PENGELOLAAN LINGKUNGAN
WILAYAH PESISIR DAN LAUT TELUK BANTEN
BERKELANJUTAN
SJAIFUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Lingkungan
Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan mapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 12 November 2007
ABSTRACT
SJAIFUDDIN. Sustainable Environmental Management of Banten Bay
Coastal and Marine Zone. Under direction of M. SYAMSUL MA'ARIF, ETTY
RIANI and SETIA HADI
Banten bay coastal and marine zone is a unique ecosystem which has a variety potencies and problems of using some natural resources, especially in the trade off between economic growth and ecological preservation. Based on these conditions, this research aimed: first, to design an environmental management scenario ensuring a profitable synergy of all stakeholders without neglecting the principles of environmental conservation; second, to design an interaction model among variables in the bio-physic, economy and social subsystems in order to increase sources of earning and sustainable used of natural resources. Using a dynamic system, the main inputs of the designed model were the policy of environmental management as an output of analytical hierarchy process (AHP), the feasibility of natural resources management as a product of extended cost-benefit analysis (ECBA), the suitable option of natural resources management as an output of comparative performance index (CPI), the suitable land-use planning through geographic information system (GIS) and the prospect of environmental management through prospective analysis. The results of this research showed that the policy of environmental management was mainly the development of environmentally friendly industry (0.538) and then followed by marine ecotourism (0.471). The feasibility study indicated that all of natural resources management options were feasible to be developed. It also indicated that sustainable management (195.1), sustainable harvest (347.1) and beach protected areas (107.0) were the most feasible management options. Optimization model indicated that an increasing industrial and settlement zone at the west coast of Banten bay could be reduced on 5,415 ha and 9,297 ha at the end of management period (2027) (an average reduction of 62.18% and 3.35% per year were compared with existing condition). Excessive extraction of sea sand in Banten bay mining area, which was biophysically, economically and socially judged to suffer a loss, became the main reason to keep this area back to the initial importance (as a natural area and a conditional utilization zone). Prospective analysis indicated that new urbanism (55%) was the most suitable scenario to be implemented. It could increase performance of investment and other sector simultaneously. The optimized performance of industrial sector (828 industrial structures) was just
followed by a minimized pollutant production (312,118,075.34 m3). The stopping
of sea sand mining total activities decreased the level of habitat deterioration. The
optimized carrying capacity (45,975fish/1,000m2) gave a positive contribution on
fishery production, so the fisherman's revenue increased significantly (till USD
9,285.40). The management of conflict of interest decreased the conflict frequency (zero conflict starting from 2024). The model which was designed in accurate policy integration through industrial development, incentives of investment, physically habitat protection, source of impact management and social empowerment, was the most suitable model that could be implemented in order to increase sources of earning and sustainable used of natural resources.
RINGKASAN
SJAIFUDDIN. Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten
Berkelanjutan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA'ARIF, ETTY RIANI dan
SETIA HADI.
Wilayah pesisir dan laut Teluk Banten merupakan ekosistem unik yang menyimpan berbagai potensi dan permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam,
terutama menyangkut trade off antara kepentingan ekonomi dan preservasi
ekologi. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, permasalahan yang muncul di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada dasarnya berkaitan dengan aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Dari aspek biofisik, permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah semakin tingginya ancaman terhadap ekosistem alami Teluk Banten, pemanfaatan ruang yang semakin tidak terkendali, penambangan pasir laut yang semakin tidak terkontrol dan semakin tingginya tingkat pencemaran (baik oleh limbah industri maupun domestik) yang masuk ke Teluk Banten. Dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul adalah pertumbuhan industri yang
tinggi yang kurang bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholders dan
tingginya tingkat degradasi sumberdaya alam hayati yang berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat pesisir. Dari aspek sosial, permasalahan yang muncul adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan frekuensi konflik yang makin sering terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk merancang skenario pengelolaan lingkungan yang menjamin terjadinya sinergi
yang menguntungkan semua stakeholders dengan tanpa mengabaikan prinsip
konservasi. Selain itu juga untuk merancang model interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem biofisik, ekonomi dan sosial dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan.
Model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dirancang menggunakan sistem dinamik berdasarkan diagram simpal kausal yang ditetapkan sebelumnya. Input utama model terdiri dari kebijakan pengelolaan
lingkungan yang diperoleh melalui analytical hierarchy process (AHP),
kelayakan pengelolaan sumberdaya yang ditetapkan melalui extended cost-benefit
analysis (ECBA), opsi pengelolaan sumberdaya yang ditetapkan melalui
comparative performance index (CPI), kesesuaian pemanfaatan ruang melalui
geographic information system (GIS) dan prospek pengelolaan lingkungan
melalui prospective analysis.
Hasil analisis menggunakan AHP menunjukkan, bahwa alternatif kebijakan yang memperoleh prioritas utama untuk diimplementasikan adalah mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan industri ramah lingkungan dengan tetap berbasis pada potensi dan sumberdaya daerah (0,538). Prioritas berikutnya adalah mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten sebagai kawasan eco-industrial tourism yang berbasis pada keunggulan
industri yang ramah lingkungan dan pesona keindahan alam wilayah tropika (0,471).
Hasil analisis kelayakan pengelolaan sumberdaya menunjukkan, bahwa semua opsi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten dinilai layak untuk dikembangkan. Untuk sumberdaya mangrove, nilai
dan 5,96. Nilai NPV dan BCR pada opsi milkfish sylvofishery mencapai USD
3.066.800,88 dan 2,74. Nilai NPV dan BCR pada opsi polyculture sylvofishery
mencapai USD 3.118.918,91 dan 2,76. Nilai NPV dan BCR pada opsi shrimp
sylvofishery mencapai USD 3.263.940,88 dan 2,80. Untuk shallow water
resources, nilai NPV dan BCR pada opsi coral reef protected areas mencapai
USD 1.659.268,64 dan 1,35; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi sustainable
harvest mencapai USD 7.076.463,52 dan 3,97. Untuk beach resources, nilai NPV
dan BCR pada opsi beach protected areas mencapai USD 4.286.609.192,48 dan
7,30; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi set back zone mencapai USD
4.896.186.866,75 dan 6,54.
Hasil penilaian terhadap opsi pengelolaan sumberdaya alam dengan
menggunakan metode CPI menunjukkan, bahwa untuk sumberdaya mangrove,
sustainable management merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 195,1.
Untuk shallow water resources, sustainable harvest merupakan opsi terbaik
dengan nilai mencapai 347,1. Untuk beach resources, beach protected areas
merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 107,0.
Hasil analisis kebijakan pemanfaatan ruang menunjukkan, bahwa
berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini (existing condition),
kepentingan pengembangan zona industri, serta dengan tetap memperhatikan esensi beberapa koridor ekologi penting, maka kebijakan pemanfaatan ruang darat di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten akan mengalami perubahan mendasar terutama di pesisir barat. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa laju peningkatan lahan industri terbangun dan lahan permukiman terbangun di pesisir barat Teluk Banten masih dapat ditekan rata-rata 62,18% dan 3,35% per tahun dari kondisi saat ini, hingga pada akhir periode pengelolaan (tahun 2027) total luas kawasan industri terbangun dan kawasan permukiman terbangun mencapai 5.415 ha dan 9.297 ha. Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih luas, penghentian total (moratorium) aktivitas penambangan pasir laut di perairan Teluk Banten mutlak dilakukan, mengingat dampak negatif aktivitas tersebut baik secara biofisik, ekonomi maupun sosial. Zona penambangan pasir laut yang ada direkomendasikan untuk dikembalikan pada peruntukan semula, yaitu sebagai zona penangkapan ikan tradisional dan pemanfaatan bersyarat.
Hasil analisis prospektif menunjukkan, bahwa terdapat 5 faktor kunci (key
factors) yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, yaitu pengelolaan sumber dampak, insentif investasi, pengembangan industri, perlindungan fisik habitat dan pemberdayaan
masyarakat. Expert judgment menunjukkan, bahwa skenario new urbanism yang
berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan preservasi ekologi merupakan skenario yang paling implementatif (hasil penilaian mencapai 55%) pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.
Hasil optimasi menunjukkan, bahwa implementasi kebijakan insentif investasi mampu meningkatkan kinerja investasi rata-rata 6,37% per tahun hingga mencapai USD 580.432.136,37. Tingginya investasi yang didukung oleh kebijakan pengembangan industri mampu meningkatkan pertumbuhan industri rata-rata 0,95% per tahun hingga mencapai jumlah 827 perusahaan.
dampak mampu menekan produksi limbah rata-rata 50,75% per tahun dari kondisi
saat ini hingga mencapai 312.118.075,34 m3. Sebagai bagian dari kebijakan
pengelolaan sumber dampak, regulasi pertambangan yang diberlakukan secara ketat mampu mempertahankan kandungan pasir laut pada posisi mendekati
kondisi pada awal periode pengelolaan (134.159.315,68 m3).
Implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa pendapatan masyarakat pesisir dapat ditingkatkan rata-rata 123,42% per tahun dari kondisi saat ini hingga mencapai USD 9.285,40. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir didukung oleh peningkatan produksi ikan laut, ikan tambak dan rumput laut secara optimal (rata-rata mencapai 5,41%; 2,19% dan 2,46% per tahun). Peningkatan produksi terjadi seiring dengan peningkatan dayadukung rata-rata
63,07% dari kondisi saat ini hingga mencapai 45.975 fish/1.000 m3. Keberhasilan
mempertahankan penutupan karang dan lamun pada luasan semula (yakni 250 ha
dan 370 ha) dan kemampuan meningkatkan penutupan mangrove rata-rata 1,19%
per tahun hingga mencapai 292 ha dinilai sebagai faktor penting bagi peningkatan dayadukung.
Pada sisi lain, hasil optimasi meningkatkan lapangan kerja rata-rata 21,93% per tahun dari kondisi saat ini hingga dapat menampung 189.282 pekerja. Peranan pesisir pada perekonomian wilayah meningkat rata-rata 0,26% per tahun hingga mencapai 84,16%. Frekuensi konflik menurun rata-rata 63,20% per tahun hingga
proses menuju zero conflict dapat berlangsung lebih cepat (tidak tersisa lagi
konflik mulai tahun 2024).
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
WILAYAH PESISIR DAN LAUT TELUK BANTEN
BERKELANJUTAN
SJAIFUDDIN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan
Nama : Sjaifuddin
NRP : P 062040021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif, M.Eng. Ketua
Dr.Ir. Etty Riani, M.S. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Anggota Anggota
Diketahui
Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
RIWAYAT HIDUP
Peneliti dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1968 sebagai anak
pertama dari pasangan Umi Kaltsum Abdul Fatah dan Abdurrahman
Sastrodihardjo. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pendidikan Biologi,
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Yogyakarta,
lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1999, peneliti mendapat kesempatan
melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Lingkungan pada Program
Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya pada tahun 2002.
Kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada
tahun 2004. Selama studi S2 dan S3, peneliti memperoleh beasiswa pendidikan
pascasarjana dari Departemen Pendidikan Nasional RI.
Peneliti bekerja sebagai dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di
Serang Banten pada Program Studi Pendidikan Biologi. Matakuliah yang menjadi
tanggungjawab peneliti adalah Ekologi, Pengantar Ilmu Lingkungan dan Biologi
Konservasi. Sebuah artikel berjudul “Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir
dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan” telah diterima untuk dipublikasikan di
Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan Volume 4, No. 1 tahun 2007.
Artikel lain berjudul “Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam
Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan” juga telah diterima untuk
dipublikasikan di Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajarannya Volume 3
No. 1, Januari 2008. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, disertasi ini
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, pembawa cahaya kehidupan. Disertasi ini disusun dalam
rangka merancang model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua
stakeholders dengan tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan. Alternatif
kebijakan yang diimplementasikan dirancang untuk mendukung kinerja sektor
industri dan investasi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan
fungsi ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Produk yang
dihasilkan diharapkan berguna baik bagi Pemerintah Kabupaten Serang,
Pemerintah Provinsi Banten, para pelaku industri dan jasa maupun bagi
masyarakat pada umumnya.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif,
M.Eng; Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku
pembimbing; serta Bapak Dr. Ir. Muladno, Bapak Dr. Ir. Manuwoto, Bapak Dr. Ir.
Yusli Wardiatno, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc., Ibu Dr. Ir. Erliza
Noor, Bapak Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto,
M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, MS yang telah banyak memberi saran.
Disamping itu, penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Drs. Yuyu Yuhana,
M.Si, Bapak Ir. Budi Mulyono, M.Si, Bapak Ir. Yani Setyamaulida, Bapak Drs.
Nana Prayatna Rahadian, Bapak Agus Halim Lasmana, S.Pi., Bapak Ir. Suroso
Mukti Leksono, M.Si, Bapak Ir. Muhammad Farhan, M.Si., Bapak Iwan
Herawan, S.T., Ibu Dra. Hj. Reni Indrayanti, M.Si., Bapak Drs. H. Syadeli Hanafi,
M.Pd., Bapak Drs. H. Nandang Faturohman, M.Pd. dan Bapak Pawit Sugiarto.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Umi Kaltsum Abdurrahman,
Chusniah, Aris Prabowo, Ahsan Ahmad Nibras, Muhammad Miftah Thaha,
Habiburrahman Prabowo dan Muafiqurrahman Prabowo. Semoga disertasi ini
bermanfaat.
Bogor, 12 November 2007
Sjaifuddin
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……….……….. ix
DAFTAR GAMBAR……….……….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN……….……….. xvi dan Lingkungan... 29
4.2.3 Kualitas Air……….……… 48
4.2.4 Biota Perairan………. 52
4.2.5 Ekosistem Alami………. 55
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi……… 65
4.3.1 Kependudukan……… 65
4.3.2 Perekonomian Wilayah………... 68
4.3.3 Sumberdaya Perikanan………..………. 69
4.3.4 Pertanian dan Perkebunan……….. 72
4.3.5 Pariwisata……… 74
V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN 5.1 Masukan Utama Model (Main Input)………. .. 76
5.1.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan………... 76
5.1.2 Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya……….. 82
5.1.3 Opsi Pengelolaan Sumberdaya……… 96
5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang………. 99
5.1.5 Prospek Pengelolaan Lingkungan……….. 117
5.2 Model Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan………. 124
5.2.1 Analisis Kebutuhan.……… 124
5.2.2 Formulasi Permasalahan………... 125
5.2.3 Identifikasi Sistem……….. 125
5.2.4 Permodelan Sistem………... 131
5.2.5 Simulasi dan Optimasi Model……….………... 135
5.2.6 Validasi Model..………... 150
5.2.7 Analisis Sensitivitas………... 154
5.2.8 Rekomendasi Kebijakan………... 155
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan……….………... 162
6.2 Saran….………. 163
DAFTAR PUSTAKA ……….……… 164
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian…………. 38
2. Skala penilaian perbandingan berpasangan……….. 40
3. Opsi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut
Teluk Banten……….……… 42
4. Pengaruh langsung antar faktor pada sistem pengelolaan
lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.…
43
5. Nilai parameter kualitas air Teluk Banten……… 49
6. Volume limbah domestik dan industri per kecamatan dan
persentase limbah yang mengalir ke Teluk Banten…..……… 50
7. Jenis, kepadatan (sel/m3) dan beberapa indeks ekologi komunitas
phytoplankton di perairan Teluk Banten.……….. 53
8. Jenis, kepadatan (sel/m3) dan beberapa indeks ekologi komunitas
zooplankton di perairan Teluk Banten.………. 54
9. Komposisi dan kepadatan benthos (sel/m3) di perairan Teluk
Banten……….. 55
10. Distribusi padang lamun di perairan Teluk Banten………... 60
11. Berbagai jenis karang di perairan Teluk Banten………….……….. 61
12. Berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang di
perairan Teluk Banten……….………. 62
13. Tekanan antropogenik dan relevansinya dengan kerusakan
ekosistem pesisir dan laut Teluk Banten………..…… 64
14. Peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Serang tahun 1961-2004 65
15. Jumlah penduduk Kabupaten Serang tahun 2004 menurut
kelompok umur……….. 65
16. Jumlah penduduk dan kepadatannya di kecamatan-kecamatan
pesisir Teluk Banten tahun 2004……….. 66
18. PDRB Kabupaten Serang tahun 2004 atas dasar harga berlaku
(dalam jutaan rupiah) dan persentasenya……….. 68
19. Peranan wilayah pesisir pada perekonomian Kabupaten Serang
(diukur melalui kontribusi terhadap PDRB (dalam jutaan rupiah)
tahun 2004……… 69
20. Densitas ikan di perairan Teluk Banten.……… 70
21. Tingkat eksploitasi kerapu di perairan Teluk Banten..………..
70
22. Status beberapa jenis kerapu.……… 71
23. Produksi dan nilai produksi perikanan kecamatan-kecamatan
pesisir Teluk Banten tahun 2003-2004……….. 71
24. Luas areal tambak di pesisir Teluk Banten.………... 71
25. Struktur PDRB sektor perikanan di Kabupaten Serang……… 72
26. Luas lahan pertanian (ha) di wilayah pesisir Teluk Banten tahun
2004……….. 73
27. Produksi tanaman pangan penting di wilayah pesisir Teluk Banten
tahun 2004...
74
28. Pentingnya peranan stakeholders pada pengelolaan lingkungan
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan…... 77
29. Hirarki faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan menurut stakeholders.. 78
30. Hirarki tujuan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut
Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan faktor pendukung…... …. 79
31. Hirarki alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan tujuan…. 80
32. Beberapa kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan tahapan
waktu pelaksanaan..………... 81
33. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi
sustainable management.……….. 84
34. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir
35. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi
sylvofishery (milkfish)1, (polyculture)2dan (shrimp)3 management.. 85
36. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (milkfish)1,
(polyculture)2dan (shrimp)3 management……... 86
37. Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan
mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten………. 86
38. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources
pada opsi coral reef protected areas.………..……….. 89
39. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef protected areas. 90
40. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources
pada opsi sustainable harvest……………….. 91
41. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable harvest….….. 91
42. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan shallow water
resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten………. 91
43. Estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi
beachprotected areas……..………. 93
44. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten pada opsi beachprotected areas.…... 94
45. Estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi
setback zone……… 94
46. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten pada opsi set back zone.. ……….. 95
47. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach
resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten …………..….. 95
48. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat
mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……..……….. 96
49. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan
sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk
50. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan shallow water resources
di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……….. 97
51. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan
shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.. 97
52. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan beach resources di
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……….. 98
53. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan
beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten... 98
54. Luas dan volume kandungan pasir laut dari beberapa KP di
wilayah perairan Teluk Banten……….. 108
55. Prospek pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten di masa yang akan datang (tahun 2027)..……….. 121
56. Skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten di masa yang akan dating.……….
122
57. Peringkat skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan
laut Teluk Banten di masa yang akan dating...………..
123
58. Kebutuhan stakeholders pada pengelolaan lingkungan wilayah
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan
laut Teluk Banten berkelanjutan……..…………..………
11
2. Sistem pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan..………..……….
37
3. Hirarki pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan………..………
39
4. Metode pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan…...………..………
44
5. Peta administratif kecamatan pesisir Teluk Banten Kabupaten
Serang 2007..……….…… 46
6. Peta lokasi ekosistem alami pesisir Teluk Banten Kabupaten
Serang 2007……… 56
7. Distribusi NPV dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove
di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten..……….….... 87
8. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan shallow water
resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten...…………... 91
9. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan beach resources di
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.…………..……… 95
10. Peta pemanfaatan ruang darat kecamatan pesisir Teluk Banten
Kabupaten Serang 2007..……….………….………. 103
11. Pergeseran garis pantai pesisir barat Teluk Banten Kabupaten
Serang 2007……… 104
12. Pergeseran garis pantai pesisir timur Teluk Banten Kabupaten
Serang 2007……… 105
13. Peta arahan pemanfaatan ruang darat kecamatan pesisir Teluk Banten Kabupaten Serang 2007……….
112
14. Zona penangkapan ikan perairan Teluk Banten Kabupaten
Serang 2007………... 113
15. Zona penambangan pasir laut perairan Teluk Banten Kabupaten
16. Peta arahan pemanfaatan ruang laut perairan Teluk Banten
Kabupaten Serang 2007……….……… 119
17. Tingkat kepentingan faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten di
masa yang akan datang...………. 120
18. Hubungan antar variabel dalam subsistem biofisik, ekonomi, dan sosial pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan…..……….
129
19. Diagram input-output sistem pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan...……….. 130
20. Struktur model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut
Teluk Banten berkelanjutan.……….. 136
21. Pola pertumbuhan investasi pada skenario konvensional (hitam),
new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)…. 137
22. Pola pertumbuhan industri pada skenario konvensional (hitam),
new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah).... 137
23. Pola pertumbuhan lahan industri terbangun pada skenario
konvensional (hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau)
dan optimasi (merah)……….
139
24. Pola pertumbuhan lahan permukiman terbangun pada tiga skenario (biru) dan optimasi (merah) …………..……….
140
25. Pola peningkatan volume limbah pada skenario konvensional
(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi
(merah)………..
141
26. Pola pertumbuhan pendapatan masyarakat pesisir pada skenario
konvensional (hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau)
dan optimasi (merah)………. 142
27. Pola produksi ikan laut (coklat), ikan tambak (hijau) dan rumput
laut (ungu) pada skenario konvensional, new urbanism,
konservasi dan optimasi... 142
28. Pola daya dukung perikanan pada skenario konvensional
(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi
(merah)………...
29. Pola penutupan mangrove (merah), karang (hitam) dan lamun
(hijau) pada skenario konvensional, new urbanism, konservasi
dan optimasi……….. 145
30. Pola kandungan pasir laut pada skenario konvensional (merah),
new urbanism (biru), konservasi dan optimasi (hijau)…………...
147
31. Pola pertumbuhan lapangan kerja pada skenario konvensional
(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi
(merah)………...
148
32. Pola pertumbuhan peranan pesisir pada skenario konvensional
(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi
(merah)…..……… 150
33. Pola frekuensi konflik pada skenario konvensional (hitam), new
urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)…..…..
150
34. Keserupaan kinerja daya dukung perikanan pada main model
dengan pendapatan masyarakat pesisir dan jumlah penduduk
pada co-model……… 152
35. Keserupaan kinerja model (biru) dengan kinerja sistem (merah)
pada level jumlah penduduk………..……… 154
36. Perubahan perilaku level jumlah industri sebagai efek dari
pemanfaatan fasilitas PULSE dalam intervensi kebijakan
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil akhir perhitungan bobot kriteria pada penentuan konsep
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
berkelanjutan....……….. 170
2. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable management
(USD)………..….. 171
3. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (milkfish)
management (USD)..………. 174
4. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery
(polyculture) management (USD)……….………. 177
5. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (shrimp)
management (USD)……….……….. 180
6. Cost-benefit analysis pengelolaan shallow water resources di
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef
protected areas (USD)……..……… 183
7. Cost-benefit analysis pengelolaan shallow water resources di
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable
harvest (USD).……….. 186
8. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi beach protected areas
(USD).……… 189
9. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi set back zone
(USD).………..………. 192
10. Persamaan powersim (equations).……….…. 195
11. Analisis variabel untuk optimasi model...………. 220
12. Simulasi kinerja investasi (USD) pada beberapa skenario
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
13. Simulasi jumlah industri (perusahaan) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
berkelanjutan………. 224
14. Simulasi luas lahan industri terbangun (km2) pada beberapa
skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan………. 225
15. Simulasi luas lahan permukiman terbangun (km2) pada beberapa
skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan………. 226
16. Simulasi luas lahan sawah dan tambak (km2) pada beberapa
skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan………. 227
17. Simulasi volume limbah (m3) pada beberapa skenario
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
berkelanjutan………. 228
18. Simulasi pendapatan masyarakat pesisir (USD) pada beberapa
skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan………. 229
19. Simulasi produksi ikan laut, ikan tambak dan rumput laut (ton)
pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten berkelanjutan………. 230
20. Simulasi dayadukung perikanan (fish/1.000m3) pada beberapa
skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten berkelanjutan………. 231
21. Simulasi penutupan ekosistem mangrove, karang dan lamun
(km2) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.………. 232
22. Simulasi kandungan pasir laut (m3) pada beberapa skenario
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
berkelanjutan………. 233
23. Simulasi lapangan kerja (jiwa) pada beberapa skenario
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
berkelanjutan………. 234
24. Simulasi peranan pesisir (%) pada beberapa skenario
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
25. Simulasi frekuensi konflik (konflik) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah tempat aktivitas manusia
paling banyak dilakukan; bahkan menurut MacDonald (2005), sekitar 70%
penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir. Ada berbagai alasan yang
dikemukakan, mengapa manusia menyukai tinggal di wilayah pesisir. Beberapa di
antaranya adalah kemudahan transportasi yang disediakan oleh laut, ketersediaan
protein dari ikan laut dan kemudahan untuk membuang limbah. Pesisir juga
merupakan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk melakukan berbagai
aktivitas seperti permukiman, perdagangan, pariwisata, militer dan berbagai jenis
aktivitas industri (Clark, 1998; Joseph dan Balchand, 2000; MacDonald, 2005).
Begitu beragamnya fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh wilayah pesisir
hingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan di antara para stakeholders.
Berbagai tipe pemanfaatan wilayah pesisir lengkap dengan konflik
kepentingan yang sering terjadi, dapat ditemukan di Teluk Banten. Teluk ini
terletak di sebelah barat laut Pulau Jawa; menghadap ke Laut Jawa, Teluk Banten
mengawali posisi Selat Sunda dari arah utara. Teluk Banten berdiameter ±15 km
dan memiliki sebuah pulau besar (Pulau Panjang) yang dikelilingi oleh terumbu
karang yang indah.
Perairan Teluk Banten cukup dangkal (kedalaman rata-tara 7 m) dengan
tingkat kekeruhan air yang relatif tinggi. Luas total permukaan air Teluk Banten
mencapai 150 km2. Douven (1999) melaporkan, bahwa Teluk Banten memiliki
ekosistem laut yang bernilai tinggi seperti padang lamun yang berlokasi di pantai
timur Bojonegara (di sekitar pulau-pulau kecil seperti Tanjungbatu, Cikantung
dan Kamanisan); terumbu karang yang berlokasi di pantai Pulau Panjang dan
pulau-pulau kecil seperti Pulau Kubur dan Pulau Kambing; mangrove yang
berlokasi di pantai selatan dan timur Pulau Panjang dan di sepanjang pantai di
wilayah Kecamatan Pontang dan Tirtayasa; serta cagar alam Pulau Dua dan Pulau
Pamujan Besar yang dihuni oleh burung-burung endemik.
Luas total area padang lamun di Teluk Banten diperkirakan mencapai 2,7
Bojonegara. Saat ini keberadaan ekosistem padang lamun di Teluk Banten sangat
terancam oleh tingginya aktivitas reklamasi pantai. Padahal padang lamun
berperan penting dalam menyediakan habitat dan makanan bagi berbagai jenis
ikan yang masih muda dan melindungi garis pantai dari berbagai kerusakan, baik
fisik maupun kimia.
Terumbu karang di Teluk Banten menempati area seluas ±2,3 km2 dengan
estimasi luas penutupan karang hidup 22%. Seperti halnya ekosistem padang
lamun, ekosistem terumbu karang juga sangat terancam keberadaannya, karena
tingginya tingkat kekeruhan air laut, adanya cara-cara penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan, serta terdapatnya penambangan batu karang yang
merusak. Pada waktu-waktu mendatang, semakin menurunnya kualitas air laut
yang terjadi akibat berbagai aktivitas manusia, diperkirakan akan menjadi faktor
terpenting yang mengancam keberadaan terumbu karang di Teluk Banten.
Terumbu karang memiliki fungsi penting untuk melindungi garis pantai dan
menjadi habitat yang menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis ikan.
Terumbu karang dan padang lamun merupakan habitat penting yang
menyediakan nutrisi dan tempat pengasuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis
ikan yang masih muda. Jenis ikan utama yang dihasilkan oleh Teluk Banten
adalah berbagai jenis ikan kerapu (Epinephelus spp.) (Glimmerveen, 2001).
Populasi ikan kerapu di Teluk Banten cenderung terus menurun dari waktu ke
waktu, disebabkan oleh menurunnya kualitas ekosistem dan penangkapan ikan
berlebih (overfishing). Selain memainkan peran produksi yang penting, ikan
kerapu berperan secara biologis di dalam mengontrol pertumbuhan lamun dan
organisme terumbu karang.
Pulau Dua, yang merupakan sebuah semenanjung kecil di dekat Kota
Banten, memiliki hutan mangrove yang menjadi habitat penting bagi sekitar 45
ribu burung. Pulau Dua kini juga sangat terancam keberadaannya karena
terjadinya pergeseran garis pantai dan semakin me nciutnya lahan basah (wetlands)
seperti sawah dan lahan budidaya biota air (aquaculture); padahal lahan tersebut
merupakan tempat burung-burung biasa mencari makan. Burung-burung di Pulau
Menurut Douven (1999) terdapat sejumlah besar aktivitas manusia yang
mengancam keberlanjutan ekosistem laut Teluk Banten. Beberapa di antaranya
adalah:
a. Pembangunan wilayah pantai: ekspansi besar-besaran kawasan permukiman,
industri dan transportasi (masterplan Kabupaten Serang, 2005) berdampak
pada perubahan pemanfaatan lahan dan pergeseran garis pantai yang
disebabkan oleh aktivitas reklamasi dan konversi hutan mangrove.
b. Pencemaran dari daratan dan erosi: permukiman dan industri yang
berkembang di sepanjang kaki Gunung Karang (Kota Serang dan sekitarnya),
aliran permukaan (run-off) dari lahan pertanian serta penambangan pasir dan
batu dari kawasan Gunung Karang dan di dataran pantai dengan limbah yang
dibuang langsung ke sungai, berdampak pada pengurangan kapasitas asimilasi
dan menurunkan derajat kesehatan penduduk.
c. Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut secara berlebih (overexploitation)
(misalnya penambangan karang dan pasir laut, perusakan hutan mangrove dan
penggunaan cara-cara penangkapan ikan yang merusak) berdampak pada
terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam, baik yang dapat pulih
(renewable) maupun tidak dapat pulih (non-renewable).
Skala dan intensitas kegiatan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
meningkat dengan sangat cepat seiring dengan perkembangan kependudukan dan
perekonomian baik lokal, nasional maupun internasional. Proses-proses ini
berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem teluk sedemikian rupa,
sehingga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat yang bergantung baik
secara langsung maupun tidak langsung pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan
demikian diperlukan adanya koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.
Pada tahun 2004, jumlah total penduduk Kabupaten Serang 1.834.514 jiwa
dengan kepadatan 1.057,91 jiwa/km2 dan pertumbuhan mencapai 2,46% (BPS
Kabupaten Serang, 2005). Kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan yang
berbatasan langsung dengan Teluk Banten (1.074,83 jiwa/km2) sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan kepadatan penduduk Kabupaten Serang pada umumnya
Kabupaten Serang tergolong cepat untuk masa-masa yang akan datang, karena
47,9% dari total penduduk berumur di bawah 20 tahun (usia produktif) dan hanya
9,7% saja yang berumur di atas 50 tahun. Aksis pertumbuhan penduduk terdapat
di sepanjang koridor jalan tol Jakarta-Merak dengan pusat pertumbuhan utama
adalah Kota Serang dan Cilegon. Aksis pertumbuhan penduduk lainnya terdapat
di sepanjang koridor Sungai Cibanten, Cilengkong dan di sebelah timur Sungai
Ciujung.
Nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Serang atas dasar
harga berlaku meningkat 11,01% yaitu dari Rp. 8.998.670.000.000,00 pada tahun
2003 menjadi Rp. 9.989.429.000.000,00 pada tahun 2004. Di Kabupaten Serang,
sektor industri menempati posisi yang sangat penting (mencapai 48,90% dari total
PDRB). Hal ini semakin menguatkan posisi Kabupaten Serang sebagai daerah
industri. Sektor-sektor lain yang juga mengalami peningkatan produksi adalah
perdagangan, hotel dan restoran. Sesuai dengan besarnya kontribusi pada PDRB,
sektor industri memberi peluang kerja cukup besar (115.782 pekerja) dengan total
perusahaan industri yang bekerja mencapai 245 buah (BPS Kabupaten Serang,
2005).
Pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian Kabupaten
Serang seperti diuraikan di atas direfleksikan pada pola penggunaan lahan yang
ada. Serang sebagai kota utama berlokasi di kaki Gunung Karang (1.700 m) di
sepanjang Sungai Cibanten pada koridor tol Jakarta-Merak. Karena posisinya
yang sangat strategis, daerah ini diperkirakan akan menjadi subyek utama
perubahan di masa yang akan datang. Di sekeliling Kota Serang, aktivitas industri
berlokasi dengan Cilegon sebagai pusatnya. Di antara dua kota utama ini juga
berlokasi permukiman penduduk di sepanjang sungai dan jalan utama kota.
Wilayah pantai di sebelah selatan dan timur Teluk Banten merupakan daerah
perdesaan dengan lokasi permukiman penduduk yang tersebar dan produksi
utamanya padi dan perikanan tambak. Wilayah perlindungan alam berlokasi di
daerah pegunungan: Gunung Karang dan Gunung Gede. Dari keseluruhan pulau
yang tersebar di Teluk Banten, hanya Pulau Panjang yang dihuni oleh sekitar
untuk melakukan aktivitas pertanian, sedangkan pulau-pulau lainnya merupakan
wilayah perlindungan alam.
Kepadatan penduduk yang tinggi dan aktivitas industri yang pesat tidak
hanya berdampak pada perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai, tetapi juga
berdampak pada peningkatan penggunaan sumberdaya alam dan volume limbah.
Analisis volume limbah, daerah asal limbah (kecamatan) dan persentase limbah
yang masuk ke Teluk Banten dilaporkan oleh Heun dan Yap (1996) seperti
dijelaskan oleh Douven (1999) menunjukkan bahwa Kecamatan Serang,
Kasemen, Cilegon dan Bojonegara menghasilkan paling banyak limbah. Limbah
industri terutama terkonsentrasi di Cilegon dan Bojonegara. Hal yang menarik
dari laporan tersebut adalah total volume limbah domestik Kecamatan Serang
yang mencapai 6 kali lebih besar dari volume limbah industri; dan total volume
limbah industri Kecamatan Cilegon yang mencapai 4 kali lebih besar dari volume
limbah domestik.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten dihadapkan pada permasalahan kompleks yang
saling terkait satu sama lain. Dari aspek biofisik, permasalahan yang muncul
adalah tingginya ancaman terhadap keberadaan ekosistem penting Teluk Banten,
pola penggunaan lahan wilayah pesisir dan laut yang semakin tidak terkendali,
penambangan pasir laut yang semakin tidak terkontrol dan tingginya volume
bahan pencemar yang masuk ke teluk. Dari aspek ekonomi, permasalahan yang
muncul adalah tingginya pertumbuhan industri yang kurang bersinergi dengan
berbagai kepentingan stakeholders dan terjadinya degradasi sumberdaya alam
hayati di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Dari aspek sosial, permasalahan
yang muncul adalah tingginya pertumbuhan penduduk dan frekuensi konflik yang
meningkat terutama berkaitan dengan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang
dirasakan kurang adil oleh masyarakat.
Kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten juga semakin diperparah oleh adanya beberapa faktor
penghambat seperti diuraikan oleh Douven et al. (2000) sebagai berikut:
a. Perencanaan wilayah pesisir yang masih bersifat sektoral.
c. Masih kurangnya staf dan pendanaan untuk implementasi dan kontrol
kebijakan.
d. Masih kurangnya informasi tentang masalah-masalah lingkungan.
e. Masih kurangnya kesadaran para stakeholders pada masalah-masalah
lingkungan.
Pemberlakuan Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diharapkan mampu
memperbaiki mekanisme serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah
dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara adil,
berimbang dan berkelanjutan. Dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, diharapkan akan semakin membawa perubahan institusional
di bidang pengelolaan sumberdaya alam milik daerah, sehingga berbagai
hambatan seperti disebutkan di atas akan dapat segera diatasi. Melalui UU
tersebut, kabupaten/kota mendapatkan otonomi yang lebih besar dalam
perencanaan dan pembangunan daerah dengan posisi sentral ada pada Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah dan sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang,
pemerintah daerah juga memiliki kewenangan yang semakin besar dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Melalui UU tersebut, kualitas keberlanjutan
ruang wilayah diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Melalui UU No. 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah,
kabupaten/kota memperoleh peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
sumberdaya finansial secara lebih berimbang dalam rangka pembiayaan
proses-proses pembangunan seperti diamanatkan dalam UU No. 32 tahun 2004.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Merancang skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua
stakeholders tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.
b. Merancang model interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem
kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan.
1.3 Kerangka Pemikiran
Kompleksitas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten perlu dikelola secara baik. Untuk itu dibutuhkan pemahaman mendalam
tentang berbagai proses yang saling terkait antar berbagai sub-sistem:
biotik-abiotik dan interaksi antar kedua sistem tersebut dengan berbagai aktivitas
manusia. Pemahaman terhadap proses-proses tersebut secara baik merupakan
dasar bagi upaya pemecahan permasalahan yang seringkali terjadi. Hal tersebut
merupakan esensi dari berbagai research programme yang dikembangkan oleh
Indonesian-Dutch Teluk Banten Research Programme on Integrated Coastal Zone
Management. Lembaga kerja sama Indonesia-Belanda ini mengembangkan
research programme yang berbasis pada empat bidang utama, yaitu bidang
abiotik, bidang biotik, bidang remote sensing dan sistem informasi geografi (GIS)
serta bidang pengelolaan.
Di bidang abiotik, dikembangkan research programme yang meliputi 3
bagian yaitu sedimentasi, perubahan morfologi pantai dan water transport. Di
bidang biotik, research programme yang dikembangkan meliputi 4 bagian yaitu
terumbu karang, padang lamun, perikanan dan burung-burung endemik (Douven
et al., 2000). Di bidang remote sensing dan GIS, research programme yang
dikembangkan biasanya terkait dengan bidang pengelolaan dengan penekanan
pada dimensi spasial. Berdasarkan lingkup permasalahan di atas, penelitian ini
termasuk dalam bidang pengelolaan. Menurut Douven (1999), penelitian di
bidang pengelolaan berperan sebagai integrator bagi penelitian-penelitian di
bidang lain.
Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dapat
dicermati baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial. Dari aspek biofisik,
potensi dan permasalahan yang muncul erat kaitannya dengan dinamika ekosistem
alami, pola penggunaan lahan, kandungan pasir laut yang besar dan volume bahan
Dari aspek ekonomi, wilayah pesisir dan laut Teluk Banten memiliki tingkat
pertumbuhan industri yang mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi
perekonomian wilayah. Meskipun demikian, dalam perkembangannya,
pertumbuhan industri yang tinggi ternyata kurang bersinergi dengan berbagai
kepentingan stakeholders. Eksploitasi sumberdaya alam hayati secara berlebih di
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berdampak pada semakin rendahnya
cadangan sumberdaya ikan dan sumberdaya hayati lain.
Dari aspek sosial, jumlah penduduk yang besar memang bisa dianggap
sebagai modal pembangunan; tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan
kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, jumlah penduduk yang besar
justru menjadi permasalahan pembangunan yang serius. Seiring dengan semangat
otonomi daerah, tingginya antusiasme untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD) ternyata sering menimbulkan gejala feeding frenzy terhadap sumberdaya
alam milik daerah. Gejala ini berdampak pada terjadinya bahaya lingkungan dan
berakibat pada biaya sosial yang mahal. Di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten,
biaya sosial yang harus dibayar adalah frekuensi konflik yang makin sering terjadi
yang melibatkan berbagai stakeholders di wilayah tersebut.
Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten perlu
dikelola secara baik melalui mekanisme pengelolaan terpadu. Dalam konteks ini,
keterpaduan bermakna tiga dimensi: intersectoral integration, interdisciplinary
approaches dan ecological linkages. Intersectoral integration diperlukan
mengingat koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor pada
level pemerintahan tertentu dan antar level pemerintahan merupakan kunci bagi
keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.
Tingginya kompleksitas dan dinamika wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
memerlukan keterlibatan berbagai disiplin ilmu (interdisciplinary approaches)
untuk mengantisipasi perubahan yang berlangsung begitu cepat. Pertimbangan
ecological linkages perlu diperhatikan, mengingat wilayah pesisir dan laut Teluk
Banten tersusun dari berbagai macam ekosistem yang saling berhubungan satu
sama lain serta dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia dan
Mekanisme pengelolaan terpadu menghasilkan output yang dapat digunakan
sebagai feedback untuk mengelola potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan
laut Teluk Banten di masa yang akan datang. Selain itu output ini juga bisa
digunakan sebagai masukan bagi proses pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten. Secara skematis, kerangka pemikiran pengelolaan
lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan disajikan pada
Gambar 1.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai berikut :
a. Manfaat ilmiah: penelitian ini memberikan sumbangan kecil bagi
pengembangan khasanah keilmuan di bidang kebijakan publik dalam
pengelolaan lingkungan, khususnya di wilayah pesisir dan laut.
b. Manfaat praktis:
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Serang dan Pemerintah Provinsi Banten:
penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam menyusun
rencana pembangunan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.
2. Bagi pelaku industri dan jasa: penelitian ini bermanfaat untuk memahami
strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun kemitraan
(partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar prinsip saling
menguntungkan.
3. Bagi penduduk setempat/nelayan/petani: penelitian ini bermanfaat untuk
membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah sehingga
masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
1.5 Kebaruan Penelitian
Berdasarkan laporan dari Indonesian-Dutch Teluk Banten Research
Programme on Integrated Coastal Zone Management, diketahui bahwa telah
dilakukan penelitian-penelitian dengan mengambil objek/lokasi studi di wilayah
pesisir dan laut Teluk Banten. Penelitian Douven (1999) berhasil mengidentifikasi
sejumlah aktivitas manusia yang bersifat menekan eksistensi ekosistem pesisir
Glimmerveen (2001) merancang sebuah model interaksi antara sistem alam dan
sosial-ekonomi terkait dengan aktivitas penangkapan dan perdagangan ikan di
wilayah pesisir Teluk Banten. Ambarwulan dan Hobma (2004) merancang model
bio-optik penyebaran total suspended matter (TSM) di perairan Teluk Banten
dengan bantuan citra satelit. Beberapa penelitian lain yang dilakukan dengan
mengambil objek/lokasi studi di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada
umumnya berbasis pada bidang ilmu tertentu (bersifat monodisipliner) dan tidak
terkait dengan dimensi waktu (statis). Penelitian yang mengambil objek studi
burung-burung endemik di Cagar Alam Pulau Dua dengan kajian pada aspek
ekologi, misalnya, tidak mengkaji keterkaitannya dengan aspek sosial dan
ekonomi yang mendukung eksistensi burung-burung tersebut dan
kecenderungannya di masa yang akan datang.
Penelitian ini dilakukan melalui kajian secara terpadu terhadap
persoalan-persoalan yang berkembang di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Kajian
aspek biofisik dilakukan secara terintegrasi dengan aspek eko nomi dan sosial serta
disimulasikan menurut dimensi waktu pengelolaan. Secara keseluruhan, penelitian
ini didisain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi
dan preservasi ekologi. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kerangka integrated
coastal zone management (ICZM), penelitian ini memberikan sumbangan kecil
bagi upaya pengelolaan berbagai issue global, terutama yang berkaitan dengan
Gambar 1. Gambar 1.Kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Teluk Banten berkelanjutan
Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
Penduduk
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berke lanjutan Ekosistem Bidang permasalahan
wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
Bidang
remote sensing dan GIS
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah daratan dan lautan dengan
karakteristik yang khas. Banyak pendapat yang berbeda dalam menetapkan batas
wilayah pesisir dan laut. Pendapat yang ekstrim mengatakan, wilayah pesisir dan
laut meliputi kawasan yang sangat luas, dimulai dari batas lautan terluar (zona
ekonomi eksklusif, ZEE) sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut.
Pendapat ekstrim lainnya mengatakan, wilayah pesisir dan laut hanyalah sebuah
kawasan yang sangat sempit, dimulai dari pasang tertinggi sampai 200 m ke arah
darat; sedangkan ke arah laut sampai dengan garis pantai pada saat surut terendah.
Dalam konteks interaksi daratan-lautan, Joseph dan Balchand (2000) mengatakan,
bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan perluasan dataran pantai sampai bibir
luar paparan benua (continental shelf), daerah yang selalu tergenang selama
fluktuasi muka air laut terjadi.
Untuk kepentingan pengelolaan, Dahuri et al. (2004) menyarankan batas
wilayah pesisir dan laut yang dipandang dari dua pendekatan. Dari pendekatan
perencanaan (planning zone), wilayah pesisir dan laut meliputi seluruh daratan
(hulu) di mana terdapat kegiatan manusia yang masih menimbulkan dampak
secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Dari sudut pandang
pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan sehari-hari (day-to-day
management), wilayah pesisir dan laut ditetapkan sesuai dengan wilayah
kewenangan yang disepakati bersama di antara otoritas pengelola. Wilayah
pengaturan selalu lebih kecil dan berada di dalam wilayah perencanaan.
Wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang kompleks; di dalamnya
terjadi interaksi berbagai proses: alami (misalnya hidrologi dan geomorfologi),
sosial, budaya, ekonomi, administrasi dan pemerintahan (French, 2004). Dalam
perspektif ekonomi-ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang
dicirikan oleh adanya interrelasi secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi
(Turner, et al., 1998). Kompleksitas sistem baik dari aspek sosial, ekonomi,
1999). Wilayah pesisir dan laut juga dikenal karena keunikan historis dan
arkeologisnya (Meulen dan Haes, 1996).
Karena posisinya yang berada di daerah perbatasan antara daratan dan
lautan, wilayah pesisir dan laut memiliki kondisi lingkungan yang sangat
beragam. Faktor-faktor biofisik yang menyusun keunikan wilayah ini ditunjukkan
dengan sangat nyata, misalnya tingkat elevasi (rendah-sedang-tinggi), jenis air
(asin-payau-tawar), tingkat pasang-surut dan jenis tanah (pasir-tanah liat).
Dijumpai banyak bukit pasir (sand dunes) dan jenis tumbuhan asli (indigenous)
pantai di wilayah ini. Kebanyakan dari jenis-jenis tumbuhan itu bersifat endemik.
Karena keunikan ini, wilayah pesisir dan laut dinilai penting dalam konteks
konservasi. Clark (1998) menilai perlindungan terhadap kekayaan sumberdaya
wilayah pesisir pada sisi wetside (lautan) perlu dilakukan melalui ko ntrol terhadap
pemanfaatan sumberdaya yang berada pada sisi dryside (daratan).
Wilayah pesisir dan laut juga memiliki nilai penting dalam konteks
sosial-ekonomi. Sekitar 70% penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir (MacDonald,
2005). Berbagai aktivitas ekonomi penting penduduk dunia seperti permukiman,
industri, pertanian dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir telah
memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk secara
signifikan (Tol et al., 1996; Joseph dan Balchand, 2000). Pariwisata sebagai salah
satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah
pesisir dan laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Aktivitas
industri dan permukiman yang intensif telah mendorong wilayah pesisir dan laut
berkembang menjadi wilayah dengan dinamika yang semakin besar di masa yang
akan datang. Wilayah pesisir dan laut memiliki tingkat kelimpahan sumberdaya
yang tinggi namun sarat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kondisi ini
cenderung menyimpan potensi konflik yang besar, yang apabila tidak dikelola
dengan baik (mismanagement), akhirnya akan membawa kerugian baik secara
ekonomi maupun ekologi (Aguero et al., 1996).
Pengelolaan wilayah laut berkaitan erat dengan kebijakan nasional
masing-masing negara. Lautan merupakan kesatuan dari permukaan, kolom air, sampai ke
dasar dan bawah dasar laut. Dasar hukum yang digunakan oleh negara-negara
1982 (UNCLOS 1982). Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki
kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya (seperti minyak dan gas bumi,
perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya) yang berada di dalam zona yang
diatur di dalam konvensi tersebut.
2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut
2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)
Dunia yang kini berada dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat, perlu
mengimbangi diri dengan melakukan konservasi terhadap berbagai ekosistem
alami yang masih tersisa. Perlindungan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut secara berkelanjutan kini menjadi issue penting yang mendapat
perhatian besar para ilmuwan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang
semakin pesat (Joseph dan Balchand, 2000).
Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga
kelestariannya, di antaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs),
padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut
merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi
generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman
selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami
yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga
secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998).
Ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam
menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem
ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun
dan estuaria merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini
berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery
ground) dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground)
(Supriharyono, 2002).
Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove
berlokasi di daerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau
di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengatakan, bahwa
Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksplotasi secara
ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam
hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udang/ikan yang masih
muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi,
perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di
dataran lumpur dan perakarannya.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik. Ekosistem ini
dijumpai di daerah tropik, di perairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari
30 m) dan suhu di atas 20ºC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang
berperan penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang
bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang,
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan
baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang
hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses
sedimentasi (Dahuri et al., 2004).
Seperti terumbu karang, ekosistem padang lamun juga dijumpai hanya di
laut dangkal. Tumbuhan lamun dinilai unik bila dibandingkan dengan tumbuhan
laut lainnya, karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya
yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas
ekosistem (Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting
dalam memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan
menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi
alam dan aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun
menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan
sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan.
Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut,
sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar.
Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan
komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Supriharyono,
2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria
memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di
laut (kemampuan mentolerir perubahan kadar garam terbatas), hewan air tawar
(tidak mampu mentolerir perubahan kadar garam), dan hewan air payau (tidak
ditemukan hidup di air laut maupun air tawar) (Widiati, 2000).
Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada
ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria memungkinkan
tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di wilayah tersebut.
Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil (small scale fisheries) yang
diusahakan oleh masyarakat (artisanal) mendominasi jenis perikanan tangkap di
Indonesia. Perikanan rakyat ini biasanya berlokasi di pantai utara Jawa, Selat
Malaka, Selat Bali dan Selat Makassar (Supriharyono, 2002). Tingginya aktivitas
penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya
overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya
permasalahan sosial.
2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources)
Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari
sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu
kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B (mineral
vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri; misalnya
granit dan pasir). Potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut
Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Cadangan minyak dan gas Indonesia tersebar di 60 cekungan (basins), yang
sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna,
Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor (Dahuri et al.,
2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda
(sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan
Maluku Utara serta Sulawesi Utara.
Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan
bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu
pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan
agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin