• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan Berkelanjutan

Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan perspektif ekonomi dan ekologi (WCED, 1987). Konsep konservasi hanya mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan saja, sedangkan pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan manusianya.

Definisi pembangunan berkelanjutan menurut (FAO, 1995) dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan adalah: “pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan teknologi dan institusi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan generasi mendatang”. Pembangunan berkelanjutan seperti sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, konversi lahan, sumberdaya air, tumbuhan, dan hewan, tidak terdegradasi secara lingkungan, sesuai secara teknis, menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial.

Menurut Palunsu (1996) pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian yaitu : (1) memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan (3) mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.

Munasinghe (2002) dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Gambar 1).

(2)

Gambar 1 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002)

Selanjutnya Munasinghe (2002) menyatakan pembangunan berkelanjutan harus berdasar pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity” lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi; (3) aspek lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya.

Gambar 2 menjelaskan bagaimana menggabungkan kerangka “sustainomics”, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, yang akan mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yangdisesuaikan dengan tempat. Konsep pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, ekologi/lingkungan, dan hukum untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).

Munasinghe (2002) menyatakan bahwa perkembangan dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan. Efisiensi ekonomi memainkan

(3)

peranan dalam memastikan alokasi sumber daya dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan.

Menurut Anwar (2001) pencapaian pembangunan secara berkelanjutan, tidak cukup hanya melihat aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saja, namun mempertimbangkan aspek spasial dan temporal. Konsep keberlanjutan ini akan terus berkembang melalui proses perkembangan secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh nilai-nilai dalam masyarakat, manusia, perubahan keadaan ekonomi, serta perubahan dalam realitas politik.

Interaksi ketiga aspek pendukung pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut bertujuan untuk perbaikan tingkat kesejahteraan masyakat bukan hanya dipertimbangkan secara lokal untuk skala waktu masa kini saja, tetapi juga dalam sistem hirarki yang lebih luas melalui lintas skala manajemen dan temporal. Menurut Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek (Gambar 2) :

Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)

1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem dengan perhatian utama.

2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan.

(4)

3) Keberlanjutan komunitas: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan.

Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam yang mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan.

Konsep Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan

Budidaya tambak ramah lingkungan adalah budidaya tambak yang didalam proses pembuatannya dan proses produksi udangnya dilakukan dengan tidak merusak lingkungan, harus memperhatikan peraturan tata tertib lingkungan seperti : greenbelt, tandon buangan dan pemasukan air, perbandingan tambak dan hijauan (60% : 40%), tanpa antibiotika (Soewardi, 2007).

Tambak tradisional adalah tambak yang cara pembuatan hingga pengoperasiannya tidak menggunakan peralaran moderen, umumnya dilakukan oleh petani yang berpengetahuan rendah, berorientasi pada kelestarian, dan produktivitasnya tergantung dari alam. Teknologi budidaya tambak dibedakan atas, yaitu budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Pembagian sistem budidaya tersebut didasarkan pada beberapa kriteria berikut, yaitu : pakan, pengelolaan air, padat penebaran, ukuran petak tambak, dan produksi (Tabel 1).

Budidaya tambak intensif dapat menghasilkan produksi yang besar/ maksimal namun rentang waktu operasinya pendek, sebaliknya budidaya tambak tradisional produksinya kecil namun rentang waktu operasinya panjang. Strategi pengelolaan budidaya secara berkelanjutan (Boers (2001).

Pada umumnya, isu utama dalam perencanaan pembangunan budidaya tambak adalah : (1) teknologi yang tepat, (2) minimumkan dampak lingkungan dari budidaya

(5)

tersebut, (3) perhatikan daya dukung lingkungan, (4) minimumkan penyakit, (5) maksimumkan nilai produksi, dan (6) kurangi kemiskinan (Nautilus Consultants, 2000). Isu utama yang terkait dengan kondisi daerah studi akan dikaji dalam penentuan optimasi pemanfaatan lahan untuk pertambakan.

Tabel 1 Beberapa kriteria sistem budidaya tambak udang Tingkat sistem budidaya Kriteria

Tradisional Semi-Intensif Intensif

Pakan alami alami dan tambahan pakan formula lengkap

Pengelolaan air pasang surut pasut dan pompa pompa dan aerasi Padat penebaran

(ekor ha-1 musim-1) 1.000 – 10.000 10.000 – 50.000 100.000 - 500.000

Ukuran petak tambak (ha) 3 - 20 1 - 5 0,1 – 1,0

Produksi (kg ha-1th-1) 100 - 500 500 - 1000 2.000 – 20.000

Sumber : Suyanto dan Mujiman (2003)

Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan adalah buangan limbah budidaya selama operasi berupa bahan organik dan nutrien konsentrasi tinggi sebagai konsekuensi dari masukan faktor produksi dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan faeses yang larut ke dalam perairan sekitarnya (Johnsen et al., 1993; McDonald et al., 1996; Boyd, 1999). Dalam budidaya intensif sekitar 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25 - 30% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (McDonald et al., 1996).

Beban Limbah Budidaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan

Kibria et al., (1996) menyatakan terdapat hubungan linier yang positif antara laju kehilangan fosfor per ton ikan silver perch (Bidayus bidyus) dengan food conversion rasio (FCR). Karena itu, perbaikan FCR sangat penting untuk mereduksi beban limbah P dari sistem akuakultur ke dalam perairan.

Kehilangan P yang utama adalah yang bersumber dari feses dan pakan yang tidak termakan. Akan tetapi, pelepasan P tersebut ke dalam lingkungan perairan tergantung pada karakteristik fisika-kimia perairan seperti pH, temperatur, oksigen, turbulensi dan aktivitas mikroba (Persson, 1988 diacu dalam Kibria et al., 1996), semakin rendah pH air maka kehilangan P semakin besar.

(6)

Buangan limbah akuakultur dan hatchery dapat mendegradasi kualitas perairan jika mengandung konsentrasi TP 0,15 ppm (Waren-Hakanson diacu dalam Kibria et al., 1996) dan 0,1 ppm terlarut (Alabaster, 1982 diacu dalam Kibria et al., 1996), cenderung dapat menimbulkan proses eutrofikasi badan air yang menerima beban limbah dari sistem budidaya. Menurut Subandar (2000) komponen utama yang menentukan loading N dan P dalam sistem budidaya udang bersumber dari pakan, penggantian air, pemupukan dan benur (bibit). Limbah yang bersumber dari pakan sekitar 6% N dan 1,3% P, pada sistem budidaya semi-intensif dengan jumlah pakan 3.000 kg ha-1 MT-1 menghasilkan N sekitar 162 kg ha-1 MT-1dan 35,1 kg ha-1 MT-1.

Input pakan dalam budidaya intensif merupakan pemasok utama limbah bahan organik dan nutrien ke lingkungan perairan serta menyebabkan pengkayaan nutrien dan bahan organik yang diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekologi fitoplankton, peningkatan sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas dan struktur komunitas benthos (Barg, 1992; Buschmann et al., 1996). Sisa pakan dalam tambak diurai oleh mikroba menjadi unsur hara, apabila kondisi di dasar tambak terdapat cukup banyak oksigen (aerob), maka proses penguraiannya akan menghasilkan senyawa tidak beracun seperti : NO3, PO4, N2, namun apabila kondisi dasar tambaknya kekurangan oksigen (anaerob), maka proses penguraiannya akan menghasilkan senyawa beracun seperti : H2S, CH4, dan NH3 (Boyd, 1999).

Deposisi limbah organik dapat mempengaruhi perubahan fisika-kimia substrat dan kehidupan biota lainnya. Pengkayaan bahan organik di dalam sedimen akan menstimuli aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga dapat menimbulkan deoxygenasi pada substrat dan kolom air akibat pengurangan konsentrasi interstial oksigen dan meningkatkan konsumsi oksigen, meningkatkan reduksi sulfat, meningkatkan denitrifikasi, dan meningkatkan pelepasan nutrien inorganik seperti nitrat, nitrit, amonium, silikat, dan fosfat (Barg, 1992; Buschman et al., 1996; McDonald et al., 1996).

Limbah nutrien dan bahan dari budidaya tambak berasal dari pakan yang tidak dimakan dan ekskresi, dikarakterisasi oleh peningkatan total suspended solid (TSS), BOD, COD, dan kandungan C, N, dan P (Barg, 1992). Limbah tambak dapat juga

(7)

membawa bakteri atau mikroorganisme pembawa penyakit. Namun demikian bakteri atau mikroorganisme tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan hanya merupakan hambatan dalam budidaya tambak.

Laju penggantian air dengan arus dan pasang surut berperan di dalam proses pembuangan limbah dan pemasok oksigen (Barg, 1992; Cornel and Whoriskey, 1993). Pengenceran atau penyebaran areal dan sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitarnya ditentukan oleh dinamika arus dan kedalaman badan air yang menerima beban limbah (Silvert, 1992; Buschmann et al., 1996). Di lingkungan perairan fosfat mempengaruhi standing stock, komposisi spesies, atau produktivitas fitoplankton dan makroalga (Barg, 1992).

Beberapa hasil penelitian yang dikutip oleh Barg (1992) bahwa partikel bahan organik akan mengendap di sekitar lokasi budidaya jika kecepatan pengendapan dari partikel jauh lebih besar dari kecepatan arus. Pengendapan partikel solid akan menutupi dasar perairan yang relatif lebih kaya akan C, N, dan P dibandingkan dengan sedimen alami, yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan fisika-kimia di bawah sedimen, peningkatan kandungan karbon organik, diikuti oleh peningkatan laju konsumsi oksigen sedimen, dan penurunan potensi redox sedimen, terbentuknya hidrogen sulfat dan metana, dan meningkatnya nitrogen inorganik dan organik, fosfat, silikon, calcium, copper, dan zinc.

Luasnya wilayah dampak dan pengkayaan nutrien tergantung pada karakteristik produksi budidaya, kedalaman badan air, topografi dasar perairan, kecepatan arus, dan angin, yang akan menentukan penyebaran pengendapan partikel, input organik per unit area, dan redistribusi limbah dasar (Barg, 1992; Silvert, 1992; Johnsen et al., 1993). Komunitas budidaya yang mampu memanfaatkan kekosongan niche, yang dapat diintegrasikan dalam suatu kawasan, memiliki kemampuan untuk mengasimilasi dan mineralisasi limbah organik, diduga sangat penting peranannya dalam meminimalisasi dampak lingkungan perairan pesisir (Barg, 1992; Silver, 1992; Shpigel et al., 1993; Buschamann et al., 1996; Troell et al., 1999). Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengembangan perikanan budidaya tergantung pada praktek budidaya yang dilakukan, besarnya ukuran unit usaha, beban limbah

(8)

alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, volume beban air, laju penggantian air, dan karakteristik dari badan air (Phillips, 1985 diacu dalam Cornel and Whoriskey, 1993).

Kelayakan Lahan Tambak

Menurut Widigdo (2000) bahwa lahan yang sesuai untuk budidaya adalah kawasan yang masih terjangkau pasang surut, lebih ideal lagi bila terdapat sungai sehingga salinitas untuk pertumbuhan hewan air dapat tersedia. Kawasan yang layak untuk budidaya tambak adalah lahan yang masih mudah mendapatkan suplai air laut/payau, selain itu juga harus didukung oleh: (1) pola arus dan pasang surut, dan (2) tipe dasar pantai.

Mustafa, et al., (1998) mengemukakan lahan untuk budidaya tambak harus memenuhi persyaratan biologis, teknis, sosial, ekonomi, higienik dan legal. Ketinggian lahan yang baik untuk budidaya tambak adalah ketinggian yang memungkinkan tambak tersebut dapat diairi setinggi 0,8 – 1,5 m selama periode rata-rata pasang tinggi dan dapat dikeringkan secara sempurna setiap diperlukan.

Lahan tambak sebaiknya terletak di daerah muara sungai atau dekat dengan jaringan irigasi dan sumber air tawar lainnya dengan kelimpahan yang cukup pada musim kemarau. Kualitas air untuk budidaya tambak hendaknya memenuhi kriteria tertentu dan tergantung pada komoditas yang dibudidayakan.

Pemilihan dan penetapan lokasi pertambakan kepiting harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekologis, fisik (kondisi tanah), biologis (temasuk kesediaan benih) dan sosial ekonomi, pertimbangan fisik juga termasuk desain tambak. Gunarto (2000) menyatakan bahwa teknologi budidaya pembesaran dan pematangan gonad telah tersedia. Beberapa permasalahan dari segi teknis operasional dalam budidaya kepiting adalah suplai benih untuk budidaya pembesaran, kemudian ketersedian ikan rucah sebagai pakan utama masih sangat terbatas.

Daya Dukung LingkunganUntuk Budidaya Tambak

Permasalahan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pencemaran, overfishing, erosi dan sedimentasi pantai, kepunahan jenis dan konflik penggunaan

(9)

ruang, akibat tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri, 2001).

Menurut Bengen (2002b), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Definisi daya dukung dibedakan atas :

1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.

2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik.

3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan.

4. Daya Dukung Ekonomi : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.

Scones (1993) daya dukung lingkungan dibagi atas 2 (dua) yakni daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Sedangkan daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekomoni.

Turner (1988) menyatakan, daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Quano (1993) menyatakan bahwa daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan.

(10)

Menurut Krom (1986), daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Daya dukung lingkungan erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).

Menurut Haskell (1995 diacu dalam Made, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut daya dukung, yaitu : (1) dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi metabolit, dan (2) laju tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang dimakan per hari. Salah satu faktor kritis yang menentukan daya dukung perairan pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut (SE, 2002). Cholik et al., (1990) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam karamba nila merah di laut dengan kapadatan 750 ekor m-3 mencapai 2,0-1,5 ppm pada malam hari sampai menjelang pagi hari pada pemeliharaan bulan ke-3, sementara di karamba jaring apung (KJA) bandeng terjadi pada kepadatan 150 ekor m-3 (Pangsapan et al., 2001). Kondisi hypoxia ini dalam jangka panjang oleh Schmittou (1991) disebut sebagai Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS), kondisi dimana kelarutan oksigen rendah yang diikuti secara simultan oleh meningkatnya karbondioksida, penurunan pH air, meningkatnya asam laktat darah dan menurunnya pH darah ikan, meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya. Karena itu pengurangan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas utama dan penting dalam operasi budidaya ikan (McLean et al., 1993). Kondisi hypoxia merupakan gejala tekanan lingkungan perairan untuk budidaya dan juga sebagai faktor pembatas daya dukung.

Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban maksimum atau daya dukung lingkungan (McLean et al., 1993). Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan organisme akuatik. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung perairan.

Daya dukung kawasan ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik kawasan, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan untuk

(11)

memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung kawasan ditentukan dengan menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan kawasan pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosial ekonomi budaya dalam memenuhi kebutuhan manusia yang tinggal di dalam kawasan atau di luar kawasan pesisir, tetapi berpengaruh terhadap kawasan pesisir akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (Dahuri, 2001).

Agar kegiatan ekonomi di pesisir dapat lestari maka pemanfaatan kawasan pesisir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yaitu : (1) zona preservasiyaitu : kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi, sifat-sifat alami yang unik, termasuk green belt); (2) zona konservasi: yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun secara terkontrol, seperti perumahan dan perikanan tradisional; dan (3) zona pengembangan intensif, termasuk kegiatan budidaya secara intensif (Dahuri, 1998).

Daya dukung pesisir untuk budidaya tambak dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : tipe pantai, tipe garis pantai, arus perairan, tunggang pasut, elevasi lahan, kualitas tanah, potensi air tawar, salinitas, jalur hijau dan curah hujan. Daya dukung pesisir untuk budidaya tambak dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu lahan bernilai daya dukung tinggi, sedang dan rendah (Purnomo, 1992) (Tabel 2).

Lahan yang sesuai untuk tambak harus memenuhi persyaratan, yaitu : (1) lahan terletak di daerah pasang surut dengan elevasi terendam air sedalam 0,5 - 1,0 m selama periode pasang naik, dapat dikeringkan tuntas ketika air pasang rendah, (2) memiliki sumber air tawar dan payau sepanjang tahun, (3) memiliki sumber air yang kualitasnya memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota akuatik, (4) tanah tekstur liat, lempung sampai berpasir, (5) lahan tambak harus bebas banjir rutin dan terlindung dari gelombang laut yang besar, (6) pembukaan tambak di lahan hutan mangrove wajib mempertahankan jalur hijau di sepanjang pantai dan alur sungai, dan (7) total luas tambak disetiap hamparan merupakan satu kesatuan ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan pada hamparan tersebut (Csavas, 1994).

Daya dukung lahan tambak diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu (Gang et al., 1998). Menurut Murtidjo (1997),

(12)

tambak udang intensif dengan padat tebar benur 18 - 30 ekor m-3, memakai kincir (wheel paddle) 8 unit ha-1, FCR 1,5 - 2,0 dan SR 60 - 70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 5 - 7 ton ha-1; tambak semi intensif dengan padat tebar benur 10 - 15 ekor m-3, menggunakan kincir 4 unit ha-1, FCR 1,3 - 1,5 dan SR 60 – 70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 2 – 4 ton ha-1, tambak tradisional plus dengan padat tebar 4 - 8 ekor m-3, menghasilkan biomassa udang 0,75 – 1 ton ha-1.

Tabel 2 Penilaian daya dukung lahan untuk areal budidaya tambak

Daya Dukung Tolak Ukur

Tinggi (100) Sedang (90) Rendah (80)

1. Tipe Pantai Terjal, karang berpasir, terbuka Terjal, karang berpasir, atau sedikit berlumpur

Sangat landai, berlumpur tebal, teluk/

laguna, tertutup 2. Tipe garis pantai Konsistensi tanah stabil Sama dengan kategori tinggi Konsistensi tanah sangat stabil

3. Arus Perairan Kuat Sedang Lemah

4. Amplitudo rataan 11 – 21 dm 7-11 dm dan 21 – 29 dm < 6 dan > 29 dm 5. Elevasi (posisi

hamparan)

Dapat diairi saat pasang tinggi dan dikeringkan saat surut rendah rataan

Sama dengan kategori

tinggi Di bawah rataan surut rendah 6. Kualitas Tanah

Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak

bergambut, tidak berpirit

Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak bergambut, kandungan

pirit rendah

Tekstur berlumpur atau pasir bergambut, kandungan pirit tinggi. 7. Air Tawar

Tersedia, dekat sungai dengan mutu dan jumlah memadai

Cukup tersedia, sama dengan kategori tinggi

Kurang tersedia, dekat sungai tetapi tingkat

siltasi tinggi 8. Salinitas 15 – 18 ppt 10 – 15 ppt, dan 18 – 30 ppt < 10 ppt atau > 30 ppt

9. Jalur hijau Memadai Memadai tanpa jalur hijau

10.Curah hujan < 2.000 m 2.000 – 2.500 mm > 2.500 mm Sumber : Poernomo (1992)

Daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air bakau, pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kuantitas dan kualitas limbah tambak yang dihasilkan (Gang et al., 1998).

Melalui perhitungan matematis sederhana kuantifikasi kemampuan cerna perairan terhadap daya dukung dapat dengan mudah dilakukan untuk perhitungan balik dalam menentukan produktivitas kawasan. Selanjutnya akan dapat

(13)

diperhitungkan pula berapa luasan tambak yang dizinkan untuk dibuka dalam suatu kawasan sesuai dengan tingkat intensitas budidaya.

Kemampuan Pengenceran Limbah di Perairan Pesisir

Kemampuan pengenceran perairan pesisir terhadap limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1) tingkat pencemaran perairan pesisir; 2) volume air laut yang tersedia di pantai yang dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut, tunggang pasang surut dan kedalaman dasar perairan; dan 3) besar beban limbah yang masuk (Soewardi, 2002). Tingkat pencemaran perairan pesisir yang masih rendah atau tercemar ringan mempunyai daya pengenceran yang lebih tinggi terhadap limbah dibandingkan bila tingkat pencemaran perairan sudah tinggi.

Manahan (2002) menyatakan tingkat pencemaran perairan dapat ditentukan melalui parameter fisika, kimia dan biologi. Tingkat kekeruhan air merupakan parameter fisika yang sering digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran air. Bila kekeruhan air sudah mencapai 50 JTU (Jackson Turbidity Unit), maka perairan tersebut telah tercemar berat. Berdasarkan parameter kimia, nilai kebutuhan oksigen biokimia (BOD) juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air. Bila nilai BOD-5 < 7 ppm berarti perairan tersebut belum tercemar, sedangkan bila nilai BOD-5 > 25 ppm berarti perairan tersebut sudah tercemar berat. Baku mutu BOD-5 kualitas air untuk kehidupan biota akuatik atau kebutuhan perikanan maksimum 25 ppm (KLH, 1988).

Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pengenceran perairan adalah ketersedian valume air di pantai dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut. Volume air laut yang memasuki pantai ketika pasang naik ditentukan dengan formula Widigdo dan Pariwono (2003) Gambar 3 :

) 2 ( . . 5 , 0

θ

tg h X y h Vo = − ... (1) dimana : Vo = volume air laut yang tersedia (m3)

y = panjang garis pantai

h = amplitudo (tunggang pasang-surut) tgθ = kemiringan pantai

(14)

X = jarak dari garis surut kearah laut sampai ketitik kedalaman satu meter dan tidak lagi dipengaruhi oleh gerakan turbulensi air dasar.

Gambar 3 Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah Selanjutnya dijelaskan, untuk menentukan volume air tersisa ketika air surut (Vs), dapat ditentukan dengan formula sebagai berikut :





=

θ

tg

h

x

y

h

Vs

0

,

5

.

2

(

2

1

)

……….. (2)

Bila frekuensi pasang surut 2 kali per hari, maka volume air laut yang tersedia untuk mengencerkan limbah tambak menjadi 2 x Vo, sehingga daya tampungnya terhadap limbah organik semakin tinggi dibandingkan bila frekuensi pasang surut hanya 1 kali per hari. Volume air yang ada di pantai dalam satu siklus pasang surut untuk mengencerkan limbah adalah : Vd = Vo + Vs. Bila volume limbah yang masuk sebesar Vi, maka volume air yang ada di pesisir adalah : Vt = Vo + Vs + Vi.

Selanjutnya, untuk mengetahui konsentrasi limbah di perairan pesisir pada siklus pasang surut ke n, dapat ditentukan dengan formula :

1 1 1 −       −       − = n Vt Vs Vt Vs Ci Cn ………. (3)

Dimana : Ci = konsentrasi limbah dalam perairan pesisir, dan n = siklus pasut. Sedangkan konsentrasi limbah di perairan pesisir dapat dihitung dengan rumus :

Vi

Vs

Vo

Ci

Vi

Cs

Vs

Co

Vo

Ci

+

+

+

+

=

.

.

.

……… (4)

Shrimp pond area

High tide Low tide Depth of water intake V0; C0 Vs ; Cs Vt ; Ct h x θ

(15)

Dengan mengetahui nilai Vs dan Vt, maka waktu tinggal dari suatu unit volume massa air di suatu area perairan tertentu dapat ditentukan melalui perbandingan antara Vt/Vs yang sebanding dengan siklus pasang surut.

Konsep Konservasi

Kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP RI tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 26 tentang Penataan Ruang, Tata dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan konservasi yang dimaksud adalah kawasan pesisir dan laut yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya (Bengen, 2000).

Tujuan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut adalah untuk: (1) melindungi habitat-habitat kritis, (2) mempertahankan keanekaragaman hayati, (3) mengkonservasi sumberdaya ikan, (4) melindungi garis pantai, (5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, (6) menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam, (7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan (8) mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan (Kelleher dan Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al., 1997; Salm et al., 2000; Bengen, 2000).

Menurut Agardy (1997) dan Bengen (2000) dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan lokasi, yaitu : (1) identifikasi habitat dan lingkungan kritis, distribusi sumberdaya ikan ekonomis penting; (2) teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan, petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (over eksploitasi) dan tidak langsung (pecemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya; (3) tentukan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi; dan (4) kajian kelayakan suatu kawasan prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi berdasarkan proses perencanaan lokasi.

(16)

Dasar hukum penetapan jalur hijau mangrove menurut bererapa peraturan perundangang yang berlaku di Indonesia, adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990

6. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Payau.

7. Instruksi Menteri Pertanian Nomor 13/Ins/Um/1975 tentang Pembinaan Hutan Bakau.

8. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/246/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan Lahan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian.

9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1997 tentang Penetapan Jalur Hijau Mangrove.

Berdasarkan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tersebut di atas dan ditinjau dari produk hukum, maka materi muatan dari Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990 merupakan produk hukum yang paling tinggi dan juga termuat dalam Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menetapkan kriteria pantai berhutan bakau adalah minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Sebagai Rantai Makanan. Hutan mangrove merupakan produsen utama energi makanan yang berasal dari “detritus food chain” dalam “Grazing food chain”, daun mangrove langsung dimakan oleh herbivora. Dalam “detritus food chain” daun mangrove diuraikan lebih dahulu oleh mikroorganisme (bakteri dan fungi).

(17)

Perpindahan energi, biasanya 80 - 90 % dari energi potensial akan hilang dalam bentuk panas. Misalnya apabila seekor satwa herbivora memakan tumbuhan yang nilai energinya 8.000 kcal sehari, sehingga yang tersimpan di dalam tubuh sebagai energi potensial hanya 800 - 1.600 kcal, dan 6.400 - 7.200 kcal hilang dalam bentuk panas termasuk melakukan aktivitas (respirasi).

Secara biologi, ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah. Serasah tersebut setelah melalui proses dekomposisi menghasilkan detritus dan sebagai fitoplankton yang akan dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan crustacea sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai kosumer utama (Salm and Clark, 1989; Bengen, 2001).

Heald and Odum (1972), menemukan 80 – 90% dari makanan ikan, udang dan kepiting di daerah hutan mangrove terdiri dari detritus. Hal ini menujukkan bahwa ekosistem hutan mangrove memberikan kontribusi yang sangat penting sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan bermacam-macam biota perairan pantai baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

Menurut Lugo dan Snedaker (1974), ekosistem mangrove berperan sebagai ekspor serasah yang mencapai 7,1 - 8,8 ha-1 th-1. Menurut Najamuddi (1998) produksi serasah hutan mangrove di Sinjai yang dikelola pada model komplangan sekitar 21,75 ton/ha/th, model empang parit sekitar 14,88 ton ha-1 th-1, dan mangrove yang tidak dikonversi sekitar 22,16 ha-1 th-1. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa model pengelolaan mangrove dapat menyebabkan perbedaan produksi serasah yang dihasilkan. Sedangkan Halidah dan Sumedi (1997) melaporkan bahwa produksi serasah hutan mangrove rakyat di Sinjai pada tegakan yang berumur 8 tahun sekitar 14 ton ha-1 th-1, 11,97 ton ha-1 th-1 pada tegakan yang berumur 9 tahun dan 13,27 ton ha-1 th-1 pada tegakan yang berumur 10 tahun. Sukarjo (1987) melaporkan bahwa produksi serasah hutan mangrove di Tiris, Indramayu dengan jenis Rhizophora sp sebesar 12,90 ton ha-1 th-1. Tingginya produktivitas hutan mangrove di Sinjai kemungkinan disebabkan jarak tanam yang rapat dan juga umur yang masih muda.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah adalah seringnya tergenang air pasang surut, salinitas rendah dan umur tanaman, curah hujan. Hasil

(18)

penelitian Khairijon (1991) bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim kemarau, kecepatan angin, kepadatan pohon dan luas penutupan tajuk, dan kelembaban tanah. Sedangkan laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh oksigen terlarut, lama penggenangan air, mikroorganisme pengurai, pH, suhu dan salinitas.

Produktivitas. Menurut White (1987) ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi yaitu sekitar 400 – 5.000 gram C m-2 th-1. Jumlah yang lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Produktivitas mangrove dipengaruhi oleh : pasang surut, dan kimia air. Produktivitas tertinggi pada mangrove yang tumbuh di tempat yang mempunyai hara cukup, sering tergenang air pasang dan air tawar, dan salinitasnya rendah (Lugo and Snedaker, 1974).

Menurut Bengen, et al., (2003) kandungan C-organik daun mangrove di pesisir Kabupaten Berau berkisar antara 183,78 - 412,86 gram C m-2 th-1 atau 1.837,78 - 4.128,56 kg C ha-1 th-1. Kandungan C-organik tergantung dari lokasi dan jenis mangrove. Hal ini dapat dijelaskan bahwa produktivitas primer mangrove dapat ditaksir dari biomassanya, yang memiliki perbedaan dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dalam suatu lokasi terdapat variasi menurut pola komunitasnya. Sedangkan unsur N berkisar antara 11,17 - 108,07 kg ha-1 th-1, unsur P sekitar 0.14 - 9,02 kg ha-1 th-1, dan unsur K antara 49,47 - 87,01 kg ha-1 th-1.

Ong, Gong dan Wong (1982) memperkirakan produksi bahan organik dan anorganik dari hutan mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora spp. di Malaysia yakni : bahan organik sebesar 9,5 ton ha-1 th-1, N sekitar 69 kg ha-1 th-1, P sekitar 5 kg ha-1th-1 Hasil penelitian di Florida menujukkan 90% kotoran hutan menghasilkan 35 - 60% unsur hara yang terlarut di pantai. Selain itu daun-daun (Rhizophora spp) pada awal pembusukannya mengandung 3,2% protein dan setelah 12 bulan kandungan ini meningkat sampai 21% (Heald, 1971). Kadar N daun kering sekitar 0,55% dan diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N.

Martosubroto dan Naamin (1977) menemukan adanya hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan hasil tangkapan udang tahunan. Paw and Chua (1989) menemukan hubungan yang positif antara areal mangrove dan penangkapan udang penaeid. Selain itu adanya hubungan antara panjang total areal mangrove di

(19)

pinggir sungai Australia dengan hasil tangkapan tahunan udang putih (banana prawn). Hasil-hasil penelitian di negara-negara lain disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan luas hutan mangrove dengan jumlah tangkapan udang Lokasi

(Daerah) Hasil Tangkapan (Ton) Luas Mangrove (ha) Korelasi Koefisie Australia Malaysia Teluk Meksiko Filipina 0,2 - 15 0 - 25 10 - 1000 0,2 - 5 0,1 - 0,8 0 - 50 1 - 1000 1 - 42 0,76 0,74 0,98 0,62 Sumber : Nirarita et al., (1995)

Hasil penelitian Niartiningsih (1996) menemukan beberapa spesies ikan yang tertangkap di kawasan hutan bakau Sinjai Timur sebanyak 77 spesies ikan dari 41 famili, dimana pada saat musim timur diperoleh sebanyak 67 spesies ikan dan 45 spesies pada musim barat (kemarau). Keberadaan hutan mangrove di Sinjai dapat meningkatkan produksi penangkapan ikan di laut, yaitu pada tahun 1984 produksi tangkapan ikan di laut 14.100,7 ton, nener 1.987 ekor dan benur 927 ekor, mengalami peningkatan pada tahun 1995 yaitu produksi penangkapan ikan di laut 20.307,8 ton, nener 2.615 ekor dan benur 1.610 ekor.

Sebagai Pelindung Pantai dan Pengendali Pencemaran. Hutan mangrove berfungsi untuk melindungi garis pantai dari erosi dan dalam beberapa hal dapat mempercepat pertumbuhan pantai (Nontji, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa pohon-pohon yang kuat dan berakar banyak bersifat meredam hantaman ombak. Selain itu, akar-akar mangrove dapat menahan endapan lumpur dari sungai, mempercepat terbentunya “tanah timbul” contohnya di Segara Anakan dan di hilir Sungai Musi. Hutan mangrove di daerah pantai, berfungsi untuk mencegah dan melindungai daerah pertambakan dari ancaman erosi pantai akibat hantaman ombak.

Hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk melindungi daerah pertambakan dari bencana banjir. Fungsi ini tentunya akan hilang bila hutan mangrove ditebang. Menurut Naamin (1991) menyatakan bahwa fungsi fisik dari ekosistem mangrove, yaitu : menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai perangkap zat pencemar dan limbah.

(20)

Ekosistem mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan perairan pesisir melalui : (1) penjebakan sedimen yang terdapat di kolom air, dan (2) pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (Darovec, 1975). Hutan mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik, sehingga dengan adanya ekosistem ini dapat mengurangi limbah yang masuk ke dalam perairan pantai.

Keberadaan hutan mangrove dapat memacu perpindahan padatan dan hara yang dibuang dari pertambakan udang (Robertson dan Phillips, 1995 diacu dalam Boyd, 1999). Buangan dari tambak udang dapat dialirkan langsung melalui daerah mangrove untuk pengolahan air. Cara ini mempunyai keuntungan ganda yaitu merangsang produktivitas tambak, memacu perikanan pesisir, mengurangi pencemaran lingkungan dan menyediakan kualitas air yang lebih baik untuk tambak.

Sebagai Peningkatan Daya Dukung Lingkungan. Kapasitas air dalam menampung oksigen ditentukan oleh suhu dan salinitas, semakin tinggi suhu semakin berkurang jumlah oksigen. Daya dukung lingkungan perairan bertambah dengan bertambahnya jumlah oksigen terlarut, secara tidak langsung keberadaan pohon mangrove akan meningkatkan jumlah oksigen terlarut. Hal ini sesababkan karena keberadaan pohon mangrove dapat melindungi kondisi perairan dari sinar matahari sehingga suhu perairan yang tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, keberadaan mangrove dapat meningkatkan daya dukung lingkungan (Bengen, 2000)

Bengen (2000) menyatakan beberapa fungsi ekologis penting dari mangrove, yaitu : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; (2) sebagai penghasil detritus dan makanan bagi pemakan detritus; (3) sebagai nursery grounds, feeding grounds dan spawning grounds bagi ikan, udang dan kerang-kerangan.

Boers (2001) menyatakan bahwa mangrove green belt (MGB) dapat difungsikan sebagai filter air yang masuk ke tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan oleh virus maupun bakteri karena beberapa hewan, seperti oyster yang berkoloni dengan akar pohon mangrove melalui kegiatan pemangsaan. Boers (2001) membuat model pengembangan tambak ramah lingkungan. Hal yang harus

(21)

diperhatikan dalam model tersebut, yaitu : (1) pasang surut yang signifikan, (2) sabuk hijau, (3) aliran air satu arah, (4) tambak biofilter, dan (4) tambak penyangga.

Tambak biofilter berfungsi untuk mempertahankan kualitas air sebelum dimasukkan ke tambak budidaya atau pembesaran udang. Tambak biofilter diisi dengan rumput laut dan organisme pemangsa untuk menghilangkan penyakit, bahan partikulat terlarut, dan nutrien. Sedangkan tambak penyangga berfungsi untuk mencegah pemangsa udang masuk ke dalam tambak budidaya karena mangrove sebagai sabuk hijau juga merupakan habitat bagi sejumlah predator.

Budidaya tambak sangat membutuhkan mangrove untuk meningkatkan daya dukung perairannya. Robertson dan Phillips(1994) diacu dalam Cwodhury (2000) memberikan perkiraan kebutuhan luas mangrove (Rhizophora) per ha tambak udang semi intensif dan intensif untuk membuang beban nitrogen dan fospor dari air keluaran tambak, seperti yang disajikan pada Tabel 4. Sedangkan konversi mangrove berdasarkan kebutuhan areal mangrove dengan luas budidaya perikanan (Tabel 5). Tabel 4 Perkiraan luas mangrove Rhizophora yang dibutuhkan untuk asimilasi

limbah N dan P untuk satu hektar tambak semi-intensif dan intensif Luas mangrove yang dibutuhkan (ha)

Elemen dari air keluaran

tambak Tambak udang

semi-intensif Tambak udang intensif

Nitrogen 2,4 7,2

Fospor 2,8 21,7

Sumber : Robertson dan Phillips(1994) diacu dalam Cwodhury (2000)

Tabel 5 Konversi kebutuhan luas mangrove dengan luas lahan budidaya Keperluan Luasan mangrove yang diperlukan Input nutrient, kawasan asuhan, sumber pasokan

air, dan netralisasi limbah bagi kegiatan budidaya

(35 – 190) x luas permukaan kawasan budidaya

Produksi larva udang untuk stok budidaya tambak 160 x luas tambak

Pasokan pakan alami tambak > 4,2 m2 per m2 luasan tambak

Penyerapan limbah pertambakan 2,22 m2 per m2 luasan tambak

Gambar

Tabel 2   Penilaian daya dukung  lahan untuk  areal  budidaya  tambak  Daya Dukung
Gambar 3  Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun kecenderungan politik pemerintahan pada saat itu cenderung kepada perluasan wilayah Islam, namun Pemerintah masih menaruh perhatian dalam bidang pendidikan

Gangguan konsep diri : harga diri rendah 6. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat Tindakan :.. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri,  jelaskan

Pelatihan pengenalan mikro komputer raspberry pi bertujuan untuk mengenalkan proses kendali input output terhadap perangkat keras dari pendekatan interaksi bahasa

1) Pemain akan bertanding agar melaporkan kehadirannya pada panitia 15 menit sebelum pertandingan dimulai.. 2) Pemain yang tidak hadir sesuai jadwal yang telah ditentukan

tetapi di Belanda biasa di sebut flat. Mereka umumnya menggunakan istilah yang sama, baik untuk rumah susun yang dihuni oleh lapisan masyarakat kelas atas,

Coping strategy pada mahasiswa keperawatan memiliki hubungan yang signifikan terhadap burnout syndrom dimensi kelelahan emosional terutama pada penggunaan emotion focused

Kepala UPTD Puskesmas Watumanu EDA DAMIANUS NIP.19631231 198511 1 065 Terbitan :  No.. Pengertian Kondisi terjadinya tekanan darah sistolik lebih dari ≥140 mmHg dan atau diastolic

ke lima Tabel tersebut, dapat dilihat pengaruh nyata kandidat QTL untuk ke lima sifat berat badan yang diamati setelah diuji dengan permutate-chromosome wide, terdeteksi sebanyak