubahan Kematangan Emosi ... 19

Tabel 2 Blue Print Skala Keberfungsian Keluarga ... 36

Tabel 3 Blue Print Skala Kematangan Emosi ... 37

Tabel 4 Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian keluarga ... 41

Tabel 5 Distribusi aitem-aitem skala penelitian keberfungsian keluarga... 43

Tabel 6 Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala kematangan emosi... 44

Tabel 7 Distribusi aitem-aitem skala penelitian kematangan emosi ... 46

Tabel 8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 51

Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jumlah saudara ... 52

Tabel 10 Normalitas sebaran variabel keberfungsian keluarga terhadap kematangan emosi remaja laki-laki ... 53

Tabel 11 Korelasi antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki... 55

Tabel 12 Deskripsi skor hipotetik data keberfungsian keluarga ... 56

Tabel 13 Kategorisasi data hipotetik keberfungsian keluarga ... 56

Tabel 14 Deskripsi skor hipotetik data kematangan emosi ... 57

Tabel 15 Kategorisasi data hipotetik kematangan emosi ... 58

(12)

DAFTAR GRAFIK

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daya beda aitem dan reliabilitas skala keberfungsian keluarga dan kematangan emosi

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai sesuai

dengan tingkat usia. Usia remaja dikatakan sebagai masa peralihan antara masa

kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus

dicapai adalah mencapai kematangan emosi (Cole dalam Yusuf, 2004). Hal ini

sejalan dengan Hurlock (2004) yang mengemukakan bahwa kematangan remaja

mencakup pada kematangan seksual, emosional, sosial, dan fisik. Srivastava

(2005) juga mengemukakan bahwa kematangan emosi merupakan hal yang

penting dalam masa peralihan remaja menuju dewasa.

Remaja dikatakan mencapai kematangan emosi ketika kondisi perasaan atau

reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk

mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan pertimbangan

dan tidak mudah berubah–ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lain

(Hurlock, 2004). Perilaku yang ditunjukkan dari kematangan emosi adalah

mampu menyatakan emosinya secara konstruktif, mampu mencari pemecahan

masalah yang dihadapi dengan cara-cara yang aman dan dapat diterima, serta

diharapkan mampu menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan (Yusuf, 2004).

Remaja berada pada masa peralihan yang membuat remaja rentan terhadap

(15)

sebagai periode storm and stress, dimana terjadi peningkatan ketegangan

emosional yang disebabkan oleh perubahan fisik dan hormonal. Masalah yang

dihadapi remaja dapat berasal dari sekolah, keluarga, dan teman kelompok, yang

terkadang menjadi sulit untuk diatasi (Patil dalam Aminbhavi dan Pastey, 2003).

Remaja harus mampu mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh perubahan fisik,

mental, dan kehidupan. Pada saat yang sama, remaja dituntut oleh lingkungannya

untuk mampu mengendalikan emosi. Jika remaja tidak mampu mengendalikan

emosi maka remaja cenderung melakukan tindakan negatif.

Gunarsa (2003) mengemukakan bahwa matangnya emosi individu akan

mengurangi kenakalan remaja. Permasalahan dan ketegangan emosional yang

meningkat pada masa remaja menyebabkan pada masa ini perilaku beresiko

cenderung meningkat. Perilaku tersebut umumnya dikategorikan sebagai

kenakalan remaja yang dapat dilihat dari adanya perilaku kebut-kebutan di jalan

raya, tawuran, membolos sekolah, merampas, mencuri, perilaku yang tidak

mematuhi orangtua dan guru, kecanduan narkoba, melakukan hubungan seks

bebas, dan perjudian (Kartono, 1998).

Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan kenakalan remaja dengan

kematangan emosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivianingsih (2008)

menunjukkan bahwa kenakalan, tawuran, seks bebas, serta ketergantungan

narkoba yang terjadi di masa remaja merupakan perilaku yang mencerminkan

ketidakmatangan emosi. Selain itu, terdapat juga hasil penelitian (Boyd dan

Huffman, 2002) menunjukkan bahwa individu yang minum-minuman alkohol

(16)

menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan emosi remaja maka perilaku

agresi akan semakin rendah. Hasil penelitian-penelitian tersebut sejalan dengan

yang dikemukakan Sarwono (2010) bahwa salah satu penyebab tingginya angka

kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam mengendalikan emosi dan

mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma, belum

matangnya emosi individu menyebabkan individu mudah terbawa pengaruh

kelompok untuk melakukan perbuatan tertentu.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kematangan emosi. Pendidikan mengajarkan tanggung jawab yang merupakan

salah satu ciri kematangan emosi individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan

individu maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan

tersebut dapat digunakan untuk melawan tekanan-tekanan yang akan dihadapi dan

mengakibatkan emosi individu semakin matang (Anderson dalam Mappiare,

1983). Namun pada kenyataanya, penelitian mengenai kasus narkoba terhadap 10

Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003 menunjukkan

narapidana narkoba memiliki tingkat pendidikan setara dengan tingkat SMA

(Badan Nasional Narkoba, 2003).

Rentang usia individu yang melakukan kenakalan remaja dapat dilihat dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisukarto (dalam Yamani, 2009)

menunjukkan sebagian besar korban penyalahgunaan narkotika dan minuman

keras adalah remaja, yang terbagi dalam kelompok usia 14-16 tahun (47,7%),

kelompok usia 17-20 tahun (51,3%), dan kelompok usia 21-24 tahun (31%).

(17)

yaitu 15-19 tahun (Kartono, 2002). Sementara itu, Ria (2010) melakukan

komunikasi personal pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, jumlah

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan

pada Maret 2010 tercatat 37 orang dengan usia 13-15 tahun, 331 orang yang

berusia 16-19 tahun, dan 246 orang berusia 20-23 tahun. Hal ini bertentangan

dengan Hurlock (2004) yang menyatakan bahwa ketika remaja berada pada masa

remaja akhir yaitu usia 16 sampai 18 tahun, seharusnya remaja sudah mampu

mengendalikan emosinya dan menunjukkan kematangan emosi.

Faktor jenis kelamin juga dapat mempengaruhi kematangan emosi. Laki-laki

dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki

pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu

mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini

menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika

dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003). Perbedaan jenis kelamin pada

kematangan emosi dijelaskan sebagai pengaruh sosialisasi awal emosi. Anak

laki-laki diharapkan lebih mandiri, aktif, dan percaya diri, sementara anak perempuan

diharapkan lebih ekspresif, hangat secara emosional, suka menolong, dan sensitif

(Davis dalam Astuti, 2005).

Ketika laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah,

laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi,

menggunakan kemarahan, dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy

dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Remaja laki-laki lebih sering mengalami konflik

(18)

sekolah, seperti tidak masuk sekolah, merokok, menggunakan obat terlarang dan

berkelahi (Santrock, 2003). Penelitian yang dilakukan tentang penyalahgunaan

narkoba di 10 lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia menunjukkan

bahwa 52,41% laki-laki tercatat sebagai pemakai narkoba (Badan Nasional

Narkoba, 2003). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa 39% pria lebih

agresif daripada wanita (Frodi dalam Matlin, 2004).

Perilaku tidak masuk sekolah, merokok, dan perilaku-perilaku negatif yang

telah diuraikan sebelumnya dianggap masyarakat sebagai perilaku kenakalan

remaja. Kenakalan remaja ini dapat dikurangi dengan adanya hubungan yang

positif dalam keluarga (Kumpfer dan Alvarado dalam Reinherz, 2003).

Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memiliki

kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al,

2003). Sebaliknya, remaja yang berada dalam keluarga penuh dengan konflik

dapat memicu kenakalan remaja, karena cenderung mengalami ketidakmampuan

dalam mengendalikan emosi (Brook, et.al dalam Santrock, 2003). Pengawasan

orangtua juga berperan penting dalam mencegah kenakalan remaja. Hal ini terlihat

dalam kasus penggunaan obat-obatan terlarang yang menunjukkan bahwa remaja

yang terlibat umumnya kurang mendapat pengawasan dan kontrol orangtua atau

orangtua kurang memiliki pengetahuan mengenai teman-teman dan aktivitas

remaja (Dishion, et.al dalam Coley, 2008).

Adanya pengawasan dan kontrol orangtua dapat menjadi ciri dari keluarga

yang dapat menjalankan fungsi dengan baik. Agustina (dalam Qudsyi, 2005)

(19)

keluarga fungsional yang diartikan sebagai keluarga yang dapat menjalankan

fungsi-fungsi yang ada pada keluarga dengan baik. Moos dan Moos (dalam

Stewart, 1998) menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai kualitas

interaksi antar anggota keluarga. Selain itu, dikonsepkan juga sebagai tingkat

kohesifitas dalam keluarga. Namun meskipun keluarga telah berfungsi dengan

baik, ada juga anak remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja.

Perilaku kenakalan remaja seperti terlibat dalam perkelahian antar gang

maupun antar sekolah dan remaja dapat melibatkan remaja berasal dari keluarga

baik-baik (Kartono, 1998). Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survei mengenai

pecandu narkoba di Indonesia menunjukkan bahwa 60 sampai 70% anak-anak

pecandu narkoba berasal dari keluarga yang dapat berfungsi dengan baik atau

keluarga yang harmonis. Hasil survei ini diperoleh dari 613 pecandu di 14 panti

rehabilitasi yang dilakukan oleh Yayasan Cinta Anak Bangsa (Veronica, 2008).

Penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10 lembaga

pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan bahwa

75% narapidana berasal dari keluarga yang memiliki sedikit konflik, 79% berasal

dari orangtua yang tidak membeda-bedakan anaknya, dan 56% berasal dari

proporsi saling berbagi cerita dengan orangtua (Badan Nasional Narkoba, 2003).

Kasus kenakalan remaja banyak ditemukan di media-media masa, daerah yang

tercatat paling sering terjadinya kenakalan remaja adalah Jakarta, Surabaya, dan

Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan

oleh remaja. Data tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994

(20)

terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat

lainnya. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar dan 2 anggota

Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas

(Tambunan, 2001). Medan adalah salah satu kota besar yang dapat ditemukan

berbagai bentuk kenakalan remaja. Ria (2010) melakukan komunikasi personal

pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, dalam Lembaga Pemasyarakatan

Tanjung Gusta tercatat berbagai kasus seperti pembunuhan, kesusilaan, penipuan,

pemerasan, perjudian, narkotika, penganiayaan, perampokan, yang dilakukan pada

usia berkisar 13 sampai 21 tahun. Pelaku pada umumnya berasal dari daerah

Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Tembung, Medan Belawan,

Medan Amplas, dan Medan Johor.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat meskipun keluarga yang dapat

menjalankan fungsinya dengan baik namun perilaku kenakalan remaja tetap

meningkat. Kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh kurangnya kematangan

emosi dalam mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat

diterima norma. Laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku kenakalan remaja,

salah satu penyebabnya karena ketidakmampuan dalam mengekpresikan emosi

yang dirasakan dengan cara yang diterima, melainkan laki-laki cenderung

menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara negatif dan hal ini

menunjukkan laki-laki cenderung kurang matang secara emosi. Hal inilah yang

membuat peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat hubungan antara

(21)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara

keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan antara

keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu

psikologi, khususnya bagian psikologi perkembangan tentang keberfungsian

keluarga terhadap kematangan emosi remaja, terutama pada remaja laki-laki.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi orangtua agar dapat

menciptakan lingkungan dasar yang nyaman, sehingga anak dapat mencapai tugas

perkembangan sesuai dengan usia. Selain itu, diharapkan agar orangtua dapat

lebih memahami pentingnya keluarga yang berfungsi dengan baik. Orangtua dapat

menyediakan waktu untuk saling berkomunikasi tentang aktivitas yang dilakukan

remaja.

Bagi remaja laki-laki, diharapkan dapat memanfaatkan keadaan keluarga yang

(22)

Selain itu, diharapkan agar remaja laki-laki lebih mampu menggunakan

kemampuan berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan sehingga dapat

mengurangi perilaku kenakalan remaja tanpa mudah terpengaruh oleh faktor lain.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini berisi:

1. Bab I merupakan pendahuluan menjelaskan latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

2. Bab II menjelaskan tentang landasan teori dan hipotesa penelitian.

3. Bab III menjelaskan tentang metodologi penelitian, berisi variabel

penelitian, definisi operasional, metode pengumpulan sampel, alat ukur

yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisa.

4. Bab IV menjelaskan tentang analisa data dan pembahasan yang memuat

gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan

penelitian.

5. Bab V menjelaskan tentang kesimpulan dan saran, yang berisi kesimpulan

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari hubungan laki-laki

dan wanita, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk membesarkan

dan menghasilkan keturunan. Keluarga inti merupakan satu kesatuan sosial yang

terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum menikah (Ahmadi, 1999).

Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008) menambahkan definisi keluarga

merupakan sekelompok individu yang diikat oleh perkawinan atau adopsi,

menjadi satu rumah tangga, saling berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan

yang lain dalam peran sosial sebagai suami dan istri, ayah dan ibu, adik, abang,

dan kakak, serta menjaga budaya dasar keluarga. Berdasarkan uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang diikat oleh

hubungan perkawinan atau adopsi dan didalamnya terdapat peran anggota

keluarga yang dituntut untuk menjaga nilai-nilai yang ada dalam keluarga.

2. Fungsi Keluarga

Keluarga yang bahagia diperoleh jika keluarga memerankan fungsinya dengan

baik. Adapun yang menjadi fungsi dasar keluarga inti adalah memberikan rasa

(24)

diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak hanya

sebatas perasaan, tetapi menyangkut pemeliharaan, tanggung jawab, perhatian,

pemahaman, dan keinginan untuk mengembangkan anak (Yusuf, 2004). Murdock

(dalam DeGenova, 2008) menjelaskan fungsi keluarga inti, adalah menyediakan

tempat tinggal, bekerjasama dalam hal ekonomi termasuk didalamnya

memperoleh penghasilan dan pendistribusiannya, menghasilkan keturunan, dan

fungsi seksual.

Berns (2004) mengungkapkan fungsi keluarga, terdiri dari:

a. Fungsi reproduksi, termasuk didalamnya meneruskan keturunan yang berfungsi

menggantikan individu-individu yang telah meninggal, memelihara dan

membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, memelihara, dan

merawat anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi, termasuk didalamnya keluarga menyediakan nilai sosial,

kepercayaan, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang akan digunakan

sampai masa dewasa.

c. Mengatur peran sosial, keluarga menyediakan indentitas untuk keturunannya

seperti suku, etnis, agama, dan peran gender, dimana identitas tersebut

termasuk dalam perilaku dan kewajiban, serta menyediakan peran di

masyarakat.

d. Fungsi dukungan ekonomi, termasuk didalamnya menyediakan tempat,

makanan dan perlindungan, mencari sumber-sumber penghasilan untuk

(25)

berfungsi sebagai penyimpanan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga dimasa akan datang.

e. Fungsi dukungan emosional, termasuk didalamnya keluarga menyediakan

pengalaman dalam interaksi sosial, pengasuhan, dan memberikan kenyamanan

emosi untuk keturunannya.

f. Fungsi pendidikan, termasuk didalamnya menyekolahkan anak untuk

memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai

dengan bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak untuk kehidupan

dewasa akan datang dalam memenuhi perannya sebagai seorang dewasa, serta

mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga

terdiri dari fungsi sebagai pemberian dukungan ekonomi, penerus keturunan,

pengaturan peran sosial, pemberian dukungan emosional, pemberian pendidikan,

dan pemberian dukungan antar anggota keluarga.

3. Keberfungsian Keluarga

a. Definisi Keberfungsian Keluarga

Keberfungsian keluarga mengacu kepada kualitas interaksi anggota keluarga.

Selain itu, dapat juga dikonsepkan sebagai kohesifitas dalam keluarga. Secara

spesifik dapat dilihat dari jumlah komunikasi, keluarga dapat beradaptasi dengan

perubahan-perubahan yang terjadi, konflik yang terjadi dalam keluarga, dukungan

dan kasih sayang antar anggota keluarga, kemampuan mengekspresikan apa yang

(26)

keluarga, orientasi prestasi, moral, keagamaan, dan penyelesaian masalah yang

dapat dilakukan anggota keluarga (Moos dan Moos dalam Stewart, 1998).

MacArthur (2000) menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai

keluarga yang dapat menjalankan fungsinya dengan benar. Keberfungsian

keluarga menjadi tempat individu dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri,

didalamnya terdapat rasa cinta dan kebersamaan antara anggota keluarga. Antar

anggota keluarga memberikan waktu dan dukungan antara satu dengan yang lain,

peduli terhadap keluarga dan membuat kesejahteraan anggota keluarga menjadi

prioritas dalam kehidupan.

Keberfungsian keluarga juga dapat didefinisikan sebagai keluarga yang telah

mampu melaksanakan fungsinya, ditandai dengan karakteristik saling

memperhatikan dan mencintai, bersikap terbuka dan jujur, orangtua mau

mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapat anak, terdapat

tukar pikiran pendapat terhadap suatu masalah di antara anggota keluarga,

berusaha mengatasi masalah hidup, saling menyesuaikan diri, orang tua

melindungi anak, komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik,

keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai

budaya, serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari (Yusuf, 2004).

Minuchin (1974) mengajukan skema dari keberfungsian keluarga untuk

membantu dalam menganalisa sebuah keluarga, yang didasarkan atas tiga

komponen. Pertama pengaturan struktur keluarga sebagai cara anggota keluarga

(27)

suami dan istri terdiri dari laki-laki dan perempuan yang membentuk keluarga dan

keduanya saling memberikan dukungan; sub sistem orangtua yang terbentuk

ketika kehadiran anak pertama, termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap

pemeliharaan dan pengawasan yang dihubungkan dengan interaksi orangtua dan

anak; sub sistem saudara kandung yang terbentuk dari hadirnya anak kedua dan

melalui interaksi antar saudara saudara kandung dapat belajar berkompetisi dan

saling bekerjasama di dalam keluarga. Komponen kedua yaitu keluarga

berkembang dari satu masa ke masa selanjutnya dan memerlukan perbaikan, dan

komponen ketiga yaitu keluarga mampu beradaptasi dengan perubahan untuk

menjaga kelangsungan dan kesejahteraan anggota keluarga.

Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli diatas, keberfungsian

keluarga didefinisikan sebagai kondisi dimana kelompok sosial terkecil yang

didalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak yang menjalankan fungsi dalam keluarga

dengan baik dan ditandai dengan adanya komunikasi yang lancar termasuk

didalamnya saling memberikan dukungan dalam interaksi antar anggota keluarga,

mengembangkan nilai-nilai tertentu untuk setiap anggota keluarga, adanya aturan

dan pengawasan terhadap aktivitas keluarga.

b. Dimensi Keberfungsian Keluarga

Dimensi yang terdapat dalam keberfungsian keluarga antara lain (Moos dan

Moos, 2002), antara lain;

1.. Dimensi Relationship memiliki aspek sebagai berikut:

(28)

Derajat komitmen, bantuan, dan dukungan yang diberikan anggota

keluarga satu sama lainnya.

b. Expressiveness

Sejauhmana anggota keluarga diperbolehkan untuk mengekspresikan

perasaannya secara langsung.

c. Conflict

Jumlah / banyaknya kemarahan dan konflik yang diekspresikan secara

terbuka diantara anggota keluarga.

2. Dimensi Personal Growth memiliki aspek sebagai berikut :

a. Independence

Sejauhmana anggota keluarga dapat bersikap tegas, mampu mandiri, dan

membuat keputusan sendiri.

b. Achievement Orientation

Seberapa banyak aktifitas yang termasuk dalam kerangka / pola kerja yang

berorientasi pada prestasi atau persaingan.

c. Intellectual-Cultural Orientation

Tingkat ketertarikan anggota keluarga terhadap hal-hal politik, intelektual,

dan budaya.

d. Active-recreational Orientation

Jumlah partisipasi anggota keluarga dalam kegiatan sosial dan rekreasi.

e. Moral-religious emphasis

(29)

3. Dimensi System Maintenance memiliki aspek sebagai berikut:

a. Organization

Derajat pentingnya pengaturan yang jelas dalam merencanakan aktivitas

dan tanggungjawab dalam keluarga.

b. Control

Seperangkat aturan dan prosedur yang digunakan untuk menjalankan

kehidupan keluarga.

Berdasarkan uraian mengenai dimensi keberfungsian keluarga yang

diungkapkan oleh Moos dan Moss (2002), maka disimpulkan dimensi

keberfungsian keluarga terdiri dari dimensi relationship dengan aspek saling

mendukung antar anggota keluarga, adanya kesempatan untuk mengeluarkan

pendapat, dan keterbukaan konflik yang terjadi dalam keluarga; dimensi personal

growth dengan aspek adanya kebebasan dalam menentukan keputusan sendiri,

adanya orientasi menekankan pada prestasi, anggota keluarga memberikan

kesempatan untuk menyukai berbagai bidang yang diinginkan, seperti politik,

ilmuan, ataupun budaya, adanya kebersamaan yang diwujudkan melalui rekreasi

ataupun aktivitas sosial, dan antar anggota keluarga menjalankan nilai agama dan

etika yang sudah diatur dalam keluarga; dimensi system maintenance dengan

aspek adanya tanggung jawab masing-masing anggota keluarga terhadap keluarga

(30)

B. Kematangan Emosi

1. Definisi Kematangan Emosi

Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi dan

kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai satu

kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari

pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004).

Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan

kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu

(Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan

dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan

pelampiasan perilaku. Misalnya ketika individu sedang mengalami ketakutan,

reaksi fisiologis yang dapat muncul adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih

kencang), kemudian individu akan memikirkan bahwa dirinya sedang dalam

bahaya, sedangkan tingkah laku yang dapat mucul adalah kecenderungan untuk

menghindar dari situasi yang membuat ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001)

menjelaskan jenis-jenis emosi termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa

takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Berdasarkan beberapa

definisi emosi, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang

dirasakan oleh individu dan disertai dengan gejala-gejala fisiologis, perasaan, dan

(31)

Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan

perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan

keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga mendefinisikan

kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan

dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola

emosional yang tidak pantas. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan

definisi kematangan emosi merupakan kesiapan individu dalam mengendalikan

dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, kesiapan

tersebut tercapai sesuai dengan perkembangan usia.

2. Kematangan Emosi Remaja

Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat

mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti

kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga

menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa

remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain,

tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima

oleh orang lain. Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan

remaja untuk menilai suatu situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi

secara emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak

berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati yang lain.

Yusuf (2004) menjelaskan tentang bagaimana perubahan kematangan

emosional sebelum masa remaja sampai memasuki masa remaja, hal ini dapat

(32)
[image:32.595.106.519.227.394.2]

Tabel 1

Perubahan kematangan emosi

NO DARI ARAH KE ARAH

1. Tidak toleran dan bersikap superior

Bersikap toleran

2. Kaku dalam bergaul Luwes dalam bergaul 3. Peniruan buta terhadap teman

sebaya

Interdependensi dan memiliki harga diri

4. Kontrol orangtua Kontrol diri sendiri 5. Perasaan yang tidak jelas tentang

dirinya/orang lain

Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain

6. Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah

Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi remaja

merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan penyaluran

emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat diterima,

mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi sebelum

menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang didasarkan

pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock (1978),

antara lain:

(33)

Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang

dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya.

Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah,

menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara

emosi.

b. Perubahan fisik dan kelenjar

Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya

perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja

adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan

fisik dan kelenjar.

Beberapa ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

kematangan emosi, antara lain:

a. Pola Asuh Orang Tua

Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula

pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor

yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua

memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam

kehidupan anak (Goleman, 2001).

b. Lingkungan

Kebebasan dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam

pencapaian kematangan emosi remaja. Lingkungan disekitar kehidupan remaja

yang mendukung perkembangan fisik dan mental memungkinkan kematangan

(34)

c. Jenis Kelamin

Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan,

mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga

cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh

perempuan. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan

emosi jika dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi

kematangan emosi adalah usia, perubahan fisik dan kelenjar, cara orangtua

memperlakukan anak-anaknya, lingkungan, dan jenis kelamin.

4. Karakteristik Kematangan Emosi Remaja

Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi,

antara lain:

a. Kontrol emosi

Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu

menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan

cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa

diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol

ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri

dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima

secara sosial.

(35)

Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami

emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui

penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.

c. Pengunaan fungsi kritis mental

Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi

secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap

situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya

seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik remaja yang

telah mencapai kematangan emosi adalah individu yang memiliki kemampuan

dalam mengendalikan diri saat emosi sedang memuncak dengan memperhatikan

situasi, waktu, dan cara yang dapat diterima; individu dapat memahami apa yang

sedang dirasakan dan mengetahui sebab dari emosi yang sedang dihadapi; dan

individu mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu sebelum membuat

keputusan dengan mempertimbangkan pendapat orang lain dan dampaknya; serta

mampu mempertahankan pendapat ketika berbeda dengan orang lain.

C. Remaja

1. Definisi remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh

(36)

yang mencakup dalam kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa

remaja juga merupakan peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi

perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia

antara 13 sampai 18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa

anak-anak ke masa dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk

masa remaja awal dan 16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock,

2004).

2. Tugas Perkembangan Remaja

Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa

remaja, antara lain:

a. Menerima keadaan fisiknya

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlawan jenis.

d. Mencapai kemandirian emosional

e. Mencapai kemandirian ekonomi

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang diperlukan

untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial

i. Mempersiapkan diri memasuki perkawinan, memamhami dan

(37)

j. Memperoleh peranan sosial

k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif

l. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri

n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan

o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga

p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup

3. Ciri-ciri remaja

Menurut Hurlock (2004) terdapat beberapa ciri masa remaja, antara lain;

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental secara cepat, maka

diperlukannya penyesuaian mental, pembentukan sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Periode peralihan artinya remaja memasuki tahap perkembangan berikutnya

dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan

perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan sebelumnya di masa kanak-kanak.

c. Masa remaja merupakan periode perubahan

Tingkat perubahan sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan

tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik menurun maka perubahan

sikap dan perilaku menurun juga.

(38)

Masalah dalam masa remaja menjadi sulit untuk diatasi karena remaja tidak

berpengalaman dalam menyelesaikan masalahnya, karena dimasa sebelumnya

ketika remaja memiliki masalah, masalah tersebut diselesaikan oleh orang tua

dan guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja berupaya untuk menjelaskan siapa dirinya,

apa peranannya dalam masyarakat, apakah nantinya dia mampu percaya diri

meskipun latar belakang ras, agama atau nasionalnya sehingga membuat orang

lain merendahkannya, dan bentuk identitas lainnya yang membuat remaja

dapat menjadi dirinya berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menakutkan

Streotip budaya yang menganggap remaja adalah anak-anak yang tidak rapi,

tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang

dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja, dan mereka

bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal.

g. Masa remaja sebagai masa tidak realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan berdasarkan apa yang dia inginkan

bukan berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Remaja mulai memfokuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan

(39)

seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Mereka menganggap

bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra dewasa.

D. Remaja Laki-Laki

Laki-laki dan perempuan memiliki streotipe peran jenis kelamin yang berbeda.

Laki-laki memiliki streotip aktif, agresif, individualistik, percaya diri, suka

melanggar peraturan, sedangkan perempuan lebih bersifat ekspresif, hangat secara

emosional, suka menolong, dan sensitif (Rathus, 2005). Perbedaan jenis kelamin

merupakan salah satu hal yang berhubungan dengan kematangan emosi. Faktor

perbedaan jenis kelamin memiliki hubungan yang berkaitan dengan adanya

perbedaan hormonal antara anak laki-laki dan anak perempuan, peran jenis

maupun tuntutan sosial, yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan

karakteristik emosi diantara keduanya (Davis, dalam Astuti 2005).

Laki-laki memiliki emosi yang cenderung kurang matang jika dibandingkan

dengan perempuan karena laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal

agresif, rendah diri, kegelisahan, dan mementingkan diri sendiri (Srivastava,

2005). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap

suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan

perilaku agresi, merespon masalah dengan menggunakan kemarahan, dan

mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008).

Travis (dalam Santrock, 2003) juga menyatakan bahwa remaja laki-laki lebih

(40)

ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya

itu ke dalam perilaku agresif.

Broidy dan Hall (dalam Goleman, 2001) menyatakan bahwa laki-laki kurang

mampu mengutarakan perasaan, menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui

perkelahian fisik, dan kurang peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun

diri orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki perilaku

delikuensi lebih tinggi daripada perempuan (Broidy and Agnew, dalam

Sigfusdottir 2008). Pria 39% lebih agresif daripada wanita (Frodi dalam Matlin,

2004). Sedangkan menurut teori biologi, hal itu disebabkan karena hormon

testosteron laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan hormon testosteron

dipercaya sebagai pembawa sifat agresif (Sarwono, 2002).

E. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Remaja Laki-laki

Remaja berada pada masa peralihan rentan terhadap masalah. Masalah dapat

berasal dari sekolah, keluarga, teman kelompok, dan masalah dapat menjadi sulit

untuk diatasi (Patil dalam Aminbhavi, 2003). Perilaku beresiko cenderung

meningkat sejalan dengan meningkatnya permasalahan yang dihadapi remaja,

banyak remaja menghadapi atau menghindari permasalahan dengan merokok,

minum-minuman alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam

seks bebas (Fieldman dan Elliot dalam Santrock, 2003).

Penelitian menunjukkan bahwa perilaku kenakalan remaja seperti tawuran,

(41)

ketidakmatangan emosi (Silvianingsih, 2008). Salah satu faktor yang

mempengaruhi kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam

mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima

norma, matangnya emosi individu akan mengurangi kenakalan remaja (Gunarsa,

2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huffman dan Boyd (2002)

menyatakan remaja laki-laki yang rendah dalam kematangan emosi, cenderung

terpengaruh dalam prilaku minum-minuman keras.

Kenakalan remaja di Indonesia meningkat pada usia 15-19 tahun (Kartono,

2002). Jika dilihat dari usia kenakalan remaja, seharusnya pada usia tersebut

remaja sudah mampu mengendalikan dan menunjukkan kematangan emosi

sebagai tugas perkembangan yang harus dicapai (Hurlock, 2004). Kematangan

emosi dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan

dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan

orang lain (Covey, 2001). Hal ini sejalan dengan perilaku individu yang telah

mencapai kematangan emosi dapat mengubah kontrol orangtua menjadi kontrol

diri sendiri, adanya perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, serta mampu

menyatakan emosi secara konstruktif (Yusuf, 2004).

Salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah jenis

kelamin. Laki-laki cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi terhadap

suatu masalah, cenderung menghadapi masalah dengan kemarahan, dan

menyalurkan emosinya melalui perkelahian fisik (Goleman, 2001). Ketika remaja

laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki

(42)

merespon masalah dengan menggunakan kemarahan dan mengikuti dorongan hati

tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Selain itu terdapat juga

faktor pendidikan yang mempengaruhi kematangan emosi. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Riyawati (2006) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan. Kematangan emosi individu

yang berpendidikan SMA lebih tinggi daripada yang berpendidikan SD dan SMP.

Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memberikan

kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al,

2003). Penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku kenakalan yang dilakukan

remaja karena adanya manajemen keluarga yang tidak terorganisir dengan baik,

kurangnya pengawasan orang tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol

remaja, rendahnya tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada

remaja (Henderson, et.al, 2006). Namun, meskipun keluarga telah berfungsi

dengan baik, ada juga remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja. Hal ini

didukung dengan penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10

lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan

bahwa 75 % narapidana berasal dari keluarga yang memilki sedikit konflik, 79 %

berasal dari orangtua yang tidak memdeda-bedakan anaknya, dan 56 % berasal

dari proporsi adanya keterbukaan komunikasi anak terhadap orangtua (Badan

Nasional Narkoba, 2003)

(43)

Hipotesa dalam penelitian ini adalah : ada hubungan antara keberfungsian

keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut

cara yang benar dalam mengumpulkan data, analisa data, dan pengambilan

kesimpulan penelitian serta dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat

dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Pada bab ini akan dijelaskan

mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas identifikasi

variabel penelitian; definisi operasional variabel penelitian; populasi dan metode

pengambilan sampel; metode dan alat pengumpulan data; serta metode analisa

data.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.

Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana

variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau

(44)

ingin mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dan kematangan emosi

pada remaja laki-laki.

A. Identifikasi Variabel

Adapun variabel yang terlibat dalam penelitian ini, adalah:

Variabel bebas : Keberfungsian keluarga

Variabel tergantung : Kematangan emosi

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional penelitian bertujuan agar pengukuran variabel-variabel

penelitian lebih terarah sesuai dengan tujuan dan metode pengukuran yang

dipersiapkan. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Kematangan Emosi

Kematangan emosi merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan

mengarahkan penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara

yang dapat diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap

suatu situasi sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil

keputusan yang didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah

berubah-ubah.

Dalam penelitian ini, kematangan emosi diukur dengan menggunakan skala

kematangan emosi yang dikembangkan berdasarkan karakteristik kematangan

(45)

Skor tinggi pda skala ini akan menunjukkan tingginya kematangan emosi individu

dan skor rendah pada skala ini menunjukkan rendahnya kematangan emosi

individu.

2. Keberfungsian Keluarga

Keberfungsian keluarga merupakan kondisi dimana kelompok sosial terkecil

yang didalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak menjalankan fungsi dalam keluarga

dengan baik dan ditandai dengan adanya komunikasi yang lancar termasuk

didalamnya saling memberikan dukungan dalam interaksi antar anggota keluarga,

mengembangkan nilai-nilai tertentu untuk setiap anggota keluarga, adanya aturan

dan pengawasan terhadap aktivitas keluarga.

Dalam penelitian ini, keberfungsian keluarga diukur dengan menggunakan

skala keberfungsian keluarga yang dikembangkan berdasarkan dimensi

keberfungsian keluarga yaitu dimensi relationship dengan aspek cohesion,

expresiveness, conflict; dimensi personal growth dengan aspek independence,

achievement orientation, intellectual-culture orientation, active-recreational

orientation, moral-religious emphasis; dan dimensi system maintenance dengan

aspek organization, dan control. Skor tinggi pda skala ini akan menunjukkan

tingginya keberfungsian keluarga yang dimiliki individu dan skor rendah pada

skala ini menunjukkan rendahnya keberfungsian keluarga yang dimiliki individu..

(46)

Populasi merupakan keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang

ingin diteliti (Sugiarto, 2003). Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau

individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi,

maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan

sebagai subjek penelitian atau yang dikenal dengan nama sampel. Sampel

merupakan sebagian dari populasi yang ingin diteliti, karakteristik subjek

penelitian sebenarnya merupakan gambaran dari populasi yang diteliti dan sampel

yang diambil harus memenuhi karakteristik tersebut karena diambil dari populasi

tersebut (Sugiarto, 2003).

Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Remaja laki-laki

Karakteristik ini dipilih karena menurut Santrock (2003), laki-laki dikenal

lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat

tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu mengekspresikan

emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan, hal ini menunjukkan laki-laki

cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan

perempuan. Ketika laki-laki merasa tidak dapat menghadapi masalah, mereka

cenderung menyalurkan emosinya dengan kemarahan ataupun perilaku agresif

dan menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui perkelahian fisik, dan kurang

peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun diri orang lain (Broidy dan Hall,

(47)

b. Remaja SMA

Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan lebih banyak

memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu akan digunakan untuk melawan

tekanan yang akan dihadapi di masa akan datang dan mengakibatkan semakin

matang emosinya (Anderson dalam Mappiare, 1983).

c. Berusia 16-18 tahun

Karakteristik ini dipilih karena menurut Hurlock (2004) ketika remaja berada

pada masa remaja akhir yaitu usia 16-18 tahun, seharusnya remaja sudah mampu

mengendalikan emosinya dan menunjukkan kematangan emosi.

d. Tinggal bersama orangtua

Karakteristik ini dipilih karena orangtua berperan penting dalam

perkembangan anak dalam keluarga dan dalam struktur keluarga terdapat sub

sistem orangtua yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pengawasan

yang dihubungkan dengan interaksi antara orangtua dan anak (Minuchin, 1974).

e. Memiliki saudara kandung

Karakteristik ini dipilih karena dengan adanya interaksi saudara sekandung

dapat belajar berkompetisi dan saling bekerjasama di dalam keluarga dan salah

satu komponen dalam keberfungsian keluarga adalah struktur keluarga dan

didalamnya terdapat sub sistem saudara sekandung (Minuchin, 1974).

2. Jumlah sampel dan teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multi stage sampling

(48)

sub-sub daerah dan sub-sub-sub-sub daerah ini dibagi dalam daerah kecil, dan seterusnya

sehingga dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Pada

saat pengambilan sampel bertahap ini anggota kelompok tidak harus seluruhnya

dijadikan sampel (Sugiarto, 2003). Pada kota Medan terdapat 22 kecamatan, yang

kemudian dirandom 2 kecamatan (kecamatan Medan timur dan kecamatan Medan

Amplas). Pengambilan sekolah dilakukan secara random kembalidan terpilih 2

sekolah dari masing-masing kecamatan yaitu MAN 3 dan SMA Krakatau. Adapun

jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 65 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

metode skala. Skala merupakan suatu prosedur pengambilan data sebagai alat

ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu. Penelitian ini menggunakan

penskalaan model Likert dengan model penskalaan pernyataan sikap yang

menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar,

2004).

1. Skala Keberfungsian Keluarga

Skala keberfungsian keluarga, dimana aitem-aitemnya disusun berdasarkan

dimensi keberfungsian keluarga yang diungkapkan oleh Moos dan Moos (2002)

yaitu dimensi relationship dengan aspek cohesion, expresiveness, conflict,

dimensi personal growth dengan aspek independence, achievement orientation,

(49)

emphasis, dan dimensi system maintenance dengan aspek organization, dan

[image:49.595.113.555.209.706.2]

control.

Tabel 2

Blue Print Skala Keberfungsian Keluarga

NO Dimensi Aspek Indikator

Perilaku

Aitem Total Fav unfav

1. Relationship Cohesion Mendukung dan membantu anggota keluarga 1, 51, 32 13, 30, 49 6

Expresiveness Mengekspresikan apa yang dirasakan secara bebas 2, 11, 31 28, 50, 59 6

Conflict Mengekspresikan perbedaan pendapat dan kemarahan secara terbuka 3, 29, 48 12, 40, 52 6

2. Personal Growth

Independence Membuat keputusan sendiri 4, 27, 46 14, 33, 53 6 Achievement orientation

Belajar bersama di rumah atau belajar di luar rumah 5, 35, 57 15, 25, 45 6 intellectual-culture orientation Mengajak anggota keluarga mendukung hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran, kebudayaan, dan politik 17, 26, 34 6, 47, 54 6 Active-recreational orientation Menjalankan kegiatan sosial di rumah atau di luar rumah 7, 23, 37 16, 56 43 6 Moral-religious emphasis Mengajarkan etika dan ajaran agama

19, 42, 55

8, 24, 36

6

3. System Maintenance

Organization Menentukan tanggung jawab dan rencana dalam keluarga. 9, 21, 44 18, 39, 60 6

Control Menjalankan aturan yang telah ditetapkan

20, 22, 41

10, 38, 58

6

Jumlah 30 30 60

(50)

Skala kematangan emosi, aitem yang disusun berdasarkan karakteristik

yang diungkapkan oleh Hurlock (2004) yaitu kontrol diri, pemahaman diri,

[image:50.595.107.522.322.749.2]

dan penggunaan fungsi kritis mental.

Tabel 3

Blue Print Skala Kematangan Emosi

NO. Dimensi Kematangan

Emosi

Indikator Perilaku

Aitem Total Fav Unfav

1. Kontrol emosi a. Mengekspresikan emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat 6, 27, 69, 71 46, 72, 70, 11. 8

b. Mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima 18, 47, 66, 67 7, 28, 61, 68 8

c. Mengendalikan diri saat memosi memuncak 2, 12, 37, 60 19, 38. 41, 48 8

2. Pemahaman diri

a. Memperlihatkan

kepekaan terhadap emosi yang dirasakan 5, 36, 49, 62 39, 40, 58, 59 8

b. Mencari cara mengatasi emosi yang dialami dengan mengetahui penyebab emosi 1, 34, 56, 65 13, 15, 35, 57 8

3. Penggunaan fungsi kritis mental

a. Tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan 17, 20, 25, 33 3, 26, 50, 64 8

b. Menerima pendapat orang lain 14, 31, 42, 51 9, 22, 45, 55 8 c.Mempertahankan pendapat ketika berbeda dengan orang lain 4, 29, 54, 32, 16, 43, 52, 63 8

(51)

Jumlah 36 36 72

Setiap komponen-komponen di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah

pernyataan favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif

pilihan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak

Sesuai (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor

empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor

dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang

unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu, pilihan S mendapatkan skor

dua, pilihan TS akan mendapatkan skor tiga, dan pilihan STS akan mendapatkan

skor empat.

E. Uji Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas

Uji validitas merupakan ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi

alat ukurnya, artinya alat ukur memang mengukur apa yang diinginkan untuk

diukur (Hadi, 2000). Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini,

peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan

validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem dalam

skala mencakup keseluruhan isi yang ingin diungkapkan oleh tes tersebut. Hal ini

berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta

tidak keluar dari batasan alat ukur (Hadi, 2000). Validitas isi memiliki dua tipe

yaitu validitas muka dan validitas logik.

(52)

Validitas muka merupakan tipe validitas yang didasarkan pada penilaian

terhadap format penampilan tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan

dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka

dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi.

b. Validitas logik

Validitas logik menunjukkan sejauhmana isi tes merupakan representasi

dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Untuk memperoleh validitas logik

yang tinggi, suatu tes harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar

berisi aitem yang relevan. Suatu objek ukur yang yang hendak diungkap oleh

tes haruslah dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan

konkret.

Penilaian validitas isi tergantung pada penilaian subjektif individual. Hal

ini dikarenakan estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik

apapun melainkan dengan analisis rasional dan melalui professional

judgement. Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional judgement

yaitu dosen pembimbing peneliti dan dosen bidang psikometri.

2. Uji Daya Beda

Sebelum melakukan pengujian reliabilitas, hendaknya terlebih dahulu

melakukan prosedur seleksi aitem dengan cara menguji karakteristik

(53)

memenuhi syarat kualitas yang baik tidak boleh diikutkan menjadi bagian tes.

Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini

adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan

fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2004).

Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi

antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi

skor skala itu sendiri. Komput asi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem

total (rit) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria

pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rit ≥ 0,275.

Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,275, daya pembedanya

dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rit kurang dari 0,275 dapat

diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2004).

Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya beda aitemnya dengan

menghitung antara skor aitem dengan skor total skala. Teknik statistika yang

digunakan adalah koefisiensi Product Moment oleh Pearson. Formulasi koefisien

korelasi Product Moment dari Pearson digunakan bagi tes-tes yang setiap

aitemnya diberi skor berkelanjutan. Semakin tinggi koefisien korelasi positif

antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara

aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya

bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati angka nol berarti fungsi aitem

tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik

(Azwar, 2004). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan menggunakan

(54)

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang

mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2004). Untuk menguji

reliabilitas dari aitem-aitem yang ada digunakan formula Alpha Cronbach

melalui bantuan SPSS 17.0. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas

(rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin

tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi

reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0

berarti semakin rendahnya reliabilitas.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur 1. Skala Keberfungsian Keluarga

Uji coba skala keberfungsian keluarga dilakukan terhadap 70 remaja laki-laki

usia 16 sampai18 tahun, bersekolah, tinggal bersama orangtua, memiliki saudara

kandung. Adapun distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian

[image:54.595.108.555.623.753.2]

keluarga akan dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 4

Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian keluarga

NO Dimensi Aspek Indikator

Perilaku

Gambar

Tabel 1 Perubahan kematangan emosi
Tabel 2  Skala Keberfungsian Keluarga
Tabel 3   Skala Kematangan Emosi
Tabel 4 Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala keberfungsian keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian memperkuat keterkaitan antara kematangan emosi dengan agresivitas, antara lain Jannah (2009) pada penelitian yang telah dilakukan memaparkan hasil bahwa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan kecemasan menghadapi pernikahan pada wanita dewasa awal, tingkat kematangan emosi pada wanita

Kuesioner Penerimaan Perkembangan Fisik dan dan Kematangan Emosi Setiap variabel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner. Bentuk kuesioner bervariasi

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri pada dewasa madya. Dimana semakin tinggi

Terbuktinya hipotesis ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku konsumtif dapat dipahami bahwa kematangan emosi merupakan suatu

Hasil analisis dari penelitian ini menyatakan bahwa hipotesis diterima, yaitu ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan aggressive

Hal ini juga dapat dilihat dari hasil matriks kategorisasi dalam penelitian ini yang menunjukkan kebanyakan terlihat remaja laki-laki yang memiliki keberfungsian keluarga

Hasil analisis dari penelitian ini menyatakan bahwa hipotesis diterima, yaitu ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan aggressive