• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas mediasi di pengadilan Agama (studi implementasi perma No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Agama Bekasi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas mediasi di pengadilan Agama (studi implementasi perma No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Agama Bekasi)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama ( Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Nur Hidayat 107044100337

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Nur Hidayat 107044100337

Di Bawah Bimbingan

Hj. Rosdiana, MA NIP : 196906102003122001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Lembar Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atu merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 07 September 2011

(4)

PENGADILAN AGAMA BEKASI ) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 2011 M. skripsi ini telah diterima swebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Syariah (S.Sy), pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama).

Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (………..) NIP. 195 003 061 976 031 001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA. (………..)

NIP. 196 906 102 003 122 001

3. Pembimbing : Hj. Rosdiana, MA. (………..)

NIP. 196 906 102 003 122 001

4. Penguji I : Dr. M. Nurul Irfan, M. Ag. (………..) NIP. 150 326 893

5. Penguji II : Arip Purqon, S.Hi. (………..)

(5)

i

Kata Pengantar





Puji dan Syukur kupersmbahkan kepada Allah SWT, kepada berkat cinta dan kasih-Nya, semuanya seolah-olah mudah untuk kulalui. Shalawat dan salam terhatur kepada Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangan panjang beliau, maka manusia di bumi ini mempunyai keadilan yang bisa ditegakkan.

Dan karena penulisan ini skripsi ini juga telah dibantu oleh beberapa pihak, maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Amin Suma SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sehat dan akan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.

3. Hj. Rosdiana, MA. selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah banyak memberi arahan dan motivasi kepada penulis.

(6)

ii

penulisan skripsi ini.

6. Ketua pengadilan Agama Bekasi, yang telah memfasilitasi penulis untuk mengadakan penelitian.

7. Dosen-dosen di fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas transfer ilmu yang diberikan. Semoga ilmu yang di dapat menjadi berkah.

8. Untuk Keluarga ku, Umrotul Amalia, Irsyad Hilmy, terima kasih telah menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi, aku sayang kalian.

9. Big Family Ayah “Muhammad Ali Ghozali” dan Ibunda “Ariyah H. Mustaqim dan kakak ku Mimi Maftuha, Umi Maimunah, Bang Hafiz, Bang Budi, adik ku Silvia terima kasih atas doanya i love you all.

10. Sahabat-sahabatku : Riki, Tajul, Muslih, Zainul, Zaky, & teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2007 terima kasih atas bantuan kalian.

11. Teman-teman seperjuangan: Sofyan, Tamyiz, Hajir, Faqih, Lutfi, Ndha, Ratna, senang bisa dekat dan beridiskusi bersama kalian.

12. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Penulis ucapkan terima kasih banyak.

05 September 2011

(7)

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi……… iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……..………..…….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..………...…. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …….……….. 8

D. Kerangka Teori ………..……….. 9

E. Review Studi Terdahulu ……….. 11

F. Metode Penelitian ………..……….…. 12

G. Sistematika Penulisan………..……….... 15

BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN POSITIF A. Mediasi Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif…..…….……. 17

B. Peraturan Mediasi sebelumPerma No. 1 Tahun 2008 …….….…... 21

C. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008…..………... 26

BAB III PROFIL KOTA BEKASI DAN PENGADILAN AGAMA BEKASI A. Profil Singkat Kota Bekasi ……….………..33

B. Sejarah Singkat dan Kewenangan Pengadilan …..….……….. 40

(8)

iv

B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Mediasi….…… 45

C. Implementasi Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi…... 48

D. Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi….………... 52

E. Analisis Penulis ……… 55

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………... 60

B. Saran-saran………... 63

DAFTAR PUSTAKA... 65

DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara ………... 67

2. Hasil Wawancara………. 68

3. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ………..…….……… 74

4. Surat Permohonan Data/Wawancara ………... 75

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai mahluk yang di ciptakan oleh Allah SWT, manusia di bekali dengan keinginan untuk melakukan pernikahan, karena pernikahan itu adalah salah satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang di jalankan berdasarkan tuntutan agama.1

Tidak hanya sebagai ikatan kontraktual antara satu individu dengan individu lain, pernikahan dalam Islam menjadi suatu sarana terciptanya masyarakat terkecil (keluarga) yang nyaman, tenteram dan penuh kasih sayang. Pernikahan menjadi dasar berlangsungnya kehidupan umat manusia, menyalurkan sifat alamiah manusia yang hidup berpasang-pasangan, dan menjaga kesucian mereka.2 Berangkat dari kerangka tersebut, pernikahan dimaknai sebagai akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

1

Asrorun Ni’am Sholeh, ,Fatwa-Fatwa M asalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), hal. 3.

2Abdul W ahaf Khalaf,Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi Syariah al -Islamiyah,(Beirut: Dar

(10)

merupakan ibadah.3 Ikatan yang kuat dan tujuan mulia yang hendak dicapai oleh pernikahan menjadikan institusi ini patut dipertahankan, sebagaimana pula Allah SWT membenci perceraian, meskipun tetap menghalalkannya. Tetap terbuka pintu perceraian ini menjadi salah satu konsep syariat Islam yang tetap mengakui perceraian sebagai jalan terakhir dalam hubungan pernikahan, karena selain perceraian, al-Qur’an sebagai landasan syariat Islam juga memberikan alternatif lain, yaitu penyelesaian sengketa pernikahan secara damai dengan fasilitasi seorang hakam dari kalangan keluarga isteri dan suami, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Nisa/4 ayat 35. Pengangkatan hakam dalam proses perdamaian ini menjadi upaya preventif terjadi perceraian dan demi terwujudnya keluarga yang sakinah,mawaddahdanrahmah.4Tujuan dasar terwujudnya keluarga ini pula yang menjadi ruh peraturan perundangan di Indonesia dalam perkawinan, di antaranya adalah keharusan melakukan mediasi sebelum pasangan suami isteri memutuskan perceraian, dengan mengangkathakam.

Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Dalam konteks ini pula, berdasarkan Hukum Acara

3 Demikian Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi pernikahan. Pasal 2 Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

4Ahmad M ushtofa al -M awaghi,Tafsir al -M araghi,(M esir: M ushthofa al-Babi al-Halbi wa

(11)

3

yang berlaku di Pengadilan Agama, perdamaian selalu diupayakan di tiap kali persidangan, bahkan pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.

Urgensi mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia dapat pula dibuktikan dengan proses perubahan dan pembaruan hukum mediasi. Untuk pertama kalinya, mediasi secara formal diatur dalam HIR pasal 130 jo RBG pasal 154, yang secara umum mewajibkan para hakim terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa. Kemudian mediasi diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 RBG. Lalu dikeluarkan lagi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi. Berdasarkan evaluasi dan perbaikan dari mekanisme mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003, Perma ini kemudian direvisi kembali pada tahun 2008,5 untuk memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam

5 D.S.Dewi, “Implementasi PERM A No.01 Tahun 2008 Tentang Prosedur M edi asi di

(12)

rangka menemukan penyelesaian perkara secara damai yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.6

Dikeluarkannya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini telah terjadi perubahan fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini terkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi setelah munculnya Perma ini pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.7 Dalam konteks sekarang ini, mediasi menjadi suatu mekanisme penyelesaian perkara yang relevan, karena dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama secara nasional selama tahun 2007, sejumlah 217.084, hanya 11.327 perkara yang dicabut. Hal ini berarti hanya 5,2% yang berhasil damai atau didamaikan.8

Selain itu, menurut Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nasaruddin Umar, Indonesia berada diperingkat tertinggi memiliki angka perceraian paling

6 W ahyu W idiana, Upaya Penyelesaian Perkara M elalui Perdamaian pada Pengadilan

Agama, Kaitannya dengan Peran BP4. M akalah disampaikan pada Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta. Diakses dari www.badilag.net. diakses Kamis 15 April 2011

7Siddiki,M ediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,

hal. 1. Artikel diakses dariwww.badilag.netdiakses 17 Aoril 2011.

8 Ditjen Badilag M A RI, Himpunan Statistik Perkara Peradilan Agama Tahun 2007,

(13)

5

banyak dalam setiap tahunnya bila dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Menurutnya pula, setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat. Setiap 100

pasangan yang menikah, 10 pasangannya bercerai dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.9

Dengan begitu, upaya perdamaian melalui proses mediasi tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi lebih dari itu, proses mediasi sangat berhubungan dengan berbagai macam faktor, baik yang menghambat atau yang mendukungnya. Seperti dijelaskan di atas, mediasi bukan merupakan suatu hal yang baru di Indonesia, tetapi sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, yang diatur dalam HIR/RBG. Kemudian dilanjutkan kembali pada masa pasca kemerdekaan, sampai masa reformasi.

Sebagaimana Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan, “Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini”. Tidak hanya itu, secara lebih kuat Perma ini mengatur, bahwa

perkara yang “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini

9 Hal ini disampaikan pada dalam acara Pembukaan Pemilihan Keluarga Sakinah dan

(14)

merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154

Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.10 Kedua pasal ini cukup menguatkan argument, bahwa sistem peradilan di Indonesia betul-betul menekankan adanya proses mediasi yang ditempuh oleh hakim, mediator atau semua pihak dalam penyelesaian perkara.

Adanya penekakan melaksanakan mediasi terlebih dahulu bagi para hakim atau mediator sebelum melanjutkan perkara perceraian patut ditinjau dan dievaluasi efektifitasnya. Efektifitas dan implementasi ini sangat berkaitan dengan berbagai faktor, baik itu yang bersumber dari struktur hukum, substansi hukum, ataupun budaya hukum, karena ketiga unsur ini akan sangat mempengaruhi berjalannya proses mediasi di pengadilan. Bahkan, dalam sebuah Workshop yang diselenggarakan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada akhir tahun 2010, mengemukakan bahwa keberhasilan mediasi di lingkungan peradilan agama tidak hanya dilihat dari segi berapa banyak perkara yang dicabut (kuantitas) atau berapa banyak perkara perceraian yang berhasil didamaikan, tetapi perlu dilakukan kajian mendalam tentang kriteria keberhasilan mediasi di lingkungan peradilan agama.11

10 Pasal 2 ayat (2) dan (3) Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur M ediasi di

Pengadilan.

11 “Dirjen pada W orkshop Ahli Penyusunan M odul M ediasi: Perlu Dikaji, Kriteria

(15)

7

Berdasarkan paparan singkat di atas dan seiring dengan telah terimplementasinya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi selama dua tahun, perlu kiranya untuk melihat praktik mediasi secara utuh di pengadilan agama, sekaligus pula melihat faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas mediasi selama dua tahun terakhir, sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merangkum permasalahan penelitian dalam judul penelitian “Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama: Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi”.

2. Perumusan Masalah

(16)

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, karna banyak Pengadilan Agama yang menerapakan proses mediasi tidak sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Saya akan merumuskan masalah-masalah penelitian ini berfokus pada beberapa pertanyaan penelitian, di antaranya adalah:

1. Bagaimana praktik atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama setelah Perma No. 1 Tahun 2008?

2. Faktor apa yang mendukung proses mediasi?

3. Faktor apa yang menjadi penghambat mediasi dan tercapainya perdamaian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, di antaranya adalah:

a. Mengetahui praktik atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008

b. Mengatahui faktor-faktor pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama

(17)

9

2. Manfaat Penelitian

Adapum manfaat dari pembahasan proposal ini adalah sebagai berikut : a. Agar penelitian ini menjadi bermanfaat bagi peningkatan keasadaran

hukum kepada masyarakat khususnya dalam proses mediasi di pengadilan Agama.

b. Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan ini diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan sebuah masalah di lembaga peradilan.

c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum yang menyangkut hal perceraian khususnya di dalam proses mediasi.

D. Kerangka Teori

(18)

tentunya perlu dibuktikan efektifitas dan implementasinya, termasuk pula meninjau faktor penghambat dan pendukung keberhasilan mediasi tersebut. Untuk itu, penelitian ini akan berfokus pada tiga aspek penting, yaitu:

1. Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Bekasi

2. Faktor yang menghambat mediasi di pengadilan Agama

3. Faktor pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama

(19)

11

pendukung proses mediasi tersebut, untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan di masa yang akan datang.

E. Review Studi Terdahulu

Tema mengenai pembahasan mediasi telah banyak di kaji dalam bentuk artikel dan karya ilmiah. Namun demikian sejauh penelusuran penulis pembahasan mengenai penelitian Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama: Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi, nyaris belum ada yang membahas. Namun ada beberapa penelitian yang dapat penulis temukan terkait dengan Mediasi di pengadilan agama Adapun beberapa penelitian itu diantaranya :

Syahdan (105044101432) Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian. (Studi Analisa pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1431 H / 2010 M.

(20)

Nusra Arini (105043201339) Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1430 H/ 2009 M. Perbandingan Hukum. Program Perbandingan Mazhab dan Hukum. Skripsi ini menjelaskan tentang Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi dalam putusan perkara perdata di pengadilan agama Jakarta Selatan. Didalam skripsi ini hampir ada kesamaan dengan skripsi penulis akan tetapi ada yang membedakan yakni penulis ingin mengetahui Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi.

M. Ali Suproni (101044122104) Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1430 H/ 2009. Ahwal

Al-Syakhsiyyah Peradilan Agama. Skripsi ini memfokuskan kepada Pelaksanaan Mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan agama Jakarta Selatan. Mengetahui kesesuaian pelaksanaan mediasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dan pada skripsi yang penulis ingin teliti yakni lebih memfokuskan kepada Efektivitas Mediasi dan tingkat kepuasan pemohon/ orang yang berperkara dengan proses mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Agama.

F. Metode Penelitan

(21)

13

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan Masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan Kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.12

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian bersifat pendekatan survey dengan melakukan Observasi langsung dan melakukan wawancara kepada para Hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Mediator dan para pihak yang berperkara.

Penelitian ini terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan (Library Research and Field research), untuk memperoleh informasi pada responden yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

2. Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama penelitian berjalan.13 Data ini dikumpulkan melalui wawancara

12Burhan Ashshofa,M etode Penelitian Hukum(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal . 20

(22)

Hakim Mediator, observasi dan kuesioner yang di dapatkan di Pengadilan Agama Kota Bekasi.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.14 Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara perceraian yang berhasil dimediasikan dan dikumpulkan permasalah dan diklasifikasi berdasar klasifikasi.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitataif, maka Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melalui metode wawancara. Wawancara dilakukan pada pihak yang menangani Proses Mediasi yakni Hakim Mediator. Dan melakukan observasi langsung ke Pengadilan Agama Kota Bekasi.

Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik dokumenter untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan, karena beberapa bahan materi terdapat di dalam buku, jurnal, arsip, dan dokumen.

14Bambang W aluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal.

(23)

15

4. Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

5. Teknik Penulisan

Data penulisan Proposal skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedomanPenelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

G. Sistematika Penulisan

Di dalam melakukan penyusunan proposal ini penulis memeberikan gambaran guna untuk mempermudah pembaca dalam memeahami proposal ini, dalam hal penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari proposal ini secara singkat adalah sebagai berikut:

BAB Pertama berisi Latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

(24)

BAB Ketiga Menjelaskan tentang profil kota Bekasi yang diantaranya memaparkan terlebih dahulu tentang letak geografis dan demografis kota Bekasi dan sejarah kewenangan pengadilan agama kota Bekasi dan gambaran permohonan perkara di Pengadilan Agama Bekasi.

BAB Keempat menjelaskan tentang bagaimana Efektifitas mediasi dan implementasi Perma No. 1 tahun 2008 tentang proses mediasi di pengadilan agama Bekasi dan faktor penghambat, pendukung pelaksanaan mediasi, melalui proses mediasi di pengadilan agama Bekasi.

(25)

17

BAB II

MEDIASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN POSITIF

A. Mediasi menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Mediasi menurut hukum Islam

Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Shulhu/Islahyang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.1 Shulhu/Islah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian.

Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka Shulhu/Islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya adalah persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.2 Beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang berbeda, arti yang mudah difahami adalah memutus suatu persengketaan.

1As Sayyid Sabiq,Fiqh As Sunnah Juz I II (Beirut:Dar Al Fikr, 1977), hal. 305

2Alauddin at Tharablisi,M uin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min al

(26)

Dalam penerapan yang dapat difahami adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Ash-Shulhu berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih.

Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam di istilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertingkaian atau pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut jugabadalush shulhu.

(27)

19

Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu perjanjian dengan kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.3 Dan di dalam hukum positif ketentuannya juga diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte) tentang perdamaian, dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat (akte) berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.” Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam

Undang-3Subekti & Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata(Jakarta : Pradnya

(28)

undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 (2) yaitu: ” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”, dan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya terkait dengan hukum keluarga Pasal 115: ”perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, pasal 143 ayat (1): ”Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. (2): ”Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”, dan pasal 144:”Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”. Dan UU No.7 tahun 1989 Pasal 65 dan 82, PP No. 9 tahun 1975 Pasal 31.

B. Peraturan Mediasi sebelum Perma No. 1 Tahun 2008

(29)

21

tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.4Oleh karena itu, para mediator haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi kedua belah pihak yang bersengkata tanpa memihak salah satunya.

Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam buku “Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum Nasional”

karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjebatani kedua belah pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.5

Pada tanggal 24 sampai 27 September 2001, Rakernas Mahkamah Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan pemberdayaan pengadilan

4Syahrizal Abbas,M ediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah,Hukum Adat dan Hukum

Nasional, ( Jakarta: Kencana Pranada M edia Group, 2009), hal. 2

5Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

(30)

tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.6

Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosesual, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapakan Lembaga Damai dalam bentuk Mediasi, dan diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002.

Namun, belakangan Mahkamah Agung menyadari Sema itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. Sema itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya Sema tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.7

Umur Sema No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1 tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal 11

6Yasardin, “M ediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua M A No. 1Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II ( 1 juli 2003), hal . 52.

7M uhammad Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

(31)

23

September 2003, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan:

Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertam Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.

(32)

BAB VI Penutup Pasal 17-18

Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan Perma menggantikan Sema No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, antara lain:

1. Mengatasi Penumpukan Perkara

Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikian bahwa perlu diciptakan suatu instrument efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut Perma, instrument yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan.

2. Sema No. 1 Tahun 2002, Belum Lengkap

(33)

25

tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.

3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dianggap Tidak Memadai

Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancer. Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah Agung menganggap perlu menetapkan Perma yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para berperkara.8

Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung susanti Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung.9

Sejak Tahun 2006 Mahkamah Agung sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi kelemahan-kelemahan pada Perma No. 2 Tahun 2003. Beranggotakan dari hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan Organisasi yang selama ini concern pada masalah-masalah mediasi, Indonesia Institute for

8M uhammada Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian,dan Putusan Pengadilan,(jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 243

9Ali, “Beleid Baru Untuk Sang M ediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010

(34)

Conflict Transformation (IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan, SH.,M.CL pada tanggal 31 juli 2008. Perma No. 1 Tahun ini lahir karena dirasakan Perma No. 2 Tahun 2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan.

C. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008

Dengan penerbitan Perma No. 1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar prosedur mediasi di pengadilan. Mahkamah Agung belajar dari kegagalan selama lima tahun terakhir. Dari jumlah klausul, Perma 2008 jauh lebih padat karena memuat 27 Pasal, sementara Perma 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan.

(35)

27

peninjauan kembali (PK). Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi.

Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan terdiri dari 8 Bab dan 27 Pasal.

Sistematika Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Bab I : Ketentuan Umum Ruang lingkup dan kekuatan

berlakunya Perma

 Biaya pemanggilan para pihak

 Jenis perkara yang dimediasi

 Sertifikasi Mediator

 Sifat Proses Mediasi

Pasal 1-6

Bab II : Tahap Pra Mediasi Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa hkum

 Hak para pihak memilih mediator

 Daftar mediator

 Honorarium mediator

 Batas waktu pemilihan mediator

 Menempuh mediasi dengan itikad baik

(36)

Bab III : Tahap-Tahap Proses Mediasi

 Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi

(37)

29

Mediator dan Insentif

24-25

Bab VIII : Penutup Pasal

26-27

(38)

menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.

Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapatkan akreditasi Mahkamah Agung RI (Pasal 5 ayat (1) Perma). Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak.

(39)

31

yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya apapun, sedangkan bila memilih mediator non hakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasarkan kesepakatan.

Dalam pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya.

Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3) Perma). Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma).

(40)

33 A. Profil Singkat Kota Bekasi

1. Geografis Kota Bekasi

Berdasarkan data sejarah, akar wilayah Kota Bekasi berawal dari pesatnya pertumbuhan Kecamatan Bekasi (salah satu kecamatan Kabupaten Bekasi ketika itu). Tuntutan pemekaran wilayah Kecamatan Bekasi menjadi sebuah keharusan yang tak terelakan.1 Kota Bekasi adalah salah satu kota dalam wilayah Jawa Barat. Kota tersebut Memiliki wilayah seluas 210.49 km2, terletak di bagian utara Jawa Barat yang terletak antara 1060 28’29” Bujur Timur dan 60 10’ 6” 60 30’6” Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Bekasi 21. 049 ha. Jarak antara Kota Bekasi dengan Ibu Kota Provinsi+ 140 Km dan jarak antara Kota Bekasi dengan Ibu Kota Negara+18 Km.2

Secara administrative Kota Bekasi berbatasan dengan :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Bogor

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Bogor

Sebelah Utara : berbatasan dengan Propinsi DKI Jakarta

1Andi Sopandi,Hibridasi M asysrakat di Perbatasan Jakarta: Profil M asyarakat Bekasi

dalam Persfektif Budaya,(Bekasi, PK2SB FKIP Unisma,2005), hal. 29

(41)

34

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Bekasi

Keadaan topografi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar, dengan Kemiringan lahan bervariasi antara 0 25% berada pada ketinggian rata-rata kurang dari 25 meter di atas permukaan laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada di Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Timur, dan pondok Gede. Sementara itu, ketinggian antara 25 100 meter berada di Kecamatan Bantar Gebang, Jatiasih dan Jati Sampurna.3

2. Demografis Kota Bekasi

Pada masa Hindia-Belanda, Distrik Bekasi dikenal sebagai daerah agraris, dengan mata pencaharian utama adalah bercocok tanam (padi dan palawija).oleh sebab itu, umumnya banyak penduduk di Bekasi yang memiliki mata pencaharian bertani dan berkebun. Sedangkan di wilayah Utara Bekasi karena letaknya berbatasan dengan Laut Jawa, maka sebagian diantaranya bekerja sebagai nelayan dan tambak.4 Karakteristik wilayah pesisir laut dan daerah pertanian inilah yang kemudian memberikan warna budaya yang khas di daerah Bekasi. Di sisi lain keberadaannya pun sangat dipengaruhi oleh perkembangan pusat pemerintah Negara “Jakarta” (dahulu Batavia). Menurut Ridwan Saidi (2000), daerah Bekasi, Depok, Tanggerang, merupakan sebuah daerah luas dari Regentschap Meester Cornelis, yang umumnya memiliki karakteristik penduduk etnis Sunda-Betawi.

3Ibid

(42)

Namun, kenyataan yang ada justru kebudayaan masyarakat di daeah tersebut juga mendapat unsur-unsur kebudayaan lainnya.5

Sebagaimana daerah lainnya, penduduk daerah Bekasi terdapat dua etnis yang menonjol, yaitu :

1. Suku Bangsa Sunda

2. Suku Bangsa Melayu- Betawi6

Selain itu terdapat pula etnis-etnis lain di antaranya adalah Padang, Ambon, Batak Cina dan Arab. Etnis Cina dan Arab biasanya terdapat di daerah aktivitas perdagangan, yang tampil lebih menonjol di bidang perekonomian (Tideman, 1983 : 84-85;Suparman, 1985 : 193).

Apabila dilihat dari berbagai data, ternyata keragaman budaya justru lebih banyak terjadi di wilayah Bekasi (terutama unsure budaya Betawi pinggiran dan Betawi Ora). Namun, dalam perkembangannya justru seiring dengan pertumbuhan pembangunan dan migrasi penduduk Kota Bekasi bergeser ke daerah Kabupaten Bekasi berikut unsure budaya yang dianutnya, maka disinilah letak permasalahan sehingga yang terjadi bias budaya atau identitas budaya masyarakat Bekasi.

Dengan adanya pengalokasian wilayah budaya Betawi Jakarta (kota) dengan wilayah budaya Bekasi (Betawi Ora), maka ada semacam arogansi budaya di wilayah DKI Jakarta. Padahal, masing-masing wilayah memiliki karakteristik

5Ibid

(43)

36

budaya yang berbeda, walaupun di sisi lain tidak dapat menampilkan diri ada unsure Betawi Kota yang juga dimiliki Betawi Pinggiran di daerah Bekasi.

Selain itu di Bekasi pun terdapat komunitas Tiongkhoa yang terpusat di sekitar Bekasi Timur dan Bekasi Selatan yang telah berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Keberadaannya ditandai dengan pusat-pusat perekonomian yang ada di Bekasi.

Seiring waktu keberadaan Kota Bekasi yang semakin pesat dengan pusat perbelanjaan dan industri-industri yang ada, menjadikan Kota Bekasi sebagai sasaran para perantau dari berbagai daerah lain untuk menetap di wilayah Kota Bekasi sehingga semakin banyak pula unsure kebudayaan lain yang masuk dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat Bekasi. Adapun secara rinci, struktur masyarakat Kota Bekasi jika diklasifikasikan adalah sebagai berikut :

a. Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010 jumlah penduduk sebanyak 2.37.610 jiwa dengan komposisi menunjukkan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan, yaitu laki-laki 821.923 jiwa sedangkan perempuan 815.687 jiwa b. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur

(44)

tahun menjadi kelompok terbesar di wilayah Kota Bekasi dengan jumlah 627.405 jiwa. Kondisi ini dapat di maklumi, mengingat cukup banyak pasangan usia muda yang berdomisili di Kota Bekasi

c. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan adalah penduduk yang baru 5 tahun keatas (usia sekolah).

d. Struktur Penduduk Menurut Angkatan Kerja

Pendudukn yang dikelompokkan berdasarkan angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 18 tahun keatas (hasil Konperensi ILO Tahun 2010). Jumlah penduduk yang berada dalam kelompok angkatan kerja pada tahun 2010 berjumlah 597.215 jiwa atau sekitar 46,97%. Angkatan kerja yang sudah bekerja berjumlah 513.961 jiwa dan pencari kerja sebanyak 83.254 jiwa. Sedangkan penduduk yang termasuk kelompok bukan angkata kerja sebanyak 674.206 jiwa (53,03%), terdiri dari penduduk yang bersekolah dengan jumlah 343.219 jiwa, mengurus rumah tangga 268.385 jiwa serta kegiatan lainnya 62.602 jiwa.7

3. Wilayah Budaya Bekasi

Berdasarkan kajian dan sumber data mengenai Wilayah Bekasi, maka didapatkan keterangan bahwa masyarakat Bekasi merupakan masyarakat transisi (prural) yang berada dalam pergulatan pembangunan yang sangat pesat. Oleh

(45)

38

sebab itu, proses migrasi penduduk di daerah ini cukup tinggi yang berdampak terhadap unsure-unsur budaya luar yang berkembang di daerah Bekasi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Bekasi mengalami kesulitan menentukan identitas budaya aslinya dalam sebuah reflika budaya local. Sebagian masyarakatnya menganut unsure kebudayaan Betawi (Pinggiran atau Betawi Ora), sebagian lain mengaku mendapat pengaruh unsure kebudayaan Sunda-Banten ( terutama di daerah pesisir pantai laut Jawa). Sebagian juga mendapat pengaruh unsure kebudayaan Jawa dan sebagainya.

a. Bahasa

Sebagaimana dikemukakan di atas dalam wilayah kebudayaan (culture area) Bekasi, maka dari segi perkembangan bahasa di daerah Bekasi pun beragam. Maka secara realitas, daerah Bekasi ini banyak mendapatkan pengaruh dari unsur-unsur lain di antaranya Sunda, Jawa, Bali, dan sebagainya, selain kebudayaan Betawi. Oleh sebab itu, bentuk dialek Bekasi pun khas dan sangat berbeda debngan dialek Jakarta. Walaupun kenyataannya, menurut Muhajir (2000 : 35) secara geografis bahasa Betawi berada di wilayah berbahasa Sunda, terutama di daerah pinggiran Jakarta (di antaranya daerah Bekasi)8

Banyak penduduk pribumi, Sunda, hijrah ke daerah pinggiran Batavia (Jakarta) diikuti penduduk asal Jawa yang mewarnai kosa kata bahasa daerah

8M uhajir, Bahasa Betawi; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta, Yayasan Obor

(46)

pinggiran, seperti ora “tidak’, lanang ‘laki-laki’ dan ‘bocah’ anak-anak. Hal inilah yang kemudian membedakan dialek bahasa Jakarta dengan ciri ucapnya banyak menggunakan vocal e pada kosa katanya seperti ape, ade, aye, gue dan sebagainya dengan dialek bahasa pinggiran (Bekasi) yang tidak menggunakan vocal e (pepet) tetapi vocal a seperti apa, ada, saya, gua9

Selain pengaruh bahasa Sunda-Betawi-Bali, bahasa di daerah Bekasi pun banyak mendapat pengaruh unsur-unsur bahasa cina, terutama bahasa sehari-hari masarakat Bekasi dalam menghitung biasanya menggunakan hitungan-hitungan bahasa cina, seperti cepek, gopek, dan sebagainya.10

Menurut Stephen Wallace, secara umum dialek Jakarta dan pinggiran dikelompokkan dalam dua dialektikal, yaitu dialek Betawi Tengahan (DKI Jakarta) dan dialek Betawi pinggiran (Bekasi, Bogor dan Tanggerang) sejajar dengan sejarah kependudukannya.11

b. Adat istiadat Masyarakat di Bekasi

Masyarakat Bekasi mayoritas beragama Islam yang taat. Walaupun ada pula sebagian masyarakat lainnya yang beragama non Islam. Terutama etnis Tiongkhoa (keturunan). Akan tetapi, nuansa kehidupan Islami sangat kental dalam budaya masyarakat Bekasi. Beberapa kehidupan agama Islam itu menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakat di Bekasi. Unsur yang memberi

9Ibid

10Ibid

(47)

40

pengaruh kuat pada budaya masyarakat di Bekasi adalah agama Islam dengan segala sistem keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya. Mahbub Junaidi dalam Melalatoa (1997: 164-165) menyatakan bahwa kebudayaan di Bekasi sebagai satu subkultur hampir tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam.

B. Sejarah Singkat dan Kewenangan Pengadilan12

Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.

Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang,

tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima,

(48)

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh

umat Islam. Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya

ringan”.

Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is. Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998 di bentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13'' dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan batas-batas :

(49)

42

2.Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan. 3.Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu.

Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.

C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Bekasi

Permohonan Perkara yang masuk dan diputus di Pengadilan Agama Bekasi dan perkara yang dicabut (berhasil di mediasi)

Tabel 1.

Tahun Jumlah Perkara yang masuk

Jumlah Perkara yang diputus

Perkara yang dicabut (berhasil di mediasi )

Prosentase

2007 1253 753 132 10.5%

2008 1546 864 165 10.6%

2009 680 457 74 10.8%

2010 1689 935 185 10.9%

2011 1537 648 184 11.9%

Sumber : Data diperoleh dari arsip Panitera Muda Hukum

(50)

457 yang berhasil di mediasi 74. Tahun 2010 perkara yang masuk 1689, perkara yang diputus 935 dan yang berhasil di mediasi 185. Untuk tahun 2011 jumlah perkara yang masuk 1537 dan yang diputus 648 dan yang berhasil di mediasi 184 kasus. Jumlah permohonan perkara yang masuk di pengadilan agama Bekasi terbanyak pada tahun 2010.

(51)

44 BAB IV

EFEKTIFITAS MEDIASI DAN IMPLEMENTASI PERMA NO. 1 TAHUN 2008

A. Proses Mediasi di Pengadilan Agama

Proses Mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.1

1. Tahap Pramediasi

Tahap pramediasi merupakan tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah antara lain membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan penemuan, kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemuj dan membicarakan perselisihan mereka.

1Syahrizal Abbas.M ediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

(52)

2. Tahap Pelaksanaan Mediasi

Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan negosiasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-opsi, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.

3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi

Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Dalam menjalankan kesepekatan tersebut harus sesuai dengan komitmen.

B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Mediasi

Hampir segala hal yang berkenaan dengan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif atau ADR (Alternative Dispute Resolution) telah diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai revisi dari Perma sebelumnya.

(53)

46

berperkara tidak mencapai angka diatas 15% (setidaknya pada kurun tahun 2007-2011).

Memang ada beberapa kendala teknis dalam mengaplikasikan Perma No. 1 Tahun 2008, diantaranya:2

1. Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa ditambah 14 hari.

Kurang adanya inisiatif dari Pengadilan Agama Bekasi untuk memaksimalkan waktu dari proses mediasi. karena dengan pemaksimalan waktu maka akan semakin menumpuk jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak.

2. Biaya.

Dalam Pasal 10 ayat 1

Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mengenai honorarium Mediator disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala dan penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian.

3. Hakim yang bersertifikat Mediator

Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator hal itu mungkin menjadi kendala dari keberhasilan mediasi. apabila seorang

2W awancara Pribadi dengan Bpk Drs. M ahmudin Yusuf, M H. Hakim M ediator di

(54)

hakim memiliki sertifikat mediator mungkin ia mempunyai trik dan strategi dalam proses perdamaian.

4. Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan hal itu juga menjadi salah satu penghambat dalam proses mediasi

5. Aspek Perkara

Jumlah terbesar perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian. Perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama oleh pasangan suami isteri telah diawali oleh berbagai proses penyelesaian kasus yang melatar belakanginya yang diselesaikan oleh para pihak secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang berasal dari kalangan keluarga maupun seseorang yang ditokohkan. Dengan gambaran seperti ini perkara perceraian yang diajukan ke peradilan agama pada dasarnya merupakan perkara perceraian yang masalahnya sudah sangat rumit sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah. Perkara perceraian yang dimediasi dan mengalami kegagalan sangat bervariasi sebab dan latar belakangnya. Untuk kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh Perselingkuhan dan KDRT, penyelesaian melalui mediasi acapkali gagal di dalam mediasi.

Dan Faktor yang mendukung tercapainya Perdamaian diantaranya :

(55)

48

Faktor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak, yaitu usia perkawinan, tingkat kerumitan perkara yang dihadapi oleh para pihak, para pihak memiliki i’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya.

2. Aspek Sarana

Di Pengadilan Agama Bekasi ruang mediasi tersedia cukup memadai. Hal ini dapat ikut membantu proses keberhasilan dalam mediasi.

3. Permasalahan yang dihadapi

Hakim Mediator sebelum melakukan proses mediasi ia mempelajari dahulu permasalahan penyebab perkara yang di hadapi oleh kedua belah pihak.

C. Implementasi Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi

Sebagaimana yang telah di bahas sebelumnya mengenai proses mediasi, tentunya di Pengadilan Agama Bekasi dalam proses sepenuhnya sama dengan apa yang tertera dalam teori proses mediasi. Adapun untuk proses mediasi di lingkungan Pengadilan Agama Bekasi adalah3:

3

(56)

Sidang Pra Mediasi

Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri kedua belah pihak, majelis hakim menjelaskan tentang keharusan para pihak untuk menempuh proses mediasi serta menjelaskan prosedur mediasi menurut Perma No.1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator yang dikehendaki bersama dan berunding tentang pembebanan biaya yang timbul jika memilih mediator bukan hakim. Untuk itu, majelis hakim menskors persidangan. Setelah mendapat laporan dari panitera sidang, ketua majelis kemudian mencabut skors dan melanjutkan persidangan. Dalam hal mediator sudah ditunjuk, selanjutnya majelis hakim, Paling lambat satu hari kerja berikutnya, mediator yang ditunjuk wajib menentukan hari pelaksanaan mediasi dalam sebuah Penetapan, dengan ketentuan tenggang waktu antara Surat Penunjukan Mediator dengan hari pelaksanaan mediasi tidak boleh lebih dari 7 hari kerja. Panggilan para pihak untuk mediasi dapat dilakukan oleh Jurusita Pengganti dan biayanya dibebankan kepada panjar biaya perkara.

(57)

50

Pelaksanaan Mediasi

Mediasi dilaksanakan di tempat mediasi Pengadilan Agama, kecuali para pihak menghendaki lain,apabila mediator bukan dari hakim. Dalam hal kedua belah pihak tidak hadir maka mediasi ditunda untuk memanggil para pihak. Apabila telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak hadir, maka mediator menyatakan mediasi gagal (Pasal 14 ayat 1 Perma Nomor 1 Tahun 2008). Proses mediasi diawali dengan identifikasi masalah. Untuk itu Mediator memberi kesempatan kepada kedua pihak, pihak yang hadir untuk menyiapkan ‘resume perkara’ baik secara lisan maupun tertulis. Pada hari dan tanggal yang

ditentukan, Penggugat/Pemohon menyampaikan/membacakan resumenya, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian/ pembacaan resume perkara dari Tergugat/ Termohon atau Kuasanya.

Setelah menginventarisasi permasalahan dan alternatif penyelesaian yang disampaikan para pihak, mediator menawarkan kepada pihak Tergugat/ Termohon alternatif solusi yang diajukan Penggugat/ Pemohon dan sebaliknya, untuk dimintai pendapatnya.

(58)

Dalam hal diperoleh kesepakatan, para pihak merumuskan kesepakatan tersebut secara tertulis dalam suatu Surat Kesepakatan dibantu oleh mediator. Setelah surat kesepakatan tersebut disetujui dan ditanda tangani para pihak dan mediator, dilaporkan oleh para pihak kepada majelis hakim.

Dalam hal kesepakatan dilakukan oleh kuasa hukum maka para pihak in person harus ikut menandatangani kesepakatan tersebut sebagai tanda persetujuannya.

Laporan Mediasi

Mediator wajib menyusun laporan pelaksanaan mediasi, baik dalam hal mediasi berhasil yang diakhiri dengan perdamaian atau tidak berhasil. Laporan mediator sudah harus disampaikan melalui panitera sidang sebelum persidangan dimulai.

Apabila mediator dalam laporannya menyatakan bahwa mediasi telah gagal, dalam hal majelis hakim telah menentukan hari sidang berikutnya, maka persidangan dibuka kembali dengan acara biasa. Sedangkan dalam hal siding berikutnya belum ditentukan, maka sidang dilanjutkan terlebih dahulu memanggil para pihak dengan Penetapan Hari Sidang baru.

(59)

52

pihak. Apabila mediasi tidak berhasil, maka seluruh catatan mediasi dimusnahkan dengan berita acara pemusnahan catatan mediasi sebelum sidang dibuka kembali yang ditandatangi oleh mediator.

Sidang Lanjutan Laporan Mediasi

Dalam sidang terdapat dua komponen yaitu mediasi gagal atau berhasil Jika mediasi berhasil maka kedua belah pihak harus melaksanakan amar dari hasil mediasinya. Akan tetapi jika gagal maka akan di lanjutkan ke persidangan sampai ada putusan dari hakim.

D. Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi

Semenjak ditetapkannya Perma No. 1 Tahun 2008 Tenang prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan suatu perkara tetapi berwenang mendamaikan para pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini terkesan sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencari solusi antara pihak-pihak yang bertikai.

(60)

Perma No. 2 Tahun 2003 yang dianggap kurang begiu efektif dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan.

Pada dasarnya hukum mediasi tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak berperkara untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi ini maka berdasarkan Perma ini merupakan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg. Yang mengakibatkan putusan baral demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan prosedur mediasi.4 Pemberlakuan Perma mediasi ini terbilang baru dalam ranah pengadilan agama Bekasi sebagai salah satu institusi yang mempraktikkan mediasi, karenanya pengadilan agama Bekasi butuh waktu penyesuaian untuk bisa memaksimalkan tingkat keefektifan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini.

Mengenai tingkat keefektifan mediasi yang dianggap kurang efektif, seperti yang diutarakan oleh H. Andi Syamsu Alam Ketua Muda Mahkamah Agung dan dibenarkan oleh H. Wahyu Widiana dirjen Badilag RI, selain belum maksimalnya pemberdayaan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut, terlebih lagi perkara perceraian. Karena perkara

4Siddiki,M ediasi di Pengadi lan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,

(61)

54

perceraian menyangkut soal hati yang tidak bisa dipaksakan, karena para pihaklah yang benar-benar merasakan permasalahannya. Dan kebanyakan dari mereka datang membawa permasalahan ke pengadilan dengan tekad bulat ingin bercerai. Maka akan sulit sekali untuk didamaikan.

Mengenai keefektifan mediasi dalam penelitian ini terdapat dua persfektif dari kata efektif yang pertama apakah peraturan yang berlaku itu efektif dalam artian berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008, dan kedua makna efektif di sini yaitu apakah hasil yang diharapkan atau target dari peraturan tersebut berhasil. Apabila keefektifan yang dimaksud pada bagian pertama Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berhasil dilaksanakan, berarti Perma ini efektif. Namun apabila efektif yang dimaksud pada bagian kedua, tentang hasil target dari penerapan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sekiranya Perma ini belum efektif walaupun memang setiap tahunnya ada peningkatan prosentase dari tahun sebelum adanya Perma dan sesudah adanya Perma.

(62)

10.9%, dan ada peningkatan yang lebih besar yakni pada tahun 2011 prosentase perkara yang berhasil di mediasi sebesar 11.9% ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya akan tetapi peningkatannya hanya sebesar 1%.

E. Analisis Penulis

Pada dasarnya sebuah ikatan perkawinan harus didasari dengan kekuatan cinta. Namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangga sering sekali dibumbui dengan adanya pertengkaran atau percekcokan. Oleh karena itu Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diharapkan bisa meminimalisir angka perceraian yang ada di pengadilan, karena perkara yang paling banyak masuk di pengadilan agama adalah masalah perceraian hampir 90% dari seluruh perkara yang masuk di pengadilan adalah kasus perceraian5.

Perceraian adalah hal yang sangat di benci oleh Allah SWT. Sebagaimana di terangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, sebagai berikut :

ق َ ﻼ ﱠﻄ ﻟ ا

َﱃﺎَﻌَـﺗ

ِﻪﱠﻠ ﻟ ا

َﱃِإ

ِل َ ﻼ َ ْ ﳊ ا

ُﺾ َﻐ ْـﺑ َأ

Artinya : ”Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’alaa adalah menjatuhkan thalaq" (H.R. Abu dawud)

5W awancara Pribadi dengan Bpk. Drs.M ahmudin Yusuf, M H. Hakim M ediator di

(63)

56

Seharusnya perceraian haruslah dihindari akan tetapi pada kenyataan tidak seperti itu, di dalam ajaran Islam pun memerintahkan agar penyelesaian perselisihan yang terjadi pada manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui disemua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu harus mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat adalah menjawab kebutuhan manusia akan kebutuhan tersebut selain melakukan pendekatan kedua belah pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki dan upaya ini dapat dilakukan pada tahap perdamaian. Pengadilan Agama Bekasi dari tahun ke tahun tidak pernah sepi dari perkara perceraian, dalam prosesnya pengadilan agama Bekasi dalam melakukan proses mediasi sesuai berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

(64)

dan dihormati untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut di luar lembaga peradilan, yaitu mediator. Terkait dengan hal tersebut, Perma Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosudur mediasi maka menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg, yang berakibat putusan batal demi hukum.6

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis peroleh pengadilan agama Bekasi sudah efektif menerapkan Proses Mediasi sesuai dengan perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan akan tetapi didalam fungsi dari mediasi itu sendiri penulis menganggap hasil dari proses mediasi itu sendiri kurang efektif dilihat dari hasil prosentase yang kurang dari 15%. Memang ada faktor-faktor yang jadi penghambat di dalam proses mediasi yakni:

 Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa ditambah 14 hari. lebih baik ada pemaksimalan waktu maka tidak akan semakin banyak penumpukan jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak.

 Mengenai honorarium Mediator disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala

6Pasal 2 ayat (2) dan (3) Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur M ediasi di

(65)

58

dan penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian.

 Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator hal itu mungkin menjadi kendala dari keberhasilan mediasi. apabila seorang hakim memiliki sertifikat mediator mungkin ia mempunyai trik dan strategi dalam proses perdamaian.

 Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan hal itu juga menjadi salah satu penghambat dalam proses mediasi

(66)

penyelesaian melalui mediasi acapkali gagal di dalam mediasi.

Gambar

gambaran guna untuk mempermudah pembaca dalam memeahami proposal ini,
TahunTabel 1.Jumlah PerkaraJumlah Perkara

Referensi

Dokumen terkait

Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif (Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional,(Jakarta:Kencana), hlm 2.. tujuannya yaitu proses penyelesaian sengketa

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam

kesejahteraan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25

Susilowati selaku hakim Pengadilan Negeri Surakarta menjelaskan bahwa : “Dalam Perma No 1 Tahun 2016 terdapat ketentuan bahwa dalam hal apabila para pihak tidak

Dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam

4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam