• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Hutan Kota untuk Meningkatkan Kenyamanan di Kota Gorontalo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Hutan Kota untuk Meningkatkan Kenyamanan di Kota Gorontalo"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN HUTAN KOTA

UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN

DI KOTA GORONTALO

IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Hutan Kota Untuk Meningkatkan Kenyamanan Di Kota Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN. Urban Forest Planning to Increase The Index Comfort in Gorontalo City. Under direction of ENDES N DAHLAN and NIZAR NASRULLAH

Gorontalo city is located at zero latitude with an altitude of 0 to 500 meter above sea level, has a temperature of 23.4 °C - 32.1 °C and humidity between 78.8% - 80.5% when the comfort index is defined Gorontalo city included in the category of less comfortable. This study aims to urban forest in the city of Gorontalo. The method used is the method Simonds (1983), land cover and temperature distribution were analyzed with spatial analysis and then analyzed using regression analysis. Based on the results of image analysis in 1991, the year 2001, the year 2005 and year 2007 land cover changes. Land wake of the 1991 growing area of 926.73 ha in 2007 to 1690.77 ha. Forest area of 1150.46 ha in 1991 decreased in 2007 to 518.81 ha. The results of image analysis in 1991, the year 2001, and in 2007 the temperature distribution changes. Temperature 29°C - 30°C to increase expansion in 1991 an area of 0.43% to 4.49% in 2007 from Gorontalo City area. The results of regression analysis between the temperature of the land area with forest area obtained using simple regression equation Y = 26.334-0.070 X1 with a value R2 = 32.3%. Coefficient negative (-) indicates the area of forest lower the temperature of the tree. Based on these calculations in mind that every additional area covering 10 ha of RTH can lower the temperature of 0.7 °C. Forest development plan is distributed throughout the city of Gorontalo City by recommending the forest of 12 locations urban forest that distribute as urban forest, river side, coastal line and green belt.

(4)

Meningkatkan Kenyamanan di Kota Gorontalo. Dibimbing oleh ENDES N DAHLAN dan NIZAR NASRULLAH

Kota Gorontalo terletak di garis lintang nol dengan ketinggian 0 – 500 mdpl, memiliki suhu antara 23,4oC – 32,1oC dan kelembaban antara 78,8 % – 80,5 % apabila ditetapkan indeks kenyamanan maka Kota Gorontalo termasuk dalam kategori kota kurang nyaman. Oleh karena itu, kota yang kurang sampai agak nyaman karena kekurangan luasan daerah yang berpepohonan dapat diubah menjadi kota yang sejuk dan nyaman dengan membangun hutan kota seluas mungkin, yaitu dengan konsep membangun Kota Kebun bernuansa Hutan Kota. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perubahan penutupan lahan dan distribusi suhu serta hubungan luas RTH dengan suhu, (2) Menganalisis kondisi RTH dan hutan kota saat ini meliputi luas, sebaran, bentuk dan fungsi, (3) Menganalisis jumlah kebutuhan RTH dan hutan kota di wilayah Kota Gorontalo berdasarkan luas kawasan, jumlah penduduk dan kenyamanan, (4) Menyusun rencana pembangunan hutan kota di Kota Gorontalo.

Metode yang digunakan adalah metode Simonds (1983), yang terdiri dari persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis dan rencana pembangunan hutan kota. Penutupan lahan dan distribusi suhu dianalisis dengan analisis spasial kemudian dianalisis menggunakan analisis regresi untuk melihat hubungan suhu dengan RTH, lahan bervegetasi pohon dan lahan terbangun. Analisis kebutuhan RTH dan hutan kota berdasarkan peraturan yang berlaku adalah UU No 26 Tahun 2007 luas minimal RTH yaitu 30% dari luas wilayah kota dan PP No 63 Tahun 2002 luas minimal hutan kota 10% dari luas wilayah kota. Berdasarkan jumlah penduduk, menurut Simond (1983) Kota Gorontalo minimal luas RTH 20m2/jiwa. Berdasarkan issu penting yaitu kenyamanan.

Berdasarkan hasil analisis citra tahun 1991, tahun 2001, tahun 2005 dan tahun 2007 terjadi perubahan penutupan lahan. Lahan terbangun dari tahun 1991 seluas 926,73 ha bertambah pada tahun 2007 menjadi 1690,77 ha. Lahan bervegetasi pohon dari tahun 1991 seluas 1150,46 ha berkurang pada tahun 2007 menjadi 518,81 ha. Hasil analisis citra tahun 1991, tahun 2001, dan tahun 2007 terjadi perubahan distribusi suhu. Suhu 29oC – 30oC mengalami peningkatan luasan pada tahun 1991 seluas 0,43% menjadi 4,49% pada tahun 2007 dari luas Kota Gorontalo. Hasil analisis regresi antara suhu dengan luasan lahan bervegetasi pohon dengan menggunakan regresi sederhana didapatkan persamaan Y = 26,334 – 0,070X1 dengan nilai R2 = 32,3%. Koefisien negative (-) menunjukkan semakin luas lahan bervegetasi pohon semakin rendah suhu. Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui bahwa setiap penambahan luasan RTH seluas 10 ha dapat menurunkan suhu 0,7oC. Rencana pembangunan hutan kota terdistribusi diseluruh wilayah Kota Gorontalo dengan merekomendasikan 12 lokasi berupa hutan kota dalam bentuk kompak, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau sempadan pantai dan jalur hijau jalan.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Udang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

DI KOTA GORONTALO

IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

NIM : E352070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Endes N Dahlan, M.S

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan

Jasa Lingkungan

Prof. Dr. E K S .Harini Muntasib, M.S Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro. M.S

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2009 ini ialah Perencanaan Hutan Kota Untuk Meningkatkan Kenyamanan Di Kota Gorontalo.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Endes N Dahlan, M.S dan Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku penguji luar komisi pembimbing dan Ibu Prof. Dr. Ir. E K S .Harini Muntasib, M.S selaku pimpinan sidang pada ujian tesis, yang telah banyak memberi arahan, bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pimpinan dan staf Pemerintah Kota Gorontalo, PPLH IPB dan BIOTROP yang telah membantu selama pengumpulan data dan Bapak Tri Permadi staf Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan PPLH IPB yang telah membantu selama pengolahan data spasial. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Rekan-rekan Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu khususnya MEJ 2007 (Pak Muhidin dan Umri), KVT 2007 (Dewi Ratna dan Ibu Merry). Serta Seluruh Dosen dan staf Institut Pertanian Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Februari 2010

(9)

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 14 Desember 1984 dari ayah Drs. Ismail Rachman. M.Si dan ibu Dra. Unensi Mokodongan. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

(10)

DAFTAR ISI

2.2 Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu ... 7

2.3 Kondisi RTH dan Hutan Kota...10

2.4 Kebutuhan RTH dan Hutan Kota ...11

2.5 Keterkaitan Suhu dengan RTH untuk Kenyamanan ...12

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...17

3.2 Alat dan Bahan ...17

4.4 Hubungan Suhu Dengan Luasan RTH, Lahan Bervegetasi Pohon dan Lahan Terbangun ...49

4.5 Kondisi saat ini RTH dan Hutan Kota ...50

4.6 Analisis Kebutuhan RTH dan Hutan Kota ...53

4.7 Kelembagaan dan Kebijakan Hutan Kota dan Persepsi Masyarakat ...57

4.8 Rencana Pembangunan Hutan Kota ...60

(11)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Selang Kenyamanan Beberapa Negara ...15

2. Suhu dan Kelembaban Pada Berbagai Areal...16

3. Standar Luas RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ...24

4. Jumlah Kelurahan Per Kecamatan Kota Gorontalo ...28

5. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kota Gorontalo Tahun 2007 ...29

6. Persentase Penduduk Kota Gorontalo Menurut Kelompok Usia Tahun 2007 ...30

7. Persentase Penduduk Umur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha ...30

8. Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Ke Atas Menurut Ijazah Tertinggi Yang Dimiliki ...30

9. Jenis dan Jumlah Industri Per Kecamatan ...31

10. Penutupan Lahan Kota Gorontalo ...32

11. Prediksi Jumlah Penduduk, Lahan Terbangun dan Lahan Bervegetasi Pohon ...40

12. Distribusi Suhu Permukaan Kota Gorontalo ...42

13. Suhu Permukaan Pada Setiap Penutupan Lahan ...48

14. Lokasi Kawasan Hutan Kota, 2007 ...50

15. Luas Hutan Kota, 2008 ...51

16. Distribusi Luas RTH dan Hutan Kota per Kecamatan ...53

17. Standar Luas RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Per Kecamatan ...55

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ...4

2. Proses Perencanaan Hutan Kota ...18

3. Bagan Alir Pengolahan dan Analisis Data Citra...23

4. Analisis Overlay ...24

5. Peta Batas Administrasi Kota Gorontalo ...27

6. Peta Tutupan Lahan Kota Gorontalo Tahun 1991 ...34

7. Peta Tutupan Lahan Kota Gorontalo Tahun 2001 ...35

8. Peta Tutupan Lahan Kota Gorontalo Tahun 2005 ...36

9. Peta Tutupan Lahan Kota Gorontalo Tahun 2007 ...37

10. Pertumbuhan Penduduk Kota Gorontalo Tahun 2003-2007 ...39

11. Peta Distribusi Suhu Kota Gorontalo Tahun 1991 ...44

12. Peta Distribusi Suhu Kota Gorontalo Tahun 2001 ...45

13. Peta Distribusi Suhu Kota Gorontalo Tahun 2007 ...46

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Hasil Perhitungan Uji Akurasi Citra Landsat ...69

2. Luasan Penutupan Lahan dan Luasan Distribusi Suhu Perkecamatan ...73

3. Luasan Distribusi Suhu Permukaan Perpenutupan Lahan ...75

4. Hasil Analisis Regresi ...76

5. Landasan Hukum Terkait Penyelenggaraan Hutan Kota ...77

6. Data Klimatologi Kota Gorontalo Tahun 1991, Tahun 2001 dan Tahun 2007 .80 7. Peta Existing Penutupan Lahan Kota Gorontalo Tahun 2005 ...83

8. Dokumentasi Lokasi Penelitian di Kota Gorontalo ...84

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara. Kota merupakan tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktivitas perekonomian (seperti industri, perdagangan dan jasa). Perkembangan kota sulit untuk dikontrol dan sewaktu-waktu dapat menjadi tidak beraturan. Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim dan sejauh mana pengaruh itu sangat bergantung kepada perencanaannya (Zoer’aini 2004).

Perencanaan lingkungan kota saat ini lebih banyak diperlukan dibandingkan masa lalu, karena semakin besar suatu kota semakin kompleks teknologi yang dimiliki. Teknologi yang tidak ramah lingkungan dan aktivitas manusia yang melebihi daya dukung kota akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Jumlah penduduk kota yang terus bertambah sehingga membuat banyak kota yang mengalami perubahan status dari kota kecil menjadi kota sedang, kota sedang menjadi kota besar, kota besar menjadi kota metropolitan, kota metropolitan menjadi kota megapolitan dan sebagainya.

(15)

iklim yang tidak cocok akan menyebabkan manusia merasakan hidup di lingkungan yang tidak nyaman.

Untuk menghindari berkurangnya jumlah RTH dan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada, salah satunya perlu dibangun hutan kota yang sesuai dengan kebutuhan meliputi: kondisi lingkungan, sosial, ekonomi dan kebijakan suatu daerah yang akan dibangun hutan kota tersebut. Hutan kota dapat memberikan kenyamanan dan kenikmatan kepada penduduk kota. Hutan kota yang terdiri dari pohon, semak belukar dan rumput dapat memperbaiki suhu udara di lingkungan perkotaan dengan mongontrol radiasi sinar matahari. Pohon dapat menahan, memantulkan, menyerap dan memancarkan radiasi sinar matahari. Pohon dan vegetasi lain membantu dalam mengatur suhu udara melalui evapotranspirasi. Pohon juga bisa disebut air conditioner (AC) alami karena satu pohon dapat menguapkan kira-kira 400 liter air/hari (Kramer & Kozlowski 1970 dalam Grey & Deneke 1978). Hal ini dapat disamakan kedalam lima buah AC dengan kapasitas 2500 kcal/hr terus menerus 20 jam sehari (Federer 1970 dalam Grey & Deneke 1978). Oleh karena itu, kota yang kurang sampai agak nyaman karena kekurangan luasan daerah yang berpepohonan dapat diubah menjadi kota yang sejuk dan nyaman dengan membangun hutan kota seluas mungkin, yaitu dengan konsep membangun Kota Kebun bernuansa Hutan Kota (Dahlan 2004).

1.2. Perumusan Masalah

(16)

yang tadinya memiliki kawasan bervegatasi sekarang telah menjadi Mal, perumahan, pom bensin, dan lain-lain.

Permasalahan lingkungan yang sedang terjadi saat ini dapat diminimalisir bahkan dihindari, salah satunya dengan penataan RTH dan pembangunan hutan kota. Perencanaan RTH dan hutan kota yang baik sesuai dengan kondisi lingkungan, fungsi, manfaat, kebutuhan masyarakat serta dengan adanya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, sangat membantu dalam mengatasi masalah lingkungan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis perubahan penutupan lahan dan distribusi suhu serta hubungan luasan RTH dengan suhu.

2. Menganalisis kondisi ruang terbuka hijau dan hutan kota saat ini meliputi luas, sebaran dan bentuk.

3. Menganalisis jumlah kebutuhan ruang terbuka hijau dan hutan kota di wilayah Kota Gorontalo berdasarkan luas kawasan, jumlah penduduk dan untuk kenyamanan.

4. Menyusun rencana pembangunan hutan kota di Kota Gorontalo.

1.4. Manfaat Peneltian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Masukan dan gambaran kepada seluruh komponen masyarakat kota pentingnya suatu ruang terbuka hijau dan hutan kota dibangun untuk meningkatkan kenyamanan.

2. Masukan serta bahan pertimbangan bagi para perencana dan pengambil kebijakan dalam mengelola lingkungan perkotaan agar terhindar dari masalah lingkungan yang telah ada yaitu meningkatnya distribusi suhu yang melebihi ambang kenyamanan dan mungkin dari persoalan baru yang akan timbul. 3. Serta diharapkan dapat menjadi langkah awal dan diterapkan dalam

(17)

1.5. Kerangka pemikiran

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota dan Hutan Kota

Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Manusia dapat mencatat dan menganalisisnya dari berbagai perspektif seperti moral, sejarah manusia, hubungan timbal balik antara manusia dengan habitatnya, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik dan berbagai kenyataan dari kehidupan manusia. Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim. Banyak kriteria yang digunakan untuk sebuah kota sehingga definisi kota berbeda disetiap negara, namun Bank Dunia membuat standar untuk mengenali aspek permukiman yang berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: (1) lebih dari 20.000 jiwa disebut urban, (2) lebih dari 100.000 jiwa disebut cities dan (3) lebih dari 5 juta disebut big cities (Zoer’aini 2004).

Hutan kota (urban forest) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bagian dari program Ruang Terbuka Hijau. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 Tahun 2007). Pelaksanaan program pengembangan Ruang Terbuka Hijau dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alamiah ataupun tanaman budidaya seperti pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya (Dahlan 1992).

2.1.1 Permasalahan Lingkungan Kota

(19)

kepada efisiensi penggunaan bahan dan pengendalian pencemaran dan perusakan fungsi dan (4) tingkat peran serta masyarakat dan disiplin bermasyarakat kota. 2.1.2 Perencanaan Kota

Perencanaan adalah hal memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta hal membuat dan menggunakan dugaan-dugaan mengenai masa yang akan datang dalam hal menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan (Tarigan 1995). Perencanaan terkait dengan penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan di masa datang dan dampaknya juga baru terlihat di masa depan. Hal ini tidak berarti perencanaan tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi saat ini, karena permasalahan di masa yang akan datang adalah produk dari apa yang terjadi saat ini dan pengaruh faktor luar.

Perencanaan lingkungan merupakan spesialisasi atau titik pusat perencanaan kota yang menempatkan prioritas utama pada berbagai masalah lingkungan, mencakup masalah penggunaan lahan, serta kebijakan dan rancangan penggunaannya. Istilah lingkungan terutama mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas air, kualitas udara dan iklim, tanah dan lapangan, serta flora dan fauna karena kaitannya dengan kondisi manusia dan lingkungan buatan. Sudut pandang dalam perencanaan lingkungan yang modern biasanya sangat bervariasi, misalnya bergerak (1) dari perolehan sumberdaya ke proteksi lingkungan atau (2) dari lingkungan sebagai sesuatu yang penuh resiko menjadi lingkungan sebagai sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia. Perencanaan lingkungan tidak memberikan prioritas pada lingkungan alami maupun lingkungan buatan, akan tetapi biasanya berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul dari interaksi keduanya (Marsh 1998).

2.1.3 Perencanaan Hutan Kota

(20)

kota dengan tipe pemukiman, (2) Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri, (3) Taman Kota sebagai salah satu bentuk hutan kota dapat dijadikan salah satu alternatif untuk berrekreasi, maka dibangun hutan kota tipe rekreasi dan keindahan, (4) Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam, maka dibangun hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah, (5) Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal, kerawanan banjir dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya, maka tipe hutan kotanya adalah tipe perlindungan, (6) Hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan.

Perencanaan yang baik adalah yang menampilkan analisis yang sehat dari seluruh tapak dan faktor-faktor perencanaannya, pengertian yang jelas dari hubungan-hubungannya dan suatu penampilan fungsi yang sensitif serta integrasi tapak secara total dalam suatu cara setiap bagian-bagian bekerja secara harmoni. Proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan tapak pada saat awal, keadaan yang diinginkan serta model yang terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan pada tapak tersebut. Proses perencanaan dan perancangan terdiri dari enam tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan (Simonds 1983).

2.2 Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu

(21)

kegiatan pemetaannya. Berbeda dengan informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Dengan demikian maka diperlukan sumber informasi tambahan untuk melengkapi data penutupan lahan.

Menurut Risdiyanto & Setiawan (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutupan lahan disebabkan oleh sifat fisik permukaan seperti kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal.

Tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas panasnya tinggi. Sehingga pada waktu yang bersamaan dengan jumlah masukan energi yang sama akan memberikan respon perubahan suhu permukaan yang berbeda dan menyebabkan suhu permukaannya lebih tinggi. Pendugaan suhu permukaan menggunakan citra Landsat ETM+ menunjukkan bahwa tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kisaran 26 – 35 oC dengan suhu rata-rata berkisar 29,5oC. Penutupan lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah) mempunyai kisaran suhu permukaan sekitar 18 – 32 oC dengan suhu rata-rata permukaan terendah dimiliki oleh penutup lahan hutan alam (23,9 oC) dan tertinggi dimiliki oleh penutup lahan sawah (28,4 oC), sedangkan suhu permukaan untuk badan air berada pada kisaran 22 – 32oC dengan suhu rata-ratanya sebesar 26,9 oC.

Lahan pemukiman memiliki albedo sebesar 0,09 sedangkan nilai rata-rata albedo pada tipe penutup lahan bervegetasi berkisar 0,054 – 0,077 dan untuk penutup lahan berupa badan air memiliki nilai albedo 0,189. Tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai nilai rataan albedo yang lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah). Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi.

(22)

permukaan, tidak meresap ke dalam tanah. Akibatnya air untuk evaporasi menjadi kurang tersedia. Penguapan di daerah ini menjadi sedikit menyebabkan keadaan tidak sejuk jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang penuh vegetasi. Bangunan akan memperlambat pergerakan angin dan mengurangi gerak udara secara horisontal. Hal ini akan memicu beberapa gas polutan terkonsentrasi di dekat permukaan karena faktor pendispersian polutan hanya tergantung pada gerak udara vertikal yang selanjutnya mengakibatkan pemanasan di dekat permukaan bangunan (Fardiaz 1992). Selain itu menurut Risdiyanto & Setiawan (2007) menyatakan bahwa perbedaan penerimaan Rn/ radiasi netto (energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan) pada tiap tipe penutup lahan dipengaruhi oleh albedo (radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang). Penutup lahan pemukiman memiliki nilai albedo dan suhu permukaan yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima lebih rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi (radiasi netto rendah). Semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas (daya pancar suatu permukaan) masing-masing penutup lahan membuat semakin besarnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut.

Menurut Yoyo (1987) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hasil pengukuran secara umum menunjukkan nilai suhu udara di antara tegakan pohon relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tempat terbuka, sedangkan untuk kelembaban di antara tegakan pohon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat terbuka. Pada daerah hijau dengan hadirnya pohon-pohon radiasi surya datang yang diterima permukaan diantara tegakan pohon menjadi berkurang. Hal ini akan berakibat berkurangya pemanasan permukaan tanah diantara tegakan pohon.

(23)

sebesar 385,38 Ha. Sedangkan peningkatan luasan terjadi pada wilayah penutupan lahan ladang terbangun. Peningkatan luasan wilayah tebangun sebesar 405,99 Ha. Peningkatan luas terbangun ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk 205.218 Jiwa dengan pertambahan rumah tangga sebanyak 46.578. Distribusi suhu permukaan di Kota Bogor pada Tahun 1997 hingga 2006 terjadi peningkatan luas penyebaran pada kelas suhu 24-28 OC dan terjadi penurunan luas penyebaran pada kelas suhu 20-24 OC (Khusaini 2007).

Perubahan luas lahan disebabkan oleh penambahan populasi penduduk dan aktivitasnya. Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi luas lahan tetapi juga mempengaruhi distribusi suhu permukaan. Akan tetapi, perubahan luas lahan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan perubahan suhu. Salah satu faktor yang lainnya adalah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Menurut Okarda (2005) dalam hasil penelitian menyatakan terjadi perubahan penutupan lahan di Kabupaten Cianjur antara selang waktu 1997 hingga 2001. Pemukiman menjadi penutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan terbesar, pada tahun 1997 seluas 3,933 ha atau 1,07 % menjadi 9,401 ha atau 5,22 % dari luas wilayah Kabupaten Cianjur. Sedangkan hutan alam dan lahan pertanian mengalami penurunan luasan penutupan lahan. Hutan alam pada tahun 1997 seluas 50,685 ha berkurang menjadi 43, 868 ha dan lahan pertanian pada tahun 1997 seluas 119,678 ha berkurang menjadi 84,440 ha Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Bogor maka dapat diperoleh gambaran perubahan suhu rata-rata Kota Bogor selama kurun waktu 27 tahun, yaitu dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2005. Suhu rata-rata terendah mencapai 24oC sebaliknya suhu rata-rata tertinggi mencapai 27oC. Secara keseluruhan selama 27 tahun telah terjadi peningkatan suhu rata-rata Kota Bogor dari 25,281oC menjadi 25,762oC atau kenaikan sebesar 0,481oC (Soma 2005).

2.3 Kondisi RTH dan Hutan Kota

(24)

analisis citra Landsat ETM tahun 2006 menggambarkan luasan penutupan lahan RTH seluas 6111.9 ha (51,79%), terdiri dari vegetasi pohon (2.717,28 ha), sawah (797,31 ha), semak dan rumput (341,46 ha) dan ladang (2.255,85 ha).

Menurut Hesty (2005) bahwa kondisi RTH Kota Metro Propinsi Lampung berdasarkan data tahun 2001 adalah 4.167,17 ha (60,62%). Luas RTH di Kota Pekanbaru adalah 31.750,34 ha (49,70%). Sebaran luas untuk masing-masing kecamatan adalah Kecamatan Pekanbaru Kota 0,35 ha; Senapelan 3,17 ha; Limapuluh 50,25 ha, Sukajadi 1,85 ha; Sail 28,65 ha; Rumbai 9.596,98 ha; Bukit Raya 18.929,07 ha dan Tampan 3.140,02 ha. Berdasarkan peraturan yang berlaku kawasan RTH di Kota Pekanbaru sesuai dengan luas kawasan hijau yang ditetapkan yaitu 30% dari luas wilayah, akan tetapi untuk tingkat kecamatan ada 6 kecamatan yang tidak memenuhi ketentuan (Tinambunan 2006).

Menurut Septriana (2005) berdasarkan hasil penelitian diperoleh data dari Dinas Pertamanan (1998) bahwa luas RTH Kota Padang yaitu 41.242,25 ha (59,34%) dan luas hutan kota yaitu 36.915,9 ha (53,12%). Dari luasan RTH sebagian besar merupakan hutan yaitu seluas 38.475 ha (55,36%) dan selebihnya merupakan sawah, kebun campuran, alang-alang dan ladang.

2.4Kebutuhan RTH dan Hutan Kota

Menurut Dahlan (2007) menyatakan bahwa berdasarkan kajian jumlah emisi gas CO2 yang terus bertambah sementara luasan RTH terus menurun, maka luasan hutan kota sebagai rosot gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor perlu ditambah. Kebutuhan penambahan luasan hutan kota di Kota Bogor sangat mendesak dan bervariasi menurut jenis daya rosot pohon, penggunaan bahan bakar, pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dan waktu. Melalui simulasi didapatkan hasil yang menyatakan bahwa kebutuhan luasan hutan kota dengan jenis berdaya rosot tinggi bervariasi 5.500 – 6.500 ha. Luasan hutan kota dengan jenis berdaya rosot sangat tinggi yang dibutuhkan pada tahun 2100 seluas 3.309,70 ha (27,93%).

(25)

tahun 2020 luas hutan kota yang dibutuhkan meningkat dari 8.623,65 ha menjadi 14.894,61 ha atau dari 12,41% menjadi 21,43% dari total wilayah Kota Padang, yang berarti meningkat sekitar 368,88 ha per tahun atau 0,53% per tahun (Septriana 2005). Berdasarkan jumlah CO2 Kecamatan Pekanbaru Kota tidak memenuhi syarat luasan kawasan terbuka hijau. Kekurangan RTH untuk menyerap CO2 yaitu seluas 3.032,65 ha sedangkan kecamatan lain di Kota Pekanbaru masih memenuhi syarat. Kebutuhan RTH yang sangat besar di Kecamatan Kota Pekanbaru dikarenakan jumlah CO2 yang tinggi serta keberadaan RTH yang sangat sedikit (Tinambunan 2006).

2.5 Keterkaitan Suhu dengan RTH dan Hutan Kota untuk Kenyamanan Menurut Handoko (1994) suhu merupakan gambaran umum energi suatu benda. Heat Island adalah suatu fenomena suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun pinggir kota. Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3°C dibandingkan dengan pinggir kota. Heat island atau pulau panas terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan.

Menurut Lowry (1966) terjadinya perbedaan suhu udara antara daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi : 1. Bahan Penutup Permukaan

Permukaan daerah perkotaan tcrdiri dari beton dan semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi daripada tanah berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan.

2. Bentuk dan Orientasi Permukaan

(26)

padatnya bangunan di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.

3. Sumber Kelembaban

Di perkotaan air hujan cenderung manjadi aliran permukaan akibat adanya permukaan semen, parit, selokan dan pipa-pipa saluran drainase. Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air untuk penguapan yang dapat menyejukkan udara. Selain itu, air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 1° C, dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohon-pohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga suhu udara tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, dan melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

4. Sumber Kalor

Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk.

5. Kualitas Udara

Daerah kota yang merupakan pusat industri dengan kegiatan yang intensif mengakibatkan udaranya banyak mengandung polutan sebaliknya didaerah rural

dengan kegiatan industri yang kurang, keadaan kualitas udaranya jauh lebih baik dibandingkan kualitas udara daerah kota. Hal tersebut mngakibatkan perbedaan iklim antara daerah urban dan daerah rural.

Givoni (1989) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan berkembangnya heat Island :

1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya.

2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari.

(27)

4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan.

5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang akhirnya akan dilepaskan ke udara kota.

Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1971) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya heat island :

1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas di perkotaan daripada di lingkungan luar kota.

2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas lebih banyak daripada lapangan hijau atau danau.

3. Jumlah permukaan air persatuan luas di dalam perkotaan lebih kecil daripada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota.

Keadaan di kota dengan bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya suatu "kubah debu" (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu dan asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan oleh pola sirkulasi atmosfir atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah sekitarnya, sehingga udara panas akan berada di atas perkotaan dan udara dingin akan berada di sekitar perkotaan tersebut.

(28)

RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara. Akibatnya pada lahan bervegetasi cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu Moll (1997) dalam Effendy (2007) merekomendasikan kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Selama kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2 diatmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global.

Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI. Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975) pada wilayah tropis. Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Selang Kenyamanan Beberapa Negara Negara Selang Kenyamanan

(29)

berbagai kerapatan, tinggi dan luasan yang dibandingkan dengan lahan permukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal. Dari penelitian ini diperoleh hasil disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Suhu dan Kelembaban Pada Berbagai Areal

Areal Suhu oC Kelembaban %

Berpepohonan 25,5 – 31 66 – 92

Kurang bervegetasi dan didominasi tembok dan jalan aspal

27,7 – 33,1 62 – 78

Padang rumput 27,3 – 32,1 62 – 78

Koto (1991) dalam Dahlan (2004) juga telah melakukan penelitian dibeberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian tersebut dapat dinyatakan, lingkungan berhutan memiliki suhu udara paling rendah jika dibandingkan dengan suhu lingkungan pada padang rumput dan beton. Perbedaan suhu udara di atas lapisan tanah yang ditutupi dengan beton dibandingkan dengan udara yang ada di dalam hutan sebesar 3 -5oC lebih tinggi. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan kota sangat penting dalam menurunkan suhu udara kota.

Hutan kota menurunkan suhu sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua menurunkan suhu pada yang berbentuk jalur 1,43%, menyebar 3,60%, bergerombol 3,18%. Hutan kota berstrata banyak menurunkan suhu pada yang berbentuk menyebar 2,28% dan bergerombol 3,04%. Hutan kota berbentuk jalur strara dua menaikkan kelembaban sebesar 1,77%, berbentuk menyebar strata banyak 4,77% dan hutan kota bergerombol strata banyak menaikkan kelembaban sebesar 2,20%. Secara keseluruhan hutan kota menaikkan kelembaban sebesar 0,81% di siang hari pada permulaan musim hujan (Zoer’aini 2004)

(30)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Gorontalo, Propinsi Gorontalo. Lokasi penelitian merupakan kawasan perkotaan dengan luas 64,79 Km2 (0,53% luas Provinsi Gorontalo). Selama 12 bulan yaitu dari bulan Januari sampai bulan Desember 2009.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan untuk pengolahan data dan analisis data yaitu satu set komputer beserta perangkat lunak ERDAS Imagine 9.0 untuk pengolahan citra, ArcView 3.3 untuk pengolahan Sistem Informasi Geografis, SPSS 16.0 dan Microsoft Excel untuk pengolahan data, kamera dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa citra Landsat TM (Path 113 Row 60) tahun penyiaman tahun 1991 dan tahun 2001, citra Landsat ETM (Path 113 Row 60) tahun 2005 dan tahun 2007, peta batas administratif kecamatan, data pendukung berupa data kependudukan dan data iklim.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode Simonds (1983) dengan pendekatan terhadap sumberdaya alam pada tapak studi, merupakan suatu tahapan dalam proses perencanaan hutan kota (Gambar 2) meliputi:

1). Persiapan

Pada tahap ini dilakukan perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian, pembuatan usulan penelitian dan perijinan penelitian.

2). Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan di lapang serta wawancara dengan narasumber secara mendalam (tanpa kuisioner). Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait.

Data yang dikumpulkan meliputi:

(31)

2. Kondisi fisik dan iklim kota meliputi: Topografi, curah hujan, suhu udara, kelembaban, presentase penyinaran matahari, kecepatan dan arah angin. 3. Jumlah dan sebaran penduduk untuk mengetahui luas dan sebaran ruang

terbuka hijau dan hutan kota yang dibutuhkan.

4. Kelembagaan pemerintah daerah untuk mengetahui kendala-kendala dalam penyelenggaraan hutan kota, organisasi dan instansi serta peraturan perundangan.

5. Persepsi masyarakat tentang makna dan fungsi serta manfaat hutan kota.

(32)

3). Analisis data

3.1 Analisis perubahan penutupan lahan dan distribusi suhu serta hubungan luasan RTH dengan suhu.

Analisis perubahan penutupan lahan dilakukan dengan kegiatan pengolahan citra Landsat TM dan ETM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Pengolahan citra Landsat TM dan ETM meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi penutupan lahan, uji akurasi untuk hasil klasifikasi penutupan lahan dan konversi band 6 menjadi suhu udara permukaan.

3.1.1. Layer stack

Layer stack merupakan suatu proses pengkonversian dan penggabungan band. Band yang berbentuk .Tiff dikonversi menjadi bentuk .img, dan penggabungan band dilakukan sesuai kebutuhan. Pada penelitian ini band yang digabungkan adalah band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, sedangkan untuk band 6 hanya dikonversi dari bentuk .Tiff menjadi .Img.

3.1.2. Koreksi Geometrik

Data citra yang telah dilayer stack kemudian di koreksi berdasarkan koordinat geografisnya yang disebut dengan koreksi geometrik. Proses koreksi geometrik dilakukan dengan dua cara yaitu koreksi citra ke peta acuan atau koreksi citra ke citra acuan yang telah terkoreksi. Pada penelitian kali ini koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sebagai acuan adalah citra Tahun 2005 yang telah terkoreksi. Penggunaan koordinat UTM dimaksudkan untuk mempermudah proses analisis. Koreksi geometrik citra menggunakan titik ikat medan (GCP) pada citra Landsat yang akan dikoreksi dengan peta atau citra acuan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah citra Tahun 2005 yang telah terkoreksi (proses georeferensi dari citra ke citra). Dari citra yang akan dikoreksi diambil koordinat filenya, dan citra acuan diambil koordinat lintang dan bujur pada lokasi yang sama.

3.1.3. Pemotongan Citra (Subset)

(33)

3.1.4. Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi merupakan kegiatan proses pengelompokan dari nilai-nilai spektral pada citra. Terdapat dua metode pengelompokan kelas yaitu klasifikasi terbimbing dan klasifikasi tidak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing yang menggunakan training sample. Adapun langkah yang dilakukan adalah :

1. Pengambilan Sampel

Sebelum dilakukan proses klasifikasi peta diambil daerah latihan

(training sample areas) dengan menggunakan peta rupa bumi tahun 2006 sebagai acuan. Pengambilan sampel berdasarkan pada kenampakan warna yang terdapat pada citra atau pengamatan visual. Sampel dibagi dalam kelas lahan bervegetasi pohon, ladang, sawah, semak dan rumput, lahan terbangun, lahan terbuka dan badan air.

2. Proses Klasifikasi

Klasifikasi dilakukan terhadap hasil sampling dengan menggunakan metode pengkelas kemiripan maksimum (maximum likehood classification). Metode klasifikasi pengkelas kemiripan maksimum yaitu metode mempertimbangkan kemiripan spektral dengan spektral maksimum suatu objek yang dominan akan dimasukkan menjadi satu kelas dan jika nilai spektralnya jauh dari maksimum akan dimasukkan kedalam kelas lain. Pada proses klasifikasi ini akan diperoleh citra kelas pentupan lahan dan presentase penutupan lahan dari masing-masing kelas.

3. Uji Akurasi

(34)

4. Konversi Band 6 menjadi Suhu Udara Permukaan

Data citra yang dikonversi adalah nilai-nilai pixel pada band 6 citra Landsat yang disebut digital number (DN). Konversi data citra menjadi data temperatur menggunakan 2 tahapan konversi yaitu:

1. Konversi Digital Number (DN) menjadi spectral Radiance (Lλ) Radiance (Lλ) = (gain x DN)+ offset

Lλ = Radian Spektral dalam watt

Gain merupakan konstanta: 0,05518

DN (Digital Number) berasal dari nilai pixel pada citra

Offset merupakan konstanta 1,2378

Rumus diatas merupakan hasil penyederhanaan dari rumus : Lλ = ((Lmax-Lmin)/(QCALmax-QCALmin)x

(QCAL-QCALmin)+Lmin

QCALmin=1, QCALmax=255, dan QCAL=Digital Number

Lmin dan Lmax adalah radian spektral (spektral radiance) menjadi temperatur.

2. Konversi Radian Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 6) dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut:

T = K2/ln(K1/ Lλ+1) T = Temperatur

K1 = Konstata dalam watts dengan nilai 666,09 ETM+ dan 607,76 untuk TM

K2 = Konstata Kelvin dengan nilai 1282,71 untuk ETM+ dan 1260,56 untuk TM

Lλ = Radian Spektral dalam watt. 5. Pewarnaan Ulang (Recode)

(35)

6. Hasil

Hasil dari semua proses pengolahan citra dihasilkan 2 jenis peta yaitu peta penutupan lahan dan peta distribusi suhu permukaan. Pada jenis peta penutupan lahan terdiri dari 4 peta yaitu peta tahun 1991, tahun 2001, tahun 2005 dan tahun 2007. Pada jenis peta distribusi suhu terdiri dari 3 peta yaitu peta tahun 1991, tahun 2001 dan tahun 2007. Semua peta yang dihasilkan akan dihitung luasannya. Hasil dari perhitungan luasan digunakan untuk proses analisis yaitu dengan membandingkan luasan berdasarkan tahun. Tahapan pengolahan citra ini dapat dilihat pada Gambar 3.

7. Analisis data citra

Hasil overlay dianalisis untuk mengetahui perkembangan suhu udara permukaan akibat adanya perubahan tutupan lahan di Kota Gorontalo. Overlay

dilakukan antara peta penutupan lahan dengan peta administratif kecamatan untuk mengetahui luasan penutupan lahan pada setiap kecamatan di Kota Gorontalo. Hasil dari overlay tersebut kemudian dibandingkan antara Tahun 1991, 2001, 2005 dan 2007. Kemudian dilakukan pula overlay antara peta distribusi suhu dengan peta administratif untuk mengetahui luasan distribusi suhu permukaan pada setiap kecamatan di Kota Gorontalo. Dari hasil overlay

tersebut kemudian dilakukan perbandingan pola distribusi suhu permukaan pada setiap kecamatan antara Tahun 1991, 2001dan 2007. Proses overlay dapat dijelaskan pada Gambar 4.

(36)

Gambar 3. Bagan Alir Pengolahan dan Analisis Data Citra Citra Landsat TM Tahun 1991 dan Tahun 2001 dan ETM Tahun 2005 dan Tahun 2007

Pemilihan Band

Band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7

Band 6

Layer Stack Layer Stack

Koreksi Geometrik Citra 2005 Terkoreksi Koreksi Geometrik

Citra Terkoreksi

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra Pemotongan Citra

Klasifikasi Informasi Konversi

Penutupan Lahan

Uji Akurasi Klasifikasi

Diterima

Pewarnaan ulang (recode)

Pewarnaan ulang (recode)

Peta Kelas Distribusi Suhu Peta Tutupan

Lahan

(37)

Gambar 4. Analisis Overlay.

3.2. Analisis kondisi ruang terbuka hijau dan hutan kota saat ini meliputi lokasi luas dan bentuk.

3.3. Analisis kebutuhan RTH dan hutan kota berdasarkan pada:

1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 yang menentukan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 yang menentukan bahwa luas hutan kota minimal 10% dari luas seluruh kota.

2) Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Standar RTH berdasarkan jumlah penduduk dikemukakan oleh Simonds (1983). Kebutuhan RTH dibagi menjadi empat kelas. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Simonds (1983), Kota Gorontalo mempunyai standar kebutuhan RTH dengan luas 20 m2/jiwa. Standar luas RTH berdasarkan jumlah penduduk disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Luas RTH berdasarkan Jumlah Penduduk Hirarki

Ketetanggaan 1.200 1.200 Lapangan bermain, areal rekreasi, taman

(38)

3) Kebutuhan hutan kota berdasarkan issu penting yaitu kenyamanan. Berdasarkan hasil analisis citra Landsat berupa spot-spot yang memiliki suhu diatas batas kenyamanan.

Menurut Dahlan (2004) untuk menetapkan kenyamanan suatu kota di daerah tropika dapat digunakan pendekatan perhitungan sebagai berikut: Rerata suhu udara siang hari (x 3 = a)

22,50C – 24,50C : ideal (bobot = 3) 20,10C– 22,40C atau 24,60 – 27,50C : sedang (bobot = 2) ≤ 200

C atau ≥ 27,60C : kurang (bobot = 1) Rerata kelembaban udara relatif siang hari (x 2 = b)

70,1% - 80,0% : ideal (bobot = 3)

80,1% - 91,0% atau 60,1% - 70,0% : sedang (bobot = 2)

≤ 60% atau ≥91,1% : kurang (bobot = 1)

Kota yang memiliki bobot a + b = 13 – 15 : sejuk dan nyaman 8 – 12 : agak nyaman 5 – 7 : kurang nyaman

Penentuan THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembaban (RH) dengan persamaan (Nieuwolt 1975 dalam Effendy 2007):

THI = 0,8Ta + (RH x Ta) 500

Keterangan: THI = Temperature Humidity Indeks Ta = Suhu Udara (oC)

RH = Kelembaban relatif udara (%)

3.4 Rencana luasan pembangunan hutan kota menggunakan hasil analisis regresi antara suhu dan luasan lahan bervegetasi pohon ditambahkan rencana jalur hijau jalan sebagai koridor kemudian dipetakan dengan menggunakan ArcView GIS 3.3.

(39)

Untuk mendapatkan data kelembagaan dan persepsi masyarakat dilakukan wawancara dengan instansi terkait dan masyarakat secara langsung (tanpa kuisioner). Analisis kelembagaan dan persepsi masyarakat dilakukan dengan cara deskriptif. Masalah-masalah kelembagaan yang diteliti adalah masalah pengelolaan, organisasi, koordinasi, peraturan perundangan (yuridis formal), hak kepemilikan (property right) dan kemampuan pembiayaan dari instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan hutan kota.

4). Sintesis

Dari hasil overlay seluruh data dan peta, maka diperoleh rencana pengembangan ruang terkait dengan perencanaan hutan kota.

5). Perencanaan

(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Letak Geografis

Kota Gorontalo secara geografis terletak antara 00o 28’ 17” – 00o 35’ 56” LU dan 122o 59’ 44” – 123o 05’ 59” BT, dengan batas wilayah administratif sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo.

(41)

Tabel 4. Jumlah Kelurahan Per Kecamatan Kota Gorontalo

2 Lekobalo Tuladenggi Biawu Botu Bulotadaa

Timur

Liluwo

3 Pilolodaa Huangobotu Limba B Heledulaa Dulomo Pulubala

4 Buliide Tomulabutao

6 MolosipatW Pohe Leato Molosipat

U

4.1.2 Luas Wilayah dan Topografi

Kota Gorontalo memiliki luas wilayah 64,79 Km2 atau 0,53% dari luas Provinsi Gorontalo (12.215,44 km2). Topografi wilayah Kota Gorontalo berupa dataran landai, berbukit dan bergunung. Tanah datar 61,21 % ; tanah berbukit 32,15 % dan yang bergunung 6,64 % dari luas wilayah keseluruhan. Letak ketinggian daerah Kota Gorontalo berkisar antara 0 – 500 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan tanah berkisar 0-8 % sampai lebih dari 40 %. Kemiringan lahan pada kelas 0-8 % meliputi luas 3.670,28 ha atau 56,65 % dari luas wilayah Kota Gorontalo. Lahan yang berlereng lebih dari 40 % adalah seluas 2.745,28 Ha atau 42,37 %. Wilayah yang berupa dataran dilalui tiga buah sungai yang bermuara di Teluk Tomini pelabuhan Gorontalo. Bagian selatan diapit dua pegunungan berbatu kapur/pasir. Ketinggian dari permukaan laut antara 0-500 meter. Pesisir pantai landai berpasir. Sungai yang melintasi Kota Gorontalo adalah Sungai Bone (3,7 km), Sungai Bolango (17,20 km) dan Sungai Tamalate (6,70 km).

4.1.3 Iklim

(42)

Oktober sampai dengan bulan April arus angin berasal dari barat/barat laut yang banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim penghujan. Bulan Juni sampai dengan bulan September arus angin berasal dari Timur yang tidak mengandung uap air. Keadaan ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan Mei dan Oktober.

Curah hujan pada suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, geografi dan perputaran/pertemuan arus angin. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Catatan curah hujan per tahun berkisar antara 11 mm sampai dengan 266 mm. Keadaan angin umumnya hampir merata setiap bulannya, yaitu pada kisaran 1-4 m/detik. Suhu udara ditentukan oleh tinggi rendahnya wilayah tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum, suhu udara rata-rata di Kota Gorontalo pada siang hari 32,1oC, sedangkan pada malam hari 23,5oC.

4.1.4 Kependudukan

Salah satu modal dasar pembangunan nasional selain sumber daya alam dan IPTEK adalah jumlah penduduk atau sumber daya manusia. Pembangunan daerah membutuhkan SDM secara kuantitas mencukupi dan secara kualitas dapat diandalkan. Jika dalam suatu wilayah secara kuantitas dan kualitas telah tercukupi maka dengan dukungan modal pembangunan yang lain, segala program pembangunan diberbagai sektor pada wilayah tersebut akan terlaksana dengan baik. Jumlah penduduk per kecamatan di Kota Gorontalo disajikan secara rinci pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kota Gorontalo Tahun 2007

Kecamatan Penduduk Luas (Km2) Kepadatan

(Jiwa/km2)

Jiwa %

Kota Barat 17.364 10.69 15,16 1.15

Dungingi 18.776 11.56 4,10 4.58

Kota Selatan 34.277 21.10 14,39 2.38

Kota Timur 39.838 24.53 14,43 2.76

Kota Utara 29.195 17.97 12,58 2.32

Kota Tengah 22.988 14.15 4,31 5.57

Jumlah 162.438 100,00 64,79 2.51

(43)

Tabel 6. Persentase Penduduk Kota Gorontalo Menurut Kelompok Usia Tahun 2007

Kelompok Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

< 2 3,95 3,96 3,96

Tabel 7. Persentase Penduduk Umur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha

Tabel 8. Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Ke Atas Menurut Ijazah Tertinggi Yang Dimiliki

Status Pendidikan Laki-laki Perempuan Total

Tidak Punya Ijazah 18,50 16,57 17,48

SD/Sederajat 25,46 25,64 25,56

SMP/Sederajat 17,61 19,18 18,44

SMA/Sederajat 29,04 27,90 28,44

Diploma I-III 2,39 4,59 3,55

Diploma IV/S1/S2/S3 6,99 6,13 6,54

Total 100 100 100

Sumber:Susenas 2007,BPS

4.1.5 Industri

(44)

Tabel 9. Jenis dan Jumlah Industri Per Kecamatan Kecamatan Gilingan

Padi

Pabrik Kapur

Penggergajian kayu

Penyortiran Rotan

Meubel Kayu/Rotan

Kota Barat - 49 14 1 52

Dungingi - - 18 4 67

Kota Selatan

2 - 4 - 55

Kota Timur 5 - 10 1 90

Kota Utara 5 - 26 2 162

Total 12 49 72 8 428

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Gorontalo

(45)

4.2 Penutupan Lahan

Pengolahan citra Landsat TM tanggal penyiaman 10 Januari 1991 diperoleh luasan dan persentase penutupan lahan di Kota Gorontalo dengan Overall Classification Accuracy 88,04%. Citra Landsat TM tanggal penyiaman 16 Juli 2001 dengan Overall Classification Accuracy 84,93%. Pengolahan citra Landsat TM tanggal penyiaman 5 Maret 2005 dengan Overall Classification Accuracy 85,41%. Pengolahan citra Landsat TM tanggal penyiaman 12 April 2007 dengan

Overall Classification Accuracy 85,71%. Sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Pada Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 dapat dilihat distribusi penutupan lahan di Kota Gorontalo tahun 1991, 2001, 2005 dan 2007.

Tabel 10. Penutupan Lahan Kota Gorontalo Penutupan

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2009

(46)

Penutupan lahan terluas kedua di Kota Gorontalo pada Tahun 1991 adalah lahan bervegetasi pohon dengan luas 1150,46 ha yang menutupi 17,76% dari total wilayah Kota Gorontalo. Kondisi ini dikarenakan Kota Gorontalo diapit dua bukit yang terletak di wilayah Kecamatan Kota Barat, Kota Selatan dan Kecamatan Kota Timur yang didominasi oleh pepohonan.

Lahan terbangun merupakan kelas penutupan lahan terluas ketiga yaitu 926,73 ha dengan persentase 14,30% dari total luas wilayah Kota Gorontalo. Lahan terbangun tersebar di seluruh wilayah Kota Gorontalo namun didominasi di wilayah Kecamatan Kota Timur dan Kecamatan Kota Selatan. Kecamatan Kota Timur dan Kecamatan Kota Selatan merupakan kecamatan yang mempunyai luas wilayah terbesar kedua dan ketiga dengan kepadatan 276 jiwa/km2 dan 238 jiwa/km2.

Luas penutupan lahan terbesar di Kota Gorontalo pada Tahun 2001 adalah kelas penutupan lahan terbangun dengan luasan 1267,04 ha yaitu 19,56 % dari total luasan Kota Gorontalo. Dari enam kecamatan yang ada di Kota Gorontalo, Kecamatan Kota Barat, Kecamatan Kota Selatan dan Kecamatan Kota Timur memilki lebih dari sebagian luas wilayahnya merupakan bukit. Ketiga kecamatan tersebut yang memiliki wilayah topogafi landai/ datar hampir seluruhnya sudah merupakan lahan terbangun karena kebutuhan pembangunan. Hal ini terjadi seiring dengan berkembangnya Kota Gorontalo yang menjadi ibukota propinsi sejak ditetapkannya Propinsi Gorontalo pada 16 Februari 2001.

Penutupan lahan terluas kedua di Kota Gorontalo pada tahun 2001 adalah kelas penutupan lahan semak dan rumput yaitu dengan luasan 1133,73 ha yang menutupi 17,50 % wilayah Kota Gorontalo. Penutupan lahan ini didominasi di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kota Barat, Kota Selatan dan Kota Timur yang sebagian wilayahnya merupakan perbukitan. Bukit tersebut mencapai ketinggian 500 mdpl yang merupakan bukit dengan tanah berkapur.

(47)

3

4

(48)

3

5

(49)

3

6

(50)

3

7

(51)

Luas penutupan lahan terbesar di Kota Gorontalo pada Tahun 2005 adalah kelas penutupan lahan terbangun dengan luasan 1680,02 ha yaitu 25,93 % dari total luasan Kota Gorontalo. Lahan terbangun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan luas, hal ini seiring dengan berkembangnya Kota Gorontalo setelah empat tahun menjadi propinsi baru. Berbagai kepentingan memaksa terjadinya pembangunan yang tentu saja memerlukan lahan yang pada akhirnya harus merubah RTH menjadi ruang terbangun. Pembangunan berkembang dan menyebar di seluruh kecamatan.

Penutupan lahan terluas kedua adalah semak dan rumput dengan luasan 1400,05 ha dengan persentase 21,61 % dari total luas kota Gorontalo. Tahun 2005 masih didominasi pada tiga kecamatan yang sebagian wilayahnya merupakan wilayah perbukitan, hal ini karena bukit tersebut tanahnya kurang subur maka untuk memanfaatkannya dibutuhkan pengolahan penanaman pohon dan sebagainya yang cukup rumit dan mahal.

Sawah merupakan kelas penutupan lahan terluas ketiga di Kota Gorontalo pada Tahun 2005 dengan luas 979,65 ha yang menutupi 15,12 % total luas Kota Gorontalo. Kecamatan Kota Utara adalah kecamatan yang memiliki luas sawah paling tinggi. Kecamatan lain yang memiliki luas sawah yang cukup luas adalah Kecamatan Kota Timur. Kota Gorontalo memiliki curah hujan yang cukup rendah namun masih banyak ditemukan persawahan di wilayah Kota Gorontalo karena topografinya yang datar dan pengairan yang cukup.

Luas penutupan lahan terbesar di Kota Gorontalo pada Tahun 2007 adalah kelas penutupan lahan terbangun dengan luasan 1690,77 ha yaitu 26,10 % dari total luasan Kota Gorontalo. Pembangunan terdistribusi di seluruh wilayah Kota Gorontalo, hampir di setiap Kecamatan telah banyak lahan terbangun. Wilayah Kota Timur yang merupakan perbukitan, sebagian telah dibangun kompleks perkantoran salah satunya Kantor Gubernur. Hal ini juga dilakukan karena mempertimbangkan banjir yang sering terjadi, jadi dipilih kawasan perbukitan sebagai salah satu kompleks perkantoran.

(52)

Gorontalo pada Tahun 2007 adalah kelas penutupan lahan terbuka yaitu dengan luasan 1154,70 ha yaitu 17,82 % dari total luasan Kota Gorontalo. Sebaran kedua penutupan lahan tersebut masih sama dengan wilayah yang mencakup pada tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat TM 1991, TM 2001, ETM 2005 dan ETM 2007 diketahui bahwa perubahan penutupan lahan di Kota Gorontalo terjadi pada setiap kelas penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan sangat dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk dengan berbagai aktifitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangan pembangunan wilayah Kota Gorontalo. Peningkatan luasan penutupan lahan terjadi pada kelas penutupan lahan berupa sawah dan kelas penutupan lahan terbangun.

Berbagai kelas penutupan lahan di Kota Gorontalo, yang mengalami peningkatan jumlah luasan paling besar dan konstan adalah kelas penutupan lahan terbangun. Luasan kelas penutupan lahan terbangun bertambah dari 926,73 ha pada tahun 1991 menjadi 1690,77 ha pada tahun 2007, hal ini berarti dalam kurun waktu dua dekade Kota Gorontalo mengalami peningkatan luasan penutupan lahan terbangun sebesar 900,63 ha atau 97,18% dari luasan penutupan lahan terbangun Tahun 1991. Peningkatan luasan area terbangun di Kota Gorontalo ini berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Pertumbuhan Penduduk Kota Gorontalo Tahun 2003-2007

(53)

Luasan lahan terbangun terluas yaitu Kecamatan Kota Timur dan Kecamatan Kota Selatan yang merupakan pusat kota, namun perubahan luasan menjadi area terbangun tidak begitu besar. Hal tersebut dikarenakan Kecamatan Kota Timur dan Kecamatan Kota Selatan wilayah yang topografinya datar sudah hampir mencapai kapasitas maksimal lahan terbangun. Pada peta tutupan lahan tahun 1991 sampai tahun 2007 terlihat bahwa perkembangan area terbangun terjadi dari pusat kota kearah pinggiran kota. Peningkatan luasan terbangun ini biasanya area yang dibangun untuk pemukiman beserta fasilitasnya berupa jalan dan pengerasan pekarangan.

Perubahan penutupan lahan bervegetasi pohon cukup tinggi dan konstan. Tercatat penurunan luasan dari 1150,46 ha pada tahun 1991 menjadi 518,81 ha pada tahun 2007. Luasan penutupan lahan bervegetasi pohon di Kota Gorontalo mengalami penurunan sebesar 631,66 ha atau lebih dari setengah luasan tahun 1991, hal ini harus diperhatikan karena kemungkinan hilangnya lahan bervegetasi pohon bisa terjadi dengan terus meningkat. Konversi lahan dari hutan ke non hutan dan tidak adanya upaya penanaman atau penghijauan kembali dapat meningkatkan suhu. Kelas penutupan lahan yang lain terjadi fluktuasi, ada yang meningkat dan menurun dari tahun ke tahun.

Prediksi jumlah penduduk, lahan terbangun dan lahan bervegetasi pohon yang dilakukan perhitungan sampai tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 11 dengan menggunakan persamaan linier jumlah penduduk yaitu Y = 1253x + 3525 dengan R2 = 0,581. Untuk persamaan linier lahan terbangun yaitu Y = 28,89x + 100,5 dengan R2 = 0,314. Untuk persamaan linier lahan bervegetasi pohon yaitu Y = -52,43x + 69,08 dengan R2 = 0,999.

Tabel 11. Prediksi Jumlah Penduduk, Lahan Terbangun dan Lahan Bervegetasi Pohon

Prediksi 1991 2001 2005 2007 2020

Jumlah

Penduduk (jiwa)

119307 135311 156390 162438 193681 Lahan

(54)

4.3 Distribusi Suhu

Pada penelitian ini suhu yang digunakan adalah suhu permukaan yang berarti bahwa suhu yang didapatkan berasal dari hasil pemotretan satelit pada waktu itu juga. Jadi, suhu permukaan ini merupakan suhu pada satu waktu dan bukan merupakan suhu rataan dari berbagai waktu dan berbagai kondisi. Perlu diketahui juga bahwa suhu ini adalah suhu yang ditangkap citra diatas permukaan suatu benda di permukaan bumi sehingga hasilnya akan sangat berbeda dengan suhu yang didapat dengan pengukuran manual menggunakan termometer. Atmosfer berpengaruh nyata atas intensitas dan komposisi spektral tenaga yang terekam oleh sistem termal. Pengaruh atmosfer diantara sensor termal dan medan dapat menambah atau mengurangi tingkat radiasi tampak yang datang dari medan. Efek atmosfer pada sinyal medan tergantung pada derajat serapan, hamburan dan pancaran atmosferik pada saat dan tempat penginderaan.

Gas dan partikel suspensi dalam atmosfer dapat menyerap radiasi dari obyek di medan yang mengakibatkan pengurangan tenaga yang mencapai sensor termal. Sinyal medan dapat juga diserap oleh hamburan partikel suspensi yang ada. Sebaliknya gas dan pertikel suspensi dalam atmosfer dapat memancarkan radiasinya sendiri dan menambah radiasi yang terekam. Dengan demikian maka serapan dan hamburan atmosfer merupakan hambatan yang membuat sinyal obyek di medan lebih dingin dari kenyataannya, dan pancaran atmosfer cenderung menyebabkan obyek di medan lebih panas dari suhu sebenarnya. Tergantung pada kondisi atmosfer selama pencitraan. Satu di antara sekian efek akan lebih kuat dari lainnya, hal ini akan membiaskan keluaran sensor. Kedua efek tersebut berbanding lurus terhadap panjang jalur atmosferik atau jarak penginderaan radiasi. Pengukuran sensor termal atas suhu dapat dibiaskan sebesar 2oC atau lebih (Lillesand dan Kiefer, 1990)

(55)

Distribusi suhu permukaan didapatkan dengan cara mengkonversi band 6 citra Landsat menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.0. Pengkonversian band 6 ini dilakukan dengan membuat model pada model maker

yang ada pada perangkat lunak ERDAS Imagine 9.0. Model maker dibuat untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada band 6. Proses klasifikasi suhu permukaan dibedakan menjadi 12 kelas suhu permukaan yaitu < 23°C, 23-24 °C, 24-25 °C, 25-26 °C, 26-27 °C, 27-28 °C, 28-29 °C, 29-30 °C, 30-31 °C, 31-32 °C, 32-33°C ≥ 33 °

C.

Dari hasil konversi citra Landsat TM 1991 yang diambil pada musim penghujan yaitu tanggal 10 Januari, diperoleh 12 kelas distribusi suhu dengan luasan berbeda-beda untuk tiap kelasnya. Akan tetapi dari hasil pengolahan citra terdapat data yang cacat sehingga tergambar hasil suhu yang mencapai > 33°C dan itu tergambar pada daerah yang masih sangat sedikit lahan terbangunnya dan masih didominasi oleh tutupan lahan berupa sawah. Dari hasil konversi citra Landsat TM 2001 yang diambil pada musim kemarau yaitu tanggal 16 Juli, diperoleh 10 kelas distribusi suhu dengan luasan berbeda-beda untuk tiap kelasnya. Dari hasil konversi citra Landsat TM 2007 yang diambil pada musim Penghujan yaitu tanggal 12 April, diperoleh 11 kelas distribusi suhu dengan luasan berbeda-beda untuk tiap kelasnya. Hasil perhitungan luasan pada tiap kelas distribusi suhu disajikan pada Tabel 12. Distribusi suhu dapat dilihat pada, Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13.

Tabel 12. Distribusi Suhu Permukaan Kota Gorontalo

No Kelas

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 1. Selang Kenyamanan Beberapa Negara
Tabel 3. Standar Luas RTH berdasarkan Jumlah Penduduk
Tabel 5. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kota Gorontalo Tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan adalah bagian

Data komponen pohon pengisi ruang terbuka hijau eksisting meliputi jenis, jumlah, diameter pohon dan diameter tajuk pada ruang terbuka hijau publik diperoleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai THI dari data suhu dan kelembaban udara rata-rata pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Kota Tengah terendah terdapat pada hari

proporsi ruang terbuka hijau Kota Tanjungpinang saat ini belum memenuhi standar kebijakan tata ruang berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan PERDA No.10 Tahun

Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) menyatakan bahwa jenis Ruang Terbuka

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non- hijau telah

Setelah dilakukan evaluasi kondisi eksisting dilakukan perencanaan ruang terbuka hijau publik di dataran tinggi wilayah Surabaya Selatan berdasarkan kecukupan ruang

26 Tahun 2007, Penyediaan areal untuk ruang terbuka hijau dan ruang terbuka publik dalam suatu wilayah kota, paling sedikit 40% dari luas wilayah kota, dengan proporsi seluas 30% untuk