• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera:Noctuidae) Sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera:Noctuidae) Sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae)

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU (Pistia stratiotes L.):

KAJIAN HIDUP, KEMAMPUAN MERUSAK

DAN KISARAN INANG

LYSWIANA APHRODYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ” Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun keperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

Lyswiana Aphrodyanti

(3)

RINGKASAN

LYSWIANA APHRODYANTI. Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang. Dibimbing oleh UTOMO KARTOSUWONDO dan SOEKISMAN TJITROSEMITO.

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) adalah

salah satu agens hayati untuk mengendalikan gulma kayu apu (Pistia stratiotes L.). Tujuan penelitian adalah mempelajari biologi S. pectinicornis meliputi perkembangan, siklus hidup, pendugaan jumlah instar

larva, neraca kehidupan, dan kemampuan merusak larva terhadap kayu apu serta kisaran inangnya. Kajian hidup S. pectinicornis meliputi pengamatan terhadap morfologi, lama hidup, dan perilaku. Pendugaan jumlah instar larva dilakukan dengan mengukur lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva. Neraca kehidupan dilakukan dengan mengamati kemampuan bertahan hidup dan kematian S. pectinicornis dari cohort 100 telur. Parameter yang diamati adalah laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), rataan masa generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), dan laju pertambahan terbatas (λ). Kemampuan merusak diamati melalui penelitian berbagai kerapatan larva yaitu 0; 1; 2; 3; 4; 5 larva dengan 4 ulangan. Larva yang baru menetas diinvestasikan pada 1 individu kayu apu dengan jumlah daun 8 helai. Pengujian kisaran inang dilakukan melalui 2 tahapan pengujian yaitu pada kondisi dengan pilihan dan tanpa pilihan. Uji pilihan dilakukan dengan uji peletakan telur oleh imago betina sedangkan untuk uji tanpa pilihan terdiri dari uji peletakan telur oleh imago betina dan uji lapar terhadap larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina dapat meletakkan telurnya secara berkelompok atau sendiri-sendiri. Larva yang baru muncul dari telur langsung memakan rambut-rambut halus (trichoma) pada permukaan daun kayu apu. Larva akan terus tumbuh dan berkembang dan mulai memakan semua bagian daun kayu apu hingga mencapai stadium instar akhir. Larva instar akhir akan menggerek pangkal daun kayu apu untuk persiapan pemupaan. Imago betina dan jantan yang muncul dari pupa dapat langsung kawin dan meletakkan telur. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva menunjukkan bahwa larva S. pectinicornis terdiri atas enam instar. Hasil perhitungan neraca kehidupan menunjukkan bahwa laju reproduksi kotor (GRR) adalah 326,885 individu per induk per generasi, laju reproduksi bersih (Ro) adalah 49,915 individu per induk per generasi, rataan masa generasi (T) adalah 25,599 hari, laju pertambahan intrinsik adalah 0,152 individu per individu per hari dan laju pertambahan terbatas adalah 1,165 individu per individu per hari. Larva instar ketiga dan keempat diketahui mempunyai kemampuan merusak yang tinggi terhadap daun kayu apu. Hasil pengujian kisaran inang menunjukkan bahwa imago betina meletakkan telurnya pada 13 dari 36 jenis tumbuhan uji. Dari uji lapar, larva hanya dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada kayu apu. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa S. pectinicornis merupakan serangga herbivor yang bersifat spesifik inang terhadap kayu apu.

(4)

ABSTRACT

LYSWIANA APHRODYANTI. Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) as a Biological Control Agent of Water Lettuce (Pistia stratiotes L.): Study of Life, Control Ability and Host Range. Adviced by UTOMO KARTOSUWONDO and SOEKISMAN TJITROSEMITO.

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) is a biological control agent of water lettuce (Pistia stratiotes L.). The objectives

of this research were to study the biology of S. pectinicornis including development, life cycle, determination instars, life table and larval ability to control water lettuce and host range. Biology of S. pectinicornis was studied by observing morphology, longevity, and behavior. Determination of instars was carried out by measuring width, length, and circumference of larvae head

capsule. Life table was studied by investigated survival and mortality of S. pectinicornis from 100 cohort of eggs. The objective of life table study were

to determine gross reproductive rate (GRR), net reproductive rate (Ro), generation time (T), intrinsic rate of increase (r), and finite rate of increase (λ). Control ability was studied by invested different number of larvae which are 0; 1; 2; 3; 4; 5 larvae on a single water lettuce with 4 replications. Newly hatched larvae was put to 1 individual of water lettuce of 8 leaves. Host range test was investigated through 2 steps which are in choice test and no choice test condition. Choice test were carried out by oviposition test of female and for no choice test was done by oviposition test of female and starvation test for larval. Results indicated that females were able to lay eggs both in cluster or soliter. Newly hatched larvae directly feed on trichomes of water lettuce leaf surface. Larvae kept on growing by consuming entire part of plant until the late instars. Late instars bored base leave of water lettuce to pupate. Female and male emerged from the pupae and mated immediately, and soon layed eggs. Based on width, length, and circumference measurement results larval of S. pectinicornis had six instars. Based on life table, growth reproductive rate (GRR) is 326,882 individuals/individual/generation, net reproductive rate (Ro) is 49,915 individuals/individual/generation, generation time (T) is 25,599 days, intrinsic rate of increase (r) is 0,152 individuals/individual/day, and finite rate of increase (λ) is 1,165 individuals/individual/day. Third and fourth instar were found to have higher ability to damage leaves. Host range tests indicated that female laid their egg on 13 species out of from 36 plant spesies. However from starvation test, larvae of S. pectinicornis only completed their life cycle in water lettuce. These proved that S. pectinicornis was host specific herbivore on water lettuce.

(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta di lindungi

(6)

Spodoptera pectinicornis Hampson (Lepidoptera: Noctuidae)

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU (Pistia stratiotes L.):

KAJIAN HIDUP, KEMAMPUAN MERUSAK

DAN KISARAN INANG

LYSWIANA APHRODYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang

Nama Mahasiswa : Lyswiana Aphrodyanti

NIM : A451050051 Program Studi : Entomotologi/Fitopatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS Dr. Ir. Soekisman Tjitrosemito,

M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,

MS

(8)

PRAKATA

Syukur alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis berhasil

menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Judul tesis ini adalah ”Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens

Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang”yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Utomo Kartosuwondo, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, saran, dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih tiada terhingga atas semua kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nina Maryana, Msi selaku dosen penguji luar yang telah banyak memberikan saran yang sangat bermanfaat untuk penulisan tesis ini.

Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat serta Ketua beserta Tim Hibah kompetisi A2 disampaikan terima kasih atas kesempatan berharga untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi/Fitopatologi.

Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Sutarto, S.IP dan Ibunda Hidayah, Saudaraku Mukti Wahono, Suami terbaik Muhammad Ilham, Amd dan Anaknda tersayang Azka Adzikra Fahrezy yang setia menemani di kala senang dan lelah. Terima kasih atas semua doa dan pengorbanan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah Pascasarjana, IPB.

Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si, Bandung Sahari, SP, M.Si, Alal Huda Jaya Sironi SP, M.Si, Hasmiandy Hamid SP, M.Si, Hazen SP, M.Si, Wika Handini SP, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan pengolahan data dan saran atas penulisan.

Terimakasih kepada rekan-rekan anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB dan teman-teman yang baik Latifah dan Asniah yang telah banyak membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian.

Akhirnya semoga Allah SWT akan membalas segala kebaikan dengan pahala yang tiada terhingga. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Juli 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 13 Nopember 1978 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Ayah H. Sutarto S.IP dan Ibu Hidayah.

Penulis menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada SMA Negeri 1 Marabahan pada tahun 1996 dan langsung melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian jurusan Hama dan Penyakit Universitas Lambung Mangkurat dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2001.

Sejak tahun 2002, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Tahun 2005, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Entomologi/Fitopatologi dengan bantuan dana dari Hibah Kompetisi A2 dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 2

Manfaat Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Biologi Spodoptera pectinicornis (Hampson)... 4

Perkembangan dan Siklus Hidup ... 4

Pendugaan Instar Larva ... 5

Neraca Kehidupan ... 6

Pemanfaatan dan Kemampuan Merusak S. pectinicornis... 7

Kisaran Inang ... 8

Gulma Kayu Apu (Pistia stratiotes L.). ... 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Waktu dan Tempat ... 12

Metode Penelitian ... 12

Pemeliharaan dan Perbanyakan... 12

Pengamatan Kajian Hidup S. pectinicornis... 12

Perkembangan dan Siklus Hidup ... 12

Pendugaan Instar Larva ... 13

Neraca Kehidupan ... 15

Kemampuan Merusak Larva S. pectinicornis ...16

Kisaran Inang S. pectinicornis... 17

Uji Pilihan (Choice Test)... 17

(11)

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae)

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU (Pistia stratiotes L.):

KAJIAN HIDUP, KEMAMPUAN MERUSAK

DAN KISARAN INANG

LYSWIANA APHRODYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ” Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun keperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

Lyswiana Aphrodyanti

(13)

RINGKASAN

LYSWIANA APHRODYANTI. Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang. Dibimbing oleh UTOMO KARTOSUWONDO dan SOEKISMAN TJITROSEMITO.

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) adalah

salah satu agens hayati untuk mengendalikan gulma kayu apu (Pistia stratiotes L.). Tujuan penelitian adalah mempelajari biologi S. pectinicornis meliputi perkembangan, siklus hidup, pendugaan jumlah instar

larva, neraca kehidupan, dan kemampuan merusak larva terhadap kayu apu serta kisaran inangnya. Kajian hidup S. pectinicornis meliputi pengamatan terhadap morfologi, lama hidup, dan perilaku. Pendugaan jumlah instar larva dilakukan dengan mengukur lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva. Neraca kehidupan dilakukan dengan mengamati kemampuan bertahan hidup dan kematian S. pectinicornis dari cohort 100 telur. Parameter yang diamati adalah laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), rataan masa generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), dan laju pertambahan terbatas (λ). Kemampuan merusak diamati melalui penelitian berbagai kerapatan larva yaitu 0; 1; 2; 3; 4; 5 larva dengan 4 ulangan. Larva yang baru menetas diinvestasikan pada 1 individu kayu apu dengan jumlah daun 8 helai. Pengujian kisaran inang dilakukan melalui 2 tahapan pengujian yaitu pada kondisi dengan pilihan dan tanpa pilihan. Uji pilihan dilakukan dengan uji peletakan telur oleh imago betina sedangkan untuk uji tanpa pilihan terdiri dari uji peletakan telur oleh imago betina dan uji lapar terhadap larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina dapat meletakkan telurnya secara berkelompok atau sendiri-sendiri. Larva yang baru muncul dari telur langsung memakan rambut-rambut halus (trichoma) pada permukaan daun kayu apu. Larva akan terus tumbuh dan berkembang dan mulai memakan semua bagian daun kayu apu hingga mencapai stadium instar akhir. Larva instar akhir akan menggerek pangkal daun kayu apu untuk persiapan pemupaan. Imago betina dan jantan yang muncul dari pupa dapat langsung kawin dan meletakkan telur. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva menunjukkan bahwa larva S. pectinicornis terdiri atas enam instar. Hasil perhitungan neraca kehidupan menunjukkan bahwa laju reproduksi kotor (GRR) adalah 326,885 individu per induk per generasi, laju reproduksi bersih (Ro) adalah 49,915 individu per induk per generasi, rataan masa generasi (T) adalah 25,599 hari, laju pertambahan intrinsik adalah 0,152 individu per individu per hari dan laju pertambahan terbatas adalah 1,165 individu per individu per hari. Larva instar ketiga dan keempat diketahui mempunyai kemampuan merusak yang tinggi terhadap daun kayu apu. Hasil pengujian kisaran inang menunjukkan bahwa imago betina meletakkan telurnya pada 13 dari 36 jenis tumbuhan uji. Dari uji lapar, larva hanya dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada kayu apu. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa S. pectinicornis merupakan serangga herbivor yang bersifat spesifik inang terhadap kayu apu.

(14)

ABSTRACT

LYSWIANA APHRODYANTI. Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) as a Biological Control Agent of Water Lettuce (Pistia stratiotes L.): Study of Life, Control Ability and Host Range. Adviced by UTOMO KARTOSUWONDO and SOEKISMAN TJITROSEMITO.

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) is a biological control agent of water lettuce (Pistia stratiotes L.). The objectives

of this research were to study the biology of S. pectinicornis including development, life cycle, determination instars, life table and larval ability to control water lettuce and host range. Biology of S. pectinicornis was studied by observing morphology, longevity, and behavior. Determination of instars was carried out by measuring width, length, and circumference of larvae head

capsule. Life table was studied by investigated survival and mortality of S. pectinicornis from 100 cohort of eggs. The objective of life table study were

to determine gross reproductive rate (GRR), net reproductive rate (Ro), generation time (T), intrinsic rate of increase (r), and finite rate of increase (λ). Control ability was studied by invested different number of larvae which are 0; 1; 2; 3; 4; 5 larvae on a single water lettuce with 4 replications. Newly hatched larvae was put to 1 individual of water lettuce of 8 leaves. Host range test was investigated through 2 steps which are in choice test and no choice test condition. Choice test were carried out by oviposition test of female and for no choice test was done by oviposition test of female and starvation test for larval. Results indicated that females were able to lay eggs both in cluster or soliter. Newly hatched larvae directly feed on trichomes of water lettuce leaf surface. Larvae kept on growing by consuming entire part of plant until the late instars. Late instars bored base leave of water lettuce to pupate. Female and male emerged from the pupae and mated immediately, and soon layed eggs. Based on width, length, and circumference measurement results larval of S. pectinicornis had six instars. Based on life table, growth reproductive rate (GRR) is 326,882 individuals/individual/generation, net reproductive rate (Ro) is 49,915 individuals/individual/generation, generation time (T) is 25,599 days, intrinsic rate of increase (r) is 0,152 individuals/individual/day, and finite rate of increase (λ) is 1,165 individuals/individual/day. Third and fourth instar were found to have higher ability to damage leaves. Host range tests indicated that female laid their egg on 13 species out of from 36 plant spesies. However from starvation test, larvae of S. pectinicornis only completed their life cycle in water lettuce. These proved that S. pectinicornis was host specific herbivore on water lettuce.

(15)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta di lindungi

(16)

Spodoptera pectinicornis Hampson (Lepidoptera: Noctuidae)

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU (Pistia stratiotes L.):

KAJIAN HIDUP, KEMAMPUAN MERUSAK

DAN KISARAN INANG

LYSWIANA APHRODYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Noctuidae) sebagai Agens Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang

Nama Mahasiswa : Lyswiana Aphrodyanti

NIM : A451050051 Program Studi : Entomotologi/Fitopatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS Dr. Ir. Soekisman Tjitrosemito,

M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,

MS

(18)

PRAKATA

Syukur alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis berhasil

menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Judul tesis ini adalah ”Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai Agens

Hayati Kayu Apu (Pistia stratiotes L.): Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang”yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Utomo Kartosuwondo, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, saran, dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih tiada terhingga atas semua kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nina Maryana, Msi selaku dosen penguji luar yang telah banyak memberikan saran yang sangat bermanfaat untuk penulisan tesis ini.

Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat serta Ketua beserta Tim Hibah kompetisi A2 disampaikan terima kasih atas kesempatan berharga untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi/Fitopatologi.

Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Sutarto, S.IP dan Ibunda Hidayah, Saudaraku Mukti Wahono, Suami terbaik Muhammad Ilham, Amd dan Anaknda tersayang Azka Adzikra Fahrezy yang setia menemani di kala senang dan lelah. Terima kasih atas semua doa dan pengorbanan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah Pascasarjana, IPB.

Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si, Bandung Sahari, SP, M.Si, Alal Huda Jaya Sironi SP, M.Si, Hasmiandy Hamid SP, M.Si, Hazen SP, M.Si, Wika Handini SP, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan pengolahan data dan saran atas penulisan.

Terimakasih kepada rekan-rekan anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB dan teman-teman yang baik Latifah dan Asniah yang telah banyak membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian.

Akhirnya semoga Allah SWT akan membalas segala kebaikan dengan pahala yang tiada terhingga. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Juli 2007

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 13 Nopember 1978 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Ayah H. Sutarto S.IP dan Ibu Hidayah.

Penulis menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada SMA Negeri 1 Marabahan pada tahun 1996 dan langsung melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian jurusan Hama dan Penyakit Universitas Lambung Mangkurat dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2001.

Sejak tahun 2002, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Tahun 2005, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Entomologi/Fitopatologi dengan bantuan dana dari Hibah Kompetisi A2 dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 2

Manfaat Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Biologi Spodoptera pectinicornis (Hampson)... 4

Perkembangan dan Siklus Hidup ... 4

Pendugaan Instar Larva ... 5

Neraca Kehidupan ... 6

Pemanfaatan dan Kemampuan Merusak S. pectinicornis... 7

Kisaran Inang ... 8

Gulma Kayu Apu (Pistia stratiotes L.). ... 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Waktu dan Tempat ... 12

Metode Penelitian ... 12

Pemeliharaan dan Perbanyakan... 12

Pengamatan Kajian Hidup S. pectinicornis... 12

Perkembangan dan Siklus Hidup ... 12

Pendugaan Instar Larva ... 13

Neraca Kehidupan ... 15

Kemampuan Merusak Larva S. pectinicornis ...16

Kisaran Inang S. pectinicornis... 17

Uji Pilihan (Choice Test)... 17

(21)

Uji Tanpa Pilihan (No Choice Test) ... 18

Peletakan Telur... 18

Uji Lapar ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Kajian Hidup S. pectinicornis... 21

Perkembangan dan Siklus Hidup ... 21

Pendugaan Instar Larva ... 27

Neraca Kehidupan ... 32

Kemampuan Merusak Larva S. pectinicornis... 34

Kisaran Inang S. pectinicornis... 38

Uji Pilihan (Choice Test)... 38

Peletakan Telur... 38

Uji Tanpa Pilihan (No Choice Test) ... 43

Peletakan Telur ... 43

Uji Lapar ... 44

Keterkaitan Kajian Hidup, Kemampuan Merusak dan Kisaran Inang... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan... 50

Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis tumbuhan untuk pengujian kisaran inang ... 19

2 Ukuran pada berbagai fase perkembangan S. pectinicornis... 23

3 Lama perkembangan S. pectinicornis... 24

4 Parameter kehidupan imago betina S. pectinicornis... 25

5 Ukuran kapsul kepala larva S. pectinicornis ...30

6 Parameter demografi S. pectinicornis... 33

7 Hasil uji Tukey terhadap intensitas kerusakan oleh larva S. pectinicornis... 36

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Digitasi terhadap kapsul kepala S. pectinicornis ... 14

2 Fase hidup S. pectinicornis: (a) telur, (b) larva, (c) prapupa, (d) pupa, (e) Imago (f) telur dalam ovari ... 22

3 Larva yang terserang patogen serangga ... 26

4 Parasitoid larva-pupa famili Ichneumonidae... 26

5 Imago S. pectinicornis: (a) normal, (b) abnormal ... 27

6 Distribusi frekuensi ukuran kapsul kepala larva S. pectinicornis:

(a) lebar, (b) panjang, (c) keliling ... 28

7 Perkembangan kapsul kepala S. pectinicornis instar I, II, III, IV, V,

dan VI ... 29

8 Perkembangan instar larva S. pectinicornis... 31

9 Sintasan dan keperidian S. pectinicornis... 32

10 Persentase kerusakan kayu apu oleh larva S. pectinicornis... 35

11 Intensitas kerusakan kayu apu: (a) kontrol, (b) 1 larva, (c) 2 larva,

(d) 3 larva, (e) 4 larva, (f) 5 larva ... 37

12 Kelompok telur S. pectinicornis pada tumbuhan uji: (a) kayu apu (b) kedelai, (c) ubi jalar, (d) genjer, (e) kayambang, (f) jagung, (g) eceng gondok, (h) alang-alang, (i) kangkung air, (j) pisang,

(k) eceng lembut, (l) kunyit, (m) bayam...38

13 Rataan jumlah telur pada berbagai tumbuhan uji (choice test) ... ..…41

14 Rataan jumlah telur pada berbagai tumbuhan uji (no choice test) ... 44

15 Larva S. pectinicornis mati kelaparan pada tumbuhan uji tanpa

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel neraca kehidupan S. pectinicornis ... 56

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae)

merupakan salah satu serangga herbivor yang dapat dimanfaatkan sebagai agens

pengendali hayati gulma kayu apu (Pistia stratiotes L). Menurut Kasno (2003),

serangga yang bertindak sebagai musuh alami mempunyai potensi yang cukup

besar dan telah mengalami kajian sebagai pengendali hayati gulma. Selain itu,

serangga umumnya mampu berkembang biak dengan cepat dan diantaranya

memiliki kisaran inang yang relatif sempit sehingga dapat dimanfaatkan sebagai

agens hayati yang potensial. S. pectinicornis diketahui mempunyai siklus hidup

yang relatif singkat yaitu sekitar 35 hari dengan masa perkembangan larva

sekitar 17-20 hari. Fase larva aktif sebagai pemakan tumbuhan kayu apu dan

dapat menyebabkan kerusakan yang sangat nyata (Texas A&M University

2003).

S. pectinicornis merupakan jenis serangga asli Asia. Hal ini dinyatakan

oleh Kuntha (1977) bahwa penyebaran serangga ini meliputi India, Srilanka,

Singapura dan Indonesia. Di India dilaporkan bahwa serangga ini telah

menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada gulma kayu apu. Tahun 1986,

S. pectinicornis yang berasal dari Thailand telah dimasukkan ke Florida

Amerika Serikat dan tahun 1991 dilepaskan di Texas untuk mengatasi

permasalahan gulma kayu apu. Di Thailand, larva S. pectinicornis ini telah

mampu menggantikan penggunaan aplikasi bahan kimia atau pestisida untuk

mengendalikan kayu apu (Texas A&M University 2003).

Kayu apu merupakan gulma perairan yang telah tersebar luas dan

menimbulkan permasalahan yang penting di daerah tropik diantaranya Vietnam,

Laos, Thailand, Filipina, Cina, Malaysia, Afrika dan Indonesia, sedangkan

penyebarannya di Amerika meliputi Texas dan Florida. Pengaruh yang

merugikan akibat keberadaan kayu apu sangat dirasakan terutama bila areal

perairan tersebut dimanfaatkan untuk irigasi, industri, sumber energi listrik

tenaga air, pelayaran dan rekreasi, sedangkan akibat secara tidak langsung dari

(26)

nyamuk mansonia yang merupakan vektor malaria, ensefalitis dan filariasis

terhadap manusia dan hewan (CABI 2005).

Penggunaan S. pectinicornis sebagai serangga pengendali hayati

diharapkan mampu untuk mengendalikan kayu apu. Metode hayati yang telah

sukses akan memberikan hasil yang lebih permanen dengan skala pengendalian

yang lebih luas dan sedikit menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

(Napompeth 1990).

Hasil pengujian yang dilakukan Mangoendiharjo (1982) menunjukkan

bahwa ngengat S. pectinicornis memiliki potensi berkembang biak yang cukup

besar dan larvanya mempunyai kemampuan merusak yang tinggi terhadap

gulma kayu apu.

Di Indonesia, penelitian biologi S. pectinicornis masih sangat sedikit,

baik mengenai perkembangan dan siklus hidupnya seperti adanya kesulitan

penentuan jumlah instar larva karena tidak ditemukannya sisa eksuvia sehingga

sulit untuk mengamati pergantian kulit sebagai indikator perkembangan larva

dan belum pernah dilakukannya perhitungan neraca kehidupan. Selain itu,

untuk menguji potensinya sebagai kandidat agens hayati perlu dilakukan

pengujian kemampuan larva merusak kayu apu sedangkan untuk mengantisipasi

kemungkinan perubahan status agens hayati menjadi hama tanaman maka akan

dilakukan pengujian kisaran inang. Setelah melalui tahapan tersebut maka

serangga ini diharapkan dapat digunakan sebagai agens hayati yang aman dan

potensial untuk pengendalian kayu apu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari beberapa aspek biologi

S. pectinicornis meliputi perkembangan dan siklus hidup, pendugaan jumlah

instar larva, neraca kehidupan dan kemampuan merusak larva terhadap kayu apu

(27)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

perikehidupan, kemampuan merusak dan kisaran inang S. pectinicornis sehingga

dapat memberikan pemahaman dasar yang merupakan landasan penting untuk

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Spodoptera pectinicornis

(Hampson) Perkembangan dan Siklus Hidup

Serangga ini mempunyai beberapa nama sinonim yaitu Athetis hennia

Swinhoe, Athetis pectinicornis Hampson, Episammia pectinicornis Hampson,

Namangana pectinicornis Hampson, Proxenus hennia Swinhoe (CABI 2005;

Habeck & Thomson 1997).

Ngengat betina meletakkan telur pada kedua sisi permukaan daun,

namun biasanya pada permukaan bawah daun. Telur-telur diletakkan secara

berkelompok masing-masing berjumlah kurang lebih 150 butir dengan rata-rata

94 butir telur pada setiap kelompok (Center et al. 2000). Hasil penelitian

Suasa-ard (1976) menunjukkan bahwa jumlah telur per kelompok rata-rata 94,3

butir dan oviposisi terjadi dari 2 sampai 6 hari dan selama hidupnya ngengat

betina meletakkan sekitar 990 telur dengan rata-rata 666 telur. Menurut

Mangoendiharjo (1982) telur yang diletakkan pada setiap kelompok telur

sebanyak 3-90 butir dan selama hidupnya seekor ngengat betina dapat

meletakkan telur sebanyak 113-561 butir. Kelompok telur diselubungi oleh

suatu bahan semacam anyaman rambut-rambut halus yang dilepaskan betina

dari ujung abdomennya (Suasa-ard 1976; Habeck & Thomson 1997). Menurut

Suasa-ard (1976), telur berukuran sangat kecil dengan diameter rata-rata

0,0315 mm sedangkan hasil penelitian Mangoendiharjo (1982) menyatakan

bahwa diameter telur adalah 0,5 mm. Pada saat diletakkan telur berwarna

kehijauan dan lama kelamaan berubah menjadi kuning. Penetasan terjadi antara

3 sampai 6 hari dengan rata-rata 4,4 hari setelah oviposisi (Habeck & Thomson

1997). Menurut Kuntha (1977), kemampuan telur untuk menetas dapat

mencapai 95% dan masa inkubasinya antara 4 sampai 6 hari.

Larva instar awal berwarna putih kekuningan dan berubah menjadi hijau

setelah makan jaringan daun dan menyukai daun muda sekitar titik tumbuh

(Mangoendiharjo 1982). Larva instar akhir mempunyai kebiasaan menggerek

ke dalam bagian daun yang membengkak. Panjang larva setelah berkembang

(29)

Selama fase larva dapat menyebabkan kerusakan pada daun dan tunas

mencapai 50-70% (Mangoendiharjo & Nasroh 1976).

Periode prapupa 1 sampai 2 hari dan lama stadium pupa umumnya antara

3 sampai 6 hari. Pupa biasanya berada di dalam rongga di bagian dasar daun

yang membengkak yang telah dipersiapkan oleh larva instar akhir atau diantara

daun-daun dan tulang daun bagian bawah (Mangoendiharjo 1982; Anonim

1996).

Ngengat betina berukuran lebih besar daripada yang jantan, warnanya

lebih muda dan kadang-kadang berwarna kuning coklat, panjang tubuh 7-9 mm

dan rentang sayap 18-21 mm. Ngengat jantan relatif lebih kecil, berwarna lebih

kelam dan pada bagian tengah sayap depannya terdapat bintik kuning yang jelas

(Suasa-ard 1976; Mangoendiharjo 1982). Lama hidup imago ngengat ini 3-7

hari (Kuntha 1977). Siklus hidup keseluruhan ngengat ini relatif singkat yaitu

kira-kira 35 hari. Ngengat merupakan serangga nokturnal. Biasanya melakukan

perkawinan antara jam 19.00-21.00 dan meletakkan telur pada daun kayu apu

(Mangoendiharjo & Nasroh 1976).

Pendugaan Instar Larva

Pergantian instar larva untuk serangga tertentu biasanya dapat diamati

secara langsung yaitu dengan melihat pergantian kulit atau adanya eksuvia yang

ditanggalkan oleh larva. Akan tetapi, pada larva S. pectinicornis sangat jarang

ditemukan eksuvianya sehingga sulit untuk menentukan pergantian instar larva.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan larva S. pectinicornis memakan kembali

eksuvia yang ditanggalkannya. Larva ordo Lepidoptera diketahui menggerogoti

chorionnya untuk keluar dari telur dan setelah keluar dari telur larva akan

memakan kembali eksuvianya (Chapman 1998), sedangkan menurut Gullan dan

Cranston (2000) saat ganti kulit, epikutikula baru akan disintesis dan kutikula

lama dapat dicerna kembali oleh serangga.

Mangoendiharjo (1982) menyatakan bahwa larva S. pectinicornis terdiri

atas enam instar. Instar pertama berlangsung sekitar 2 hari dengan panjang

tubuh 1 mm. Stadium larva instar kedua berlangsung selama 2-3 hari dan

(30)

dan instar keempat 3-4 hari. Larva stadium instar kelima berlangsung 4-5 hari

dan instar keenam 3-4 hari. Namun demikian, tidak dijelaskan indikator yang

digunakan untuk mengetahui pergantian instar larva S. pectinicornis.

Ditemukannya metode pendugaan instar melalui pengukuran terhadap

struktur tubuh serangga dengan menggunakan program komputer, maka hasil

yang didapatkan dapat lebih akurat. Pengukuran dilakukan terhadap struktur

tubuh yang keberadaannya konsisten seperti bagian kapsul kepala, mandibel dan

sayap.

Pendugaan instar dilakukan Alencar et al. (2001) dengan cara mengukur

panjang kapsul kepala lateral dan lebar apodema kepala Simulium pervlafum

(Diptera: Simuliidae). Pengukuran terhadap kait mandibel dan dimensi tubuh

digunakan untuk mengamati jumlah instar pada Fopius arisanus (Hymenoptera:

Braconidae). Untuk mengetahui jumlah instar larva Acrobasis vaccinii

(Lepidoptera: Pyralidae) dengan cara mengukur lebar kapsul kepala dilakukan

oleh Godin et al. (2002). Penggunaan ukuran lebar kapsul kepala sering

digunakan sebagai indikator jumlah instar untuk serangga Lepidoptera.

Menurut McCellan dan Logan (1994 dalam Godin et al. 2002),

pengukuran akan menghasilkan data yang akan disajikan dalam bentuk

distribusi frekuensi dan membentuk puncak-puncak dan setiap puncak mewakili

satu instar.

Neraca Kehidupan

Neraca kehidupan adalah suatu tabel yang dapat menggambarkan secara

sederhana mengenai kemampuan bertahan hidup dan kematian yang terjadi

di dalam populasi suatu organisme dan menggambarkan perubahan-perubahan

yang terjadi dalam populasi tersebut selama satu generasi (Price 1997; Horn

1988). Menurut Wilson dan Bossert (1971), neraca kehidupan merupakan

analisis terhadap kelahiran, kematian dan reproduksi suatu populasi yang dapat

memberikan informasi untuk mendapatkan pengukuran yang lebih tepat

mengenai pertumbuhan populasi yang dibutuhkan untuk studi tentang berbagai

aspek ekologi dan perilaku. Model perkembangan populasi dapat disusun

(31)

untuk waktu tertentu. Tarumingkeng (1992) menyatakan bahwa neraca

kehidupan adalah merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat

dinamis yaitu mulai umur 0 sampai umur dimana semua individu dalam

populasi tersebut mati. Neraca kehidupan cohort yang juga dikenal sebagai

tabel kehidupan horisontal diamati selang satu generasi (t). Pengamatan neraca

seperti ini lebih sesuai digunakan untuk spesies yang berumur pendek dan

perkembangan hidupnya dapat di amati di laboratorium.

Parameter utama dari populasi adalah: 1) daya bertahan hidup

berdasarkan umur, 2) keperidian, 3) distribusi frekuensi umur, 4) nisbah

kelamin, dan 5) kerapatan populasi (Caughley 1977). Perubahan numerik

di dalam populasi yang digambarkan oleh statistik tersebut dapat dihitung

melalui penyusunan neraca kehidupan (Price 1997).

Pertumbuhan populasi suatu spesies sangat tergantung pada kemampuan

induk betina untuk bertahan hidup (lx) dan kemampuannya untuk menghasilkan

keturunan (mx). Total keturunan betina yang dihasilkan dari rataan induk betina

dalam populasi disebut laju reproduksi bersih (Ro) atau jumlah keturunan betina

yang menggantikan secara sempurna seekor induk betina dalam satu generasi.

Populasi suatu spesies dikatakan stabil bila Ro = 1, namun bila Ro > 1 maka

populasi akan bertambah sedangkan bila Ro < 1 maka populasi akan berkurang.

Bila nilai Ro diketahui maka lamanya suatu generasi (T) dan laju pertambahan

intrinsik (r) juga dapat diketahui (Price 1997)

Pemanfaatan dan Kemampuan Merusak S. pectinicornis

Di Thailand, serangga ini berhasil digunakan sebagai agens pengendali

hayati dan menggantikan penggunaan herbisida (Naples & Kessler 2005).

Penggunaan S. pectinicornis untuk mengendalikan kayu apu dapat digunakan

pada kolam air buatan maupun alam, waduk dan badan-badan air lainnya dan

telah berhasil mengendalikan P. stratiotes secara hayati dengan augmentasi

(Suasa-ard & Napompeth 1976; Napompeth 1990). Pada awal pelepasan ke

lapangan populasi ngengat ini terlihat hanya selama bulan Oktober sampai

Desember pada setiap tahun. Namun sekarang serangga ini dapat ditemukan

(32)

kemungkinan dapat pula digunakan di negara lainnya untuk program

pengendalian kayu apu. S. pectinicornis telah diintroduksi untuk mengendalikan

kayu apu di Florida, Amerika Serikat (Napompeth 1990).

Di India dilaporkan bahwa S. pectinicornis telah menyebar luas dan

menyebabkan kerusakan yang nyata terhadap kayu apu sehingga dapat

diharapkan untuk pengendalian kayu apu (Rao 1969; Sankaran & Rao 1972;

Sankaran & Ramaseshiah 1974).

Di Indonesia, penelitian kemampuan merusak yang disebabkan

S. pectinicornis terhadap kayu apu dilakukan oleh Mangoendiharjo (1982) dan

hasilnya menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan cukup besar. Hasil

penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa tingkat kerusakan dapat

dipengaruhi oleh kondisi iklim dan ketinggian. Pada musim hujan tingkat

kerusakan lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau dan semakin

tinggi suatu tempat tingkat kerusakan semakin rendah. Selain di Jawa,

S. pectinicornis juga menyerang kayu apu di daerah Sulawesi Selatan dan

Kalimantan.

Menurut Kasno et al. (1979), S. pectinicornis yang menyerang kayu apu

mempunyai faktor pembatas yaitu keberadaan predator yang memangsa larva.

Musuh alami dari larva ini adalah Coelostoma sp. (Hydrophilidae) dan Tabanus

sp. (Tabanidae) (Mangoendiharjo et al. 1979).

Kisaran Inang

Mengingat agens hayati gulma yang bersifat herbivor yaitu organisme

pemakan tumbuhan maka sangat beralasan bahwa ada kekhawatiran besar akan

adanya kemungkinan selama perjalanan waktu terjadi perubahan status agens

hayati tersebut menjadi organisme perusak (hama) terhadap tanaman budidaya

sehingga pengujian kisaran inang suatu agens hayati harus dilakukan.

Menurut Harley dan Forno (1992 dalam Kasno 2003), ada beberapa

kriteria pemilihan jenis tumbuhan yang akan diuji yaitu (1) tumbuhan yang

memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan gulma sasaran, misalnya varietas

lain atau spesies lain dalam marga (genus) atau suku (tribe) yang sama,

(33)

alternatif bagi agens yang bersangkutan, (3) tumbuhan yang merupakan inang

jenis agensia perusak yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan calon

musuh alami, (4) tumbuhan yang hubungan kekerabatannya tidak jelas tetapi

memiliki sifat biokemis atau bentuk (morfologi) yang sama atau sangat mirip

dengan gulma sasaran, (5) beberapa jenis tanaman budidaya/ekonomis yang

umum tumbuh di lingkungan gulma sasaran.

Di Thailand, pada uji kisaran inang menggunakan 72 spesies tanaman

meliputi 34 famili, S. pectinicornis hanya dapat bertahan dan berkembang pada

kayu apu (Suasa-ard & Napompeth 1976), sedangkan hasil pengujian kisaran

inang yang telah dilakukan Habeck dan Thomson (1997) menunjukkan bahwa

61 spesies tanaman dari 32 famili, S. pectinicornis hanya mampu menyelesaikan

siklus hidupnya pada kayu apu. Hal ini menunjukkan kekhususan inang yang

tinggi terhadap kayu apu. Mangoendiharjo dan Nasroh (1976) menemukan

bahwa larva S. pectinicornis yang baru menetas mengalami kelaparan pada 26

spesies tanaman yang diujikan kecuali pada kayu apu dan kembali mengujinya

dengan 44 spesies dari 21 famili tanaman dan mendapatkan hasil yang sama

sehingga dapat disimpulkan bahwa ngengat ini dapat digunakan sebagai calon

pengendali hayati terhadap kayu apu.

Di Indonesia, pengujian kisaran inang serangga S. pectinicornis telah

dilakukan puluhan tahun yang lalu sehingga ada kemungkinan terjadinya

perubahan terhadap perilaku dan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai inang.

Hal ini yang menjadi landasan pemikiran bahwa perlu dilakukan lagi pengujian

kisaran inang S. pectinicornis, baik terhadap jenis tumbuhan yang sudah dan

belum pernah diujikan sebagai inang alternatif bagi S. pectinicornis.

Gulma Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)

Kayu apu (Pistia stratiotes) menempati urutan ketiga dari sepuluh gulma

yang dapat menimbulkan masalah yang potensial di Asia Tenggara setelah

eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayambang (Salvinia molesta)

(34)

Kayu apu termasuk suku Araceae, merupakan tumbuhan air yang

mengapung bebas di permukaan air dan bersifat sebagai tanaman tahunan.

Daunnya berwarna hijau kekuningan, saling berdekatan dan terkadang saling

tumpang tindih satu dengan lainnya, dapat berukuran kecil atau besar, memiliki

rambut-rambut halus pada permukaan atas maupun bawahnya (Naples &

Kessler 2005). Bagian batang berukuran sangat pendek, berbentuk bulat kaku

dan ditutupi oleh dasar daun. Akar berwarna coklat kehitaman yang tumbuh

dari dasar batang dan banyak memiliki cabang-cabang halus yang panjang

(Swarbrick 1983). Kayu apu dapat membentuk biji yang dapat berkecambah

bila tersedia cukup oksigen namun pada umumnya perkembangbiakan terjadi

melalui organ vegetatif yaitu dengan membentuk stolon. Stolon ini mudah

sekali terpotong dan pada bagian ujungnya dapat tumbuh menjadi individu baru.

Gulma ini sekilas tampak seperti tanaman selada sehingga sering disebut selada

air (water lettuce). Bagian pangkal daun menggembung dengan susunan sel

seperti bunga karang yang berisi udara sehingga tumbuhan itu dapat mengapung

bebas di atas permukaan air (Mangoendiharjo 1982). Pertumbuhan kayu apu

yang optimal terjadi pada pH 4 (Ali 1974) dan bila syarat-syarat pertumbuhan

lainnya terpenuhi maka rata-rata pertambahan daun kurang lebih 10% dan berat

kering gulma dapat bertambah 42% dan banyaknya individu dapat dua kali lipat

(Mangoendiharjo 1982). Dalam keadaan yang optimum maka kayu apu dapat

berlipat ganda populasinya setelah 10-15 hari (Dhahiyat 1989).

Pertumbuhan kayu apu yang cepat menyebabkan penutupan permukaan

air, gangguan aliran sungai, mengurangi kadar oksigen dalam air (Weber 2004)

dan merupakan ancaman terhadap komunitas tanaman asli serta binatang air

lainnya (CABI 2005). Kayu apu juga merupakan masalah yang serius pada

daerah pertanaman padi dan terhadap pengoperasian sumber energi listrik

tenaga air (Napompeth 1990). Gulma ini merupakan spesies yang penting untuk

dikendalikan karena daunnya dapat menjadi tempat beberapa spesies nyamuk

dan merupakan vektor yang menyebabkan penyakit malaria, encephalomyelitis

dan filiarisis. Nyamuk Anopheles sering berasosiasi dengan kayu apu dan

nyamuk Mansonia dapat meletakkan telur pada permukaan bawah daun dan

(35)

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kayu

apu, diantaranya adalah secara fisik dan mekanik yaitu penggunaan tenaga

manusia dan peralatan, namun biaya yang dikeluarkan sangat mahal.

Penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan gulma air tidak banyak

dilakukan karena adanya konsekuensi ekologi akibat penggunaan herbisida

tersebut. Hasil penelitian Slamet et al. (1980) menunjukkan bahwa diuron,

gliposat dan parakuat memberikan hasil yang baik untuk pengendalian kayu apu,

tetapi residunya di dalam tanah dapat mengurangi hasil tanaman padi. Selain itu

dapat berpengaruh pula terhadap manusia dan hewan yang memanfaatkan

(36)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan

Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Waktu penelitian sejak bulan September 2006 sampai Pebruari 2007.

Metode Penelitian

Pemeliharaan dan Perbanyakan S. pectinicornis

Kayu apu yang menunjukkan kerusakan akibat serangan larva

S. pectinicornis dikumpulkan dari areal persawahan daerah Ciapus dan

ditempatkan dalam nampan berisi air dan dimasukkan dalam kurungan kasa

berukuran 60 x 60 cm agar tetap terjadi sirkulasi udara. Kayu apu yang rusak

akibat aktivitas makan larva akan dipindahkan dan diletakkan pada bagian atas

kayu apu baru sehingga larva dapat berpindah dan mendapatkan makanan baru

hingga mencapai fase pupa. Pupa-pupa dikumpulkan dan ditempatkan dalam

stoples plastik dengan diameter 14 cm yang pada bagian alasnya diletakkan

kertas tisu dan diberi kapas basah agar tetap lembab. Imago jantan dan betina

yang muncul dipindahkan ke dalam kurungan dan diberi madu 10% pada kapas

yang digantung. Imago tersebut dibiarkan kawin serta meletakkan telur pada

kayu apu. Kelompok-kelompok telur yang terdapat pada kayu apu siap

digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.

Pengamatan Kajian Hidup S. pectinicornis Perkembangan dan Siklus Hidup.

Pengamatan biologi dilakukan dengan menempatkan beberapa pasang

imago jantan dan betina dan dibiarkan kawin dan meletakkan telur. Telur-telur

tersebut diletakkan dibawah mikroskop untuk mengamati perubahan warna dan

sebanyak 15 butir telur dilakukan pengukuran dengan mikroskop binokuler dan

difoto menggunakan kamera digital mikroskop dengan perbesaran tertentu.

(37)

didigitasi menggunakan program morfometri tpsdig. Digitasi dilakukan

terhadap lebar dan panjang telur. Hasil digitasi tersebut berupa nilai vektor dan

dimasukkan ke dalam persamaan berikut, Dv(mm)=

((X1-X2)2 + (Y1-Y2)2)

dimana Dv (mm) adalah jarak vektor, X1,X2,Y1,Y2 titik-titik vektor pada sumbu X dan Y, selanjutnya nilai Dv dimasukkan ke dalam persamaan berikut

Ds(mm) = Dv/Dp, dimana Ds adalah jarak sesungguhnya, Dv adalah jarak vektor dan Dp adalah jarak perbesaran. Setelah telur menetas menjadi larva maka

diamati perilaku larva dari pertama keluar dari cangkang telur dan

morfologinya. Sebanyak 10 larva contoh dilakukan pengukuran setiap hari

hingga memasuki tahap prapupa. Untuk larva yang berukuran sangat kecil dan

dilakukan pengamatan dibawah mikroskop maka pengukuran panjang tubuhnya

menggunakan pengukuran morfometri seperti pengukuran telur dan

menggunakan program yang sama, sedangkan larva berukuran besar dilakukan

pengukuran menggunakan alat ukur penggaris. Memasuki tahap prapupa dan

pupa juga dilakukan pengamatan mengenai perilaku serta lama stadium. Imago

jantan dan betina diamati perilaku dan morfologinya serta pengukuran terhadap

panjang tubuh dan sayap. Imago betina yang telah mati akan didiseksi untuk

mengetahui jumlah telur yang masih terdapat di dalam ovari. Data

perkembangan dan siklus hidup dilaporkan secara deskriptif dan dalam bentuk

tabel.

Pendugaan Instar Larva.

Jumlah instar larva diduga dengan cara mengukur kapsul kepala larva

(Gambar 1). Setiap hari dilakukan pengukuran pada 7-12 ekor larva yang

diamati dibawah mikroskop binokuler dan difoto menggunakan kamera digital

mikroskop dengan perbesaran tertentu. Hasil foto tersebut ditransfer ke

komputer dan gambar hasil pemotretan didigitasi menggunakan program

morfometri tpsdig (Bennet & Hoffmann 1998). Digitasi dilakukan terhadap

bagian kapsul kepala larva yang keberadaannya konsisten yaitu lebar, panjang

dan keliling kapsul kepala. Lebar kapsul kepala yang dimaksud adalah jarak

(38)

atas hingga batas paling bawah (jarak titik 3 dan 4). Keliling kapsul kepala

dengan menjumlahkan semua titik yang didigitasi mengelilingi kapsul kepala

sebanyak 18 titik. Hal yang sama juga dilakukan pada foto skala.

Gambar 1 Digitasi terhadap kapsul kepala larva S. pectinicornis

Hasil digitasi berupa nilai vektor, selanjutnya dengan menggunakan

program Microsoft Excel dimasukkan ke dalam persamaan berikut untuk

mendapatkan ukuran yang sesungguhnya :

Dv(mm)=

((X1-X2)2 + (Y1-Y2) 2)

Ds(mm) = Dv/Dp Dimana :

Dv (mm) : jarak vektor

Ds(mm) : jarak sesungguhnya

Dp : jarak perbesaran mikroskop

X1, X2, Y1, Y2 : titik-titik vektor pada sumbu X dan Y 4

5 6 7 1 8

9 10

11 3 12

13

15

16 17 18

14

(39)

Data ukuran kapsul kepala ditampilkan dalam bentuk histogram

frekuensi ukuran kapsul dan jumlah larva dalam selang kelas tertentu sehingga

diperoleh pengelompokan ukuran kapsul kepala baik lebar, panjang dan keliling

yang menandakan pergantian instar larva.

Neraca Kehidupan.

Sebanyak lima pasang imago jantan dan betina dimasukkan ke dalam

wadah berisi kayu apu dan disungkup supaya ngengat tidak keluar. Setelah 24

jam, imago dikeluarkan dan dilakukan pencarian kelompok telur pada daun kayu

apu. Selanjutnya sebanyak 100 butir telur yang terdapat pada kayu apu ditunggu

hingga menetas menjadi larva dan dipindahkan pada wadah baru yang berisi

kayu apu. Penghitungan dilakukan setiap hari untuk mengetahui jumlah

individu yang masih hidup dan yang mengalami kematian. Larva dipelihara

sampai menjadi pupa dan imago. Imago betina dan jantan yang berhasil muncul

juga dihitung untuk mengetahui nisbah kelamin. Selanjutnya imago betina

dikawinkan dengan imago jantan dan dibiarkan meletakkan telur pada kayu apu

sampai semua imago mati.

Berdasarkan neraca kehidupan dapat dihitung statistik demografi yang

terdiri atas :

Laju reproduksi kotor (GRR)

Laju reproduksi bersih (Ro)

Masa generasi rata-rata (T)

Laju pertumbuhan instrinsik(r)

Laju pertumbuhan terbatas (λ ) =

=

=

=

=

Σ mx

Σ lxmx

Σxlxmx / Σlxmx ln Ro / T

er

Dalam neraca kehidupan dilakukan perhitungan terhadap

parameter-parameter, diantaranya adalah x yaitu kelas umur; lx adalah peluang hidup

(survivorship) pada setiap kelas umur x; mx adalah keperidian spesifik

individu-individu pada kualitas umur x atau jumlah anak per kapita yang lahir pada

kualitas umur x. Berdasarkan angka yang didapatkan dari parameter-parameter

tersebut maka dapat diketahui nilai GRR yaitu merupakan jumlah dari mx;

Ro adalah jumlah perkalian lx dan mx; nilai T didapatkan dari jumlah perkalian

(40)

ln Ro dibagi dengan T; λ diketahui dengan menggunakan rumus er, dimana e adalah merupakan bilangan euler (2,71828). Selain itu, data peluang hidup (lx)

dan keperidian (mx) dapat diplotkan menjadi grafik sintasan dan keperidian.

Data pengamatan neraca kehidupan ditampilkan dalam bentuk tabel

kehidupan dan grafik.

Kemampuan Merusak Larva S. pectinicornis

Pengujian dilakukan dengan mempersiapkan satu individu gulma kayu

apu dengan jumlah daun sebanyak 8 helai. Selanjutnya diinokulasikan larva

yang berumur 1 hari dan disungkup. Jumlah larva yang digunakan yaitu 1 larva;

2 larva; 3 larva; 4 larva; 5 larva; dan kontrol. Pengamatan kerusakan daun

dilakukan setiap hari sampai semua larva menjadi pupa. Pada pengujian ini

dilakukan pengulangan sebanyak empat kali.

Untuk menentukan intensitas kerusakan rata-rata dalam satu unit sampel

dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

4 ni x vi

IK = Ž x 100 %

i = 0 4N

dimana :

IK = intensitas kerusakan (%)

ni = banyaknya tanaman, bagian tanaman yang terserang pada skor ke-i vi = nilai skor ke-i

N = banyaknya tanaman, bagian tanaman sampel yang diamati

Adapun skor kerusakan tanaman adalah sebagai berikut :

Skor kerusakan Tahap kerusakan tanaman

0 tidak ada kerusakan

1 tingkat kerusakan 1 - < 25 %

2 tingkat kerusakan 25 - < 50 %

3 tingkat kerusakan 50 - < 75 %

(41)

Data hasil pengamatan berupa nilai persentase kerusakan akan

ditampilkan dalam bentuk Anova dan Box Plots menggunakan program

Statistica for Windows Release 6.0.

Kisaran Inang S. pectinicornis

Tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan uji dapat dilihat pada

Tabel 1. Pengujian terhadap jenis inang terdiri atas dua tahap yaitu uji pada

kondisi pilihan (choice test) dan tanpa pilihan (no choice test).

Uji Pilihan (Choice Test )

Peletakan Telur. Pengujian dilakukan dengan cara menanam tumbuhan dalam pot plastik sesuai dengan habitat aslinya. Tumbuhan uji sebanyak 36

jenis dan dibagi lagi dalam kelompok yang lebih kecil, masing-masing terdiri

atas 6 jenis tumbuhan uji termasuk kayu apu sehingga terdapat 7 kelompok

pengujian. Kelompok I terdiri dari jenis tumbuhan Pistia stratiotes (kayu apu),

Solanum lycopersicum (tomat), Dieffenbachia sp. (sri rejeki) Glycine max

(kacang kedelai), Ipomoea batatas (ubi jalar), Cyperus rotundus (teki).

Kelompok II terdiri dari Pistia stratiotes (kayu apu), Vigna sinensis

(kacang panjang), Salvinia molesta (kayambang), Canna edulis (ganyong),

Ludwigia hyssopifolia (lombokan), Limnocharis flava (Genjer). Kelompok III

terdiri dari Pistia stratiotes (kayu apu), Ananas sp. (nenas), Zea mays (jagung),

Brassica juncea (sawi hijau), Arachis hypogea (kacang tanah), Eichornia

crassipes (eceng gondok). Kelompok IV terdiri dari Pistia stratiotes (kayu apu),

Kaemferia galanga (kencur), Colocasia esculenta (talas), Ipomoea reptans

(kangkung darat), Caladium bicolor (keladi hias), Imperata cylindrica

(alang-alang). Kelompok V terdiri dari Pistia stratiotes (kayu apu), Alocasia sp.

(kuping gajah), Alpinia galanga (lengkuas), Monochoria vaginalis (eceng

lembut), Musa paradisiae (pisang), Ipomoea aquatica (kangkung air).

Kelompok VI terdiri dari Pistia stratiotes (kayu apu), Capsicum annum (cabe

besar), Zingiber officinale (jahe), Brassica oleracea (brokoli), Azolla pinata,

(42)

(kayu apu), Philodendron sp. (keladi hias), Oryza sativa (padi), Phaseolus

vulgaris (kacang buncis), Amaranthus sp. (bayam), Marsilea drummondii

(semanggi).

Tumbuhan uji diletakkan secara acak melingkar pada kurungan kasa

berukuran 60 x 60 cm. Kemudian sebanyak 6 pasang imago jantan dan betina

yang baru muncul dilepaskan ke dalam kurungan dan diusahakan di bagian

tengah lingkaran untuk memberikan peluang yang sama pada imago untuk

mencapai setiap jenis tumbuhan uji yang disediakan. Pengujian dilakukan

dengan tiga kali ulangan dan berlangsung hingga imago mati. Pengamatan

dilakukan terhadap kelompok telur yang diletakkan pada tumbuhan uji dan

dihitung jumlahnya.

Uji Tanpa Pilihan (No Choice Test)

Pengujian ini dilakukan dengan cara melepaskan imago dan larva dengan

tumbuhan uji tertentu tanpa pilihan. Tumbuhan uji yang digunakan adalah

tumbuhan yang pada uji pilihan kedapatan kelompok telur.

Peletakan Telur. Pada sungkup yang telah berisi tanaman uji dimasukkan sepasang imago jantan dan betina yang baru muncul. Imago

tersebut dibiarkan kawin dan meletakkan telur. Pengujian dilakukan dengan 3

kali ulangan dan berlangsung hingga imago mati. Pengamatan dilakukan

terhadap kelompok telur yang terdapat pada tumbuhan uji dan dihitung

jumlahnya.

Uji Lapar. Pengujian dilakukan dengan cara menginokulasikan larva berumur satu minggu pada tumbuhan uji dan dibiarkan untuk memulai aktivitas

makan. Apabila larva tidak mau makan maka larva tersebut akan mati

kelaparan. Adapun kemungkinan yang terjadi yaitu tidak makan dan mati

kelaparan; makan sedikit dan hidup selama beberapa hari; makan banyak dan

dapat menyelesaikan daur hidupnya. Pengujian dilakukan dengan 3 kali ulangan

dan berlangsung hingga larva mati atau menjadi pupa.

Semua data mengenai kisaran inang baik pengujian dengan pilihan dan

(43)
[image:43.595.123.483.121.733.2]

Tabel 1 Jenis tumbuhan untuk pengujian kisaran inang

Suku Jenis

Amaranthaceae Amaranthus sp. (Bayam)

Araceae Alocasia sp. ( Keladi hias)

Colocasia esculenta (Talas)

Caladium bicolor (Keladi hias)

Dieffenbachia sp. (Sri rejeki)

Pistia stratiotes (Kayu apu)

Philodendron sp. (Keladi hias)

Azolaceae Azolla pinata

Butomaceae Limnocharis flava (Genjer)

Brassicaceae Brassica juncea (Sawi hijau)

Brassica oleracea (Brokoli)

Bromelinaceae Ananas sp. (Nenas)

Convolvuceae Ipomoea aquatica (Kangkung air)

Ipomoea batatas (Ubi jalar)

Ipomoea reptans (Kangkung darat)

Cannaceae Canna edulis (Ganyong)

Cyperaceae Cyperus rotundus (Teki)

Leguminosae Arachis hypogea (Kacang tanah)

Glycine max (Kacang kedelai)

Phaseolus vulgaris (Kacang buncis)

Vigna sinensis (Kacang panjang)

Marsileaceae Marsilea drummondii (Semanggi)

Musaceae Musa paradisiae (Pisang)

Onagraceae Ludwigia hyssopifolia (Lombokan)

Poaceae Imperata cylindrica (Alang-alang)

Oryza sativa (Padi)

(44)

Tabel 1 lanjutan

Suku Spesies

Pontederiaceae Eichornia crassipes (Eceng gondok)

Monochoria vaginalis (Eceng lembut)

Salviniaceae Salvinia molesta (Kayambang)

Solanaceae Capsicum annum (Cabe besar)

Solanum lycopersicum (Tomat)

Zingiberaceae Alpinia galanga (Lengkuas)

Curcuma domestica (Kunyit)

Kaemferia galanga (Kencur)

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Hidup S. pectinicornis (Hampson) Perkembangan dan Siklus Hidup

Pengamatan yang dilakukan terhadap telur ternyata tidak seluruhnya

diletakkan imago betina secara berkelompok dan diselubungi semacam substrat

berupa anyaman rambut-rambut halus yang dikeluarkan imago betina dari ujung

abdomennya, namun ada pula yang diletakkan secara sendiri-sendiri (soliter).

Hasil penelitian Wheeler et al. (1998) menunjukkan bahwa sebagian besar telur

S. pectinicornis diletakkan secara berkelompok namun diantaranya ada yang

diletakkan secara soliter dan proporsi telur yang diletakkan betina secara soliter

akan meningkat apabila larva makan kayu apu dengan perlakuan pemupukan

yang rendah dibandingkan pemupukan yang tinggi. Perilaku ini juga diduga

merupakan respon adaptasi imago betina untuk menyebarkan generasi

selanjutnya dan menekan persaingan diantara keturunannya dan penyebaran

telur pada permukaan daun dapat menentukan keberhasilan suatu spesies untuk

mengkolonisasi tumbuhan inang. Namun demikian, sebagian besar telur-telur

tersebut diletakkan secara berkelompok. Telur yang berkelompok biasanya

diletakkan pada permukaan bawah daun sedangkan yang soliter ada yang

dibawah dan diatas permukaan daun. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap

lebar dan panjang telur yang hampir sama yakni masing-masing adalah 0,43 mm

dan 0,44 mm maka dapat diketahui bahwa telur berbentuk hampir bulat

(Gambar 2a). Saat awal diletakkan telur berwarna hijau muda dan selanjutnya

berubah menjadi kekuningan dan menjelang menetas menjadi kuning kecoklatan

dan terlihat terdapat dua bintik berwarna gelap.

Larva yang baru muncul dari telur dengan bagian kepala terlebih dulu

dan dengan alat mulutnya menggerogoti cangkang telur hingga berhasil keluar.

Larva berukuran sangat kecil dan biasanya langsung memakan bagian

rambut-rambut pada permukaan bawah daun kayu apu. Warna tubuh larva putih

kekuningan dengan bintik-bintik hitam kecil yang tersebar dibagian atas

permukaan tubuh, sedangkan warna kepala larva terlihat masih terang.

(46)

Gambar 2 Fase hidup Spodoptera pectinicornis: (a) telur, (b) larva,(c) prapupa, (d) pupa, (e) imago, (f) telur dalam ovari

kehijauan dan sebagian besar berada pada permukaan bawah daun dan sangat

menyukai daun yang masih muda dan bagian tunas kayu apu. Larva yang

sudah agak besar umumnya memiliki warna hijau muda namun juga terdapat

larva yang berwarna kuning kehijauan, hijau kecoklatan, keunguan dan

memiliki dua bintik kuning pada ujung abdomennya dan mulai memakan semua

bagian tanaman (Gambar 2b).

Pada stadium larva instar akhir, larva mulai menggerek bagian pangkal

daun kayu apu yang agak tebal dan memasuki tahapan prapupa (Gambar 2c).

Larva instar akhir menjadi memendek dan agak mengkerut. Awalnya prapupa

berwarna hijau muda dan akhirnya menjadi hijau tua. Pupa berwarna hijau

kebiruan kemudian menjadi coklat dan pada bagian bakal sayap berwarna hijau

(Gambar 2d). Menjelang menjadi imago, pupa berwarna coklat tua dan coklat

muda pada bagian bakal sayapnya. Pada stadium ini pupa tidak bergerak namun

bila diberi rangsangan seperti disentuh maka pupa memberikan respon dengan

menggerakkan bagian ujung abdomennya.

Imago yang muncul berwarna kelabu coklat, betina umumnya berukuran

lebih besar dan warnanya lebih muda dibandingkan jantan (Gambar 2e). Selain

itu, imago jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan bentuk antena, dimana

antena betina seperti benang (filiform) sedangkan jantan seperti sisir (pectinate).

(a) (b) (c)

(f) (e) (d)

0,4 mm

8 mm 10 mm

(47)

Ukuran pada masing-masing fase perkembangan mulai dari telur sampai

[image:47.595.119.512.187.473.2]

menjadi imago S. pectinicornis disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Ukuran pada berbagai fase perkembangan S. pectinicornis

Fase Perkembangan

Dimensi n Rataan ± SD (mm) Telur Larva Instar awal Instar akhir Prapupa Pupa Imago Betina Jantan Lebar telur Panjang telur Panjang tubuh Panjang tubuh Panjang tubuh Panjang tubuh Panjang tubuh Panjang sayap Panjang tubuh Panjang sayap 15 15 10 10 20 20 10 10 10 10

0,43 ± 0,01

0,44 ± 0,01

1,37 ± 1,46

17,30 ± 1,35

9,90 ± 0,94

9,20 ± 1,02

7,75 ± 0,48

9,35 ± 0,52

6,55 ± 0,43

8,20 ± 0,34

Masa inkubasi telur hingga menetas membutuhkan waktu yang relatif

singkat yaitu sekitar 4 hari sedangkan stadium larva merupakan masa

perkembangan yang paling lama dibandingkan stadium yang lain yaitu antara

11-16 hari. Lama stadium tersebut lebih singkat dibandingkan penelitian yang

dilakukan Mangoendiharjo (1982) yang menyatakan bahwa perkembangan larva

keseluruhan berlangsung selama 17-21 hari. Selama proses perkembangan larva

tidak terjadi perubahan secara morfologi hanya ukuran tubuh larva yang

semakin lama semakin besar. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya

jumlah konsumsi pakan yang dibutuhkan larva untuk perkembangannya.

Prapupa hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 hari sebelum menjadi

pupa namun pada stadium ini dapat mengalami pembusukan karena terendam

air sehingga gagal menjadi pupa. Hal ini tidak mengherankan karena prapupa

(48)

ada kemungkinan untuk terendam air. Namun demikian kejadian ini sangat

jarang terjadi apabila kayu apu yang digunakan untuk persiapan prapupa masih

memiliki ruang yang cukup untuk persiapan prapupa. Pada stadium pupa juga

ada yang gagal menjadi imago. Pupa tersebut ada yang membusuk

mengeluarkan cairan kehitaman dan ada pula yang mengering. Kegagalan pupa

menjadi imago tersebut belum diketahui dengan pasti penyebabnya namun ada

kemungkinan terkontaminasi mikroorganisme berasal dari kayu apu yang

diberikan sebagai pakan sehingga menyebabkan pupa gagal menjadi imago.

Lama hidup imago S. pectinicornis juga relatif singkat yaitu kurang lebih

1 minggu. Lama perkembangan S. pectiniconis mulai dari telur sampai menjadi

[image:48.595.123.509.372.576.2]

imago membutuhkan waktu 29,93 ± 1,83 hari (Tabel 3).

Tabel 3 Lama perkembangan S. pectinicornis

Fase perkembangan

n Rataan ± SD (hari)

Telur

Larva

Prapupa

Pupa

Imago

Betina

Jantan

Keseluruhan

74

74

74

74

37

37

74

4 ± 0

13,47 ± 0,70

1,10 ± 0,31

6,44 ± 0,57

4,51 ± 1,07

5,54 ± 1,692

29,93 ± 1,83

Walaupun lama hidup imago relatif singkat namun keperidian imago

betina diketahui cukup tinggi. Umumnya imago berkopulasi pada malam hari

Gambar

Tabel 1  Jenis tumbuhan untuk pengujian kisaran inang
Tabel 2  Ukuran pada berbagai fase perkembangan S.  pectinicornis
Tabel 3  Lama perkembangan  S.  pectinicornis
Tabel 4  Parameter kehidupan imago betina S.  pectinicornis
+7

Referensi

Dokumen terkait

“pemerintah kota pekanbaru bisa dikatakan konsisten dalam melaksanakan kebijakan ini apabila sesuai dan tidak bertentangan dengan kebijakan yang ada, selain itu keberadaan

Hasil identifikasi kelima isolat bakteri (SJP2, SJP3, SJP7, SJP10 dan SJP15) hasil isolasi kepiting bakau dari Pemalang yang diduga terserang penyakit vibriosis

Secara spesifik, pertanyaan dalam makalah ini adalah, “Apakah Srintil sebagai seorang ronggeng ditampilkan secara berdaya atau tidak dalam film Sang Penari, dan seberapa

Dengan melihat berbagai hal seperti grafik penjualan dan table di atas yang bertujuan agar mengetahui apakan PT Bumen Redja Abadi telah memberikan kualitas pelayanan untuk

Uji t adalah untuk mengetahui variabel bebas secara parsial terhadap tingkat kepuasan konsumen pada perusahaan Spektra Multi Financing di Samarinda adalah dengan

Pelestarian koleksi yang dilakukan oleh Pusat Perpustakaan dan Pernyebaran Teknologi Pertanian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahapan pertama, kegiatan pencegahan yang

Pembangkitan terrain dilakukan setelah deteksi props selesai dilakukan. Smart Terrain akan membangun ulang, mengenali, dan melacak objek fisik dan permukaannya. Objek akan

(2) pola spasial dijelaskan menggunakan Nearest Neighbour Analysis , menunjukkan bahwa persebaran tempat belanja penduduk yang berbelanja pada pasar modern memiliki