• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Sejak dicanangkan teori dan konsep pembangunan berkelanjutan oleh komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan yang juga dikenal dengan komisi Brundtland (WCED,1987), semua konsep dan teori yang terkait dengan pembangunan tertuju pada pola pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan tersebut adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengandung dua gagasan penting, yaitu ; kebutuhan, terutama kebutuhan esensial kaum miskin sedunia dan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga aspek utama, yaitu : (1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3) pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan, yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, dan antar negara. Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yaitu : “Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup manusia ? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungannya ? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari pembangunan ?.

Munasinghe(1992) menggambarkan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut dalam suatu segitiga Mobius yang sisinya terdiri dari

(2)

komponen ekonomi, lingkungan dan sosial, yang dinyatakan pada Gambar 2. Keberlanjutan ekonomi, adalah untuk memaksimumkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dalam pengelolaan dari stok modal yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan memfokuskan kepada segala sesuatu tentang kelangsungan hidup dan berfungsinya sistem alam secara normal.

Akhirnya, keberlanjutan sosial merupakan kondisi sosial yang mampu mendukung secara penuh kualitas kehidupan yang adil dan sejahtera, sehat, serta produktif bagi semua anggota masyarakat pada masa kini dan masa mendatang.

Bengen (2000) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak.

Gambar 2 Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan • persamaan antar generasi

• kebutuhan dasar

• persamaan antar generasi • nilai-nilai / budaya • penilaian / internalisasi • terjadinya dampak • pemberdayaan • konsultasi • pemerintahan • keanekaragaman hayati • sumberdaya alam • polusi • pertumbuhan • efisiensi • stabilitas Kemiskinan Persamaan hak Keberlanjutan Evolusi secara sinergis

(3)

Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

Kegiatan pembangunan wilayah pesisir sangat kompleks karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antar daratan dan lautan. Tentu saja, wilayah pesisir akan dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan yang ada di daratan maupun di lautan atau di wilayah pesisir itu sendiri.

Dahuri (1998) menyatakan bahwa ditinjau dari perspektif ekologi, terdapat empat pedoman pembangunan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yaitu : (1) keharmonisan ruang; (2) pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal ; (3) pengendalian polusi dan (4) minimasi dampak lingkungan.

(1). Keharmonisan ruang. Keharmonisan ruang mengandung makna bahwa ruang pesisir (lahan dan laut) tidak hanya untuk pembangunan intensif tetapi juga untuk zona konservasi dan preservasi. Oleh karena itu, wilayah pesisir dibagi menjadi tiga zona, yaitu : (1) preservasi ; (2) konservasi ; dan (3) pembangunan intensif. Zona preservasi meliputi daerah yang memiliki nilai alami tinggi, biasanya dikaitkan dengan sifat unik dan luar biasa dari kondisi alam tersebut. Zona preservasi ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan riset, pendidikan, dan rekreasi terbatas (ekowisata). Sebagai contoh sabuk hijau mangrove merupakan salah satu zona preservasi, sesuai dengan UU No 27 / 2007.

Sedangkan zona konservasi merupakan zona pemanfaatan sumberdaya pesisir secara bijaksana. Hal tersebut mengandung makna bahwa kegiatan pembangunan harus berdasarkan teori menjaga dan memanfaatkan sumberdaya pesisir yang dapat pulih. Kegiatan yang diperbolehkan adalah rekreasi, permukiman, perburuan, perikanan terbatas (artisanal), konstruksi infrastruktur terbatas.

Zona berikutnya adalah zona pembangunan intensif. Zona ini diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan yang merusak lingkungan, seperti : industri, pelabuhan, permukiman padat, budidaya tambak intensif, pertanian intensif.

(2). Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal hanya dapat dilakukan apabila

(4)

pernyataan Clark (1985) dalam Dahuri (1998), yaitu apabila wilayah pesisir dipertimbangkan sebagai penyedia (supplier), kriteria optimalitas (keberlanjutan) untuk pemanfaatan tidak boleh melebihi jumlah sumberdaya pulih (renewable resources) yang diambil dari pada yang dihasilkan maupun yang diperbaharui selama periode waktu tertentu. Sedangkan untuk sumberdaya tak pulih ( non-renewable resources), eksploitasinya harus dilakukan secara bijaksana sehingga dampak yang terkait tidak membahayakan lingkungan pesisirnya. Goodland and Ledec (1987) dalam Dahuri (1998) menyatakan bahwa laju pengambilan sumberdaya tak pulih harus selambat mungkin sehingga memberikan kesempatan transisi masyarakat secara berurut ke sumberdaya yang dapat diperbaharui sebagai penggantinya.

(3). Pengendalian polusi. Pengendalian polusi bertujuan untuk memastikan bahwa semua limbah dari kegiatan pembangunan baik yang di wilayah pesisir maupun di luarnya tidak melampaui kapasitas asimilasi. Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan wilayah pesisir menyerap sejumlah limbah tertentu sebelum terjadi kerusakan lingkungan atau kesehatan. Dalam hal ini, kapasitas asimilasi dapat dinyatakan sebagai daya dukung wilayah pesisir dalam menerima limbah.

(4). Minimisasi dampak lingkungan. Minimisasi dampak lingkungan merupakan suatu keharusan dalam pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan. Semua kegiatan pembangunan mempunyai dampak pada ekosistem alami. Sebagai contoh adalah budidaya tambak intensif, konversi mangrove ke pemanfaatan tertentu, ekowisata massal, dan pembangunan industri.

Menurut Bengen (2000), secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Seperti pernyataan Dahuri (1998), keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan tetapi sebagian harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona-zona ini sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sumber keanekaragaman hayati. Zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya seluas 30 - 50% dari luas totalnya.

(5)

Fungsi Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Fungsi mangrove mempunyai banyak manfaat dalam menjaga ekosistem wilayah pesisir. Bengen (2000) menyatakan beberapa fungsi ekologis penting dari mangrove, yaitu : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari aberasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pemakan detritus dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan, (3) sebagi daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung ditetapkan bahwa kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian dengan lebar 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat dan sempadan sungai adalah 100 meter di kanan-kiri sungai besar serta 50 meter di kanan-kiri sungai kecil. Sempadan pantai dan sempadan sungai merupakan lahan potensial sebagai jalur hijau demi menjaga kelangsungan ekosistem di dalamnya. Jalur hijau mangrove ditentukan dengan lebar minimal 130 kali nilai rerata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Untuk kawasan pertambakan, keberadaan pohon mangrove difungsikan sebagai sabuk hijau yang dikenal sebagai mangrove green belt (MGB). Boers(2001) menyatakan bahwa MGB dapat difungsikan sebagai penyaring (filter) air yang masuk tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan oleh virus maupun bakteri karena beberapa hewan, seperti oyster, berkoloni dengan akar pohon mangrove melalui kegiatan pemangsaan.

Boers (2001) juga memberikan model ideal pertambakan di wilayah pesisir. Beberapa sifat yang harus ada dalam model tersebut, yaitu :

1. Pasang surut yang signifikan

2. Sabuk hijau mangrove / mangrove green belt (MGB) 3. Aliran air satu arah (one way flow of water)

4. Tambak biofilter (biofilter pounds) 5. Tambak penyangga (buffer pounds)

(6)

Tambak biofilter berfungsi untuk mempertahankan kualitas air sebelum dimasukkan ke tambak budidaya atau pembesaran udang.Tambak biofilter ini biasanya diisi dengan rumput laut (seaweeds) dan organisme pemangsa untuk menghilangkan penyakit, bahan partikulat terlarut, dan nutrien. Sedangkan tambak penyangga (buffer ponds) berfungsi untuk mencegah pemangsa udang masuk kedalam tambak budidaya karena mangrove sebagai sabuk hijau juga merupakan habitat bagi sejumlah predator, seperti kadal (Varannus spp.).

Daya Dukung Wilayah Pesisir

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Daya dukung merupakan istilah yang lebih umum untuk karakter lingkungan dan kemampuannya dalam mengakomodasi suatu kegiatan tertentu atau laju suatu kegiatan tanpa dampak yang tidak dapat diterima (Gesamp, 1986

dalam Nautilus Consultants, 2000). Dalam prakteknya, dikenal beberapa istilah daya dukung. Daya dukung adalah jumlah organisme, atau jumlah kegiatan usaha atau total produksi, yang dapat didukung oleh suatu area, ekosistem atau garis pantai yang didefinisikan (Nautilus Consultants, 2000). Untuk suatu wilayah yang didefinisikan, dikenal dengan istilah daya dukung wilayah, yaitu kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan berbagai pemanfaatan sumberdaya (kegiatan pembangunan). (Clark, 1992). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi dapat menurun akibat kegiatan manusia yang menghasilkan limbah atau kerusakan alam, seperti bencana alam, atau bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (Clark,1996).

Scones (1993) membagi daya dukung menjadi dua, yaitu : daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.

(7)

Menurut Bengen (2002a), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : daya dukung ekologis, fisik, sosial dan ekonomi.

1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.

2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik.

3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan.

4. Daya Dukung Ekonomis : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.

Dari keempat daya dukung tersebut yang sering digunakan adalah daya dukung ekologis, yang juga disebut sebagai daya dukung lingkungan. Pada penelitian ini akan lebih diprioritaskan pada kajian daya dukung lingkungan dari pada daya dukung lainnya. Daya dukung lingkungan dan daya dukung ekonomis akan dijabarkan lebih detil pada sub-bab berikut ini.

Daya Dukung Lingkungan (Daya Dukung Ekologis)

Menurut Purnomo (1992), daya dukung lingkungan merupakan nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung lingkungan lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh kualitas air, air sumber (asin dan tawar), hidro-osenografi (arus, pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah hulu. Dengan kata lain daya dukung lingkungan ditentukan oleh kualitas / karakteristik lahan dan perairannya.

Allen dan Hardy (1980) dalam Clark (1996) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan dampak lingkungan, daya dukung lingkungan merujuk pada tingkat maksimum kegiatan yang akan mengakibatkan penurunan sumberdaya

(8)

secara fisik atau kerusakan habitat alami. Dalam konteks pembangunan, sering digunakan istilah batas perubahan yang dapat diterima. Konsep ini kelihatan lebih fleksibel dengan harapan dampak bawaannya karena pembangunan akan memodifikasi sumberdaya (Clark, 1996).

Daya dukung suatu kawasan perairan didefinisikan sebagai kemampuan dalam memproduksi biota (ikan / udang) dengan tidak menunjukkan gejala perusakan kualitas air (pencemaran) (Widigdo dan Pariwono, 2003). Limbah yang dibuang dari proses produksi tidak mengakibatkan proses eutrifikasi perairan penerimanya. Limbah cair tambak biasanya dibuang ke sungai, perairan pantai atau langsung ke laut. Kapasitas atau daya tampung perairan untuk menerima limbah berbanding lurus dengan kualitas perairan.

Rakocy dan Alison (1981) dalam Widigdo dan Pariwono, (2003) menyatakan bahwa untuk menjaga kualitas perairan masih tetap layak (tanpa melebihi daya dukung lingkungan) untuk budidaya, maka perairan penerima limbah dari kegiatan budidaya harus memiliki volume antara 60 – 100 kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke perairan. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka jumlah limbah organik (V limbah tambak) yang dibuang ke perairan pesisir yang tidak melampaui daya dukung lingkungan adalah maksimum seperseratus kali dari volume air yang tersedia (V perairan). Secara matematis, hal tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

V perairan > 100 V limbah tambak

Dengan penyerderhanaan (dasar laut di perairan pantai yang diamati mempunyai variasi yang kecil) dan memperhatikan Gambar 3, volume perairan dapat dihitung dengan menggunakan rumus

V perairan = 0,5 h y ( 2 x – ( h / tan θ )) ……….…...…(1) ………(2) x Air Pasang Air Surut Kedalaman Air Intake h θ

(9)

Dengan ketentuan :

y = panjang garis pantai kawasan h = kisaran pasang

x = jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik dimana kedalaman air pada saat surut adalah satu meter dan tidak lagi terpengaruh oleh gerakan turbulen air dasar.

θ = sudut kemiringan pantai

Dengan diketahuinya V perairan, maka V limbah dapat dihitung berdasarkan rumus (2). Karena limbah utama dari kegiatan budidaya udang adalah bahan organik yang terutama berasal dari sisa-sisa pakan, kotoran, dan bahan-bahan terlarut, maka prediksi limbah dapat dikaitkan dengan jumlah pakan yang diberikan. Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994)

dalam DKP-Dirjen UP3K dan PKSPL-IPB (2000) terhadap tambak udang intensif menyebutkan bahwa 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85 % yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. 20 % dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa faeces. Jadi limbahnya sebesar 35 % dari pakan yang diberikan. Untuk jenis tambak tertentu ( intensif / semi intensif / tradisional ), jumlah pakan dapat dikaitkan dengan udang yang dihasilkan yaitu dengan Food Conversion Ratio (FCR) dan produktivitas tambak akan juga terkait dengan luas tambak. Jadi luas tambak yang sesuai dengan daya dukungnya juga dapat ditentukan. Luas tambak ini yang akan digunakan sebagai pembatas dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir.

Dengan diketahuinya daya dukung, pemanfaatan wilayah pesisir, khususnya untuk pertambakan, dapat dilaksanakan secara berkelanjutan karena daya dukung tersebut sebagai salah satu kriteria atau batasan dalam pengembangan / pengelolaan wilayah pesisir.

Widigdo dan Pariwono (2003) juga mengembangkan metode penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Metode penilaian daya dukung tersebut didasarkan pada ketersediaan air yang ada di perairan untuk menampung limbah budidaya tambak. Metode tersebut sudah diterapkan di pantai utara Jawa Barat (Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Subang) untuk budidaya udang.

(10)

Metode penilaian daya dukung lingkungan ini juga sudah diujicobakan oleh Rustam (2005) dan Sitorus (2005). Rustam (2005) menggunakan metode tersebut untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan pesisir Kabupaten Barru Sulawesi Selatan untuk budidaya udang. Dengan metode tersebut, luas areal tambak yang dapat didukung oleh perairan di daerah tersebut agar tetap lestari sebesar 694,6 ha untuk tambak intensif atau 1389,2 ha tambak semi-intensif. Hasil tersebut digunakan untuk menggambarkan rencana pengembangan budidaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, Rustam juga meggunakan pendekatan lainnya dalam menentukan daya dukung lingkungan, yaitu :berdasarkan oksigen terlarut dengan limbah organik dan kapasitas asimilasi perairan (kemampuan perairan untuk menerima limbah tanpa menyebabkan perairan tercemar). Lebih jauh Sitorus(2005) menggunakan metode estimasi daya dukung lingkungan tersebut untuk pengembangan areal tambak berdasarkan laju biodegradasi limbah tambak di perairan pesisir Kabupaten Serang.

Meskipun metode ini menggunakan penyederhanaan dan beberapa asumsi namun metode ini telah memberikan gambaran tentang ketersediaan air di perairan sekitar kawasan pertambakan. Kelemahan metode penentuan daya dukung lingkungan ini hanya didasarkan pada pendekatan ketersediaan air di perairan wilayah pesisir. Padahal di beberapa lokasi, ketersediaan air bukan merupakan faktor pembatas dalam pengembangan budidaya tambak sehingga pendekatan yang lain masih perlu dipertimbangkan lagi selain metode tersebut.

Metode penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan masih terus dikembangkan. Menurut Purnomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen fisika, kimia, dan biologi dalam suatu kesatuan ekosistem. Dari ide tersebut, timbul pemikiran untuk mengkaitkan kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif dengan daya dukung lingkungan yang bersifat kuantitatif karena kesesuaian lahan pesisir juga dipakai untuk mengevaluasi potensi pesisir untuk budidaya perikanan secara menyeluruh. Oleh karena itu, metode penilaian daya dukung lingkungan dengan pendekatan yang baru dan menyeluruh ini akan diuji cobakan dalam penelitian ini. Metode ini akan mengkuantifikasi kelas kesesuaian lahan untuk pertambakan menjadi nilai daya dukung lingkungan kawasan pertambakan.

(11)

Pada penelitian ini, daya dukung kawasan pertambakan tersebut dipakai sebagai faktor pembatas dan dipertimbangkan sebagai prioritas utama dalam optimalisasi pemanfaatan lahan pesisirnya. Pertimbangan daya dukung sebagai prioritas utama karena pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan sudah melampaui daya dukung. Oleh karena itu, optimalisasinya lebih cenderung ditekankan pada perbaikan kualitas lingkungan sehingga diharapkan ke depan pengelolaan kawasan pertambakan tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

Daya Dukung Ekonomis

Daya dukung ekonomis suatu kawasan pertambakan merupakan tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum pada suatu kawasan pertambakan dan ditentukan oleh tujuan usaha budidaya tambak secara ekonomi. Salah satu cara untuk menentukan daya dukung ekonomis ini adalah melihat produksi maksimum suatu kawasan pertambakan dalam rentang waktu tertentu, yang dikaitkan dengan rentang waktu hidup budidaya tambak tersebut.

Daya dukung ekonomis kawasan pertambakan pernah dilakukan oleh Cheng Gong, et al., (1997). Mereka memprediksi nilai daya dukung budidaya persisir dan laut di Xiamen dengan metode analisis regresi. Metode penilaian daya dukung ekonomis ini dipakai berdasarkan laporan kondisi produksi secara riil dan time-series sehingga daya dukung yang dicari sebenarnya daya dukung ekonomis. Hasil akhir metode ini adalah luas lahan yang masih dapat didukung dalam kegiatan budidaya. Hasil tersebut sangat baik untuk memprediksi daya dukung suatu kawasan karena nilai variabelnya berdasarkan kondisi riil yang telah terjadi. Namun demikian, metode ini memerlukan data perkembangan produktivitas tambak dan luas lahan tambak secara time-series sehingga di beberapa tempat data time-series tersebut susah didapatkan.

Produksi budidaya tambak secara intensif lebih banyak dibandingkan dengan produksi budidaya tambak secara semi-intensif maupun tradisional tetapi rentang waktu hidupnya lebih pendek daripada keduanya. Produksi budidaya tambak yang paling rendah adalah budidaya tambak secara tradisional tetapi rentang waktu hidup yang paling panjang. Perbandingan tingkat produksi dan rentang waktu hidup tambak disajikan pada Gambar 4.

(12)

Sebagai gambaran, perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya udang untuk tiga tingkatan sistem budidaya di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Nilai produksi tambak udang tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut sebesar 162, 1.479 dan 4.392 kg ha-1 th-1 sedangkan biaya total perawatan tambak udang terkecil adalah biaya perawatan budidaya semi-intensif, yaitu 3,77 $US kg-1. Namun demikian untuk harga udang justru sebaliknya, yaitu : harga udang tertinggi dihasilkan dari budidaya udang tambak tradisional. Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas udang yang lebih alami (tidak banyak dipengaruhi oleh pakan buatan).

Secara umum, nilai produksi tambak tradisional, semi-intensif dan intensif untuk setiap musim tanam berturut-turut sebesar 20 - 100 kg ha-1, 1 – 2 ton ha-1, dan 2 – 5 ton ha-1 (Deb,1998). Tambak tradisional sedikit atau bahkan tidak menimbulkan dampak lingkungan dibandingkan dengan tambak semi-intensif Gambar 4 Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time)

yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang.

0 5 10 15 5 10 15 20 25 Intensif Semi Intensif Extensif Polikultur tradisional Produksi (ton ha-1 th-1) Tahun

(13)

maupun intensif karena benih dan pakannya diambil secara alami. Perbedaan masing-masing budidaya tambak tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya untuk tiga tingkatan budidaya di Indonesia

No. Komponen budidaya Tradisional Semi-intensif Intensif

1. Produksi (kg ha-1 th-1) 162 1.479 4.392 2. Biaya ($US kg-1) - Biaya variabel 2,66 2,95 3,40 - Biaya tetap 1,20 0,82 1,19 Total biaya 3,86 3,77 4,59 3. Harga udang 6,84 6,83 6,48 4. Keuntungan (Profit) 2,98 3,06 1,89

5. Keuntungan per ha per

tahun (Profitability) 482,76 4.525,74 8.300,88

Sumber : Boers (2001)

Tabel 2. Perbedaan budidaya tambak tradisional, semi-intensif, dan intensif.

No. Parameter Tradisional Semi-intensif Intensif

1. Produksi 20 – 100 kg ha-1 1 – 2 ton ha-1 2 – 5 ton ha-1

2. Benih Alami Alami / Hatchery Hatchery

3. Padat Penebaran

< 10 ekor m-2 10 - <30 ekor m-2 > 30 ekor m -2

4. Pakan Alami Pellet Pellet

5. Dampak terhadap lingkungan

Tidak ada / sedikit

Sedang - tinggi Sangat tinggi

6. Pengelolaan air Pasang surut Pompa/aerasi Pompa/aerasi

7. Kincir Tidak ada > 4 ha-1 > 8 ha-1

8. Kedalaman air 0,3 – 0,5 m 0,6 – 1,5 m 1,0 – 1,5 m

9. Luas tambak 3 – 10 ha 0,5 – 1,0 ha 0,25 – 0,5 ha

10. Waktu pemeliharaan

4 – 6 bulan 3 – 4 bulan 3 – 4 bulan

Sumber : Deb (1998)

Di Kabupaten Gresik, jenis tambak yang berkembang adalah tambak tradisional dengan budidaya udang dan ikan bandeng. Budidaya ikan bandeng lebih berkembang dari pada budidaya udang. Pada tahun 2002, produksi bandeng sebesar 87,75 % (16.166,70 ton / 18.424,40 ton) dan produksi udang hanya 12,25 %. Hal ini terlihat dari produksi yang dihasilkan selama tiga tahun (tahun 2000 – 2002), data disajikan pada Gambar 5.

Jadi sebenarnya ditinjau dari produksi maksimum suatu tambak, daya dukung ekonomis budidaya tambak tradisional lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung ekonomis budidaya tambak intensif maupun semi-intensif namun demikian rentang waktu hidup usaha budidayanya paling lama. Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, produksi maksimum suatu tambak juga ditentukan

(14)

oleh kondisi lingkungan perairannya sehingga keberlanjutan usaha budidaya tambak ditentukan juga oleh kondisi lingkungan perairan. Oleh karena itu, dalam pengelolaan wilayah pesisir, daya dukung ekologis perlu juga diperhatikan dalam mempertimbangkan pemilihan teknologi budidaya tambak yang akan diterapkan pada suatu kawasan pertambakan.

Evaluasi Kesesuaian Lahan Pesisir untuk Pertambakan

Menurut FAO (1976), proses penilaian kesesuaian lahan tambak adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan tambak dengan kualitas lahan pesisir yang terbawa pada satuan peta lahannya. Oleh karena itu, perlu dijelaskan tentang syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya tambak. Syarat-syarat penggunaan lahan pesisir tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis. Pada penelitian ini akan memakai syarat-syarat penggunaan lahan pesisir yang mendekati dengan kondisi daerah penelitian. Namun demikian, persyaratan secara umum akan diuraikan berikut ini.

Produksi tambak

(to

n

)

Gambar 5 Produksi tambak (ton) di Kabupaten Gresik pada tahun 2000-2002 Produksi tambak (Ton) di Kabupaten Gresik

Pada Tahun 2000-2002 16166,7 14453,6 16090,1 1098,9 1084,3 1015,1 1158,8 1072,8 1146,9 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 2000 2001 2002 Tahun P ro d u ksi t amb ak ( T o n )

Bandeng Udang Windu Udang Putih Sumber : BPS (2000 – 2003)

(15)

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan lahan untuk budidaya tambak, yaitu : sumber air (debit dan kualitasnya), amplitudo pasang surut, topografi, iklim, dan sifat tanah. Sumber air merupakan faktor yang utama dalam budidaya tambak karena air merupakan media untuk kehidupan ikan dan tempat pertumbuhan plankton dimana plankton merupakan salah satu sumber makanan ikan. Karena pentingnya sumber air bagi kehidupan perairan tambak, maka sumber air ini baik debit maupun kualitasnya dapat dijadikan sebagai ukuran penentuan daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya tambak. Selain itu, sumber air tersebut sangat sensitif terhadap pembangunan / pengembangan wilayah pesisir sedangkan amplitudo pasang surut, topografi, iklim dan sifat tanah cenderung kurang peka.

Sumber air dapat ditinjau dari kuantitas dan kualitas. Kuantitas air yang lalu lalang di perairan budidaya sangat dipengaruhi oleh pola arus dan pasang surut yang akan dijelaskan kemudian. Widigdo (2001) menyatakan bahwa kuantitas air sangat membantu dalam proses mencerna limbah tambak yang diterima kawasan tersebut. Makin banyak kuantitas air yang lalu lalang makin tinggi kapasitas mencerna limbahnya.

Sedangkan kualitas air menurut Boyd (1991) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) mengemukakan bahwa kualitas air akan mempengaruhi produksi ikan dalam tambak. Kualitas air tersebut antara lain : (a) oksigen terlarut, (b) salinitas, (c) suhu, (d) kekeruhan dan warna (kecerahan), (e) kemasaman (pH), (f) amoniak (NH3),dan (g) hidrogen sulfida (H2S). Penilaian

kualitas air untuk udang dan bandeng dinyatakan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Selain sumber air (kuantitas dan kualitas), amplitudo pasang surut, topografi, iklim, dan sifat tanah merupakan parameter penentu syarat kesesuaian lahan untuk tambak. Amplitudo pasang surut (pasut) merupakan salah satu penciri batasan dari wilayah pesisir. Amplitudo pasut tersebut menjadi syarat penting dalam penentuan lokasi tambak udang dan ikan bandeng, seperti yang dinyatakan Widigdo (2001) yaitu bahwa lahan yang cocok untuk kegiatan budidaya tambak adalah daerah yang masih terjangkau pasang surut dan lebih ideal lagi apabila terdapat sungai untuk membuat salinitas ideal bagi pertumbuhan udang dan bandeng.

(16)

Tabel 3 Kualitas air untuk udang (Achmad,1991; Boyd,1991)

No Peubah Kadar Kualitas

1 Oksigen terlarut (mg L-1)

> 5 1 – 5

< 1

Baik (ideal : 7 – 10 mg/l pada siang hari) Pertumbuhan terhambat Udang mati 2 Salinitas (o/oo) 12 – 20 20 – 35 > 35 > 50 < 12 Baik

Masih tumbuh normal Pertumbuhan lambat Mulai mati

Tidak terganggu sehebat salinitas tinggi, tetapi metabolisme pigmen tidak sempurna (warna udang lebih biru), kulit lunak.

3 Suhu (oC) 28 – 30 30 – 35 18 – 25 12 – 18 < 12 > 25 Baik

Masih tumbuh normal Nafsu makan mulai turun Mulai berbahaya

Mulai mati

Mulai berbahaya sampai mulai mati 4 Kecerahan (cm) 30 – 40

< 25 > 40

Baik

Phytoplankton “die-off” oksigen terlarut turun cepat Tidak baik,phytoplankton terlalu sedikit

5 pH 7 – 9 > 10 < 7 Baik Tidak baik Tidak baik 6 Amoniak (NH3) (mg L-1) < 0,3 Optimal 7 H2S (mg L-1) < 0,1 0,1 – 0,25 > 0,25 Baik Keracunan Kematian massal

Tabel 4 Kualitas air untuk bandeng

No Peubah Kadar Kualitas

1 Oksigen terlarut (mg L-1) > 3 Baik

2 Salinitas (o/oo) 15 – 30 Baik 3 Suhu (oC) 27 – 31 Baik 4 Kecerahan (cm) 20 – 40 Baik 5 pH 7,5 – 8,5 Baik 6 Amoniak (NH3) (mg L-1) - 7 H2S (mg L-1) - 8 Alkalinitas (ppm) > 150 Baik Sumber : Arsyad dan samsi (1990) dalam Hardjowigeno (2001)

Rerata tinggi air pasang dan rerata tinggi air surut merupakan hal yang harus diperhatikan dalam budidaya tambak. Rerata tinggi air pasang adalah rerata dari air pasang tertinggi dan air pasang terendah, sedangkan rerata tinggi air surut adalah rerata dari air surut tertinggi dan air surut terendah. Kedua rerata tersebut diperlukan untuk menetapkan daerah yang dinilai masih berada dalam batas-batas air pasang surut. Apabila daerah tersebut masih terletak dalam batas- batas pasang surut maka pembuatan tambak udang dan bandeng masih dimungkinkan. Selain itu, pada saat bulan purnama dan perbani, air pasang tertinggi tidak boleh melampaui tinggi pematang utama maupun pematang antara

(17)

tambak. Pada saat surut tertinggi, air kira-kira sejajar dengan pelataran tambak sehingga parit keliling masih penuh berisi air.

Topografi terkait dengan kecuraman, panjang dan bentuk lereng. Daerah yang datar dan masih dapat digenangi langsung oleh air pasang surut merupakan daerah yang sesuai untuk pertambakan. Ketinggian daerah tersebut tidak boleh melebihi tinggi permukaan air pasang tertinggi dan juga tidak boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terendah (tempat-tempat yang merupakan cekungan) sekalipun masih dekat pantai. Topografi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan kesulitan dalam pengelolaan air.

Iklim menyatakan kondisi curah hujan dan bulan kering di suatu tempat. Suseno (1988) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup baik untuk tambak adalah antara 2000 – 3000 mm th-1 dengan bulan kering 2 – 3 bulan. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk tambak karena pengelolaan tambak memerlukan pengeringan dasar tambak secara berkala untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H2S. Sebaliknya,

curah hujan yang terlalu rendah dan bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk pertambakan.

Dalam budidaya tambak, tanah mempengaruhi kondisi tambak, antara lain: tanah sebagai sumber hara dan pertumbuhan klekap maupun sebagai sumber unsur beracun dalam air tambak. Beberapa unsur hara yang mudah larut dalam air dapat mempengaruhi kualitas air tambak yang kemudian dapat mempengaruhi pertumbuhan plankton dan organisme lain dalam tambak tersebut. Klekap yang tumbuh di atas tanah berlumpur, umumnya lebih subur dari pada yang tumbuh di atas tanah berpasir.

Selain tersebut di atas, tekstur tanah yang bersifat porous dapat juga menimbulkan masalah dalam pengelolaan tambak karena tambak kurang mampu menahan air. Porositas yang tinggi umumnya disebabkan tekstur tanah yang kasar. Semakin kasar tekstur tanahnya semakin tinggi pula porositasnya sehingga semakin kurang cocok untuk budidaya tambak.

Secara umum, semua persyaratan kesesuaian lahan pesisir untuk budaya tambak disajikan pada Lampiran 1. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor pembatas terberat atau yang paling sulit diatasi dan faktor pembatas yang dipakai sebagai pembeda kelas tingkat kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian

(18)

lahan ditentukan berdasarkan metode FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) berikut ini.

1. Kelas S1 : sangat sesuai. Lahan tidak memiliki factor pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya memiliki pembatas yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi dan tidak menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

2. Kelas S2 : cukup sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

3. Kelas S3 : sesuai marjinal. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan

4. Kelas N1 : tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya sehingga mencegah penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

5. Kelas N2 : tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mempunyai pembatas permanent yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Sebenarnya dalam penilaian kesesuaian lahan, ada dua istilah penting, yaitu : kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual atau alami merupakan kesesuaian lahan yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada disetiap satuan peta. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan actual, pertama kali dilakukan penilaian terhadap masing-masing kualitas lahan berdasar atas karakteristik lahan terjelek, kemudian kelas kesesuaian lahannya ditentukan berdasarkan atas kualitas lahan terjelek.

Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usaha perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial

(19)

tersebut menggambarkan kondisi yang diharapkan setelah diberikan masukan (input) sesuai dengan tingkat pengelolaan yang akan diterapkan sehingga tingkat produktivitas suatu lahan dapat diperkirakan. Untuk menentukan jenis usaha perbaikan, karakteristik lahan yang tergabung dalam kualitas lahan harus diperhatikan.

Dalam budidaya tambak udang maupun ikan bandeng, sebenarnya kesesuaian lahan aktual / alami diterapkan pada jenis budidaya tradisional sedangkan untuk budidaya semi-intensif maupun intensif akan banyak terkait dengan kesesuaian lahan potensial karena di dalam budidaya semi-intensif dan intensif itu sendiri sudah menggunakan input teknologi dalam sistem budidayanya, seperti : penggunaan pompa untuk mengambil sumber air, penggunaan aerasi untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut.

Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan

Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU RI Nomor 27, 2007). Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya lainnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir untuk pertambakan tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan tata ruang daratannya karena wilayah pesisir yang digunakan untuk tambak juga dipengaruhi oleh aktivitas di darat, terutama yang terkait dengan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, dalam perencanaan pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan harus memahami karakter sumberdaya dan proses lingkungan, karakter ekonomi dan masyarakat lokal, serta kekuatan dan kelemahan daerah studi dalam ekonomi nasional maupun internasional.

Pemodelan LGP untuk Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Pesisir

Model optimasi pemanfatan ruang pesisir akan dikembangkan dengan menggunakan pemrograman tujuan ganda. Salah satu dari pemrograman tujuan ganda adalah linear goal programming (LGP). Pendekatan ini telah digunakan oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan.

Program tujuan ganda merupakan teknik pemrograman matematik untuk menyelesaikan suatu masalah , penarikan keputusan dengan beberapa tujuan /

(20)

sasaran. Ciri utama program tujuan ganda ini adalah : (1) sasaran yang ingin dicapai diberi urutan prioritas, (2) pemenuhan sasaran berdasarkan urutan prioritas, dari yang tinggi ke rendah, (3) sasaran tidak harus terpenuhi secara tepat, tetapi mengurangi penyimpangan dari sasaran.

Menurut Gallagher and Watson (1980) dalam Budiharsono (2001), pengembangan model LGP tersebut pada dasarnya bertujuan meminimumkan simpangan (deviasi) terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kendala-kendala atau syarat ikatan yang ada, yaitu kendala tujuan. Secara umum model LGP tersebut adalah sebagai berikut:

Meminimumkan fungsi Tujuan :

Kendala tujuan / target :

Kendala riil / fungsional :

Dengan ketentuan :

Model optimalisasi LGP telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Mahmudi (2002) menggunakannya dalam mengoptimalkan penggunaan lahan dan penetapan daya dukung lingkungan di daerah tangkapan air Cilampuyang, Sub-Das

: peubah keputusan (jenis penggunaan ruang) ke – j : koefisien Xj pada kendala tujuan (goal) ke- i : koefisien Xj pada kendala riil ke- k

: sasaran / tujuan target ke - i

: jumlah sumberdaya k yang tersedia

: jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan ke-i (gi)

: jumlah unit deviasi yang kelebihan (+) terhadap tujuan ke- i (gi )

: faktor prioritas ordinal ke- k

: bobot relatif dari di+ dan di- dalam urutan prioritas ke- k

: 1, 2, 3 ……., m , nomor fungsi kendala : 1, 2, 3 ……., n , nomor peubah keputusan

: 1, 2, 3 ……., p , urutan prioritas dari fungsi kendala.

k

j

i

W

P

d

d

f

g

a

e

X

ki k i i k i kj ij j + − Min

(

)

= − + = + = m l i i kl P k k W d d P Z 1 1 . ... (3)

= + −

=

+

n j i i i j ij

X

d

d

g

e

1 ………... (4)

=

n j k j kjj

X

f

a

1

=

n j k j kjj

X

f

a

1 atau ... (5)

0

0

,

,

=

+ − + − i i i i j

d

d

d

d

X

………... (6) ………... (7)

(21)

Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Yulistyo (2006) juga menggunakan LGP untuk keperluan analisis kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara. LGP diterapkan untuk mengalokasikan jumlah armada dari teknologi penangkapan yang terpilih secara optimum.

Kelemahan model LGP ini adalah apabila asumsi yang dipakai untuk mendeskripsikan keadaan kurang tepat. Kesalahan dapat terjadi apabila fungsi tujuan dan kendala yang sebenarnya tidak linier tapi diasumsikan linear. Namun demikian, apabila fungsi tujuan dan kendala memang linear atau mendekati linear, maka LGP tersebut merupakan model yang sangat baik untuk menyelesaikan permasalahan optimalisasi.

Jadi penggunaan model LGP tersebut bermanfaat dan diterapkan untuk berbagai bidang kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian ini, aplikasi LGP tersebut digunakan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan dengan pertimbangan faktor ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Selain itu, optimalisasi tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan sebagai faktor pembatas dan merupakan prioritas utama. Hal tersebut merupakan suatu pendekatan optimalisasi lahan secara komprehensif dan aplikasi LGP yang belum pernah diujicobakan dalam suatu penelitian.

Arahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Saat ini Di Kabupaten Gresik

Berdasarkan RTRW Kabupaten Gresik 2000 – 2010, daerah studi termasuk dalam Satuan Wilayah Pengembangan Pertama (SWP I). Kegiatan utama yang dikembangkan di wilayah ini adalah pengembangan perikanan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertambangan, perumahan, pariwisata dan industri kecil.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Khusus Gresik Utara Tahun 2002 – 2012 (BAPPEDA KAB GRESIK dan ITS, 2002), tiga kecamatan pada daerah studi (Kecamatan Sidayu, Bungah dan Ujungpangkah) merupakan kawasan andalan untuk sektor budidaya perikanan. Disebutkan juga bahwa sub sektor unggulan ini perlu dibenahi. Usaha yang harus dilakukan diarahkan pada kegiatan berikut ini :

1. Peningkatan teknologi budidaya tambak, 2. Penanggulangan masalah pencemaran air,

(22)

3. Rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang, 4. Peningkatan teknologi armada dan alat penangkap ikan, 5. Peningkatan kualitas SDM nelayan dan petani tambak, 6. Peningkatan penanganan pasca panen produk perikanan.

Selain itu disebutkan juga bahwa Kabupaten Gresik akan mengembangkan wilayah pesisirnya untuk perluasan industri. Pengembangan industri tersebut hingga sampai Kecamatan Manyar, sebelah selatan daerah studi.

Dari arahan penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Khusus Gresik Utara Tahun 2002 – 2012 (BAPPEDA KAB GRESIK dan ITS, 2002) diketahui bahwa penggunaan lahan untuk usaha budidaya tambak di Kecamatan Bungah dan Ujungpangkah cenderung menurun. Untuk Kecamatan Bungah, luas tambak menurun dari 3160,76 ha (kondisi eksisting) menjadi 2960,76 ha dan Kecamatan Ujungpangkah, luas tambak menurun dari 4060,3 ha (kondisi eksisting) menjadi 1268,00 ha sedangkan penggunaan lahan di Kecamatan Sidayu tetap dipertahankan, yaitu seluas 1447 ha.

Secara umum, pola penggunaan lahan di daerah studi dapat dibedakan menjadi empat bagian, yaitu : tambak, permukiman / perumahan, tegalan dan sawah. Pola penggunaan lahan tersebut diperlihatkan pada Lampiran 2. Hasil perhitungan berdasarkan peta digital dan citra satelit 2005 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan yang ada didominasi oleh kawasan pertambakan (11.911,50 ha), kemudian diikuti tegalan (6.178,81 ha), sawah (5.546,33 ha) dan permukiman (1.393,48 ha).

Luas masing-masing penggunaan lahan tersebut sedikit berbeda dengan data dari Badan Pusat Statistik / BPS (2002) yang dapat dilihat pada Lampiran 2, untuk kawasan pertambakan seluas 8.972,94 ha, tegalan sebesar 6.218,86 ha, permukiman seluas 2.940,00 ha, dan sawah sebesar 2.862,33 ha. Perbedaan luas penggunaan lahan tersebut dapat terjadi karena dasar penentuan luasnya memang berbeda.

Pada penelitian ini, luas kawasan pertambakan ditentukan berdasarkan peta karena luas tersebut diperoleh dari kondisi kawasan pertambakan saat ini berdasarkan citra satelit tahun 2005 dan 2002 serta sumber lain yang disebutkan pada peta. Luas kawasan pertambakan tersebut lebih besar dari pada luas tambak yang dinyatakan BPS. Luas kawasan pertambakan tersebut termasuk luas mangrove, oleh karena itu, jumlahnya lebih besar.

(23)

Berdasarkan BPS (2002), di Kecamaan Ujung Pangkah, luas tambak, tegalan, permukiman dan sawah berturut-turut sebesar 4.304,11 ha, 3.275,12 ha, 1.156,00 ha dan 874,78 ha. Di Kecamaan Sedayu, luas tambak, tegalan, sawah dan permukiman berturut-turut sebesar 1.742,55 ha, 1.273,28 ha, 968 ha dan 867 ha. Di Kecamaan Bungah, luas tambak, tegalan, sawah dan permukiman berturut-turut sebesar 2.926,28 ha, 1.670,46 ha, 1.018,89 ha dan 917,00 ha. Jadi di ketiga kecamatan daerah studi, penggunaan lahan tambak merupakan penggunaan lahan yang terbesar. Oleh karena itu, kondisi biofisik maupun kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat setempat sangat bergantung pada kondisi tambak.

Pertambakan di daerah studi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu tambak sepanjang tahun terus menerus dan tambak yang dirotasi dengan padi sawah. Usaha tambak sepanjang tahun dijumpai pada daerah tepi pantai di sekitar vegetasi mangrove yang selalu tersedia air payau sepanjang tahun. Pergiliran (rotasi) tambak dan padi sawah dijumpai pada lahan di sekitar tepian sungai Bengawan Solo. Pada musim kemarau saat kandungan salinitasnya relatif tinggi, lahan digunakan untuk tambak. Jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng dan udang (udang windu dan udang galah).

Usaha pertambakan di daerah studi telah lama dikembangkan oleh masyarakat setempat. Pada awalnya kegiatan pertambakan hanya ditujukan untuk budidaya ikan bandeng, tetapi dengan adanya peningkatan permintaan pasar (domestik maupun internasional) terhadap jenis-jenis udang penaid (udang windu) menyebabkan terjadinya pergantian jenis komoditas yang dipelihara di tambak, yaitu dari ikan bandeng ke udang windu. Selain itu, dengan berkembangnya teknologi budidaya tambak maka usaha pertambakan di daerah studi mengalami pergeseran pola usaha, yaitu dari budidaya ekstensif (tradisional) ke budidaya semi-intensif dan intensif. Pergeseran pola usaha budidaya tersebut terjadi sekitar tahun 1990 an.

Pergeseran pola usaha tersebut tidak diikuti dengan pengelolaan kawasan pertambakan yang baik. Air limbah yang dibuang ke perairan digunakan kembali oleh tambak lainnya. Hal ini yang mengakibatkan kualitas lingkungan tambak menurun sedikit demi sedikit dan pada akhirnya secara kumulatif mengakibatkan produksi tambak menurun. Pada saat ini usaha tambak di daerah pasang surut berubah hanya ke budidaya tradisional dan tradisional plus.

Gambar

Gambar  2   Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan •  persamaan antar generasi
Gambar 3    Ilustrasi kondisi perairan pantai
Tabel 1    Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya   untuk tiga tingkatan budidaya di Indonesia
Gambar 5  Produksi tambak (ton) di Kabupaten Gresik pada tahun 2000-2002 Produksi tambak (Ton) di Kabupaten Gresik
+2

Referensi

Dokumen terkait

Chua (2006) mendeskripsikan wilayah pesisir dengan memasukkan pentingnya aspek aktivitas manusia, karena sebagian besar wilayah pesisir telah dimanfaatkan oleh manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk budidaya tambak, budidaya karamba jaring tancap, dan budidaya rumput

Sebagai penyedia sumberdaya alarn yang produktif, pernanfaatan surnberdaya wilayah pesisir dan laut yang dapat pulih harus dilakukan dengan tepat agar tidak melebihi

Wilayah pesisir memiliki arti penting dan strategis bagi Provinsi Sulawesi Selatan baik dari segi ekologis, ketahanan pangan, ekonomi, keanekaragaman biologis, sosial budaya

Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu

Dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan (supply capacity) dalam menopang setiap pembanguan dan kehidupan manusia, sedangkan

Daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air bakau, pemupukan untuk

Dalam kaitannya dengan budidaya termasuk budidaya tambak udang GESAMP (2001), bahwa dalam banyak hal budidaya perairan merupakan suatu contoh klasik mengapa pengelolaan