PENELITIAN MAGISTER
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pola Kuman Dan Sensitivitas Pada Penderita Benign Prostate
Hyperplasia Dengan Infeksi Saluran Kemih
Di RSUP H. Adam Malik Medan
OLEH: Suluh Darmadi
Judul : POLA KUMAN DAN SENSITIVITAS PADA PENDERITA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Nama PPDS : Suluh Darmadi Nomor CHS : 21027
Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah Kategori : Bedah Urologi
HASIL PENELITIAN INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH
Pembimbing I :
NIP: 19650505 199503 1 001 dr.Syah Mirsya Warli, Sp.U
Pembimbing II :
NIP: 19551008 198303 1 013 Dr. Bungaran Sihombing, SpU
Ketua Departemen Ilmu Bedah, Ketua Program Studi IlmuBedah,
dr. Emir T Pasaribu, SpB(K) Onk dr. Marshal, SpB. SpBTKV NIP: 195 203 041 980 021 00 NIP: 196 103 161 986 111 001
SURAT KETERANGAN
Sudah diperiksa Hasil Penelitian
JUDUL : POLA KUMAN DAN SENSITIVITAS PADA
PENDERITA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
PENELITI : SULUH DARMADI
DEPARTEMEN : ILMU BEDAH
INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN, Apri 2014
KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
HASIL PENELITIAN
JUDUL : POLA KUMAN DAN SENSITIVITAS PADA PENDERITA
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
PENELITI : SULUH DARMADI
NO. CHS : 21027
DEPARTEMEN : ILMU BEDAH
INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN, April 2014
KONSULTAN MIKROBIOLOGI
DEPARTEMEN ILMU BEDAH USU
PERNYATAAN
POLA KUMAN DAN SENSITIVITAS PADA PENDERITA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP
H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis Magister ini
yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister
Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan
salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan
rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr.
Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, dr. Erjan Fikri, SpB,SpBA.
Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal SpB,SpBTKV dan Sekretaris Program
Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah bersedia menerima, mendidik dan
membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.
dr. Syah Mirsya Warli, SpU; Ketua Subdevisi Bedah Urologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing penulisan tesis, dr. Bungaran Sihombing,
SpU; Wakil Ketua Subdevisi Bedah Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara dan Pembimbing penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah
membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan
dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang
Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, dr. Asmui Yosodihardjo,
SpB,SpBA, dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di
lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang
telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih
memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan ini.
Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan
waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.
dr. R. Lia Kusumawati, MS, Sp.MK (K), yang telah membimbing dan membantu
memberikan kelancaran di bagian mikrobiologi pada penuliasan tugas akhir ini.
Kedua orang tua, ayahanda H. Ahmad Subardi dan ibunda Munisah. Mertua, ayahanda
Alm. Ir. Abdullah dan ibunda Hj. Mirani Aswaty, terima kasih yang sedalam-dalamnya
dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan
penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang
tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam
menghargai dan menjalani kehidupan.
Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta dr.Renny Junitasari dan anakku
Naifa Aqilla Darmadi dan Rhadit Abiyaza Darmadi atas segala pengorbanan,
pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka
mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.
Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis menucapkan terima
kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani
pendidikan.
Para Senior, dan semua rekan seperjuangan peserta program studi Bedah Medan yang
bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.
Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga
Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama penulis
menimba ilmu.
Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Magister spesialisasi ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, Mei 2014
DAFTAR ISI
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat ... 3
2.3.3. Pengambilan, Penyimpanan Dan Pengiriman Spesimen 18 2.3.4. Hitung Kuman, Isolasi Dan Identifikasi ... 20
2.3.5. Urinalisa ... 25
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian ... 26
3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 26
3.3. Populasi dan Sampel penelitian ... 26
3.4. Besar Sampel ... 26
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 27
3.6. Kerangka Konsep ... 27
3.7. Alur Penelitian ... 28
3.8. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 28
3.9. Analisis Data ... 28
3.10. Definisi Operasional... 28
3.11. Etika Penelitian ... 29
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Subyek Penelitian ... 30
BAB 5 PEMBAHASAN 5. Pembahasan ... 33
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 36
6.2. Saran ... 36
DAFTAR ISTILAH
BPH Benign Prostate Hyperplasia
LUTS Lower Urinary Tract Symptoms
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusoma
DHT DiHydroTestoteron
DRE Digital Rectal Examination
TRUS TranRectal UltraSonography
TAUS TransAbdominal UltraSonography
IPSS International Prostate Symptoms Score
ISK Infeksi Saluran Kemih
WHO World Health Organization
QoL Quality of Life
NANC Non Adrenergic Non Colinergic
PDE-5 PhosphoDiEsterase-5
LH Luteinizing Hormon
LHRH Luteinizing Hormon Releasing Hormon
SBH Serum Binding Hormon
DHT Dihidrotestosteron
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Gejala Obstruksi dan Iritasi 10
Tabel 2.2 International Prostate Symptoms Score ( IPSS ) 11
Tabel 2.3 Epidemiologi Genitourinarius 15
Tabel 4.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian 30
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium 31
Tabel 4.3 Tabulasi Silang Asal Spesimen Dengan Jenis Mikroorganisme Hasil Kultur Urin 31
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Anatomi prostat 3
Gambar 2.2. Zone Prostat 4
Gambar 2.3. Prostat Normal Dibandingkan Dengan BPH 5
Gambar 3.1. Kerangka Konsep 27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Susunan Penelitian 40
Lampiran 2 Riwayat Hidup 41
Lampiran 3 Rencana Anggaran Penelitian 42
Lampiran 4 Jadwal Penelitian 43
Lampiran 5 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian 44
Lampiran 6 Informed Consent 46
Lampiran 7 Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian 47
Lampiran 8 Formulir Data Penelitian 48
Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan
Suluh Darmadi1, Syah Mirsya Warli2, Bungaran Sihombing2 1
PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2
Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Divisi Bedah Urologi Fakultas Kedokteran
Abstrak
Latar belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran prostat jinak yang umum terjadi pada pria dewasa, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh BPH dimana keadaan tersebut dapat menyebabkan obstruksi dan retensi urin sehingga keadaan tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.
Tujuan, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola kuman terbanyak dan sensitivitas antibiotik yang menyebabkan ISK pada pasien BPH di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Metode Data dikumpulkan secara prospektife dari pasien BPH yang disertai ISK yang berobat ke Bagian Urologi RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Januari sampai April 2014. Sampel urin yang diambil adalah urin porsi tengah yang kemudian diperiksakan urinalisanya di Bagian Mikrobiologi. Pasien dengan leukosit urin > 5 / LPB dilanjutkan untuk dilakukan pemeriksaan kultur urin dan sensitivitas, kemudian dilakukan pencatatan pola kuman dan sensitivitasnya.
Hasil Terdapat total pasien 15 orang dengan usia 50-80 tahun yang didiagnosis dengan BPH yang disertai ISK. Didapatkan hasil kultur urin 100 % merupakan bakteri gram negatif. Dimana kuman tersebut terdiri dari E. Coli 7 (46,7 %) sampel, Pseudomonas 4 (26,6%) sampel,
Klebsiella 2 (13,3 %) sampel, serta Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae masing-masing 1 (6,7 %) sampel. Semua kuman tersebut sensitive terhadap pemberian obat antibiotik amikacin.
Kesimpulan Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah
Escherichia Coli (46.7%) dan bakteri yang paling sedikit ditemukan adalah Citrobacter freundii
dan Enterobacter Cloacae (6,7 %). Menurut penelitian ini, pasien BPH dengan infeksi saluran kemih seluruhnya sensitif terhadap pengobatan dengan Amikacin (100 %).
Keywords : Infeksi saluran kemih,Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Pola Kuman, sensitivitas obat
Methods Data were collected prospectively from patients with BPH who went to UTI Urology Department H. Adam Malik Hospital from January to April 2014. Urine samples were taken is a midstream urine were then examined urinalysis in Microbiology Department. Patients with urinary leukocytes > 5 per high-power field proceed to the examination of urine culture and sensitivity, then do the recording pattern of microorganism and sensitivity
Results
.
There are 15 patients, 50-80 years of age who were diagnosed with BPH accompanied UTI. Urine culture showed 100% is a gram-negative bacteria. Which is the bacteria E. coli consists of 7 (46.7%) samples, Pseudomonas 4 (26.6%) samples, Klebsiella 2 (13.3%) samples, and Citrobacter freundii and Enterobacter cloacae, respectively 1 (6,7%) samples. All of these microorganism sensitive to amikacin
Conclusion
.
The most bacteria in patients with BPH were Escherichia coli (46.7%) and the least were Citrobacter freundii and Enterobacter cloacae (6.7%). According to this study, patients with BPH with urinary tract infection completely sensitive to treatment with Amikacin (
Keywords :
100%).
Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan
Suluh Darmadi1, Syah Mirsya Warli2, Bungaran Sihombing2 1
PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2
Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Divisi Bedah Urologi Fakultas Kedokteran
Abstrak
Latar belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran prostat jinak yang umum terjadi pada pria dewasa, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh BPH dimana keadaan tersebut dapat menyebabkan obstruksi dan retensi urin sehingga keadaan tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.
Tujuan, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola kuman terbanyak dan sensitivitas antibiotik yang menyebabkan ISK pada pasien BPH di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Metode Data dikumpulkan secara prospektife dari pasien BPH yang disertai ISK yang berobat ke Bagian Urologi RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Januari sampai April 2014. Sampel urin yang diambil adalah urin porsi tengah yang kemudian diperiksakan urinalisanya di Bagian Mikrobiologi. Pasien dengan leukosit urin > 5 / LPB dilanjutkan untuk dilakukan pemeriksaan kultur urin dan sensitivitas, kemudian dilakukan pencatatan pola kuman dan sensitivitasnya.
Hasil Terdapat total pasien 15 orang dengan usia 50-80 tahun yang didiagnosis dengan BPH yang disertai ISK. Didapatkan hasil kultur urin 100 % merupakan bakteri gram negatif. Dimana kuman tersebut terdiri dari E. Coli 7 (46,7 %) sampel, Pseudomonas 4 (26,6%) sampel,
Klebsiella 2 (13,3 %) sampel, serta Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae masing-masing 1 (6,7 %) sampel. Semua kuman tersebut sensitive terhadap pemberian obat antibiotik amikacin.
Kesimpulan Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah
Escherichia Coli (46.7%) dan bakteri yang paling sedikit ditemukan adalah Citrobacter freundii
dan Enterobacter Cloacae (6,7 %). Menurut penelitian ini, pasien BPH dengan infeksi saluran kemih seluruhnya sensitif terhadap pengobatan dengan Amikacin (100 %).
Keywords : Infeksi saluran kemih,Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Pola Kuman, sensitivitas obat
Methods Data were collected prospectively from patients with BPH who went to UTI Urology Department H. Adam Malik Hospital from January to April 2014. Urine samples were taken is a midstream urine were then examined urinalysis in Microbiology Department. Patients with urinary leukocytes > 5 per high-power field proceed to the examination of urine culture and sensitivity, then do the recording pattern of microorganism and sensitivity
Results
.
There are 15 patients, 50-80 years of age who were diagnosed with BPH accompanied UTI. Urine culture showed 100% is a gram-negative bacteria. Which is the bacteria E. coli consists of 7 (46.7%) samples, Pseudomonas 4 (26.6%) samples, Klebsiella 2 (13.3%) samples, and Citrobacter freundii and Enterobacter cloacae, respectively 1 (6,7%) samples. All of these microorganism sensitive to amikacin
Conclusion
.
The most bacteria in patients with BPH were Escherichia coli (46.7%) and the least were Citrobacter freundii and Enterobacter cloacae (6.7%). According to this study, patients with BPH with urinary tract infection completely sensitive to treatment with Amikacin (
Keywords :
100%).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak prostat pada pria dewasa. Perubahan volume prostat bervariasi dan umumnya terjadi pada usia lebih dari
50 tahun. Gejala pada penderita BPH terdiri dari gejala obstruksi dan iritatif (Purnomo,
2007).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan masalah umum yang mempengaruhi kualitas hidup di sekitar sepertiga dari pria yang lebih tua dari 50 tahun
(Deters, 2013). Menurut database World Health Organization (WHO), tingkat kematian
di sebagian besar negara maju pada tahun 1980-an adalah 0,5 sampai 1.5/100.000,
kematian akibat BPH jarang di Amerika Serikat. Sebanyak 14 juta orang di Amerika
Serikat memiliki gejala BPH. Di seluruh dunia, sekitar 30 juta pria memiliki gejala yang
berhubungan dengan BPH (Deters, 2013). Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti
belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu
RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus (Rahardjo,
1999).
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi tersering kedua setelah infeksi saluran
napas. Insidens terjadinya infeksi saluran kemih pada wanita mencapai 9,3% dan pada
pria diatas 65 tahun sebesar 2,5-11 %. Pada penelitian Pondei et al (2012) mengatakan
penyebab tersering dari infeksi saluran kemih adalah E. coli (43%) diikuti dengan
Klebsiella pneumoniae (21,5%), Staphylococcus aureus (17,7%), Coliform (10,5%), Proteus mirabilis (3,8%), dan Pseudomonas aeruginosa (3,4%).
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu dengan pemasangan kateter hingga tindakan operasi. (
Roehrborn CG et al., 2010 ).
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh penyakit pembesaran prostat. Pria
lansia beresiko untuk terinfeksi saluran kemih karena pembesaran prostat dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan retensi, sehingga pada keadaan
et al., 2010). Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kultur urin, dimana dari hasil kultur urin didapatkan hasil kultur bakteri gram positif dan negatif. Menurut Pondei et al
(2012) pada penelitiannya mengatakan bahwa 16% infeksi saluran kemih disebabkan
oleh karena adanya pembesaran prostat. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
peningkatan organisme pathogen penyebab ISK ini juga disertai dengan peningkatan
resistensi terhadap pemberian antibiotik, berdasarkan organisme penyebab tersebutlah
maka diperlukan pemeriksaan kultur bakteri untuk memperlihatkan hubungan klinis
yang baik terhadap organisme penyebab ISK.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai pola kuman dan sensitivitas pada penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan infeksi saluran kemih di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pola kuman dan sensitivitas pada penderita infeksi saluran kemih
dengan Benign Prostate Hyperplasia di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pola kuman pada penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan infeksi saluran kemih di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui sensitivitas antibiotik penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan infeksi saluran kemih di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi kepada klinisi mengenai pola kuman pada penderita
infeksi saluran kemih dengan BPH.
2. Memberikan informasi mengenai pilihan antibiotik yang tepat terhadap kuman
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di
depan rectum dan membungkus uretra posterior. ( Roehrborn CG et al., 2010 ).Letak
kelenjar prostat dimulai dengan dasar kerucut (basis) sebagai terusan dari leher vesika
sedang puncak kerucut yang disebut apeks terletak di atas fascia diaphragma
urogenitalis. Prostat pada umur dewasa muda berukuran lebar 3-4 cm dan panjangnya
4-6 cm dengan ketebalannya kira-kira 2-3 cm dan beratnya 20 - 40 gram. ( Roehrborn et al
.,2010 dan John T et al.,2010 ).
Gambar 2.1. Anatomi Prostat
Prostat terdiri dari 70% kelenjar dan 30% stroma fibromuskular. Komponen
stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, kolagen dan jaringan
penyanggah yang lain. Stroma dan kelenjar berkontraksi selama ejakulasi untuk
mengeluarkan sekresi prostat ke uretra. Bagian fibromuskular terletak sebagian besar di
daerah anterior sedangkan bagian kelenjar terletak di bagian posterior ( Roehrborn CG
McNeal mengusulkan suatu konsep anatomi zona berdasarkan dari gambaran
anatomi dan histologi prostat. Dasar pembagian zona dari McNeal ini dijadikan dasar
untuk menentukan letak dan asal keganasan prostat. Menurut McNeal, prostat dibagi
menjadi 3 zona, yaitu zona perifer (70% dari volume prostat dewasa muda), zona sentral
(25%), dan zona transisi (5%). Keganasan prostat 60-70% berasal dari zona perifer,
10-20% dari zona transisi, dan 5-10% dari zona sentral. 60% keganasan dari zona sentral
biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low-grade), clear cell carsinoma ( Nickel J et al.,1999 )
Gambar 2.2. Zona-zona Prostat( Nickel J et al.,1999 )
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari
cairan ejakulat. Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang dialirkan melalui
duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Semen berisi sejumlah asam sitrat
sehingga pH nya agak asam. Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai
fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat
dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. Volume cairan prostate
prostat. Pleksus ini mendapat masukan parasimpatik dari medulla spinalis setinggi S2-S4
dan serat-serat simpatik dari nervus hipogastrikus presakralis (T10-L2
2.2 Hiperplasia Prostat Jinak
). Kedua sistem
persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan yang terjadi dari gabungan
kolinergik dan noradrenergik dan mempunyai reseptor-reseptor di dalam otot polos
prostat. Saraf-saraf otonom mempersarafi prostat dan juga vesika seminalis, uretra, dan
corpora cavernosa dari pleksus pelvikus yang bersama pembuluh darah membentuk
kompleks saraf dan pembuluh darah (neurovascular bundle) dan kompleks ini berjalan
di bagian posterior dari prostat dari kranial menuju apeks prostat dan umumnya sejajar
dengan dinding rectum (John T et al., 2010). Stimulasi parasimpatik meningkatkan
sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan
pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem
simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsul prostat, dan leher
buli-buli. Di tempat-tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik-α. Rangsangan simpatik
menyebabkan dipertahankannya tonus otot polos tersebut ( Roehrborn CG et al., 2010 ).
2.2.1 Definisi
Hiperplasia prostat jinak adalah suatu diagnosis histologis yang ditandai oleh
proliferasi elemen seluler dari prostat. Hiperplasia prostat melibatkan kedua elemen
stroma dan epitel dari zona periuretra dan transisi (Furqan, 2003).
2.2.2 Epidemiologi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat jinak adalah tumor jinak yang tersering pada laki-laki, dan insidennya terkait dengan umur pasien. Jika
hiperplasia cukup besar, nodul-nodul dapat menekan dan mempersempit kanal uretra
sehingga terjadi obstruksi uretra parsial maupun total. Prevalensi histologis hiperplasia
prostat jinak pada penelitian autopsi meningkat dari sekitar 20% pada laki-laki 41-50
tahun menjadi 50% pada laki umur 51-60 tahun, sampai akhirnya 90% pada
laki-laki di atas 80 tahun. Gejala pada kasus ini juga terkait dengan umur pasien. Pada umur
55 tahun, sekitar 25% dari laki-laki mengeluhkan gejala obstruksi berkemih. Pada umur
75 tahun, 50% laki-laki melaporkan penurunan kekuatan dan kaliber dari aliran urin
(Taiwo SS et al., 2006).
Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), subbagian urologi, setiap
tahun ditemukan antara 200 sampai 300 penderita baru dengan prostat hipertrofi. Istilah
hipertrofi sebenarnya kurang tepat oleh karena yang sebenarnya terjadi adalah
hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli
ke perifer dan menjadi kapsul bedah (surgical capsule). (Furqan, 2003).
Faktor risiko untuk perkembangan hiperplasia prostat jinak belum dapat
diketahui dengan baik. Beberapa studi mengemukakan pendapat bahwa terdapat faktor
predisposisi genetik dan beberapa mengatakan berhubungan dengan perbedaan ras.
Kurang lebih 50% pria berusia dibawah 60 tahun yang mengalami hiperplasia prostat
jinak mempunyai bentuk penyakit hiperplasia prostat jinak yang diturunkan. Bentuk ini
mempunyai kecenderungan bersifat autosomal dominan dan hubungan saudara pria pada
derajat pertama mempunyai risiko relatif yang meningkat kira-kira 4 kali. Selain itu,
juga disebutkan bahwa merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan tertentu seperti
histamine, bronkodilator dapat meningkatkan risiko hiperplasia prostat jinak ( Pondei K
et al., 2012 dan Philip M et al., 2007 )
2.2.3 Etiologi
komponen ini dapat menjadi target dalam penanganan medis kasus hiperplasia prostat (
Pondei K et al., 2012 ).
Hiperplasia prostat jinak merupakan salah satu penyebab LUTS pada pria
berusia lanjut. Secara histopatologi, hiperplasia prostat jinak dikarakteristikkan oleh
peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel dalam area periuretral prostat. Etiologi
yang pasti dari hiperplasia prostat jinak masih meragukan. Dalam pengamatan,
peningkatan jumlah sel oleh proliferasi epitel dan stroma atau gangguan program
kematian sel mengarah kepada akumulasi seluler. Androgen, estrogen, interaksi
epitel-stroma, growth factor, dan neurotransmitter mungkin memainkan peranan baik tunggal ataupun kombinasi dalam menyebabkan proses hiperplasi ( Rahardjo D, 2009 ).
Testosteron dihasilkan oleh sel leydig atas pengaruh hormon Luteinizing hormon
(LH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis ini menghasilkan LH
atas rangsangan Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH). Di samping testis,
kelenjar anak ginjal juga menghasilkan testosteron atas pengaruh ACTH yang juga
dihasilkan oleh hipofisis. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90%
dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10% dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam bentuk serum binding hormon
(SBH). Hanya sekitar 2% testosteron dalam keadaan bebas dan testosteron inilah yang
memegang peranan dalam proses terjadinya inisiasi pembesaran prostat. Testosteron
bebas ini dengan pertolongan enzim 5-alfa reduktase akan dihidrolise menjadi
dihidrotestosteron (DHT). Dalam bentuk DHT inilah yang kemudian akan diikat oleh
reseptor yang berada di dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT-reseptor
kompleks. DHT-reseptor kompleks ini kemudian akan masuk ke dalam inti sel dan akan
mempengaruhi asam ribonukleat (RNA) untuk menyebabkan terjadinya sintesis protein
sehingga dapat terjadi proliferasi sel (Taiwo SS et al., 2006).
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron-estrogen, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya produksi testosteron dan juga
terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposis di daerah perifer
dengan pertolongan enzim aromatase. Estrogen inilah yang kemudian menyebabkan
terjadinya hiperplasia stroma (Taiwo SS et al., 2006).
Dalam patogenesis terjadinya hiperplasia prostat jinak disebut pula pentingnya
basic fibroblast growth factor (b-GFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan merupakan faktor yang penting pada perkembangan prostat jinak. Konsentrasi b-FGF ini lebih besar
ditemukan pada penderita hiperplasia prostat jinak dibanding pada orang normal karena
bertambahnya umur (John et al., 2010).
2.2.4 Patologi
Hiperplasia prostat jinak seutuhnya merupakan proses hiperplasia, yaitu
peningkatan jumlah sel. Stroma tersusun dari kolagen dan otot polos. Komponen
histologis yang dominan dapat menentukan potensi responsivitas terhadap terapi medis.
Alpha-blockers dapat menghasilkan respon yang baik pada pasien hiperplasia prostat jinak dengan komponen otot polos yang signifikan, sedangkan jika komponen sel epitel
yang lebih dominan, kemungkinan respon akan lebih baik terhadap penghambat 5α
-reduktase. Pasien dengan komponen kolagen dalam stroma dapat tidak memberikan
respon terhadap bentuk terapi medis apapun (Pondei K et al., 2012).
Seiring berjalannya hiperplasia, lama-kelamaan zona luar dari prostat akan
terdesak, membentuk suatu formasi yang disebut surgical capsule. Kapsul ini
memisahkan zona transisi dari daerah perifer kelenjar dan berfungsi sebagai batas
pembelahan untuk enukleasi prostat terbuka dalam prostatektomi sederhana
(pembedahan yang mengangkat bagian prostat di sekitar uretra yang berjalan dari bagian
perifer prostat dan kapsul prostat) (Pondei K et al., 2012).
Pada taraf awal setelah tejadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat, kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat
detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa
buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampak apabila dilihat dari dalam vesika
dengan sistoskopi. Mukosa vesika dapat menerobos ke luar diantara serat detrusor
sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila
besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami
2.2.5 Patofisiologi
Gejala hiperplasia prostat jinak dapat terkait dengan komponen obstruktif dari
prostat atau respon sekunder dari kandung kemih terhadap resistensi saluran kemih
(komponen iritatif). Gejala obstruktif disebabkan oleh karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan yang tidak
sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesika sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh ( Pondei K et al.,
2012 dan Taiwo SS et al., 2006 ).
2.2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu BPH melalui :
a. Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan
gejala iritatif seperti terlihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Gejala Obstruksi dan Iritasi
Obstruksi Iritasi
- Hesitansi - Frekuensi
- Pancaran miksi lemah - Nokturi
- Intermitensi - Urgensi
- Miksi tidak puas - Disuri
- Menetes setelah miksi
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah
digunakan system scoring yaitu Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS
(International Prostatic Symptom Score). System scoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat yaitu, (1) ringan : skor 0-7, (2) sedang:
skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Gejala pada saluran kemih bagian atas yang muncul berupa gejala obstruksi antara
lain nyeri pinggan, benjolan di pinggang, atau demam.
3. Gejala di luar saluran kemih.
Tabel 2.2 International Prostate Symptoms Score (IPSS)
Selain 7 pertanyaan pada IPSS juga terdapat pertanyaan tunggal mengenai kualitas
hidup (quality of life/QoL) yang terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (John T et al.,
tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana
BPH.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, colok dubur, dan pemeriksaan neurologis terfokus harus
dilakukan pada semua pasien. Ukuran serta konsistensi prostat harus diperhatikan
walaupun tidak berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala ataupun derajat obstruksi.
Pada hiperplasia prostat jinak biasanya akan teraba pembesaran prostat yang elastis,
berbatas tegas, serta permukaannya rata. Jika terdeteksi indurasi, dokter harus
memikirkan kemungkinan kanker, serta pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan (PSA,
transrectal ultrasound, dan biopsi). Pemeriksaan perut bawah seharusnya dilakukan untuk memeriksa kandung kemih yang terdistensi ( Pondei K et al., 2012 )
c. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi.
Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan
infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan. Selain itu diperiksa juga faal ginjal, kadar glukosa. Jika dicurigai adanya
keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA (Purnomo, 2007).
2. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin (Purnomo, 2007).
Pemeriksaan USG dianggap sebagai pemeriksaan yang baik untuk mendeteksi
pembesaran prostat, tidak ada bahaya radiasi, dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG
dapat dilakukan secara trans abdominal atau transrectal (Trans Rectal Ultrasonography,
TRUS) ( John T et al., 2010 dan Taiwo SS et al., 2006 ).
2.3. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu
Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme didalam tubuh
penjamu (Linda Tietjen, 2004).
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan penjamu yang terjadi
melalui kode transmisi kuman tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi
melalui darah, udara, dan dengan kontak langsung.
ISK merupakan respon inflamasi dari urotheliumterhadap invasi bakteri yang biasanya berhubungan denganbakteriuriadanpiuria.
Bakteriuria adalah adanya bakteri dalam urin, yang biasanya bebas dari bakteri. Bakteriuria dapat bergejala dan tidak bergejala. Sedangkan piuria adalah, adanya sel-sel
darah putih (leukosit) dalam urin, umumnya menunjukkan infeksi dan respon inflamasi dari urothelium untuk bakteri. Bakteriuria tanpa piuria umumnya menunjukkan kolonisasi bakteri tanpa infeksi saluran kemih. Sedangkan piuria tanpa bakteriuria bisa dicurigai suatu tuberculosis, batu, atau kanker.
ISK adalah hasil dari interaksi antara pathogen dari saluran kemih dan host. Infeksi saluran kemih ditentukan oleh faktor-faktor virulensi bakteri, ukuran inokulum,
dan ketidak cukupan mekanisme pertahanan host. Faktor-faktor ini juga berperan dalam
menentukan tingkat akhir dari kerusakan pada saluran kemih. Rute infeksi saluran
kemih dapat secara asending, limfatik, dan hematogen.
Manifestasi klinisdapat berupa gejala asimtomatik yang merupakan kolonisasi bakteri dari kandung kemih berupa gejala iritasi seperti frekuensi dan urgensi yang terkait dengan infeksi bakteri yang berhubungan dengan adanya demam, menggigil, dan nyeri pinggang, dan bakteremiaterkait denganmorbiditas berat, termasuksepsis
Pada penderita BPH awalnya dinding otot kandung kemih menjadi hipertrofi dan
menebal pada fase kompensasi. Pada fase ini otot detrusor akan berkontraksi lebih kuat.
Kontraksi detrusor yang terus-menerus akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan
serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut pula trabekulasi, bentuknya serupa
balok-balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat detrusor sehingga membentuk
sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor yang terus-menerus
mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi dimana otot
refluks vesikouretral, yang semakin diteruskan ke atas mengakibatkan dilatasi ureter
(hidroureter) dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Sisa urin dalam vesika
dapat meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Pada umumnya,
organisme patogen tidak akan berkembang biak dalam urin dan jarang menyebabkan
ISK (Cattell et al, 1974). Namun, flora normal pada urin akan berkembang biak dengan
baik (Asscher et al, 1968). Faktor yang menentukan pertumbuhan bakteri pada urin
adalah osmolalitas, konsentrasi urea, konsentrasi asam organik, dan pH.
2.3.1 Epidemiologi
Epidemiologi ISK dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat
dilihat pada Tabel 2.3. Pada bayi baru lahir sampai usia 1 tahun, bakteriuria dijumpai
dalam 2,7% dari anak laki-laki dan 0,7% pada anak perempuan (Wettergren, Jodal, dan
Jonasson, 1985). Kejadian ISK pada laki-laki yang tidak disunat lebih tinggi dari pada
laki-laki yang disunat (1,12 % dibandingkan dengan 0,11 % ) (Wiswell dan Roscelli,
1986). Pada anak-anak usia 1 sampai 5 tahun, kejadian bakteriuria pada anak perempuan
meningkat menjadi 4,5 %, sementara itu penurunan pada anak laki-laki menjadi 0,5 %
(Randolph dan Greenfield, 1964). Sebagian besar ISK pada anak kurang dari 5 tahun
biasanya berhubungan dengan kelainan congenital pada saluran kemih, seperti refluks
vesicoureteral atau obstruksi. Insiden bakteriuria tetap relatif konstan pada anak usia
6-15 tahun . Namun, ISK pada anak-anak lebih mungkin dihubungkan dengan kelainan
fungsional saluran kemih, seperti gangguan berkemih. Selama masa remaja, kejadian
ISK meningkat secara signifikan ( 20% ) pada wanita muda, dan tetap konstan pada pria
muda ( Sanford, 1975).
Pada pria dengan prostatic hipertrofi / obstruksi, kateterisasi, dan pembedahan
merupakan faktor risiko yang berkaitan untuk terjadinya infeksi. Untuk pasien yang
lebih tua dari 65 tahun, kejadian ISK biasanya terus meningkat. Pada usia kurang dari 1
tahun dan yang lebih tua dari 65 tahun, morbiditas dan mortalitas dari ISK adalah yang
Tabel.2.3 Epidemiologi Genitourinarius
Pondei dkk melakukan penelitian terhadap pasien dengan infeksi saluran kemih
di Nigeria. Didapatkan bahwa kejadian infeksi saluran kemih terjadi sebesar 41,6% pada
pasien dengan gangguan patologi ginjal, 39% pada wanita hamil, 16% pada pasien
dengan pembesaran prostat ( Pondei K et al., 2012 ).
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH sebelum
pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin statis yang
berlarut-larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai kateter berulang. Furqan
melaporkan bakteriuria sudah terjadi sebelum pakai kateter pada 12,12% dari kelompok
yang baru pertama kali pakai keteter, dan 38,46% dari kelompok yang berulang pakai
kateter. Peningkatan bakteriuria yang bermakna ditemukan setelah pemakaian kateter
baik pada pemakaian kateter pertama kali atau berulang. Sesuai dengan literatur bahwa
pertumbuhan bakteri sudah terjadi dalam 24 jam pemakaian kateter menetap, dan terjadi
peningkatan bakteriuria 10% setiap harinya pada perawatan tertutup ( Furqan, 2003 )
Kuman penyebab bakteriuria karena pemakaian kateter menetap dari penelitian ini
banyak disebabkan oleh E.coli, kemudian dikuti oleh Staphylococcus aureus, Klebsiella
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang mana ditemukan 100 % adalah gram
negatif. E.Coli merupakan jenis bakteri yang sering dijumpai ( Pondei K et al., 2012 ).
Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian ini bakteri yang paling banyak adalah
Escherichia Coli (46.2%) serta yang paling sedikit ditemukan adalah Klebsiella Pneumonia (23.1%). Hasil ini sama dengan hasil kepustakaan Barat, dimana di negara maju infeksi saluran kemih 48,6 % adalah E.coli, dan pada penelitian ini memperoleh
hasil sekitar 46,2%. Dari penelitian lain sebelumnya ada yang melaporkan kuman
penyebab bakteriuria terbanyak bukan oleh E. coli, ini mungkin perbedaan tempat dan
perlakuan terhadap penderita misalnya penderita yang dirawat inap di rumah sakit
penyebab bakteriuria sering oleh kuman nosokomial (pseudomonas) dan juga kerap kali
berkaitan dengan hyegine dan sanitasi penderita dalam merawat kebersihan kateter (
Taiwo SS et al., 2006 ).
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Taiwo SS dan Aderounmu AOA,
meneliti kuman yang diakibatkan oleh pemasangan kateter. Dari total 122 pasien,
sebanyak 76 (62,3%) diakibatkan oleh pembesaran prostat jinak. Kuman yang paling
banyak ditemukan adalah E.Coli dan Pseudomonas Aerogenosa masing-masing 20,6%.
Berdasarkan penelitian ini, pada pasien infeksi saluran kemih sebesar 82.05% sensitif
terhadap Imipenem yang kemudian diikuti dengan Amikacin (74.35%). Namun pada
penelitian yang dilakukan Pondei et al., anti mokroba yang sensitif dan tepat untuk
diberikan adalah nitrofurantoin.
Pondei dkk melaporkan bahwa bakteri gram negatif lebih resisten terhadap
cloxacilin dan amoxicillin-clavulanat. E. Coli, K. Pneumoniae, dan P. Mirabilis lebih sensitive terhadap nitrofurantoin dan kurang sensitive terhadap cloxacilin dan
amoxicillin-clavulanat. Staphilokokus lebih sensitive terhadap ceftazidim dan kurang
sensitive terhadap cloxacilin, lincomicin dan oxacilin. Selain itu pondei dkk juga
melaporkan bahwa tidak ada pengaruh antara usia dan jenis kelamin terhadap
sensitivitas antibiotika pada infeksi saluran kemih (Pondei K et al., 2012).
2.3.2 Cara Pengambilan Sampel
Dalam keadaan normal urine bersifat steril. Pada keadaan infeksi saluran kemih
(ISK), akan ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna di dalam urine. Penyebab
ISK dapat ditemukan 2 jenis bakteri yang keduanya mungkin merupakan penyebab. Jika
ditemukan 3 jenis bakteri atau lebih, hal ini mungkin disebabkan oleh cara pengambilan
dan pengolahan bahan urine yang tidak sempurna. Walaupun demikian hal ini dapat
terjadi pada penderita ISK yang menggunakan kateter menetap. Pemeriksaan
bakteriologik terhadap urine bertujuan untuk menentukan diagnosis bakteriologik ISK.
Bahan urin utuk pemeriksaan harus segar dan sebaiknya diambil pada pagi hari.
Bahan urin dapat diambil dengan cara punksi supra pubik (suprapubic puncture=SPP),
dari kateter dan urin porsi tengah (midstream urine). Bahan urin yang paling mudah
diperoleh adalah urin porsi tengah dan ditampung dengan wadah bermulut lebar dan
steril (Roehrborn CG et al., 2010).
Sampel yang diambil adalah urin porsi tengah. Pria yang tidak dikhitan harus
menarik prepusiumnya, membersihkan ujung penis dengan larutan antiseptik, dan tetap
menarik prepusiumnya selama berkemih. Pasien pria mulai berkemih ke dalam toilet,
kemudian menempatkan wadah steril dengan mulut lebar di bawah penisnya untuk
mengumpulkan sampel urin porsi tengah. Cara ini mencegah kontaminasi spesimen urin
dari organisme kulit dan urethra.
Bila perlu semua sampel urin harus diperiksa dalam kurun waktu 1 jam setelah
pengumpulan dan ditempatkan untuk kultur dan sensitivitas jika ada indikasi. Jika urin
dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu yang lebih lama, bakteri yang muncul akan
tumbuh lebih cepat, pH dapat berubah, dan sel-sel darah merah dan putih dapat tidak
terindikasi. Jika tidak mungkin untuk memeriksa urin dengan segera, sampel harus
diletakkan di dalam pendingin pada suhu 5OC.
2.3.3 Pengambilan, Penyimpanan Dan Pengiriman Spesimen A. Tujuan
Mendapatkan spesimen urine yang memenuhi persyaratan untuk
pemeriksaan bakteriologik.
B. Waktu Pengambilan
Disarankan urine pagi pertama ( pada malam hari tidak buang air kecil ).
Bila hal ini tidak memungkinkan maka urine diambil 2 jam setelah buang air
kecil terakhir (Roehrborn CG et al., 2010).
C. Peralatan dan Bahan
1. Peralatan
a. Semprit
b. Wadah steril dari gelas atau plastik bermulut lebar bertutup
rapat, volume lebih kurang 50 ml.
2. Bahan
1. Urine Porsi Tengah
a. Penderita harus mencuci tangan memakai sabun
b. Jika tidak disunat tarik kulit preputium kebelakang, keluarkan
urin, aliran yang pertama dibuang, aliran urin selanjutnya
ditampung dalam wadah yang sudah disediakan.
c. Wadah ditutup Wadah ditutup rapat dan segera dikirimkan ke
laboratorium.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan sendiri, hal ini
dilakukan dengan bantuan perawat.
E. Pemberian Identitas
1. Formulir permintaan pemeriksaan surat pengantar / formulir
permintaan pemeriksaan laboratorium sebaiknya memuat secara lengkap
a. Tanggal permintaan
b.Tanggal dan jam pengambilan spesimen
c. Identitas pasien ( nama, umur, jenis kelamin, alamat, nomor
rekam medik )
d.Identitas pengirim (nama, alamat/ruangan, nomor telpon)
e. Identitas spesimen ( jenis, volume, lokasi pengambilan )
f. Pemeriksaan laboratorium yang diminta
g.Nama pengambil spesimen
h.
i.
Transpor medial pengawet yang digunakan
2. Label
Keterangan klinis : diagnosis atau rawatan singkat
penyakit, riwayat pengobatan
Wadah urine diberi lebel yang memuat :
a. Tanggal pengambilan spesimen
b Identitas pasien ( nama, umur, jenis kelamin, nomor rekam
medik ).
c. Jenis spesimen
F. Penyimpanan Spesimen
Semua spesimen urine harus sudah sampai di laboratorium dalam waktu
1 jam setelah pengambilan. Jika hal ini tidak mungkin dilaksanakan, spesimen
harus disimpan di lemari es ( 2°-8°C ) segera setelah pengambilan,
selanjutnya harus sudah diproses di laboratorium dalam waktu 18 jam.
G. Pengiriman Spesimen
Pengiriman spesimen dilakukan dengan menggunakan "cool box" (
2.3.4 Hitung Kuman, Isolasi dan Identifikasi A.
Hitung kuman bertujuan untuk menilai apakah jumlah kuman yang
tumbuh bermakna atau tidak untuk ISK. Sedangkan isolasi dan identifikasi
bertujuan untuk mengetahui bakteri penyebab ISK. Tujuan
C. Media dan Reagen
1. Agar Darah (AD)
Urine disentrifugasi 3000 rpm selama 5 - 10 menit
c. Teteskan endapan pada 2 kaca objek
d. Tutup kaca objek 1 dengan kaca penutup
e.
f.
Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali
2. Isolasi, hitung koloni dan identifikasi
g. Terhadap sedimen pada kaca objek 2, lakukan pewarnaan gram
Spesimen urine yang tidak disentrifuge :
a. Masukkan dalarn Brain Heart Infusion (BHI) dengan
perbandingan 1: 9.
b. Lakukan isolasi pada Agar Darah dan Agar Mac Conkey
dengan cara 1 / cara 2.
1.
1. Dengan menggunakan sengkelit (volume 10 Cara I
-3
2. Khusus inokulasi pada Agar Darah dilakukan dengan cara : ), spesimen urine
yang tidak disentrifuge. diinokulasikan pada Agar Darah dan
Agar Mac Conkey.
a. Ambil satu sengkelit (volume 10-3
b. Goreskan secara menyilang di bagian tengah media
Agar Darah.
ml) urine yang tidak
disentrifus.
c. Selanjutnya dibuat goresan sepanjang goresan pertama,
dengan arah tegak lurus terhadap goresan pertama.
Kemudian buat goresan tegak lurus terhadap goresan
terakhir sampai media penanaman penuh.
3. Inkubasi Agar Darah dan Agar Mac Conkey pada suhu 35 -
37°
4. Hitung koloni yang tumbuh pada Agar C selama 24 jam
5.Dari koloni yang tumbuh pada Agar Darah (setelah hitung
koloni) dan Agar Mac Conkey dilakukan pewarnaan Gram.
6. Kuman Gram (+) kokus dan koloni Gram(-) yang tumbuh
pada Agar Darah dilanjutkan dengan uji identifikasi.
2.
3. Aduk rata dengan cara menggoyangkan ke kanan dan ke kiri
supaya urine tercampur rata dengan perbenihan
4. Inkubasi pada suhu 35°C - 37°C selama 24 jam
5. Hitung koloni yang tumbuh pada Agar
6. Buat sediaan Gram dari koloni yang tumbuh pada Agar Darah
(setelah hitung koloni) dan Agar Mac Conkey
7. Lanjutkan dengan uji identifikasi seperti cara I
3. Pembacaan dan interpretasi hasil
a. Mikroskopis
Hitung jumlah lekosit yang ditemukan. Untuk laki-laki laporkan
bila ditemukan lekosit > 2/LPB, sedangkan untuk wanita bila > 5/LPB,
denaan catatan hasil lengkap hitung kuman isolasi dan identifikasi
menyusul.
b. Hitung Kuman
1. Pembacaan hasil :
Jumlah kuman dalam 1 ml urine adalah jumlah koloni yang
tumbuh dikalikan 1000 (karena volume ose yang dipakai 10 Untuk cara I
-3
ml).
Jumlah kuman dalam 50 µ l urine adalah jumlah Y koloni
yang turnbuh dikalikan dengan pengenceran ( 50 X). Dengan
demikian jumlah kuman dalam 1 ml urine = 20 Y. Untuk cara II
2. Intepretasi Hitung Kuman
a. Kategori 1 :
Jika didapatkan jumlah kuman kurang dari 104
o Pada urine porsi tengah diinterpretasikan
kemungkinan tidak ada infeksi saluran kemih.
per ml urine :
o Pada urine pungsi suprapubik atau kateter,
pemeriksaan dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi
b. Kategori 2 :
Jika jumlah kuman antara 104 - 105
Jika pasien menunjukkan gejala infeksi saluran
kemih, pemeriksaan dilanjutkan dengan identifikasi dan
uji kepekaan. Jumlah kuman pada batas ini, disertai dengan
lekosituri, sangat dicurigai adanya infeksi. Jika meragukan,
mintakan urine kedua untuk pemeriksaan ulang.
per ml urine dan
pasien tidak menunjukkan keluhan, mintakan urine kedua
dan hitung kuman diulangi.
c. Kategori 3 :
Pada urine porsi tengah, jika jumlah kuman lebih dari
105
Kategori ini tidak berlaku bagi urine kateter dan urine
pungsi supra- pubik.
per ml urine, pemeriksaan dilanjutkan dengan isolasi
dan identifikasi serta uji kepekaan, meskipun penderita
tidak menunjukkan gejala.
4. Pencatatan dan pelaporan
Setelah hasil ditemukan lengkap, dicatat dalam buku
registrasi laboratorium dan dilaporkan pada pengiriman dalam
formulir hasil pemeriksaan.
Rekomendasi umum untuk pelaporan hitung kuman pada urine porsi
tengah :
Jika jumlah kuman kurang dari a. Kategori 1 :
104 per ml urine dilaporkan
kemungkinan tidak ada infeksi suprapubik atau kateter, jumlah
kuman ini harus dilaporkan bersama hasil identifikasi dan uji
kepekaan.
b. Kategori 2 :
c.
Jika jumlah lebih dari 10 Kategori 3 :
5
per ml urine, dilaporkan bersama hasil
identifikasi dan uji kepekaan.
2.3.5
Untuk pasien dengan gejala pemeriksaan urinalisis mikroskopik untuk
bakteriuria, piuria, dan hematuria harus dilakukan. Urinalisis dilakukan untuk
mengidentifikasi bakteri dan leukosit dan sebagai diagnosis dugaan ISK.Biasanya ISK,
ditemukan leukosit urin dengan sedimen > 5 / LPB. Urinalisa
2.3.6 Kultur Urin
Standar baku untuk diagnosa ISK adalah kultur urin secara kuantitatif. Urin harus dikumpulkan dalam wadahsteril dan segera dikultur. Bila tidak langsung dikultur, urin dapat disimpan dalam lemari essampai 24jam. Sampel tersebut kemudiandiencerkandan disebardi piring kultur. Setiap bakteri akan membentuk koloni tunggal pada piring. Jumlah koloni dihitungdandisesuaikanper mililiterurin(CFU/mL) (Stamm etal, 1982). Bakteriuria mikroskopis ditemukan lebih dari 90% dari infeksi dengan jumlah > 105 koloni (CFU)
/mililiter urin dan ini merupakan temuan yang sangat spesifik (Stamm, 1982; Jenkins et
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian
cross-sectional.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sub Bagian Bedah Urologi Fakultas Kedokteran USU/
RSUP H. Adam Malik dari bulan Januari sampai April 2014.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian semua penderita Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dengan
infeksi saluran kemih yang datang ke poliklinik bedah urologi RSUP H. Adam Malik
Medan. Sampel penelitian adalah penderita Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
dengan infeksi saluran kemih yang datang ke poliklinik bedah urologi RSUP H. Adam
Malik Medan, yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
3.4. Besar Sampel
Perhitungan besar sampel menggunakan rumus dibawah ini :
Keterangan:
n : Jumlah sampel
Zα : Tingkat kepercayaan, yaitu sebesar 95% maka nilai Zα = 1,96 P : Proporsi penderita BPH dengan infeksi saluran kemih
Q : 1-P
d : besar penyimpangan sebesar 20 %
3.5. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Yang termasuk kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1. Penderita BPH dengan ; IPSS > 7, DRE teraba pembesaran prostat, USG
volume > 30 gr
2. Adanya tanda-tanda gejala infeksi saluran kemih, berupa ; disuria, leukosit
urin >5/ LPB, kultur bakteri > 105
3. Usia sampel diatas 50 tahun
koloni/ml urin
4. Tidak menkonsumsi antibiotik selama 3 hari
5. Tidak ada batu di traktus urinarius
Yang termasuk kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:
1. Pasien yang disertai dengan ca prostate
2. Pasien yang disertai dengan prostatitis
3. Pasien yang terpasang kateter
4. Pasien yang tidak bersedia dilakukan pemeriksaan urinalisa
3.7. Alur Penelitian
Gambar 3.2. Alur Penelitian
3.8. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari pasien setelah dilakukan
penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan.
3.9. Analisis Data
Data diolah dengan perangkat program komputer, ditabulasi dan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi /diagram dan penjelasan diagram dalam bentuk narasi.
3.10. Definisi Operasional
1. BPH adalah kelainan hyperplasia prostat yg ditentukan berdasarkan gejala
klinik dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan imagine. Dinilai dari IPSS >
7, teraba pembesaran prostat pada DRE dan terdapat pembesaran volume
prostat > 30 gr dari USG dan tidak ditemukan batu di saluran kemih serta
diawali dengan gejala saluran kemih bawah (LUTS). Pasien masuk RSUP. H. Adam
Malik Medan
Kultur urin dan sensitivitas
Pola kuman dan sensitivitas antibiotik Termasuk dalam kriteria inklusi
Pemeriksaan Urinalisa
Urin porsi tengah
2. Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi yang mengenai saluran kemih yang
ditandai dengan ; disuria, leukosit urin > 5/ LPB, dan adanya bakteri urin >
105
3. Urin porsi tengah adalah bagian urin yang dikeluarkan ditengah proses miksi
(pengeluaran urin), dimana aliran pertama urin dibuang terlebih dahulu
kurang lebih 5 – 10 ml dan aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah
yang telah disediakan, serta sisa urin setelah ditampung kemudian dibuang. koloni/ml urin.
4. Pola kuman diperiksa di bagian mikrobiologi untuk melihat jenis kuman dan
sesnsitivitas terhadap antibiotik.
3.11. Etika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek
penelitian, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan subyek penelitian penderita Benign Prostat
Hiperplasia (BPH) yang berjumlah 15 orang. Karakteristik subjek penelitian dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa karakteristik subjek penelitian
berdasarkan usia yang terbanyak adalah kelompok umur 71 - 80 tahun (46,7 %) dan
umur 61 – 70 tahun (33,3 %).
Karakteristik Frekuensi
N Total (%)
Kategori Umur (Thn)
50-60 3 20,0
61-70 5 33,3
71-80 7 46,7
Total 15 100,0
Volume Prostat (gr)
30-40 5 33,3
41-50 6 40,0
>50 4 26,7
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG didapatkan volume prostat terbanyak
dengan berat 41-50 gram (40,0 %) dan terendah dengan berat > 50 gram (26,7 %).
Tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian berdasarkan pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan jumlah leukosit urin pada pemeriksaan urinalisa maka yang
terbanyak adalah dengan jumlah leukosit urin 26-50 atau (40,0%) sedangkan lainnya
5-10, 16-25 masing-masing (20,0%), > 50 (13,3%), dan yang paling sedikit dengan
jumlah leukosit urin 11-15 (6,7%)
Berdasarkan IPSS untuk menentukan tingkat keparahan maka yang terbanyak Karakteristik
Frekuensi
N Total (%)
Leukosit Urin (LPB) 5 sampai 10
11 sampai 15
3
1
20,0
6,7
16 sampai 25 3 20,0
26 sampai 50 6 40,0
51 sampai 100 2 13,3
Total 15 100,0
Kategori IPSS
Berat 2 13,3
Sedang 13 86,7
Tabel 4.3Tabulasi silang asal spesimen dengan jenis mikroorganisme hasil kultur urin
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa semua spesimen yang digunakan
adalah urin porsi tengah dan hasil kulturnya dijumpai mikroorganisme Escherchia coli
(46,7 %), Pseudomonas Aeruginosa (26,6 %), Klebsiella pneumonia (13,3 %),
Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae (6,7 %) sedangkan yang terbanyak dijumpai pada mikroorganisme Escherchia coli pada kultur urinnya (46,7%) dan yang
terendah adalah mikroorganisme Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae (6,7 %).
Berdasarkan dari lampiran 10 menunjukkan bahwa jenis mikroba Eschericia
coli sebagian besar sensitif terhadap antimikroba amikacin sedangkan mikroba Pseudomonas aeroginosa sensitif terhadap antimikroba amikacin dan meropenem, mikroba Klebsiella pneumonia sensitif terhadap amikacin, ertapenem, gentamycin, meropenem, dan tigecycline, mikroba Citrobacter Freundii sensitif terhadap seluruh
antimikroba kecuali amoxicillin, ampicilin, dan cefazoline, dan Enterobacter Cloacae
sensitif terhadap amikacin, ertapenem, meropenem, dan tigecycline. Hasil kultur ini
menunjukkan bahwa antimikroba amikacin seluruhnya sensitif terhadap jenis mikroba
BAB 5
PEMBAHASAN
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak prostat pada pria dewasa. Perubahan volume prostat bervariasi dan umumnya terjadi pada usia lebih dari
50 tahun. Gejala pada penderita BPH terdiri dari gejala obstruksi dan iritatif (Purnomo,
2007). Hal ini menunjukkan bahwa penderita BPH lebih banyak pada kelompok usia
lanjut.
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan masalah umum yang mempengaruhi kualitas hidup di sekitar sepertiga dari pria yang lebih tua dari 50 tahun
(Deters, 2013). Menurut database World Health Organization (WHO), tingkat
kematian untuk sebagian besar negara maju pada 1980-an adalah 0,5 sampai
1.5/100.000, kematian akibat BPH jarang di Amerika Serikat. Sebanyak 14 juta orang
di Amerika Serikat memiliki gejala BPH. Di seluruh dunia, sekitar 30 juta pria
memiliki gejala yang berhubungan dengan BPH (Deters, 2013). Angka kejadian BPH
di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran di dua rumah
sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997)
terdapat 1040 kasus (Rahardjo, 1999).
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH sebelum
pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin statis yang
berlarut-larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai kateter berulang.
Pemeriksaan yang baku untuk mendiagnosa infeksi saluran kemih adalah
dengan cara mendeteksi dan mengidektifikasi kuman patogen yang ada di urin ( Nickel
J et al., 1999 dan Furqan, 2003 ). Adapun kadar minimum bakteriuria berkisar antara
103-105
Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien BPH dari bulan Januari sampai
April yang berobat ke poliklinik bedah urologi RSUP. H. Adam Malik Medan
(33,3%). Hal ini serupa dengan penelitian Schenk et al (2011) menunjukkan kelompok
usia terbanyak penderita BPH adalah di atas usia 70 tahun sebanyak 43,6%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG didapatkan volume prostat terbanyak
dengan berat 30-40 gram (40,0%) dan terendah dengan berat > 50 gram (26,7%). Hasil
kultur urin menunjukkan bahwa jenis mikroorganisme yang dijumpai adalah
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae sedangkan yang terbanyak dijumpai adalah jenis mikroorganisme Escherichia coli (46,7%), kemudian Pseudomonas aeruginosa (26,6%), Klebsiella pneumonia (13,3%) dan yang paling sedikit adalah Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae (6,7 %).
Hal tersebut sama dengan penelitian Jai et al (2012) dengan hasil Eschericia
coli (64,4%), Klebsiella (11,3%), Pseudomonas 3,27%). Pondei et al (2012) dengan
hasil Escherichia coli (43,0%), Klebsiella (21,5%), Pseudomonas (3,4%). Dan pada
penelitian Taiwo et al (2006) juga mengutarakan hasil yang sama yaitu dengan hasil
Escherichia coli (20,6%), Psudomonas (19,8%), klebsiella (3,2%). Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu penyebab infeksi saluran kemih adalah penderita
dengan pembesaran prostat jinak (BPH). Selain BPH, pemasanagn kateterisasi, dan
pembedahan merupakan faktor resiko yang juga berkaitan untuk terjadinya infeksi
saluran kemih.
Pada penelitian ini juga memberikan hasil mikroorganisme yang terbanyak
adalah jenis gram (-) yang totalnya (100 %), hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Pondai dkk yang melaporkan bahwa bakteri gram negatif
merupakan bakteri yang dominan sebagai penyebab infeksi saluran kemih yaitu sekitar
(82,28%).
Berdasarkan penelitian ini dijumpai jenis mikroba Eschericia coli sebagian
besar sensitif terhadap antimikroba amikacin sedangkan mikroba Pseudomonas
aeroginosa sensitif terhadap antimikroba amikacin dan meropenem, mikroba Klebsiella pneumonia sensitif terhadap amikacin, ertapenem, gentamycin, meropenem, dan tigecycline, mikroba Citrobacter Freundii sensitif terhadap seluruh antimikroba kecuali
amoxicillin, ampicilin, dan cefazoline sedangkan mikroba Enterobacter Cloacae Untuk pasien yang lebih tua dari 65 tahun, kejadian ISK biasanya terus
meningkat. Pada usia kurang dari 1 tahun dan yang lebih tua dari 65 tahun, morbiditas
sensitif terhadap amikacin, ertapenem, meropenem, dan tigecycline . Hasil kultur ini
menunjukkan bahwa antimikroba amikacin seluruhnya sensitif terhadap jenis mikroba
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1Kesimpulan
Bakteri tersering yang ditemukan dari hasil kultur urin yang diperiksa pada
pasien prostat jinak dengan infeksi saluran kemih adalah Escherichia coli (46,7 %),
Pseudomonas aeruginosa (26,6 %), Klebsiella pneumonia (13,3 %), Citrobacter Freundii dan Enterobacter Cloacae (6,7 %) yang seluruhnya sensitive terhadap pemberian antibiotik amikacin.
6.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian ulang dalam jumlah yang besar untuk menilai
sensitivitas antibiotik berdasarkan jenis kuman penyebab infeksi saluran kemih
pada pasien prostat jinak serta membagi sensitivitas obat berdasarkan jenis bakteri.
Perlu diperhatikannya pemberian antibiotik yang sesuai guna mencegah
DAFTAR PUSTAKA
Barkin, J. 2011. Benign Prostatic Hyperplasiaand Lower Urinary Tract Symptoms: Evidence and Approach for Best Case Management. The Canadian Journal of Urology 18: 14-19.
Brewster S, Cranston S, Noble J, and Reynard J. Urological Oncology. 2001. In : Urology: A Handbook for Medical Students. UK: BIOS Scientific Publisher Limited: 143-150.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Deters, LA, 2013. Benign Prostatic Hypertrophy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#a0156 [Accessed 29 Januari 2014].
Emil, A. et al, 2008. McAninch. Bacterial Infections of the Genitourinary Tract in Smith’s General Urology 17th
European Association of Urology. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia.2006. edition. New York. Lange Medical Book.: 208-209.
Ganong, William F, 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20.
Irwan, A. et al.,2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Genetalia Pria.
John, T. et al.,2010. Netter’s Clinical Anatomy 2nd
Kirby RS. An Atlas of Erectile Dysfunction. UK: The Parthenon Publishing Group. 2004.
edition. Phiadelphia. Saundres Elsevier inc : 200.
Mc Vary KT. The Definition of Benign Prostatic Hyperplasia: Epidemiology and Prevalence. In: Management Of Benign Prostatic Hypertophy. New Jersey: Humana Press. 2004: 21-27.
Nickel, J. et al.,1999. Asymptomatic inflammation and/or infection in Benign Prostatic Hyperplasia. BJU International, 84 : 976–81.
Patient Instructions. Urine Colection For C & S (Infants). Calgary Laboratory Services. Philip, M. et al.,2007. Hanno, M.D., Alan J. Wein, S. Bruce Malkowicz, M.D.
Prostatitis in Penn Clinical Manual of Urology.Elsevier Health Sciences.
Pondei, K., Oladapo, O., Olowu, OE. 2012. Anti-Microbial Susceptibility Pattern of Microorganisms Associated With Urinary Tract Infections In A Tertiary Health Institution In The Niger Delta Region of Nigeria. African Journal of Microbiology Research Vol. 6(23): 4976-4982.