• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengkaji Filsafat Penciptaan manusia men

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengkaji Filsafat Penciptaan manusia men"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Mengkaji Filsafat Penciptaan manusia menurut al-Qur’an A. PENDAHULUAN

Adanya pengaruh paradigma manusia modren yang memperangkap dan memenjarakan manusia pada dataran rasio an sich . Penalaran berdasarkan tataran rasio saja hanya bersifat ontologis-episemologis dan melupakan tataran aksiologis yang sarat dengan muatan etika dan estetika. Melupakan etika akan mengelincirkan pola pikir manusia hanya berfokus pada sudut pandang benar-salah dan lupa pada baik-buruk. Berfikir right or wrong menjadikan manusia seperti mesin tak bernyawa dan lupa akan esensi penciptaan manusia. Sejalan dengan fenomena diatas pendapatan Ali Syariati, memberikan peringatan atas perubahan karakter dan sifat manusia atas pola pikir modrenisme sebagai berikut:

Bahaya yang paling besar yang di hadapi manusia modren bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan yang ada dalam diri manusia telah mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang adalah sebuah ras yang non manusiawi. Inilah mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan Tuhan dan kehendak alam fitrah. Ia telah dijual dan dia sendiri yang harus membayar harganya. Ia berbaris di depan rumah”perampok” menanti giliran untuk di rampok1

Bisa dipahami bahwa bom atom adalah benda mati. Ia hanya akan meledak kalau di gerakan oleh manusia. Manusia akan bergerak karena di pandu akal pikiran dan gerak hatinya. Hal ini merupakan gambaran kongkrit kalau manusia terperangkap pada ilmu pengetahuan manusia modren dalam dunia materi yang akut. Keterperangkapan tersebut mengubah pola pikir, tindak tanduk, tujuan hidup serta menjerumuskan manusia kedalam jurang kenistaaan, kebathilan, kedholiman kedurjanaan dengan tunggangan jutaan nafsu yang tak terpuaskan. Keterperangkapan itu mengakibatkan mereka lupa akan substansi dan esensi penciptaan manusia.

Para ilmuan lupa atau pura-pura lupa terhadap dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari temuan-temuan ilmiah mereka, mereka tidak peduli apakah temuan-temuan dan teori-teori mereka itu akan bersifat destruktif atau konstruktif bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, saat ada yang melontarkan sebuah pertanyaan, dalam diskusi tentang

1Sumarna, 2005, hal.47

(2)

executive compensation, mengapa para eksekutif cenderung untuk mengendalikan laba (othak athik gathuk) agar ia memperoleh bonus? Tidakkah kelakuan semacam itu merupakan tindakan yang tidak etis dan tidak bermartabat? Jawabannya adalah, itulah fakta empiris yang telah menjadi mind set. Hasilnya adalah ia akan menjadi “teori” dan memperkuat “teori” yang ada dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, yang sambung menyambung, merajut dan menjadi building block, yang tentu lupa pada dimensi etika, lupa bahwa “kelakuan” seperti itu merupakan bentuk pengingkaran atas sifat-sifat ashabiyah manusia yang seharusnya mampu menanggalkan sifat ego dan mengedepankan sifat cinta pada sesama, welas asih, saling menjaga, dan meghormati eksistensi ‘sang lain’. Dia tidak menjadi manusia yang disebut sebagai ‘ulul albab’ 2 yang sering diterjemahkan sebagai sosok manusia yang memadukan antara fikir (rasio) dan dzikir (rasa dan intuisi)

Sebagai akibat pandangan rasionalisme empiris yang memiliki sudut pandang “obyektif” terhadap ilmu pengetahuan, maka rasionalisme empiris itu, kemudian diberi stempel dan label baru yang lebih keren dan menjual, yaitu: “Manusia modren”. Sebutan manusia modren itu dimunculkan karena, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, cenderung berpola positif. Manusia modren diklaim sebagai metoda, cara dan epistimologi ilmu pengetahuan yang tidak lagi memerlukan kritik terhadap bangunan yang sudah ada. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sebagai konstalasi fakta, teori dan metoda sesungguhnya tidak lebih dari sekedar kumpulan berbagai sumbangan ‘sejarah’ berupa perjalanan panjang ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Ia berkembang sedikit demi sedikit, item demi item, step by step, tempel menempel, berurutan saling melengkapi secara relasional yang saling merajut kemudian menjadi suatu bentuk bangunan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin membesar, semakin meluas dan semakin mendalam, kukuh dan kokoh persis laksana membangun sebuah gedung – building block. Dengan demikian, dalam pandangan seperti itu, memberikan arti kepada kita bahwa, ilmu pengetahuan tidak diciptakan, tetapi pengetahuan hanyalah sekedar dibangun dan/atau ditemukan. Sang Pencipta dan Sang Pemilik alam semesta ini lah Creator yang menciptakan ilmu pengetahuan, Dia lah kebenaran haqiqi dan Maha Sempurna. Kita semua, hanyalah sosok pembaca saja, bukan author, namun sekedar berposisi sebagai homo reader, an sich.

Malangnya, manusia modren yang dipandang dan dipersepsikan sebagai suatu “bangunan” teori yang kokoh itu (building block), ternyta, bangunan yang diidamkan tersebut

2 . QS, 39:9

(3)

serasa roboh bersamaan dengan robohnya keyakinan posivistik. Manusia modren, yang dipersepsikan sebagai suatu “jejaring” kesalinghubungan yang hadir dalam fenomena, digugat dan dihujat. Kenapa? Karena bila mana building block itu benar, tentunya keberadaan manusia modren dewasa ini seharusnya telah memiliki suatu ‘hirarkhi’ yang kukuh dan kokoh. Namun, kenyataannya sampai saat ini, hirarkhi itu tidak ada, tidak pernah ada, tidak terbukti dan tidak dijumpai keberadaan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang mutlak. Fisika pun, tidak lagi digadang-gadang sebagai suatu “pengetahuan ideal” yang menjadi barometer dan fondasi atas berbagai pengembangan ilmupengetahuan. Bahkan, saat ini, ia malah dipertanyakan dan digugat kesahihannya sebagai “hakim metodologi”.

Semua itu terjadi karena, pencapaian pengetahuan positif diyakini sebagai sesuatu yang bersifat ‘absolut’ dan ‘pasti’. Kini, seluruh bangunan konsep, teori dan temuan ilmiah diyakini itu harus dibongkar, karena ia hanya bersifat “terbatas” dan sekedar “perkiraan” saja, suatu kebenara yang bersifat sementara, katena tidak mungkin ada ‘kemutlakan’ dalam kebenaran.

Ilmu pengetahuan, tidak mungkin mampu memahami seluruh realistas secara definitif dan lengkap. Ilmu pengetahuan juga tidak selalu benar dan tidak pernah bisa dijadikan “kebenaran muttlak”. Ilmu pengetahuan, hanyalah sebagai bagian kecil, minimal dan terbatas deskripsi tentang realitas yang bersifat tidak terbatas. Kebenaran mutlak hanya milik Sang Pencipta, Maha Agung, Maha Besar, Dan Maha dalam segalanya.

Maka disini penulis mencoba membahas tujuan penciptaan manusia atas fenomena pandangan manusia modren untuk apa manusia di ciptakan.

(4)

B. PEMBAHASAN

B.1 Kerangka pemikiran filsafat Penciptaan Manusia

B.2 Tujuan Penciptaan Manusia

Pada pembahasan ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran yang di dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan penciptaan, di antaranya, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)

“Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs. Al-An’am [6]: 165) Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan.

(5)

tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.

َنْيِمَلاَعْلا ّبَر ِهّلِل ْيِتاَمَمَو َياَيْحَمَو ْيِكُسُنَو ْيِتَلَص ّنِإ ْلُق

Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)

Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia adalah berasal dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus melakukan penghambaan kepada Tuhan.

ُﺖْﻘَﻠ َﺧﺎَﻣ َﻭ

ّﻦِﺠْﻟﺍ

َﺲﻧِﻹْﺍ َﻭ

ﻻِّإ

ِﻥﻭُﺪُﺒ ْﻌَﻴِﻟ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [51]: 56)

Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ibadah dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk melakukan penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali di hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa poin berikut:

1. Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku” menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka” Pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia itu harus secara sadar, berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia harus yakin bahwa Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya. Tuhan tidak ingin memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan demikian, manusia dan makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa menyembah-Nya. Jadi titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa manusia dan makhluk sebagai subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah (baca: Tuhan).

(6)

2. Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman, “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja. (Tafsir Al-Mizan, J. 36, hal. 298-302)

Pada tempat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156)

Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.

“Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]: 18)

“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)

“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4, dan Qs. Al-Hadid [57]: 5)

“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53) “… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-Sajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)

(7)

“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48, dan Qs. Hud [7]: 4)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)

Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.

Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?

Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada Tuhan.

Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.

Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap

(8)

individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.

Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya.

Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.”

Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)

Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat?

Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.

Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya.

Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya

(9)

Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh.

Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik, berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.

B.3 Khalifah dan Tujuan Penciptaan

Potensi manusia yang terdiri dari pendengaran, penglihatan dan hati (akal) merupakan instrumen yang diberikan oleh Allah untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankanNya. Sebab dengan semuanya itu manusia dapat memperoleh kelebihan-kelebihan sehingga dapat menjalankan amanah : beribadah dan manjalankan fungsi kekhilafahan. Dengan kekhilafahan ini, manusia mendayagunakan potensinya tersebut untuk membimbing alam. Bagi mereka yang khianat terhadap segenap potensi yang diberikanNya tersebut, ia akan mendapat kerugian dan Allah swt memberi julukan kepada mereka : bagaikan hewan ternak, seperti anjing, seperti monyet, seperti babi, seperti kayu, seperti batu, seperti laba-laba dan seperti keledai.

Bagi yang menyadari potensi-potensi yang telah diberikan dan beribadah kepada Allah (berislam) maka status khilafah disandangnya. Khilafah bukan berarti pemilik asal, tetapi ia hanya bertindak selaku pemelihara alam yang Allah telah ciptakan. Maka mendayagunakan alam dan menjalankan fungsi kekhilafahan harus selaras dengan kehendak Sang Pemilik Alam dan tidak menentangNya.

Terdapat beberapa prinsip dalam kekhalifahan. Khilafah menurut etimologi dapat berarti perwakilan, jadi karena manusia mendapat kepercayaan dari Allah SWT bukan pemilik yang hakiki maka dengan prinsip khalifah ini adalah untuk mewakili kekuasaanNya di bumi,

(10)

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.(QS.Fathir:13)

Sebagai Khalifah, manusia harus memperhatikan manusia harus bertindak sesuai dengan kehendak yang mewakilkan kepadanya yaitu Allah SWT.

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Al Insan : 30)

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).(Al Qasas:68)

Tidak juga menentang peraturan

( 6 ) sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, ( 7 ) dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,

( 8 ) dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

( 9 ) Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, ( 10 ) dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,

(11) sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka (QS Al Aadiyaat: 6-11)

B.4 Ibadah dan Tujuan Penciptaan.

Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalan-amalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacam-macam zikir.

Apakah hakikat ibadah dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan pandangan dunia Al-Quran, setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.

(11)

Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada pertengahan malam menggunakan tangan-tangan kasarnya untuk mengairi perkebunan dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan kehidupannya dan keluarganyam para pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter yang berada di ruang operasi dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang melakukan observasi dan pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran manusia, dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat baginya berada dalam keadaan ibadah.

Ringkasnya, tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk Allah Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan makan, minum, tidur,, hidup dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt, sebagaimana dalam salah satu firman-Nya, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Qs. Ali-Imran: 191)

Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah -yang dalam agama Islam merupakan filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu karakteristik penting yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu agama atau mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam, karakteristik itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk dan melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua. Sementara ibadah dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan dengan upacara doa dan menjalin hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik, ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya. Sesuai dengan firman Allah SWT.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al Baqarah : 208)

B.5. Kondisi terkini terkait Tujuan Penciptaan Manusia

(12)

Sejak Immanuel Kant berhasil mengawinkan rasionalisme dengan empirisme, aliran manusia modren mempunyai kedidagdayaan ampuh yang pervasif(Achsin, 2006, hal.41) . Pengaruh pandangan ini mencengkeram kuat terhadap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan pada masa-masa berikutnya. Pada perkembangan selanjutnya, dengan tangan dingin dan polesan cerdas August Comte manusia modren menjadi lebih kukuh dan kemudian mendominasi jagad pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan(Achsin, 2006, hal.42). Paham Manusia modren laksana virus ganas yang meracuni alam pikiran manusia yang menerobos masuk ke relung-relung pikiran yang terdalam. Comte, memperkokoh bangunan manusia modren itu dengan membuat kriteria baru dan baku. Menurut comte, ilmu pengetahuan harus memiliki dua sifat dasariah yaitu: eksplanatoris dan prediktif. Sebuah ilmu pengetahuan harus bercirikan mampu menjelaskan dan sekaligus menjadi alat prediksi yang akurat. Sebuah ilmu pengetahuan harus pasti, nyata, dan berguna, diluar kedua kriteria itu, ia bukan ilmu pengetahuan.

Untuk menjadi berkriteria seperti itu, Comte kemudian meracik formula baku. Formula itu adalah: Pertama, obyektif dan bebas nilai, berarti harus terjadi dikhotomi tegas antara ‘fakta’ dan nilai. Doktrin ini mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial – netral. Kedua, fenomenalisme (eksplanatoris) artinya semua bentuk yang tidak tampak harus diabaikan, yang berarti semua gejala alam harus dapat dijelaskan dan ketiga, verifikasi-empiris, semesta harus direduksi menjadi fakta-fakta ‘keras’ yang harus dapat diamati secara empiris, indrawi. Keempat, naturalisme berarti semesta adalah objek yang bergerak secara mekanikal – deterministik persis seperti cara bekerjanya jaru mjam. Dengan keempat argumen itu, membuat pengaruh manusia modren mempu menyeruak masuk kemana-mana, menjadi synap ke segala bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia menjadi barometer dan mind-set bagi filosof serta ilmuwan dalam berbagai perkembangan dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada masa berikutnya.

Namun manusia modren dengan prinsip value-free nya itu seperti itu, ternyata ia membawa dampak pola pikir yang destruktif. Pola pikir manusia modren, ternyata menggelincirkan ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan. Sosok manusia pintar, namun tidak bernurani. Paham Manusia modren juga bertanggung jawab atas kekeringan dan kekosongan kekayaan batin manusia yang parah. Pola pikir manusia modren semacam itu, lebih banyak didasarkan atas jebakan pola pikir yang technological minded. Pola pikir ini misalnya adalah, bilamana kita jumpai besi yang putus, patah dan penyok, untuk

(13)

menyambung dan memperbaiki besi itu seperti semula, tentu solusinya hanya dengan cara diteter, dilas, disambung dan dikethok. Tidak mungkin besi itu akan kembali seperti semual melalui do’a yang khusu’ dan berdzikir. Namun, suasana itu akan sangat berbeda sekali dengan keadaan pada saat kita dalam situasi sedang menanam pohon mangga. Mangga itu akan disiram dan kemudian kita tawakkal kepada Yang Maha Kuasa dan kemudian memanjatkan do’a dan berharap mudah-mudahan ia tumbuh subur dan berbuah banyak. Padahal kondisi yang kedua itu, terdapat ‘sesuatu’ yang tidak bisa dikendalikan. (Achsin, 2006, hal.42)

Pola pikiran yang pertama, yang technological minded dan mekanistik itu lah yang menjadi pilihan pandangan kaum positivis. Karena itu, dengan pola pandang manusia modren seperti itu, manusia modren mampu meraih zaman kejayaan yang disebut juga sebagai zaman kebangkitan teknologi dengan ‘revolusi industri’ sebagai monumen dan tonggak bersejarahnya. Sedangkan, pada pandangan yang kedua itu, terdapat sifat transenden dan spiritual serta menyadari bahwa sang diri ini (self) membutuhkan uluran tangan The Other, belaian tangan dan kasih dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Disamping itu, kriteria value free itu juga membuat ilmuwan buta akan kepentingan sesungguhnya yang melandasi tujuan desariah sebuah penelitian ilmiah. Kebutaan itu membuat dominasi teknologi juga semakin menjadi-jadi. Ekses negatif dan dampak perusakan etis yang ditimbulkan oleh teknologi adalah berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan, aborsi, kloning, dan kerusakan moral lainnya. Diktum manusia modren yang terkenal berbunyi: ‘apa saja yang bisa dilakukan, boleh dilakukan’ mengancam eksistensi manusia. Permisifme semacam itu merupakan bentuk pengabadian etika, moralitas, tujuan dan makna hidup dan kehidupan. Lupa terhadap sangkan paraning dumadi, artinya ia lupa asal-usulnya dan kemana manusia akan kembali. Manusia mengalami kesulitan yang luar biasa untuk mengarahkan dirinya dalam suasana manunggal antara kawula dan gusti. Manusia mengalami banyak kendala dalam mendekat dan menyatu, panunggalan dengan Sang Pencipta. Seiring dengan akibat seperti itu, tidak lah salah manakala Triyuwono (2000, hal:43), mengatakan bahwa manusia modren lebih berfokus kepada rasionalitas tujuan dan mengesampingkan rasionalitas nilai. Sebagai akibatnya, Outcomes yang ditawarkan tidak lebih hanyalah sebuah transaksional maksimalisasi “utilitas hedonis” sebagai ruh absolut atau “The Geist”nya. Ruh absolut dalam utilitas hedonis itu, melenyapkan bentuk kesungguhan dan ketabahan dalam diri manusia. Manusia dipaksa untuk berkompetisi dalam suatu

(14)

persaingan demi meraih kemewahan hidup individual yang mengeliminasi sifat asabiyah manusia, seperti rasa persaudaraan yang dilandasi nilai cinta antar sesamanya.

Unsur-unsur normatif yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan hewan, menjadi tereduksi pada titik terendah. Demikian juga sifat asabiyah yang mulia itu, tereliminasi dari diri manusia. Manusia menjadi korban keganasan manusia modren. Disisi lain, diikhotomi terhadap fakta – nilai, juga membuat akal manusia menjadi akal instrumental, menjadi sebuah assesoris dan perangkat saja. Akal yang pada dasarnya mempunyai sifat manipulatif, kalkulatif, dominatif hanya dipergunakan dalam berurusan dengan perangkat teknologi, dan lupa untuk digunakan untuk berfikir mengenai tujuan hidupnya.

Dengan paradigma manusia modren seperti itu sadar atau tidak sadar ia telah melahirkan kerusakan alam dan menggelincirkan akhlak serta budi pekerti manusia. Budi pekerti luhur yang merupakan kekayaan bathiniyah manusia telah dilenyapkan dari nurani hanifah manusia. Nurani hanifah merupakan suatu fitrah untuk berkecenderungan hati dalam berbuat bajik dan bijak, selaras dengan kehendk Tuhan, khalifatullah fil ardh, amigo dei, memberikan rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil alamin, berkesejahteraan bagi universe.

Selaras dengan gambaran manusia modren yang seperti itu, menjadi keprihatinan Mustofa Bisri (Lutfi, 2001, hal : 42). Budayawan dan pemikir, sosok agamawan yang penyair itu mengatakan : apa yang dipahami – tentunya secara salah – oleh banyak orang sebagai modernisme, tarnyata terus membawa manusia kepada kehidupan primitif, manusia modern cenderung mendewakan akalnya dan mengapresiasi keunggulan manusia hanya dinilai dan seberapa tinggi Intelectual Quotient – nya dengan mengesampingkan Emotional Quotient-nya. Akal pikiran yang mendapatkan perhatian berlebih dan tidak diimbangi dengan perhatian terhadap kalbu, telah terbukti membawa malapetaka atau paling sedikit tidak membawa kepada kebahagiaan hidup yang hakiki. Namun, manusia seolah-olah menutup mata terhadap kenyataan ini. Perhatian yang tidak seimbang ini masih terus ngotot dipertahankan. Seperti halnya, pendidikan terus dipertahankan hanya sekedar untuk mencerdaskan otak saja, tanpa memperhatikan hati. Demikian juga, sistem pendidikan hanya sekedar ‘mengajar’ dan tidak ‘mendidik’. Hasilnya adalah, banyaknya orang yang pintar namun tidak terdidik. Pendidikan agama hanya disikapi sebagai ilmu dan organisasi, bukan sebagai amal dan tuntutan hidup. Hafal nama-nama dan sifat Tuhan (asma’ul husna) sudah di anggap ma’rifat. Hafal ayat-ayat dan hadist-hadist saja sudah dianggap ulama mumpuni dan ahli hukum(fuqohaq).

(15)

Uraian Bisri diatas sangatlah berbeda dengan apa yang seharusnya menjadi sifat dasariah manusia. Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta bukan untuk menjadi perusak alam dan penghancur tatanan serta pemuas nafsu ego nya, tetapi untuk beribadah.

C. PENUTUP

Dalam ketidakberesan, carut marut, diskontunuitas seperti yang di uraikan dalam pendahuluan dan masalah terkini atas tujuan penciptaan manusia, islam memberikan tawaran atas tujuan penciptaan manusia. Perpaduan antara Khalifah dan Abdi menjadikan kejeniusan akal dengan kelembutan hati. Otak Jerman-hati Mekkah. Sebuah keniscayaan yang akan mengarah terbentuknya manusia sempurna, manusia sejati , insan kamil

(16)

D. DAFTAR PUSTAKA

Al Quran, Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia Al-Lum’atu al-Baidha, hal. 169.

Achsin, Menyingkap: Dampak Positivisme Terhadap Esensi Penciptaan Manusia, Tema, Vol.7. No.1,Malang, 2006

Ahadits Matsnawi, hal. 172. Din wa Rawon, hal. 154-158 Kalimatullah, hal. 143.

Lutfi, Muhammad Miftahul, Cahaya Kalbu, Duta Ikhwana Salam, Surabaya, 2001 Mehr-e Tobon, hal. 200-202.

Mukhtashar Bashair ad-Darajat, hal. 160. Mustadrak Safinah al-Bihar, J. 8, hal. 215. Niyoyesh, hal. 12.-17

Rasail Kurki, J. 3, hal. 162; Syarh Asma al-HUsna, J. 1, hal. 139. Roh-e Rasm-e Zendegi, hal. 137.

Risalah Liqaullah, hal. 253-254. Risalah Liqaullah, hal. 29-30.

Syarh Ushul Kafi, J. 9, hal. 62; Biharul Anwar, J. 16, hal. 406.

Sumarna, cecep.(2005)Rekonstruksi Ilmu-Dari empirik Rasional Ateistik ke Empirik Rasional Teistik, Benang Merah Press, Bandung

Triyuwono, Iwan, Organisasi dan Akuntansi Syariah, LKIS, Yogyakarta, 2000 Tafsir Al-Mizan, J. 36, hal. 298-302.

Referensi

Dokumen terkait

Jika ketiga lingkungan tersebut dibandingkan dapat dilihat bahwa pada lingkungan dengan interval 5 detik, menghasilkan forwarded route request yang lebih sedikit

Sistem Genital Jantan pada Katak Sawah (Rana cancrivora) Keterangan Gambar : 1.1. Sistem Genitalia Marmut Betina (Cavia porcellus) Keterangan

Selanjutnya dijabarkan pula bahwa esensi konsep agropolitan adalah: (1) memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota (urbanism) pada lingkungan perdesaan, (2) memperluas hubungan

Penerimaan bersih atas biaya variabel (return above variabel cost = RAVC )Penerimaan bersih atas biaya variabel dapat dihutung dengan penyajian sebagai

(2)Sub Seksi Perijinan Atraksi & Aneka Wisata dipimpin oleh seorang Kepala Sub Seksi, mempunyai tugas membantu dan bertanggungjawab kepada Kepala Seksi Perijinan Obyek dan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Pengaruh Pengetahuan Mahasiswa tentang Perbankan Syariah terhadap Minat Menabung pada Perbankan Tersebut di Jurusan

Perusahaan harus cermat dan rinci dalam membuat laporan keuangan terutama yang berkaitan dengan biaya produksi agar tidak terjadi penyimpangan – penyimpangan serta

Suatu wadah untuk mengembangkan kapasitas, serta ilmu dalam bidang Bimbingan dan Konseling agar mampu mempersiapkan diri untuk menjadi konselor yang berkompeten dan