iv Oleh
MELI RATNA SARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
i ABSTRAK
VARIASI SUHU SINTERING DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2212 DENGAN DOPING Pb (BPSCCO-2212)
PADA KADAR Ca=1,10
Oleh
MELI RATNA SARI
Bahan superkonduktor BPSCCO-2212 dengan kadar CaCO3 1,10 fraksi mol telah disintesis dengan metode reaksi padatan (solid state reaction method). Sintesis dilakukan selama 10 jam pada suhu kalsinasi (Tk) 800oC dan sintering selama 20 jam dengan variasi suhu (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi suhu sintering terhadap tingkat kemurnian fase superkonduktor Bi-2212 yang terbentuk (fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I)). Hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning
Electron Microscopy). Hasil analisis XRD menunjukkan variasi suhu
sintering cenderung meningkatkan fraksi volume (Fv). Fraksi volume (Fv) pada Ts=815°C diperoleh 72,39%, Ts=820°C diperoleh 74,56%, Ts=825°C diperoleh 87,34%, dan Ts=830°C diperoleh 90,10%. Sedangkan derajat orientasi (P) pada Ts=815°C diperoleh 53,13%, Ts=820°C diperoleh 55,97%, Ts=825°C diperoleh 59,31%, dan Ts=830°C diperoleh 42,43%. Fraksi volume (Fv) relatif baik pada sampel yang disintering dengan Ts= 830°C yaitu 90,10%. Sedangkan derajat orientasi (P) relatif baik pada sampel dengan Ts=825°C yaitu 59,31%.
ii
Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-2212) ON THE CONTENT OF Ca=1,10
By
MELI RATNA SARI
Synthesis of BPSCCO-2212 superconducting materials with CaCO3 1,10 mole fraction has been done using solid reaction method. Synthesis conducted with calcination for 10 hours at temperature of 800oC and sintering for 20 hours with sintering temperature variations (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Sintering temperature variation was performed to determine the effect on the level of purity of the Bi-2212 superconducting phase is formed (volume fraction (Fv), the degree of orientation (P), and impurity (I)). The samples were characterized using XRD (X-Ray Diffraction) and SEM (Scanning Electron Microscopy). XRD analysis results showed variation of sintering temperature tended to increase the value of the volume fraction (Fv). Value of the volume fraction (Fv) on Ts=815°C obtained 72,39%, Ts=820° C obtained 74,56%, Ts=825°C obtained 87,34%, and Ts=830°C obtained 90.10%. While the value of the degree of orientation (P) at Ts=815°C obtained 53,13%, Ts=820°C obtained 55,97%, Ts=825°C obtained 59,31%, and Ts=830°C gained 42,43%. Volume fraction (Fv) is relatively well contained in sintering samples at temperatures 830°C is 90,10%. While the degree of orientation (P) is relatively well contained in the sample with Ts=825°C was 59,31%.
2 ABSTRACT
VARIATION OF SINTERING TEMPERATURE IN THE SYNTESIS OF Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-Bi-2212) ON THE
CONTENT OF Ca=1,10
By
MELI RATNA SARI
Synthesis of BPSCCO-2212 superconducting materials with CaCO3 1,10 mole fraction has been done using solid reaction method. Synthesis conducted with calcination for 10 hours at temperature of 800oC and sintering for 20 hours with sintering temperature variations (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Sintering temperature variation was performed to determine the effect on the level of purity of the Bi-2212 superconducting phase is formed (volume fraction (Fv), the degree of orientation (P), and impurity (I)). The samples were characterized using XRD (X-Ray Diffraction) and SEM (Scanning Electron Microscopy). XRD analysis results showed variation of sintering temperature tended to increase the value of the volume fraction (Fv). Value of the volume fraction (Fv) on Ts=815°C obtained 72,39%, Ts=820° C obtained 74,56%, Ts=825°C obtained 87,34%, and Ts=830°C obtained 90.10%. While the value of the degree of orientation (P) at Ts=815°C obtained 53,13%, Ts=820°C obtained 55,97%, Ts=825°C obtained 59,31%, and Ts=830°C gained 42,43%. Volume fraction (Fv) is relatively well contained in sintering samples at temperatures 830°C is 90,10%. While the degree of orientation (P) is relatively well contained in the sample with Ts=825°C was 59,31%.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
HALAMAN JUDUL ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN ... vi
RIWAYAT HIDUP ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
MOTTO ... x
KATA PENGANTAR ... xi
SANWANCANA ... xii
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ...xvii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Batasan Masalah ... 4
D. Tujuan Penelitian ... 5
xv II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Superkonduktor ... 6
B.Superkonduktor Sistem BSCCO ... 13
C.Kalsinasi ... 16
D.Sintering ... 17
E. Karakterisasi ... 21
F. Program Celref ... 25
III. METODE PENELITIAN A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 27
B.Alat dan Bahan ... 27
C.Komposisi bahan dasar ... 27
D.Preparasi Sampel ... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Pengukuran Pola Difraksi ... 39
B.Hasil Analisis Pola Difraksi Sinar-X (XRD) ... 42
C.Hasil Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)... 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 47
B. Saran ... 48
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena
sifat resistivitas nol yang dimilikinya dan dapat melayang dalam medan magnet.
Kedua sifat ini tampak pada saat bahan ini berada di bawah kondisi parameter
kritisnya (Sukirman, dkk, 2010).
Sejak ditemukan gejala superkonduktivitas oleh fisikawan Belanda Heike
Kammerlingh Onnes pada tahun 1911 (Kittel, 1986), penelitian mengenai
superkonduktor semakin gencar dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Penelitian dilakukan dalam skala besar untuk industri maupun skala kecil
untuk laboratorium, baik dalam bentuk bulk maupun film tipis.
Awalnya sifat superkonduktivitas bahan hanya terjadi pada suhu yang amat
rendah, jauh di bawah 0oC. Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya
listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Hal
tersebut menjadi permasalahan utama dalam pemanfaatan superkonduktor. Pada
saat ini ilmuwan masih melakukan penelitian untuk mendapatkan bahan
superkonduktor yang berada dalam suhu kamar. Untuk merealisasikan rencana
besar ini, ilmuwan masih mengalami banyak kendala, antara lain membuat bahan
2
mempunyai fase murni, densitas tinggi, homogenitas tinggi, ukuran kristal yang
besar, rapat arus kritis tinggi (Tc), dan medan magnetik kritis tinggi (Hc),
sehingga pengaplikasiannya tidak memerlukan biaya yang mahal. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bahan-bahan baru yang berpotensi
menghasilkan superkonduktor suhu ruang (Cyrot and Pavuna, 1992).
Pada awal tahun 1988, ditemukan beberapa bahan superkonduktor oksida yaitu
Bi-Sr-Ca-Cu-O dan Ti-Ba-Ca-Cu-O yang memiliki temperatur kritis (Tc)
berturut-turut 110 K (-163ºC) dan 125 K (-148ºC) (Sukirman, dkk, 2003;
Darminto, dkk, 1999). Sedangkan untuk superkonduktor berbasis bismuth (Bi),
sampai saat ini telah dapat dibuat beberapa fase yaitu Bi-1212, Bi-2201(Tc=10
K), Bi-2212 (Tc=80 K), Bi-2223 (Tc=110 K) (Frank et al., 1996; Chu, et al.,
1997; Maple, 1998; Yulianti, 2004).
Diantara superkonduktor berbasis bismuth, senyawa superkonduktor BSCCO
berfase Bi2Sr2CaCu2O8+δ (Bi-2212) merupakan bahan superkonduktif yang mudah
membentuk fase senyawa dalam padatan polikristal dan tersedia metode yang
tepat dalam menumbuhkan kristal tunggal. Oleh karena itu, senyawa Bi-2212
banyak dijadikan model studi untuk superkonduktor berbasis bismuth (Darminto,
2002).
Senyawa superkonduktor berbasis Bi (BSCCO), umumnya disintesis dari bahan
awal berupa oksida Bi, Sr, Ca dan Cu (Zavaritsky, et al., 1990). Penelitian tentang
superkonduktor BSCCO untuk memperoleh senyawa superkonduktor Tc tinggi
dengan tingkat kemurnian tinggi telah banyak dilakukan, misalnya penelitian yang
doping Pb yang dihasilkan melalui proses kalsinasi dan sintering yang terpisah.
Kemudian penambahan doping Pb pada Bi-2212 yang meningkatkan derajat
orientasi kristal yang terbentuk (Nurmalita, 2002; Ghofur, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian tentang variasi suhu kalsinasi dan sintering pada
sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb, diperoleh kesimpulan bahwa
fraksi volume (Fv) tertinggi diperoleh pada suhu sintering 820oC yaitu 82,9%
(Ningrum, 2006). Penelitian lain juga dilakukan untuk melihat pengaruh dari
variasi CaCO3 terhadap superkonduktor BPSCCO-2212 dan diperoleh Fv tertinggi
saat kadar Ca=1,10 yaitu 87,26% dan secara umum kristal yang terbentuk sudah
terorientasi (Larasati, 2013).
Sintesis superkonduktor sistem BSCCO banyak dilakukan dengan metode reaksi
padatan (solid state reaction method). Metode ini memiliki keuntungan antara
lain mudah dilakukan, sederhana serta tidak mahal dalam mensintesis bahan
superkonduktor. Metode ini diharapkan akan mendapatkan homogenitas yang
tinggi. Sedangkan, parameter penting pada proses reaksi padatan (solid state
reaction method) ini diantaranya proses pemanasan, pengontrolan suhu, dan
waktu (Santosa, dkk, 1996).
Pada penelitian ini dilakukan variasi suhu sintering pada sintesis superkonduktor
Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO–2212) pada kadar Ca=1,10. Sintesis
dilakukan dengan metode reaksi padatan dan hasilnya dikarakterisasi
menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy
(SEM). Analisis XRD dilakukan dengan program celref. Untuk mengetahui
4
(BPSCCO–2212) yang terbentuk, dilakukan dengan menghitung fraksi volume
(Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I).
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh variasi suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan
superkonduktor BPSCCO–2212 pada kadar Ca=1,10.
2. Bagaimana tingkat kemurnian fase bahan superkonduktor BPSCCO–2212 pada
kadar Ca=1,10 dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P),
dan impuritas (I).
C. Batasan Masalah
Sedangkan batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO–2212)
dilakukan menggunakan metode reaksi padatan (solid state reaction method).
2. Kadar Ca yang digunakan 1,10.
3. Sampel dikalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam.
4. Sampel disintering selama 20 jam dengan variasi suhu sintering (Ts)=815oC,
820 oC, 825oC, dan 830oC.
5. Hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi menggunakan X–Ray
Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).
6. Analisis kuantitatif pola difraksi sinar–X hasil sintesis dilakukan menggunakan
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh variasi suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan
superkonduktor Bi–2212 dengan doping Pb (BPSCCO–2212) pada kadar
Ca=1,10.
2. Mengetahui tingkat kemurnian fase bahan superkonduktor Bi-2212 yang
terbentuk dengan penambahan doping Pb dan kadar Ca=1,10 (menghitung
fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I)).
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Meningkatkan penguasaan dalam bidang superkonduktor, terutama dalam
proses sintesisnya.
2. Memperoleh informasi tentang pengaruh variasi suhu sintering terhadap
pembentukan fase bahan superkonduktor BPSCCO–2212 pada kadar Ca=1,10.
3. Menghasilkan referensi ilmiah yang dapat memberikan informasi yang lebih
lengkap tentang superkonduktor sistem BPSCCO–2212 pada kadar Ca=1,10
yang disintesis menggunakan metode reaksi padatan (solid state reaction
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Superkonduktor
Superkonduktor adalah suatu material yang tidak memiliki hambatan di bawah
suatu nilai suhu tertentu yang disebut dengan suhu kritis (Cyrot dan Pavuna,
1992). Sehingga bahan superkonduktor dapat mengalirkan arus listrik tanpa
kehilangan daya sedikitpun (Darminto, dkk, 1999) atau tanpa kehilangan energi.
Superkonduktor dapat berupa unsur atau paduan logam (Aruku, 2009). Pada suhu
ruang superkonduktor dapat berupa konduktor, semikonduktor maupun insulator
(Ismunandar dan Cun, 2002).
1. Sejarah Superkonduktor
Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang
fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada
tanggal 10 Juli 1908, Onnes mencairkan helium dengan cara mendinginkannya
hingga suhu 4 K atau –269oC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai
mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada saat
itu diketahui bahwa hambatan dari suatu logam akan menurun ketika didinginkan
di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah
Beberapa ilmuwan lainnya, William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang
mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak.
Sedangkan ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan
akan menghilang pada suhu mencapai nol mutlak. Untuk mengetahui yang
sebenarnya terjadi, kemudian Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang
sangat murni. Sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya.
Ketika suhu mencapai 4,2 K, Onnes melihat hambatannya tiba-tiba hilang, tetapi
arusnya mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus (Anwar, 2010).
Pada keadaan tidak ada hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan
energi sedikitpun. Onnes melakukan percobaan dengan mengalirkan arus pada
suatu kumparan superkonduktor dalam suatu rangkaian tertutup, kemudian
sumber arusnya dicabut. Satu tahun kemudian, Onnes mengukur arusnya, ternyata
arus masih tetap mengalir. Kemudian oleh Onnes fenomena ini diberi nama
superkondutivitas. Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada
tahun 1913.
Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan
bahwa bahan superkonduktor akan menolak medan magnet. Telah diketahui
bahwa jika suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet, maka arus induksi
akan mengalir dalam konduktor tersebut. Akan tetapi, arus dalam bahan
superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan tersebut,
sehingga material superkonduktor tidak dapat ditembus oleh medan tersebut.
8
istilah Diamagnetisme dan efek ini kemudian dinamakan Efek Meissner
(Ismunandar and Cun, 2002).
Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffer
mengajukan teori tentang superkonduktor yaitu bahwa elektron-elektron dalam
superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada
dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan ini disebut pasangan
Cooper. Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Teori BCS ini menjadikan
ketiga ilmuwan tersebut memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972.
Pada tahun 1986 fisikawan dari Switzerland yaitu Alex Müller and George
Bednorz, melakukan penelitian di Laboratorium Riset IBM di Rüschlikon.
Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum,
barium, tembaga, dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu kritis
tertinggi 30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal
sebagai isolator dan pada suhu ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama
sekali. Setahun kemudian keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel (Aruku,
2009).
Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor
pada suhu kritis 90 K. Dengan demikian dapat digunakan nitrogen cair sebagai
pendinginnya. Karena suhu kritisnya cukup tinggi dibandingkan dengan material
superkonduktor yang lain, maka material tersebut diberi nama superkonduktor
suhu kritis tinggi. Menurut Ismunandar dan Cun (2002) suhu kritis tertinggi suatu
Perkembangan penemuan bahan superkonduktor dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan bahan superkonduktor (Pikatan, 1989).
Bahan Ditemukan
(tahun)
Tc (K)
Raksa (Hg) 1911 4,2
Timbal (Pb) 1913 7,2
Niobium nitride 1960-an 16,0
Niobium-3-timah 1960-an 18,1
Al0,8Ge0,2Nb3 1960-an 20,7
Niobium germanium 1973 23,2
Lanthanum barium tembaga 28 oksida
1985 28,0
Yitrium barium tembaga oksida (123 atau YBCO)
1987 93,0
Thalium barium kalsium tembaga oksida
1987 125,0
2. Karakteristik Superkonduktor
Suatu bahan dikatakan bersifat superkonduktor jika menunjukkan dua sifat khusus
yaitu konduktivitas sempurna (perfect conductivity) tanpa adanya hambatan (ρ=0),
pada temperatur T ≤ Tc dan diamagnetik sempurna (perfect diamagnetic) dengan
B=0 pada temperatur T ≤ Tc yang lebih dikenal dengan gejala efek Meissner
(Tinkham, 1996). Karakteristik ini (resistivitas nol dan efek Meissner) yang dapat
diambil manfaatnya untuk kehidupan manusia. Sebagai contoh, jika kita akan
mentransmisikan energi listrik dari satu tempat ke tempat lain, seperti dari
pembangkit tenaga listrik ke rumah-rumah. Jika menggunakan konduktor biasa
yang resistivitasnya tidak nol, maka kita akan mengalami kerugian karena adanya
energi listrik yang hilang menjadi panas pada kabel konduktor. Sebaliknya, jika
10
akan kehilangan energi listrik. Dengan demikian efisiensi transmisi menjadi
sangat baik, dan bahkan secara teoritis dapat mencapai 100% (Rakhman, 2011).
a. Konduktivitas Sempurna (perfect conductivity)
Pada suhu rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol
(ρ=0) (Pikatan, 1989; Zarkasi, 2006). Material yang didinginkan di dalam
nitrogen cair atau helium cair, resistivitas material ini akan turun seiring dengan
penurunan suhu. Pada suhu tertentu, resistivitas material akan turun secara drastis
menjadi nol. Suhu dimana resistivitas material turun drastis menjadi nol disebut
suhu kritis (Tc), yaitu terjadinya transisi dari keadaan normal ke keadaan
superkonduktor (Reitz, et al., 1993; Artinta dan Sianturi, 2002). Hubungan antara
suhu dengan resistivitas terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas (Pikatan, 1989).
Berdasarkan Gambar 1, saat suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan
normal, yang artinya bahan tersebut memiliki resistivitas listrik. Keadaan normal
ini dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek dan bahkan menjadi isolator.
Untuk suhu T ≤ Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor, yang artinya
magnet luar yang diberikan selalu sama besar dengan magnetisasi bahan. Hal ini
ditandai dengan resistivitasnya turun drastis menjadi nol.
b. Efek Meissner
Ketika superkonduktor ditempatkan di dalam medan magnet luar yang lemah,
medan magnet akan menembus superkonduktor pada jarak yang sangat kecil dan
dinamakan London Penetration Depth ( ). Pada bahan superkonduktor umumnya
London Penetration Depth ( )sekitar 100 nm. Setelah itu medan magnet bernilai
nol. Peristiwa ini dinamakan Efek Meissner (Shukor, 2009) dan merupakan
karakteristik dari superkonduktor. Efek Meissner adalah efek dimana
superkonduktor menghasilkan medan magnet dari dalam bahan superkonduktor.
Efek Meissner ini sangat kuat sehingga sebuah magnet dapat melayang karena
ditolak oleh superkonduktor. Medan magnet dari luar juga tidak boleh terlalu
besar. Apabila medan magnetnya terlalu besar, maka efek Meissner ini akan
12
Fenomena efek Meissner bahan superkonduktor ditunjukkan pada Gambar 2.
A. T < Tc B. T > Tc
Gambar 2. Efek Meissner. (A). suhu bahan masih di atas suhu kritis superkonduktor, (B). bahan sudah menjadi superkonduktor (T < Tc) sehingga medan magnet luar ditolak oleh superkonduktor (Salmah, 2001).
Pada keadaan ini, London mempostulatkan bahwa medan induksi magnetik di
dalam bahan sama dengan nol (B=0) (Smith, 1990). Untuk pengujian efek
meissner dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Efek Meissner pada superkonduktor yang memberikan gejala penolakan medan magnet luar (Wanibesak, 2011).
B. Superkonduktor Sistem BSCCO
Superkonduktor sistem BSCCOmerupakan superkonduktor oksida keramik yang
mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor
sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem
BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang
koherensi yang pendek (Herlyn, 2008).
1. Struktur Kristal dan Diagram Fase Superkonduktor BSCCO
Superkonduktor sistem BSCCO memiliki beberapa keunggulan dan keistimewaan
dibandingkan superkonduktor keramik yang lain, karena suhu kritisnya (Tc)
relatif tinggi dan tidak mengandung unsur beracun. Dalam superkonduktor sistem
BSCCO dikenal 3 fase superkonduktif yaitu fase 2201 dengan komposisi
Bi2Sr2CuO memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 10 K, fase 2212 dengan komposisi
Bi2Sr2CaCu2O memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 80 K dan fase 2223 dengan
komposisi Bi2Sr2Ca2Cu3O memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 110 K (Siswanto,
1999; Yulianti, 2002). Senyawa impuritas superkonduktor sistem ini dapat
terbentuk dalam keadaan setimbang sebagai campuran dua fase atau lebih
14
Gambar 4. Struktur kristal sistem BSCCO (Bourdillon and Bourdillon, 1994; Lehndorff, 2001).
Selain itu, pembentukan senyawa bergantung pada komposisi nominal bahan
penyusun dan suhu pemrosesannya yang dapat digambarkan oleh diagram fase
sistem yang bersangkutan (Suprihatin, 2002). Diagram fase menjelaskan tentang
fase yang mungkin terbentuk dan keeksistansiannya pada temperatur atau tekanan
tertentu. Diagram fase untuk keperluan sintesis sistem BSCCO mengacu pada
hasil yang diperoleh Strobel dan kawan-kawan yang umumnya terbagi dalam
Gambar 5. Diagram fase superkonduktor BSCCO (Strobel dkk, 1992).
Diagram fase pada Gambar 5 menyatakan hubungan antara suhu dan komposisi
pembentukan Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n dengan n berbeda. Dalam diagram fase
tersebut terdapat daerah pembentukan fase Bi-2212, yaitu daerah fase Bi-2212
+2:1 + L1, dan daerah fase Bi-2212 + 2:1 + CuO +L1 (Strobel, 1992; Darminto,
1999).
2. Sintesis Superkoduktor Sistem BSCCO
Penelitian superkonduktor sistem BSCCO telah banyak dilakukan untuk
16
diantaranya penggunaan doping Pb dan Ag, doping Pb dan Sb, penggunaan fluks
(Bi2O3, KCI, dan NaCl). Selain itu, juga dengan mengubah beberapa parameter
proses, seperti variasi komposisi awal. Namun semua penelitian tersebut belum
mampu menghasilkan sampel sesuai yang diharapkan (Rachmawati, 2009).
Berbagai upaya untuk meningkatkan nilai Tc dan fraksi volume pada
superkonduktor sistem BSCCO telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ningrum
(2006) meneliti tentang variasi suhu kalsinasi dan sintering pada sintesis
superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO–2212) yang menyimpulkan
bahwa fraksi volume tertinggi diperoleh ketika variasi suhu sintering 820oC
(Fv=82,9%). Selain itu, Ghofur (2007) juga mensintesis superkonduktor Bi-2212
dengan variasi kadar Pb yang diperoleh derajat orientasi dan fraksi volume
tertinggi pada variasi kadar doping Pb=0,2 serta Larasati (2013) yang melihat
pengaruh variasi kadar Ca pada superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb yang
diperoleh fraksi volume tertinggi pada kadar Ca=1,10 (Fv=87,26%).
C. Kalsinasi
Kalsinasi adalah proses pemanasan suatu material pada suhu tinggi, namun di
bawah titik lelehnya. Tujuan kalsinasi untuk membuang komposisi yang tidak
dibutuhkan, seperti H2O, air kristal (dalam bentuk OH) dan gas (CO2) sehingga
Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain:
a) Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100oC
hingga 300oC.
b) Pelepasan gas-gas seperti: CO2 berlangsung sekitar suhu 600oC dan pada tahap
ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup berarti.
c) Pada suhu lebih tinggi, sekitar 800oC struktur kristalnya sudah terbentuk,
dimana pada kondisi ini ikatan diantara partikel serbuk belum kuat dan mudah
lepas (Pujaatmaka dan Qadratillah, 1995; Sembiring, 2012).
D. Sintering
Sintering merupakan proses pemanasan di bawah titik leleh dalam rangka
membentuk fase kristal baru sesuai yang diinginkan dan bertujuan membantu
mereaksikan bahan-bahan penyusun baik bahan keramik maupun bahan logam.
Proses sintering akan berpengaruh cukup besar pada pembentukan fase kristal
bahan. Fraksi fase yang terbentuk umumnya bergantung pada waktu dan suhu
sintering. Semakin besar suhu sintering dimungkinkan semakin cepat proses
pembentukan kristal tersebut, sedangkan sintering yang cukup akan menyebabkan
partikel halus menjadi lebih padat. Tinggi rendahnya suhu juga berpengaruh pada
bentuk serta ukuran celah dan juga berpengaruh pada struktur pertumbuhan kristal
(Van Vlack, 1989; Setyowati, 2011).
Pada proses ini terjadi perubahan struktur mikro, seperti perubahan ukuran pori,
pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas, dan penyusutan massa.
18
yang dikehendaki, dilanjutkan dengan pembakaran yang dapat mengikat partikel.
Sintering memerlukan suhu tinggi agar partikel halus dapat beraglomerasi menjadi
bahan padat. Sintering menyebabkan butiran-butiran partikel saling mendekat
sehingga menyebabkan transformasi padatan berpori menjadi padat (Ristic, 1989;
Smith, 1990).
1. Tahapan Sintering
Sintering memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan awal, tahapan medium dan
tahapan akhir.
a. Tahapan Awal
Selama tahap awal, kontak titik antar partikel terus meningkat sehingga
membentuk pertumbuhan leher (neck growth). Pada tahapan ini, proses densifikasi
sangat cepat, sehingga densitas bahan mencapai 60%.
b. Tahapan Medium (pertengahan)
Pada tahapan ini, penggabungan antar butir terus terjadi sehingga membentuk
saluran pori yang berkesinambungan, rongga mulai hilang dari saluran silinder
dan terbentuklah pori-pori yang berbentuk diskrit. Pada proses ini densitasnya
mencapai 92%-95%.
c. Tahapan Akhir
Pada tahap akhir, saluran pori yang kontinu menghilang dan berubah bentuk
menjadi pori-pori individu. Pada tahapan ini, proses densifikasi telah berakhir.
Proses yang terjadi hanyalah perpaduan antara partikel-partikel yang lebih besar
dan pori-pori sudah tertutup. Skema tahapan terbentuknya pertumbuhan leher
Gambar 6. Tahapan terbentuknya pertumbuhan leher (neck growth) dalam proses sintering (Sembiring, 2012).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sintering
Beberapa hal yang mempengaruhi proses sintering adalah:
a. Ukuran Butir
Semakin kecil ukuran butir akan menghasilkan densifikasi yang semakin baik.
Bentuk dan ukuran butir yang seragam akan memberikan densitas yang rendah.
b. Suhu dan Waktu Pembakaran
Tingkat densifikasi optimal akan tercapai bila kecepatan pembakarannya
konstan hingga mencapai suhu maksimal pembakaran. Kemudian ditahan pada
suhu tersebut dalam waktu tertentu.
c. Tekanan
Metode penekanan yang efektif adalah dengan hot pressing. Sehingga dapat
20
3. Klasifikasi Sintering
Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam
keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fase cair (liquid phase
sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan komposit yang diberi
tekanan diasumsikan sebagai fase tunggal, oleh karena tingkat pengotornya
rendah. Sedangkan sintering pada fase cair adalah sintering untuk serbuk yang
disertai terbentuknya fase liquid selama proses berlangsung. Proses terjadinya
sintering dapat dilihat pada Gambar 7.
(a) (b)
Gambar 7. Proses sintering padat. (a) Sebelum sintering partikel mempunyai permukaan masing-masing. (b) Setelah sintering hanya mempunyai satu permukaan (Van Vlack, 1989).
Gambar 7 memperlihatkan proses sintering padat. Selama sintering penyusutan
serbuk bertambah kuat, pori-pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini
diakibatkan oleh sifat dasar serbuk, kondisi tekanan, aditif, waktu dan suhu
sintering. Sintering memerlukan pemanasan agar partikel halus menjadi padat.
Sintering tanpa cairan memerlukan difusi dalam bahan padat itu sendiri, sehingga
E. Karakterisasi
1. XRD (X-Ray Diffraction)
Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895.
Karena asalnya tidak diketahui, maka disebut sinar-X. Sinar-X digunakan untuk
tujuan pemeriksaan yang tidak merusak pada material maupun manusia.
Disamping itu, sinar-X dapat menghasilkan pola difraksi tertentu analisis
kualitatif dan kuantitatif material.
Pada waktu suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang
ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan
adanya penyerapan oleh material dan penghamburan oleh atom-atom dalam
material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada yang saling
menghilangkan karena fasenya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan
karena fasenya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah yang disebut
sebagai berkas difraksi (Ratnasari, dkk, 2009; Oktaviana, 2009).
Jika sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang
sama dengan jarak antar atom dalam kristal, maka sangat mungkin kristal akan
mendifraksikan sinar-X. Berdasarkan hasil eksperimen, Van Laue dan dua ahli
fisika Inggris, W.H. Bragg serta W.L. Bragg menyatakan bahwa perbedaan
lintasan berkas difraksi sinar-X harus merupakan kelipatan panjang gelombang:
(1)
dimana adalah bilangan bulat 1, 2, 3,..., adalah panjang gelombang sinar-X,
22
dikenal sebagai Hukum Bragg yang merupakan syarat terjadinya difraksi. Skema
[image:30.595.215.454.146.264.2]difraksi sinar-X dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema difraksi sinar-X oleh atom dalam kristal (Cullity, 1978).
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel
kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang
dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah
puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin
kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada
pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam
sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini
kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis
material (Zakaria, 2003; Ratnasari, 2009; Suryanarayana, 1998).
Sinar-X dihasilkan dari tumbukan antara elektron kecepatan tinggi dengan logam
target. Dari prinsip dasar ini, maka alat untuk menghasilkan sinar-X harus terdiri
dari beberapa komponen utama, yaitu:
a. Sumber elektron (katoda),
b. Tegangan tinggi untuk mempercepat elektron, dan
Ketiga komponen tersebut merupakan komponen utama suatu tabung sinar-X.
[image:31.595.146.480.155.285.2]Skema tabung sinar-X dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Skema tabung sinar-X (Oktaviana, 2009).
2. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Morfologi butir sampel dapat dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy
(SEM), meliputi ukuran, bentuk dan tekstur butir (Yulianti, 2004). Bila SEM
digabungkan dengan EDAX, maka dapat digunakan untuk menganalisis
komposisi kimia pada daerah yang sangat sempit dalam orde mikrometer dan
pemetaan pada suatu sampel (Siswanto, 2002).
Teknik SEM pada dasarnya merupakan pemeriksaan dan analisis permukaan.
Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau lapisan setebal
20 m, yang merupakan gambar tofografi dari penangkapan elektron sekunder
(secondary electron/ SE) yang dipancarkan oleh spesimen. Ilustrasi prinsip kerja
24
Gambar 10. Desain prinsip kerja SEM (Anonim A, 2012).
Kata kunci dari prinsip kerja SEM adalah scanning yang berarti bahwa berkas
elektron “menyapu” permukaan spesimen titik demi titik dengan sapuan
membentuk garis demi garis, mirip seperti gerakan mata yang membaca. Sinyal
elektron sekunder yang dihasilkannya pun adalah titik pada permukaan, yang
selanjutnya ditangkap oleh SE detector, kemudian diolah dan ditampilkan pada
layar Cathode Ray Tube (CRT). SE adalah elektron yang dihamburkan dari atom
logam target setelah ditumbuk oleh elektron pertama dari sinar elektron (Smith,
1990). Scanning coil bekerja secara sinkron mengarahkan berkas elektron pada
tabung layar, sehingga didapatkan gambar permukaan spesimen pada layar.
Sinyal lain yang penting adalah back scattered electron yang intensitasnya
tergantung pada nomor atom unsur spesimen. Dengan cara ini akan diperoleh Electron gun
Specimen
Beam deflector Lens
gambar yang menyatakan perbedaan unsur kimia (warna terang menunjukkan
adanya unsur kimia yang lebih tinggi nomor atomnya) (Smith, 1990).
Daya pisah atau resolusi pada SEM dihasilkan oleh berkas elektron sebagai
sumber cahaya dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada
panjang gelombang cahaya tampak. Hubungan daya pisah (d) dengan panjang
gelombang ( ) dirumuskan oleh Reyleigh:
(2)
Dengan β adalah celah efektif lensa objektif. Dari persamaan di atas, dapat dilihat
bahwa semakin besar panjang gelombang, maka daya pisahnya semakin baik
(Gabriel, 1985).
F. Program Celref
Celref adalah perangkat lunak (soft ware) yang digunakan untuk memperbaiki
(menghaluskan) grafik sebuah data dengan puncak yang bertumpang-tindih
(Anonim B, 1999). Celref dikembangkan di Laboratoire des Matériaux et du
Génie Physique Ecole Nationale Supérieure de Physique de Grenoble (INPG)
Domaine Universitaire oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu untuk proses
refinement data hasil analisis XRD (Laugier dan Bochu, 1999).
Refinement adalah proses pengukuran parameter sel. Tujuan dari proses
refinement atau penghalusan ini adalah untuk mencocokkan atau fitting suatu
26
Fungsi dari software celref yaitu untuk mengimpor data mentah atau data puncak
hasil pengukuran XRD dengan cara memilih puncak yang sesuai berdasarkan
auto-select atau auto-match. Celref memiliki cara kerja yang mudah dalam
menetapkan puncak dari data mentah melalui pencarian parameter sel yang paling
mungkin dari data standar internasional yang telah baku menurut program. Setelah
proses pencarian parameter sel yang paling mungkin, maka akan diperoleh
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di
Laboratorium Fisika Material dan Laboratorium Kimia Instrumentasi FMIPA
Universitas Lampung serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
(P3GL) Bandung.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: neraca sartorius digital,
pipet, spatula, mortar pestle, cetakan sampel (die), tungku (furnace), alat pressing,
crucible, X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Microscopy(SEM).
Sedangkan bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan
oksida dan karbonat dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu: Bi2O3 (99,9%)
dari strem chemical, PbO (99%) dari aldrick, SrCO3 (99,9%) dari strem chemical,
CaCO3 (99,95%) dari strem chemical, dan CuO (99,999%) dari merck.
C. Komposisi Bahan Dasar
Untuk membuat 3 gr sampel BPSCCO-2212 dengan kadar Pb=0,4 dan Ca=1,10
28
Tabel 2. Komposisi bahan BPSCCO-2212 pada kadar CaCO3=1,10. Bahan Fraksi Massa (gram)
Bi2O3 1,60 1,0894
PbO 0,40 0,2609
SrCO3 2,00 0,8629
CaCO3 1,10 0,3218
CuO 2,00 0,4650
Total 3,0000
D. Preparasi Sampel
Metode yang digunakan adalah metode reaksi padatan (solid state reaction
method) yang terdiri dari penggerusan, peletisasi (pressing) dan pemanasan
[image:36.595.115.352.101.217.2](kalsinasi dan sintering). Prosedur kerja dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram alir penelitian.
Penimbangan bahan awal dengan komposisi dasar (BiPb)2Sr2CaCu2O8
Penggerusan 15 jam; Peletisasi
Kalsinasi selama 10 jam pada suhu Tk=800oC
Penggerusan 20 jam; Peletisasi
Sintering selama 20 jam pada variasi suhu Ts=815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC
Karakterisasi
[image:36.595.137.500.412.728.2]1. Penimbangan
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian terlebih dahulu ditimbang sesuai
dengan takaran yang telah ditentukan. Semua bahan yang telah ditimbang
ditempatkan pada wadah tersendiri.
2. Penggerusan
Setelah ditimbang, bahan dicampur dan digerus dengan mortar dan pestle secara
manual sehingga bahan terasa halus selama 15 jam sebelum kalsinasi dan 20
jam sebelum sintering. Penggerusan bertujuan untuk meningkatkan homogenitas
bahan dan memperluas permukaan kontak agar reaksi dapat berlangsung secara
stoikiometrik. Dengan demikian, terjadi peningkatan efektivitas reaksi padatan
yang membentuk benih-benih senyawa (prekursor).
3. Peletisasi
Metode reaksi padatan (solid state reaction method) bahan superkonduktor
BPSCCO-2212 akan lebih mudah berlangsung jika bahan pembentuknya
berukuran kecil (luas permukaan kontak besar) dan jaraknya relatif berdekatan
satu dengan yang lain (padat). Dengan demikian agar reaksi padatan lebih
optimal, maka dilakukan peletisasi yaitu proses pemadatan serbuk bahan yang
telah digerus dengan alat pressing. Pada penelitian ini sampel dipelet dengan
30
4. Kalsinasi dan sintering
Beberapa senyawa awal yang berbentuk karbonat perlu didekomposisi pada suhu
di bawah titik lelehnya dengan tujuan membuang komposisi yang tidak
diperlukan, misalnya:
CaCO3 CaO(s) + CO2 (3)
SrCO3 SrO(s) + CO2 (4)
Sampel dikalsinasi menggunakan furnace merk termolyne tipe 47900 pada suhu
selama 10 jam. Setelah dikalsinasi pelet digerus dan dipelet lagi. Kemudian
pelet disintering dengan variasi temperatur sintering (Ts) 815ºC, 820ºC, 825ºC,
830ºC selama 20 jam.
Tujuan kalsinasi adalah untuk menghilangkan senyawa-senyawa karbonat yang
tidak diperlukan. Hasil proses kalsinasi biasanya masih belum sempurna karena
adanya porositas akibat dekomposisi senyawa-senyawa karbonat. Sehingga perlu
dilakukan proses sintering untuk membentuk senyawa tertentu. Diagram kalsinasi
dan sintering secara terpisah ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13.
T(°C)
Furnace Cooling
[image:38.595.167.453.560.702.2]5 15 t (jam) Gambar 12. Diagram proses kalsinasi.
T(°C)
Ts Furnace Cooling
[image:39.595.167.457.80.233.2]5 25 t (jam) Gambar 13. Diagram proses sintering.
5. Karakterisasi
Sampel yang telah selesai disintesis kemudian dikarakterisasi menggunakan
X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).
a. X-Ray Diffraction (XRD)
Karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X bertujuan untuk mengetahui fase
yang terbentuk pada sampel, menganalisis kemurnian serta jenis impuritas yang
terdapat pada sampel berdasarkan intensitas penyerapan terhadap sudut 2θ yang
terbentuk. Pola difraksi sampel diperoleh dengan menembak sampel
menggunakan sumber Cu-Kα yang mempunyai panjang gelombang 1,54 Å
menggunakan alat XRD merk PANanalytical tipe X’Pert PRO PW3040/x0. Data
difraksi diambil dalam rentang 2θ = 5° sampai 80°, dengan modus scanning
continue, dan step size sebesar 2θ = 0,05 serta waktu 2 detik per step. Spektrum
XRD memberi informasi mengenai puncak–puncak intensitas pada sudut 2θ
tertentu. Dengan bantuan program celref, pola difraksi sampel yang diperoleh
dibandingkan dengan pola difraksi serbuk BPSCCO/BSCCO fase 2212 yang
32
dapat diamati dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P) dan
impuritas (I) yang terkandung pada sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
(5)
(6)
(7)
Dengan:
Fv = Fraksi volume fase Bi-2212
P = Derajat orientasi
I = Impuritas
= Intensitas total
I (2212) = Intensitas fase 2212
[image:40.595.150.485.471.689.2]I (00l) = Intensitas fase h=0, k=0,dan l=bilangan genap.
b. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Struktur mikro dari sampel dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy
(SEM). Hal ini dilakukan untuk melihat ukuran dan bentuk grain sampel.
Bahan superkonduktor mempunyai konduktivitas yang cukup besar, sehingga
sampel tidak perlu di coating dengan Au atau C, tetapi cukup dengan
menempelkan sampel pada holder menggunakan pasta perak.
6. Analisis (program Celref)
Analisis data XRD menggunakan program celref versi ke 3 (CELREF V3)
yang disusun oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu. Langkah-langkah dalam
analisis data XRD menggukan program ini sebagai berikut:
a. Mengubah data XRD hasil pengukuran yang diperoleh (dalam bentuk
[image:41.595.153.483.442.662.2]excel) ke dalam bentuk .rd yang ditunjukkan pada Gambar 15.
34
b. Membuka program celref.
c. Membuka file yang telah dikonversi ke format .rd, dengan cara mengklik
file, pilih open, profile file, pilih format Philip format (.rd) yang
ditunjukkan pada Gambar16a dan 16b.
(a)
[image:42.595.155.503.193.693.2](b)
d. Memilih puncak-puncak yang terbentuk di program celref (Gambar 17)
[image:43.595.154.508.140.346.2]dan mencocokkan dengan spektrum Mannabe.
Gambar 17. Puncak-puncak yang akan dianalisis.
e. Mengubah “Initial Cell Parameter” dan melakukan proses calculate pada
celref yang ditunjukkan pada Gambar 18. Hal-hal yang diubah
diantaranya:
System : Orthorombic,
Nilai awal kisi kristal:
a = 5.4217,
b = 5.3838, dan
c = 30.8854.
36
Gambar 18. Proses penentuan inisial parameter sel dan calculate.
f. Memilih “angular tolerance” (0.5 sampai 1) pada “Selecion of the
reflections” yang ditunjukkan pada Gambar 19.
[image:44.595.154.515.434.696.2]g. Me-refine puncak yang telah dipilih sampai mendapat hasil yang sesuai
antara inisial sebelum dan setelah di-refine sehingga diperoleh seperti
Gambar 20.
Gambar 20. Hasil refine.
h. Meng-export data dari program celref ke ms-excel untuk menentukan
[image:45.595.167.499.166.412.2]intensitas yang ditunjukkan pada Gambar 21.
[image:45.595.231.435.493.740.2]38
i. Menentukan intensitas puncak yang diperoleh dengan mencari nilai yang
mendekati 2T(Obs) pada database excel terhadap data XRD hasil
[image:46.595.156.533.166.374.2]pengukuran, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22.
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Peningkatan suhu sintering cenderung meningkatkan nilai fraksi volume.
2. Fraksi volume (Fv) pada suhu sintering/Ts=815°C diperoleh 72,39%, Ts=820°C
diperoleh 74,56%, Ts=825°C diperoleh 87,34%, dan Ts=830°C diperoleh
90,10%. Impuritas (I) pada suhu sintering/Ts=815°C diperoleh 27,61%,
Ts=820°C diperoleh 25,43%, Ts=825°C diperoleh 12,65%, dan Ts=830°C
diperoleh 9,90%. Sedangkan derajat orientasi (P) pada suhu sintering/Ts=815°C
diperoleh 53,13%, Ts=820°C diperoleh 55,97%, Ts=825°C diperoleh 59,31%,
dan Ts=830°C diperoleh 42,43%.
3. Fraksi volume (Fv) dan impuritas (I) relatif baik terdapat pada kode sampel
BPSCCO-2212/Ts 830 dengan fraksi volume (Fv) paling tinggi 90,10% dan
impuritas (I) paling rendah 9,90%. Sedangkan derajat orientasi (P) relatif baik
48
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk meningkatkan fraksi volume
BPSCCO–2212 perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan variasi
terhadap waktu penahanan saat pemanasan (kalsinasi/sintering). Selain itu, untuk
meningkatkan kualitas kristal perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode lain,
misalnya dengan metode pelelehan (self-flux atau flux lainnya (KCl, Bi2O3, NaCl dan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim A. 2012. Scanning Electron Microscope. http://www.docstoc.com/docs/ 22448227/. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013 pukul 09.15 WIB.
Anonim B. 1999. Using Celref to help Assign a Spacegroup after Powder
Indexing. http://www.ccp14.ac.uk/tutorial/lmgp/celref_sgdetermine. html.
Diakses pada tanggal 19 Maret 2013 pukul 05.03 WIB.
Anwar, F. 2010. Sejarah dan Pengertian Superkonduktor. http://fanwar.staff.uns.ac.id/2010/04/23/sejarah-dan-pengertian
superkonduktor/. Diakses pada tanggal 06 Desember 2012 pukul 07.41 WIB.
Artinta, G. T, dan N. Sianturi. 2002. Properties Superkonduktor. http://www.scribd.com/doc/47809772/2/properties-superkonduktor.
Diakses pada tanggal 6 Desember 2012 pukul 13.05 WIB.
Aruku. 2009. Superkonduktor. http://aruku.byethost7.com/blog/articles/super konduktor/. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.20 WIB.
Bourdillon, A and T. N. X Bourdillon. 1994. High Temperature Superconductors
Processing and Science. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher
Academic Press, Inc. Pp. 422.
Chu, C. W, Y. Y. Xue, Z. L. Due, Y. Y. Sun, L. Gao, N. L. Wu, Y. Cao, I. Rusakova, and K. Ross. 1997. Superconductivity Up To 126 Kelvin in Interstitially Doped Ba2Can-1Cu02 [02(n-1)n-Ba. Journal of Science. Volume 277. Pp. 1081-1983.
Cullity, B.D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. USA: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Pp 188 – 196.
Cyrot, M and D. Pavuna. 1992. Introduction To Superconductivity and High-Tc
Material. London: World Scientific Publishing, Tottrridge. Hlm 112.
Darminto. 2002. Karakteristik Fase Gelas Vorteks dalam Kristal Tunggal Superkonduktor (Bi,Pb)
2Sr2CaCu2O8+δ. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3,
50
Darminto, Nugroho, Rusydi, Menovsky, dan Loeksmanto. 1999. Variasi Tekanan Oksigen dalam Penumbuhan Kristal Tunggal Superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8-δ dan Pengaruhnya. Prosiding ITB. Volume 31, No. 3. Hlm 12-14.
Diantoro, M. 1997. Studi Kinetika Pembentukan Superkonduktor Sistem Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ (2223) melalui Prekursor Fase (Bi,Pb)–2212 (tesis). KBK Fisika Material. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 56 hlm.
Frank, H, R. Stollman, J. Lethen, R. Muller, L. V. Gasparov, N. D. Zakharov, D. Hsse, and G. Guntherodt. 1996. Preparation and Magnetic Properties of (Bi, Pb)- 1212. Journal of Physica C. Volume 2, No. 68. Pp. 100-106.
Gabriel, B.L. 1985. SEM: A User Manual Of Material Science. USA: American Society For Metal. Pp. 37 – 44.
Ghofur, M. 2007. Pengaruh Doping Pb Terhadap Pertumbuhan Fase Bahan
Superkonduktor BPSCCO-22l2 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas
Lampung. 30 hlm.
Harnova, D. 2005. Pengaruh Sistem Sintesis dan Waktu Sintering Terhadap
Pembentukan Fase Bi-2212 Bahan Superkonduktor (skripsi). Bandar
Lampung: Universitas Lampung. 37 hlm.
Herlyn. 2008. Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Konduktivitas Normal Superkonduktor Overdoped Pb (Bi-Pb)2Sr2Ca2Cu3O10 Dengan Metode
Melt-Textured (skripsi). Universitas Negeri Malang. 62 hlm.
Ismunandar dan S. Cun. 2002. Mengenal Superkonduktor. http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1100396563. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 06.20 WIB.
Kittel, C. 1986. Introduction to Solid State Physics seventh edition. New York: John Willey and Sons Inc. Pp. 27 – 42.
Laugier, J. dan Bochu, B. 1999. Basic Demonstration of Celref Unit – Cell
Refinement Software on a Multiphase System. http://www.ccp14.ac.uk/
tutorial/lmgp/celref.htm. Diakses pada 19 Maret 2013 pukul 05.40 WIB.
Larasati, A. 2013. Pengaruh Kadar CaCO3 Terhadap Pembentukan Fase Bahan
Superkonduktor BSCCO–2212 dengan Doping Pb (BPSCCO–2212)
(skripsi). Bandar Lampung: Universitas Lampung. 71 hlm.
Lehndorff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy
Manabe, C. 1988. Superstructure of the Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8 by High Resolution Electron Microscopy. Journal of Nature. Volume 333, No. 6168. Pp. 52–53.
Maple, M. B. 1998. High-Temperature Superconductivity. Journal of Magnetism
and Magnetic Materials. Volume 177, No. 181. Pp. 18-30.
Ningrum, A. S. 2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering pada Sintesis
Superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (skripsi). Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 35 hlm.
Nurmalita. 2002. Sintesis Kristal Superkonduktor dengan Metode Melt Textured
Growth (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung. 51 hlm.
Oktaviana, A. 2009. Tugas Makalah Teknologi Penginderaan Mikroskopi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 14-18.
Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. http://geocities.com/dmipa/article/sp /konduktor.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.24 WIB.
Pujaatmaka, A. H dan M. T. Qadratillah. 1995. Glosarium Kimia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 65.
Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur Kristal dan Efek Meissner Dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O
Menggunakan Metode Padatan (skripsi). Solo: Fisika FMIPA Universitas
Negeri Solo. 65 hlm.
Rakhman, R. 2011. Aplikasi Superkonduktor Dalam Transmisi Daya Listrik. http://ryozrakhman.blogspot.com201110super-konduktor.html. Diakses pada tanggal 12 September 2012 pukul 22.42 WIB.
Ratnasari, D, S. Hermanihadi, W. Indriyanto, A. Fathony, F. Devi, P. Agung, Y. A. Rais. 2009. Tugas Kimia Fisika X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 1-7.
Reitz. J.R, J. Frederick, M. Robert, and W. Christy. 1993. Dasar teori Listrik
Magnet (Edisi Ketiga), alih bahasa oleh Suwarno Wiryosimin. Bandung:
ITB. Hlm. 395-397.
Ristic, M. M 1989. Ceramics Pressing and Sintering. Departement of Engineering University of Missoury: Rolla-Rolla Missoury. Pp. 214-219.
Salmah. 2001. Sintesis Superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Proses Pelelehan
52
Santosa, Usman dan S. Poertadji. 1996. Pembuatan Superkonduktor dengan Metode Sol-Gel. Prosiding Seminar Fisika Lingkungan. Yogyakarta. Hlm. 10 – 21.
Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Preparasi dan Karakterisasi Bahan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 29.
Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Sol-Gel dan Padatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 10-11.
Setyowati. 2011. Proses Sintering. http://www.artikelbagus.com/2011/08/ sintering.html. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 pukul 10.34 WIB.
Shukor, R. 2009. High Temperature Superconductors: Materials, Mechanisme, and Application. Journal of Academy of Science Malaysia. Volume 1, No. 2. Pp. 02-03.
Siswanto. 1999. Sintesis Superkonduktor Keramik BSCCO Fase Tc Tinggi (2223)
Melalui Route Sol-Gel Sitrat. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair
-gdl-res-1999-siswanto-320-synthesis&PHPSESSID= e99ecec43aeb91a7 3c0e368ce140cf5f. Diakses 24 November 2012 pukul 5.21 WIB.
Smith, J. F. 1990. Principles of Materials Science and Engineering. Second
Edition. Singapore: Mc-GrawHill Book Co. Pp. 892.
Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between 800o
C and 825o
C. Journal of Physica. Pp. 201.
Subagja, B. 2007. Pengaruh Variasi persen Berat Bi dan Pemberian Tekanan pada Parameter Kisi dan Ukuran Kristal Sistem Material Sn-Cu-Bi dan
Sn-Cu (skripsi). Depok: Universitas Indonesia. 73 hlm.
Sukirman, E, W. A. Adi, D. S. Winatapura, dan G. C. Sulungbudi. 2003. Review Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal
Sains Materi Indonesia. Volume 4, No. 2. Hlm. 30 – 39.
Sukirman, E. Y. Purwamargapratala, M. N. Indro, A. P. Purnomo. 2010. Sintesis Superkonduktor YBCO – 123 dengan Metode Evaporasi. Prosiding
Seminar Nasional Fisika 2010. Hlm. 184 – 193.
Suprihatin. 2008. Pengaruh Variasi Suhu Sintering dalam Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Doping Pb (BPSCCO-2212) pada Suhu Kalsinasi 790oC.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Hlm. 67-73.
Suryanarayana. 1998. X-Ray Diffraction A Practical Approach. New York: Plenum Press. Pp. 321.
Tinkham, M. 1996. Introduction to Superconductivity (second edition). Singapore: McGraw-Hill, Inc. Pp. 2-3.
Van Vlack, L. H. 1989. Elements of Materials Science and Engineering (6th Ed.). London, England: Addison- Wesley Publishing Company, INC. Hlm 25-39.
Van Vlack, L. H. 2001.Elemen-Elemen Rekayasa Material. Alih bahasa Sriati. Jakarta: Erlangga. Hlm 30-33.
Wanibesak. 2011. Efek Meissner pada Superkonduktor. http://Wanibesakworckress.com. Diakses 10 November 2012 pukul 6.45 WIB.
Yulianti, N. 2002. Pengaruh Kadar Fluks CaCO3 dan CuO pada Pembentukan Kristal Superkonduktor Bi-2212. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3, No. 1. Hlm. 8 – 14.
Yulianti, N. 2004. Sintesis dan Struktur Mikro Kristal Superkonduktor Bi, Pb-2212 dengan Metode Self-Flux. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 5. Hlm. 8-14.
Zakaria. 2003. Analisis Kandungan Mineral Magnetik pada Batuan Beku dari
Daerah Istimewe Yogyakarta dengan Metode X-Ray Diffraction (skripsi).
Universitas Haluoleo: FakultasKeguruan dan Ilmu Pendidikan. 67 hlm.
Zarkasi. 2006. Variasi Kadar KCl dan Waktu Slow Cooling dalm Sintesis
Superkonduktor Bi-2212 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas
Lampung. 58 hlm.