• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KENAKALAN REMAJA AKIBAT ORANG TUA BROKEN HOME PADA SISWA KELAS XI SMA ARJUNA BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DESKRIPSI KENAKALAN REMAJA AKIBAT ORANG TUA BROKEN HOME PADA SISWA KELAS XI SMA ARJUNA BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

Program Studi Bimbingan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

RACHMAWITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Bimbingan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

(2)

DESKRIPSI KENAKALAN REMAJA AKIBAT ORANG TUA BROKEN HOME PADA SISWA KELAS XI SMA ARJUNA

BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh RACHMAWITA

Masalah dalam penelitian ini adalah kenakalan remaja. Adapun permasalahan adalah banyaknya kenakalan remaja yang terjadi di sekolah akibat orangtua broken home, salah satunya terjadi di SMA Arjuna Bandar Lampung. Adapun rumusan permasalahannya adalah “Bagaimanakah deskripsi kenakalan remaja akibat orangtua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013?”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kenakalan remaja akibat orangtua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini adalah 17 orang siswa SMA Arjuna Bandar Lampung yang memiliki kenakalan yang kompleks.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa beberapa hal yang mengakibatkan kenakalan ramaja akibat orangtua broken home adalah a) Kebiasaan orang-orang di sekitar rumah yang sering tidak harmonis atau bermusuhan dengan persentase 70,59%, b) Tidak adanya kedisiplinan di rumah dengan persentase sebesar 94,12%, c) Orang tua yang kurang memperhatikan prestasi anak dengan persentase sebesar 64,71%, d) Kurangnya komunikasi orang tua dengan persentase sebesar 73,53%, e) Peraturan yang sangat kaku dengan persentase sebesar 94,12%, f) Peraturan yang tidak konsisten dengan persentase sebesar 64,71%, g) Senioritas sebagai upaya pendisiplinan dengan persentase sebesar 52,94%, h) Wewenang senior terhadap juniornya dengan persentase sebesar 100,00%.

(3)

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(Skripsi)

Oleh

RACHMAWITA

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(4)

SANWACANA

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb yang memiliki

alam semesta, karena dengan limpahan Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya lah

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul " Deskripsi Kenakalan

Akibat Orang Tua Broken Home Pada Siswa Kelas XI SMA Arjuna Bandar

Lampung Tahun Pelajaran 2012 - 2013". Dalam penyusunan skripsi ini penulis

medapat bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan

ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Umu

Pendidikan Universitas Lampung;

2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III FKIP

Universitas Lampung;

3. Bapak Drs. Baharuddin Risyak, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung;

4. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si, selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling dan sekaligus selaku Pembimbing Utama yang telah membimbing

penulis bila mendapat kesulitan.

5. Bapak Drs. Muswardi Rosra, M.Pd selaku Pembimbing Akademik yang dengan

sabar memberikan bimbingan, masukan, motivasi, saran dan kritik untuk

menyelesaikan skripsi ini;

(5)

memberikan motivasi, masukan, saran dan kritik, untuk menyelesaikan skripsi

ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf dan Karyawan FKIP Universitas Lampung,

yang telah banyak membantu selama penulis dalam menuntut ilmu;

9. Teristimewa untuk Ayahanda Hi. Casmir Sangun yang ada di syurga dan

Ibunda tercinta Hj. Rosmiyati, atas motivasi dan do’a yang tiada henti untuk

keberhasilanku serta kakakku Nurvia Mirnasari, S.Kom, iparku Hanami Imam

Ditama, S.E;

10. Tercinta Suamiku sayang, Muhammad Fik Fauzar, S.E., yang sudah

memberikan banyak dorongan, motivasi, dan kesabaran, dalam menemaniku

menyelesaikan studi ini.

11. Sahabat-sahabatku : Arlia, Egri, Eka, Ellen, Wisni, Dian, Cimut, Ipeh, Cinqu,

Riky, Sagus, Michan, Bob, Juni, Ucil, Dwi, lili, Cucut, Keken, En-en. Terima

kasih telah memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hari-hariku.

12. Saudara-saudaraku : Mbak Leli, Ayuk Amel, Ayuk Arli, Wak Enda, Mas Tok,

Wak Binda, Mbak Mie. Terima kasih telah memotivasiku selama ini.

13. Teman-temanku dan keluarga besar Bimbingan dan Konseling Universitas

Lampung dan Teman-teman seangkatan dan seperjuangan dari pendidikan

Bimbingan dan Konseling angkatan 2005 Kakak tingkat dan adik tingkat di

keluarga besar bimbingan dan konseling universitas lampung.

14. Rekan-rekan mahasiswa PPL FKIP Universitas Lampung, terima kasih untuk

(6)

kekompakan dan kekeluargaan yang telah terjalin.

15. Dewan guru beserta tenaga administrasi, staf Perpustakaan SMA Arjuna

Bandar Lampung yang telah banyak membantu selama penelitian.

16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah membantu

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, besar

harapan penulis, bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2012 Penulis,

(7)

PERSEMBAHAN

Teruntuk Anugerah Terindah dari Allah,

Alm.Ayah yang belum sempat melihat kesuksesanku dan

Bunda tercinta. Saat ini, hanya ini yang bisa saya

persembahkan. Semoga karya sederhana ini bisa

menjadi bukti betapa hati ini ingin membuat kalian

bangga.

Teruntuk Atu dan kakak tersayang,

Terima Kasih atas segala perngertian dan motivasinya

Teruntuk Suamiku Tercinta,

Terima kasih atas waktu yang berharga, kesabaran,

keikhlasan, dan kesetiaan menemaniku

Inilah sebuah pemikiran sederhana yang pernah kalian

torehkan dan menjadi inspirasiku.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rachmawita, lahir di Tanjung Karang Provinsi Lampung tanggal

02 Februari 1987, adalah anak kedua dari 2 bersaudara, pasangan Bapak Ir. Hi.

Casmir Sangun (Alm) dengan Ibu Hj. Rosmiyati.

Pendidikan yang dilalalui oleh penulis, yaitu Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi

Provinsi Lampung, diselesaikan tahun 1993. Sekolah Dasar (SD) Negeri 2

Rawalaut Bandar Lampung (Teladan) diselesaikan tahun 1999. Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2 Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2002, dan

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bandar Lampung, diselesaikan tahun

2005.

Di tahun ajaran baru 2005/2006, penulis terdaftar sebagai Mahasiswi jurusan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung pada program studi S1 Bimbingan Konseling

Tahun 2005. Penulis melakukan Praktik Lapangan Bimbingan Konseling (PLBK)

di SMP Mutiara Natar, Lampung Selatan Tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam beberapa kegiatan organisasi. Di

tingkat universitas penulis aktif di organisasi bela diri Taekwondo tahun

2007-2008. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi tingkat program studi yaitu

Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dari tahun 2005 sampai dengan

(9)

MOTTO

“ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai ( dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu

berharap. ”

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

4. Jenis-jenis Kenakalan Remaja ... 15

5. Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... .. 17

B. Keluarga Broken Home ... 19

C. Kenakalan Remaja Akibat Orang Tua Broken Home ... 32

III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metodologi Penelitian ... 37

C. Subjek Penelitian ... 39

D. Variabel Penelitian dan Devinisi Operasional Variabel ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

G. Uji Instrumen Penelitian ... 43

(11)

C. Pembahasan ... 52

V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 60 B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... ...

(12)

i

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel 1 Jumlah Anak Broken Home... 2

2. Tabel 2 Permasalahan Siswa... 3

3. Tabel 3 Distribusi frekuensi dan persentase faktor lingkungan rumah

yang kurang baik... 45

4. Tabel 4 Distribusi frekuensi dan persentase orang tua memberikan

contoh kurang baik pada anak... 46

5. Tabel 5 Distribusi frekuensi dan persentase ketidakharmonisan di rumah.. 46

6. Tabel 6 Distribusi frekuensi dan persentase karakter anak

yang kurang baik... 47

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

1. Latar Belakang

Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

yang terikat dalam perkawinan yang sah. Dalam kehidupan bermasyarakat,

keluarga adalah unit satuan terkecil. Di dalam keluarga; ayah, ibu, dan

anak memiliki kewajiban dan hak yang berbeda. Ayah dan ibu memiliki

peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya peranan orangtua dalam

mengasuh anak, sangatlah menentukan anak dimasa mendatang, yang pada

saatnya menentukan kualitas manusia Indonesia.

Karena keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi tumbuh kembang

anak sejak lahir sampai dewasa, oleh karena itu fungsi keluarga menjadi

sangat penting untuk diketahui setiap orangtua. Pembinaan kesejahteraan

keluarga sangat erat kaitannya dengan pembinaan anak dalam keluarga,

oleh karena orang tua yang mempunyai peran penentu dalam keluarga

perlu diberikan bekal pengetahuan tentang pola asuh anak dalam keluarga.

Menurut Steven, anak yang orang tuanya broken home bukanlah hanya

(14)

dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak dapat

berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat

dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang

bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak

yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak

membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan

arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari

nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan

sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan

anak, walaupun hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya.

Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya,

hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa

aneh jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya,

karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan

tidak semua anak mendapatkannya.

Menurut hasil penelitian pada Desember 2012 di SMA Arjuna Bandar

Lampung, peneliti mendapatkan:

Tabel 1.1 : Jumlah Anak Orang tua broken home Jenis

Orang tua broken

home Laki-Laki Perempuan Total

Murni 7 3 10

Semu 9 5 14

Total 16 8 24

(15)

Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk

sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak

menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan,

ciuman, kecupan, senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa

dalam diri anak dan membantu menguasai emosinya. Berdasarkan

informasi yang didapat di SMA Arjuna Bandar Lampung, bahwa terdapat

beberapa siswa yang menunjukkan perilaku atau sikap yang melanggar

tata tertib atau aturan yang ada di sekolah. Hal ini teridentifikasi dari

sejumlah siswa yang memiliki permasalahan sebagai berikut :

Tabel 1.2 : Permasalahan Siswa

No. Jenis Masalah Laki-Laki Perempuan

1. Sering Bolos Sekolah 5 -

2. Sering Berhutang dengan Teman 2 1

3. Tersisih dari Lingkungan Sosial di Sekolah - 2

4. Melawan Guru di Kelas 2 -

untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki

karakter; mudah emosi, kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap

lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika

bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari

perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang

(16)

Berdasarkan hal tersebut tergambar bahwa kenakalan remaja akibat orang

tua broken home sebagai perilaku agresif tidak bisa didiamkan dan

diabaikan begitu saja. Perlu ada upaya dari berbagai pihak untuk

mengatasi kenakalan remaja yang terjadi di sekolah, salah satunya yaitu

guru bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan konseling yang

dilakukan di sekolah membuat guru bimbingan dan konseling mengetahui

banyak permasalahan yang dihadapi siswa di sekolah, termasuk

permasalahan siswa orang tua broken home..

Guru bimbingan dan konseling juga seringkali menjadi tempat siswa-siswa

melaporkan masalah yang mereka alami di sekolah, termasuk diantaranya

kasus orang tua broken home yang menimpa mereka. Siswa cenderung

bercerita kepada guru bimbingan dan konseling guna mendapat

penyelesaian dari masalahnya tersebut. Guru bimbingan dan konseling

dituntut agar dapat memberi perhatian dan penanganan yang mendalam

bagi siswa-siswa yang terlibat dalam kasus orang tua broken home.

Berdasarkan fungsi dan layanan bimbingan dan konseling, guru bimbingan

dan konseling juga dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi

kenakalan remaja akibat orang tua broken home.

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang sering

(17)

2. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang sering

berhutang dengan temannya

3. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang merasa

tersisih dari lingkungan sosialnya di sekolah.

4. Terdapat siswa yang tidak mengindahkan perintah gurunya.

5. Terdapat siswa yang sering berkelahi baik di dalam maupun di luar

sekolah

6. Terdapat siswa yang berjudi di dalam lingkungan sekolah

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka perlu adanya pembatasan

masalah. Hal ini disesuaikan dengan judul penelitian yang akan diteliti,

agar apa yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat terarah dengan

baik. Maka dalam hal ini peneliti membatasi pada “deskripsi kenakalan

remaja akibat orang tua broken home pada siswa kelas XI SMA Arjuna

Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013”.

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah : “Bagaimanakah deskripsi kenakalan remaja akibat

orang tua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna

(18)

B. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kenakalan remaja

akibat orang tua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA

Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

konsep-konsep bimbingan, khususnya kajian bimbingan konseling

mengenai anak remaja yang mengalami broken home dan bermasalah

di sekolah.

2. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sumbangan

informasi dan pemikiran, bagi siswa, orang tua, guru pembimbing dan

tenaga kependidikan lainnya dalam penanganan anak remaja yang

mengalami broken home dan bermasalah di sekolah.

3. Menjadi bahan masukan kepada guru pembimbing dalam

melaksanakan proses pemberian bantuan layanan bimbingan

konseling berkenaan dengan anak remaja yang mengalami broken

home dan bermasalah di sekolah.

C. Ruang Lingkup Penelitian

(19)

Ruang lingkup objek dari penelitian ini adalah terdiri dari kenakalan

remaja akibat orang tua broken home.

2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian

Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah siswa / peserta didik dalam usia

remaja yang melakukan kenakalan di sekolah.

3. Ruang Lingkup Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas Arjuna Bandar Lampung

Tahun Pelajaran 2012/2013.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya peranan

orangtua dalam mengasuh anak, sangatlah menentukan anak dimasa

mendatang, yang pada saatnya menentukan kualitas manusia Indonesia.

Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat

setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan

psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan

hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan,

teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya

atau pun dari nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan

sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan

(20)

Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya,

hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa

aneh jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya,

karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan

tidak semua anak mendapatkannya.

Anak yang orang tua broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari

ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang

tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kenakalan Remaja

1. Pengertian Remaja

Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang

terjadi sejak berada dalam kandungan dan terus berlangsung sampai

dewasa, dalam preses mencapai dewasa inilah anak akan mengalami

tumbuh kembang terasuk masa remaja. Masa remaja adalah masa transisi

antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pertumbuhan, timbul

ciri-ciri seks skunder, terjadi perubahan-perubahan psikologik dan kognitid.

Tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi

biologisnya.

Menurut Soetjiningsih (2007 : 134) berdasarkan umur kronologis dan

berbagai kepentingan, terdapat berbagai bentuk definisi remaja yaitu :

1) Pada buku-buku pediatric, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seseorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2) Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut Undang-undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.

(22)

5) Menurut Pendidikan Nasional, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah.

6) Menurut WHO (World Health Organization), remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.

Lebih lanjut Sarlito mengelompokkan definisi remaja sesuai dengan

profil redddmaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional

adalah dalam batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan

beberapa kriteria sebagai berikut :

1) Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik).

2) Pada masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil baligh, baik menurut adat mauun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). 3) Pada usia terebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan

perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity,

menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan teracapainya puncak perkambangan kognitif (Pieget) maupun moral (Kohlberg) (Kriteria Psikologi). 4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi

peluang bagi mereka yang sampai pada batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum dapat memberikan pendapat sendiri, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologi, masih dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Akan tetapi dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut.

(23)

Dari dua kutipan diatas dapat penulis simpukan bahwa remaja merupakan

suatu fase perkembangan pada anak pada usia tertentu diantara 10 sampai

24 tahun yang ditandai dengan pertumbuhan fisik maupun psikis dan

juga mencakup kriteria sosial dimasyarakat Indonesia pada umumnya

dengan perkembangan yang potensial, baik dilihat dari segi aspek

kognitif, emosi dan tentunya yang belum menikah.

2. Perkembangan Anak Usia Remaja

Menurut Gunarsa (2004 : 4): Perkembangan tidak terbatas dalam arti

tumbuh menjadi besar tetapi mencakup rangkaian perubahan yang bersifat

progresif, teratur, koheren, dan berkesinambungan. Jadi antara satu tahap

perkembangan dengan tahap perkembangan berikutnya tidak terlepas.

Perkembangan adalah perubahan kearah kemajuan menuju terwujudnya

hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Perkembangan

memiliki sifat holistik (menyeluruh atau kompleks) yaitu: terdiri dari

berbagai aspek baik fisik ataupun psikis, terjadi dalam beberapa tahap

(saling berkesinambungan), ada variasi individu dan memiliki prinsip

keserasian dan keseimbangan.

Perkembangan Individu memiliki beberapa prinsip-prinsip yaitu: Never ending process (perkembangan tidak akan pernah berhenti), Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi (aspek emosional, aspek disiplin,

aspek agama dan aspek sosial),Perkembangan mengikuti pola atau arah

tertentu (karena perkembangan individu dapat terjadi perubahan perilaku

(24)

Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti dan setiap

perkembangan memiliki tahapan tahapan yaitu : tahap direncanakan,

tahap kandungan, tahap anak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap

lansia, ada juga yang menggunakan patokan umur yang dapat pula

digolongkan dalam masa intraterin, masa bayi, masa anak sekolah, masa

remaja dan masa adonelen yang lebih lanjut akan disebut dengan

periodesasi perkembangan.

Berikut tahapan-tahapan perkembangan remaja :

a. Perkembangan Emosi

Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman

subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian

adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi

terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman

tramatis bagi anak.

Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja:

- Perceraian orang tua membuat tempramen anak terpengaruh,

pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu

membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang

ingin mencari perhatian orang tua atau orang lain. Mencari jati diri

dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi.

(25)

- Ketidakberartian pada diri remaja akan mudah timbul, sehingga

dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah

pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini.

- Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua, emosi

marahnya akan mudah terpancing.

b. Perkembangan Sosial Remaja

Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang

berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat.

Dampak keluarga Broken home terhadap perkembangan sosial remaja adalah :

- Perceraian orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap

kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri, menjadi

takut untuk keluar dan bergaul dengan teman-teman.

- Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang

dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri

dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri

anak tersebut.

- Dampak bagi remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku

dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka

sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua

(26)

c. Perkembangan Kepribadian

Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap

perkembangan kepribadian remaja. Remaja yang orang tuanya

bercerai cenderung menunjukan ciri-ciri :

- Berperilaku nakal

- Mengalami depresi

- Melakukan hubungan seksual secara aktif

- Kecenderungan pada obat-obat terlarang

Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan

(broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat.

3. Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari

norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan

merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Menurut

kartono, kenakalan remaja dikenal dengan istilah juvenile deliquency

merupakan gejala patologis pada remaja disebabkan oleh satu bentuk

pengabaian sosial. Menurut Santrock, kenakalan remaja merupakan

kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara

sosial hingga terjadi tindakan kriminal.

Menurut Kartini kenakalan remaja atau Juvenile Deliquency ialah perilaku jahat atau dursila atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda

(27)

remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga

mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang.

Kemudian menurut Sarlito (2006: 206) “kenakalan remaja adalah semua

tingkah laku yang dilakukan anak yang menyimpang dari ketentuan yang

berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah,

keluarga dan lainnya).

Kenakalan remaja mempunyai dampak yaitu akan menghambat diri

remaja dalam proses sosialisasinya dengan teman, guru dan masyarakat.

Perilaku penyesuaian diri yang salah biasanya di dorong oleh keinginan

mencari jalan pintas dalam penyelesaian sesuatu tanpa melihat secara

cermat akibatnya. Perilaku menyontek, membolos dan melanggar tata

tertib sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada

remaja.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa

kenakalan remaja disebabkan karena adanya dorongan baik dari

lingkungan. kenakalan remaja adalah suatu tindakan yang dilakukan

remaja yang dianggap melanggar aturan-aturan dan norma-norma yang

berlaku baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

4. Jenis-jenis Kenakalan Remaja

Dalam kesehariannya remaja melakukan sosialisasi dengan lingkungan

sekitar, sekolah, dan teman sejawat yang biasanya mempengaruhi

(28)

positif, maka berdampak positif jg terhadap kepribadian mereka tetapi

bila lebih besar terhadap hal-hal yang negatif maka akan berdampak

terhadap perilaku mereka yang biasa disebut kenakalan remaja yang

terdiri dari berbagai jenis. Menurut Hariyadi (2003: 160) Jenis-jenis

kenakalan remaja antara lain:

a. Membohong : memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.

b. Membolos : pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

c. Kabur : meninggalkan rumah tanpa izin orang tua atau menentang keinginan orang tua.

d. Keluyuran : pergi sendiri maupun kelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.

e. Bersenjata tajam : memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain sehingga terangsang untuk menggunakannya.

f. Pergaulan buruk : bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dengan perkara yang benar-benar kriminal.

g. Berpesta pora berhura-hura : berpesta pora semalam tanpa pengawasan, sehingga timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (amoral dan asosial)

Kemudian menurut Anne, kenakalan remaja memiliki gejala-gejala

antara lain yaitu :

a. Anak tidak disukai teman-temannya sehingga bersikap menyendiri. b. Anak sering menghindar dari tanggung jawab mereka di rumah dan di

sekolah.

c. Anak sering mengeluh kalau mereka memiliki permasalahan yang mereka sendiri tidak bisa selesaikan.

d. Anak mengalami phobia atau gelisah yang berbeda dengan orang-orang normal.

e. Anak jadi suka berbohong.

f. Anak suka menyakiti teman-temannya. g. Anak tidak sanggup memusatkan perhatian.

Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa jenis-jenis kenakalan remaja

(29)

bersenjata tajam,pergaulan buruk, berpesta pora, berhura-hura, tidak

disukai teman-temannya, menghindar dari tanggung jawab, suka

menyakiti teman-temannya.`

5. Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke

dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang

masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari

berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang

berlaku. Di kalangan remaja, memiliki banyak teman adalah merupakan

satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak teman, makin tinggi nilai

mereka di mata teman-temannya. Secara lebih jelas menurut Kartini

(2002: 25) yang menguraikan teori penyebab kenakalan remaja sebagai

berikut :

a. Teori Biologis

Tingkah laku sosipatik atau delikuen pada anak-anak remaja dan

muncul karena beberapa faktor fisiologis dan struktur jasmaniah yang

dibawa sejak lahir.

b. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak

dari aspek psikologis atau kejiwaan. Antara lain faktor intelegensi,

cirri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,

rasionalisasi, internalisasi yang keliru, konflik batin, emosi yang

(30)

c. Teori Sosiologis

Penyebab tingkah laku anak-anak delikuen pada remaja adalah murni

sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh

tekanan kelompok, peranan social, status social atau internalisasi

simbolis yang keliru.

d. Teori Subkultur.

Menurut teori subculture ini, sumber juvenile delinquency ialah : sifat-sifat suatu struktur social dengan pola budaya (subkultur) yang khas

dari lingkungan familiar, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh

para remaja delinquent tersebut.

Kemudian menurut Hariyadi, (2003: 161): Berbagai hal yang melatar

belakangi terjadinya kenakalan remaja antara lain:

a. Penyebab dari dalam diri remaja itu sendiri (internal) - Kurangnya penyaluran emosi

- Kelemahan dalam pengendalian dorongan-dorongan dan kecenderungannya

- Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan - Kekurangan dalam pembentukan hati nurani b. Penyebab dari luar si remaja (eksternal)

- Lingkungan keluarga - Lingkungan masyarakat.

Perkembangan teknologi yang menimbulkan keguncangan pada remaja yang belum memiliki kekuatan mental untuk menerima perubahan-perubahan baru. Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan bermacam kenakalan remaja.

Berdasarkan beberpa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa beberapa hal

yang melatar belakangi kenakalan remaja adalah penyebab dari dalam diri

siswa itu sendiri (internal) dan penyebab dari luar diri remaja itu sendiri

(31)

B. Keluarga Broken home

1. Pengertian Keluarga

Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi

terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya keluarga

merupakan wadah pertama dan utama yang fundamental bagi

perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan

mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan

yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan

aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan

aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan

kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga pula yang

akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan

dukungan dalam menjalani kehidupan.

Menurut Pujosowarno (1994 : 11): Keluarga merupakan suatu

persetujuan hidup atas dasar perkawinan antar orang dewasa yang

berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atu seorang

perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya

sendiri atau adonpsi dan tinggal dalam rumah tangga. Adapun menurut

Bustaman (2001 : 89): Keluarga adalah kelompok-kelompok orang yang

dipersatukan oleh ikatan-ikatan perakwinan darah atau adonpsi yang

membantuk satu sama lain dan berikatan dengan melalui peran-peran

tersendiri sebagai anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan

(32)

2. Keluarga Broken home

Istilah “Broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang

rukun dan sejahtera akibat sering terjadi konflik yang menyebabkan pada

pertengkaran yang bahkan dapat berujung pada perceraian. Hal ini akan

berdampak besar terhadap suasana rumah yang tidak lagi kondusif, orang

tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya sehingga berdampak pada

perkembangan anak khususnya anak remaja.

Jika remaja diharapkan pada kondisi “broken home” dimana orang tua mereka tidak lagi menjadi panutan bagi dirinya maka akan berdampak

besar pada perkembangan dirinya. Dampak psikis yang dialami oleh

remaja yang mengalami broken home, remaja menjadi lebih pendiam, pemalu, bahkan despresi berkepanjangan.

Faktor lingkungan tempat remaja bergaul adalah sarana lain jika orang

tua sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Jika remaja berada di

lingkungan pergaulan yang negatif, karena keadaannya labil maka tidak

menutup kemungkinan remaja akan tercebur dalam lembah pergaulan

yang tidak baik.

Broken home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak

menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang pelajar hal inilah yang

(33)

berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas

mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena

mereka hanya ingin mencari simpati pada teman-teman mereka bahkan

pada guru-guru mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini kita perlu

memberikan perhatian dan pengerahan yang lebih agar mereka sadar dan

mau berprestasi.

Pada umumnya penyebab utama broken home ini adalah kesibukkan kedua orang tua dalam mencari nafkah keluarga seperti hal ayah bekerja

dan ibu menjadi wanita karier. Hal inilah yang menjadi dasar seorang

tidak memiliki keseimbangan dalam menjalankan aktifitas sehari hari dan

malah sebaliknya akan merugikan anak itu sendiri, dikala pulang sekolah

dirumah tidak ada orang yang bisa diajak berbagi dan berdiskusi,

membuat anak mencari pelampiasan diluar rumah seperti bergaul dengan

teman – temannya yang secara tidak langsung memberikan pengaruh

bagi perkembangan mental anak

Istilah "broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tak lagi peduli dengan

situasi dan keadaan keluarga di rumah. Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang

berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak

dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak

dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap

(34)

keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan

psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan

hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan,

teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya

atau pun dari nenek kakeknya.

Anak akan menjadi keluarga broken home, apabila pengasuhan yang dilakukan terganggu. Jika tidak terganggu, maka broken home tidak akan menjadi bagian dari keluarga. Inilah beberapa perilaku orang tua menurut

peneliti yang bisa menghasilkan sebuah keluarga broken home:

a. Tidak bisa beradaptasi dalam pengasuhan

b. Terus mengajari anak pelajaran-pelajaran dan berharap anak akan

berubah perilakunya.

c. Menciptakan kondisi yang mendorong anak untuk gagal (selalu

terburu-buru di pagi hari, meninggalkan anak-anak tanpa orang

dewasa di dekat mereka, tidak menyediakan cukup waktu untuk

mendengarkan anak-anak)

d. Bereaksi penuh kemarahan terhadap anak-anak

e. Memiliki motivasi untuk membalas dendam terhadap mantan

pasangan atau orang lain

f. Tidak memberikan pilihan pada anak-anak

g. Hanya memberikan sedikit peringatan atau tanpa peringatan sama

sekali ketika menghukum anak-anak, sehingga anak-anak tidak

(35)

h. Mengutamakan kehidupan sosialnya sendiri di atas kepentingan

anak-anak, atau tidak memiliki kehidupan sosial sama sekali.

i. Sering berganti-ganti pasangan kencan

j. Selalu menunggui anak-anak di manapun mereka berada

k. Tidak menciptakan batasan-batasan

l. Tidak bisa diduga, misalnya marah karena sebuah perilaku hari ini

namun tertawa karena perilaku yang sama di hari yang lain

m. Membiarkan anak tidak terkontrol dan tidak hormat kepada orang lain

n. Menyelamatkan anak-anak dari konsekuensinya sebagai anak di

usianya

3. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah bertanggungjawab dalam menjaga dan

menumbuh kembangkan anggota-anggotanya (Sulaiman, 1995).

Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat

mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan

pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan

sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal

dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional

dan spritual.

Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka

kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang

akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu

(36)

mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun

menurut Maslow, kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1)

kebutuhan makan, minum, dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3)

kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan, dan 5)

kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan

aktualisasi diri.

Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. No. 21 tahun 1994

mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah

dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju

terbentuknya sumber daya pembangunan yang handal dengan ketahanan

keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu:

1) Fungsi Keagamaan, fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2) Fungsi Sosial Budaya, fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

3) Fungsi Cinta kasih, fungsi ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.

4) Fungsi Melindungi, fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.

5) Fungsi Reproduksi, fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.

6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. 7) Fungsi Ekonomi, fungsi ini sebagai unsur pendukung kemandirian

dan ketahanan keluarga.

(37)

seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

4. Pola Asuh Orang Tua

Pada usia sekolah anak tidak dapat terlepas dari kedua orang tuanya.

Perhatian, perlindungan, kasih sayang, dan juga rasa aman terhadap

kelanjutan pendidikannya masih sangat dibutuhkan oleh anak. Secara

langsung ataupun tidak langsung proses interkasi sosial anak

dilingkungan baik keluarga, masyarakat dan sekolah akan sangat

terpengaruh oleh keadaan pola asuh orang tuanya.

Menurut Gunarsa (2010 : 10) Pola asuh orang tua adalah kemampuan

menjalin hubungan yang akrab dengan anak, memberikan tauladan bagi

anak-anaknya dalam segala hal, sehingga anaknya merasa aman dan

mendapatkan perhatian serta kasih sayang.

Lebih lanjut menurut Utami, pola asuh adalah proses penanaman nilai positif oleh orang tua mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan bersama. Anak akan menerima nilai tersebut jika orang tua memegang nilai tersebut. Tidak hanya koreksi terhadap perilaku anak saja yang dibutuhkan tetapi juga peraturan harus diimplementasikan terlebih dahulu oleh orang tua atau siapa saja yang berhubungan dengan anak.

Dari kedua kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang

tua adalah sebuah proses, penanaman nilai yang diberikan kepada anak

mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan

bersama dengan implementasi berupa pemberian tauladan oleh orang tua

(38)

5. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hersey & Blanchard dalam Prasetyawati (2007 : 23) “ pola asuh

orang tua terdiri atas 4 macam yaitu pola asuh neglectfulling, pola asuh

indulgent, pola asuh otoriter, dan pola asuh authoritative.”

Kebanyakan anak yang berhasil setelah menjadi dewasa berasal dari

keluarga dengan orang tua yang bersikap positif yang mana sikap ini

disebut sebagai pola asuh orang tua yang bersikap positif, yang mana

sikap ini disebut sebagai pola asuh orang tua kepada anak.

Empat macam pola asuh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pola asuh neglectfulling

Adalah bentuk pola asuh dimana orang tua tidak mau terlibat dan

tidak mau ambil pusing mempedulikan kehidupan anaknya. Biasanya

anak yang hidup dalam keluarga yang menerapkan pola asuh seperti

ini akan mengalami banyak kesulitan, antara lain :

1) Anak mempunyai harga diri yang rendah

2) Anak tidak mempunyai kontrol diri yang baik

3) Kemampuan sosial anak yang buruk

4) Anak akan merasa ia bukan bagian yang penting untuk orang

tuanya.

Biasanya anak yang terbiasa dengan pola asuh seperti ini akan terus

terbawa sampai ia dewasa dan melakukan hal yang sama pula

(39)

b. Pola asuh Indulgent

Pola asuh indulgent adalah istilah bagi pola asuh orang tua yang selalu

terlibat dalam semua aspek kehidupan anak. Namun tidak ada tuntutan

dan kontrol dari orang tua terhadap anak. Orang tua cenderung

membiarkan anak melakukan apa saja sesuai keinginan anaknya.

Bahasa sederhananya, orang tua selalu menuruti keinginan anak,

apapun keinginan tersebut, tanpa pertimbangan apakah baik/buruk

bagi anak. Biasanya orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini

akan berkilah bahwa sikap yang diambilnya didasarkan rasa sayang

terhadap anak.

c. Pola asuh Otoriter

Pola pengasuhan otoriter adalah pola pengasuhan yang kaku, diktator

dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa

banyak alasan. Banyak ditemukan penerapan hukuman fisik dan

aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna

dan alasan di baliknya. Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa

peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian

efek negatif bagi anak.

Dampak buruk pola asuh otoriter terhadap anak, antara lain :

1) Anak merasa tidak bahagia

2) Anak menjadi ketakutan

3) Anak tidak terlatih untuk berinisiatif

(40)

5) Tidak mampu menyelesaikan masalahnya (problem solvingnya

buruk)

6) Kemampuan berkomunikasi juga buruk

d. Pola asuh authoritative

Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini akan membiarkan

anak memilih untuk melakukan apa yang menurut anak baik, tetapi

tetap harus ada batasan apa yang seharusnya dilakukan. Pola ini sering

mendorong anak untuk mandiri, tetapi orang tua tetap menetapkan

batasan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, penuh welas asih

kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak,

mendukung tindakan anak yang konstruktif. Anak yang terbiasa

dengan pola asuh ini akan membawa dampak yang menguntungkan,

antara lain :

- Anak merasa bahagia

- Anak mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk

- Anak mampu mengatasi stress

- Anak mempunyai keinginan untuk berprestasi

- Anak mampu berkomunikasi secara baik dengan teman-temannya

dan orang dewasa.

Sedangkan Menurut Baurin (2007 : 34), terdapat 4 macam pola asuh

orang tua:

a. Pola asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan

(41)

Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari

tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini

juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang

berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga

memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan

suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

b. Pola asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus

dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe

ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak

mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua

tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak

mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu

arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya

untuk mengerti mengenai anaknya.

c. Pola asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.

Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu

tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak

menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam

bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.

Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali

disukai oleh anak.

(42)

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang

sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan

untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala

biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini

adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang

depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan

perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Sedangkan Menurut Baumrind dalam Wawan (2010) pola asuh orang

tua dapat diidentifikasikan menjadi 3, yaitu:

a. Pola asuh Demokratis

Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan

adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat

semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang

demokratis ini yaitu orang tua yang mencoba menghargai kemampuan

anak secara langsung.

b. Pola asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang melarang anaknya

dengan mengorbankan otonomi anak.

c. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas

kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan

(43)

Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bentuk-bentuk

pola asuh orang tua bermacam-macam, yang menjadi bentuk pola

asuh orang tua dan selanjutnya oleh penulis dijadikan indikator dalam

peneltian ini adalah ; Pola asuh Demokratis, Pola asuh Otoriter, Pola

asuh Permisif dan Pola asuh Penelantar.

6. Tugas-tugas Orang Tua

Salah satu hak anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA)

adalah mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.

Sebagai tempat tumbuh kembangnya anak, rumah menjadi institusi

paling awal dan terpenting bagi anak. Saat anak tidak merasa nyaman di

tengah-tengah keluarganya, dapat dipastikan ada masalah yang

mengganggunya. Bukan untuk waktu sementara, masalah yang dialami

anak di lingkungan keluarga pun akan berimbas pada kehidupannya di

masa-masa berikutnya. Ketimpangan antara keadaan yang diharapkan

anak dengan kenyataan yang dialaminya menjadi pemicu terganggunya

perkembangan pribadi anak.

Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis

besar adalah:

a. Memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan

kesehatan

b. Memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini

merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional

(44)

c. Memberikan suatu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan

suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.

d. Membimbing dan mengendalikan perilaku.

e. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini

diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu

menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa

sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.

f. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan

anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan

memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan

yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk

dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.

g. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.

h. Memberi teladan.

C. Kenakalan Remaja Akibat Keluarga Broken home

Menurut bower, pengaruh keluarga yang bisa menyebabkan kenakalan remaja

adalah :

Keluarga yang Broken home

Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis

sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa

peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya.

Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa

(45)

orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau

keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga

adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam

masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi

tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang

memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik

internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan

yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya.

masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak.

Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga

menjadi bagian yang vital dari kehidupannya.

Menurut Bower, penyebab timbulnya kenakalan remaja akibat orang tua

broken home antara lain: a. Orang tua yang bercerai

Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang

tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah

terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan

kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri

antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau

salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus

sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan

yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada

(46)

ada rasa kebertautan yang intim lagi.

b. Kebudayaan bisu dalam keluarga

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar

anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut

justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali

batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu

terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang

perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan

komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa

anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan

komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar

bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin

mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih

baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan

kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan

yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog

dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orang tua terlalu

menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta

kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan

kebisuannya. Ternyata perhatian orang tua dengan memberikan kesenangan

materiil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat

digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya

berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.

(47)

Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu.

Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh

rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang

dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan

pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan

kehendaknya sendiri.

Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga

yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di

dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat

mengambil dua sikap bicara yaitu:

Sikap atau cara yang bersifat preventif

Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk

menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan

yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat

memberikan atau mengadakan tindakan sebagai berikut :

a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.

b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.

c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.

d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu

ikatan keluarga.

Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:

a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.

b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.

(48)

d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.

Sikap atau cara yang bersifat represif

Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial

yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi

anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang

khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua

terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya

mengambil sikap sebagai berikut :

a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah

diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.

b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan

yang menimpa anaknya.

c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam

mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.

(49)

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penerapan teori terhadap suatu permasalahan memerlukan metode khusus yang

dianggap relevan dan membantu pemecahan masalah. Metode tersebut

dipergunakan untuk melaksanakan penelitian sekarang. Penelitian ini merupakan

satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Metode peneilitian merupakan suatu

ilmu yang membicarakan tentang berbagai cara yang harus ditempuh secara

ilmiah dengan maksud untuk menemukan dan menguji kebenaran suatu

penelitian.

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Arjuna Bandar Lampung yaitu di jalan

Tulang Bawang Enggal Bandar Lampung pada Tahun Pelajaran 2012/2013.

B. Metodologi Penelitian

Dalam proses penelitian seorang peneliti akan menggunakan satu atau

beberapa metode. Menurut P. Subagyo (1991:2), metode penelitian adalah

"suatu arah atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala

permasalahan". Dengan pemilihan metode, peneliti memiliki arah untuk

memecahkan masalah yang akan diteliti. Jenis metode yang dipilih dan

digunakan dalam penelitian tentunya harus sesuai dengan sifat dan

(50)

Salah satu ciri dari kegiatan ilmiah adalah terdapat suatu metode yang tepat

dan sistematis sebagai penentu kearah pemecahan masalah, ketetapan

memilih metode merupakan persyaratan yang utama agar dapat tercapainya

hasil yang diharapkan. Menurut Arikunto (2006) “metode penelitian

merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk memperoleh data dengan

tujuan tertentu. Cara ilmiah ini berarti kegiatan itu dilandasi oleh keilmuan”.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif.

Penelitian deskripsi itu sendiri adalah penelitian yang memberi gambaran

cermat mengenai suatu individu, kendala, gejala ataupun pada kelompok

tertentu. Nazir (2007:54), yang menyatakan bahwa metode deskriptif adalah

suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu

kondisi, suatu sistem pemikiran atau kelas peristiwa pada masa sekarang.

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian

deskriptif adalah suatu penelitian yang digunakan untuk memecahkan

masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang yang dilakukan dengan

melakukan pengumpulan data dan analisis/pengolahan data, membuat

kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran

tentang suatu keadaan secara objektif mengenai keadaan yang sedang terjadi.

Dalam penelitian ini berfokus pada analisis pekerjaan dan aktivitas yang

merupakan pemaparan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta yang diselidiki. Pendekatan ini digunakan

karena masalah yang diteliti memerlukan suatu pengungkapan yang bersifat

(51)

Penelitian deskriptif analisa pekerjaan dan aktifitas adalah merupakan

penelitian yang ditujukan untuk menyelidiki secara terpennci aktivrtas dan

pekerjaan manusia, dan hasil penelitian tersebut dapat membenkan

rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang”.

Metode penelitian deskriptif ini akan menggambarkan tentang keadaan yang

sebenarnya mengenai kenakalan remaja akibat broken home pada siswa kelas

XI SMA Arjuna Bandar Lampung .

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah sumber data untuk menjawab masalah. Subjek

penelitian ini adalah peserta didik kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung.

Peserta didik berusia 15-18 tahun, dan duduk di kelas XI SMA Arjuna Bandar

Lampung. Subjek penelitian dipilih guru bimbingan konseling atas informasi

tentang peserta didik yang melakukan kenakalan di sekolah dan mengalami

broken home baik murni maupun semu. Kemudian peserta didik diberikan

angket yang berisi beberapa pertanyaan, guna memudahkan peneliti dan guru

bimbingan konseling dalam menentukan peserta didik yang masalah dan

kenakalannya paling kompleks. Awalnya subjek penelitian jumlahnya

banyak, lama-lama menjadi sedikit. Kemudian dipilih siswa broken home

yang banyak melakukan kenakalan di sekolah, dan yang mengalami

permasalahan dengan orang tuanya di rumah.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

(52)

Variabel merupakan salah satu komponen penting dalam suatu penelitian,

karena memahami dan menganalisis setiap variabel membutuhkan

optimalisasi berpikir bagi peneliti. Menurut Arikunto (2006:118) variabel

adalah "objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu

penelitian". Variabel dapat dinyatakan sebagai hal yang berperan dalam

peristiwa atau gejala yang akan diteliti.

Berdasarkan pengertian di atas maka penelitian mempunyai 1

variabel/variabel tunggal (bukan variabel bebas/variabel terikat). Variabel

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ”kenakalan remaja akibat

orang tua broken home pada siswa”.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada

suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti atau

menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang

diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut. (Nazir,

2007:126)

Penelitian ini terdiri dari satu variabel/variabel tunggal (bukan variabel

bebas/variabel terikat) yaitu, kenakalan remaja akibat orang tua broken

home pada siswa. Untuk memudahkan pengamatan dan pengukuran

variabel penelitian, maka perlu didefinisikan secara operasional sebagai

(53)

Kenakalan remaja adalah semua tingkah laku yang dilakukan anak yang

menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma,

agama, etika, peraturan sekolah, keluarga dan lainnya).

Adapun yang diukur dalam penelitian ini adalah beberapa faktor

penyebab kenakalan remaja akibat orang tua broken home, dengan

menggunakan angket dengan indikator – indikator sebagai berikut :

a. Lingkungan rumah yang kurang baik

b. Orang tua memberikan contoh kurang baik pada anak

c. Ketidak harmonisan di rumah

d. Karakter Anak

e. Faktor lingkungan sekolah

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan data untuk

memperoleh data yang sejelas-jelasnya. Menurut Arikunto (2006:126),

metode pengumpulan data ialah "cara memperoleh data." Peneliti akan

menggunakan beberapa metode atau cara untuk memperoleh data-data yang

diperlukan.

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan

data dan informasi yang lebih lengkap. Dalam penelitian ini, peneliti

Gambar

Tabel 1.1 : Jumlah Anak Orang tua broken home
Tabel 1.2 : Permasalahan Siswa

Referensi

Dokumen terkait

“ Pendidikana karakter remaja dari keluarga broken home (studi kasus pada remaja di desa Ma rgourip)” adalah pembentukan tabiat, akhlak, cara persepsi, bersikap pada

Permasalahan dalam penelitian ini adalah banyaknya anak yang putus sekolah dan tersangkut kenakalan remaja serta tidak mendapatkan pendidikan yang layak dikarenakan

Kecamatan Medan Sunggal tentang komunikasi orangtua dengan kenakalan. remaja dapat disimpulkan

Tujuan penulisan untuk menjelaskan potensi kenakalan remaja awal di lingkungan sekolah pada siswa yang orang tuanya merantau.. Fase remaja membutuhkan pengasuhan,

dari peran komunikasi keluarga terhadap perilaku remaja broken home ini adalah, orangtua akan lebih sulit dalam melakukan komunikasi yang efektif dengan anak yang

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui tingkat kenakalan remaja yang tinggal dengan orang tua pada siswa SMAN 2 Malang (2) Untuk mengetahui tingkat kenakalan

Tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti adalah untuk mengetahui cara komunikasi interpersonal yang digunakan oleh anak broken home akibat penikahan ulang

(2) faktor yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja di Desa Gintungan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo adalah karena faktor diri sendiri karena remaja masih mempunyai