• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMIRIN TEGUH HARYONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUMIRIN TEGUH HARYONO"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS DI KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU KABUPATEN PEMALANG)

SUMIRIN TEGUH HARYONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Dampak Program Pengembangan Agropolitan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Kabupaten Pemalang) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Sumirin Teguh Haryono NRP. A353060374

(3)

SUMIRIN TEGUH HARYONO. Evaluation to Impact of Agropolitan Development Program to Community Welfare: Case Study in Agropolitan Region in Pemalang Regency). Under direction of NUNUNG NURYARTONO and DIDIT OKTA PRIBADI.

Agropolitan Development program is one of regional development program, has goal to increase welfare of community. To evaluate impact of Agropolitan Development program to regional economic and community welfare has been compared between condition before and after the program in the Agropolitan region and out of region. Data analysis methods for evaluating impact of the program were: development index of district by Regional Development Index, poverty by persentage of pre prosperous and prosperous I household, competitiveness of sector by Shift Share Analyisis (SSA), basic sector by Location Quotient (LQ), income per kapita by GRDP per population, income per farmer household by GRDP of agriculture sector per farmer household, sectoral share of GRDP by persentage of GRDP each sector, relation between perseption of farmers to impact of the program and commodity, activity, and location of farmer live by Chi Square Analysis, relation of elements of perseption by Correspondence Analyisis, factors that influence to perseption by logistic model regression, and role of institution by descriptive analysis.

The results of reseach showed that development index of districts in Agropolitan region increased, but relatively it was not different to out of region. The program could not decrease poverty yet. In the Agropolitan region developed many basic sectors. Share of agriculture sector decreased but still has comparative adventage (basic sector) in the Agropolitan region. Agriculture sector more competitive in the Agropolitan region, similar to competitiveness of manufacturing industry sector. Income per kapita and income per family farmer in the Agropolitan region relatively similar to out of the region. In Agropolitan region horticulture farmers got higher income cause of the program. Perseption of impact of the program had relationship to farmers caracteristic base on commodity. Factors that influence to farmers perseption in the program were age and hight of activity in farmer group. Institution of goverment that manage the region is Pokja Agropolitan has function as coordinator of some services’ activities in the region. The role of Pokja was still under optimal. The farmer’s institution are Asosiasi Petani dan Pedagang Hortikultura (APPH) and Asosiasi Petani Kopi (APEKI) had function to push increasing productivity in agribusiness because the institution buy some agricultural products form the farmers and inform market price to the farmers.

In generally impact of the program was not significant yet. Weakness of the program may be caused of Agropolitan region was too wide and commodities were too much, so activity of the program could not reach all of regions and commodities.

(4)

Agropolitan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Kabupaten Pemalang). Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DIDIT OKTA PRIBADI.

Program Pengembangan Agropolitan sebagai salah satu program pembangunan wilayah mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengevaluasi dampak program Pengembangan Agropolitan terhadap perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat dilakukan perbandingan antara kondisi sebelum dan sesudah pelaksanaan kegiatan di kawasan dan luar kawasan Agropolitan sebagai pembanding.

Metode analisis data yang digunakan untuk mengevaluasi dampak program Pengembangan Agropolitan adalah indeks perkembangan kecamatan dengan analisis Indeks Perkembangan Wilayah, tingkat kemiskinan dengan persentase keluarga pra sejahtera dan sejahtera I, keunggulan kompetitif dengan Shift Share Analysis (SSA), sektor basis dengan analisis Location Quoteint (LQ), pendapatan per kapita dengan membagi PDRB terhadap jumlah penduduk, pendapatan per keluarga petani dengan membagi PDRB sektor pertanian terhadap jumlah keluarga petani, pangsa sektoral PDRB dengan menghitung persentase PDRB setiap sektor, hubungan antara persepsi petani dengan komoditas, aktivitas, dan lokasi tempat tinggal dengan analisis Chi Square, hubungan antara unsur-unsur persepsi dengan Corespondence Analysis, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dengan analisis Logit Model, dan peran kelembagaan dalam Pengembangan Agropolitan dengan analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum indeks perkembangan kecamatan di kawasan Agropolitan meningkat tetapi relatif tidak berbeda dengan di luar kawasan Agropolitan. Tingkat kemiskinan tidak berkurang setelah pelaksanaan program Pengembangan Agropolitan baik di dalam maupun luar kawasan Agropolitan, sehingga program secara relatif belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan.

Di Kawasan Agropolitan terjadi perkembangan sektor basis dari kondisi sebelum pelaksanaan program, terbukti dengan semakin banyaknya sektor yang mempunyai LQ>1. Pangsa sektor pertanian menurun baik di kawasan maupun di luar kawasan Agropolitan, tetapi sektor ini tetap mempunyai keunggulan komparatif (menjadi sektor basis) dengan memusatnya aktivitas sektor pertanian di dalam kawasan Agropolitan. Sektor pertanian semakin kompetitif di dalam kawasan Agropolitan dengan meluasnya tingkat kompetisi dari satu kecamatan menjadi empat kecamatan. Meningkatnya tingkat kompetisi ini diikuti oleh kompetitifnya sektor industri pengolahan di kawasan Agropolitan.

Selama pelaksanaan program ini telah terjadi peningkatan pendapatan per kapita maupun pendapat per keluarga petani di kawasan Agropolitan, tetapi relatif tidak berbeda dengan di luar kawasan. Petani di kawasan Agropolitan merasakan ada peningkatan pendapatan khususnya yang mengusahakan komoditas hortikultura. Tingkat persepsi tentang dampak program Pengembangan Agropolitan terhadap peningkatan pendapatan berhubungan dengan komoditas

(5)

kayuan). Sedangkan berdasarkan karakteristik petani maka peluang untuk memberikan persepsi tentang manfaat Pengembangan Agropolitan yang lebih tinggi terjadi pada petani yang lebih muda dan lebih aktif dalam kegiatan di kelompok tani.

Kelembagaan Pemerintah sebagai pengelola kawasan adalah Pokja Agropolitan telah berperan dalam mengkoordinasi kegiatan yang dilaksanakan di dalam kawasan Agropolitan, namun masih belum optimal. Sedangkan kelembagaan petani yaitu Asosiasi Petani dan Pedagang Hortikultura (APPH) dan Asosiasi Petani Kopi (APEKI) berperan sebagai pendorong petani untuk meningkatkan produksi karena dapat menampung sebagian hasil produksi dan memberikan informasi harga pasar.

Dari indikator perkembangan kecamatan, tingkat kemiskinan, pendapatan per kapita, dan pendapatan per keluarga petani yang relatif tidak berbeda dengan di luar kawasan Agropolitan mungkin diakibatkan dampak tersebut bersifat jangka panjang dan saat ini dalam masa lima tahun dampaknya tersebut belum terlihat nyata. Akan tetapi dampak terhadap pendapatan petani dirasakan khususnya yang mengusahakan komoditas hortikultura sayuran.

Beberapa kelemahan Pengembangan Agropolitan yang muncul dapat diakibatkan oleh terlalu banyaknya komoditas unggulan yang ditetapkan dan skala luasan kawasan yang terlalu luas, sehingga dengan keterbatasan anggaran tidak bisa menjangkau pengembangan seluruh komoditas di semua wilayah secara optimal.

(6)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

KABUPATEN PEMALANG)

SUMIRIN TEGUH HARYONO

Tesis

sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

(8)
(9)

Nama : Sumirin Teguh Haryono

NIM : A353060374

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. Ir. Didit Okta Pribadi, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah, SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah evaluasi dampak program Agropolitan, dengan judul Evaluasi Dampak Program Pengembangan Agropolitan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Kabupaten Pemalang).

Terima kasih penulis ucapkan dan penghargaan yang tinggi kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. dan Ir. Didit Okta Pribadi, M.Si. selaku pembimbing, Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. yang telah banyak memberi saran. Penulis sampaikan terima kasih kepada Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan dan Pemerintah Kabupaten Pemalang yang telah memberikan ijin belajar. Kepada seluruh staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB penulis sampaikan terima kasih atas bekal ilmu dan bantuan administrasi selama studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pokja Agropolitan Kabupaten Pemalang dan para petani responden yang telah menerima dengan terbuka dan membantu dalam pengumpulan data. Tak lupa terima kasih kepada teman-teman mahasiswa PS Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberi dorongan dalam penyelesaian tesis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh keluarga atas pengertian, doa, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

(11)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 7 Oktober 1974 dari ayah bernama (Alm) Sutomo dan ibu bernama Warsini. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara..

Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pemalang dan melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, lulus pada tahun 1999. Tahun 2000 penulis diterima sebagai PNS di Departemen Kehutanan dan Perkebunan dipekerjakan di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) Kabupaten Pemalang. Setelah penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 penulis menjadi staf Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang di dinas yang membidangi kehutanan sampai tahun 2006, saat menempuh pendidikan pascasarjana ini.

Penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascarjana IPB dengan beasiswa diperoleh dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) dan Pemerintah Kabupaten Pemalang.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 5 Manfaat Penelitian ... 6 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah ... 7 Pengembangan Agropolitan ... ... 8 Kawasan Agropolitan ... ... 9

Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan . ... 11

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Agropolitan ... 12

Sektor Basis ... 13

Komoditas Unggulan ... 14

Sistem Agribisnis ... 15

Persepsi tentang Dampak Pengembangan Agropolitan ... 17

Indikator Pembangunan ... 18

Pembangunan Ekonomi ... 18

Perubahan Struktur Ekonomi dan Pertumbuhan Produktivitas Sektor Pertanian ... 20

Kemiskinan ... 21

Kelembagaan ... 22

Studi yang terkait dengan pengembangan kawasan Agropolitan ... 23

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran ... 25

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

Metode Pengumpulan Data ... 28

Metode Analisis ... 30

Analisis Indeks Perkembangan Kecamatan ... 30

Tingkat Kemiskinan Penduduk ... 31

Pendapatan per Kapita ...…….... 32

Pendapatan Keluarga Petani ...….... 32

Pergeseran Keunggulan Kompetitif ... 32

Pergeseran Sektor Basis ... ...…….... 33

Pangsa Sektoral terhadap PDRB ...…….... 34

Analisis Persepsi Petani tentang Dampak Kegiatan Pengembangan Agropolitan terhadap Pendapatan ...…….... 35

(13)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kabupaten Pemalang ... 40

Kawasan Agropolitan Waliksarimadu ... 42

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Indeks Perkembangan Kecamatan ... 50

Tingkat Kemiskinan ... ... 55

Pendapatan per Kapita ... ... 61

Pendapatan per Keluarga Petani ... 66

Pergeseran Keunggulan Kompetitif ... 71

Pemusatan Ekonomi Wilayah ... 75

Pangsa Sektoral terhadap PDRB ... 81

Persepsi tentang Dampak Kegiatan Pengembangan Agropolitan Terhadap Tingkat Pendapatan ... 85

Peran Kelembagaan ... 96

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 104

Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(14)

1 Tujuan, Analisis data, dan Output Penelitian ... 28

2 Variabel-variabel dalam analisis logit model pada fungsi persepsi masyarakat terhadap manfaat kegiatan Pengembangan Agropolitan .... 37

3 Data Kependudukan Kabupaten Pemalang Tahun 2005 ... 41

4 Luas Kawasan Pengembangan Agropolitan …... 43

5 Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan Tahun 2006 ... 43

6 Kelembagaan Petani di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu ... 44

7 Jenis Kegiatan yang Telah Dilaksanakan di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Kabupaten Pemalang ... 45

8 Perubahan Indeks Perkembangan Kecamatan Tahun 2000, 2003, dan 2006 ... 51

9 Tingkat Kemiskinan dalam Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Tahun 2000, 2003, dan 2006 ………...…... 60

10 Hasil Analisis Pendapatan per Keluarga Petani atas Harga Konstan Tahun 2000, 2003, dan 2005 ...………... 70

11 Komponen Share dan Proportional Shift PDRB menurut lapangan usaha Tahun 2000 dan 2003 Kabupaten Pemalang ... 71

12 Komponen Differential Shift PDRB menurut lapangan usaha Tahun 2000 dan 2003 Kabupaten Pemalang ………... 72

13 Komponen Share dan Proportional Shift PDRB menurut lapangan usaha Tahun 2003 dan 2005 Kabupaten Pemalang ... 73

14 Komponen Differential Shift PDRB menurut lapangan usaha Tahun 2000 dan 2005 Kabupaten Pemalang ………... 74

15 Hasil Analisis LQ PDRB menurut lapangan usaha Kabupaten Pemalang Tahun 2000 ……….... 76

16 Hasil Analisis LQ PDRB menurut lapangan usaha Kabupaten Pemalang Tahun 2003 ……….... 77

(15)

18 Hasil Analisis Chi-Square Hubungan antara Aktivitas Petani dengan

Persepsi ... 85

19 Hasil Analisis Chi-Square Hubungan antara Lokasi Tempat Tinggal

dengan Persepsi ... 86

20 Hasil Analisis Chi-Square Hubungan antara Komoditas yang

Diusahakan dengan Persepsi ... 86

21 Tingkat Persepsi Petani berdasarkan Komoditas yang Diusahakan ... 87

22 Hasil Analisis Logit Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Persepsi ... 95

(16)

1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ... 7

2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 27

3 Kerangka Analisis penelitian …..………... 39

4 Peta Kawasan Agropolitan Waliksarimadu ... 42

5 Perubahan Persentase Kemiskinan Rata-rata di Kawasan Agropolitan dan Luar Kawasan Agropolitan ... ... 56

6 Perubahan Persentase Kemiskinan di Kawasan Agropolitan ... ... 57

7 Perubahan Persentase Kemiskinan di luar Kawasan Agropolitan ... 58

8 Perkembangan Pendapatan per Kapita Rata-rata di Kawasan Agropolitan dan Luar Kawasan Agropolitan ... 61

9 Perkembangan Pendapatan per Kapita di Kawasan Agropolitan ... 62

10 Perkembangan Pendapatan per Kapita di luar Kawasan Agropolitan .... 65

11 Perkembangan Pendapatan per Keluarga Petani Rata-rata di Kawasan dan Luar Kawasan Agropolitan ... 66

12 Perkembangan Pendapatan per Keluarga Petani di Kawasan Agropolitan ... 67

13 Perkembangan Pendapatan per Keluarga Petani di luar Kawasan Agropolitan ... 68

14 Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB di Kawasan Agropolitan ... 81

15 Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB di Luar Kawasan Agropolitan ... 82

16 Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB di Kecamatan Moga dan Randudongkal ... 82

17 Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB di Kecamatan Pulosari, Belik, dan Watukumpul ... 83

18 Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB di Kecamatan Warungpring, Bodeh, dan Bantarbolang ... ... 84

(17)

1 Tingkat Kemiskinan di kawasan dan luar kawasan Agropolitan tahun

2000, 2003, dan 2006 ... 110 2 Pendapatan per Kapita di Kabupaten Pemalang Tahun 2000, 2003, dan

2006 ... 116 3 Pangsa Sektoral PDRB setiap kecamatan di Kabupaten Pemalang ... 117 4 Daftar Responden dalam Analisis Hubungan antara Komoditas,

Aktivitas, dan Lokasi Tempat Tinggal dengan Persepsi ... 120 5 Daftar Responden dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Persepsi ... 122 6 Foto-Foto Komoditas Unggulan dan Pembangunan Infrastruktur di

(18)

Latar Belakang

Pembangunan inter-regional yang cenderung urban bias selama ini telah mendiskriminasi terhadap sektor pertanian di wilayah perdesaan. Urban bias terjadi karena kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) malah menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect) (Lipton, 1977). Pembangunan wilayah perdesaan menjadi suatu alternatif untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian agregat nasional agar menjadi lebih efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Salah satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri. Friedman dan Douglass (1975) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara lima puluh ribu sampai seratus lima puluh ribu orang.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2005), agropolitan merupakan model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif) atau tumbuhnya unsur-unsur urbanism, dan menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tidak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, dan pemiskinan desa. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan.

Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Beberapa argumen mengemukakan pandangan bahwa kota-kota kecil dalam skala kecil menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan

(19)

masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Karena itu dalam pengembangan agropolitan keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa - kota kecil - kota menengah - kota besar akan lebih mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa (Rustiadi dan Hadi, 2005).

Pengembangan kota kecil menengah dengan segala fungsi pelayanannya masih merupakan kelemahan utama di negera-negara berkembang. Terbatasnya jumlah kota-kota kecil menengah, terbatasnya distribusi fasilitas dan pelayanan di antara kota-kota kecil menengah di wilayah perdesaan, dan terbatasnya keterkaitan antar lokasi permukiman di wilayah perdesaan menjadi hal yang merugikan bagi perkembangan desa (Rondinelli, 1985). Dengan berkembangnya kota-kota kecil menengah secara positif dapat mendorong perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negara-negara berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negara-negara berkembang sejak tahun 1960, pada dasarnya kurang sesuai dan tidak mencukupi untuk menciptakan efek multiplier. Perkembangan sektor jasa, distribusi, perdagangan, pemasaran, agro-processing, dan berbagai fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kota-kota kecil menengah di wilayah perdesaaan daripada pengembangan industri manufaktur dalam skala besar. Pengembangan agropolitan merupakan langkah yang paling efisien dan efektif dalam upaya mengembangkan wilayah perdesaan dan masyarakatnya karena efek multiplier yang besar dan luas dari sektor pertanian di wilayah perdesaan.

Pengembangan wilayah melalui pendekatan sistem agropolitan menjadi hal yang penting untuk dikembangkan karena: (1) di samping memiliki tujuan meningkatkan kapasitas produksi lokal dan nilai tambah melalui pelaksanaan pembangunan pertanian secara terpadu dengan aktivitas pendukung usaha budidaya seperti pengolahan, pemasaran, dan agrowisata; (2) agropolitan dapat menurunkan ketimpangan spasial yang terjadi; (3) menurunkan angka

(20)

pengangguran yang berpendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi) di perdesaan; (4) dapat memfasilitasi pembangunan sektoral (sektor pertanian dan sektor lain) dan pembangunan spasial (perkotaan dan perdesaan) dalam rangka pembangunan perekonomian perdesaan (Harun, 2004).

Mengingat hal tersebut maka Pemerintah pusat dan daerah mengembangkan program Agropolitan yang merupakan strategi pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang disinergikan dengan pendekatan wilayah. Program pengembangan kawasan agropolitan ini awalnya dilaksanakan pada tahun 2002 yang meliputi delapan kabupaten di delapan provinsi. Pada tahun 2003 berlanjut dengan lokasi kegiatan sebanyak dua puluh delapan kabupaten di dua puluh satu provinsi, salah satunya di Kabupaten Pemalang.

Perumusan Masalah

Kegiatan Pengembangan Agropolitan di Kabupaten Pemalang mulai dilaksanakan pada tahun 2003. Kawasan Agropolitan meliputi lima kecamatan yaitu kecamatan Watukumpul, Belik, Pulosari, Moga, dan Randudongkal yang kemudian disebut sebagai kawasan agropolitan Waliksarimadu. Kawasan tersebut merupakan kawasan strategis yang menjadi pengembangan Kabupaten Pemalang bagian selatan.

Salah satu pekerjaan pokok dalam program Pengembangan Agropolitan adalah pembangunan infrastruktur karena ketersediaan infrastruktur merupakan syarat penting dalam pembangunan termasuk dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input maupun pasar outputnya sehingga mampu meminimumkan biaya transportasi dan memfasilitasi proses produksi dengan baik. Dengan demikian pembangunan infrastruktur berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perkembangan suatu wilayah akibat aktivitas ekonomi dapat mendorong urbanisasi dan unsur-unsur urbanism di wilayah yang berkembang. Akibat perkembangan tersebut menuntut pembangunan infrastruktur yang lain sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan infrastruktur di perdesaan dapat meningkatkan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK). Sejalan dengan pengembangan kawasan Agropolitan, maka diharapkan terjadi peningkatan Indeks Perkembangan

(21)

Kecamatan di dalam kawasan agropolitan Waliksarimadu lebih tinggi dibandingkan di luar kawasan.

Pengembangan program Agropolitan yang telah dilaksanakan mampu meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara absolut pendapatan petani masih rendah karena keterbatasan sumberdaya (Rusastra et al., 2005). Salah satu sumberdaya tersebut adalah kepemilikan lahan petani yang umumnya sempit sehingga peningkatan hasil produksi dan pendapatan tersebut mungkin tidak terlalu dirasakan oleh petani. Hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda tentang dampak program pengembangan agropolitan terhadap peningkatan pendapatan mereka. Pada golongan yang lain misalnya petani yang terlibat dalam prosesing, pengolahan, dan perdagangan mungkin dapat merasakan manfaat tersebut akibat peningkatan pendapatan mereka yang lebih besar dibandingkan petani yang hanya terlibat usaha tani (on farm) saja.

Selain itu perbedaan tingkat pendapatan antara petani di wilayah inti (pusat pertumbuhan) dengan daerah transisi dan hinterland juga menyebabkan perbedaan persepsi tentang manfaat Agropolitan. Sebagaimana hasil penelitian Baskoro (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lokasi tempat tinggal petani dan komoditas yang dibudidayakan terhadap tingkat persepsi, yaitu petani yang berada di desa pusat pertumbuhan dan membudidayakan komoditas unggulan cenderung mempunyai persepsi yang lebih baik tentang program pengembangan Agropolitan.

Masalah kelembagaan dianggap merupakan kelemahan yang umum dijumpai di kawasan Agropolitan. Beberapa permasalahan yang terkait dengan kelembagaan adalah ketidakjelasan dan lemahnya organisasi pengelola kawasan, lemahnya kelembagaan petani/produsen, dan kelembagaan pemasaran yang umumnya dikuasai oleh tengkulak dan tidak berpihak kepada petani lokal (Rustiadi et al., 2005).

Kelembagaan petani yang telah berkembang di kawasan Agropolitan Waliksarimadu adalah beberapa kelompok tani dan asosiasi. Kelompok tani yang ada meliputi Kelompok Hamparan Usaha Tani, Kelompok Wanita Tani, Kelompok Taruna Tani, Kelompok Petani Kecil, Klinik Konsultasi Agribisnis, Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S), dan LKM. Asosiasi yang

(22)

berkembang meliputi asosiasi petani kentang, asosiasi petani dan pedagang hortikultura (APPH) sebagai pengelola Sub Terminal Agribisnis (STA), dan koperasi asosiasi. Sedangkan kelembagaan pengelola kawasan Agropolitan Waliksarimadu telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja Agropolitan) yang diketuai oleh Asisten Sekretaris Daerah bidang Ekonomi dan Pembangunan. Banyaknya kelembagaan yang ada diharapkan dapat berperan dalam upaya mencapai tujuan pengembangan kawasan Agropolitan Waliksarimadu.

Program Pengembangan Agropolitan di Kabupaten Pemalang sampai saat ini telah berjalan selama lima tahun. Perkembangan kawasan agropolitan Waliksarimadu dapat dianalisis dari beberapa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan, peningkatan pendapatan petani, dan pengurangan kemiskinan.

Melihat hal tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan infrastruktur dan fasilitas di kawasan Agropolitan berpengaruh terhadap indeks perkembangan kecamatan?

2. Bagaimana pengaruh adanya kawasan Agropolitan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di pedesaan?

3. Bagaimana peningkatan perkembangan ekonomi kawasan dengan adanya Pengembangan Agropolitan?

4. Bagimana persepsi petani tentang dampak kegiatan Pengembangan Agropolitan terhadap peningkatan pendapatan?

5. Bagaimana peran kelembagaan yang ada di kawasan Agropolitan?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis perubahan indeks perkembangan kecamatan dengan adanya perkembangan infrasruktur dan fasilitas di kawasan Agropolitan,

2. Menganalisis perubahan tingkat kemiskinan di kawasan Agropolitan, 3. Menganalisis perkembangan ekonomi di kawasan Agropolitan,

4. Menganalisis persepsi petani tentang dampak kegiatan Pengembangan Agropolitan terhadap tingkat pendapatan.

(23)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan bagi pengambil kebijakan untuk menyempurnakan konsep pengembangan kawasan agropolitan dan implementasinya di daerah pengembangan kawasan agropolitan.

(24)

Konsep Wilayah

Wilayah menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan klasifikasi konsep wilayah yang mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini menurut Rustiadi et al. (2006) adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region). Gambar 1. mendeskripsikan sistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep-konsep wilayah.

Gambar 1. Kerangka klasifikasi Konsep Wilayah (Rustiadi, et al., 2006) Wilayah Perencanaan/ pengelolaan Sistem/ fungsional Homogen Sistem Sederhana Sistem Kompleks Nodal (Pusat- Hinterland)

Wilayah Administratif Politik Wilayah Perencanaan Khusus

Sistem Sosial -Politik: Cagar Budaya, Wilayah Etnik

Sistem Ekologi: DAS, Hutan, Pesisir Sistem Ekonomi: Kawasan Produksi, Kawasan Industri Budidaya - Lindung Desa - Kota

(25)

Pengembangan Agropolitan

Pengembangan agropolitan menurut Friedmann (1979) memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yaitu untuk menjamin tercapainya keamanan pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Pendekatan kebutuhan dasar dilihat dari segi konsumsi, yang prosedurnya dapat dilakukan dengan mengestimasi kebutuhan dasar dalam perhitungan material yang tepat (kalori, protein, yard dalam pakaian, meter persegi dalam ruang hidup, dll) dan kemudian menghitungnya dengan nilai uang. Unit fundamental dari penentuan kebutuhan dasar, dalam praktek perencanaan dan hubungan yang saling melayani adalah suatu unit teritorial yang cukup besar untuk mencukupi sendiri kebutuhan dasarnya dan cukup kecil untuk pertemuan secara langsung dalam perencanaan dan pembuatan keputusan. Sebagai suatu unit dari suatu sistem yang mencakup produksi, distribusi, dan pengelolaan disebut sebagai agropolitan districts yang mempunyai 20.000 – 100.000 penduduk.

Kota agropolitan akan diorganisasikan dengan prinsip pemenuhan sendiri secara relatif dalam kebutuhan dasar. Ini berarti bahwa karakteristik ekonomi yang ada merupakan campuran antara pertanian dengan industri, tetapi dalam produksi industri mendominasi. Ini juga berarti bahwa kota dalam strukturnya merupakan klaster saling ketergantungan dari unit teritorial di mana distrik mempunyai hubungan dengan level desa. Tergantung pada ukurannya, urban (kota) sebagai suatu keseluruhan mungkin meliputi suatu wilayah atau subwilayah. Secara fisik kota agropolitan tidak berbeda secara nyata dengan daerah perdesaannya. Sebagai suatu unit spasial yang menjadi ciri utamanya adalah kerapatan relatifnya dan struktur ekonomi (Friedmann, 1979).

Sedangkan Ertur (1984) menyatakan bahwa penekanan utama dalam penguatan agropolitan didasarkan pada metode sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas dan diversifikasi pertanian dan agroindustri, 2. Peningkat partisipasi tenaga kerja,

3. Peningkatan permintaan barang dan jasa, 4. Peningkatan inovasi teknologi produksi, 5. Perluasan kapasitas untuk ekspor.

(26)

Pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya agro-processing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal yang penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota.

Kawasan Agropolitan

Definisi agropolitan menurut Rustiadi et al. (2005) adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis) pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan formal. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Sedangkan pengembangan Agropolitan adalah suatu pendekatan pembangunan kawasan perdesaan melalui upaya-upaya menumbuhkan kota-kota kecil berbasis pertanian (agropolis) sebagai bagian dari sistem perkotaan dengan maksud menciptakan pembangunan berimbang dan keterkaitan desa-kota yang sinergis dan pembangunan daerah.

Tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep pembangunan wilayah dan perdesaan adalah:

1. menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang,

2. meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis (saling memperkuat),

3. mengembangkan ekonomi dan lingkungan permukiman perdesaan berbasis aktivitas pertanian,

(27)

5. diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, 6. menciptakan daerah yang lebih mandiri dan otonom,

7. menahan arus perpindahan penduduk perdesaan ke perkotaan secara berlebihan (berkontribusi pada penyelesaian masalah perkotaan),

8. pemulihan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,

Sedangkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik wilayah pengembangan agropolitan antara lain:

Kriteria Agropolitan, yaitu:

1. memiliki daya dukung dan potensi fisik kawasan yang memadai (kesesuaian lahan dan agroklimat),

2. memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan (minimal merupakan sektor basis di tingkat kabupaten/provinsi),

3. luas kawasan dan jumlah penduduk yang cukup memadai untuk tercapainya economic of scale dan economic of scope (biasanya dalam radius 3-10 km, mencakup beberapa desa hingga gabungan sebagian satu hingga tiga kecamatan),

4. tersedianya prasarana dan sarana permukiman yang cukup memadai dalam standar perkotaan,

5. tersedianya prasarana dan sarana produksi yang memadai dan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.

6. adanya satu atau beberapa pusat pelayanan skala kota kecil yang terintegrasi secara fungsional dengan kawasan produksi di sekitarnya,

7. adanya sistem manajemen kawasan dengan ekonomi yang cukup, 8. adanya sistem penataan ruang kawasan yang terencana dan terkendali,

9. berkembangnya aktivitas-aktivitas sektor sekunder (pengolahan), dan tersier (jasa dan finansial),

10. kelembagaan ekonomi komunitas lokal yang kuat, akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi (terutama lahan) mencukupi.

(28)

Kriteria Agropolis (Kota Pertanian Pusat Pertumbuhan), yaitu:

1. sentra permukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal (dengan seluruh bagian di kawasan agropolitan) dan secara eksternal (dengan pusat-pusat perkotaan lainnya)

2. pusat aktivitas pengolahan dan atau pusat distribusi hasil pertanian yang dicirikan dengan pemusatan fasilitas-fasilitas dan institusi sistem agribisnis.

Menurut Sudaryono (2004) agropolitan adalah suatu model pengembangan kawasan yang berbasis pada pertanian dengan mengimplementasikan potensi sumberdaya wilayah yang ada dalam upaya memenuhi permintaan produksi pertanian. Selanjutnya dijabarkan pula bahwa esensi konsep agropolitan adalah: (1) memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota (urbanism) pada lingkungan perdesaan, (2) memperluas hubungan sosial di perdesaan ke luar batas-batas desa sehingga terbentuk suatu ruang sosio-ekonomi dan politik (agropolitan distrik), (3) merupakan kesatuan keluarga, memperteguh rasa aman dan memberi kehidupan pribadi dan sosial dalam membangun masyarakat baru, sehingga keretakan sosial dalam proses pembangunan dapat diperkecil, (4) memadukan kepentingan-kepentingan pertanian dan non pertanian di dalam lingkungan masyarakat yang sama, (5) pengembangan sumberdaya manusia dan alam untuk peningkatan hasil pertanian, pengendalian tata air, pekerjaan umum, jasa-jasa dan industri yang berkaitan dengan pertanian dan (6) merangkai agropolitan distrik menjadi jaringan regional.

Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Teori tempat pemusatan pertama kali dikemukakan oleh Christaller (1933) dalam Hastuti (2001) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung pada spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan. Kecepatan pertumbuhan perkotaan akan sangat tergantung pada upaya untuk menciptakan perkotaan di wilayah yang bersangkutan. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan pusat-pusat wilayah yaitu: 1. Faktor lokasi ekonomi

(29)

2. Faktor ketersediaan sumberdaya

Ketersediaan sumberdaya alam wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut dapat berkembang menjadi pusat.

3. Kekuataan aglomerasi

Kekuatan aglomerasi terjadi karena ada sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk mengelompok pada suatu lokasi karena adanya suatu keuntungan dan selanjutnya akan menyebabkan timbulnya pusat wilayah. 4. Faktor intervensi Pemerintah

Faktor ini merupakan faktor yang sengaja dilakukan (artificial). Intervensi pemerintah tersebut dilakukan dengan memberikan berbagai kemudahan dengan tujuan untuk mengembangkan suatu wilayah menjadi pusat.

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Agropolitan

Ketersediaan infrastruktur adalah hal mutlak dan kekurangannya akan langsung menghambat ekonomi nasional untuk berkembang. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan bangsa. Infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar berputarnya roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan. Semakin tersedianya infrastruktur akan merangsang pembangunan di suatu daerah. Sebaliknya pembangunan yang berjalan cepat akan menuntut tersedianya infrastruktur agar pembangunan tidak tersendat. Infrastruktur berguna untuk memudahkan mobilitas faktor produksi, terutama penduduk, memperlancar mobilitas barang/jasa, dan tentunya memperlancar perdagangan antar daerah. Infrastruktur dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pendistribusian pendapatan antar wilayah. Sebagai contoh pengembangan infrastruktur dasar seperti pendidikan dasar atau kesehatan oleh otoritas publik secara efektif dapat mentransfer kesejahteraan kepada penduduk. Ada korelasi yang kuat antara peningkatan kualitas hidup seperti yang dikembangkan oleh infrastruktur sosial dasar terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Yanuar, 2006).

Winoto dan Siregar (2005) dalam Yanuar (2006) mengemukakan bahwa ketersediaan infrastruktur pertanian/pedesaan dipercaya dapat memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat baik di sektor pertanian

(30)

maupun non pertanian, serta mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun strategi pembangunan infrastruktur di masa lalu yang bersifat top down telah mematikan daya kreativitas masyarakat pedesaan yang berdampak terhadap terabaikan aspek pemeliharaan dan adanya master plan pembangunan sama sekali tidak berakar dari kebutuhan rakyat.

Pengembangan infrastruktur di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian, dan (3) pengembangan infrastruktur pasar dan sistem informasi. Pengembangan infrastruktur pemukiman menjadi penting selain untuk mencegah terjadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akumulasi nilai tambah di dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang tidak perlu pergi ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping kedua aspek di atas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana pemukiman yang meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air bersih, dan sarana transportasi ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan modalnya di kawasan agropolitan yang dikembangkan. Pengembangan infrastuktur sistem produksi pertanian merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infrastruktur sistem produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan), sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi. Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan (P4W, 2004).

Sektor Basis

Sektor atau kegiatan basis adalah kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat-tempat di luar batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang dan jasa mereka kepada orang yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sektor atau kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas

(31)

perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kapasitas pasar sektor non basis bersifat belum berkembang atau bersifat lokal (Glasson,1977).

Analisis basis dan non basis pada umumnya didasarkan atas nilai tambah ataupun lapangan kerja. Di dalam suatu wilayah dapat dihitung berapa besarnya lapangan kerja basis dan lapangan kerja nonbasis, dan apabila kedua angka dibandingkan dapat dihitung nilai rasio basis (base ratio) dan kemudian dapat dipakai untuk menghitung nilai pengganda basis (base multiplier). Rasio basis adalah perbandingan antara banyaknya lapangan kerja nonbasis yang tersedia untuk setiap satu lapangan kerja basis. Besarnya perubahan lapangan kerja total untuk setiap satu perubahan lapangan kerja di sektor basis disebut pengganda basis (base multiplier). Dengan menggunakan ukuran pendapatan maka rasio basis adalah perbandingan antara kenaikan pendapatan di sektor nonbasis untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis. Pengganda basis pendapatan adalah besarnya kenaikan pendapatan seluruh masyarakat untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis. Untuk memilah antara kegiatan basis dan nonbasis dapat digunakan metode langsung, metode tidak langsung, metode campuran, dan metode Location Quotient (LQ) (Tarigan, 2006).

Komoditas Unggulan

Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain:

1. Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Artinya komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan, maupun pengeluaran,

2. Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya,

3. Komoditas unggulan mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi, maupun kualitas pelayanan,

(32)

4. Komoditas unggulan di suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (complementary) baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan baku di wilayah sendiri tidak mencukupi atau tidak tersedia sama sekali),

5. Komoditas unggulan memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi,

6. Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya,

7. Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth), hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). Begitu komoditas unggulan yang satu memasuki tahap kejenuhan/penurunan, maka komoditas unggulan lainnya harus mampu menggantikannya.

8. Komoditas unggulan tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal, 9. Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk

dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, dan fasilitas insentif/disinsentif.

10. Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

(Alkadri et al., 2006).

Sistem Agribisnis

Menurut Downey dan Erickson (1987) dalam Didu (2003) agribisnis mencakup kegiatan dari masukan ke lahan pertanian, pengolahan di lahan pertanian, pengolahan lanjutan, sampai aktivitas pemasaran. Sebagai suatu sistem, agribisnis terdiri dari 5 (lima) subsistem, yaitu: (1) subsistem input pertanian, (2) subsistem produksi atau budidaya, (3) subsistem pengolahan, (4) subsistem pemasaran, dan (5) subsistem pendukung. Sedangkan agroindustri dikemukakan oleh Austin (1992) dalam Didu (2003) adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Agroindustri lebih menitikberatkan pada analisis pemanfaatan produk pertanian sebagai bahan baku untuk diolah menjadi produk yang siap

(33)

dimanfaatkan atau dikonsumsi atau siap diolah lebih lanjut menjadi produk baru oleh suatu lembaga yang dikelola dengan manajeman profesional untuk memasuki pasar baik domestik maupun global.

Akhir-akhir ini agribisnis dipakai sebagai pendekatan pembangunan pertanian di Indonesia. Agribisnis dilihat sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input sampai pemasaran. Pengembangan agribisnis yang berdaya saing di suatu daerah memerlukan dukungan unsur-unsur penting berikut (Hamid, 2003):

1. Unsur-unsur pokok

a. Sumberdaya manusia yang responsif terhadap teknologi dan informasi, berorientasi pada pasar, berpengetahuan dan berketrampilan teknis, memiliki kemampuan manajemen usaha dan bekerja sama, serta mempunyai akses terhadap lembaga ekonomi dan riset,

b. Sarana perhubungan darat (jalan, jembatan), pelabuhan laut, dan transportasi udara perintis (menghubungkan lokasi produksi dengan pasar dan input produksi), sarana irigasi, drainase dan penampungan air, serta energi dan air bersih,

c. Kegiatan penelitian dan pengembangan, penyebarluasan teknologi baru kepada pelaku agribisnis, perbaikan teknologi pembibitan dan budidaya, teknologi

2. Unsur-unsur penunjang :

a. Informasi pasar, informasi potensi wilayah, serta informasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan (varietas unggul, teknik budidaya dan pengolahan, informasi usaha, kredit, kebijakan),

b. Kredit investasi dan modal kerja bagi investor dan petani serta insentif untuk meringankan biaya hidup petani,

c. Kebijakan Pemerintah dalam hal investasi, penataan ruang, subsidi dan insentif, pola pengusahaan, kepastian hukum, penggunaan dan penguasaan lahan, perencanaan makro pengembangan agribisnis.

3. Kelembagaan agribisnis

a. Kelompok tani sebagai wadah kerja sama produksi dan memudahkan mengakses teknologi.

(34)

b. Koperasi sebagai lembaga ekonomi petani untuk meningkatkan efisiensi usaha, mengakses kredit, memperlancar pemasaran, dan meningkatkan kekuatan tawar menawar,

c. Kemitraan antarpelaku agribisnis atas dasar saling menguntungkan, saling percaya dan transparan; perlindungan hukum atas hak, kewajiban, dan perjanjian antar pelaku agribisnis.

Hamid (2003) mengemukakan bahwa agribisnis mencakup juga agroindustri yang mengolah produksi hasil-hasil pertanian maupun industri yang memproduksi masukan-masukan atau prasarana untuk proses produksi/budidaya. Dengan demikian, sektor agribisnis mencakup kegiatan yang sangat luas, tidak hanya mencakup subsektor pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, tetapi juga industri-industri berbahan baku produk pertanian dan industri-industri penghasil produk untuk pengembangan sektor-sektor pertanian (seperti pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, dll).

Persepsi tentang Dampak Pengembangan Agropolitan

Persepsi merupakan suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu obyek psikologi ini dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu (Mar’at, 1981).

Perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya menurut Sarwono (1999) disebabkan oleh: (1) perhatian; rangsangan yang ada di sekitar kita tidak dapat ditangkap secara sekaligus tetapi kita hanya memfokuskan pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan yang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi, (2) Set; adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul misalnya seorang pelari siap di garis start terdapat set bahwa akan terdengar pistol di saat ia harus berlari, (3) Kebutuhan; kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut, (4) Sistem Nilai seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi, (5) Ciri kepribadian, misalnya watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi.

(35)

Indikator Pembangunan

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat kinerja baik tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

Secara umum indikator memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatan/program dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi (Rustiadi, et al., 2006).

Sampai saat ini indikator yang umum digunakan sebagai tolok ukur kemajuan dan pembangunan wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nilai PDRB ini menggambarkan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Dalam skala nasional PDRB dikenal istilah Gross Domestic Bruto (GDP) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Nilai PDRB dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pengukuran nilai PDRB sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang berlaku diperoleh satu wilayah pada akhirnya akan menjadi pendapatan wilayah (Rustiadi et al., 2006).

Pembangunan Ekonomi

Todaro (1998) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan terhadap suatu masyarakat dan sistem sosial menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk itu ada tiga komponen nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis: (1) kecukupan (sustence), adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, (2) jati diri (self-esteem), adalah dorongan diri

(36)

sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, merasa diri pantas dan layak untuk meraih sukses, dan (3) kebebasan dari sikap menghamba (freedom), adalah kemampuan untuk mandiri sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek material saja.

Sedangkan pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensi yang melibatkan proses sosial ekonomi dan institusional yang mencakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sasaran pembangunan meliputi tiga hal penting yaitu: (1) meningkatkan persediaan dan memperluas distribusi bahan-bahan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan, dan perlindungan, (2) meningkatkan taraf hidup, penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan yang lebih baik, serta perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai sosial dan budaya, dan (3) memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu dengan cara membebaskan masyarakat dari sikap perbudakan dan ketergantungan (Todaro, 1998).

Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) adalah suatu proses mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Untuk terlaksananya pembangunan ekonomi daerah tersebut harus ada proses pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan-pengembangan perusahaan baru.

Keragaan perekonomian suatu wilayah dapat diketahui melalui beberapa indikator pembangunan ekonomi, dengan syarat tersedianya statistik pendapatan regional secara berkala. Dari data statistik tersebut nantinya akan diketahui: (1) tingkat pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, di mana akan menunjukkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah baik secara menyeluruh maupun per sektor, (2) tingkat kemakmuran daerah, untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah perlu dilakukan perbandingan dengan daerah lain, sedangkan untuk mengetahui perkembangannya melalui perkembangan pendapatan per kapita secara berkala, (3) tingkat inflasi dan deflasi. Peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat apabila

(37)

diikuti oleh laju inflasi yang tinggi mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima akan menurun dan sebaliknya untuk deflasi. Dalam hal ini inflasi dan diflasi dapat dilketahui berdasarkan PDRB harga konstan dan PDRB harga berlaku, dan (4) gambaran struktur perekonomian, yang dapat diketahui melalui sumbangan dari masing-masing sektor pembangunan terhadap PDRB (Arsyad, 1999).

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi umumnya dihubungkan dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan perbaikan pemerataan (equity). Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap secara otomatis akan menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik antar kelompok masyarakat maupun antar wilayah. Namun demikian banyak bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak bisa memecahkan permasalahan pembangunan yang mendasar seperti kemiskinan dan taraf hidup masyarakat secara luas (Arsyad, 1999).

Perubahan Struktur Ekonomi dan Pertumbuhan Produktivitas Sektor Pertanian

Proses pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan per kapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor kunci ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer khususnya industri pengolahan, perdagangan, dan jasa sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun akan mempercepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu yang lain seperti ketersediaan tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi mendukung proses tersebut. Pola dari perubahan struktur ekonomi seperti ini memang merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses pembangunan atau industrialisasi (Tambunan, 2003).

Chenery dan Syrquin (1975) dalam Tambunan (2003) mengidentifikasi adanya perubahan dalam stuktur perekonomian suatu negara yang bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor primer seperti pertanian, ke sektor-sektor nonprimer seperti industri, perdagangan, dan jasa. Pergeseran ini terjadi mengikuti

(38)

peningkatan pendapatan per kapita yang membuat perubahan dalam pola permintaan konsumen dari makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang industri dan jasa. Pergeseran ini juga disebabkan oleh adanya akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan pertumbuhan industri-industri di daerah perkotaan bersamaan dengan berlangsungnya migrasi penduduk ke kota-kota besar dari daerah perdesaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan ukuran keluarga yang semakin kecil.

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan kondisi absolut atau relatif yang menyebabkan seseorang atau sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural, atau struktural. Berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat digolongkan menjadi kemiskinan alami, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural.

Kemiskinan alami adalah kemiskinan yang disebabkan keterbatasan kualitas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Sebagai akibatnya, sistem produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Menurut BKKBN yang dapat diklasifikasikan sebagai keluarga miskin adalah keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I. Keluarga pra-sejahtera merupakan keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Keluarga sejahtera I didefinisikan sebagai keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut, 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih,

(39)

3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian,

4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah,

5. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/petugas kesehatan. Demikian halnya bila PUS (Pasangan Usia Subur) ingin ber-KB (Kelarga Berencana) dibawa ke sarana/petugas kesehatan dan diberi obat/cara KB modern.

Kelembagaan

Selain dukungan aspek prasarana wilayah, dalam pengembangan wilayah diperlukan juga pengembangan kelembagaan. Kelembagaan (institutional) dalam hal ini dapat merupakan aturan main (rule of game) dan organisasi yang berperan penting dalam mengatur penggunaan sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Paling tidak ada tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan yaitu: (1) batas yuridiksi, yang menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan, (2) property right, yang mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. dan (3) aturan representasi, yang menentukan siapa yang berhak dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya tersebut (Rustiadi, et al., 2006).

Menurut Deptan (2002) dalam pengembangan kawasan agropolitan keberadaan kelembagaan menjadi suatu prasyarat penting yang meliputi kelembagaan ekonomi (pasar), lembaga keuangan, kelembagaan petani (kelompok, koperasi, dan asosiasi), kelembagaan penyuluhan (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP). Selain itu perlu kelompok kerja yang memonitor pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan. Kelompok kerja (Pokja) ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota atau Gubernur bila wilayah kawasan agropolitan merupakan lintas kabupaten/kota. Keberadaan dan peranan kelembagaan tersebut akan menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan.

(40)

Hamid (2003) mengemukakan bahwa kelembagaan petani dalam pengembangan agropolitan penting karena dalam usahatani skala kecil yang memiliki keterbatasan dalam penguasaan aset produktif, modal kerja, posisi tawar menawar, dan kekuatan politik ekonomi. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut diperlukan wadah untuk menggalang persatuan di antara mereka melalui pembentukan organisasi petani lokal. Pengembangan kelembagaan petani juga dibutuhkan dalam pemberdayaan petani agar dapat tumbuh berkembang secara dinamis dan mandiri sebagai langkah di dalam mewujudkan strategi pembangunan perdesaan berbasis agribisnis.

Studi yang terkait dengan pengembangan kawasan Agropolitan

Penelitian yang terkait dengan pengembangan kawasan Agropolitan di antaranya adalah penelitian Baskoro (2006) tentang persepsi masyarakat terhadap program agropolitan di Kabupaten Purbalingga menunjukkan bahwa pemahaman tentang tentang program Pengembangan Agropolitan pada sebagian besar masyarakat masih buruk. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang siginifikan antara lokasi tempat tinggal responden dan komoditas yang dibudidayakan dengan tingkat persepsi masyarakat. Lokasi tempat tinggal terdiri atas desa pusat pertumbuhan dan hinterland, sedangkan komoditas yang diusahakan adalah padi di persawahan, jeruk dan melati gambir di tegalan, ubi kayu dan jagung di tegalan, lada dan buah-buahan di perkebunan. Petani yang berada di pusat pertumbuhan dan membudidayakan komoditas unggulan yaitu melati gambir, lada, dan jeruk mempunyai persepsi yang lebih baik tentang program Pengembangan Agropolitan.

Sofyanto (2006) telah meneliti tentang persepsi petani terhadap kebijakan Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangan agribisnis sayuran di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani di kawasan agropolitan cukup baik. Persepsi petani berhubungan positif dengan jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha tani, penguasaan lahan, motivasi intrinsik, kekosmopolitan dan akses terhadap sumber informasi lain, interaksi petani dengan penyuluh, dan informasi pasar. Persepsi yang baik yaitu tentang manfaat positif program pengembangan agropolitan bagi petani berhubungan positif dengan upaya petani untuk meningkatkan agribisnis sayuran

(41)

yaitu dengan cara kemitraan dengan pengusaha, memperbaiki manajemen usahatani, dan manajemen pemasaran. Faktor internal petani yaitu kekosmopolitan, penguasaan lahan, dan motivasi intrinsik, dan faktor eksternal yaitu informasi pasar dan akses terhadap sumber informasi lain juga berhubungan positif dengan upaya petani untuk meningkatkan agribisnis sayuran.

(42)

Kerangka Pemikiran

Kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung urban bias telah mendiskriminasi terhadap sektor pertanian di wilayah perdesaan. Kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) malah menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Antara desa dan kota justru terjadi hubungan yang saling memperlemah. Hal ini semakin menyebabkan disparitas antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Upaya untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian dilaksanakan program pembangunan wilayah perdesaan, salah satunya dengan Pengembangan Agropolitan. Kabupaten Pemalang merupakan salah satu lokasi pengembangan agropolitan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003. Untuk mengetahui keberhasilan pengembangan kawasan Agropolitan maka perlu dievaluasi dengan beberapa indikator yang ada.

Indeks Perkembangan Kecamatan merupakan salah satu indikator pembangunan yang ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur di desa-desa dalam suatu kecamatan karena infrastruktur merupakan syarat perlu (necessary condition) dalam pembangunan. Pembangunan infrastruktur di perdesaan memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input maupun pasar outputnya sehingga diharapkan dapat meminimumkan biaya dan memfasilitasi proses produksinya. Semakin tersedianya infrastruktur akan merangsang pembangunan di suatu daerah. Sebaliknya pembangunan yang berjalan cepat akan menuntut tersedianya infrastruktur agar pembangunan tidak tersendat. Pekembangan perekonomian perdesaan juga menuntut tersedianya infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Prasyarat lain dalam pengembangan kawasan Agropolitan adalah adanya kelembagaan yang memadai khususnya kelembagaan ekonomi (pasar), lembaga keuangan, kelembagaan petani (kelompok, koperasi, dan asosiasi), kelembagaan

(43)

penyuluhan (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP), dan Kelompok Kerja (Pokja) Agropolitan.

Indikator lain dalam keberhasilan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya di kawasan Agropolitan. Peningkatan ini dapat berlangsung sebagai akibat dari perkembangan perekonomian perdesaan yang ditekankan pada aktivitas agribisnis. Kawasan agropolitan dapat mendorong petani untuk berpindah dari pola pertanian subsisten menjadi komersial sehingga dapat meningkatkan berputarnya roda perekonomian di perdesaan. Dengan demikian petani sebagai pelaku utama produksi pertanian diharapkan dapat meningkat pendapatannya.

Pada kenyataannya peningkatan pendapatan petani secara absolut masih rendah karena keterbatasan sumberdaya khususnya kepemilikan lahan petani yang umumnya sempit sehingga peningkatan hasil produksi dan pendapatan tersebut mungkin tidak terlalu dirasakan oleh petani. Sumberdaya lain yaitu modal usaha tani yang rendah juga menyebabkan rendahnya tingkat produksi mereka. Hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda tentang dampak program pengembangan agropolitan terhadap peningkatan pendapatan. Pada golongan lain misalnya petani yang terlibat dalam prosesing, pengolahan, dan perdagangan mungkin dapat merasakan manfaat tersebut akibat peningkatan pendapatan mereka yang lebih besar dibandingkan petani yang hanya terlibat di usaha tani (on farm) saja.

Dengan peningkatan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi kawasan diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan penduduk di kawasan Agropolitan. Dengan demikian diharapkan tujuan program pengembangan kawasan Agropolitan dapat tercapai.

(44)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan Agropolitan Pembangunan Pedesaan Latar Belakang:

- Kebijakan Pembangunan yang urban bias - Disparitas perkotaan dan perdesaan - Hubungan perkotaan dan perdesaanyang

saling memperlemah

Beberapa Tujuan Kegiatan:

1. Meningkatkan Indeks Perkembangan Kecamatan 2 Mengurangi tingkat kemiskinan

3 Meningkatan perkembangan ekonomi kawasan 4 Meningkatkan pendapatan petani

5 Berkembangnya kelembagaan

Evaluasi terhadap: 1. Indeks Perkembangan Kecamatan 2. Tingkat kemiskinan

3. Perkembangan ekonomi kawasan

4. Persepsi Petani tentang dampak kegiatan terhadap pendapatan petani

5. Peran kelembagaan di dalam kawasan Agropolitan Faktor Eksternal

(Intervensi )

- Faktor Internal - Kelembagaan Petani - Kelembagaan Lokal

(45)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengambil lokasi di Kawasan Agropolitan di Kabupaten Pemalang provinsi Jawa Tengah, dilakukan dari bulan September 2007 sampai Februari 2008.

Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik dari BPS dan data primer dengan melakukan wawancara mendalam dan penyampaian kuesioner kepada responden.

Tabel 1. Tujuan, Analisis Data, dan Output Penelitian

TUJUAN ANALISIS JENIS DATA SUMBER

DATA OUTPUT Menganalisis indeks perkembangan kecamatan Analisis Indeks Perkembangan Kecamatan Infrastruktur dan fasilitas kecamatan tahun 2000, 2003, dan 2006 Data Podes dari BPS Pusat tahun 2000, 2003 dan 2006 Perubahan Indeks Perkembangan Kecamatan di Kawasan Agropolitan Menganalisis tingkat kemiskinan Analisis Tingkat Kemiskinan Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I tahun 2000, 2003, dan 2006 Data Podes dari BPS Pusat tahun 2000, 2003 dan 2006 Perubahan Tingkat Kemiskinan Penduduk di kawasan Agropolitan Pendapatan per kapita PDRB Kecamatan atas Harga Konstan, Jumlah Penduduk tahun 2000, 2003, dan 2005 BPS Kabupaten Pemalang Perubahan Pendapatan per kapita Menganalisis perkembangan ekonomi kawasan PDRB / keluarga petani PDRB Sektor Pertanian di Kecamatan atas Harga Konstan, Jumlah keluarga petani tahun 2000, 2003, dan 2005 BPS Kabupaten Pemalang, Podes dari BPS Pusat Perubahan Pendapatan per keluarga petani

(46)

TUJUAN ANALISIS JENIS DATA SUMBER DATA OUTPUT Shift Share Analysis (SSA) PDRB Kecamatan atas Harga Konstan tahun 2000, 2003, dan 2005 BPS Kabupaten Pemalang Pergeseran keunggulan kompetitif Location Quotient (LQ) PDRB Kecamatan atas Harga Konstan tahun 2000, 2003, dan 2005 BPS Kabupaten Pemalang Pergeseran Sektor Basis Pangsa Sektoral terhadap PDRB PDRB Kecamatan atas Harga Konstan tahun 2000, 2003, dan 2005 BPS Kabupaten Pemalang Pergeseran Pangsa Sektoral PDRB Analisis Chi Square Tingkat Persepsi, Karakteristik Petani Kuisioner Hubungan antara jenis komoditas, lokasi tempat tinggal, dan aktivitas terhadap tingkat persepsi, Analisis Koresponden Tingkat Persepsi, Karakteristik Petani, Unsur-Unsur Persepsi Kuisioner Asosiasi Unsur-Unsur Persepsi dengan Komoditas, Aktivitas, dan Lokasi Tempat Tinggal Menganalisis persepsi petani tentang dampak Pengembangan Agropolitan terhadap peningkatan pendapatan Binomial Logit Model Tingkat Persepsi, Karakteristik Petani Kuisioner Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, Menganalisis peran keragaan kelembagaan yang ada di kawasan Agropolitan Analisis Deskriptif Peran kelembagaan Wawancara, Peraturan-Peraturan Peran kelembagaan

(47)

Metode Analisis

1. Analisis Indeks Perkembangan Kecamatan

Analisis ini digunakan untuk mengetahui perubahan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di kawasan Agropolitan. Kegiatan pengembangan Agropolitan diharapkan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur dan fasilitas karena peningkatan aktivitas ekonomi. Fasilitas yang diharapkan berkembang mencakup 3 kelompok utama yaitu:

a. Prasarana Pemerintahan dan Pelayanan meliputi fasilitas pelayanan umum (terminal, alun-alun, lapangan terbuka, taman bermain, lapangan sepak bola, kolam renang), kesehatan (RS, RS Bersalin, Poliklinik, Balai Pengobatan, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, tempat praktek dokter, tempat praktek bidan, Posyandu, Polindes, Apotek, dan toko khusus obat/jamu), pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), dan lembaga ketrampilan.

b. Prasarana Perekonomian meliputi fasilitas pasar (pasar permanen/semi permanen, pasar tanpa bangunan permanen), pertokoan (supermarket/ pasar swalayan, toserba, mini market), perbankan (bank umum, bank perkreditan rakyat, Koperasi Unit Desa, Koperasi non KUD), telekomunikasi (jaringan telepon, wartel/kiospon, kantor pos, kantor pos pembantu, pos keliling), hotel/penginapan, restoran/rumah makan/ kedai makanan/minuman.

c. Prasarana Kemasyarakatan meliputi fasilitas ibadah (mesjid, surau/langgar, gereja kristen/katolik).

Data yang dipergunakan bersumber dari data Potensi Desa (PODES) untuk Kawasan Agropolitan tahun 2000, 2003 dan 2006 yang dikeluarkan oleh BPS. Langkah-langkah dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut:

a. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah prasarana di dalam unit-unit kecamatan.

b. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horisontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit kecamatan

Gambar

Gambar 1. Kerangka klasifikasi Konsep Wilayah (Rustiadi, et al., 2006)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran PenelitianPengembanganAgropolitanPembangunanPedesaanLatar Belakang:
Gambar 3. Kerangka Analisis PenelitianDataInfrastrukturdan fasilitaskecamatanAnalisis IndeksPerkembanganWilayah Kuisioner Persepsi tentangprogramAgropolitanterhadap tingkat
Gambar 4 Peta Kawasan Agropolitan Waliksarimadu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia,tetapi

yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan ( fault liability, liability based

Kerjasama dan musyawarah merupakan kebiasaan yang baik yang harus dilakukan oleh semua anggota organisasi agar tujuan dan kepentingan bersama dalam organisasi dapat tercapai

[r]

Dari hasil kajian penelitian dapat dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan yang memiliki pengaruh positif dan signifikan tinggi rendahnya terhadap motivasi karyawan Divisi SDM PTBA secara

Hasil dari penelitian tentang interpretasi bawah permukaan yang berdasarkan karakteristik kelistrikan bumi di daerah Balangan adalah berupa grafik nilai tahanan

Preliminary Study For Ride Dynamics Model of Semar-T Using

a) Syariah samawiyyah terdahulu meraikan keperluan dan masalahah umat pada zaman tersebut. Syariah-syariah yang datang selepas itu diturunkan dan mengalami beberapa