• Tidak ada hasil yang ditemukan

dengan PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "dengan PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

Disusun oleh

INDAH PRAHITININGTIAS YUNITA IKA SARI

KIKI REZEKI OKTAVIYANI INTAN GANDINI

(2)

A. Pengertian Agresif

Secara Psikologis, agresif berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12).

B. Pengertian Perilaku Agresif

Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan violence.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai berikut:There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and violence.

Dalam hal ini, tidak diperdebatkan apakah sebuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan sebagai perilaku agresif.

(3)

sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya. Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003).

Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.

Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai berikut: “Aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on others”.

Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.

Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai berikut: “Behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”.

Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perilaku Agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.

Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh :

(4)

negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal,rather than to hurt a peer”

Berdasarkan pendapat di atas,sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti maupun merugikan orang lain.

C. Ciri – Ciri Perilaku Agresif

Ciri Perilaku Agresif :Jujur, terbuka namun cara mengungkapkan perasaan tidak tepat,Cenderung memaksakan kehendak,Diliputi rasa marah, menyalahkan,Ingin menjatuhkan orang lain,Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas, salah.

Agresif Merupakan perilaku yang :Mengutamakan kebutuhan, perasaan diri sendiriMengabaikan hak dan perasaan orang lainMenggunakan segala cara, verbal dan non verbal, misal. sinisme, kekerasan

Isi Pikiran agresif :Hanya perduli dengan tercapainya tujuan diriDisertai tanda verbal seperti: suara keras, nada kasar, mata melotot, jari tegang.

Contoh seseorang dengan Perilaku Agresif dalam mengeluarkan pendapat :Bodoh!Pasti kamu tidak percaya!

D. Perilaku agresif pada anak

Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Tidak hanya melihat dari efek negative saja, melainkan ada suatu korelasi positif antara perilaku agresif dan kreativitas.

(5)

kemampuan berpikir divergen dapat dimobilisasi di bawah tekanan situasi dimana agresi verbal atau bahkan fisik yang digunakan secara teknis menutup area otak yang berhubungan dengan berpikir kreatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara agresi verbal dan kefasihan verbal, fleksibilitas dan orisinalitas. Dengan kata lain, Orang yang terlibat dalam agresi verbal dan ancaman agresi fisik memiliki skor tertinggi pada pengukuran orisinalitas fleksibilitas verbal dan figural. Hasil ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan apa yang diketahui tentang agresifitas kimia otak. Menjadi agresif tidak menyebabkan inaktivasi korteks otak yang mengurangi kemampuan kita untuk berpikir kreatif. Tapi tingkat agresi juga memainkan peranan apakah ada atau tidak ketika kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kreatif dalam situasi stres.

Jenis situasi stres yang diamati selama studi oleh Tacher dab Readdick ( 2006 )yang cukup ringan menurut standar adalah ketika situasi ini melibatkan agresivitas antara lain ketika anak-anak berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan posisi terbaik dan berjuang untuk sebuah pengakuan dikelompok bermain. Ketika anak-anak mengancam orang lain dalam situasi stres, mereka datang dengan kognitif bagaimana caranya untuk menghentikan lawan, membuat sikap tubuh untuk mengusir serangan dan menggunakan kemampuan verbal mereka untuk menghentikan perilaku agresif. kegiatan kognitif tersebut merupakan ciri khas berpikir divergen, meskipun satu atau mungkin lebih berpikir agresivitas ini kurang relevan. penggunaan ancaman di kelompok usia ini adalah sesuai dengan tahapan perkembangan.

Di sisi lain, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi anak mengalami gangguan psikologis.

(6)

ditampilkannya. Maka dari itu kita harus mampu mengetahui factor penyebab anak berperilaku agresif.

Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan semacamnya

E. Identifikasi Perilaku Agresif

Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku bila memenuhi persayaratan sebagai berikut .

1. Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa. Misalnya, memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan tidak setuju dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan sebagai perilaku agresif. Atau, bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar, misalnya memukul dengan menggunakan tempat minum.

2. Masalah ini bersifat kronis, artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, tidak menghilang dengan sendirinya.

3. Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya.

Untuk itu, untuk dapat mengetahui anak berperilaku kita harus dapat mengenali gejala serta karakteristik anak yang berperilaku agresif. Perilaku agresif juga dapat ditampilkan oleh anak individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok ( agresif tipe group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak-anak yang bergabung mempunyai masalah yang hampir sama lalu memberikan kesempatan yang sama pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik.

(7)

menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.

Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak lain mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya, ada anak atau sekelompok anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.

Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan yang ditunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya, budaya atau norma sosial. Ketidakmampuan tersebut akan mempengaruhi prestasi sekolah yaitu prestasi akademik, interaksi sosial dan ketrampilan pribadinya. Ketidakmampuan ini sifatnya menetap dan akan lebih tampak bila sang anak berada dalam situasi yang dirasakan menegangkan olehnya

Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan psikologis lain, misalnya ADD ( Attention Deficit Disorder) yaitu gangguan pemusatan pikiran (GPP) atau ADHD ( Attention Dificit and Hyperactive Disorder)yaitu gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ( GPPH) ataupun retardasi mental.

Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan digambarkan karakteristik perilaku agresif menurut Masykouri (2005) :

· Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal.

Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni perilaku agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

(8)

seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima oleh teman-temannya (dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain) dan dianggap sebagai pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif semacam itu biasanya diperkuat dengan didapatkan penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat oleh teman sebaya, atau didapatkannya sesuatu yang diinginkan, termasuk melihat temannya menangis saat dipukul olehnya.

· Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial.

Perilaku anti social sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif. Ancaman secara verbal terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik, pencurian, suka merusak ( vandalis ), kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku panduan diagnostik (dalam Masykouri, 2005: 12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku antisosial ( termasuk agresif ) bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat dalam seseorang secara bersama-sama paling tidak selama enam bulan. Perilaku tersebut sebagi berikut.Mencuri tanpa menyerang korban lebih dari satu kali.Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua.Sering berbohong.Dengan sengaja melakukan pembakaran.Sering bolos sekolah.Memasuki rumah, kantor, mobil, orang lain tanpa izin.Mengonarkan milik oranglain dengan sengaja.Menyiksa binatang.Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian.Sering memulai berkelahi.Mencuri dengan menyerang korban.Menyiksa orang lain.

Meskipun dari ciri-ciri tersebut tampaknya sangat jarang dilakukan anak usia sekolah, namun sebagai orang tua khususnya pendidik, perlu mewaspadai agar perilaku-perilaku tersebut jangan sampai muncul ketika anak beranjak remaja atau masa perkembangan remaja. Jadi seorang pendidik perlu lebih teliti untuk mengenali gejala perilaku yang tidak umum pada anak didiknya sedini mungkin, sehingga kasus tersebut dapat ditangani lebih awal.

(9)

Menurut Buss (Nashori, 2008) yaitu:

1.Perilaku agresif fisik aktif secara langsung.

Misalnya:menusuk,menembak,membunuh.2.Perilaku agresif fisik aktif yang secara tidak langsung.Misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.

3.Perilaku agresif fisik pasif secara langsung.Misalnya tidak memberikan jalan kepada orang lain.

4.Perilaku agresif fisik pasif yang tidak langsung.Misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah orang lain.5.Perilaku agresif verbal aktif secara langsung. Misalnya memaki – maki orang.6.Perilaku agresif verbal aktif tidak langsung, misalnya menyebar gossip.7.Perilaku agresif verbal pasif secara tidak langsung.Misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.

8.Perilaku agresif verbal pasif secara langsung. Misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain tetapi tidak mau mengatakan (memboikot) ataupun tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. F. Perilaku Agresif dalam Pendidikan

Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai menganiaya/membunuh siswanya.Contoh yang lebih konkrit adalah

(10)

antaranya adalah peristiwa tawuran antar pelajar. Sebagai contoh, puluhan siswa SMK Bhakti sedang nongkrong di kampus Universitas Kritsen Indonesia (UKI) Jakarta. Tiba-tiba puluhan siswa SMK Penerbangan menyerang mereka dengan senjata tajam. Akibatnya, seorang siswa menderita luka bacok di kepala dan pahanya dalam tawuran tersebut (Tempointeraktif, 18 Februari 2007).

Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan pendidikan jika tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.

Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi. Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.

(11)

Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan: “These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create interpersonal problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan: “In addition, minor forms of aggressive behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this progression may create an environment in which violence is normatively acceptable”. Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.

G. Penyebab Perilaku agresif

Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya, antara lain:

· Penggunaan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif.

· Penggunaan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif.

· Penggunaan pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian.

(12)

· Penggunaan teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.

Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif.

· Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui pengalaman langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given). Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi).Perilaku akan ditiru bila orang yang ditiru dikagumi dan meniru menimbulkan perasaan bangga (menimbulkan penguatan emosional).

Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu daripada memperhatikan faktor individu itu sendiri.

Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi.

Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).

(13)

menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington&Parke1999).

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.

Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson,dkk,2002).

(14)

Akhir-akhir, banyak dikemukakan teori tentang keterkaitan antara kemampuan emosional dan munculnya psychopathology, utamanya perilaku.

Kemampuan mengatur emosi mempegaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyimpulkan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisai dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi. Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Yanti, 2005). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman, dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya.

(15)

mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.

Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not innately given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi dan melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.

Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani perilaku agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional ternyata menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program tersebut semakin berkurang sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan: “…and the longer they had been in the program, the less aggressive they were as teenagers”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional. Sulit untuk menyusun daftar yang lengkap tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu berhasil dalam interaksi sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri, kesempatan untuk berhasil secara sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks, dan budaya. Namun demikian, menurut Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998),agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial,maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan emosi,dan perilaku yang tampak yaitu:

a.Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.

b.Menangkap dan mengolah informasi mengenai partner sosial dan lingkungan pergaulan yang berpotensi menimbulkan interaksi.

(16)

d.Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau tujuan tindakan tersebut.

e.Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.

Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial yang mereka tafsirkan sebagai permusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.

Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali muncul karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari orang lain yang cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. “… children with aggressive behavior more often make errors interpreting intent in ambiguous social situations and attend selectively to hostile social cues than do their nonaggressive peersb. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk meninjau dari sudut pandang anak lain,untuk memperoleh perasaan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasa-kan oleh orang lain dalam perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.c. Siswa dilibatkan secara langsung untuk mengendalikan amarah melalui skenario-skenario peragaan,misalnya diejek,yang dapat membuat merekamarah dan dituntun untuk mengendalikannya.

d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada asumsi bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat berkomunikasi dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam Bohnert, et al., 2003: 2): “Aggressive symptoms were associated with decreased ability to verbally express negative feelings, exhibit empathy towards others, and display a range of emotion”

Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.

(17)

pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan demikian, siswa yang mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

Menurut Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1. Faktor Biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:

a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

(18)

c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteropada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogendan progresteronmenurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

2. Faktor lingkungan

Yang mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu:

a. Kemiskinan

Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Ya walau harus kita akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak membuatnnya berprilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya.

b. Anoniomitas

(19)

cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identiras diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain.

c. Suhu udara yang panas

Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.

Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992

3. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.

(20)

Marah merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif.

5. Peran belajar model kekerasan

Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.

6. Frustasi

Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh ssesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercap[ai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berprilaku agresi.

7. Proses pendisiplinan yang keliru

(21)

memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Sejak manusia dilahirkan ke dunia ini ia akan melewati beberapa priode kehidupan hingga saat dia sampai ke liang lahad. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, dengan mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan di atas diharapkan dapat diambil manfaat bagi para orangtua, pendidik dan terutama para remaja sendiri dalam berperilaku dan mendidik generasi berikutnya agar lebih baik sehingga aksi-aksi kekerasan baik dalam bentuk agresi verbal maupun agresi fisik dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Khalil Gibran mengatakan bahwa anak adalah ibarat anak panah. Pertanyaannya, sudahkah anak panah ini memperoleh kebebasan untuk mengarahkan kemana yang ia tuju? Ataukah demi gengsi, atau apalah yang lain anak panah itu akan dibawa dan ditancapkan pada sasaran? Remaja adalah sebuah generasi dari suatu peradaban. Karenanya mempunyai peran strategis dalam perencanaan pembangunan dan bahkan pada arah serta pelaku pembangunan itu sendiri. Namun demikian perlakuan yang salah pada remaja baik yang nakal maupun yang tidak oleh para orangtua dan pengambil kebijakan justru akan berakibat semakin buruk pada peradaban bangsa itu.

(22)

Daftar Pustaka

David, Jonathan Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 2005. Koeswara, E, Agresi Manusia. Bandung: PT Erasco. 1998.

Referensi

Dokumen terkait

permasalahan dan merumuskan masalah, tahapan pengumpulan literatur dilakukan dengan mencari referensi-referensi dan penelitian yang sudah pernah dilakukan,

Yang paling sederhana keseimbangan pada sistem jaringan jalan; setiap pelaku perjalanan ketika sudah menemukan rute perjalanan terbaik akan berusaha mencari waktu

If you are running traditional analytics on top of a traditional enter‐ prise data warehouse, it’s going to take you longer to recognize and respond to new kinds of fraud than it

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan desain deskriptif korelatif, yaitu penelitian yang darahkan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan

Jika gejala berupa rasa gatal atau iritasi sudah mulai terjadi pada kulit organ kelamin anda maka bisa jadi ini adalah gejala yang harus segera anda antisipasi supaya tidak semakin

Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis isozim adalah 8 klon bawang putih lokal, yaitu Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Krisik, Tawangmangu, Sanggah, NTT, Saigon,

Perjanjian kerjasama pengelola Sofyan Saka Hotel medan yang dilakukan antara Sofyan Hotel dengan Saka Hotel dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan

Selanjutnya menghubungkan antara indikator biomarker (Hg dalam rambut dan Hg dalam urine) dengan gangguan kesehatan yang muncul di masyarakat di wilayah Kecamatan