• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI BEBERAPA FORMULASI Metarhizium anisopliae

TERHADAP MORTALITAS LARVA Oryctes rhinoceros L.

(Coleoptera: Scarabaeidae) DI INSEKTARIUM

SKRIPSI

OLEH:

ERWIN MURDANI MANURUNG 080302042

HPT

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFIKASI BEBERAPA FORMULASI Metarhizium anisopliae

TERHADAP MORTALITAS LARVA Oryctes rhinoceros L.

(Coleoptera: Scarabaeidae) DI INSEKTARIUM

SKRIPSI

OLEH :

ERWIN MURDANI MANURUNG 080302042

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS.) (Ir. Lahmuddin Lubis, MP Ketua Anggota

)

Anggota

Hari Priwiratama, SP.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRACT

Erwin Murdani Manurung. Efficacy Some Formulations of

Metarhizium anisopliae for Mortality of Larvae Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae)in Insectarium. This research was intends to study the

right formulation of Metarhizium anisopliae to control larvae of O. rhinoceros L. This research use Completely Randomized Design with 33 treatments and three replications, which is: control; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in corn powder/ kg media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in rice powder/ kg media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in cut up of corn/ kg

media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in soil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in corn oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in coconut oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in sun flower oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in aquadest/ kg media of

O. rhinoceros. The Result of this research showed that significant difference just on treatment with control, whereas each of treatment non significant. Highest mortality in 30 gr formulation in corn powder/ kg media of O. rhinoceros as 100% and the lowest in control as 0%.

(4)

ABSTRAK

Erwin Murdani Manurung. Efikasi Beberapa Formulasi

Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di Insektarium. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui formulasi M. anisopliae yang tepat dalam pengendalian larva

O. rhinoceros L. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 33 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, yaitu kontrol; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi jagung

cacah/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tanah/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak jagung/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata hanya terdapat antara perlakuan dengan kontrol, sedangkan antara setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan 30 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros sebesar 100% dan yang terendah pada perlakuan kontrol sebesar 0%.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Erwin Murdani Manurung lahir pada tanggal 13 Juli 1989 di Pancur Nagori Bayu Bagasan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Anak ke-5 dari 6 bersaudara dari Ayah M. Manurung (Alm) dan Ibunda N. Sinaga.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh:

- Tahun 2002 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 094176 Pancur.

- Tahun 2005 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Tanah Jawa

- Tahun 2008 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Tanah Jawa

- Tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Pendidikan informal yang pernah diikuti:

- Tahun 2010 mengikuti seminar nasional Syngenta dengan tema “ How Do We Feed a Growing Population”.

- Tahun 2011-2012 menjadi asisten di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Organisasi yang pernah diikuti:

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi yang berjudul ” Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di Insektarium” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi

Pembimbing Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS, selaku Ketua. Ir. Lahmuddin Lubis, MP., dan Hari Priwiratama, SP., selaku Anggota, yang telah

memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Unit Usaha Marihat, yang telah mengakomodasi pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2012

(7)

DAFTAR ISI

Gejala Serangan O. Rhinoceros... 7

Karakteristik M. anisopliae... 8

Faktor yang mempengaruhi M. anisopliae... . 9

Mekanisme infeksi M. anisopliae... 10

Bahan tambahan formulasi M. anisopliae... 12

Jagung... 12 Tempat dan waktu penelitian... 15

Bahan dan alat... . 15

Metode penelitian... 15

Pelaksanaan penelitian... 17

(8)

Aplikasi formulasi M. anisopliae... ... 21

Peubah amatan... . 22

Waktu kematian larva O. rhinoceros... ... 22

Persentase mortalitas larva O. rhinoceros... ... 22

Gejala Visual Pada Larva O. rhinoceros... . 22

Populasi M. aniopliae di Akhir Penelitian... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu Infeksi Awal...23

Waktu Kematian Larva O. rhinoceros L...25

Mortalitas Larva O. Rhinoceros L...27

Populasi Jamur M. anisopliae di Akhir Penelitian...30

Gejala Visual pada Larva O. rhinoceros L...35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...38

Saran...38

(9)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Hal.

1 Waktu Infeksi Awal 23

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Hal.

1. Telur O. rhinoceros L. 5 2. Larva O. rhinoceros L. 6

3. Pupa O. rhinoceros L. 6

4. Imago O. rhinoceros L. 7 5. Gejala serangan O. rhinoceros L. 8

6. Larva O. rhinoceros L. 18

7. Isolat Murni M. anisopliae 19 8. Spora M. anisopliae pada Jagung Cacah 19 9. Formulasi M. anisopliae 20 10. Pengisian Media Hidup Larva O. rhinoceros L. 21

11. Aplikasi M. anisopliae 22

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Hal.

1 Bagan penelitian 39

(12)

ABSTRACT

Erwin Murdani Manurung. Efficacy Some Formulations of

Metarhizium anisopliae for Mortality of Larvae Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae)in Insectarium. This research was intends to study the

right formulation of Metarhizium anisopliae to control larvae of O. rhinoceros L. This research use Completely Randomized Design with 33 treatments and three replications, which is: control; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in corn powder/ kg media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in rice powder/ kg media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in cut up of corn/ kg

media of O. rhinoceros; 20, 30, 40 and 50 gr formulation in soil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in corn oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in coconut oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in sun flower oil/ kg media of

O. rhinoceros; 25, 50, 75 and 100 ml formulation in aquadest/ kg media of

O. rhinoceros. The Result of this research showed that significant difference just on treatment with control, whereas each of treatment non significant. Highest mortality in 30 gr formulation in corn powder/ kg media of O. rhinoceros as 100% and the lowest in control as 0%.

(13)

ABSTRAK

Erwin Murdani Manurung. Efikasi Beberapa Formulasi

Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di Insektarium. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui formulasi M. anisopliae yang tepat dalam pengendalian larva

O. rhinoceros L. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 33 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, yaitu kontrol; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi jagung

cacah/ kg media O. rhinoceros; 20, 30, 40 dan 50 gr formulasi tanah/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak jagung/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media

O. rhinoceros; 25, 50, 75 dan 100 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata hanya terdapat antara perlakuan dengan kontrol, sedangkan antara setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan 30 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros sebesar 100% dan yang terendah pada perlakuan kontrol sebesar 0%.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor perkebunan telah menjadi sumber devisa utama bagi Indonesia dengan kelapa sawit sebagai ujung tombaknya. Produksi Crude Palm Oil (CPO, minyak sawit mentah) Indonesia di tahun 2007 telah lebih unggul sekitar 1 juta ton dibanding Malaysia. Walaupun begitu, secara fundamental agroindustri sawit Indonesia tertinggal sangat jauh dari Malaysia akibat produktivitas yang relatif lebih rendah. Minat untuk terus membuka kebun sawit baru, pada tahun-tahun mendatang ini masih akan sangat besar. Hal ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Selain itu, minyak nabati terutama CPO akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel (Purwantoro, 2008).

Minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu komoditi ekspor andalan Indonesia saat ini. Permintaan minyak kelapa sawit setiap tahun terus meningkat sebagai akibat semakin meluasnya pemanfaatannya. Bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi, melainkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan dasar

obat-obatan dan kosmetik. Kondisi ini membuat negara-negara produsen

minyak kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia terus menambah

areal pengembangan perkebunan dan produksi minyak kelapa sawit (Effendi dan Sawitriyadi, 2009).

(15)

dapat menyerang kelapa sawit sejak tahap pra-pembibitan hingga tahap menghasilkan (Klinik Sawit, 2012).

Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. Serangga ini menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman (Susanto, 2005).

Pada areal peremajaan kelapa sawit, serangan kumbang tanduk dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa sawit sampai satu tahun dan tanaman mati dapat mencapai 25% (Winarto, 2005).

Pengurangan penggunaan pestisida di areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan ramah lingkungan, diantaranya dengan memanfaatkan musuh alami, seperti cendawan entomopatogen, serangga predator, dan parasitoid (Trizelia dkk, 2011).

Salah satu yang mendapat prioritas untuk dikembangkan saat ini adalah pengendalian hayati dengan menggunakan jamur entomopatogenik Metarhizium anisopliae. Dinyatakan bahwa jamur Metarhizium anisopliae memiliki aktifitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin A, B, C, D, E dan

desmethyldestruxin B.Destruxin telah dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Efek destruxin berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralisa sel dan

(16)

Herlinda dkk (2008) melaporkan bahwa media substrat perbanyakan mempengaruhi pembiakan jamur pada media buatan. Protein dan karbohidrat sangat dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan spora. Spora yang terbentuk berkecambah lebih cepat dan memiliki virulensi tinggi. Heriyanto dan Suharno (2008) juga melaporkan bahwa cendawan entomopatogen memerlukan media dengan kandungan gula dan protein yang tinggi. Sporulasi

Metarhizium anisopliae dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan.

Dewasa ini telah terjadi peningkatan preferensi penggunaan agen hayati dalam pengelolaan hama tanaman. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya produk pestisida mikroba yang ada di pasaran saat ini, diantaranya Metari™ yang dikeluarkan oleh PPKS dengan formulasi granul. Namun, ditengah banyaknya produk serupa di pasaran, sangat penting untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas formulasi yang saat ini digunakan. Oleh karena itu, penelitian untuk membandingkan dan memperbaiki formulasi yang digunakan perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas produk M. anisopliae.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui formulasi M. anisopliae yang tepat dalam pengendalian larva O. rhinoceros.

Hipotesis Penelitian

(17)

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agrekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Di lapangan siklus hidup kumbang tanduk, terutama masa larva di dalam batang yang membusuk sangat bervariasi mengikuti keadaan iklim. Akan tetapi, pada umumnya terdapat dua generasi tiap tahun. Masa telur 10-18 hari, masa larva (tiga instar) 63-180 hari, prapupa 6-12 hari, pupa 16-27 hari, masa istirahat imago 11-29 hari (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1996).

Gambar 1. Telur O. rhinoceros

Sumber:

Telur berwarna putih, lonjong 3 mm, dengan bagian terlebar 2 mm. Semakin lama telur semakin membulat, besarnya bertambah dan warnanya

menjadi lebih kelam (Gambar 1). Telur akan menetas setelah 12 hari (BPTP Yogyakarta, 2005).

Stadia larva O. rhinoceros terdiri atas 3 instar. Masa larva instar satu 14-19 hari, larva instar dua 15-22 hari, dan larva instar tiga 51-73 hari. Sebelum menjadi pupa, larva mengalami masa prapupa selama 10-15 hari (Bedford, 1976).

(19)

toraks, kepala berwarna cokelat tua (Gambar 2). Ujung abdomen membesar dan

terdapat susunan bulu yang khas. Umur larva berkisar 99 hingga 121 hari (BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 2. Larva O. rhinoceros

Sumber: http:// maria.fremlin.de

Pupa berada dalam kokon yang dibuatnya dari sisa-sisa media hidupnya. Pupa berwarna coklat, panjang 45-50 mm, masa pupa 19-27 hari, dan kumbang yang baru jadi berlindung dalam kokon 14-28 hari (Gambar 3) (Lubis dkk, 1992).

Gambar 3. Pupa O. rhinoceros

Sumber: http:// insectforums.asiat-world.com

(20)

Gambar 4. a. Imago jantan O. rhinoceros, b. imago betina O. rhinoceros

Sumber:

Imago aktif pada malam hari dan terbang ke tanaman dari tempat pembiakannya atau pindah dari satu tanaman ke tanaman lain kebanyakan antara pukul 7-8 malam. Mereka menggerek lobang setinggi pangkal pelepah dan terus ke titik tumbuh dan tinggal dalam lubang makanan untuk beberapa hari sambil

melakukan penetrasi ke dalam batang sejauh 2-5 cm/hari. Jika makanan

tersedia, imago pindah hanya ke pohon yang di dekatnya (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1996).

Gejala serangan O. rhinoceros

Kumbang tanduk atau kumbang badak O. rhinoceros adalah salah satu jenis hama yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit, yang juga merupakan hama utama kelapa nyiur. Kumbang ini meletakkan telurnya pada tunggul-tunggul karet, kelapa, dan kelapa sawit yang telah dipotong, dan bahan-bahan organik lain. Oryctes dewasa memakan pangkal daun muda. Daun sangat muda yang masih berbentuk tombak dimakan dari bagian atas ke bawah membentuk terowongan dan setelah daun berkembang, terlihat bentuk daun yang tidak beraturan dengan ciri-ciri khas dan mudah dikenali. Pada kelapa sawit muda, tunas ujung dapat diserang dan dapat mengakibatkan matinya tanaman (Mangunsoekarjo dan Semangun, 2003).

(21)

Kumbang ini menggerek jaringan pucuk melalui salah satu ketiak pelepah. Setelah masuk merusak pelepah daun yang belum terbuka (bila daunnya muncul, bentuknya seperti digunting menyerupai kipas) (Gambar 5). Seekor kumbang

mampu tinggal 1 minggu dan merusak 4 pelepah. Pada

tanaman <2 tahun sangat berbahaya karena dapat merusak titik tumbuh (Tim Pengembangan Materi LPP, 2007).

Gambar 5. Gejala serangan O. rinocheros

Sumber: Foto sendiri

Karakteristik M. anisopliae

M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut

dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Prayogo dkk, 2005).

(22)

longgar. Jamur ini dapat membunuh serangga, tungau dan caplak (Barnet, 1969 dalam Ahmad, 2008).

Larva yang diinfeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa (Moslim dkk, 2007).

Faktor yang mempengaruhi M. anisopliae

Pada umumnya suhu optimum cendawan entomopatogen untuk perkembangan dan pertumbuhannya, daya menyebabkan penyakit dan bertahan hidup di alam adalah 0-30o C. Umumnya temperatur di atas 35oC menghambat

pertumbuhan dan perkembangan dari jamur entomopatogen. Konidia

M. anisopliae mempunyai titik kematian pada suhu 40oC selama 15 menit. Di bawah 4oC, sel-sel cendawan biasanya bertahan hidup, namun jarang berkembang. Jamur entomopatogen pada umumnya dapat menoleransi kisaran yang luas dari

konsentrasi ion hidrogen antara pH 5-10, dengan pH optimum sekitar 7 (McCoy dkk, 1992).

Keberhasilan perbanyakan massal jamur M. anisopliae pengembangan metode-metode produksi massal spora-spora infektif telah membuat perkembangan penggunaan jamur M. anisopliae sebagai bioinsektisida yang komersial. Jamur M. anisopliae dapat berkembang pada skala besar pada

semi-solid fermentasi, sama dengan yang digunakan pada produksi

(23)

skala kecil. M. anisopliae sangat peka pada suhu yang ekstrim. Viabilitas spora akan menurun jika terjadi peningkatan suhu dan virulensi akan menurun pada suhu yang rendah (Cloyd, 2012).

Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22-27oC. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%. Konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenitas M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86% (Prayogo dkk, 2005).

Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasi, cendawan entomopatogen membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Kelembaban udara yang tinggi dibutuhkan pada saat pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi di dalam tubuh serangga. Cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet. Oleh karena itu, aplikasi cendawan pada musim kemarau perlu dihindari dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembaban tinggi (Prayogo dkk, 2005).

Mekanisme infeksi M. anisopliae

(24)

Desikasi cadaver digunakan sebagai nutrisi dan air oleh hifa. Hifa memecah kutikula setelah serangga mati. Konidia bebas berkembang secara pasif atau aktif untuk meneruskan siklus infeksi (Wikardi, 2000 dalam Ahmad, 2008).

Mekanisme infeksi M. anisopliae dikelompokkan dalam 4 tahap, yaitu: 1. Inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga.

Propagul M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembangbiak secara tidak sempurna.

2. Proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga.

3. Penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.

4. Dekstruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke haemolimf dan membentuk hifa sekunder untuk

menyerang jaringan lainnya. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh

M. anisopliae yaitu lipase, kitinase, amylase, proteinase, pospatase, dan esterase. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umunya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.

(25)

Bahan tambahan formulasi M. anisopliae Jagung

Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Suarni dan Widowati, 2012).

Tepung jagung memiliki fungsi yang sangat beragam, dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan relatif mudah diterima masyarakat, karena telah terbiasa menggunakan bahan tepung, seperti halnya tepung beras dan terigu. Kandungan nutrisi biji jagung mengalami penurunan setelah diolah menjadi bahan setengah jadi (Richana dan Suarni, 2012).

Komposisi kimia tepung jagung adalah 11,57% air, 0,41% abu, 1,42% lemak, 5,07% protein, 73,38% pati, 0,37% gula reduksi (Richana dkk, 2010)

Beras

(26)

Minyak jagung

Minyak jagung relatif stabil karena kandungan asam linolenatnya sangat kecil (0,4%) dan mengandung antioksidan alami yang tinggi. Mutu minyak jagung cukup tinggi karena distribusi asam lemaknya yang berimbang, terutama oleat dan linoleat (Suarni dan Widowati, 2012).

Minyak jagung mengandung total lemak 22%, vitamin E 15%, kolesterol 0%, sodium 0%, lemak saturated 9%. Minyak jagung tidak banyak mengandung vitamin A, vitamin C dan kalsium (Corn Refiners Association, 2006).

Minyak kelapa

Minyak kelapa dapat berupa minyak tanpa warna sampai berwarna kuning kecoklatan, dengan titik larut 23-26oC. Gliserida pada minyak kelapa merupakan campuran satu, dua, atau tuga jenis asam lemak. Meskipun minyak kelapa diketahui sebagai triglyceride atau lemak, tetapi minyak kelapa juga mengandung sedikit mono dan diglycerida, dan glyserol yang tinggi (13,5%-15%. Glyserol merupakan karbohidrat dengan komposisi kimia yang sama dengan gula sederhana. Ini menunjukkan bahwa minyak kelapa mengandung sedikit lemak, yang nyatanya menghasilkan lemak lebih sedikit dari jumlah lemak yang dihasilkan oleh minyak lain (Rethinam, 2002).

Minyak bunga matahari

Ada dua tipe minyak bunga matahari, yaitu polyunsaturated dan

monounsaturated. Polyunsaturated merupakan minyak bunga matahari tradisional yang dibuat dari biji bunga matahari. Jenis ini kaya akan lemak polyunsaturated

dan miskin akan kolesterol darah. Sedangkan minyak bunga matahari

(27)

sehingga kandungan lemak monounsaturatednya lebih tinggi dari tanaman bunga matahari tradisional. Minyak ini mengandung lemak jenuh lebih rendah dari minyak bunga matahari tradisional (Australian Oilseed Federation, 2005).

Kandungan pada minyak bunga matahari dalam setiap 100 gram antara

(28)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar (± 369 m di atas permukaan laut), bulan Mei - Juli 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah larva O. rhinoceros dengan instar yang sama, jamur M. anisopliae, tepung jagung, tepung beras, jagung cacah, tanah, minyak jagung, minyak kelapa, minyak bunga matahari, dan aquades, PDA, alkohol 70%

Alat yang digunakan adalah hemositometer, cawan petri, jarum ent, saringan 800 mesh.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial dengan 33 perlakuan yaitu:

F0 = Kontrol Formulasi padat:

F1 = 20 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros

F2 = 30 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros

F3 = 40 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros

F4 = 50 gr formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros

F5 = 20 gr formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros

(29)

F7 = 40 gr formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros

F8 = 50 gr formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros

F9 = 20 gr formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros

F10 = 30 gr formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros

F11 = 40 gr formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros

F12 = 50 gr formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros

F13 = 20 gr formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros

F14 = 30 gr formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros

F15 = 40 gr formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros

F16 = 50 gr formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros

Formulasi cair:

F17 = 25 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros

F18 = 50 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros

F19 = 75 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros

F20 = 100 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros

F21 = 25 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros

F22 = 50 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros

F23 = 75 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros

F24 = 100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros

F25 = 25 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros

F26 = 50 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros

F27 = 75 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros

F28 = 100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros

(30)

F30 = 50 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros

F31 = 75 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros

F32 = 100 ml formulasi aqades/ kg media O. rhinoceros

Jumlah ulangan : 3 ulangan Jumlah larva/ polybag : 8 larva/ polybag Keterangan :

Media O. rhinoceros = media hidup larva O.rhinoceros yaitu serasah kelapa sawit

Model linear yang digunakan adalah:

Y

ij

= µ + τ

i

+ e

ij

Dimana:

Y

ij

=

hasil pengamatan dari perlakuan ke-idan ulangan ke j

µ

= rata-rata

τ

i

= efek perlakuan ke-

i

e

ij

= efek error (galat) di perlakuan ke-

idan ulangan ke-j

Pelaksanaan penelitian

Penyediaan larva O. rhinoceros

(31)

Gambar 6. Larva O. rhinoceros

Sumber: foto langsung

Eksplorasi dan isolasi M. anisopliae

Isolasi M. anisopliae dilakukan pada PDA secara aseptik. Laminar air flow disterilisasi dengan menyemprotkan alkohol 96% dan penyinaran lampu ultraviolet pada bagian dalam laminar selama 30 menit. Tuang aquades steril ke

dalam 3 cawan petri dan alkohol 70% ke dalam 1 cawan petri. Larva

O. rhinoceros yang telah disiapkan dipotong pada bagian kepala sampai tungkai depan, kemudian daging larva diambil dengan jarum ent, kemudian dicelupkan ke dalam alkohol 70% selama 30 detik lalu dibilas ke dalam aquades steril sebanyak 3 kali secara bertingkat, lalu diletakkan pada kerta tissue steril hingga kering. Setelah mengering, daging diinokulasi ke media PDA dan diinkubasi selama 2-5 hari. Jika jamur telah berkecambah dan membentuk koloni, pemurnian siap dilakukan.

Pemurnian isolat M. anisopliae

(32)

Apabila masih terdapat kontaminasi, dilakukan reisolasi dengan cara yang sama hingga diperoleh biakan murni M. anisopliae.

Gambar 7. Isolat murni M. anisopliae

Sumber: Foto langsung

Perbanyakan spora M. anisopliae

Media yang digunakan pada perbanyakan spora yaitu jagung cacah. Media dimasukkan pada plastik tahan panas dan disterilisasi pada suhu 1210 C (1 atm) selama 1 jam. Setelah dingin, 25 ml suspensi spora yang diperoleh dengan cara memasukkan sebanyak 25 ml aquades steril ke dalam biakan murni M. anisopliae

yang telah bersporulasi, dimasukkan ke dalam media dan diinkubasikan hingga seluruh media terkoloni oleh jamur dan sporulasi terjadi.

(33)

Pembuatan formulasi M. anisopliae a. Formulasi padat

Formulasi padat dibuat dengan mencampurkan spora hasil perbanyakan dengan perbandingan biakan yang telah bersporulasi pada media perbanyakan dan bahan tambahan yaitu 1:3.

b. Formulasi cair

Sebanyak 100 ml bahan pembawa yang telah disterilkan dimasukkan ke dalam biakan pada media perbanyakan spora yang telah bersporulasi. Kemudian dilakukan penyaringan dengan saringan 800 mesh untuk memisahkan spora dengan bahan lainnya. Kerapatan spora kemudian dihitung dengan hemositometer. Pengenceran bertingkat dilakukan untuk mendapatkan kerapatan spora sekitar 108 spora/ml.

Gambar 9. Formulasi M. anisopliae

Sumber: foto langsung

Penyediaan media hidup larva O. rhinoceros

(34)

Gambar 10. Pengisian media hidup O. rhinoceros ke dalam wadah Sumber: foto langsung

Aplikasi formulasi M. anisopliae

Media hidup larva O. rhinoceros yang telah disterilisasi dicampurkan dengan formulasi uji sesuai konsentrasi pada tiap-tiap perlakuan. Kemudian dimasukkan larva O. rhinoceros sebanyak 8 ekor/polibag.

Gambar 11. Aplikasi M. anisopliae

(35)

Peubah Amatan

Waktu kematian larva O. rhinoceros

Dihitung waktu yang dibutuhkan oleh M. anisopliae untuk mematikan larva O. rhinoceros sejak terjadinya infeksi awal pada larva O. rhinoceros. Pengamatan terhadap waktu infeksi awal dilakukan setiap hari setelah aplikasi, sedangkan waktu kematian diamati setiap hari setelah terjadinya infeksi awal.

Persentase mortalitas larva O. rhinoceros

Dihitung persentase larva O. rhinoceros yang mati dengan menggunakan rumus:

x 100%

Keterangan:

M : Persentase mortalitas larva O. rhinoceros

a : jumlah larva O. rhinoceros yang mati b : jumlah larva yang diamati

Gejala visual pada larva O. rhinoceros

Diamati gejala yang timbul pada larva yang telah terinfeksi oleh

M. anisopliae. Pengamatan dilakukan setiap hari sejak terjadinya infeksi awal.

Populasi M. anisopliae di akhir penelitian

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu infeksi awal

Waktu terjadinya infeksi awal oleh jamur M. anisopliae terhadap larva

O. rhinoceros disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Waktu terjadinya infeksi awal oleh jamur M. anisopliae terhadap larva

O. rhinoceros

F1 (20 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,08A F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 6,42A F3 (40 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 6,63A F4 (50 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 7,08A F5 (20 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 6,46A F6 (30 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 7,04A F7 (40 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 6,88A F8 (50 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 7,21A F9 (20 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 6,96A F10 (30 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 7,08A F11 (40 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 7,08A F12 (50 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 7,58A F13 (20 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 7,13A F14 (30 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 6,92A F15 (40 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 7,46A F16 (50 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 7,17A F17 (25 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 7,13A F18 (50 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,17A F19 (75 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 6,75A F20 (100 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,00A F21 (25 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 9,54A F22 (50 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 7,58A F23 (75 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 7,79A F24 (100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 7,04A F25 (25 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 9,08A F26 (50 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 7,67A F27 (75 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 8,00A F28 (100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 7,54A F29 (25 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 7,79A F30 (50 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 8,00A F31 (75 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 7,75A F32 (100 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 7,38A

(37)

Hasil analisis statistika, menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya terdapat antara semua perlakuan dengan kontrol, sementara antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Hal ini disebabkan isolat awal jamur M. anisopliae yang digunakan sama, sehingga hanya terdapat perbedaan kecil dalam proses infeksi jamur tersebut. Sebelum diaplikasikan, formulasi hanya

diinkubasikan selama 3 hari, sehingga nutrisi dari bahan tambahan formulasi belum dimanfaatkan secara maksimal oleh jamur M. anisoplae. Heriyanto dan Suharno (2008) menyatakan bahwa sporulasi M. anisopliae

dipengaruhi kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan.

Waktu infeksi awal tercepat terdapat pada perlakuan F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) yaitu 6,4 hari setelah aplikasi dan terendah pada F0 (kontrol). Pada waktu semua perlakuan telah menyebabkan kematian larva 100% (16 hari setelah aplikasi) belum ada larva pada kontrol yang terinfeksi oleh jamur M. anisopliae. Hal ini karena tepung jagung mengandung protein yang tinggi sesuai laporan Richana dkk (2010) bahwa komposisi kimia tepung jagung adalah 11,57% air, 0,41% abu, 1,42% lemak, 5,07% protein, 73,38% pati, 0,37% gula reduksi. Kandungan protein yang tinggi ini sangat dibutuhkan oleh jamur entomopatogen dalam perkembangannya.

Wikardi (2000 dalam Ahmad, 2008) menyatakan bahwa konidia

M. anisopliae akan berkecambah pada kutikula inang ketika menginfeksi serangga, dan melakukan penetrasi dengan menggunakan enzim peptidase dan kitinase, lalu dengan bantuan tekanan mekanis, enzim tersebut menghancurkan kutikula dengan cara lisis. Wahab (2004) menyatakan bahwa enzim ialah protein

(38)

Supriyanti (2009) juga menyatakan bahwa proses kimia dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik karena adanya enzim, suatu protein yang berfungsi sebagai biokatalisis. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan tercukupinya kebutuhan M. anisopliae akan protein dari tepung jagung, menyebabkan proses sintesis enzim yang dibutuhkan oleh M. anisopliae berjalan dengan baik, sehingga kinerja enzim dalam penetrasi kutikula larva juga baik dan pada akhirnya waktu terjadinya infeksi awal lebih cepat.

Pada perlakuan F0 (kontrol), sebagian larva pada akhirnya mati, meskipun bukan karena infeksi jamur M. anisopliae. Kemungkinan kematian larva ini karena larva mengalami stress, karena ketika pengamatan yang dilakukan setiap hari, media hidup larva selalu dikorek dan larva diangkat dari media hidup tersebut.

Waktu kematian Larva O. rhinoceros L.

Hasil analisa dengan statistika menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya terdapat antara perlakuan dengan kontrol, sedangkan antar perlakuan tidak ditemukan perbedaan yang nyata (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh ketahanan

larva O. rhinoceros terhadap M. anisopliae yang tidak sama. Meskipun virulensi

M. anisopliae meningkat namun ketahanan larva O. rhinoceros juga meningkat,

maka tidak akan diperoleh perbedaan waktu kematian yang besar. Purnomo (2005 dalam Herlinda dkk, 2008) menyatakan bahwa waktu yang

(39)

Waktu kematian larva setelah terjadinya infeksi oleh jamur M. anisopliae

disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Waktu Kematian Larva O. rhinoceros

Perlakuan

Waktu kematian

(HSI)

F0 (Kontrol) 0,00B

F1 (20 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F3 (40 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F4 (50 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F5 (20 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 1,83A F6 (30 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 2,08A F7 (40 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F8 (50 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F9 (20 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F10 (30 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 1,96A F11 (40 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 1,96A F12 (50 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 2,04A F13 (20 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F14 (30 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F15 (40 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 2,08A F16 (50 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F17 (25 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F18 (50 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,08A F19 (75 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F20 (100 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F21 (25 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F22 (50 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 2,04A F23 (75 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 2,04A F24 (100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 1,92A F25 (25 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F26 (50 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F27 (75 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F28 (100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F29 (25 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 2,08A F30 (50 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 2,00A F31 (75 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 2,08A F32 (100 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 1,88A

Waktu kematian tercepat terdapat pada perlakuan F5 (20 g formulasi tepung beras/kg media O. rhinoceros) yaitu 1,83 hari setelah infeksi awal dan

yang paling lambat adalah F6 (30 g formulasi tepung beras/ kg media

(40)

O. rhinoceros), F15 (40 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros), F29 (25 ml formulasi akuades/ kg media O. rhinoceros) dan F31 (75 ml formulasi akuades/ kg media O. rhinoceros) yaitu 2,08 hari setelah infeksi awal. Selain mengandung protein, tepung beras juga mengandung karbohidrat yang tinggi. Karbohidrat sangat dibutuhkan oleh jamur M. anisopliae untuk pertumbuhan dan pembentukan spora, sesuai dengan laporan Herlinda dkk (2008) bahwa protein dan karbohidrat sangat dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan spora. Spora yang terbentuk berkecambah lebih cepat dan memiliki virulensi tinggi. Hal ini menyebabkan daya bunuh jamur semakin tinggi, karena tersedianya nutrisi

yang cukup sebelum jamur berhasil menginfeksi larva O. rhinoceros.

Rice Association (2012) melaporkan bahwa setiap 100 gram beras, mengandung 383 kkal, lemak 3,6 gram, protein 7,3 gram, karbohidrat 78 gram, serat 0,4 gram, tiamin 0,41 mg, riboflavin 0,02 mg.

Mortalitas larva O. rhinoceros

(41)

Data pengamatan mortalitas larva O. rhinoceros dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Mortalitas Larva O. rhinoceros

Perlakuan Mortalitas Larva O. rhinoceros

7 HSA 8 HSA 9 HSA* 10 HSA**

Pada beberapa formulasi, peningkatan dosis perlakuan tidak menunjukkan peningkatan mortalitas larva, hal ini kemungkinan disebabkan karena umur larva yang tidak dapat dipastikan sama, karena larva yang digunakan tidak berasal dari

(42)

perbanyakan di laboratorium, melainkan hanya melalui pemilihan larva dengan ukuran tubuh yang hampir sama dari lapangan. Meskipun dosis perlakuan ditingkatkan, namun ternyata umur larva pada perlakuan tersebut semakin tua, sehingga kepekaan larva terhadap jamur M. anisopliae juga semakin rendah, akibatnya mortalitas larva juga tidak meningkat. Prayogo (2005) melaporkan bahwa keefektifan cendawan M. anisopliae, disamping dipengaruhi oleh media tumbuh, tingkat virulensi, dan frekuensi aplikasi, juga sangat ditentukan oleh umur instar serangga tersebut.

Persentase mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) yaitu 100%, dan terendah pada perlakuan F1 (kontrol) yaitu 0%. Hal ini sebanding dengan data waktu infeksi awal (Tabel 1), dimana waktu infeksi tercepat juga terdapat pada perlakuan F2. Hal ini karena tepung jagung mengandung protein yang tinggi sesuai laporan Richana dkk (2010) bahwa komposisi kimia tepung jagung adalah 11,57% air, 0,41% abu, 1,42% lemak, 5,07% protein, 73,38% pati, 0,37% gula reduksi. Tercukupinya kebutuhan M. anisopliae akan protein, maka keefektifannya juga semakin meningkat.

Batta (2002) melaporkan bahwa berdasarkan beberapa penemuan, hampir keseluruhan formulasi M. anisopliae yang dipasarkan adalah berbentuk Wetable Powder (WP), sehingga perlu dikaji potensi pembuatan formulasi M. anisopliae

(43)

Formulasi minyak dapat mempercepat proses masuknya jamur ke jaringan tubuh larva. Inyang dkk (2000) melaporkan bahwa bahan pembawa berupa minyak, dapat mempercepat proses masuknya konidia jamur ke jaringan inang. Ini menunjukkan bahwa pembuatan formulasi cair dengan bahan tambahan minyak memiliki potensi yang besar untuk dikomersialkan.

Populasi jamur M. anisopliae diakhir penelitian

Hasil pengamatan terhadap populasi jamur M. anisopliae diakhir penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa populasi jamur berbanding lurus dengan hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas larva O. rhinoceros (Tabel 3).

Pada perlakuan F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) dengan persentase mortalitas larva O. rhinoceros yang tertinggi yaitu 100% juga diperoleh kerapatan spora jamur yang tertinggi yaitu 19,45 x 106 /ml. Kerapatan spora yang tinggi ini menyebabkan semakin sering terjadi kontak antara jamur dengan larva, maka akan meningkatkan tingkat infeksi. Prayogo dkk (2005) menyatakan bahwa infeksi M. anisopliae dapat terjadi jika ada kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga.

Pada kontrol juga ditemukan adanya spora M. anisopliae. Kemungkinan ini terjadi karena saat pengamatan media dikorek. Saat pengorekan, kemungkinan spora berterbangan kemudian jatuh di perlakuan kontrol. Pada pengamatan, ditemukan juga bahwa jamur M. anisopliae dapat berkembang pada serasah kelapa sawit (Gambar 12). Ditemukannya spora jamur M. anisopliae ini pada perlakuan kontrol tidak menyebabkan adanya larva O. rhinoceros yang terinfeksi. Ini terjadi karena sedikitnya sentuhan yang terjadi antar larva O. rhinoceros

(44)

Data pengamatan populasi jamur M. anisopliae di akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Populasi Jamur M. anisopliae diakhir penelitian (x 106/ ml)

Perlakuan Rataan

F0 (Kontrol) 1,94J

F1 (20 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 6,19G F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 19,45A F3 (40 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,05E F4 (50 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) 7,76E F5 (20 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 11,75C F6 (30 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 6,51F F7 (40 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 6,43G F8 (50 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros) 7,49E F9 (20 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 7,64E F10 (30 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 7,71E F11 (40 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 6,62F F12 (50 g formulasi jagung cacah/ kg media O. rhinoceros) 6,69F F13 (20 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 12,87B F14 (30 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 9,68D F15 (40 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 6,63F F16 (50 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) 7,77E F17 (25 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,06E F18 (50 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 3,78I F19 (75 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 8,43E F20 (100 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) 5,07H F21 (25 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 3,58I F22 (50 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 7,35F F23 (75 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 6,60F F24 (100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media O. rhinoceros) 8,28E F25 (25 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 3,14I F26 (50 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 6,25G F27 (75 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 5,88G F28 (100 ml formulasi minyak bunga matahari/ kg media O. rhinoceros) 7,15F F29 (25 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 5,47H F30 (50 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 5,56H F31 (75 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 5,92G F32 (100 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) 8,49E

(45)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa populasi spora M. anisopliae di akhir peneitian berbeda sangat nyata pada perlakuan F2 (30 g formulasi tepung jagung/

kg media O. rhinoceros). Populasi spora tertinggi terdapat pada perlakuan F2 (30 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros) yaitu sebesar 19,45 x 106 /ml, dan terendah pada perlakuan F0 (kontrol), sebesar 1,94 x 106/ml.

Ini disebabkan karena tepung jagung dapat menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh M. anisopliae untuk pembentukan konidia, sehingga mempercepat pembentukan koloni, seperti disampaikan oleh Prayogo (2005) bahwa media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan.

Perlakuan F13 (20 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) dan F14 (30 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros) ternyata memiliki populasi spora

M. anisopliae di akhir penelitian yang tinggi, yaitu 12, 87 x 106/ ml dan 9,68 x 106/ ml. Hal ini menunjukkan bahwa M. anisopliae juga dapat tumbuh di media tanah seperti disampaikan oleh Prayogo (2005) bahwa M. anisopliae bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman.

(46)

karbohhidrat, maka spora yang terbentuk semakin banyak. Hal ini menyebabkan kerapatan spora M. anisopliae semakin tinggi.

Pada beberapa formulasi cair seperti F32 (100 ml formulasi aquades/ kg

media O. rhinoceros), F19 (75 ml formulasi minyak jagung/ kg media

O. rhinoceros) dan F24 (100 ml formulasi minyak kelapa/ kg media

O. rhinoceros) ditemukan kerapatan spora M. anisopliae yang lebih tinggi daripada beberapa formulasi padat, seperti F3 (40 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros), F16 (50 g formulasi tanah/ kg media O. rhinoceros), F4 (50 g formulasi tepung jagung/ kg media O. rhinoceros), F10 (30 g formulasi jagung

cacah/ kg media O. rhinoceros), F9 (20 g formulasi jagung cacah/ kg media

O. rhinoceros) dan F8 (50 g formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros). Ini disebabkan karena penambahan bahan cair seperti air dan minyak ke media

pertumbuhan M. anisopliae dapat menjaga kelembaban media pertumbuhan

M. anisopliae. Kelembaban media ini kemudian mendukung perkecambahan spora M. anisopliae sehingga diperoleh jumlah spora M. anisopliae yang lebih padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo (2009) bahwa kelembaban konidia dapat dipertahankan akibat penambahan minyak yang banyak mengandung gliserol sehingga konidia menjadi lebih cepat berkecambah dalam jumlah yang lebih banyak.

(47)

tersebut mampu melindungi cendawan dari pengaruh sinar matahari yang akan merusak konidia. Hal ini sesuai dengan laporan Prayogo (2009) bahwa minyak yang ditambahkan pada suspensi cendawan akan membentuk biofilm yang melapisi konidia cendawan. Biofilm akan berfungsi melindungi konidia dari pengaruh negatif sinar matahari.

Populasi spora M. anisopliae pada perlakuan F31 (75 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) lebih tinggi dari pada F29 (25 ml formulasi aquades/ kg media O. rhinoceros) dan F30 (50 ml formulasi aquades/ kg media

O. rhinoceros). Hal ini terjadi karena aquades tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh M. anisopliae untuk pertumbuhannya, sehingga kerapatan spora di akhir pengamatan tergantung pada spora pada awal aplikasi. Semakin banyak spora yang diaplikasikan pada awal aplikasi, maka kerapatan spora pada akhir pengamatan semakin tinggi.

Populasi M. anisopliae pada perlakuan F20 (100 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros) lebih tinggi daripada F18 (50 ml formulasi minyak jagung/ kg media O. rhinoceros). Hal ini karena minyak jagung mengandung protein yang tinggi. Protein sangat dibutuhkan oleh jamur untuk pembentukan spora. Semakin tinggi dosis perlakuan formulasi minyak jagung, maka kandungan protein juga semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kemampuan jamur untuk membentuk spora juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herlinda dkk (2008) bahwa protein dan karbohidrat sangat dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan spora.

(48)

Kemungkinan hal ini berkaitan dengan daya tampung media terhadap kerapatan spora jamur M. anisopliae. Pada perlakuan dengan dosis yang tinggi, terdapat populasi awal dari jamur M. anisopliae yang padat. Akibatnya jamur tidak mendapatkan media tumbuh (serasah kelapa sawit) yang cukup sebelum berhasil menginfeksi larva. Hal ini mengakibatkan banyak jamur yang kemudian mati. Pada dosis yang rendah, jamur masih memiliki media tumbuh yang cukup sebelum berhasil menginfeksi larva, sehingga jamur dapat bertahan hidup.

Gambar 12. Spora M. anisopliae pada serasah kelapa sawit. Sumber: foto langsung

Gejala Visual pada Larva O. rhinoceros

(49)

Pada awal infeksi, terdapat noda-noda hitam pada kutikula serangga (Gambar 13a), hari kedua, tubuh larva mulai kaku (Gambar 13b), hari ketiga larva mati yang disertai dengan mulai mengerasnya tubuh larva (Gambar 13c), hari keempat miselium M. anisopliae berwarna putih mulai muncul dari pinggiran tubuh larva (Gambar 13d), hari kelima miselium M. anisopliae berwarna putih mulai menyelimuti keseluruhan tubuh larva (Gambar 13e), hari keenam miselium mulai berubah warna menjadi hijau kebiru-biruan dimulai dari tepi tubuh larva

(Gambar 13f), hari ketujuh seluruh miselium sudah hijau kebiru-biruan (Gambar 13g).

Gambar 13. Gejala visual pada larva O. rhinoceros

Sumber: foto langsung

a b c

d e

f

(50)

Moslim dkk (2007) melaporkan bahwa larva yang terinfeksi M. anisopliae

dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa. Terjadinya pengerasan pada tubuh larva O. rhinoceros disebabkan karena seluruh jaringan dan cairan tubuh larva telah habis dimanfaatkan oleh jamur M . anisopliae. Hal ini sesuai dengan laporan Prayogo dkk (2005) bahwa pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umunya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.

(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tidak terdapat perbedaan waktu infeksi awal yang nyata antar perlakuan. Waktu infeksi awal cenderung tercepat pada perlakuan 30 gram formulasi tepung jagung/kg media O. rhinoceros, yaitu 6,4 hari setelah aplikasi sedangkan yang paling lama adalah pada perlakuan kontrol, dimana tidak ada larva yang terinfeksi.

2. Tidak terdapat perbedaan waktu kematian yang nyata antar perlakuan. Waktu kematian cenderung tercepat pada perlakuan 20 gram formulasi tepung beras/ kg media O. rhinoceros, yaitu 1,83 hari setelah infeksi dan yang paling lama adalah pada perlakuan kontrol.

3. Tidak ada perbedaan mortalitas yang nyata antar perlakuan. Persentase mortalitas larva O. rhinoceros cenderung tertinggi pada perlakuan 30 gram formulasi tepung jagung pada 10 hari setelah aplikasi yaitu mencapai 100%, dan yang terendah adalah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 0%. 4. Populasi spora M. anisopliae tertinggi terdapat pada perlakuan 30 gram

formulasi tepung jagung/kg media O. rhinoceros yaitu 19,5 x 106/ml dan yang terendah adalah pada kontrol yaitu sebesar 1,94 x 106/ml.

5. Formulasi padat lebih efektif daripada formulasi cair.

Saran

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. J., 2008. Pemanfaatan Cendawan Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kesehatan Ternak. J. Litbang Pertanian 27: 84-92.

Australian Oilseed Federation. 2005. Nutritional Benefits of Sunflower Products. Catherine Saxelby Foodwatch: 1-2.

Barnet, H. L. 1969. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Second Edition. Burgess Publishing Company. Minneapolis.

Batta, Y. A. 2002. Production and Testing of Novel Formulation of The Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae (Metschinkoff) Sorokin (Deutromycotina: Hyphomycetes). Crop Protection 22 (2003): 415-422.

Bedford, G. O. 1976. Observations of The Biology and Ecology of Oryctes rhinoceros and Scapanes australis (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastinae) Pest of Coconut Palms In Malanesia. J. Aust. Ent. Soc. 15: 241-251.

BPTP Yogyakarta. 2005. Uret dan Upaya Pengendaliannya. Lembar Informasi Pertanian. Yogyakarta.

Cloyd, R. A. 2012. The Entomopathogenic Fungus M. anisopliae. University of Illinois 4 Maret 2012.

Corn Refiners Association. 2006. Corn Oil. Pennsylvania Avennue. Washington D.C.

Effendi, R. dan Sawitriyadi. 2009. Faktor-faktor Penentu Ekspor Minyak Kelapa

Sawit (Crude Palm Oil) Indonesia. J. Ekonomi dan Bisnis 8 (3): 247-257.

Heriyanto dan Suharno. 2008. Studi Patogenitas Metarhizium anisopliae (Meth.)

Sor Hasil Perbanyakan Medium Cair Alami Terhadap Larva

Oryctes rhinoceros. J. Ilmu-ilmu Pertanian 4 (1): 47-54.

Herlinda, S., Hartono, dan C. Irsan. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan Aktif Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dan Metarhixium Sp.

Pada Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera Horv.). Seminar Nasional dan Kongres PATPI, Palembang, 14-16 Otober 2008.

(53)

Persistance of the Entomogenous Fungus Metarhizium anisopliae on Oilseed Rape. Mycol. Res. 104 (6): 653-661.

Kardin, M. K., dan T. P. Priyatno. 1996. Pemanfaatan Cendawan Hirsutella citriformis untuk Pengendalian Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan

Pengendalian Hama Terpadu, Lembang.

Klinik Sawit. 2012. Hama Kelapa Sawit 10 september 2012.

Lubis, A. U., W. Darmosarkoro, dan E. S. Sutarta. 1992. Kelapa (Cocos nucifera

L.). Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. Marihat.

Mangunsoekarjo, S. dan H. Semangun. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

McCoy, C. W., G. K. Storey, dan M. S. T. Milani. 1992. Environmental Factors Affecting Entomopathogenic Fungi in The Soil. Pesq Agropec Bras Brassilia 27: 107-111.

Moslim, R., N. Kamaruddin, Ang, B. Na, S. R. A. Ali dan M. B. Wahid. 2007.

Aplication of Powder Formulation of M. anisolpliae to Control

O. rhinoceros in Rotting Oil Palm Residues Under Leguminous Cover Crop. J. Oil Palm Res. 19 (1): 319-331.

Prayogo, Y. 2009. Penambahan Minyak Nabati untuk Meningkatkan Efikasi Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii dalam Mengendalikan Telur Kepik Coklat (Riptortus linearis) (Hemiptera: Alylididae) pada Kedelai. Suara Perlin. Tan. 1 (2): 28-40.

Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura Pada Kedelai. J. Litbang Pertanian 24 (1):19-26.

Purwantoro, R. H., 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 1996. Pengendalian Baru Kumbang Tanduk dengan Feromon. PPKS. Medan.

Rethinam, P., 2002. Health and Nutritional Aspectc of Coconut Oil. Asian and Pasific Coconut Community. Jakarta.

(54)

Richana N., A. Budianto, dan I. Mulyawati. 2010. Pembuatan Tepung Jagung Termodifikasi dan Pemanfaatannya untuk Roti. Balai Besar Litbang Pasca Panen. Dalam Prosiding Pekan Serealia Nasional, Makassar, 26-30 Maret 2010: 446-454.

Richana N., dan Suarni. 2012. Teknologi Pengolahan Jagung.

Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). Fakultas Pertanian Widyagama, Malang.

Suarni dan S. Widowati. 2012. Struktur, Komposisi dan Nutrisi Jagung.

Supriyanti, F. M. T. 2009. Dasar-dasar Biokimia. UI Press. Jakarta.

Susanto. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros pada Sistem Lubang Tanam Besar. J. Penelitian Kelapa Sawit 14 (1): 2-3.

Susilo. A., S. Santoso, dan H. A. Untung. 1993. Sporulasi, Viabilitas Cendawan

Metarhizium anisopliae Media Jagung dan Patogenitasnya Terhadap Larva

Oryctes rhinoceros. Simposium Patologi Serangga I, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993: 104-111.

Tim Pengembangan Materi LPP. 2007. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Lembaga Pendidikan Perkebunan Press. Yogyakarta.

Trizelia, M. Syahrawati, dan A. Mardiah. 2011. Patogenitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Metarhizium Spp. Terhadap Telur Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. Entomol. Indon. 8 (1): 45-54. Wahab, H. M. 2004. Pengantar Biokimia. Bayumedia, Malang.

Widiyanti, N. L. P. M., dan S. Muyadihardja. 2004. Uji Toksisitas Jamur

Metarhizium anisopliae terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan 14 (3): 25-30.

(55)
(56)

Lampiran 2.

JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

KEGIATAN

BULAN

Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Seminar Proposal

Penyediaan larva O. rhinoceros Eksplorasi dan

Isolasi M. anisopliae

Pemurnian isolat M. anisopliae Perbanyakan spora M. anisopliae

Pembuatan formulasi M. anisopliae

Penyediaan media hidup larva O. rhinoceros

Aplikasi formulasi M. anisopliae

(57)

Lampiran 3. Data Pengamatan Waktu Infeksi Awal

(58)

Transformasi Arc Sin

(59)

Lampiran 4. Data Waktu Kematian

(60)

Transformasi Arc Sin

(61)

Lampiran 5. Data Persentase Mortalitas Larva 7 HSA

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(62)

Transformasi Arc Sin

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(63)

Lampiran 6. Data Mortalitas 8 HSA

(64)

Transformasi Arc Sin

(65)

Lampiran 7. Data Mortalitas 9 HSA

(66)

Transformasi Arc Sin

(67)

Lampiran 8. Data Mortalitas 10 HSA

(68)

Transformasi Arc Sin

(69)

Lampiran 9. Data Kerapatan Spora M. anisopliae di Akhir Penelitian Perlakuan Ulangan Total Rataan

(70)

Transformasi Arc Sin

Gambar

Gambar Hal.
Gambar 1. Telur O. rhinoceros
Gambar 2. Larva O. rhinoceros
Gambar 4. a. Imago jantan O. rhinoceros, b. imago betina O. rhinoceros Sumber: http://itp.lucidcentral.org
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prayogo (2005) yang mengatakan bahwa semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga

Penelitian ini bertujuan menghitung tingkat kerapatan dan viabilitas konidia jamur M.anisopliae dalam media kaolin dan memperoleh dosis jamur M.anisopliae yang

Exclude matches Of f LARVAE MORTALITY OF ORYCTES RHINOCEROS (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) CAUSED BY. METARHIZIUM ANISOPLIAE ON THE RAINY SEASON

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

Jamur Metarhizium anisopliae merupakan agensia hayati yang bersifat parasit pada berbagai larva hama seperti hama Oryctes rhinoceros dan Lepidiota stigma.. Metarhizium

Skripsi yang berjudul: Pengaruh Keragaman Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Hama Oryctes rhinoceros dan Lepidiota stigma, dan penelitian

Dari hasil percobaan menunjukan bahwa kondisi larva Oryctes rhinoceros yang tidak diinfeksi jamur Metarhizium anisopliae akan berwarna kehitaman, membusuk dan

Dari hasil pengamatan yang diperoleh bahwa larva yang terinfeksi entomopatogen menunjukkan gejala infeksi dan warna yang berbeda dari awal aplikasi dilakukan