• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Wilayah

Wilayah menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan klasifikasi konsep wilayah yang mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini menurut Rustiadi et al. (2006) adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region). Gambar 1. mendeskripsikan sistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep-konsep wilayah.

Gambar 1. Kerangka klasifikasi Konsep Wilayah (Rustiadi, et al., 2006)

Wilayah Perencanaan/ pengelolaan Sistem/ fungsional Homogen Sistem Sederhana Sistem Kompleks Nodal (Pusat- Hinterland)

Wilayah Administratif Politik Wilayah Perencanaan Khusus

Sistem Sosial -Politik: Cagar Budaya, Wilayah Etnik

Sistem Ekologi: DAS, Hutan, Pesisir Sistem Ekonomi: Kawasan Produksi, Kawasan Industri Budidaya - Lindung Desa - Kota

(2)

Pengembangan Agropolitan

Pengembangan agropolitan menurut Friedmann (1979) memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yaitu untuk menjamin tercapainya keamanan pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Pendekatan kebutuhan dasar dilihat dari segi konsumsi, yang prosedurnya dapat dilakukan dengan mengestimasi kebutuhan dasar dalam perhitungan material yang tepat (kalori, protein, yard dalam pakaian, meter persegi dalam ruang hidup, dll) dan kemudian menghitungnya dengan nilai uang. Unit fundamental dari penentuan kebutuhan dasar, dalam praktek perencanaan dan hubungan yang saling melayani adalah suatu unit teritorial yang cukup besar untuk mencukupi sendiri kebutuhan dasarnya dan cukup kecil untuk pertemuan secara langsung dalam perencanaan dan pembuatan keputusan. Sebagai suatu unit dari suatu sistem yang mencakup produksi, distribusi, dan pengelolaan disebut sebagai agropolitan districts yang mempunyai 20.000 – 100.000 penduduk.

Kota agropolitan akan diorganisasikan dengan prinsip pemenuhan sendiri secara relatif dalam kebutuhan dasar. Ini berarti bahwa karakteristik ekonomi yang ada merupakan campuran antara pertanian dengan industri, tetapi dalam produksi industri mendominasi. Ini juga berarti bahwa kota dalam strukturnya merupakan klaster saling ketergantungan dari unit teritorial di mana distrik mempunyai hubungan dengan level desa. Tergantung pada ukurannya, urban (kota) sebagai suatu keseluruhan mungkin meliputi suatu wilayah atau subwilayah. Secara fisik kota agropolitan tidak berbeda secara nyata dengan daerah perdesaannya. Sebagai suatu unit spasial yang menjadi ciri utamanya adalah kerapatan relatifnya dan struktur ekonomi (Friedmann, 1979).

Sedangkan Ertur (1984) menyatakan bahwa penekanan utama dalam penguatan agropolitan didasarkan pada metode sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas dan diversifikasi pertanian dan agroindustri, 2. Peningkat partisipasi tenaga kerja,

3. Peningkatan permintaan barang dan jasa, 4. Peningkatan inovasi teknologi produksi, 5. Perluasan kapasitas untuk ekspor.

(3)

Pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya agro-processing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal yang penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota.

Kawasan Agropolitan

Definisi agropolitan menurut Rustiadi et al. (2005) adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis) pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan formal. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Sedangkan pengembangan Agropolitan adalah suatu pendekatan pembangunan kawasan perdesaan melalui upaya-upaya menumbuhkan kota-kota kecil berbasis pertanian (agropolis) sebagai bagian dari sistem perkotaan dengan maksud menciptakan pembangunan berimbang dan keterkaitan desa-kota yang sinergis dan pembangunan daerah.

Tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep pembangunan wilayah dan perdesaan adalah:

1. menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang,

2. meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis (saling memperkuat),

3. mengembangkan ekonomi dan lingkungan permukiman perdesaan berbasis aktivitas pertanian,

(4)

5. diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, 6. menciptakan daerah yang lebih mandiri dan otonom,

7. menahan arus perpindahan penduduk perdesaan ke perkotaan secara berlebihan (berkontribusi pada penyelesaian masalah perkotaan),

8. pemulihan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,

Sedangkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik wilayah pengembangan agropolitan antara lain:

Kriteria Agropolitan, yaitu:

1. memiliki daya dukung dan potensi fisik kawasan yang memadai (kesesuaian lahan dan agroklimat),

2. memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan (minimal merupakan sektor basis di tingkat kabupaten/provinsi),

3. luas kawasan dan jumlah penduduk yang cukup memadai untuk tercapainya economic of scale dan economic of scope (biasanya dalam radius 3-10 km, mencakup beberapa desa hingga gabungan sebagian satu hingga tiga kecamatan),

4. tersedianya prasarana dan sarana permukiman yang cukup memadai dalam standar perkotaan,

5. tersedianya prasarana dan sarana produksi yang memadai dan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.

6. adanya satu atau beberapa pusat pelayanan skala kota kecil yang terintegrasi secara fungsional dengan kawasan produksi di sekitarnya,

7. adanya sistem manajemen kawasan dengan ekonomi yang cukup, 8. adanya sistem penataan ruang kawasan yang terencana dan terkendali,

9. berkembangnya aktivitas-aktivitas sektor sekunder (pengolahan), dan tersier (jasa dan finansial),

10. kelembagaan ekonomi komunitas lokal yang kuat, akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi (terutama lahan) mencukupi.

(5)

Kriteria Agropolis (Kota Pertanian Pusat Pertumbuhan), yaitu:

1. sentra permukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal (dengan seluruh bagian di kawasan agropolitan) dan secara eksternal (dengan pusat-pusat perkotaan lainnya)

2. pusat aktivitas pengolahan dan atau pusat distribusi hasil pertanian yang dicirikan dengan pemusatan fasilitas-fasilitas dan institusi sistem agribisnis.

Menurut Sudaryono (2004) agropolitan adalah suatu model pengembangan kawasan yang berbasis pada pertanian dengan mengimplementasikan potensi sumberdaya wilayah yang ada dalam upaya memenuhi permintaan produksi pertanian. Selanjutnya dijabarkan pula bahwa esensi konsep agropolitan adalah: (1) memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota (urbanism) pada lingkungan perdesaan, (2) memperluas hubungan sosial di perdesaan ke luar batas-batas desa sehingga terbentuk suatu ruang sosio-ekonomi dan politik (agropolitan distrik), (3) merupakan kesatuan keluarga, memperteguh rasa aman dan memberi kehidupan pribadi dan sosial dalam membangun masyarakat baru, sehingga keretakan sosial dalam proses pembangunan dapat diperkecil, (4) memadukan kepentingan-kepentingan pertanian dan non pertanian di dalam lingkungan masyarakat yang sama, (5) pengembangan sumberdaya manusia dan alam untuk peningkatan hasil pertanian, pengendalian tata air, pekerjaan umum, jasa-jasa dan industri yang berkaitan dengan pertanian dan (6) merangkai agropolitan distrik menjadi jaringan regional.

Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Teori tempat pemusatan pertama kali dikemukakan oleh Christaller (1933) dalam Hastuti (2001) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung pada spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan. Kecepatan pertumbuhan perkotaan akan sangat tergantung pada upaya untuk menciptakan perkotaan di wilayah yang bersangkutan. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan pusat-pusat wilayah yaitu: 1. Faktor lokasi ekonomi

(6)

2. Faktor ketersediaan sumberdaya

Ketersediaan sumberdaya alam wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut dapat berkembang menjadi pusat.

3. Kekuataan aglomerasi

Kekuatan aglomerasi terjadi karena ada sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk mengelompok pada suatu lokasi karena adanya suatu keuntungan dan selanjutnya akan menyebabkan timbulnya pusat wilayah. 4. Faktor intervensi Pemerintah

Faktor ini merupakan faktor yang sengaja dilakukan (artificial). Intervensi pemerintah tersebut dilakukan dengan memberikan berbagai kemudahan dengan tujuan untuk mengembangkan suatu wilayah menjadi pusat.

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Agropolitan

Ketersediaan infrastruktur adalah hal mutlak dan kekurangannya akan langsung menghambat ekonomi nasional untuk berkembang. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan bangsa. Infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar berputarnya roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan. Semakin tersedianya infrastruktur akan merangsang pembangunan di suatu daerah. Sebaliknya pembangunan yang berjalan cepat akan menuntut tersedianya infrastruktur agar pembangunan tidak tersendat. Infrastruktur berguna untuk memudahkan mobilitas faktor produksi, terutama penduduk, memperlancar mobilitas barang/jasa, dan tentunya memperlancar perdagangan antar daerah. Infrastruktur dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pendistribusian pendapatan antar wilayah. Sebagai contoh pengembangan infrastruktur dasar seperti pendidikan dasar atau kesehatan oleh otoritas publik secara efektif dapat mentransfer kesejahteraan kepada penduduk. Ada korelasi yang kuat antara peningkatan kualitas hidup seperti yang dikembangkan oleh infrastruktur sosial dasar terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Yanuar, 2006).

Winoto dan Siregar (2005) dalam Yanuar (2006) mengemukakan bahwa ketersediaan infrastruktur pertanian/pedesaan dipercaya dapat memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat baik di sektor pertanian

(7)

maupun non pertanian, serta mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun strategi pembangunan infrastruktur di masa lalu yang bersifat top down telah mematikan daya kreativitas masyarakat pedesaan yang berdampak terhadap terabaikan aspek pemeliharaan dan adanya master plan pembangunan sama sekali tidak berakar dari kebutuhan rakyat.

Pengembangan infrastruktur di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian, dan (3) pengembangan infrastruktur pasar dan sistem informasi. Pengembangan infrastruktur pemukiman menjadi penting selain untuk mencegah terjadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akumulasi nilai tambah di dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang tidak perlu pergi ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping kedua aspek di atas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana pemukiman yang meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air bersih, dan sarana transportasi ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan modalnya di kawasan agropolitan yang dikembangkan. Pengembangan infrastuktur sistem produksi pertanian merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infrastruktur sistem produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan), sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi. Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan (P4W, 2004).

Sektor Basis

Sektor atau kegiatan basis adalah kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat-tempat di luar batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang dan jasa mereka kepada orang yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sektor atau kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas

(8)

perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kapasitas pasar sektor non basis bersifat belum berkembang atau bersifat lokal (Glasson,1977).

Analisis basis dan non basis pada umumnya didasarkan atas nilai tambah ataupun lapangan kerja. Di dalam suatu wilayah dapat dihitung berapa besarnya lapangan kerja basis dan lapangan kerja nonbasis, dan apabila kedua angka dibandingkan dapat dihitung nilai rasio basis (base ratio) dan kemudian dapat dipakai untuk menghitung nilai pengganda basis (base multiplier). Rasio basis adalah perbandingan antara banyaknya lapangan kerja nonbasis yang tersedia untuk setiap satu lapangan kerja basis. Besarnya perubahan lapangan kerja total untuk setiap satu perubahan lapangan kerja di sektor basis disebut pengganda basis (base multiplier). Dengan menggunakan ukuran pendapatan maka rasio basis adalah perbandingan antara kenaikan pendapatan di sektor nonbasis untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis. Pengganda basis pendapatan adalah besarnya kenaikan pendapatan seluruh masyarakat untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis. Untuk memilah antara kegiatan basis dan nonbasis dapat digunakan metode langsung, metode tidak langsung, metode campuran, dan metode Location Quotient (LQ) (Tarigan, 2006).

Komoditas Unggulan

Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain:

1. Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Artinya komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan, maupun pengeluaran,

2. Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya,

3. Komoditas unggulan mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi, maupun kualitas pelayanan,

(9)

4. Komoditas unggulan di suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (complementary) baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan baku di wilayah sendiri tidak mencukupi atau tidak tersedia sama sekali),

5. Komoditas unggulan memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi,

6. Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya,

7. Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth), hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). Begitu komoditas unggulan yang satu memasuki tahap kejenuhan/penurunan, maka komoditas unggulan lainnya harus mampu menggantikannya.

8. Komoditas unggulan tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal, 9. Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk

dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, dan fasilitas insentif/disinsentif.

10. Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

(Alkadri et al., 2006).

Sistem Agribisnis

Menurut Downey dan Erickson (1987) dalam Didu (2003) agribisnis mencakup kegiatan dari masukan ke lahan pertanian, pengolahan di lahan pertanian, pengolahan lanjutan, sampai aktivitas pemasaran. Sebagai suatu sistem, agribisnis terdiri dari 5 (lima) subsistem, yaitu: (1) subsistem input pertanian, (2) subsistem produksi atau budidaya, (3) subsistem pengolahan, (4) subsistem pemasaran, dan (5) subsistem pendukung. Sedangkan agroindustri dikemukakan oleh Austin (1992) dalam Didu (2003) adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Agroindustri lebih menitikberatkan pada analisis pemanfaatan produk pertanian sebagai bahan baku untuk diolah menjadi produk yang siap

(10)

dimanfaatkan atau dikonsumsi atau siap diolah lebih lanjut menjadi produk baru oleh suatu lembaga yang dikelola dengan manajeman profesional untuk memasuki pasar baik domestik maupun global.

Akhir-akhir ini agribisnis dipakai sebagai pendekatan pembangunan pertanian di Indonesia. Agribisnis dilihat sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input sampai pemasaran. Pengembangan agribisnis yang berdaya saing di suatu daerah memerlukan dukungan unsur-unsur penting berikut (Hamid, 2003):

1. Unsur-unsur pokok

a. Sumberdaya manusia yang responsif terhadap teknologi dan informasi, berorientasi pada pasar, berpengetahuan dan berketrampilan teknis, memiliki kemampuan manajemen usaha dan bekerja sama, serta mempunyai akses terhadap lembaga ekonomi dan riset,

b. Sarana perhubungan darat (jalan, jembatan), pelabuhan laut, dan transportasi udara perintis (menghubungkan lokasi produksi dengan pasar dan input produksi), sarana irigasi, drainase dan penampungan air, serta energi dan air bersih,

c. Kegiatan penelitian dan pengembangan, penyebarluasan teknologi baru kepada pelaku agribisnis, perbaikan teknologi pembibitan dan budidaya, teknologi

2. Unsur-unsur penunjang :

a. Informasi pasar, informasi potensi wilayah, serta informasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan (varietas unggul, teknik budidaya dan pengolahan, informasi usaha, kredit, kebijakan),

b. Kredit investasi dan modal kerja bagi investor dan petani serta insentif untuk meringankan biaya hidup petani,

c. Kebijakan Pemerintah dalam hal investasi, penataan ruang, subsidi dan insentif, pola pengusahaan, kepastian hukum, penggunaan dan penguasaan lahan, perencanaan makro pengembangan agribisnis.

3. Kelembagaan agribisnis

a. Kelompok tani sebagai wadah kerja sama produksi dan memudahkan mengakses teknologi.

(11)

b. Koperasi sebagai lembaga ekonomi petani untuk meningkatkan efisiensi usaha, mengakses kredit, memperlancar pemasaran, dan meningkatkan kekuatan tawar menawar,

c. Kemitraan antarpelaku agribisnis atas dasar saling menguntungkan, saling percaya dan transparan; perlindungan hukum atas hak, kewajiban, dan perjanjian antar pelaku agribisnis.

Hamid (2003) mengemukakan bahwa agribisnis mencakup juga agroindustri yang mengolah produksi hasil-hasil pertanian maupun industri yang memproduksi masukan-masukan atau prasarana untuk proses produksi/budidaya. Dengan demikian, sektor agribisnis mencakup kegiatan yang sangat luas, tidak hanya mencakup subsektor pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, tetapi juga industri-industri berbahan baku produk pertanian dan industri-industri penghasil produk untuk pengembangan sektor-sektor pertanian (seperti pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, dll).

Persepsi tentang Dampak Pengembangan Agropolitan

Persepsi merupakan suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu obyek psikologi ini dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu (Mar’at, 1981).

Perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya menurut Sarwono (1999) disebabkan oleh: (1) perhatian; rangsangan yang ada di sekitar kita tidak dapat ditangkap secara sekaligus tetapi kita hanya memfokuskan pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan yang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi, (2) Set; adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul misalnya seorang pelari siap di garis start terdapat set bahwa akan terdengar pistol di saat ia harus berlari, (3) Kebutuhan; kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut, (4) Sistem Nilai seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi, (5) Ciri kepribadian, misalnya watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi.

(12)

Indikator Pembangunan

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat kinerja baik tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

Secara umum indikator memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatan/program dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi (Rustiadi, et al., 2006).

Sampai saat ini indikator yang umum digunakan sebagai tolok ukur kemajuan dan pembangunan wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nilai PDRB ini menggambarkan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Dalam skala nasional PDRB dikenal istilah Gross Domestic Bruto (GDP) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Nilai PDRB dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pengukuran nilai PDRB sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang berlaku diperoleh satu wilayah pada akhirnya akan menjadi pendapatan wilayah (Rustiadi et al., 2006).

Pembangunan Ekonomi

Todaro (1998) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan terhadap suatu masyarakat dan sistem sosial menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk itu ada tiga komponen nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis: (1) kecukupan (sustence), adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, (2) jati diri (self-esteem), adalah dorongan diri

(13)

sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, merasa diri pantas dan layak untuk meraih sukses, dan (3) kebebasan dari sikap menghamba (freedom), adalah kemampuan untuk mandiri sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek material saja.

Sedangkan pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensi yang melibatkan proses sosial ekonomi dan institusional yang mencakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sasaran pembangunan meliputi tiga hal penting yaitu: (1) meningkatkan persediaan dan memperluas distribusi bahan-bahan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan, dan perlindungan, (2) meningkatkan taraf hidup, penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan yang lebih baik, serta perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai sosial dan budaya, dan (3) memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu dengan cara membebaskan masyarakat dari sikap perbudakan dan ketergantungan (Todaro, 1998).

Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) adalah suatu proses mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Untuk terlaksananya pembangunan ekonomi daerah tersebut harus ada proses pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan-pengembangan perusahaan baru.

Keragaan perekonomian suatu wilayah dapat diketahui melalui beberapa indikator pembangunan ekonomi, dengan syarat tersedianya statistik pendapatan regional secara berkala. Dari data statistik tersebut nantinya akan diketahui: (1) tingkat pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, di mana akan menunjukkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah baik secara menyeluruh maupun per sektor, (2) tingkat kemakmuran daerah, untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah perlu dilakukan perbandingan dengan daerah lain, sedangkan untuk mengetahui perkembangannya melalui perkembangan pendapatan per kapita secara berkala, (3) tingkat inflasi dan deflasi. Peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat apabila

(14)

diikuti oleh laju inflasi yang tinggi mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima akan menurun dan sebaliknya untuk deflasi. Dalam hal ini inflasi dan diflasi dapat dilketahui berdasarkan PDRB harga konstan dan PDRB harga berlaku, dan (4) gambaran struktur perekonomian, yang dapat diketahui melalui sumbangan dari masing-masing sektor pembangunan terhadap PDRB (Arsyad, 1999).

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi umumnya dihubungkan dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan perbaikan pemerataan (equity). Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap secara otomatis akan menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik antar kelompok masyarakat maupun antar wilayah. Namun demikian banyak bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak bisa memecahkan permasalahan pembangunan yang mendasar seperti kemiskinan dan taraf hidup masyarakat secara luas (Arsyad, 1999).

Perubahan Struktur Ekonomi dan Pertumbuhan Produktivitas Sektor Pertanian

Proses pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan per kapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor kunci ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer khususnya industri pengolahan, perdagangan, dan jasa sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun akan mempercepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu yang lain seperti ketersediaan tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi mendukung proses tersebut. Pola dari perubahan struktur ekonomi seperti ini memang merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses pembangunan atau industrialisasi (Tambunan, 2003).

Chenery dan Syrquin (1975) dalam Tambunan (2003) mengidentifikasi adanya perubahan dalam stuktur perekonomian suatu negara yang bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor primer seperti pertanian, ke sektor-sektor nonprimer seperti industri, perdagangan, dan jasa. Pergeseran ini terjadi mengikuti

(15)

peningkatan pendapatan per kapita yang membuat perubahan dalam pola permintaan konsumen dari makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang industri dan jasa. Pergeseran ini juga disebabkan oleh adanya akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan pertumbuhan industri-industri di daerah perkotaan bersamaan dengan berlangsungnya migrasi penduduk ke kota-kota besar dari daerah perdesaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan ukuran keluarga yang semakin kecil.

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan kondisi absolut atau relatif yang menyebabkan seseorang atau sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural, atau struktural. Berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat digolongkan menjadi kemiskinan alami, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural.

Kemiskinan alami adalah kemiskinan yang disebabkan keterbatasan kualitas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Sebagai akibatnya, sistem produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Menurut BKKBN yang dapat diklasifikasikan sebagai keluarga miskin adalah keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I. Keluarga pra-sejahtera merupakan keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Keluarga sejahtera I didefinisikan sebagai keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut, 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih,

(16)

3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian,

4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah,

5. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/petugas kesehatan. Demikian halnya bila PUS (Pasangan Usia Subur) ingin ber-KB (Kelarga Berencana) dibawa ke sarana/petugas kesehatan dan diberi obat/cara KB modern.

Kelembagaan

Selain dukungan aspek prasarana wilayah, dalam pengembangan wilayah diperlukan juga pengembangan kelembagaan. Kelembagaan (institutional) dalam hal ini dapat merupakan aturan main (rule of game) dan organisasi yang berperan penting dalam mengatur penggunaan sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Paling tidak ada tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan yaitu: (1) batas yuridiksi, yang menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan, (2) property right, yang mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. dan (3) aturan representasi, yang menentukan siapa yang berhak dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya tersebut (Rustiadi, et al., 2006).

Menurut Deptan (2002) dalam pengembangan kawasan agropolitan keberadaan kelembagaan menjadi suatu prasyarat penting yang meliputi kelembagaan ekonomi (pasar), lembaga keuangan, kelembagaan petani (kelompok, koperasi, dan asosiasi), kelembagaan penyuluhan (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP). Selain itu perlu kelompok kerja yang memonitor pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan. Kelompok kerja (Pokja) ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota atau Gubernur bila wilayah kawasan agropolitan merupakan lintas kabupaten/kota. Keberadaan dan peranan kelembagaan tersebut akan menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan.

(17)

Hamid (2003) mengemukakan bahwa kelembagaan petani dalam pengembangan agropolitan penting karena dalam usahatani skala kecil yang memiliki keterbatasan dalam penguasaan aset produktif, modal kerja, posisi tawar menawar, dan kekuatan politik ekonomi. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut diperlukan wadah untuk menggalang persatuan di antara mereka melalui pembentukan organisasi petani lokal. Pengembangan kelembagaan petani juga dibutuhkan dalam pemberdayaan petani agar dapat tumbuh berkembang secara dinamis dan mandiri sebagai langkah di dalam mewujudkan strategi pembangunan perdesaan berbasis agribisnis.

Studi yang terkait dengan pengembangan kawasan Agropolitan

Penelitian yang terkait dengan pengembangan kawasan Agropolitan di antaranya adalah penelitian Baskoro (2006) tentang persepsi masyarakat terhadap program agropolitan di Kabupaten Purbalingga menunjukkan bahwa pemahaman tentang tentang program Pengembangan Agropolitan pada sebagian besar masyarakat masih buruk. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang siginifikan antara lokasi tempat tinggal responden dan komoditas yang dibudidayakan dengan tingkat persepsi masyarakat. Lokasi tempat tinggal terdiri atas desa pusat pertumbuhan dan hinterland, sedangkan komoditas yang diusahakan adalah padi di persawahan, jeruk dan melati gambir di tegalan, ubi kayu dan jagung di tegalan, lada dan buah-buahan di perkebunan. Petani yang berada di pusat pertumbuhan dan membudidayakan komoditas unggulan yaitu melati gambir, lada, dan jeruk mempunyai persepsi yang lebih baik tentang program Pengembangan Agropolitan.

Sofyanto (2006) telah meneliti tentang persepsi petani terhadap kebijakan Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangan agribisnis sayuran di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani di kawasan agropolitan cukup baik. Persepsi petani berhubungan positif dengan jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha tani, penguasaan lahan, motivasi intrinsik, kekosmopolitan dan akses terhadap sumber informasi lain, interaksi petani dengan penyuluh, dan informasi pasar. Persepsi yang baik yaitu tentang manfaat positif program pengembangan agropolitan bagi petani berhubungan positif dengan upaya petani untuk meningkatkan agribisnis sayuran

(18)

yaitu dengan cara kemitraan dengan pengusaha, memperbaiki manajemen usahatani, dan manajemen pemasaran. Faktor internal petani yaitu kekosmopolitan, penguasaan lahan, dan motivasi intrinsik, dan faktor eksternal yaitu informasi pasar dan akses terhadap sumber informasi lain juga berhubungan positif dengan upaya petani untuk meningkatkan agribisnis sayuran.

Gambar

Gambar 1. Kerangka klasifikasi Konsep Wilayah (Rustiadi, et al., 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan konsep diri yang positif diharapkan remaja dapat memanifestasikannya ke dalam bentuk gaya hidup yang lebih baik seperti gaya hidup sehat, dan tidak

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memperkenalkan fasilitas destination spa, dimana pengunjung dapat memperoleh pengalaman baru untuk membantu mengubah gaya hidup tidak

OPPORTUNITY Wilayah terkait memiliki permasalahan terhadap pendidikan formal di sekolah pada umumnya yang tidak sesuai dengan gaya hidup perdesaan,. Sekolah berbasis

Gaya hidup merupakan faktor hipertensi selanjutnya, kebiasaan seperti merokok dan minum-minuman alkohol dapat menyebabkan hipertensi karena rokok dan alkohol mengandung zat

Selanjutnya, Herskovit dalam (Warsani1987:53) juga mengatakan bahwa : kebudayaan adalah bagian dari kebutuhan hidup yang di ciptakan manusia sebagai sesuatu yang superorganik sebab

Berinteraksi langsung dengan kelompok yang memiliki gaya hidup tertentu mungkin dapat memperkuat elemen gaya hidup yang ingin diadopsi, namun tidak menutup kemungkinan

Gaya Hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain.maksudnya adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan

Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu