BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku
manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan
masyarakat dan negara. Perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh
masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan
“koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi
yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana
yang perlu didekati secara khusus dan diancam dengan pidana yang cukup berat.1
Korupsi secara etimologisberasal dari bahasa latin yakni corruptio atau
corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris
:coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie,
yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Secara
harafiahkorupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat
disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian.2
Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu
tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem
sosial.Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku
1
Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1.
2
tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya
dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain.3Korupsi di
Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan
penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup,
tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi.Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan.4
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang
dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan dan demikian
pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara
defenitif diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.5
Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia
sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi
masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.Korupsi
juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi
sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti
3
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010,hal.1.
4Ibid. 5
oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.Setelah perang dunia
kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang
berkembang.6
Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orangbanyak
serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.Korupsi
semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terusmeningkat dari
tahun ke tahun.Korpusi semakin terpola dan tersistematis sertaterorganisir,
lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintasbatas negara,
korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.7
Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk
kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan tindak pidana korupsi juga dapat dilihat
sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma
sosial lainnya. Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana tergolong
sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya baik terhadap masyarakat, maupun
terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara
adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi
terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan
6
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010, hal.5.
7
pidana. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru
merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar
kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.8
Tindak pidana korupsi disamping dapat merusak mental dan moral bangsa,
juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara dan akibat paling buruk
yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi
pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok
di bawah pemerintahan rezim Kuo Min Tang setelah perang dunia II. Jatuhnya
pemerintahan Republik Tiongkok banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di
kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan.9
Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah
meluluh lantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan
keamanan nasional.Korupsi dalam pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh
instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial.Pola
pemberantasannya harus dilaksanakan secara konprehensif dan bersama-sama oleh
lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat dan individu anggota masyarakat.10
8
Elwi Danil, Op.Cit., hal. 70.
9Ibid
., hal. 71.
10
Korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :11
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin hari makin meningkat.
2. Korupsi dapat terjadi karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
3. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik
akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang
akan mudah melakukan penggelapan keuangan.12
4. Penyebab korupsi ialah modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada
masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas
perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi
yang cepat.
5. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi.
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang
kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun
politik.Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan
pada masalah korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang saat ini
dirasakan semakin pesat perkembangannya seiring dengan semakin maju
11
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 12.
12Ibid
pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan
mendorong untuk melakukan korupsi yang menimbulkan ketidaksejahteraan.13
Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem
pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena
masih membiarkan adanya praktek-praktek pemerintahan di mana kekuasaan
dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat. Perlu penjabaran
lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar
dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek-praktek pemerintahan yang
terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat
secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat
luas dengan berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan
yang maha esa.14
Praktik tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara,
lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari. Untuk itu pemberantasan tindak
pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan
memfungsikan sistem hukum yang ada misalnya perangkat perundang-undangan dan
kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).15
13
Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 24.
14
Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009, hal. 74.
15
Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana
korupsi dapat dilihat dilahirkannya UUPTPK yang membawa suatu perubahan yang
memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan
perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini
mengklasifikasi perbuatan yang dapat dikatakan tindak pidana korupsi.16 Klasifikasi
tindak pidana korupsi diartikan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada
semua sektor terkait keuangan negara maupun perekonomian negara termasuk
didalamnyatindak pidana korupsi pada program konpensasi pengurangan subsidi
bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan, sehingga berpeluang besar untuk
dijadikan lahan korupsi di Indonesia.17
Kasus tindak pidana korupsi di bidang konpensasi pengurangan subsidi bahan
bakar minyak infrastruktur pedesaan dapat dideskripsikan dalam penanganan kasus
yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle) sampai dengan pemidanaan terhadap pelaku yakni tindak pidana korupsi pada pengurangan subsidi bahan bakar minyak
infrastruktur pedesaan dengan modus operandi menyediakan bahan dan peralatan
yang dibutuhkan Legiman dalam pembangunan perkerasan jalan Desa dan membuat
bon-bon fakur pemakaian bahan material. Adapun deskripsi terjadinya tindak pidana
korupsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
16
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988, hal. 22-23.
17
Sesuai kesepakatan dalam dokumen kontrak (perjanjian kerjasama
operasioanal) No.84/PKPS BBM-IP/2005 tanggal 14 September 2005 antara saksi
Legiman sebagai ketua organisasi masyarakat setempat Nagori Sidotani (selaku pihak
ke-II) yang melakukan kerjasama operasional dengan terdakwa Bonar Zeitsel
Ambarita direktur CV Bona Lestari pengusaha pengadaan bahan/peralatan (selaku
pihak ke-III). Bonar selaku direktur CV Bona Lestrari melakukan penyediaan bahan
dan peralatan yang dibutuhkan oleh saksi Legiman di alokasi pekerjaan seperti : pipa
air minum, mesin pompa, batu pecah, batu padas, batu bata, semen, pasir, besi beton,
aspal, seng, kayu, mesin gilas, dumptruk, graider, excavator, traktor, buldozer, dan
material beserta peralatan lain yang dibutuhkan.
Bersamaan dengan menyerahkan segala dokumen pendukung/bukti pengadaan
atau penyediaan bahan/peralatan dari pihak ke-II serta pembayaran harga
bahan/peralatan didasarkan kepada berita acara pemeriksaan atau bukti serah terima
bahan/peralatan dan pembayarannya bersumber dari Dana PKPS BBM IP
Desa/Nagori Sidotani dengan jangka waktu pelaksanaan pengadaan bahan/peralatan
sejak tanggal 12 September 2005 sampai dengan 12 Desember 2005.
Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) No. 84/PKPS
BBM-IP/2005 tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita meminta buku tabungan
Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani kepada saksi Legiman sebagai jaminan.
Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut terdakwa Bonar Zeitsel
Ambarita mendahulukan penyediaan bahan- bahan, material yang diperlukan serta
Pembangunan di Nagori Sidotani dengan dana yang bersumber dari Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Infrastruktur
Pedesaan (PKPS BBM-IP) T.A 2005 dengan cara melibatkan warga masyakarat
Nagori Sidotani dengan dikoordinir oleh para Gamot/Kepala Dusun masing-masing
Huta di Nagori Sidotani (swakelola).Setelah penandatanganan surat Perjanjian
Kerjasama Operasional (KSO) tersebut terdakwa Bonarlangsung mengantarkan bahan
material dimasing-masing huta sesuai dengan peta lokasi kegiatan pembangunan
perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani dengan membuat tanda terima penyerahan
bahan material dari CV Bona Lestari dengan para Gamot masing-masing huta.
Bonar selaku direktur CV Bona Lestari mengeluarkan beberapa faktur-faktur
dan tanda terima barang tanpa diketahui oleh saksi Legiman dan tercatat dalam buku
catatan harian tentang jumlah bahan material yang telah diterima dilokasi kegiatan
dalam pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani tersebut. Bonar membuat
bon-bon faktur pemakaian bahan material berupa batu padas, pasir dan semen
seolah-olah bon-bon faktur tersebut telah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan hal ini bertentangan dengan surat perjanjian rincian-rincian
bon-bon faktur tersebut.
Berdasarkan perbuatan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita memperkaya diri
sendiri dengan cara mengeluarkan bon-bon faktur yang tidak sesuai dengan keadaan
yang terpasang dilapangan mengakibatkan terjadi kerugian Negara sebesar Rp.
106.458.556,46 (seratus enam juta empat ratus lima puluh delapan ribu lima ratus
dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang dituangkan
dalam surat No. R-3280/PW02/5/2007, tanggal 30 Oktober 2007 tentang laporan
hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi
kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2005.
Kerugian tersebut terjadi karena di dalam kegiatan pembangunan di Nagori
Sidotani tersebut ditemukan adanya kekurangan fisik lapangan yang tidak dikerjakan
sebesar Rp. 7.148.566,46 (tujuh juta seratus empat puluh delapan ribu lima ratus
enam puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen) dan adanya kelebihan
pemakaian bahan sebesar Rp. 99.310.000,00 (sembilan puluh sembilan juta tiga ratus
sepuluh ribu rupiah).
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/
PN.SIM terdakwa Bonar terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana
dakwaan subsidair yakni korupsi secara bersama sebagaimana diancam dalam Pasal 3
Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan terhadap
putusan Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Simalungun
tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.
50/PID/2011/PT-MDNdan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan menyangkut dakwaan primair
dinyatakan oleh Majelis Hakim tidak terbukti sebagaimana diancam dengan Pasal 2
pertimbangan Majelis Hakim yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau oranga lain
atau suatu korporasi tidak terpenuhi, walaupun menurut jaksa penuntut umum unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi sehingga seharusnya
dakwaan primair yang terbukti bukan dakwaan subsidair.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi
Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011).
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini
berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi
menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimanatindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID. B/2009/ PN.
SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan
Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana dalam tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.
709/ PID. B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.
50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca
dan orang lain. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum
pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah
program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan
dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan
literatur dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kepustakaan serta
perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam program konpensasi
pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini
sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
masyarakat pada umumnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang
berlaku dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak
infrastruktur perdesaan.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan judul yang
sama dengan judul penelitian ini. Beberapa penelitian yang mengkaji tentang
Pertanggungjawaban Tindak Pidana, diantaranya yaitu :
1. Yushfi Munif Nasution, 2008, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan.
2. Nurhafifah, 2006, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Oleh
Pengurus Yayasan Terhadap Penyalahgunaan Dana Kekayaan Yayasan.
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannya
juga dapat dipertanggungjawabkan karena dilakukan dengan kejujuran, rasional, dan
objektif.
1. Kerangka Teoretis
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan
teoretis.18Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang berguna untuk mencari
pemecahan suatu masalah. Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan
peristiwa huku m yang terjadi. Teori huku m dalam sebuah penelitian sebagai pisau
analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam
masalah penelitian.19
1. Teori pertanggungjawaban pidana
Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-baarheid, criminal responsibility, criminal liability.Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya.20
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang
akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.21
18
M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80.
19
Mukti Fajar Nur Dewanta dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 16.
20
S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal. 245.
21
Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal. 79.
atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filososf besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa I … use simple word “liability” for the situation where by one may exact legally and other is legally subjected to the exaction. Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari
seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak
hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah
nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.22
Adanya tindak pidana pada dasarnya adalah asas legalitas “nullum delectum sine previa lege poenali” sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah kepada orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhkan, tergantung pada soal apakah dalam melakukan
perbuatannya itu sipelaku juga mempunyai kesalahan.23
Hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan
(geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan
tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di
dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan
22Ibid. 23Ibid,
hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
tersebut.24
Tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut adalah subjek hukum
yang dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung
dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan
ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu.
Tindak pidana dalam hal ini dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi
pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang
memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun
orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut.25
Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi
perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga
mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi
perusahaan tersebut secara bersama-sama. Berbagai perumusan tindak pidana dalam
KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa) yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut
prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas culpabilitas.26
24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 171.
25Ibid. 26
2. Teori sistem pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti
yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.27
Pembuktian dalam hukum pidana merupakan suatu sistem yang berada dalam
kelompok hukum pidana formal (hukum acara). Sistem hukum pembuktian ini
mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat-alat bukti untuk selanjutnya
dilakukan suatu penyelesaian dengan perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa
untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya
terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 28 Sistem
pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan
peraturan perundang-undangan (negatief wettelijk overtuiging). Sistem pembuktian ini berlandaskan hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa
berdasarkan keyakinan hakim dengan alat bukti yang sah berdasarkan
undang-undang. 29
27
Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Sofmedia, Medan, 2014, hal. 154.
28Ibid
., hal. 155.
29
Keyakinan hakim ini harus didasari dengan minimum 2 alat bukti
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
melakukannya”.30
Hukum pembuktian korupsi khususnya mengenai pembebanan pembuktian
ada perbedaan dengan ketentuan pada KUHAP, yakni dalam hal-hal tertentu dan
tindak pidana tertentu terdapat penyimpangan, beban pembuktian tidak mutlak pada
jaksa penuntut umum tetapi ada pada terdakwa atau kedua belah pihak yakni jaksa
penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan (sistem pembuktian semi terbalik).
Jaksa membuktikan terdakwa bersalah, artinya secara positif sedangkan terdakwa
atau penasihat hukum membuktikan tidak bersalah, atau secara negatif.Membuktikan
tindak pidana korupsi selain menggunakan sistem semi terbalik, sistem pembebanan Hukum pembuktian perkara pidana dalam KUHAP, pihak yang wajib
membuktikan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan
berada pada pihak jaksa penuntut umum. Pihak terdakwa pasif, dalam arti untuk
menolak dakwaan dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya.
Membuktikan tentang kesahalan terdakwa bagi jaksa sifatnya imperatif, namun
pembuktian tersebut bukanlah bersifat final.
30Ibid
biasa pada jaksa penuntut umum juga tetap berlaku.Maksud sistem biasa adalah
pembebanan pembuktian pada jaksa penuntut umum, seperti pada KUHAP.31
Hukum pembuktian tindak pidana korupsi ternyata sistem pembuktiannya
menentukan tidak melulu pada jaksa penuntut umum, tetapi dalam hal didakwa selain
tindak pidana korupsi juga harta benda terdakwa, maka beban pembuktian juga pada
terdakwa, artinya pada kedua pihak.Pembuktian ini disebut sebagai sistem semi
terbalik atau disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik. Pembebanan
pembuktian pada sistem semi terbalik atau pembuktian berimbang terbalik, adalah
pembuktian in casu membuktikan kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya, beban pembuktiannya berada pada terdakwa atau penasihat hukum
dan sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan, maka keadaan tidak
berhasil membuktikan itu akan digunakan oleh jaksa penuntut umum untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.32
2. Kerangka Konseptual
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
31
Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hal. 9.
32Ibid
analisis.33Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan
dalam tulisan ini. Kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari
hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.34
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Suatu
penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak
menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational definition).Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 35
a. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang
mana larangan tersebut disertai sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.
Berdasarkan landasan konsepsional tersebut maka agar terdapat persamaan
persepsi mengenai defenisi atau pengertian yang digunakan dalam penelitian ini,
digunakan beberapa defenisi operasional sebagai berikut :
36
b. Pertanggungjawaban Pidanaadalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,
menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak
33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 307.
34
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001 hal. 79.
35
Lexy J. Moelong, Metode penelitian Kuantitatif ,Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal. 101.
36
hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah
nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.37
c. Tindak Pidana Korupsiadalah perbuatan seseorang yang dengan atau karena
melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau
merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang
mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.38
d. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.39
e. Kerugian negara/daerahadalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.40
f. Konpensasimerupakan segala sesuatu yang diterima dapat berupa fisik maupun
non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada seseorang yang umumnya
merupakan obyek yang dikecualikan dari
37Ibid. 38
Martiman Prodjohamidjojo, “Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik Korupsi”, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.14.
39
Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 40
Pasal 1 angka
merupakan hal ya
dasar
menyangkut fakto41
g. Infrastrukturmerupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan,
drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan
ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem.
Infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan
prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Infrastruktur sendiri
dalam sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus
menjadi penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur
memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di
masyarakat.42
h. Pedesaandidefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.43
41
T. Hani Handoko,Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, BPFE-Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 1987, hal. 7.
Meskipun pendekatan peraturan
umumnya menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam
undang-undang tersebut merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam
43
lingkungan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum
sendiri, dikenal istilah perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur
pemerintahannya menggunakan desa.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan.
Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.44
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang
bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis hukum baik dalam
bentuk teori maupun praktik dari hasil penelitian di lapangan, bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara
sistematis, faktual dan akurat, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan
yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan di atas.45
44
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,UMM Press, Malang, 2007, hal. 57.
45
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif menitik beratkan pada studi kepustakaan yang
berdasarkan pada bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.46
b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim, Putusan
PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn, Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011, dan
peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korupsi.
47
c. Bahan hukum tersier merupakan bahan penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, , yaitu terdiri dari buku-buku teks
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
korupsi, hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dokumen pribadi, dan pendapat
lain dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian yang
ditelaah.
46
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 141.
47
seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan internet yang relevan
dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumen
yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan (library research) yang berupa bahan hukum sekunder. Studi kepustakaan digunakan untuk menggumpulkan
bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
literatur-literatur, dokumen resmi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan
penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaandata ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterprestasikan. 48 Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati.49
Data yang diperoleh selanjutnyaakan dianalisis secara deduktif. Prosedur
deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui
48
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta2008, hal. 263.
49
dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus50
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1999 JO.
, sehingga pokok
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab.
BAB II
50