• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pembiayaan Murabahah Pengaruhnya Terhadap Tingkat Likuiditas Pada Pt.Bank Muamalat Indonesia Tbk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pembiayaan Murabahah Pengaruhnya Terhadap Tingkat Likuiditas Pada Pt.Bank Muamalat Indonesia Tbk"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Potensi ekonomi dapat terwujud dengan melalui pendanaan yang kuat,

adapun sumbernya didapatkan dari dalam negeri dan luar negeri. Dana yang

diperoleh dari sumber tersebut harus dikelola secara profesional agar distribusinya

dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang memerlukan. Berkaitan dengan

pernyataan tersebut, salah satu sektor penting yang berperan dalam pengelolaan

dana dan turut mendorong perekonomian adalah sektor perbankan. Sektor ini

merupakan salah satu potensi ekonomi yang sangat penting dalam gerak dan

langkah pelaksanaan pembangunan ekonomi, bahkan kemajuan di sektor

perbankan dianggap sebagai kemajuan perekonomian suatu bangsa.

Sementara itu, keterpurukan ekonomi yang melanda negara kita diawali

dengan gejolak moneter di negara-negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah

pun terdepresiasi cukup besar. Ketika krisis moneter melanda Indonesia

(1997-1999) tingginya angka persentase kredit macet di satu sisi (aktiva), dan bunga

deposito di sisi lain (pasiva) telah menimbulkan negativespread, dan satu-persatu bank-bank di Indonesia banyak yang mengalami likuidasi. (infobank.com/

Sumber : republika).

Dalam kondisi seperti yang disebut di atas, di mana banyak bank yang

dilikuidasi, terdapat hal menarik yaitu salah satu bank yang dapat bertahan dalam

(2)

Muamalat, ketika itu masih satu-satunya bank umum yang beroperasi berdasarkan

prinsip syariah Islam. Bank syariah dalam pengoperasiannya menggunakan sistem

bagi hasil, maka bank ini tidak terpengaruh oleh bunga yang tinggi.

Melihat keadaan seperti yang disebut di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa betapa penting menjaga tingkat kesehatan bank bila ingin operasional bank

tersebut dapat terus berlangsung (survive). Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesehatan bank adalah dengan melakukan penilaian terhadap kinerja

keuangan yang dapat dilihat dan dihitung dari laporan keuangan bank yang

bersangkutan secara berkelanjutan seperti yang seharusnya dilakukan oleh Bank

Indonesia. Setiap bank (dan cabangnya) harus memberikan laporan keuangannya,

sebagai bagian dari pengawasan Bank Indonesia terhadap operasional bank-bank

yang ada di Indonesia. Untuk itulah Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No.9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan

Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007.

Menyatakan bahwa perkembangan metodologi penilaian kondisi bank

yang bersifat dinamis, mendorong pengaturan kembali sistem penilaian tingkat

kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah, agar dapat memberikan gambaran

yang lebih tepat mengenai kondisi saat ini dan mendatang, demikian dinyatakan

Deputi Gubernur, Siti Chalimah Fadjrijah dalam menyikapi terbitnya aturan baru.

Dalam penilaian tingkat kesehatan, bank syariah telah memasukkan risiko

yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk) yang merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko. Bank Umum Syariah wajib melakukan

(3)

(i) Permodalan (Capital); (ii) Kualitas aset (Asset quality); (iii) Rentabilitas (Earning); (iv) Likuiditas (Liquidity); (v) Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to market risk), dan (vi) Manajemen (Management). (humasbi@bi.go.id).

Salah satu untuk menilai kesehatan bank yaitu dengan melihat tingkat

Likuiditas bank, antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban

yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya,

yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga

yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya

bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga

membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang

lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.

Untuk menjaga likuiditas setiap bank harus melihat perbandingan tertentu

menurut BI. Melalui ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) BI, setiap bank

harus memiliki persentase tertentu sekurang – kurangnya 5%, (Republika,

2004:2). Batas minimum itu untuk mendeteksi kesehatan bank yang dihitung

berdasarkan pembagian jumlah alat likuid dengan kewajiban yang dapat dibayar

dalam suatu laporan masa.

Menurut Edwar yang mengutip dari Amrizal (1995:44) suatu bank dapat

dikatakan likuid apabila :

1. Memiliki likuiditas yang sama dengan jumlah kebutuhan

(4)

2. Memiliki likuiditas yang kurang dari kebutuhan tetapi bank

mempunyai surat – surat berharga yang segera dapat dialihkan

menjadi kas.

3. Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara

menciptakan utang.

Mempertahankan likuiditas yang tinggi akan memperlancar customer relationship tetapi profitabilitas / imbalan hasil akan menurun karena banyaknya dana yanga menganggur. Di lain pihak likuiditas yang rendah menggambarkan

kurang baiknya posisi likuiditas suatu bank.

Kahn (2001 : 36) mengutarakan bahwa keinginan bank syariah untuk

tingkat keuntungan yang tinggi harus bersinggungan dengan manajemen

likuiditas. Esensi dari manajemen likuiditas muncul karena adanya kenyataan

bahwa adanya trade off antara likuiditas dan profitabilitas (ketika bank syariah ingin mencapai profitabilitas yang tinggi melalui ekspansi pembiayaan yang

maksimal, di sisi lain bank syariah harus memiliki likuiditas yang cukup untuk

memenuhi kewajibannya, sehingga akan mengurangi kemungkinan profitabilitas

maksimum). Adanya mismatch antara kebutuhan pembiayaan dan penyediaan asset yang likuidi. Adanya opportunity cost (cost adanya dana yang idle karena di jadikan cadangan) pada dana likuiditas, bank harus membuat semua

investasi/pembiayaan menguntungkan setelah mempunyai likuiditas yang cukup.

Pada dasarnya, produk perbankan syariah sama seperti bank konvensional

yakni penghimpunan dana, pembiayaan dana, dan jasa perbankan se-perti ATM,

(5)

dengan prinsip jual beli (murabahah), prinsip sewa (ijarah), serta bagi hasil

(mudarabah). Nasabah bisa memilih prinsip terbaik dan menegosisasikannya

dengan bank. Untuk murabahah dan ijarah, bank berhak mengajukan margin

keuntungan (seperti dalam jual-beli), yang harus dinegosiasikan dengan nasabah

dan disepakati ketika akad.

Perbedaan bank konvensional dengan bank yang berprinsip syariah yang

paling pokok adalah prinsip operasi bank tersebut. Bank konvensional

menggunakan sistem bunga yang rentan terhadap kondisi ekonomi Negara

bersangkutan, sedangkan bank yang berprinsip syariah tidak membebankan bunga

melainkan mengajak partisipasi dan menjalin kemitraan dalam bidang usaha yang

didanai. Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik dasar perbankan syariah,

prinsip syariah terbukti mampu bertahan dan memiliki kinerja yang lebih baik

serta konsisten dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Bank syariah memiliki

tujuan umum menyediakan pelayanan jasa keuangan sesuai dengan prinsip

syariah dan sekaligus mempromosikan, mendorong, dan mengembangkan

penerapan prinsip dan nilai-nilai syariah dalam transaksi keuangan, perbankan,

dan kegiatan ekonomi pada umumnya, sehingga diharapkan kehadiran bank

syariah sebagai salah satu solusi alternatif (bank alternatif) dapat lebih adil dan

dapat memberikan perlindungan bagi keadaan perekonomian nasional, serta dapat

berupaya untuk mendorong meningkatkan penyaluran pembiayaan pada sektor

riil.

Berdasarkan Undang-undang No.10 Tahun 1998 mengenai perbankan,

(6)

pembiayaan syariah. Pada sistem pembiayaan Bank Syariah ada suatu hal yang

sangat penting yang membedakan antara sistem perbankan syariah dengan sistem

perbankan konvensional yaitu adanya suatu kepercayaan yang sangat tinggi dalam

sistem pembiayaan Bank Syariah. Adapun dalam pembiayaan bank syariah yaitu

pembiayaan murabahah. Berdasarkan pembiyaan tersebut bank syariah akan berfungsi sebagai penjual yang menyediakan asset yang dibutuhkan oleh nasabah

sebagai pembeli, transaksi murabahah tidak harus dalam bentuk pembayaran

tangguh (kredit), melaikan dapat juga dalam bentuk tunai setelah menerima

barang, ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang, ataupun

ditangguhkan dengan membayar sekaligus dikemudian hari. (PSAK 102

paragraf:8).

Pembiayaan murabahah saat ini masih merupakan pembiayaan yang

dominan bagi perbankan syariah di Indonesia. Dalam Statistik Perbankan

Indonesia (SPI) tahun 2009 pembiayaan yang disalurkan bank syariah masih

didominasi oleh akad murabahah yang mencapai Rp. 24,2 triliun atau 58% dari total pmbiayaan sebesar Rp. 42.1 triliun, terhitung sampai dengan Juni 2009.

Kontribusi terbesar kedua di sumbang oleh akad musyarakah yaitu sebesar Rp. 9.1 triliun, atau sekitar 22% dari total pembiayaan perbankan syariah sampai

dengan Juni 2009. Akad mudharabah mencapai Rp. 6,1 triliun atau sekitar 15% dari total pembiayaan. Sisanya, meliputi pembiayaan dengan akad Qardh.

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa total pembiayaan perbankan

syariah pada 2009 mencapai Rp 46,886 triliun. Dalam publikasi Statistik

(7)

umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) seluruhnya untuk usaha kecil

dan menengah (UKM). Jika dilihat dari jenis pembiayaan, sebagian besar untuk

modal kerja senilai Rp22,873 triliun (48,8 persen), diikuti oleh konsumsi

Rp14,058 triliun (30 persen) dan pembiayaan investasi Rp9,955 triliun (21,2

persen).

Sistem pembiayaan bank syariah masih didominasi akad murabahah

sebesar 56 persen atau Rp26,321 persen dan akad mudharabah sebesar 22 persen

(Rp10,412 triliun). Sementara untuk sistem pembiayaan lainnya belum banyak

diminati, dimana akad musyarakah hanya menyalurkan pembiayaan Rp6,587

triliun, akad ijarah Rp1,305 triliun, akad qardh Rp1,829 triliun dan akad salam

tidak diminati masyarakat. (www.bi.go.id).

Fenomena dari dominasi pembiayaan murabahah sebenarnya tidak hanya

terjadi pada perbankan syariah di Indonesia saja, umum terjadi pada keseluruhan

bank syariah di dunia. Sejak awal tahun 1984 pembiayaan model murabahah di

Pakistan mencapai sekitar 87 persen dari total pembiayaan dalam investasi

deposito profit and loss sharing. Di Dubai Islamic Bank, bank terawal disektor

swasta, pembiayaan murabahah mencapai 82 persen dari total pembiayaan selama

tahun 1989. Bahkan di Islamic Development Bank (IDB), selama kurang lebih 10

tahun periode pembiayaan 73 persen dari seluruh pembiayaan adalah akad

murabahah, yaitu dalam bentuk pembiayaan dagang luar negeri.

Ada sejumlah alasan kenapa murabahah begitu populer dalam operasi

investasi perbankan syariah. Menurut Usmani (2003), pertama, murabahah adalah

(8)

loss sharing cukup memudahkan; kedua, mark-up dalam murabahah dapat

ditetapkan demikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh

keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang

menjadi saingan bank-bank Islam; ketiga, murabahah menjauhkan dari

ketidakpastian yang ada pada pendapatan bisnis-bisnis dengan sistem profit and

loss sharing; keempat, murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk

mencampuri manajemen bisnis, karena bukanlah mitra si nasabah, sebab

hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan hutang-piutang dagang.

Dengan fenomena yang tergambar diatas maka dapat dikatakan proyeksi

trend pembiayaan masih di dominasi skim murabahah, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bersifat konsumtif. Kebutuhan yang paling mendesak adalah

kebutuhan perumahan dan kendaraan.

Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga atau financing to deposit ratio (FDR) terus meningkat dalam setahun terakhir. Perbankan syariah sebaiknya berhati-hati, mengingat kondisi likuiditas pada industri perbankan masih ketat.

Perbankan syariah diminta untuk memperhatikan dan menekan laju rasio

pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing to deposit ratio/FDR) yang terlampau tinggi untuk mengantisipasi kesulitan likuiditas akibat dampak krisis

keuangan global.

FDR perbankan syariah per Oktober 2008 mencapai 112 persen.

Berdasarkan data Bank Indonesia, FDR perbankan syariah per Oktober 2008

meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 103 persen. FDR

(9)

Dalam setahun terakhir, pembiayaan tumbuh 44,2 persen, sementara DPK tumbuh

34 persen. FDR di atas 100 persen berarti seluruh DPK disalurkan sebagai

pembiayaan, bahkan masih ditambah dengan modal dan cadangan bank. Kondisi

ini berbeda dengan perbankan konvensional yang rasio kreditnya hanya sekitar 78

persen. (KOMPAS:2008)

Statistik perbankan syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) per

April menunjukkan FDR perbankan syariah masih berada di level 101 persen

dengan total pembiayaan mencapai Rp39,726 triliun dan dana pihak ketiga (DPK)

sebesar Rp39,193 triliun. “Posisi FDR perbankan syariah saat ini sudah terlalu

tinggi dan menjadi ancaman serius bagi likuiditas bank. Dampak krisis keuangan

global masih terasa dan belum bisa dipastikan akan cepat membaik. Idealnya,

FDR berada di posisi 80-90 persen," kata Ketua Asosiasi Perbankan Syariah

Indonesia (Asbisindo) Ahmad Riawan Amin, di Jakarta, Selasa (23/6/2009).

Menurut Riawan, perbankan harus memperhatikan rasio FDR yang sudah

terlampau tinggi dan harus diturunkan dari 101 persen menjadi 80-90 persen.

Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR) perbankan syariah

yang bergerak di sekitar angka 100 persen membuat mereka rawan krisis ketika

terjadi penarikan simpanan secara serentak dan dalam jumlah besar. Berikut table

yang menunjukan perbandingan pembiayaan dan Dana Pihak Ketiga (FDR) pada

(10)

Tabel 1.1

Perhitungan Persentase Tingkat FDR Bank Muamalat Indonesia (BMI)

Tahun 1999 s/d 2009

(dalam miliar rupiah)

Tahun Total Pembiayaan

DPK Tingkat FDR Kenaikan

dan penurunan (Dana Pihak

Ketiga)

(financing to deposit rasio) %

tingkat FDR

1999 432.1 528.1 81.82

2000 914.85 825.3 110.85 29.03

2001 1,215.25 1,196.29 98.44 (12.41)

2002 1,747.87 1,695.78 97.02 (1.42)

2003 2,373.04 2,244.66 94.59 (2.43)

2004 4,184.70 4,043.68 96.63 2.04

2005 5,887.74 5,910.70 100.39 3.76

2006 6,628.09 6,425.27 96.94 (3.45)

2007 8,618.05 8,545.66 99.16 2.22

2008 10,157.86 10,605.82 104.41 5.25

2009 11,428.01 13,316.90 85.82 (18.89)

Sumber : BI Statistik laporan keuanga perbankan syariah, yang diolah

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat risiko Likuiditas setiap tahunnya

mengalami fluktuasi, hal ini disebabkan pada periode tahun 1999 – 2000

likuiditas mengalami kenaikan karena perbandingan total pembiayaan terhadap

Dana Pihak Ketiga pun mengalami kenaikan, tetapi kenaikan tersebut membuat

likuiditas bank tidak likuid, Sedangkan, pada periode 2002, 2003, 2006, dan 2009

likuiditas mengalami penurunan, meskipun total pembiayaan dan total DKP terus

meningkat dari tahun sebelumnya dan kondisi bank likuid. Melihat hal diatas

fenomena terjadi pada tahun 2000, 2005 dan 2008 dari tahun tersebut tingkat

(11)

simpanan secara serentak dan dalam jumlah besar oleh para nasabah. Seperti

diktakan Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) Ramzi

Zuhri, rasio pembiayaan terhadap simpanan (finance to deposit ratio/FDR) mencapai 100 persen dianggap melebihi kewajaran. Sebab, perbankan syariah

harus memenuhi ketentuan giro wajib minimum (GWM) sebesar tiga persen dari

DPK. Perbankan juga harus menyiapkan kebutuhan sehari-hari untuk penarikan

dana nasabah dengan kisaran sekitar tujuh persen. (KOMPAS.COM:2009)

Melihat hal tersebut, pembiayaan yang dilakukan bank akan berdampak

pada penyediaan likuiditas, maka penulis tertarik untuk memberikan judul pada

penelitian ini yaitu:

“Analisis Pembiayaan Murabahah Pengaruhnya Terhadap Tingkat Likuiditas

Pada PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)”.

1.2 Identifikasi Masalah Dan Rumusan Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan dengan uraian latar belakang penelitian yang dikemukakan

diatas, maka penulis mencoba mengidentifikasi masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Rasio tingkat Likuiditas perbankan syariah yang bergerak di sekitar angka

100 persen pada tahun 2000, 2005 dan 2008 membuat mereka rawan krisis

ketika terjadi penarikan simpanan secara serentak dan dalam jumlah besar,

(12)

2. Dengan naiknya total pembiayaan yang masih di dominasi skim

murabahah pada tiap tahunnya membuat tingkat likuiditas menjadi semakin tinggi pada Bank Muamalat Indonesia.

1.2.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka penulis

mencoba mengidentifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI).

2. Bagaimana tingkat Likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI).

3. Bagaimana pengaruh pembiayaan murabahah terhadap tingkat Likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI).

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

pembiayaan murabahah terhadap tingkat Likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI).

1.3.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan

dari penelitian ini, adalah sebagai berikut:

(13)

2. Untuk mengetahui tingkat Likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia

(BMI)

3. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pembiayaan murabahah

terhadap tingkat Likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :

1. Bagi Peneliti

Memberikan informasi dan kontribusi yang berguna untuk pengembangan

penelitian perbankan terutama dalam hal pembiayaan murabahah dan tingkat likuiditas pada bank dengan prinsip syariah dalam hal ini adalah Bank Muamalat

Indonesia (BMI).

2. Bagi Perusahaan

Dapat dijadikan masukan untuk membantu pihak manajemen terutama

untuk melihat pengaruh pembiayaan murabahah dalam meningkatkan likuiditas dan memberitahukan posisi mereka dalam mengukur keberhasilan operasional

bank.

3. Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan,

umumnya mengenai dunia perbankan, khususnya mengenai pembiayaan

(14)

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Bank Muamalat Indonesia Cabang Cianjur yang

bertempat di Jl. Siti Jenab No. 39 Cianjur telp: (0263) 280950, (0263) 280951,

fax: (0263) 280 451. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan April – Juli

2010.

Tabel 1.2 Jadwal Penelitian

N

o Kegiatan

Bulan

Februari Maret April Mei Juni Juli

Agustus s/d oktober 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Prasurvei:

a. Persiapan judul skripsi b. Persiapan

teori pendukung judul skripsi

c. Pengajuan judul skripsi

d. Cari perusahaan 2

Proses Usulan (UP) Penelitan:

a. Penulisan UP b. Bimbingan

UP

c. Sidang UP

(15)

d. Revisi UP

3 Pengumpulan

Data 4 Pengolahan

dan Analisis

Data 5 Proses

Penyusunan Skripsi

a. Bimbingan

&Penulisan Skripsi

b. Sidang

skripsi c. Revisi

skripsi d. Pengumpul

an draft

skrisi 6 Sidang

Yudisium

(16)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Bank Syariah

2.1.1.1 Pengertian Bank Syariah

Bank merupakan lembaga/badan usaha yang mengelola dana yang

dihimpun dari masyarakat, juga berperan sebagai lembaga intermediasi/perantara

bagi masyarakat yang surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Hal ini

sesuai dengan pendapat Kasmir (2003 : 24) pengertian bank dan bank syariah,

sebagai berikut :

“Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam bentuk lalu lintas pembayaran”.

Perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah secara umum

diuraikan sebagai berikut :

Tabel 2.1

Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bank Konvensional Bank Syariah

1. Investasi yang halal dan haram 2. Memakai perangkat bunga 3. Profit oriented

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur 5. Tidak terdapat Dewan Pengawas

1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja

2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa

3. Profit dan falah oriented

(17)

Syariah akhirat)

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan

5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syairah (DPS)

Sumber :Bank Syariah: dari teori ke praktek, Syafi’i Antonio,M, 2001.

Perbedaan antara imbalan yang diberikan oleh kedua bank tersebut dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2

Perbedaan Imbalan Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bunga Bagi Hasil

1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung/rugi

2. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

3. Jumlah pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

4. Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk agama Islam

1. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada untung/rugi

2. besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

3. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

(18)

Dalam operasionalnya, bank konvensional memberikan kredit kepada

peminjam atau debitur, sedangkan bank dengan prinsip syariah memberikan

pembiayaan. Dalam pembiayaan yang dilakukan bank akan mengandung risiko

kredit/pembiayaan seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko tingkat bunga, dan

lain-lain. Untuk dapat menentukan tingkat risiko tersebut, bank dapat melihat

laporan keuangannya. Menurut Warren Reeve Fess (2005:24) pengertian laporan

keuangan adalah sebagai berikut :

“Laporan akuntansi yang menghasilkan informasi. Laporan utama bagi

perusahaan perorangan adalah lapora laba rugi, laporan ekuitas pemilik, neraca, dan laporan keuangan”.

2.1.1.2 Fungsi dan Peranan Bank Syariah

Menurut Rizal Yahya, Aji Erlangga, dan Ahim Abdurahim (2009:54),

bank syariah mempunyai fungsi secara umum meliputi sebagai berikut : “1. Menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat .

2. Menjalankan fungsi social dalam bentuk lembaga baitulmal.

3. Penyedia transaksi keuangan.

4. Pengelola pemberian wakaf berupa uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir).”

Agar berhasil menjadi pendorong terwujudnya pembangunan ekonomi

nasional maka bank syariah memiliki peranan sebagai perekat nasionalisme yang

berpihak pada ekonomi kerakyatan, beroperasi secara transparan, berfungsi

(19)

efisiensi, mobilisasi dana masyarakat serta menjadi uswatun hasanah bagi praktek usaha berlandaskan moral dan etika Islam.

2.1.1.3 Karakteristik Bank Syariah

Karakteristik bank syariah dapat bersifat fleksibel, yang meliputi :

a Keadilan, melarang riba tetapi menggunakan bagi hasil.

Pengertian riba menurut Rizal Yahya, Aji Erlangga, dan Ahim Abdurahim

(2009:107), dijelaskan sebagai berikut :

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis

tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas

penambahan tersebut”

b Kemitraan, yaitu saling memberi manfaat.

Posisi nasabah, investor, pengguna dana dan bank berada dalam hubungan

sejajar sebagai mitra usaha yang saling menguntungkan dan bertanggung

jawab di mana tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

c Universal, melarang transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar). Menghindari penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan terbuka

seluas-luasnya bagi masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan ras

2.1.2. Pembiayaan

2.1.2.1 Pengertian Pembiayaan

Penyaluran dana pada bank syariah disebut dengan pembiayaan,

(20)

berdasarkan prinsip jual beli, bagi hasil dan sewa. Pembiayaan pada bank syariah

sangat penting karena kegiatan pembiayaan ini merupakan salah satu sarana untuk

memperoleh keuntungan juga untuk menjaga keamanan dana nasabah.

Menurut Dahlan Siamat (2004:192) menjelaskan bahwa penyaluran dana

disebut dengan pembiayaan;

“Dalam penyaluran dana bank syariah harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat agar pendapatan yang diterima dapat optimal.”

Dari perngertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyaluran dana dan

pembiayaan pada bank syariah pada dasarnya sama, hanya berbeda pada

istilahnya saja.

Dalam kegiatan operasionalnya bank konvensional memberikan kredit

kepada peminjam atau debitur, sedangkan bank syariah memberikan pembiayaan

kepada nasabah yang akan dibiayainya. Pengertian pembiayaan menurut Kasmir

(2003:92-93), dijelaskan sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dalam buku yang sama dijelaskan pembiayaan sebagai berikut :

“Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

(21)

Dari pengertian diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kredit dan

pembiayaan merupakan pemberian pinjaman atau penyediaan dana yang diberikan

kepada peminjam atau yang di biayainya, dan yang di biayai tersebut wajib untuk

membayar atau mengembalikan tagihan tersebut pada jangka waktu tertentu

sesuai dengan kesepakatan dan dengan imbalan yang telah disepakati.

2.1.2.2 Fungsi Pembiayaan

Fungsi pembiayaan menurut Muhammad (2005 : 263) adalah sebagai

berikut:

1. Memperoleh profit yang optimal;

2. Menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai; 3. Menyimpan cadangan;

4. Mengelola kegiatan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain;

5. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan.”

Dari fungsi pembiayaan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembiayaan

memiliki berbagai macam fungsi selain untuk memperoleh laba yang optimal,

bank juga menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai untuk keperluan bank

itu sendiri atau untuk kepentingan nasabah yang bisa diambil kapan saja. Fungsi

lainnya yaitu untuk menyimpan cadangan yang maksudnya adalah dana yang

diberikan kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan sewaktu-waktu dapat

diambil dengan cepat, karena nasabah yang diberi pembiayaan oleh bank harus

mengembalikannya sesuai dengan perjanjian. Apabila dana yang diperoleh dari

pihak ketiga tidak disalurkan lagi maka dana tersebut akan mengendap dan tidak

(22)

bank tidak dapat memberikan imbalan kepada nasabah yang telah menyimpan

dananya. Sesuai dengan pengertian bank yaitu sebagai intermediasi antara

pihak-pihak yang kelebihan dana dan pihak-pihak yang membutuhkan dana. Oleh karena itu,

fungsi bank selanjutnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan

pembiayaan, baik itu berupa barang maupun modal.

2.1.2.3 Pembiayaan Murabahah

Produk penyaluran dana kepada masyarakat atau pada Bank Syariah

disebut juga dengan pembiayaan. Pembiayaan pada bank Syariah dapat terbagi

menjadi beberapa jenis, yang salah satunya adalah pembiayaan jual beli.

Pembiayaan jual beli terdiri dari pembiayaan murabahah, salam dan istishna.

Namun pembiayaan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah pembiayaan

murabahah.

Menurut Ascarya (2007: 164) mendefinisikan pengertian pembiayaan

murabahah sebagai berikut;

”Pembiayaan murabahah adalah penjualan barang oleh seseorang kepada pihak lain dengan pengaturan bahwa penjual berkewajiban untuk mengungkapkan kepada pembeli harga pokok dari barang dan marjin keuntungan yang dimasukkan ke dalam harga jual barang tersebut. Pembayaran dapat dilakukan secara tunai ataupun tangguh.”

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembiayaan

murabahah merupakan pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli dengan mengungkapkan harga pokok pembelian dan menambah tingkat marjin yang telah

(23)

Menurut PSAK 102 paragraf 5, pengertian Murabahah sebagai berikut :

“Akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan

ditambah keuntungan yang telah disepakati dan penjual harus

mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli”.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Murabahah merupakan akad jual beli suatu barang dimana pihak bank / penjual menyebutkan harga jual

terdiri dari harga pokok dan tingkat keuntungan tertentu atas barang tersebut,

dimana harga jual tersebut disetujui oleh pembeli / nasabah.

Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan mengatakan, pemindahahn

sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai harga tambahan

keuntungan.

2.1.2.4 Landasan Hukum

Murabahah merupaka suatu akad yang diperbolehkan secara syar’i, serta didukung mayoritas ulama dari kalangan sahahabai. Tabi’in serta ulama – ulama

dari berbagai mazhab dan aliran.

a. Al – Quran

Ayat – ayat Al – Quran yang secara umum membolehkan jual beli.

(24)

Artinya : “…dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-baqarah :275).

Ayat ini munujukan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan Murabahah

merupakan salah satu bentuk dari jual beli.

Dan firman Allah :

Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harata sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali denga

jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara

kamu”. (QS. An-Nisaa:29)

Dan firman Allah :

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”. (QS. Al-baqarah :198)

Berdasarkan ayat diatas, maka Murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli.

Dari ayat Al – quran diatas dapat diketahui bahwa jual beli /Murabahah

bukan merupakan yang diharamkan dalam agama, melaikan riba yang diharamkan

(25)

b. Hadis / Assunah

1. Sabda Rasulullah Shallallahu „Allaihi Wassallam : “Pendapatan yang

paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).

2. Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:

“Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan : menjual dengan

pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),

dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual”.(HR. Ibnu Majah)

3. Ketika Rasulullah Shallallahu „Allaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu „Ahnu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah

Shallalahu „Alaihi Wassallamberkata kepadanya, “jual kepada saya salah

satunya”, Abu Bakar Radhiyallahu „Ahnu menjawab, “salah satunya jadi

milik anda tanpa ada kompensasi apapun”. Rasulullah Shallallahu „Allaihi

Wassallam bersabda, ” kalau tanpa ada harga saya tidak mau”

4. Sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu „Ahnu, menyebutka bahwa

boleh melakuka jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau

(26)

5. Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli Murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak

manfaat yang dihasilkan, baik yang berprofesi sebagai pedagang maupun

bukan.

c. Al-Ijma

Transaksi ini sudah diperaktekan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada

yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya. (Ash-Shawy, 1990

:2000)

d. Kaidah Fiqh, yang menyatakan :

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya”.

e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tetang MURABAHAH

“Tentang ketentuan umum Murabahah dalam bank syariah, ketentuan

Murabahah kepada nasabah, jaminan, utang dalam Murabahah, penundaan pembayaran, dan kindisi bangkrut pada nasabah Murabahah.”

Dalam fatwa diatas bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentuaun

(27)

2.1.2.2 Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli Murabahah

Rukun Murabahah adalah :

a. Adanya pihak-pihak yang melakukan akad (Penjual dan Pembeli)

b. Obyek yang diadakan, yang mencakup (Barang yang diperjual

belikan)

c. Akad / sighat (Ijab dan Qabul)

Masing-masing rukun diatas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Pihak yang berakad, harus :

 Cakap hukum

 Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan terpaksa atau berada

dibawah tekanan atau ancaman.

b. Obyek yang diperjualbelikan harus :

 Tidak teermasuk yang diharamkan atau yang dilarang.

 Memberikan manfaat atau sesuatu yang bermanfaat.

 Penyerahan obyek Murabahah dari penjual kepada pembeli dapat

dilakukan.

 Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad

 Sesuai spesifikasinya anatara yang diserahkan penjual dan yang

diterima pembeli.

c. Akad / sighat

 Harus jelas dan disebutkan secara sepesifik dengan siapa berakad.

 Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam

(28)

 Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan

keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.

Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual beli Murabahah adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui Harga Pokok

Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua. Karena

mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang

menggunakan prinsip Murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya

syarat ini. Pada prakteknya bank dapat menunjukan bukti pembelian obyek

jual beli Murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah mengetahui harga pokok bank.

2. Mengetahui keuntungan

Keuntungan seharusnya diketahui karena ia merupakanbagian dari harga.

Keuntungan atau dalam peraktek perbankan syariah sering disebut dengan

margin Murabahah dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak terutama

nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.

3. Harga pokok dapat dihitung dan diukur

Harag pokok dapat diukur, baik menggunakan ta bisakaran, timbangan

ataupun hitungan. Ini merupakan syarat Murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang

(29)

4. Jual beli Murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.

5. Akad jual beli pertama harus sah, bila akad pertama tidak sah maka jual

beli Murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena Murabahah adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan.

2.1.2.5 Karakteristik Pembiayaan Murabahah

Karakteristik pembiayaa Murabahah meliputi :

a. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli.

b. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam

Murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset Murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam Murabahah pesanan mengikat, mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut

menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad.

c. Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada

saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan

(30)

d. Akad Murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad Murabahah

dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati maka hanya ada

satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.

e. Harga yang disepakati dalam Murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual

mendapatkan diskon sebelum akad Murabahah maka potongan itu merupakan hak pembeli. Sedangkan diskon yang diterima setelah

akad Murabahah disepakati maka sesuai dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam akad maka potongan tersebut adalah

hak penjual.

2.1.2.6 Jenis-jenis Murabahah

Murabahah pada perinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan. Hal ini bersifat dan berlaku umum pada jual beli barang-barang memenuhi syarat jual beli

murabahah. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan bank sayriah terbagi kepada tiga jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu :

1. Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukan untuk pembelian barang-barang yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja

adalah jenis pembiayaan yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasi

sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal kerja membutuhkan

kehati-hatian. Terutama obyek yang akan diperjulbelikan terdiri dari

banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama

(31)

2. Murabahah investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau perjanjian yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan

untuk rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru.

3. Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan

nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan

konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang

konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan

biasanya berwujud obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat

tinggal.

Perbedaan peruntukan pembiayaan murabahah yang ditetapkan biasanya dibedakan berdasarkan obyek akad, tujuan penggunaan obyek dan nasabah yang

mengajukannya. Pembeda penentuan ini dimulai saat nasabah mengajukan

pembiayaan dan disesuaikakn dengan kebutuhan nasabah, kemampuan keuangan

nasabah dan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan oleh bank, smpai

terealisasinya pembiayan tersebut. Perbedaan jenis-jenis pembiayaan murabahah

[image:31.595.101.525.560.744.2]

dapat dijelaskan melalui tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Perbedaan Jenis-jenis Murabahah

Jenis Pembiayaan Modal Kerja Investasi Konsumsi

Contoh Obyek Jual beli

Mobil Mobil Mobil

Penggunaan Digunakan untuk menambah aktiva lancer (persediaan)

Digunakan sebagai aktiva tetap

Digunakan untuk memenuhi kebutuhan peribadi

Nasabah Perusahaan yang melakuka jual beli mobil

Peusahaan yang bergerak di bidang transfortasi/ekspedisi

Dipakai sendiri

Jangka Waktu Pendek Menengah Panjang

Nominal Besar Menengah Kecil

(32)

Berdasarkan tabel 2.3 diatas, penggunaan obyek murabahah untuk masing-masing jenis murabahah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan hal ini merupakan langkah awal untuk membedakan jenis murabahah mana yang akan digunakan. Bila obyek akan digunakan untuk nasabah persediaan atau aktiva

lancer, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah modal kerja. Bila obyek akan digunakan sebagai aktiva tetap, maka murabahah yang digunakan adalah murabaha investasi. Dan bila obyek digunakan untuk memenuhi kebutuhan

peribadi nasabah, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah konsumsi. Jenis Murabahah menurut Wiroso (2005:37) dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu;

1) Murabahah tanpa pesanan

2) Murabahah berdasarkan pesanan.”

Adapun penjelasan dari kedua jenis murabahah diatas adalah sebagai berikut;

1. Murabahah tanpa pesanan

Murabahah tanpa pesanan maksudnya, ada yang pesan atau tidak,ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya.

Penyediaan barang tidak terpengaruh atau terkait langung dengan ada

tidaknya pembeli.

2. Murabahah berdasarkan pesanan

(33)

memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada

pesanan. Pada murabahah ini, pengadaan barang sangat tergantung pada atau terkait langsung atau pembelian barang tersebut. Dasar hukum

penjualan murabahah berdasarkan pesanan adalah jenis penjualan ini dan aturan-aturannya sah berdasarkan dasar-dasar umum penjualan secara

syariah Islam yang tercantum dalam Al-Quran, Al-Hadits dan

bermu’amalah dengan orang. Janji pemesanan di dalam Murabahah

berdasarkan pesanan, bisa bersifat mengikat dan bisa bersifat tidak

mengikat. Para Fuqaha salaf menyepakati mengenai bolehnya penjualan ini, dan mengatakan bahwa pemesanan tidak mesti terikat untuk

memenuhi janjinya.

Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu; a. Bersifat mengikat, maksudnya apabila telah pesan maka harus dibeli.

b. Bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan

barang, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau

membatalkan barang tersebut.

Produk pembiayaan murabahah pada bank syariah tidak hanya berdasarkan jenis tetapi juga produk dalam bentuk rupiah dan valuta asing.

Berdasarkan keterangan Laporan keuangan dan Buku panduan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (2004:59) produk pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut;

1. Pembiayaan murabahah dalam rupiah

i. Pembiayaan murabahah terkait dengan bank ii. Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank 2. Pembiayaan murabahah dalam valuta asing

(34)

i. Pembiayaan murabahah terkait dengan bank ii. Pembiayaan murabahahtidak terkait dengan bank.”

Adapun penjelasan dari produk pembiayaan murabahah diatas adalah sebagai berikut;

1. Pembiayaan murabahah dalam rupiah

Pembiayaan murabahah dalam rupiah yaitu pembiayaan yang dalam transaksi jual belinya menggunakan satuan rupiah. Adapun penyaluran

pembiayaan murabahah dalam rupiah terbagi menjadi 2; a. Pembiayaan murabahah terkait dengan bank

Pembelinya adalah pihak yang berkaitan secara langsung dengan PT

Bank Muamalat Indonesia, Tbk baik direktur, pemilik modal, karyawan

maupun pihak lain yang berkaitan dengan bank, misalnya perusahaan

yang menjadi penyedia barang dalam kegiatan pembiayaan.

b. Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank

Pembeli atau nasabahnya adalah pihak ketiga dan dalam transaksinya

menggunakan satuan rupiah. Dilihat dari laporan keuangan neraca PT

Bank Muamalat Indonesia, Tbk pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank ini merupakan pembiayaan terbesar jumlahnya

dibandingkan dengan pembiayaan yang lainnya.

2. Pembiayaan murabahah dalam valuta asing

(35)

hanya tersedia di luar negri. Adapun penyaluran pembiayaan murabahah

dalam valuta asing terbagi menjadi 2;

a. Pembiayaan murabahah terkait dengan bank

Pembelinya adalah pihak yang berkaitan secara langsung dengan PT

Bank Muamalat Indonesia, Tbk baik direktur, pemilik modal, karyawan

maupun pihak lain yang berkaitan dengan bank, misalnya perusahaan

yang menjadi penyedia barang dalam kegiatan pembiayaan. Yang

membedakan dengan rupiah adalah transaksi dalam hal pembelian atau

penjualan barangnya menggunakan valuta asing.

b. Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank

Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank yaitu pembeli atau nasabahnya tidak berkaitan dengan bank dan dalam transaksinya

menggunakan valuta asing. Namun pembiayaan murabahah ini belum terdapat pada PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk.

2.1.2.7 Pengakuan Dan Pengukuran

Pada saat perolehan, aset Murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan. Pengukuran aset Murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:

(a) jika Murabahah pesanan mengikat:

(36)

(ii) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak atau kondisi

lainnya sebelum diserahka ke nasabah, penurunan nilai tersebut

diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset:

(b) jika Murabahah tanpa pesanan atau Murabahah pesanan tidak mengikat: (i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat

direalisasi, mana yang lebih rendah; dan

(ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya

perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Potongan pembelian aset Murabahah diakui sebagai berikut:

(a) jika terjadi sebelum akad Murabahah maka sebagai pengurang biaya perolehan aset Murabahah;

(b) jika terjadi setelah akad Murabahah dan sesuai akad

a. Pembebanan Biaya

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang

dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya, ulama mazhab

Maliki membolehkan biaya – biaya yang langsung terkait dengan transaksi

jual – beli itu dan biaya – biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi

tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu.

Ulama mazhab Syafi’I membolehkan membebankan biaya – biaya

yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga

kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu

pula biaya – biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukan

(37)

Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya – biaya

yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka

tidak membolehkan biaya – biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh

si penjual.

Ulama Mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung

maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya –

biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai

barang yang dijual.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab

membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada

pihak ketiga. Keempat mazhab tersebut sepakat tidak membolehkan

pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan perkerjaan yang memang

semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya langsung yang berkaitan

dengan hal – hal yang berguna. Keempat mazhab juga membolehkan

pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan

pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila perkerjaan itu harus

dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan

pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya.

Mazhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak

langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal –

(38)

b. Murabahah Dengan Pesanan

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murabahah berdasarkan persanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak

mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya ( bank dapat

meminta uang muka pembelian kepada nasabah).

Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang

tertentu dengan spesifikasi tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada

pada saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang

yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada si pemesan.

Contoh mudahnya si Fulan ingin membeli mobil dengan perlengkapan

tertentu yang harus dicari, dibeli, dan dipasang pada mobil pesanannya oleh

dealer mobil. Transaksi Murabahah melalui pesanan ini adalah sah dalam fiqih islam, antara lain dikatakan oleh Imam Muhammad ibnul-Hasan Al Syaibani, imam Syafi’i dan Imam Ja’far Al-Shiddiq.

Dalam Murabahah berdasarkan pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran Hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika ijab – Kabul. Hal ini sekadar untuk menunjukan bukti keseriusan si pembeli. Bila kemudian si

penjual telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil

pesanannya, sedangkan si pembeli membatalkannya, Hamish ghadiya ini dapat digunakan untuk menutup kerugian si dealer mobil. Bila jumlah

(39)

ditanggung oleh si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya.

Sebaliknya bila berlebih si pembeli berhak atas kelebihan itu.

Dalam Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.

c. Tunai atau Cicilan

Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam Murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah Muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian

(setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus).

2.1.2.8 Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah

Perinsip murabahah umumnya diterapkan dalam pembiayaan pengadaan

barang investasi. Skim ini paling banyak digunakan karena sederhana dan

menyerupai kredit investasi pada bank konvensional. Karakteristiknya

sebagaimana ditulis oleh tim pengembangan perbankan syariah Institut Bankir

Indonesia (2003:66) adalah penjual harus memberitahukan harga pokok yang ia

beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

Skim murabahah sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan

barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Kita bisa meminta kepada bank

agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya saat barang

(40)

yang disepakati. Kesepakatan harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan

tidak dapat berubah menjadi lebih mahal selama berlakunya akad.

[image:40.595.130.471.176.436.2]

Secara umum skema aplikasi Murabahah dalam perbankan sebagai berikut

Gambar 2.1 Skema Aplikasi Murabahah

Dari gambar 2.1 diatas dapat dijelaskan proses pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut :

1) Negosiasi dan persyaratan, pada tahap ini melakukan dengan pihak bank

yang bersangkutan dengan spesifikasi produk yang diinginkan oleh

nasabah, harga beli dan harga jual, jangka waktu pembayaran atau

pelunasan, serta persyaratan-persyaratan lainnya yang harus dipenuhi

oleh nasabah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada bank syariah.

2) Bank membeli produk/barang yang sudah disepakati dengan nasabah

tersebut bank biasanya membeli ke supplier. Bank

Syariah

Nasabah

Suplier/Penjual

Kirim Barang & Dokumen Bayar

Akad Jual Beli

Beli barang

4 5

2

3

(41)

3) Akad jual beli, setelah bank memberikan produk sesuai dengan

spesifikasi yang diinginkan nasabah, maka selanjutnya bank menjualnya

kepada nasabah. Disertai dengan penandatanganan akad jual beli antara

bank dan nasabah. Pada akad tersebut dijelaskan hal-hal yang

berhubungan dengan jual beli murabahah. Rukun dan syarat-syarat harus dipenuhi.

4) Supplier mengirim produk/barang yang dibeli oleh bank ke alamat

nasabah atau sesuai dengan akad perjanjian yang telah disepakati antara

bank dan nasabah sebelumnya. Tanda terima barang dan dokumen,

ketika barang sudah sampai ke alamat nasabah, maka nasabah harus

menandatangani surat tanda terima barang dan mengecek kembali

kelegkapan dukomen-dokumen produk/barang tersebut.

5) Proses selanjutnya adalah nasabah membayar harga produk/barang yang

dibeli dari bank, biasanya pembayaran dilakukan secara angsuran/cicilan

dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati sebelumnya.

2.1.3 Likuiditas

2.1.3.1 Pengertian Likuiditas

Tingkat likuiditas bagi Bank adalah sangat penting, karena tingkat

likuiditas Bank ini dapat mencerminkan Bank untuk memenuhi kewajiban–

kewajibannya yang segera harus dipenuhi. Agar lebih jelas memahami lebih lanjut

tentang pengertian likuiditas, maka menurut Lukman Syamsuddin (2000:42)

(42)

“Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan

untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh

tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia.”

Menurut G. Sugiyarso dan F. Winarni (2005:114) adalah sebagai berikut :

“Likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam

memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek.”

Sedangkan menurut Munawir (2002:31) mengemukakan :

“Likuiditas adalah Kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi

kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih .”

Menurut Ikatan Akuntansi Keuangan (2004:5), likuiditas adalah sebagai berikut : “Likuiditas merupakan ketersediaan kas jangka pendek di masa depan

setelah memperhitungkan komitmen yang ada.”

Masalah likuiditas adalah kemampuan bank untuk mampu memenuhi

kewajibannya atau komitmennya saat jatuh tempo, pada saat yang sama bank

mentranspormasi sisi liabilitas mereka untuk mendapatkan berbagai macam

materiaties pada sisi asset. Suatu bank dapat dikatakan likuid apabila bank yang bersangkutan dapat membayar kewajiban utang – utangnya dapat membayar

kembali semua deposanya serta dapat memenuhi semua permintaan pembiayaan

kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan.unutk meminimalkan risiko

(43)

dalam kegiatan oprasional bank. Sulitnya pengelolaan tersebut disebabkan dana

yang dikelola bank sebagian besar adalah dana masyarakat yang sifatnya

berfluktuasi. Oleh karena itu harus memperhatikan sekuat mungkin kebutuhan

likuiditas untuk jangka waktu tertentu. Perkiraan kebutuhan likuiditas tersebut

sngat dipengaruhi oleh perilaku penarikan nasabah, sifat dan sumber dana yang

dikelola bank.

Berhubungan dengan masalah kemampuan suatu bank untuk memenuhi

kewajiban finansialnya yang segera dipenuhi. Jumlah alat-alat pembayaran

(alat-alat likuid) yang dimiliki oleh suatu bank pada satu saat tertentu merupakan “kekuatan membayar” dari bank yang bersangkutan. Suatu bank yang memiliki

kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya

yang segera harus dipenuhi.

Suatu bank yang mempunyai “kekuatan membayar” sedemikian besarnya

sehingga mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera dipenuhi,

dikatakan bahwa bank tersebut adalah “likuid”, dan sebaliknya yang tidak mempunyai “kekuatan membayar” adalah “illikuid”.

2.1.3.2 Sumber Kebutuhan Likuiditas Bank

Sumber – sumber utama likuiditas dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Untuk memenuhi kebutuhan wajib minimum

b. Untuk menjaga agar saldo rekening yang ada pada bankkoresponden

selalu berada pada jumlah yang ditentukan.

(44)

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa likuiditas digunakan untuk

memenuhi sumber kebutuhan wajib minimum agar saldo rekening pada bank

berada pada jumlah yang ditentukan untuk memenuhi penrikan dana yang

sewktu-waktu dilakukan oleh nasabah.

2.1.3.3 Indikator Likuiditas

Menurut Van Greuning (2002:164) bahwa likuiditas bank dapat diatur

melalui indikator :

“1.Loan to Deposit Ratio (LDR)

2. Loan to Capital Ratio (LCR).”

Salah satu untuk menghitung likuiditas bank adalah dengan menggunakan

loan to deposit ratio (LDR). LDR yaitu seberapa besar dana bank dilepaskan sebagai perkereditan . Pemeliharaan kesehatan bank antara lain dilakukan dengan

tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank memenuhi kewajiban kepada semua

pihak yang menarik atau mencairkan uangnya.

Hal ini menurut Ali (2004:346) dihitung dengan :

Sedangkan BI menggunakan FDR sebagai salah satu alat untuk

mengukur kesehatan bank syariah. FDR dipakai untuk melihat kemampuan bank

syariah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dari dana yang telah

dihimpun.

Loan yang disalurkan

(45)

Dalam dunia perbankan syariah tidak mengenal kredit (loan) dalam

penyaluran dana yang dihimpunnya. Oleh karena itu aktifitas penyaluran dana

yang dilakukan bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan (financing).

Rumus LDR kedalam dunia syariah menjadi financing to deposit rstio (FDR). Sehingga FDR dapat dirumuskan :

2.1.4 Hubungan Pembiayaan Murabahah Dengan Tingkat Likuiditas

Pembiayaan merupakan salah satu fungsi yang dilakukan oleh bank (Bank

Muamalat Indonesia) untuk mendapatkan keuntungan dari bagi hasil yang

digunakan untuk memenuni kewajiban jangka pendek yang disebut likuiditas

bank, Menurut G. Sugiyarso (2005:47) adalah sebagai berikut:

“Komposisi pembiayaan akan mempengaruhi risiko yang berkaitan dengan

likuiditas.”

Risiko pembiayaan akan terjadi apabila pembiayaan yang diberikan oleh

bank kepada nasabah tidak dapat dikembalikan sebesar pembiayaan yang

diberikan ditambah dengan imbalan atau bagi hasil dalam jangka waktu yang

telah ditentukan. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi bank, karena jumlah

dana yang terhimpun dari masyarakat tidak dapat disalurkan kembali kepada

masyarakat, keadaan tersebut akan mempengaruhi tingkat likuiditas bank karena

pembiayaan tersebut.

Pembiayaan yang disalurkan

(46)

Adapun teori lain yang dikutip oleh Siamat (2001:157) menyatakan

bahwa :

“Kredit (pembiayaan) yang di khususkan bank terutama pembiayaan jangka pendek (dalam kondisi normal) pada saat pembayaran cicilan oleh nasabah banknya dapat menambah likuiditas bank yang bersangkutan. Berati pembiayaan yang diberikan dapat mempegaruhi jumlah likuiditas.”

2.2 Kerangka Pemikiran

Strategi pembangunan harus dilakukan dengan pijakan yang kuat, dimulai

dengan memaksimalkan bidang-bidang ekonomi yang dijalankan baik di bidang

keuangan perbankan, ekspor-impor, koperasi pembinaan usaha kecil maupun di

bidang perdagangan umum dan industri. Semua potensi ekonomi tersebut

perwujudannya dilakukan melalui pendanaan yang kuat, adapun sumbernya

didapatkan dari dalam negeri dan luar negeri. Dana yang diperoleh dari sumber

tersebut harus dikelola secara profesional agar distribusinya dapat dimanfaatkan

oleh semua pihak yang memerlukan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, salah

satu sektor penting yang berperan dalam pengelolaan dana dan turut mendorong

perekonomian adalah sektor perbankan.

Dalam pasal 1 Undang – undang No.2 tahun 2008 pengertian bank adalah

sebagai berikut :

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak”.

(47)

“Lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana

dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke

masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya”.

Dari pengertian tersebut di atas mencerminkan dua peran bank baik

sebagai financial intermediate maupun institute of economic development. Sebagai perantara keuangan (financial intermediate), bank melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang surplus dana dalam berbagai bentuk

simpanan. Melalui penghimpunan dana, bank membayar bunga kepada

masyarakat atau nasabah penyimpan. Selanjutnya bank menyalurkan dana

tersebut (sebagian besar) dalam bentuk kredit/pembiayaan kepada masyarakat

yang defisit dana. Melalui penyaluran dana (pembiayaan) bank memperoleh

pendapatan bunga/bagi hasil. Penilaian aspek penghimpunan dan penyaluran dana

merupakan kinerja keuangan yang berkaitan dengan peran bank sebagai lembaga

intermedasi. Berdasarkan uraian di atas, kinerja keuangan bank merupakan

gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik menyangkut

aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasanya diukur dengan

indikator kecukupan modal, rentabilitas, profitablitas, serta likuiditas.

Menurut Habib Nazir dan Hassanudin (2004:56), menjelaskan bank umum

sebagai berikut :

“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

(48)

Berdasarkan pengertian di atas, bank umum memiliki dua sistem yaitu:

1. Sistem konvensional (berdasarkan bunga : kredit).

2. Prinsip Syariah (tanpa bunga/bagi hasil : pembiayaan).

Dalam operasionalnya, bank konvensional memberikan kredit kepada

peminjam atau debitur, sedangkan bank dengan prinsip syariah memberikan

pembiayaan. Dalam pembiayaan yang dilakukan bank akan mengandung risiko

kredit/pembiayaan seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko tingkat bunga, dan

lain-lain. Untuk dapat menentukan tingkat risiko tersebut, bank dapat melihat

laporan keuangannya. Definisi laporan keuangan menurut Henry Simamor

(2000:21), adalah :

“Laporan keuangan adalah laporan yang mencakup neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan”.

Laporan akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan

tingkat risiko kredit/pembiayaan. Untuk menentukan tingkat risiko kredit

perusahaan harus menganalisis laporan keuangannya. Analisis laporan keuangan

dijelaskan oleh Hanafi dan Abdul Halim (2003:5), sebagai berikut :

“Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan untuk mengetahui

(49)

Analisis laporan keuangan dilakukan untuk mengetahui tingkat likuiditas

dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan perusahaan. Tingkat kesehatan bank

merupakan unsur terpenting dalam penilaian kualitas suatu bank.

Menurut Y. Sri Susilo, S. Triondani, A. Budi Santoso (2000:22), mendefinisikan

tingkat kesehatan bank sebagai berikut :

“Kesehatan bank sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku”.

Dalam buku yang sama dijelaskan alat ukur atau indikator dalam menilai

tingkat kesehatan bank sebagai berikut :

“Alat ukur atau indikator dalam menilai tingkat kesehatan bank meliputi

permodalan, likuiditas, profitabilitas, manajemen dan aspek lainnya”.

Begitu luasnya cakupan kesehatan suatu bank dalam melaksanakan

aktivitas usahanya, maka ada beberapa indikator yang digunakan dalam menilai

tingkat kesehatan bank yaitu meliputi permodalan, likuiditas,

rentabilitas/profitabilitas, manajemen bank, dan aspek lainnya. Ketentuan

mengenai kesehatan bank lebih jelasnya diatur dalam Undang-

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2 Jadwal Penelitian
Tabel 2.1
Tabel 2.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan gambar 1.2 persentase usia rata-rata pegawai UPTD Dinas Pendidikan Garut Kota, dapat diketahui bahwa pegawai yang berusia < 21 tahun sebanyak 0%, pegawai

menyusun program kerja rumpun tugas Objek Wisata;b. menyusun program kerja rumpun tugas Kebersihan

(3) Komisi Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS Kabupatan Bulungan dengan Dinas Pendidikan bertugas menyusun kurikulum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

Berdasarkan hasil penelitian mayoritas Activity Daily Living lansia dengan nyeri sendi di Posyandu Lansia Gereja Baptis Indonesia Baitlahim Pesantren Kota

Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Di dalamnya dirumuskan secara terpadu kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterlampilan yang harus dikuasai

Letakkan kain segitiga di depan dada dan di bawah lipatan ketiak, dengan puncak alas kain mengarah ke sisi lengan yang cedera dan salah satu sudut alas kain

a) Penerimaan: penerimaan orang tua terhadap anaknya diwujudkan dalam bentuk perhatian, kehangatan, kasih sayang, akan memberikan sumbangan yang berarti bagi berkembangnya

Masalah desain yang diangkat adalah mendapatkan hasil rancangan fasilitas Pusat Pendidikan Anak Tunagrahita di Surakarta dengan merespon fenomena lingkungan,