• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas mediasi dalam perceraian perspektif perma no.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas mediasi dalam perceraian perspektif perma no.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERCERAIAN

PERSPEKTIF PERMA NO.1 TAHUN 2008

TENTANG PROSEDUR MEDIASI

(Analisa Pasca Pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008 Di Pengadilan Agama Jakarta Timur)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Siti Umu Kulsum NIM.106044101441

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERCERAIAN

PERSFEKTIF PERMA NO.1 TAHUN 2008

TENTANG PROSEDUR MEDIASI

(Analisa Pasca Pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008

Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Timur)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:

Siti Umu Kulsum

NIM.106044101441

Di Bawah Bimbingan:

Drs. H. A Basiq Djalil, SH, MA

1950 0306 1976 031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya , maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2010

(4)

KATA PENGANTAR

ÉΟó

¡

Î

0

!#

Ç≈Η÷

q

§



9

#

ÉΟŠÏ

m

§



9

#

Subhanallah. Sungguh hanya Allah, Dzat yang Maha Suci dan Maha Mengetahui, yang telah mengajarkan ilmu kepada umat manusia dan mengangkat derajat orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mencari ilmu-Nya. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Luapan puji serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat ilahi rabbi Allah SWT, Rabb semesta alam, atas ridho serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat teriring salam semoga Allah limpah curahkan kepada habibana wanabiyana Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi tauladan dan panutan bagi umat manusia. Yang telah mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi muslim kaffah. Beserta seluruh sahabat dan umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman.

Skripsi ini dipersembahkan terkhusus untuk motivator terbesar sepanjang perjalan hidup penulis, Almarhum Ayahanda KH. Sholehuddin dan Almarhumah Ibunda Hj. Siti Rukoyah untuk segala dorongan, bimbingan, kasih sayang dan doa tulusnya. Semua kasih dan sayang yang diberikan takkan kunjung terbalas. Semoga Allah melimpahkan keduanya ampunan dan ditempatkan disisinya.

(5)

1. Prof. Dr. Drs. H. Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA., ketua jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.dan Bapak Kamarusdiana S.Ag, MH., sekertaris jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA., Dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan pengarahan, petunjuk, serta bimbingan dalam meyelesaikan penulisan ini dengan penuh kesabaran dan perhatiannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Dr. Euis Amalia, M.Ag, Dosen penguji yang telah mengarahkan dan menunjukan dan memberikan solusinya, dan Bapak Dr.H. A. Juaini Syukri, Lc, M. Ag yang telah menguji skripsi saya dan memberikan arahan ke arah yang lebih baik lagi 5. Seluruh staf dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

membimbing penulis dalam menuntut ilmu selama menjadi mahasiswi dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan staf Peradilan Agama Jakarta Timur yang telah membantu dan memberikan fasilitas kepada penulis untuk mencari sumber data dalam penulisan ini.

(6)

8. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih banyak sama ayahanda tercinta KH. Solehuddin juga ibunda tercinta Hj.Siti rukoyah yang selalu merjuang untuk anak-anaknya dan selalu memberikan motifasi.

9. Erik Hasnur Pradana seorang yang sangat berarti dalam hidup penulis, terima kasih telah memberikan cinta dan kasih sayangnya yang begitu tulus. Serta terima kasih atas motivasi dan bantuannya selama ini, yang tak pernah bosan untuk selalu mengingatkan dan memberi motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Seluruh keluarga besar kelas PA-B angkatan 2006 senasib dan seperjuangan yang

tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, tetap semangat menyongsong masa depan. Seluruh teman-teman KKN 2009 yang selalu memberi semangat dan canda tawanya dikala penyusunan skripsi ini, semoga kalian tetap semangat.

Dan kiranya masih banyak pihak yang tak mungkin disebutkan yang turut andil membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat bantuan dan bimbingan, arahan dan do’a dari berbagai pihak di atas, halangan, hambatan dan kesulitan dapat diatasi dengan baik.

Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan, semoga amal baik mereka semua dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat ganda.

Amin Ya Robbal’alamin.

Jakarta, Agustus 2010

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Studi Review ... 10

E. Metode penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PERATURAN MAHKAMAH AGUNG N0.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI ... 20

A. Sejarah Singkat Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Mediasi 20 B. Pengertian Mediasi ... 26

C. Dasar Hukum Mediasi ... 30

D. Prinsip-prinsip Hukum Mediasi ... 39

BAB III PROSEDUR MEDIASI ... 45

A. Tahap Pramediasi ... 45

(8)

C. Putusan Mediasi ... 63

D. Tujuan dan Manfaat Mediasi ... 68

BAB IV EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERCERAIAN ... 73

A. Jenis Perkara yang di Tangani Mediasi ... 73

1. Data Laporan Perkara Perdata yang Diterima dan Diputus di Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 75

2. Data Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2008-2009 ... 82

B. Pengaruh Mediasi Dalam Perceraian Sesudah Pemberlakuan PERMA No.1 tahun 2008 ... 87

C. Hambatan Dan Tantangan Dalam Melaksanakan Mediasi 92 D. Analisis Penulis ... 100

BAB V PENUTUP ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran-saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN ... 116

1. Pedoman Data Wawancara ... 116

(9)

3. Laporan Perkara Tahunan 2008 Pengadilan Agama Jakarta

Timur ... 131 4. Laporan Perkara Tahunan 2009 Pengadilan Agama Jakarta

Timur ... 135 5. Contoh-contoh Laporan Mediasi ... 139 6. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 143 7. Surat Permohonan Data/Wawancara ... 144 8. Surat Keterangan Penelitian dan Wawancara ... 145 9. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan hukum sebagai suatu hal yang mutlak yang harus dikaji dan diperhatikan sekaligus diawasi oleh seluruh Negara. Demi kelangsungan ketertiban dan system penataan seluruh aspek kehidupan dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya hukum bersifat memaksa dan mengatur seluruh aspek kehidupan di dalam wilayah yang dicakupnya, guna menciptakan ketertiban dan keteraturan hidup tanpa menimbulkan banyak kekacauan serta mampu menjamin rasa aman bagi setiap manusia. Selain itu, dapat juga sebagai upaya untuk melindungi kepentingan-kepentingan bagi subyek hukum yang merasa hak-haknya dirugikan.

Kemajuan zaman merupakan barometer utama guna mendorong proses dan cara menerapkan hukum-hukum baru yang dipandang lebih sesuai dengan permasalahan sekarang. Dilain pihak munculnya ide, gagasan membangun peradaban yang maju dan sejahtera demi kepentingan rakyat lebih merupakan keharusan yang benar-benar harus diwujudkan.

Begitu pula di Indonesia, pada perkembangannya telah memperlihatkan kemajuan yamg cukup signifikan di bidang hukum. Kendatipun masih kurang

(11)

Dari apa yang diamanatkan oleh para founding father tentang pelaksanaan seluruh peradilan sebagai estafet dari masa kemerdrekaan sampai sekarang menunjukan bahwa aturan dasar serta pedoman hukumnya mewajibkan untuk ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun,dalam perkembangannya banyak terjadi ketidaksesuaian antara dasar hukum yang dipakai dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, mendorong para pembuat peraturan untuk berpikir lebih keras, mendalam serta mampu mengkaji problema yang dihadapi bangsa Indonesia. Guna menyesuaikan antara permasalahan dengan penanggulangannya agar lebih efektif dan efisien.

Masyarakat atau justiciabel sangat berkepentingan akan penyelesaian sengketa yang sederhana dan efesien, baik dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan pengetahuan akan pentingnya proses hukum menganjurkan bagi para pencari keadilan untuk dapat bertindak demi memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami kerugian baik materiil maupun non materiil. Kesadaran hukum masyarakat dalam konteks ini dapat dilihat dari makin meningkatnya perkara khususnya perkara perdata perceraian yang diterima oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) dari tahun ketahun.

(12)

mendorong pelaksanaan hukum acara perdata (formeel recht) agar sesuai dengan asa sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pranata perdamaian oleh hakim bukan sesuatu yang baru, tetapi diharapkan tidak sekedar formalitas yang semata-mata diserahkan kepada pihak-pihak. Hakim harus lebih aktif dalam mengusahakan perdamaian sebelum memasuki pokok perkara. Hal ini sesuai dengan trend umum yang berlaku dalam beracara. Di samping itu, aktualisasi pranata perdamaian ini akan lebih merangsang berkembangnya cara-cara menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Perkembangan pranata-pranata ini secra tidak langsung akan mengurangi jumlah perkara ke Pengadilan. Hakim dapat melaksanakan tugas secara wajar tanpa buru-buru yang akan lebih meningkatkan mutu putusan dan menghindari pula berbagai bentuk kolusi untuk mempercepat atau memenangkan perkara.1

Hal ini diatur dalam pasal 230 HIR/154RBg. Di dalam pasal 130 (1) HIR (Herziene Indonesich Reglement) disebutkan bahwa: “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak dating, Maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.”2

Angka perceraian dari waktu ke waktu semakin meningkat perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidak cocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-Undang

1

Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas, Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia, 2008, hal.5.

2

(13)

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang perkawinan) tidak memberika definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 (2) Undang-Undang perkawinan serta penjelasan secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasa-alasan yang telah ditentukan. Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu sepert yang tercantum dalam Pasal 38 yakni sebagai berikut :

a. karena kematian salah satu pihak; b. perceraian; dan

c. atas putusan pengadilan.

Meskipun Islam tidak melarang perceraian, tetapi bukan berarti agama Islam menyukai terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan. Dan perceraian-pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat sebagaimana dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam. Hal tersebut bisa dilihat dalam hadist Nabi yang artinya sebagai berikut:

Rasulullah SAW, bersabda : yang artinya “Yang halal yang paling dibenci Allah adalah Perceraian”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan Shohih oleh Al-Hakim)

(14)

mentalak (istriku) dan sungguh aku telah merujuknya” (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah).

Menurut Hukum Islam, suatu perceraian dapat terjadi bilamana ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, hal ini berdasarkan kepada sabda Nabi SAW: Yang artinya “Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa rasulullah SAW. Telah bersabda, “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).3

Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39, dan KHI pasal 115. Dijelaskan bahwa perceraian itu harus didasarkan atas alas an yang dibenarkan hukum.4

Adapun pemberatan dalam perceraian ini juga diatur dalam Undang-Undang No.7. tahun1989 tentang Peradilan Agama yang sudah diamandemen oleh Undang-undang RI No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1987 tentang Peradilan Agama, pada pasal 65 ayat (1) yang disebutkan bahwa:

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

3

Al-Hafidz Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-fikr, 1994, Jilid 2, h. 500.

4

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, cet.

(15)

Dalam hukum islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talaq. Sedangkan putusan Pengadilan sendiri ada yang disebut cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, pasakh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai produknya.

Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.

(16)

Dengan dikeluarkannya PERMA RI Nomor 1 tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan kepengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, maka pada hari siding pertama kasus perdata yang di hadiri oleh kedua belah pihak, hakim mewajibkan menempuh mediasi.

Dalam buku laporan mahkamah agung RI di sebutkan mediasi pada tingkat pengadilan tingkat pertama tersbut dalam rangka mengembangkan akses masyarakat pada keadilan, yang pada akhirnya juga dapat membantu mengurangi perkara kasasi yang masuk ke mahkamah agung.5

Dengan jajaran pengadilanempat lingkukngan peradilan seluruh Indonesia sarana dan prasarana yang baik, memadai dan moderen di perlukan untuk memberikan dukungan palaksanaan tugas. Kepada 4 ( empat) lingkungan peradilan yang di bawah MA, yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha Negara, peradilan agama dan peradilan militer. Keempat lingkungan peradilan tersebut mempunyai sifat dan cirri kekhususan masing-masing sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang No 4 tahun 2004 yang berbunyi “ Ketentuan mengenai organisasi administrasi dan financial badan peradilan sebagaimana di maksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan di atur dalam Undang.-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan.”6

5

Laporan Tahunan2007 MA RI (Jakarta: MA-RI, 2008), h. 66.

6

(17)

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1987 tentang Peradilan Agama khususnya pasal 1, 2, 49, dan penjelasan umum angka 2 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain Undang-undang No.1 tahun 1974, PP No.2 tahun 1977, permeneg No.2 tahun 1987 tentang wali hakim, maka pengadilan agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama islam. Seperti halnya masalah perkawinan, perceraian, waris, hibah, pemeliharaan, harta benda dalam perkawinan termasuk masalah perbankkan syariah.7

Memperhatikan keadaan tersebut, mahkamah agung terpanggil untuk lebih memberdayakan para hakim penyelesaikan perkara dengan perdamain yang di gariskan pasal 130 HIR, melalui mekanisme dalam peradilan.8

Namun disamping dampak positif dari perturan baru ini, tentu masih ada hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menerapkan ini. Seperti, lamanya putusan yang ditetapkan dalam suatu perkara karena harus menempuh proses mediasi terlebih dahulu.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas penulis terdorong ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh dari penerapan PERMA No.1 tahun 2008 tentang mediasi yang sebagai penengah atau juru damai dalam pelaksaan kasus perdata

7

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,1995), h.2

8

M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(18)

khususnya perkara perceraian di Pengadilan Agama (khususnya di Pengadilan Agama untuk wilayah Jakarta Timur). Dengan mengangkat suatu tema yang akan ditulis sebagai bahan skripsi, yaitu membahas tentang “Efektivitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif Perma No.1 Tahun 2008 Di Pengadilan Agama

Jakarta Timur (Analisis Pasca Pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada mediasi dan pengaruhnya Di Pengadilan Agama Jakarta Timur terhadap perceraian.

2. Rumusan Masalah

Dalam buku laporan tahunan Mahkamah Agung disebutkan bahwa dengan adanya PERMA No.1 tahu 2008 tentang prosedur mediasi diharapkan dapat menjadi salah satu instrument efektif untuk menekan angka perceraian di pengadilan. Akan tetapi pada kenyataan di lapangan dengan adanya PERMA No.1 tahun 2008 tentang mediasi tersebut angka perceraian tidak menurun sebagaimana yang diharapkan.

Rumusan tersebut diatas penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:

(19)

2. Bagaimana prosedur dan pelaksaan mediasi?

3. Apa tantangan dan hambatan yang dihadapi hakim dalam pelaksanaan mediasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk metealisasikan beberapa tujuan antara lain : 1. Untuk menganalisa pelaksanaan prosedur mediasi yang dilaksanakan di

Pengadilan Agama Jakarta Timur

2. Untuk menganalisa prosedur mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi terkait perakteknya di Pengadilan Agama

3. Untuk mengetahui apakah ada kesesuaian antara teori dan praktek di pengadilan dalam pelaksanaan prosedur mediasi

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas di bidang hukum terutama tentang mediasi.

2. Dari segi praktis diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk meningkatkan efektivitas peranan mediasi dalam memutuskan perkara perdata sehingga dapat mengendalikan jumlah kasus dalam ligitasi.

D. Studi Review

(20)

1. Judul : Aplikasi PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Penulis : Nusra Arini/PF/PMH/2009

Skripsi ini membahas bagaimana penerapan PERMA No. 1 tahun 2008 terkait putusan perdata yang mencakup putusan perkara perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, terdiri dari pengertian putusan, macam-macam putusan hakim, susunan dan isi perkara perdata, dan pelaksaan putusan.

Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat adalah skripsi ini membahas secara umum tentang penerapan PERMA No. 1 tahun 2008 terkait putusan perkara perdata. Sedangkan skripsi yang penulis angkat adalah lerbih kepada bagaimana pengaruh atau efektivitas mediasi yang telah diberlakukan terhadap perceraian, sesudah dibelakukannya PERMA No. 1 tahun 2008. 2. Judul : Hakam Menurut Imam Mazhab dan Undang-Undang No.7/1989

Tentang Peradilan Agama, Serta Peranannya Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian (Studi Kasus Pada Pengadilan Jakarta Utara).

Penulis : Budi Setiawan/PF/PMH/2006

(21)

Perbedaan skripsi yang kedua ini ialah pada skripsi ini lebih menekankan pada pembahasan hakam ditinjau dari pendapat Imam Mazdhab dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul yang penulis angkat membahas tentang pengaruh dan efektivitas mediasi pada perceraian berdsarkan PERMA No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.

3. Judul : Peran Hakim Dalam Mendamaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bekasi.

Penulis : Sueb/PH/PMH/2006

Skripsi ini menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari Pengertian perceraian, macam-macam perceraian, sebab perceraian dan akibat yang ditimbulkan. Juga membahas tentang upaya perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan Agama, Pengertian perdamaian, maksud perdamaian dalam perceraian serta teknik dan tata cara hakim dalam mendamaikan para pihak. Selain itu, penulis membahas tentang alas an-alasan yang mendasari terjadinya perceraian dan peran hakim dalam mendamaikan para pihak pada kasus perceraian.

Perbedaan dengan skripsi yang ketiga ini ialah menjelaskan tentang hakim majlis dalam mendamaikan para pihak. Sedangkan judul yang penulis angkat menjelaskan tentang Hakim mediator dalam mendamaikan para pihak.

(22)

Penulis : Musliman/PA/AAS/2007

Skripsi ini menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, landasan hukum perceraian, macam, bentuk-bentuk perceraian dan alas an-alasan dilakukannya perceraian, Juga membahas tentang pengertian perdamaian,, dasar hukumnya dan tata cara mengajukan perceraian. Selain itu penulis membahas upaya hakim dalam mendamaikan pihak-pihak terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok.

Perbedaan skripsi yang terakhir ini dengan judul yang penulis angkat ialah lebih menjelaskan upaya hakim majlis dalam melakukan perdamaian di ruang siding. Sedangkan judul yang penulis angkat menjelaskan tentang hakim mediator dalam mendamaikan para pihak di luar sidang.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah: suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi dilapangan.9 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan dan pengaruh mediasi dalam perkara perdata dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada

9

(23)

pola perilaku sosial masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh kejelasannya dipersidangan pengadilan.

Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku orang.10

Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumen-dokumen yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.

2. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersipat deskriptif yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka.11

Dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersipat deskriptif analisis yakni penelitian lapangan yang menggambarkan

10

Lexy J. moleong, metodologi penelitian kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2004, cet. Ke-18, h. 3.

11

(24)

data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.12

Metode deskriptif, yaitu suatu metode yang diarahkan untuk memecahkan masalah factual dengan cara memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian.13

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa dan menguraikan mengenai efektivitas mediasi yang diterapkan oleh hakim Di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan tanggapan hakim terhadap efektivitas mediasi yang diberlakukan.

3. Data Penelitian

Jenis data dalam penulisan skripsi ini ialah: a. Data primer

Data primer diperoleh lansung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan data perkara serta putusan hakim sebelum dan sesudah diberlakukan PERMA No.1 tahun 2008.

12

Suharsimi Arikunto, manajemen penelitian, Jakarta: PT. Rineka Bakti, 1993, cet. Ke-2,

h.309.

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka

(25)

b. Data sekunder

Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, peraturan perundang-undangan data resmi dari instansi pemerintah, dari peradilan, buku-buku literature, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.14

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

a. Studi pustaka (Library Research) melalui pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu literature-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan yang relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber dalam karya ilmiah ini.

b. Penelitian Lapangan (Fieled Research) melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai pelaksaan putusan yang ditetapkan hakim. Serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan menguasai tentang mediasi yaitu para hakim mediasi yang berada Di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

14

Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-press, 1986, cet. Ke-3, h. 12.

(26)

c. Pengolahan Data

Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan cara membandingkan hasil studi pustaka dengan penelitian lapangan, kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis wacana yaitu, mengidentifikasi konsep tertentu melalui rangkaian kata yang ada pada suatu teks, pakta-pakta pengamatan dilapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia.

6. Teknik Peulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi,Tesis, dan Disertasi” yang dikeluarkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007 dengan beberapa pengecualian:

a. Ayat Al-Qur’an yang dikutip tidak diberi Footnote, tapi langsung ditulis nama surat dan ayat diakhir kutipan.

(27)

c. Terjemahan Al-Qur’an dan sumber-sumber lainnya yang memakai bahasa arab ditulis satu spasi dengan number tanda kutip diawal dan diakhir kalimat.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab bahasan. Ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam pembahasan dan penulisan skripsi ini, agar lebih terarah dan sistematis maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Dan Pembatasan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Studi Riview, Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan dilanjutkan dengan Sistematika Penulisan.

Bab kedua, memuat pembahasan yang berkaitan dengan teori sejarah singkat terbentuknya Peraturan Mahkamah Agung yang menjadi landasan teori dalam penelitian. Meliputi sejarah Perma No.1 Tahun 2008, pengertian mediasi, dasar hukum mediasi, frinsip-frinsip hukum mediasi.

Bab ketiga, penulis membahas tentang prosedur mediasi dalam perceraian. Meliputi tahap pramediasi, tahap-tahap mediasi dan putusan mediasi, tujuan dan manfaat mediasi.

(28)

perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur, pengaruh mediasi sesudah pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008, tantangan dan hambatan dalam melaksanakan mediasi, pandangan hakim mediasi terhadap efektivitas mediasi serta analisis penulis mengenai pengaruh mediasi.

(29)

BAB II

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.1 TAHUN 2008 TENTANG

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

A. Sejarah Singkat Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Mediasi

Penggunaan mediasi pada lembaga pengadilan ini bermula dengan dikeluarkannya :

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002

Pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001, rakernas Mahkamah agung yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal 145 Rbg.15

Penggunaan mediasi pada lembaga damai ini bermula dengan dikeluarkannya SEMA No.1 tahun 2002 (Eks pasal 130 HIR/Rbg) tentang pemberdayaan pengadilan tinggkat pertama menerapkan lembaga damai SEMA tersebut dikeluarkan menyikapi salah satu problema yang dihadapi oleh lembaga peradilan di Indonesia dalam tunggakan perkara di tingkat kasasi (MA) dan rasa ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan lembaga peradilan yang dianggap tidak menyelesaiakan masalah. SEMA ini

15

Yasardin, ” Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1 Tahun

(30)

merupakan langkah nyata dalam mengoftimalkan upaya perdamaian sehingga pelaksanaannya tidak hanya sekedar formalitas.16 Namun karena beberapa hal pokok belum secara ekplisit diatur dalam SEMA tersebut maka Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No.2 tahun 2003 yang terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal yaitu pasal 1-2 tentang ketentuan umum, pasal 3-7 tentang tahap pramediasi, pasal 8-14 tentang tahap mediasi, pasal 15 tentang tempat dan biaya mediasi, pasal 16 lain-lain dan pasal 17-18 penutup dipengadilan.17

PERMA No.2 tahun 2003 Pasal 17 ini mengatur:

Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Sayrat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Merupakan Tempat Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.18

Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No.1 tahun 2002, antara lain:

a. Mengatasi Penumpukan Perkara

Pada huruf a konsideran dikemukakan bahwa perlu diciptakan satu instrumen efektif yang mampu mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Instrumen yang

16

Mimbar Hukum N0.63 Thn XV, Jakarta: Al-Hikmah & DITBINPERA, 2004, h.4

17

Buku Komentar Peraturan Mahkamah agung RI No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, h.7

18

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

(31)

dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengana jalan pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.19

b. SEMA No.1 Tahun 2002, Belum Lengkap

Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan Perma diterbitkan karena SEMA No.1 Tahun 2002 belum lengkap atas alasan Sema tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersipat sukarela (voluntary). Akibatnya, Sema itu tidak mampu mendorong para pihak cecara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.20 c. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg, dianggap tidak memadai

Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR dan pasal 154 Rbg masih belum cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancar. Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah Agung menganggap perlu menetapkan Perma yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di Pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang berperkara.21

19

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 243

20

Ibid”

21

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

(32)

2. Disempurnakan lagi dalam PERMA No.1 Tahun 2008

Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA).22

Sejak tahun 2006 MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi kelemahan-kelemahan pada PERMA No.2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi beranggotakan dari hakim dan advokat. Pusat Mediasi Nasional dan organisasi selama ini conceren pada masalah-masalah mediasi,

Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi. ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, pada tanggal 31 juli 2008. perma ini lahir karena dirasakan Perma No.2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan.23

22

Tony Budijaja, Beleid Baru Untuk Sang Mediator, Artikel diakses pada tanggal 5 Juni 2010

dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20214/beleid-baru-untuk-sang mediator.

23

Tony Budijaja, Beleid Baru Untuk Sang Mediator, Artikel diakses pada tanggal 5 Juni 2010

(33)

Penerbitan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi membawa perubahan secara mendasar prosedur mediasi di Pengadilan. MA belajar dari kegagalan selam lima tahun terakhir. Bab VIII pasal 26 PERMA ini menyatakan:

Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.

Dari jumlah klausul, Perma 2008 tentang prosedur mediasi jauh lebih padat karena memuat 27 Pasal, sementara Perma 2003 hanya 17 pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukan ada perbedaan keduanya. Perma No.1 Tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan.

Perma 2008 tentang prosedur mediasi memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi.24

[image:33.612.112.529.167.677.2]

Tabel 2.1

Sistematika PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Bab I : Ketentuan Umum Ruang Lingkup dan Kekuatan

Berlakunya Perma

Biaya pemanggilan para pihak Jenis perkara yang dimediasi Sertifikat mediator

Pasal 1-6

24

Tony Budijaja, Beleid Baru Untuk Sang Mediator, Artikel diakses pada tanggal 5 Juni 2010

(34)

Sifat proses mediasi Bab II : Tahap Pra

Mediasi

Kewajiban hakim memeriksa dan kuasa hukum

Hak para pihak memilih mediator Daftar mediator

Honorarium mediator

Batas waktu pemilihan mediator Menempuh mediasi dengan Itikad baik

Pasal 7-12

Bab III : Tahap-Tahap Proses Mediasi

Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi

Kewenangan mediator menyatakan mediasi gagal

Tugas-Tugas mediator Keterlibatan ahli Mencapai kesepakatan Tidak mencapai kesepakatan Keterpisahan mediasi dan ligitasi

Pasal 20

Bab IV : Tempat

Penyelenggaraan Mediasi

Pasal 20 Bab V : Perdamaian di

Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

Pasal 21-22

Bab VI : Kesepakatan di Luar Pengadilan

Pasal 23 Bab VII : Pedoman

Perilaku Mediator dan Insentif

Pasal 24-25

Bab VIII : Penutup Pasal 26-27

Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, Perma No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan:

Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.25

25

Tony Budijaja, Beleid Baru Untuk Sang Mediator, Artikel diakses pada tanggal 5 Juni

(35)

B. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.26

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.27

Mediasi dalam bahasa Inggris disebut “meditian” yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi permasalahan untuk didamaikan, dan mediator adalah orang penengah.28

Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.29

26

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 1-2

27

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, hal..569.

28

John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. XXV, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003, h. 377.

29

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

(36)

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik menjadi beberapa Pengertian mediasi adalah sebagai berikut :

a. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.

b. Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.

Pengertian mediasi dalam pengintegrasiannya dalam sistem peradilan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 1 butir 7 adalah:

a. Proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang beperkara.

b. Perundingan yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi :

(37)

2) Berfungsi sebagai pembantu atau penolong (helper) mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak.30

Mediasi dalam literatur hukum islam bisa disamakan dengan konsep

”Tahkim”. Kata Tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu, yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga atau yang disebut

”hakam” sebagai penengah suatu sengketa.31

` Tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak. Tahkim dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang Hakam (mediator) sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.32

` Tahkim sebagaimana dimaksud telah dipraktekan sejak masa awal Islam ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, ketika itu Nabi Muhammad SAW juga telah menerima putusan Sa’ad Ibnu Mu’adz mengenai Bani

30

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hal. 244.

31

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pesantren

L-Munawwir Krapyak, 1984, h.286.

32

Siti juwariyyah, “Potret mediasi dalam Islam”, Artikel diakses pada 21 juni 2010 dari

(38)

Quraidhah. Demikian juga pertengkaran antara Umar bin Khattab ra dengan Ubay bin Tsabit, semua sahabat sepakat menerima putusan Hakam dan membenarkannya.33

Menurut Rachmadi Usman, menyimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (Non-intervensi) dan tidak berpihak (imparsial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut ”mediator” atau ”penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator disini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan menemukan titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.34 Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansi negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi,

33

Siti juwariyyah, “Potret mediasi dalam Islam”, Artikel diakses pada 21 juni 2010 dari

http://badilag.net/2010/02/potret-mediasi-dalam-islam.html

34

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT

(39)

maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi).35

C. Dasar Hukum Mediasi

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu harus mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat.36

Yang menjadi dasar hukum pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia dalam proses ligitasi didasarkan pada:

a. Pancasila.

Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Hukum tertulis lainnya yang mengatur mediasi adalah Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat (2) menyatakan ”Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan :

35

Said Faisal, Pengantar Mediasi, Jakarta : Mahkamah Agung RI,2004, h.65.

36

Lailatul Arofah, Perdamaian dan Bentuk Lembaga Damai di Pengadilan Agama Sebuah

(40)

ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.37

Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.38

b. Pasal 130 HIR/154 Rbg

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.

Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi :

Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka

pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.39

Selanjutnya ayat (2) menyatakan :

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalanlkan sebagai putusan yang biasa.40

37

Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis : MEDIASI, Jakarta, Peslitbang Hukum dan

Peradilan MA-RI, 2007, hal.36.

38

Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis : MEDIASI, Jakarta, Peslitbang Hukum dan

Peradilan MA-RI, 2007, hal.36.

39

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor : Pollteria, 1985, hal. 88.

40

(41)

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130

Herziene Indonesia Reglement (HIR) maupun pasal 154 Rechtsreglement

Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini.41

c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Pasal 82 berbunyi :

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

(3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

d. Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

41

Penggabungan dua konsep penyelesaian dua sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak. Dan dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesain sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat Suyud

Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses Pelembagaan Aspek Hukum,

(42)

Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi:

(2) Selama perkara belum diputuskan, upaya mendamaikan dapat dilakukan pada setiap pemeriksaan.

Yang mana penjelasan pasal tersebut adalah :

”Usaha Untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.42

Pasal tersebut jelas menunjukan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara (dalam pasal ini suami-istri) dengan bantuan seorang mediator (hakim).

e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Maka, pada sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara.

f. AlQur’an: Surah An-Nisa’ (4) ayat: 128 dan Surah Al-Hujarat (49) ayat: 9

42

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan

(43)

Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang brperkara adalah sejalan dengan tuntunan ajaran Islam. Ajaran Islam memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi diantara manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian (islah).43

Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.44 Jadi sulh adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai.

Dasar hukum dalam Al-Qur’an, termaktub dalam Surah An-Nisa’ ayat 128 :

ÈβÎ

)

ρ

îο

ö

#

ô

Mù%{

ÏΒ

$

γÎ=÷

è/

#

—

θà

±

çΡ

÷ρ

&

$

Z

Ê#

ô

ã

Î

)

ξ

ù

y$

Ψã

_

$

ϑÍκöŽ=

æ

β

&

$s

Î=ó

Á

ãƒ

$

ϑæηΖ÷

/

$

[

s

ù=ß

¹

4

ß

x

ù=÷

Á

9

#

ρ

×

Ž

ö

z

3

Ï

Å

Ø

ô

m

é

&

ρ

Ú

à

"

Ρ{

#

£

x

±

9

#

4

βÎ

)

ρ

#

θãΖÅ

¡

ó

s

è

?

#

θà)−

G?

ρ

€χÎ

!#

χ

%

.

$

ϑÎ

/

χθè=ϑ÷

è?

#

Z

Ž

Î

6z

)

ء

ا

:

128

(

Artinya : ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi

43

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta

: Kencana, 2008, hal. 151.

44

(44)

mereka) walaupu manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyud dan sikap tak acuh). Maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa’: 4 ayat 128).

Makna ” wal shulhu khair” yakni ” dan perdamain itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ’Abbas ra, ia berkata : ” yaitu memberikan pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus mengutamakan istri yang lain daripada dirinya.45

Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada terjadi perceraian secara total.46

Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam’ah dengan memberikan malam gilirannya kepada ’Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap menjadikannya sebagai istri.47

Beliau melakukan itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasannya hal tersebut disyari’atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian. Firman Allah ”wal shulhu khair” ’dan perdamaian itu lebih

45

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, cet.2, Bogor: Pustaka

Ibnu Katsir, 2008, hal.683-684

46

Ibid, h. 683.

47

(45)

baik’, bahkan perceraian sangat dibenci Allah SWT.48 Ayat ini berkaitan dengan masalah perkawinan.

Selain ayat tersebut ketentuan berdamai sejalan dengan Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hujarat (49) ayat 9 :

βÎ

)

ρ

Èβ

$G"

Í←

ÏΒ

ÏΖÏΒ÷σßϑø9

#

#

θè=

GG

ø%

#

#

θß

s

Î=ô

¹'ù

$

ϑåκ]÷

/

(

βÎ

ô

Mó/

$

ϑßγ

÷

n

Î

)

’?

ã



÷

z

{

#

#

θè=Ï

G

≈)

ù

É

L

©9

#

È

ö

ö

7?

®

Lm

þ’Å∀

?

’<Î

)

Ì



øΒ

&

!#

4

βÎ

ô

N

#

θß

s

Î=ô

¹'ù

$

ϑåκ]÷

/

ÉΑô

‰è

ø9

$

Î

/

#

þθä

Ü

Å

¡

ø%

&

ρ

(

¨βÎ

)

!#



=

Ï

t

ä†

Ï

Ü

Å

¡

ø)ßϑø9

#

)

ةا

ا

:

9

(

Artinya : ”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara kedunya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil ; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Hujarat (49) ayat 9).

Allah SWT berfirmann seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang beriman meski saling menyerang satu sama lain.49 Dimana dikemukakan dalam ayat itu bahwa jika dua golongan orang beriman bertengkar maka damaikanlah mereka, perdamaian itu hendaklah

48

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, cet.2, Bogor: Pustaka

Ibnu Katsir, 2008, hal.683-684.

49

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, cet.2, Bogor: Pustaka

(46)

dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah SWT sangat mencintai orang yang berlaku adil.50

Jika Al-qur’an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti di atas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut harta bendapun sudah barang tentu dibolehkan juga. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih tradisional banyak juga anjuran dari pakar hukum Islam agar menyelesaikan sengketa antara umat Islam supaya dilaksanakan dengan cara islah atau perdamaian. Yang apabila ditelaah dengan seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqih klasik, objek kajiannya tertuju pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.

g. Al-Sunnah

Anjuran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Memilih sulh sebagai sarana penyelesaian sengketa yang didasarkan pada pertimbangan bahwa, sulh dapat memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa mereka.

Dalam penyelesaian sengketa, langkah pertama yang ditempuh Rasulullah SAW adalah jalan damai. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud :

50

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta

(47)

ْةَ َْ ُه َِأ ْ َ

,

َل َ

:

َ!َ"َﺱَو ِ%ْ&َ"َ ُ'ا (َ"َ) ِ'ا ُل*ُﺱَر َل َ

.

ُ-ْ"ُ. ا

ً0َ1َ2 َمَ َ2 ْوَأ ً4اَ َ2 َ5َ2َأ ً6ْ"ُ) َ0ِإ َ ْ&ِ8ِ"ْ ُ8 ا َ ْ&َ ٌ:ِ; َﺝ

)

=اور

دواد أ

(

51

Artinya : Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda; ”perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal” (HR. Abu Daud).

At-Tirmizi menambahkan :

?@2

6 ا

"

ل1A ا

?@2

* أ

4

ي@CD ا

?@2

&Eآ

@G

و 8

ف*

ﻥ:8 ا

%& أ

=@ﺝ

:

نأ

ل*ﺱر

(")

%&"

و

!"ﺱ

ل

-". ا

:; ﺝ

&

&8" 8 ا

6")

م 2

012

وأ

52أ

4ا 2

ن*8" 8 او

("

! Kو L

K L

م 2

012

وأ

52

4ا 2

ل

* أ

( &

اMه

N @2

2

-&6)

52

Artinya : ”Dan orang-orang Islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.(Tirmizi berkata, hadis ini Hasan Shahih).

51

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Karoban Hazam, 1974, hal.553. Dapat juga dilihat

Li’Ala Addin Samarqondi, Tuhfah al-fuqohaJuz 3, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995, hal. 249

52

Muhammmad bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz 3, Beirut : Dar al-Turats

(48)

Perdamaian yang dikandung oleh sabda ini bersifat umum, baik mengenai hubungan suami itri, transaksi maupun politik. Selama tidak melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.53 h. Doktrin Umar ibn Khattab

Umar Ibn Khatab dalam suatu peristiwa pernah berkata :

”Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan

perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara

mereka”.54

D. Prinsip-Prinsip Hukum Mediasi

Dalam berbagai literatur ditemukan beberapa prinsip mediasi, baik untuk menerapkan mediasi dalam proses persidangan ditingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi. Mediasi memiliki prinsip-prinsip hukum dalam menangani kasus melelui pengadilan (ligitasi). Yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Pelaksanan Mediasi bersifat kerahasiaan (confidentiality)

Kerahasiaan yang dimaksud adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik oleh masing-masing pihak.55

53

“sulh”, Dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed,Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta :

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal.1653.

54

Sayyid Sabiq, Terjemahan Fikh Sunnah, Jilid 13, Bandung : Al-Ma’arif, 2000, hal. 212.

55

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

(49)

Karena proses mediasi ini bersifat rahasia maka, sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut, juga mediator tidak dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia tangani penyelesaiannya melalui mediasi. Begitu juga masing-masing pihak yang bersengketa diharapkan saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan masing-masing pihak.56

b. Upaya damai lewat mediasi bersifat imperatif

Imperatif artinya bersifat memerintah atau memberi komando, bersifat mengharuskan.57 Hal ini dapat ditarik dari ketentuan pasal 131 ayat (1) HIR, yang menyatakan :

”Jika, hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal itu mesti disebutkan dalam berita acara sidang. Kelalaian menyebutkan hal itu dalam berita acara mengakibatkan pemeriksaan perkara. Mengandung cacat formal dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum, oleh karena itu upaya perdamain ini tidak boleh diabaikan dan dilalaikan”.58

Karena proses mediasi dalam penyelesaian perkara yang disengketakan bersifat memaksa (compulsory), maka para pihak yang berperkara tidak

56

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 29.

57

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia, Edisi Ketga, Jakarta : Balai

Pustaka, 2001, hal. 427.

58

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

(50)

mempunyai pilihan selain mesti dan wajib mentaati (comply) aturan. Sebagai acuan bahwa setiap penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan, wajib lebih dahulu ditempuh proses mediasi atau harus lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Oleh sebab itu, penyelesaian melalui proses legitasi tidak boleh di pengadilan, sebelum ada pernyataan tertulis dari mediator yang menyatakan proses mediasi gagal mencapai kesepakatan perdamaian.59

Hal ini ditegaskan dalam pasal 18 ayat (2) PERMA. Pengadilan baru dibolehkan memeriksa perkara melalui proses hukum acara perdata biasa, apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.

c. Proses mediasi bersifat teknis

Artinya mediasi merupakan prosedur yang wajib ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Dimana mediasi adalah prosedur awal dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Dilakukan secara sistematis oleh pihak-pihak yang berperkara dengan dibantu mediator.60

d. Proses mediasi bersifat pemberdayaan

Berdasarkan pada asumsi bahwa setiap orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Penyelesaian

59

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 29.

60

(51)

sengketa harus muncul dari pemberdayaan masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak akan lebih menerima solusinya.61 e. Proses mediasi bersifat sukarela atas dasar iktikad baik para pihak.

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian, pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.62

Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak.

61

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 30.

62

(52)

Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter.63

f. Dalam proses mediasi bersifat netralitas

Artinya di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dan juga seorang mediator dalam mediasi, tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah satu benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.64

g. Hasil mediasi belum bersifat yuridis kecuali telah menjadi putusan hakim.65 Yuridis artinya berdasarkan hukum, setelah proses mediasi ditempuh, para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan para pihak.66

Jika dicapai kesepakatam perdamaian, para pihak dapat mengajukan pada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Ditinjau dari segi

63

Susanti Adi Nugraha, Naskah Akademis : MEDIASI, Jakarta : Peslitbang Hukum dan

Peradilan MA-RI, 2007, hal. 18.

64

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Gambar

Sistematika PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Tabel 2.1
Tabel 4.1 Perkara yang diterima pada tahun 2008
Tabel 4.2 Perkara yang diputus pada tahun 2008
Grafik Data Perkara Tahun 2008.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usaha-usaha memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai sasaran laju pertumbuhan ekonomi tertentu dalam suatu perencanaan pembangunan dilakukan melalui konsep ineremental

Rancangan isi dari media pembelajaran interaktif sejarah Indonesia memuat menu- menu yang akan ditampilkan dan sesuai dengan rancangan yang sudah di buat.Adapun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies gulma pada pertanaman padi sawah yang berpotensi sebagai inang alternatif virus tungro RTBV dan/atau RTSV, menggunakan teknik

Dari hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa kerjasama BPD dengan Pemerintah Desa dalam pembangunan dan pengelolaan dana Desa sudah berjalaan sesuai

Periodisitas yang muncul menunjukkan bahwa perubahan dalam kecepatan angin Matahari dan indeks Dst selama aktivitas Matahari minimum lebih dominan disebabkan oleh

a. Faktor horisontal: dipengaruhi oleh letak lintang geografis, jenis tanah, tingkat kelembaban dan curah hujannya. Di daerah iklim tropis flora dan fauna tersebar dalam jumlah

Pengamatan panen meliputi angka kerapatan panen, kriteria matang buah, produksi per pemanenan, proses kegiatan panen, dan kebutuhan tenaga kerja panen serta

Konstruksi interogatif polar dalam bahasa Jepang yang terwujud pada buku Minna No Nihongo Shokyuu I, Nameraka Nihongo Kaiwa, dan komik Oremonogatari Chapter 1 karangan