INDONESIA SEHAT
2010
PEDOMAN PENATALAKSANAAN PELAYANAN TERPADU
KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KTP)
DAN KEKERASAN TERHADAP ANAK (KTA)
DI RUMAH SAKIT
Direktorat Pelayanan Medik &
Gigi Spesialistik
DIREKTORAT PELAYANAN MEDIK
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
-11M PENYUSUN
KETUA Dr.Achmad Hardiman, MARS KETUAPELAKSANA Drg. Niken lrawati
SEKRETARIS Dr.Asih'Mdowati, MARS
セa@
1. Dr.Asviretty, MPH (Depkes Van Medik)
2.
Dr. Ratna Mardiati, SP.Kj (Depkes Van Medik)3.
IdaAyuK
Shinta Dewi, SH.MKes. (Depkes Van Medik) 4. Dr. Meutia (Bag. Forensik RSCM)5. Dr. Febiana (RS. POLRI Soekanto) 6. Dr. Rietta (RSAL. Mintohardjo)
7. Ora. Nur IndarSuksmiarti (Meneg. Pemberdayaan Perempuan) 8. Dr. Loesye Maria Sompi (Depkes Kesga)
9. Dr.Trisnawati, SKM. MPH (Depkes Kesga) 10. Ferinawati. SKM. MPH (Depkes Kesga) 11. Sisca Dewi (Komnas Perempuan) 12. Drs. M. Suhud Hidayat(Dep. Sos) 13. Drg.VVahyuniPrabayanti.M.Kes 14. Dr. A? Handoyo. MPH
Terima kasih kepada Rumah Sakit Daerah. pemberi saran :
1. RS. Dr. Soedarso Pontianak 2. RS. UKI Jakarta
3. RS. Dr. SyaifulAnwar Malang 4. RS. Dr.Abdul Moeloek Lampung 5. RS. Prof. Dr. M. sッ・ォ。セッ Purwokerto 6. RS. Dr. Raden Mattaher Jambi 7. RS. Dr. M. Yunus Jamil Bengkulu 8. RS. Dr. M. Jamil Padang
Kata Pengantar
Konperensi Dunia Perempuan ke IV di Beijing Tahun 1995 yang menetapkan kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu dari 12 area keprihatinan atau 12 area of Concenl yang harus mendapat perhatian dari semua penyelenggara negara di dunia . Menindak lanjuti hasil konperensi tersebut Indonesia mencanangkan kebijakan· Zero Tolerance" policy yaitu kebijakan untuk tidak mentoleransi sedikitpun tindak kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.
Dalam rangkCl mendukung kesempatan tersebut, maka Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan juga terus aktif berkegiatan .
Berkaitan dengan maksud diatas, Departemen Kesehatan ditunjuk sebagai focal poinl sektor kesehatan . Tahun 1999 Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat melalui Direktur Kesehatan Keluarga c/q Sub Dlrektorat Kesehatan Usia Subur mengeluarkan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di tingkat Pelayanan Dasar, yang berisi kebiJakan dan Ketrampilan dalam bidang Kekerasan terhadap Perempuan. Tahun 1998 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dikembangkan sebagai Pusat Krisis Terpadu (PKT) melalui fasilitas Komnas Perempuan.
Tahun 2002 Direktorat Jenderal Pelayanan Medik melalui· Direktorat Pelayanan Medik & Gigi Spesialistik, menyusun Pedoman Manajemen Terpadu Penatalaksanaan Korban . Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit dengan tujuan agar kasus kekerasan
dapat di tang ani secara optimal.
Direktorat Pelayanan Medik & Gigi Spesialistik
MENTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
KATASAMBUTAN
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkah dan RahmatNya maka Buku Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan Kekerasan terhadap Anak (KIA) di Rumah Sakit yang sifatnya manajemen dan tehnis dapat diwujudkan
Buku Pedoman ini diterbitkan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan akan pedoman kerja bagi rumah sa kit pemerintah maupun swasta baik RS di kabupaten maupun RS propinsi yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan pelayanan. Selama ini penatalaksanaan hanya difokuskan pada masalah medis saja, sedangkan sebenarnya ada juga masalah yang perlu ditangani yang lain yaitu セウゥォッャッァゥウ@ dan sosialnya .
Melalui kerjasama jejaring , maka masalah ini dapat ditangani dengan tuntas.
Manajemen terpadu ini dapat dilaksanakan melalui komitmen bersama secara terpadu lintas sektor dan lintas program sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah ditanda tangani oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Kepolisian Negara RI, dan Menteri Sosial, yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama Antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Nomor 14/Men PP/Dep. V/XJ2002, Menteri Kesehatan RI Nomor
1329/Men.Kes/SKB/X/20021 Menteri Sosial RI, Nomor • 75/HUKl2002-1 Kepala Kepolisian
Negara RI, Nomor B/3048/X/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak.
Demikian kiranya pedoman ini dapat bermanfaat untuk acuan kerja di rumah sa kit diseluruh Indonesia .
Menter;
DAFTARISI
Hal
TIM PENYUSUN
iii KATA PENGANTAR
v
KATASAMBUTAN
vii DAFTARISI
BAB I PENDAHULUAN
1 A LATAR BELAKANG
B. ANALISA SITUASI
2
C. TUJUAN 3
D. PENGERTIAN 3
E. RUANG LlNGKUP PELAYANAN 5
F.
LANDASAN HUKUM 6BAB II PENGENALAN KASUS 8
A BENTUK DAN JENIS KEKERASAN 8
B. PERILAKU KaRBAN KEKERASAN 9
C. TANDATANDA PENGENALAN KaRBAN KEKERASAN 13
BAB III PELAYANAN TERPADU LlNTAS PROGRAM DAN LlNTAS SEKTOR 15
A TIM YANG TERPADU 15
B. ALUR PELAYANAN TERPADU 16
BAB rv PENATALAKSANAAN KaRBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK 18
A ASPEK MEDIS/MEDIKOLEGAL 18
A.1. PEMERIKSAAN KaRBAN KEKERASAN SEKSUAL 18
A.1.1.ANAMNESIS 18
A.1.2.PEMERIKSAAN FISIK DAN PENGAMBILAN SAMPEL 18 ANALISIS PENYIMPULAN DAN PENATALAKSANAAN KaRBAN
KEKERASAN SEKSUAL 23
B. PEMERIKSAAN KaRBAN PERLAKUAN SALAH I PENDERAAN TERHADAP
ANAK 25
2. PEMERIKSAAN FISIK 26
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG 26
4. PEMERIKSAAN PADA DUGAANADANYA PENGANIAYAAN SEKSUAl 27
5. ANAL!S!S, PENY!MPUU',N dpLセj@ peセGjpNNtLエNLlNaksLエNLセjャカ|n@ 28
C PEMERIKSAAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 30
1. ANAMNESIS 30
2. PEMERIKSAAN FISIK 31
3. ANALISIS, PENYIMPULAN DAN PENATALAKSANAAN
32
D. ASPEK PSIKO SOSIAl
34
D.1 PENDAMPINGAN DAN KONSELING
34
37 KETRAMPILAN KONSELING
KONSEllNG
40
BAB V PERSIAPAN OPERASIONAl DI RUMAH SAKIT
43
A TUJUAN
43
B. SASARAN
43
C. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PERSIAPAN
43
BAB VI PENGORGANISASIAN 45
STANDARD OPERATING PROSEDUR (SOP) 46
VISUM ET REPERTUM 50
BAB VII
52
A KONSELING PSIKOSOSIAl
52
B. KRISIS DAN PENANGANANNYA
53
C PENANGANAN KRISIS 55
D. PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM
a
pindah kepenatalaksaan medis/medikoIegal 57BAB VII MONITORING EVAlUASI DAN PENGEMBANGAN PROGRAM
59
A MONITORING DAN EVAlUASI
59
B. SUPERVISI
59
C. PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBIAYAAN 60
LAMPIRAN 61
LAPORAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DARI "RUMAH SAKIT
DATA KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DARI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO BULAN PEBRUARI SID SEPTEMBER 2002 62 POLISI SUKANTO" BULAN JANUARI SID AGLJSTUS 2002 61
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini masalah kekerasan tef"hadap perempuan semakin mengemuka dengan makin menguatnya upaya yang berkaitan dengan kesetaraan dankeadilan gender. Kekerasa.n .terhadap perempuan (KtP) seringkali disebut sebagai kekerasan berbasis gender karena hal Inl berawal dari sub ordinasi perempuan di masyarakat dan superioritas laki laki. Pada tahun 1998 KtP merupakan penyebab kematian yang ke 10 pada wanita usia subur.
Berbagai bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan baik yang mengakibatkan luka tampak maupun luka tak tampak, sering kali disembunyikan atau ditutup tutu pi dengan berbagai alasan. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah tekanan dengan ancaman dari pihak pelaku kekerasan Untuk itu pemeriksaan medik yang akurat dan cermat diharapkan mampu mengeksplorasi data atau keterangan mengenai KtP sekalipun klien dalam situasi tertekan.
Berbagai langkah dan upaya telah, sedang dan terus diupayakan untuk meniadakan KtP sesuai dengan kebijakan Zero foleransi policy artinya tidak ada tindak kekerasan terhadap perempuan pada tingkat apapun yang dapat diterima dan bahwa keselamatan perempuan adalah prioritas utama. Selain masalah di atas , kekerasan pada anak yang dalam hal ini berbentukkasus penganiayaan dan penelantaran anak secara resmi juga belum banyak dicatat dan dilaporkan, baik oleh dokter maupun instalasi yang terkait.
Petugas Ruang Pelayanan Khusus ( RPK ) di Sektor Kepolisian I Petugas Kantor Polisi dan Petugas Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT) di Rumah Sakit memainkan peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan karena korban kekerasan biasanya pertama kali mendatangi RPK atau Rumah Sakit.
Penatalaksanaan korban kekerasan terhadap perempuan haruslah dilakukan sesegera mungkin secara komprehensif, terpadu dan holistik terhadap gangguangangguan yang mungkin timbul" baik fisik maupun psikis. Pada masa krisis, para korban juga memerlukan pendampingan dan konseling agar mereka dapat diberdayakan sehingga mampu mengatasi krisisnya. Segera setelah penanganan aspek medis, petugas diharapkan melakukan koordinasi dengan lintas sektor terkait (Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan, Dinas Sosial, LSM , dll ) untuk penanganan selanjutnya yang menyangkut aspek medicolegal dan sosial.
Saat ini sebagian penanganan para korban KtP dan Kekerasan terhadap Anak (KIA) di Rumah Sakit masih dilakukan belum terarah dan bersifat apa adanya. Sikap petugas kesehatan selama ini belum melihat kasus KtP dan KIA sebagai kasus yang tidak seharusnya terjadi (belum sensitif gender). Selain itu masih kurangnya pengetahuan para petugas kesehatan dalam aspek hukum/perundangan menyebabkan pencatatan kasuskasus KtP dan KtA tidak
terekam dengan sempurnallengkap sehingga rekam mediknya tidak dapat digunakan untuk kepentmgan penYldlk apablla kasus tersebut menjadi kasus pidana
Mengingat hal hal tersebut diatas maka perlu dibuat suatu "Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Perempuan dan Anak" di Rumah Saki!.
B. Analisa Situasi
Gambaran KtP dapat diperoleh dari data tahun 1976 yang dihimpun oleh LSM Kalyanamitra dari surat kabar , yakni 37 kekerasan dalam rumah tangga 68% diantaranya berakibat fatal , jumlah perkosaan pada tahun 1996, 824 kasus 20% diantaranya korban berusia 5 12 tahun, 44% korban berusia 12 18 tahun, 22% korban berusia 18 50 tahun, pelakunya 74% dikenal oleh korban.
Laporan dari Universitas Gajah Mada mengungkapkan bahwa di enam Ibukota Propinsi di Indonesia selama tahun 1999 ditemukan sebanyak 160 kasus penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental / emosional dan 27 kasus kekerasan seksuall terhadap anak.
lIustrasi lainnya didapatkan dari data Korban Kekerasan terhadap Perempuan di Rumah Sakit Polisi Sukanto dari bulan Januari sampai deng'an Desember 2002 .dengan variasi kasus yang terbanyak depresi, berikutnya psikosa, beberapa kasus fraktur, trauma kepala, dislokasi , luka bakar, epidural hematom, trauma tumpul dan lainlain.
Rangkuman data Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) di Indonesia tahun 2002 , yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, jenis kekerasan kerja (migran) : 5163, dengan rincian kasus yaitu deportasi, penipuan, kekerasan seksual, pengaiayaan, penyekapan.
Kekerasan dalam rumah tangga, 980, dengan rincian kasus yaitu perceraian, kekerasan sexual , harta , penganiayaan . Kekerasan seksual, perkosaan ; 330, perdagangan perempuan ; 22 , pelecehan seksual ; 42 , perkosaan anak ; 171.
Data korban kekerasan terhadap perempuan dari Rumah sakit Cipto Mangunkusumo bulan Pebruari sampai dengan September 2002 , terdapat sejumlah kasus ; 1240 dengan rincian per,kosaan , kekerasan seksual , perkosaan terhadap anak, kekerasan sekual terh adap anak 'IakiIaki, penelantaran anak.
Catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menunjukkan adanya peningkatan kasus dalam kurun waktu tiga tahun , yaitu 172 kasus di tahun 1994, 421 kasus di tahun 1995 dan 476 kasus di tahun 1996.
Penanganan kasuskasus semacam ini belum seluruhnya dilaporkan dan hanya beberapa institusi pelayanan kesehatan pemerintah (RS, Puskesmas) maupun swasta yang melakukan penanganan model PPT, seperti RS PolriKramat Jati, RSAL Mintoharjo, RS Fatmawatl, RSUPNCM, RS Panti Rapih, RSU Abdoel Moeloek. Sebagian petugas kesehatan masih belum mengetahui benar bahwa kasus tindak kekerasan akan berdampak pada aspek psikososial, maupun hukum , maka penanganannya yang diberikan adalah terhadap gangguan fisik sampai terapi saja, sementara aspek lainnya terabaikan .
Penanganan KtP di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas) telah dilakukan dengan mengacu kepada buku " Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan ".
Peran LSM I masyarakat terhadap penanganan KtP & KtA selama ini cukup banyak terutama
dalam kegiatan pendampingan, konseling dan Rumah Aman (shelter) bekerja sarna dengan Departemen Sosial jajarannya . 8eberapa LSM yang aktif bergerak dibidang penanganan KtP dan KtA antara lain: Komnas Perempuan, Mitra Perempuan, Kalyanamitra, Rifka Anissa, Derap Warapsari, Flower Aceh, dll (lihat lampiran).
C. T u j u an:
Umum Meningkatkan pemahaman penatalaksanaan pelayanan terpadu korban kekerasan terhadap perempuan & anak di Rumah Sakit.
Khusus 1. Meningkatnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan aspek medis korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
2 Meningkatnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan aspek medicolegal korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3 Meningkatnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan aspek psikososial korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
D. Pengertian:
Kekerasan terhadap Perempuan:
baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi". (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan Pasall, tahun 1993)
Penganiayaan anak (Child Abuse):
adalah perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada di bawah tanggung jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan , kesengsaraan bahkan cacat. (Buku Panduan: Tatalaksana Kasus Penganiayaan dan Penelantaraan Anak, IDI bekerjasama dengan Depkes RI, Polri, LSM, DAN Unicef Indonesia, 2000) .
Dalam pengertian ini, penganiayaan anak meliputi penganiayaan fisik (physical abuse), penganiayaan seksual (sexsual abuse) maupun penganiayaan emosional (emotional
abuse)
Kesejahteraan anak adalah sesuatu tata kehidupan dan penghidupan anak dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara jasmani , rohani (spiritual dan moral), mental dan sosial untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan berkualitas (UU RI NO.4 Tahun 1979)
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah tangga, baik antara suamiistri maupun orang tuaanak. Dalam kasus KDRT pada umumnya yang menjadi korban adalah istri atau anak . Sedangkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak bisa dilakukan oleh ayah maupun ibu dari anak yang bersangkutan (Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan, Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak, DERAP WARAPSARI, tahun 2000).
Perkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang atau Ileb.ih tanpa persetujuan korbannya, dan merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah , keinginan/dorongan untuk menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum I keluarga , dapat dijadikan alat untuk teror dan lain sebagainya. Perkosaan tidak sematamata sebuah " serangan seksual" tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan (Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan , Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak, DERAP WARAPSARI, tahun 2000).
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah tempat dilaksanakannya pelayanan korban kekerasan baik di RS Umum maupun RS Polri (Kesepakatan Bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI dan Kepala Kepolisian Negara RI, 2002).
E. Ruang Lingkup Pelayanan:
Penyelamatan nyawa (Life-saving) untuk krisis fislk
Penanganan teknismedis terhadap trauma fisik
Penanganan krisis psikologik termasuk penanganan konseling untuk mendapatkan dukungan keluarga dan persiapan kembali menghadapi masyarakat (rehabilitasi)
Edukasi kepada klien, keluarga dan masyarakat melalui PKMRS dengan isu sensitif gender.
Pencatatan dan Pelaporan untuk persiapan layanan hukum
F. Landasan Hukum :
Kekerasan terhadap perempuan.
1. Nasional:
UUD 1945 Pasal 27
Ketetapan MPR RI Nomor : IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 19992004
UU RI No.4 Th 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
UURI nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konversi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wan ita (Lembaran Negara Th. 1984 No.29,Tambahan Lembaran Negara 3277)
UU RI No.39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th.1999 No. 165,Tambahan Lembaran Negara No. 3886)
UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak
Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan .
Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2002 tentang Penghapusan Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak (P3A).
Keputusan Presiden No . 88 Tahun 2002 tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual , Komersial Anak (PESKA)
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarus Utamaan Gender Oalam Pembangunan Nasional
Kesepakatan Bersama Antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI , Nomor 14/Men PP/Oep.VIX12002; Menteri Kesehatan RI.Nomor : 1329/Men.Kes.l
SKB1X12002; Menteri Sosial RI ,Nomor : 75/HUKl2002 ; Kepala Kepolisian Negara
RI; Nomor : B/3048/X2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
2.
InternasionalKomite PBB tentang Penghapusan Oiskriminasi terhadap Perempuan Th .1989 ( Rekomendasi Umum 12 bidang ke 8 )
Rekomendasi Umum No .19 Sidang ke II tahun 1992 tentang Penghapusan Segala Bentuk Oiskriminasi Terhadap Perempuan .
Konfrensi Ounia tentang Hak Azasi Manusia Tahun 1993, yang dirapatkan oleh Sidang Umum PBB dengan Resolusi No. 451 155, Oesember 1990.
Resolusi Majelis Umum PBBNP 48/104 Th.1993 yang mengutuk setiap bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat atau oleh Negara.
Konferensi Kependudukan ICPO Cairo 1994
Konferensi Ounia ke IV tentang Perempuan di Beijing 1995.
Optional Protocol Conference tanggal 28 Februari 2000.
Kekerasan terhadap Anak
1. Nasional:
a. UUO 1945 (Pasal 26, 28, dan 29 (2)
b. Tap MPR No. IV/MPRl1999 tentang GBHN tahun 1999 2004
c. UURI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138/1973 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja
e. KEPPRES No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of
Child (Konvensi Hak hak Anak)
f. KEPPRES No. 1 01 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata kerja Menteri Negara (PsI. 5)
2 Internasional :
a. Konvensi ILO 138/173 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
b. Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
c. Konvensi Hak hak Anak atau Convention on the Right of Child (CRC)
BABII.
PENGENALAN KASUS
(Bentuk dan jenis kekerasan, perilaku korban, tandatanda pengenalan kasus)
Pengenalan kasus korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan mellhat bentuk dan jenis kekerasan , perilaku korban maupun tandatanda khusus kekerasan.
A. BENTUK DAN JENIS KEKERASAN
Kekerasan terhadap perempuan yang sering ditemukan di Rumah Sakit dapat berupa cidera fisik dan psikis dengan gradasi yang bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat.
Bentuk Kekerasan dikategorikan dalam 5 kelompok:
1. Kekerasan seksual 2. Kekerasan fisik 3. Kekerasan psikis
4. Gabungan dua atau 3 gejala diatas
5. Penelantaran (pendidikan, gizi, emosional dll) .
Berdasarkan tempat terjadinya :
1. Kekerasan di dalam rumah tangga (domestik) 2. Kekerasan di tempat kerja atau sekolah 3. Kekerasan di daerah konflik I pengungsian
4. Kekerasan jalanan
Berdasarkan Umur :
1. Sebelum lahir (akibat pukulan, tendangan dan atau rudapaksa terhadap perut ibu hamil) .
2. Bayi (pembunuhan dan penelantaran bayi) .
3. Pra remaja (perkawinan dibawah umur, penganiayaan fisik, seks, psikis, inses, prostitusi) .
4. Remaja dan dewasa (penganiayaan oleh teman dekat. pemaksaan seks, inses, perkosaan,
5. Usia lanjut (penganiayaan fisik, seks dan psikis)
Kekerasan yang banyak dialami perempuan adalah kekerasan domestik atau dalam rumah tangga dan sering terjadi berulang .
Kekerasan domestik sering tidak dilaporkan kepada penyidik, karena beberapa hal antara lain :
1. Korban merasa kekerasan yang dilakukan pasangannya merupakan kekhilafan sementara.
2. Rasa cinta dan sayang kepada pasangan berusaha untuk memaklumi dan mencoba untuk mengerti perlakuan pasangannya .
3. Norma yang menerima perilaku laki laki dalam mengendalikan perempuan .
4. Norma yang menerima kekerasan sebagai suatu cara penyelesaian konflik.
5. Norma yang menerima bahwa seorang isteri tidak boleh melawan suami apapun yang dilakukannya.
6. Kekerasan yang terjadi di dalam keluarga merupakan suatu aib sehingga tidak pantas diketahui orang.
7. Ketakutan akan ditinggalkan pasangannya.
8. Lainlain
B.
PERILAKU KORBAN KEKERASANB.1 PERILAKU ANAK KORBAN KEKERASAN
Dibandingkan dengan korban kekerasan terhadap perempuan, korban kekerasan terhadap anak lebih sering tidak berani dilaporkan kepada pihak berwajib,terutama apabila pelaku kekerasan adalah orang tua atau walinya sendiri. Karena itu peran profesional agar dapat mengenali korban kekerasan terhadap anak sangat penting .
Gejala gejala fisik dari penganiayaan emosional (Psychological Abuse) seringkali tidak
sejelas gejala pengan iayaan lainnya . Penampilan anak pad a umumnya tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya .
8eberapa perubahan perilaku yang dapat terjadi dapat diamat i seperti di bawah in i:
1, Anak mengatakan dirinya sudah dianiaya
2, Membalik I menyangkal cerita yang telah diungkapkan sebelumnya 3, Ketakutan berlebih terhadap orang tua atau orang dewasa yang lainnya 4, Tidak lari ke orang tua untuk minta tolong atau perlindungan
5, Memperlihatkan tingkah laku agresif atau penarikan diri yang berlebihan 6, Kesulitan atau kemiskinan dalam hubungan dengan teman sebaya 7. Terlalu penurut, pasif
8, Agresif seksual terhadap orang lain
g, Lari dari rumah atau melakukan kenakalan remaja 10, Perilaku mencederai diri
11, Sering mau bunuh diri 12, Gangguan tidur
13, Menghindari kontak mata
14, Memperlihatkan perilaku terlalu dewasa atau terlalu kekanak kanakan
8eberapa kategori yang dapat dimungkinkan terjadinya penelantaran fisik :
1. Gagal tumbuh fisik ataupun mental
2, Malnutrisi, tanpa dasar organic yang sesuai 3, Dehidrasi
4. Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati 5. Tidak mendapat imunisasi dasar
6. Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu kutu 7, Pakaian yang lusuh dan kotor
8, Keterlambatan perkembangan
g, Keadaan umum yang lemah , letargik, lelah,
World Medical Association menganjurkan agar para tenaga kesehatan menilai seorang
anak dengan melakukan :
1, Wawancara tentang riwayat cideral luka 2, Pemeriksaan fisik
3, Pemeriksaan radiologis
4, Pemeriksaan penapis terh adap gangg uan hematologis 5, Pengambilan foto berwarna
8. Skrining perilaku
9. Skrining tumbuh kembang anak balita
B.2. PERILAKU PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN
Tidak semua korban kekerasan terhadap perempuan mau atau mampu
ュ・ョケ。エ。ォセョ@
keluhannya kepada orang lain, apalagi melapor kepada pihak yang berwajib, karena Itu sebagian besar kasus justru tidak dilaporkan atau sedikit yang menyatakannya secara
sukarela.
Tenaga kesehatan, guru konselor, psikolog, dan ulama adalah profesi yang kadangkadang menjadi orang pertama yang mengetahui adanya Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP-KtA) secara tidak sengaja . Dengan meningkatkan pemahaman tentang kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP-KtA) diharapkan para professional akan semakin tajam kemampuannya dalam mengenali kasus. Sebagai contoh, pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang mendalam dan berat, suatu stres pasca trauma, yang bila tidak ditangani memungkinkan terjadinya gangguan jiwa yang sangat mengganggu produktivitas selama bertahuntahun bahkan mungkin sepanjang hidupnya. Efek yang segera terjadi dan berlangsung beberapa waktu setelah perkosaan adalah serangkaian reaksi fisik dan emosional terhadap perkosaan itu sendiri.
Korban biasanya dihinggapi rasa takut yaitu takut akan reaksi keluarga maupun teman-temannya, takut bahwa orang lain tidak akan mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter pria, takut untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya, dan juga takut kalau si pemerkosa melakukan balasdendam apabila ia melaporkannya . Disamping itu ada reaksi emosional lainnya seperti syok, rasa tidak percaya, marah , malu, menyalahkan dirinya, kacau, bingung dan lain lain.Gangguan emosional ini dapat menyebabkan sulit tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, mimpi buruk , penghayatan berulang akan kejadian buruk tersebut .
Gangguan stres pascatrauma (post traumatic stress disorder), mempunyai kriteria diagnostik (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III , Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993)
1. Kejadian timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah peristiwa traumatik berat
2. Terdapat penghayatan berulang, bayangbayang atau mimpi , dari kejadian traumatik tersebut secara berulangulang (flash back)
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku, seperti :
3.1 Hyperarousa/, dengan gejala : agresi, insomnia, reaksi emosional yang intens
32 . Intrusion , dengan gejala: mimpi buruk dan ingataningatan akan peristiwa
penstlwa buruk tersebut yang amat mencekam dan trauma .
3.3. Numbing atau mati rasa dengan gejala merasa dirinya tak diperhatikan dan
dlkuclikan
Pada minggu atau bulan
「・イゥォオエョケセ@
korban akan dihinggapi ketakutan yang cukup berat, yaltu takut kalau dla menJadl hamll atau terkena penyakit kelamin, takut menderita HIVI AIDS, takut .kepada kekerasan fisik atau kematian , takut kepada orang banyak, takut kalau dldekatl dan belakang, takut kepada hubungan seksual meskipun dengan suami sendiri , bahkan takut kepada sesuatu yang sukar diduga .Biasanya korban perkosaan akan menunjukkan perilaku sebagai berikut:
a. Tidak mampu memusatkan perhatian, atau mengalihkan tatapan mata . b. Sering salah ucap dalam bicara
c. Penamplian tidak rapihl tidak terurus d. Banyak melamun dan sulit bicara
e. Cemas, sikapnya grogi atau serba canggung
f. Tegang, tampak serba bingung dan panik, mata melihat kesana kemari g. Memperlihatkan kebencian dan kemarahan
h. Depresif, sedih , putus asa , perasaan menjadi sensitive dan mudah salah sangka, percobaan bunuh diri .
I. Cenderung merasa salah j. Mudah curiga kepada orang lain
Beberapa hal yang perlu dicermati oleh para profesional sebagai tanda adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah jenis luka atau penyebab luka , sikap/perilaku korban (perempuan) dan pengantarnya (mungkin suamil pasangan atau pelakunya) . Suamil pasangan atau pelakunya ketika mengantarkan berobat dapat menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti tampak raguragu, kuatir berlebihan atas lukaIuka !kecil, memberikan penjelasan tentang peristiwa yang tidak perlu dijelaskan atau acuh tak acuh kepada istrinya .
Suami/pasangan menanyakan sedikit tentang akibat lanjut perlukaan Hu dan kemudian cepatcepat meninggalkan rumah sakit tanpa memberikan keterangan cukup, atau menolak perawatan inap di rumah sakit. Suamil pasangan yang menganiaya dapat juga menerangkan bahwa luka itu akibat kesalahan perempuan itu sendiri.
Berikut ini beberapa hal yang dapat digunakan untuk menilai bahwa terjadi kecenderungan kekerasan dalam rumah tangga :
a. Cidera bilateral atau multiple
b. Beberapa cidera dengan beberapa penyembuhan c. Tanda kekerasan seksual
d. Keterangan yang tidak sesuai dengan cideranya e. Keterlambatan berobat
f. Berulangnya kehadiran di rumah sakit akibat trauma.
C. TANDA·TANDA PENGENALAN KORBAN KEKERASAN
C.1 TANDA·TANDA PENGENALAN KORBAN PENGANIAYAAN FISIK DA'NPENELANTARAN PADA PEREMPUAN DANANAK.
Kesenjangan antara temuan pada pemeriksaan fisik dengan ceritera tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua/pengantar dapat dijadikan indikasi adanya penganiayaan .
Perhatian dan pemeriksaan yang lebih teliti diperlukan bila ditemukan hal·hal di bawah ini, terutama bila ditemukan di bagian·bagian tubuh yang tidak lazim (lihat Buku Pedoman Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Psikiatrik untuk RSU kelas C & 0, Ditjen Pelayanan Medik, hal. 52-56, Jakarta 1999)
Tanda·tanda terse but sebagai berikut:
a. Memar dan bilur
Pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya seperti di punggung, bokong, paha, betis, dsb.
Terdapat memar/bilur yang baru maupun yang sudah mulai menyembuh Corak-corak memar/bilur yang menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk kekerasan
b. Luka Lecet (abrasions) dan Luka Robek (laceration)
Di mulut, bibir, mata, kuping, lengan, tangan, genitalia, dsb. Luka akibat gigitan oleh manusia
Di bagian tubuh lain, terdapat baik luka yang baru atau yang berulang
c. Patah Tulang (Fracture)
Setiap patah tulang pada anak di bawah umur tiga tahun (batita)
Patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan Patah tulang ganda Imultipel
Patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai Patah tulang pada kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi
d. Luka Bakar
Bekas sundutan rokok
Luka bakar pada tangan, kaki atau bokong akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas
Bentuk luka yang khas yang sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menirnbulkan luka tersebut
e.
Cidera Pada KepalaPerdarahan (hematoma) sUb-kutan dan atau sub-dural , yang dapat dilihat pada foto Rontgen
Bercaklarea kebotakan akibat tertariknya rambut, baik yang baru atau berulang
f. Lain-lain:
Dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan akibat tarikan) Tanda-tanda luka yang berulang
C.2. TANDA-TANDA KEMUNGKINAN TERJADINYA PENGANIAYAAN SEKSUAL (SEXUAL ABUSE).
Penganiayaan seksual seringkali dikenali dengan tanda-tanda sebagai berikut :
Adanya penyakit akibat Hubungan Seksual (Sexual Transmitted Diseases) , paling sering infeksi gonococcus
Infeksi vagina yang rekuren I berulang pada anak di bawah usia 12 tahun Rasa nyeri , perdarahan dan atau discharge dari vagina
Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil Kehami lan pada usia remaja
Cidera pada buah dada , bokong , perut bagian bawah, paha , sekitar alat kelamin (genital) atau dubur (anal)
Pakaian dalam robek dan atau ada bercak darah
Ditemukannya cairan mani (semen) di sekitar mulut, genitalia , anus atau pakaian Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil
BAB. III
PELAYANAN TERPADU LlNTAS PROGRAM
DAN LlNTAS SEKTOR
Penanganan KtP dan KtA di RS dilakukan secara terpadu baik lintas program maupun lintas sektor terkait. Berdasarkan pengalaman beberapa RS yang telah melakukan penanganan KtP & KtA tersebut diperoleh beberapa masukan yang perlu diperhatikan dalam pemberian
pelayanan terpadu tersebut sebagai berikut:
A. TIM YANG TERPADU :
Sebenarnya sudah ada beragam bentuk layanan yang dilakukan di Indonesia. Sebagian besar telah dilakukan oleh masyarakat. Namun dalam perjalanannya didapatkan kompleksitas permasalahan sehingga memerlukan penanganan yang komprehensif dan pendekatan kerjasama multi disiplin (medik, hukum dan psikososial). Kerjasama multidisplin mensyaratkan
pentingnya kerjasama tim.
Layanan harus segera untuk menjawab kebutuhan korban, baik perempuan maupun anak, juga perlu layanan yang efisien agar korban tidak perlu lagi mengulang cerita yang justru akan semakin melukai perasaan dan memperparah kondisi kejiwaannya. Seluruh layanan ini seyogyanya mendapat dukungan dari pemerintah, karen a dengan kapasitas dan kewenangannya, pemerintah dapat menjadikan layanan bagi perempuan korban menjadi sebuah kegiatan yang berkelanjutan.
Pengalaman beberapa institusi yang menangani kasus kekerasan menunjukkan perempuan dan anak korban kekerasan mendapat kesulitan ketika berhadapan dengan institusi-institusi yang seharusnya memberikan pertolongan (dilecehkan, disepelekan, dsbnya). Institusi tersebut misalnya adalah Rumah Sakit, aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Hakim). Melalui penatalaksanaan berbagai komponen layanan seperti pengobatan medik, dukungan konseling dan persiapan layanan hukum, akan diperoleh pelayanan yang memadai bagi korban kekerasan.
B. ALUR PELAYANAN TERPADU
Alur pelayanan terpadu dapatdilihat pada bagan dibawah ini :
Alur Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)
di Rumah Sakit
Pasien datang (rujukan dari): - Polisi
- LSM
- Komunitas - Datang Sendiri
+
セ@
Non Krisis
Semi Krisis
Krisis
I
MMMtiMMMMセ@
セ@
Pusat Pelayanan Tertpadu (PPT) :
-
Konseling- Pemeriksaan Fisik
-Pendampingan Pelayanan
[shet"'
I
セ@
,.---'----, -4----1 OK, IC U I H C U
...
.\
I G D. ⦅ MMi ⦅セiL - _ - - - - ' P Perawatan
Spesialis
Keterangan Gambar :
1. Oalam melakukan Layanan bagi perempuan dan anak Karban Kekerasan di rumah sakit, maka korban/pengantar yang datang akan mendaftar ke bagian registrasi, selanjutnya dilakukan triage untuk menilai kondisi korban apakah dalam keadaan non kritis, semi kritis atau kritis.
1.1. Karban dalam keadaan non kritis, akan dirujuk ke PPT untuk mendapatkan pelayanan, konseling, pemeriksaan fisik dan pendampingan. Hasil dari PPT dapat dirujuk ke polisi/LSM/Shelter ataupun dipulangkan.
1.2 Karban dalam keadaan semi kritis akan ditangani di Instalasi Gawat Oarurat (IGO), sesuai dengan prosedur yang berlaku. Apabila diperlukan dapat dikonsult asikan/dirujuk ke spesialis terkait atau ke kamar operasi (OK) dan atau Intensive Care Unit (ICU) dan atau High Care Unit (HCU).
Setelah penanganan oleh spesialis ataupun OK, ICU, HCU dan kondisi pasien telah membaik (non kritis) mekanisme penanganan seperti pada 1.1 diatas. 1.3. Karban dalam keadaan kritis akan mendapatkan pelayanan seperti pada 1.2
diatas.
2. POLRI dan LSM akan memberikan pelayanan sesuai dengan kompetensi masing-masing .
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT):
Mengingat kerahasiaan harus dijaga, maka diperlukan tempat yang aman dan tenang yang disebut dengan PPT Oitempat ini dilakukan konseling, pemeriksaan diagnostik dan pendampingan .
Konseling yang dilakukan adalah :
konseling krisis untuk menenangkan klien dan keluarga yang sedang kebingungan dan panik
konsel ing memulihkan kepercayaan diri terhadap dunia luar
konseling HIV, STO dan penyakit lain yang mencemaskan klien, agar klien dapat bertindak rasional dalam terapi
konseling keluarga untuk memperoleh dukungan keluarga selama masa sulit Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah sesuai dengan prosedur pelayanan/pemeriksaan sebagaimana yang terdapat penatalaksanaan korban kekerasan.
Pendampingan yang dilakukan adalah serangkaian tindakan yang diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak selama ia berada dalam proses kuratif dan rehabitatif.
BAB IV
PENATALAKSANAAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DANANAK
Penatalaksanaan korban KtP dan KtA terdiri dari 3 aspek yaitu
a. aspek medis/mediko-Iegal b. aspek psiko-sosial
A. ASPEK MEDIS/MEDIKO·LEGAL
Pada dasarnya penatalaksanaan dari aspek medis Imedico-Iegal adalah sesuai dengan penatalaksanaan pelayanan pada umumnya namun pada korban KtP dan KtA perl u memperhatikan beberapa aspek sesuai dengan jenis kekerasan yang terja di . dal am hal ini dibedakan terhadap pemeriksaan korban kekerasan seksual , kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak.
A.1. PEMERIKSAAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
A.1.1. ANAMNESIS
- Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa , pengantar korban, tanggal , tempat dan waktu pemeriksaan serta jati diri korban . lerutama umur dan perkembangan sexnya (menars dan sekunder) serta kegiatan seksual terakhir. siklus haid , haid terakhir dan apa kah masi h haid saat kejadian .
Selanjutnya rekonfirmasi tentang kekerasan sebelum kejadian. rincian kejadian, waktunya, lokasinya , terjadi atau tidaknya penetrasi, dan apa yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual tersebut (mencuci diri , ganti baju, cebok, mandi dll.)
A.1.2. PEMERIKSAAN FIS·IK DAN PENGAMBILAN SAMPEL
apabila peristiwa kekerasan seksual terjadi belum 7 (tujuh) hari sebelum pemeriksaan .
- Selain pemeriksaan fisik umum sebagaimana biasa, lakukan pemeriksaan khusus sebagaimana pad a rekam medis untuk kekerasan seksual.
2.1 Lukiskan penampilan korban (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan emosional, tenang atau sedih I gelisa dsb.
2.2 Dalam hal peristiwa kekerasan seksual belum lama terjadi dan pakaian yang dikenakan korban masih pakaian yang sama sewaktu peristiwa terjadi, maka
2.2.1 Bila di tubuh korban banyak menempel barang bukti (seperti rumput , tanah dll), pasien dipersilahkan berdiri diatas selembar kertas putih yang eukup besar (tersedia di dalam rape kit) , baju dan rambut digerakan atau digerak - gerakan sehingga barang - barang bukti tersebut jatuh , keatas kertas lalu kertas dilipat hingga membungkus barang bukti dimasukkan ke dalam amplop, lalu disegel dan bubuhkan identitas.
2.2 .2 Dalam hal pada pakaian korban dieurigai adanya bercak mani berupa bereak kaku , maka pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam amplop, sedangkan korban diberi pakaian pengganti .
2.3 Lakukan pemeriksaan terhadap keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital tubuh lainnya .
2.4 Perhatikan luka-Iuka yang sesuai dengan jalannya peristiwa kekerasan seksual yang dialami (dipegangi tangannya, tungkainya, dibekap, dsb) , dan eatat dalam rekam medis meskipun luka tersebut "hanya" berupa memar ataupun leeet kecil.
2.5 Lakukan pemeriksaan pertumbuhan gigi geligi dan seks sekunder (pertumbuhan payudara dan rambut pubis) untuk konfirmasi usia korban atau kepantasan dikawin sebagaimana diminta oleh undang-undang .
2.6 Bila diduga ada persetubuhan oral , periksa adanya leeet, bintik perdarahan atau memar pada palatum, kemudian .
2.6.1 Lakukan swab pada laring dan tonsil dan buat sediaan hapus dua buah untuk (a) pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit hubungan seksual) dan (b) pemeriksaan sperma dan cairan mani .
dimasukkan ke dalam amplop besar, disegel dan bubuhkan label identitas serta ditanda - tangan oleh pengumpul / pemeriksa .
2.7 Kuku jari tangan dipotong dan dimasukan ke dalam amplop terpisah kanan dan kiri, amplop disegel dan bubuhkan label identitas.
2.8 Periksa, adakah tanda - tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat bius / tidur, apakah ada needie marks.
2.8.1 Bila ada, ini merupakan indikasi untuk pemeriksaan darah dan urin . 2.8 .2 Darah diambil dari vena cubiti sebanyak 5 ml, sedangkan urin diambil
setidaknya seJumlah 10 ml.
2.9 Pasien diminta untuk tidur dalam posisi litotomi .
2.10 Bila Pada tubuh korban ditemukan adanya kerak (bercak) atau bercak basah,
2.10.1 Kerak yang kering dikerok dengan sekalpel dan dimasukan kedalam amplop , disegel dan dibubuhkan label identitas.
2.10 .2Bila terdapat bercak basah, diusap dengan kapas lidi kemudian dikeringkan dan masukan kedalam amplop , disegel dan bubuhi label identitas .
2.11 Rambut pubis disisir :
2.11.1 Rambut lepas yang ditemukan (mungkin milik tersangka pelaku) dimasukkan ke dalam amplop.
2.11.2 Korban diminta untuk mencabut 3 - 10 helai Rambut pubisnya dan masukan ke dalam amplop lain.
2.11.3 Jika didapat rambut yang menggumpal, gunting dan masukan dalam amplop terpisah.
2.11.4 Seluruh amp lop disegel dan dibubuhi label identitas.
2.12 Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perinium ; catat jenisnya, lokasi, bentuk, dasar, tepi dan sekitar luka.
2.13 Bila dicurigai adanya erosi laserasi , dapat disemprotkan cairan toluidin blue dan bilas dengan aquadest, erosi atau laserasi akan tampak berwarna biru .
2.14 Periksa saluran vagina dan selaput dara; pada selaput dara , tentukan ada at au tidaknya robekan - robekan baru atau lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah sampai ke dasar atau tidak.
2.15.1 Pada perempuan dewasa, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang dengan mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila jari kelingking dapat masuk tanpa hambatan dan nyeri, lakukan uji dengan satu jari telunjuk, dan selanjutnya dengan dua jari (telunjuk dan tengah).
2.15 .2 Pada anak - anak lakukan traksi kelateral kiri dan kanan dengan dua jari dan ukur diameter introitus vagina.
2.15.3 Bila terbukti bahwa lubang dapat dimasuki oleh benda yang cukup besar, maka lakukan pengambilan bah an dari dalam vagina untuk pemeriksaan laboratorium dengan memasukkan kapas lidi yang bertangkai panjang dengan hati-hati kedalam forniks posterior dan serviks.
2.16. Dalam hal terdapat riwayat kekerasan seksual ke arah vagina atau alat kelamin pada umumnya, dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium sebagai berikut
2.16.1. Pasang spekulum bila korban telah menikah atau melakukan kegiatan seksual rutin, gunakan ukuran yang sesuai . Pada korban yang baru pertama kali disetubuhi lakukan pengambilan sampel tanpa spekulum.
2.16 .2. Gunakan pipet plastik, ambil cairan dalam vagina, teteskan ke atas kaca objek, kemudian tutup dengan kaca penutup dan segera diperiksa di bawah mikroskop adanya spermatozoa. Apabila dalam vagina tidak ditemukan cairan, bilaslah terlebih dahulu dengan 2 ml larutan garam fisiologis .
2.16 .3. Masukan lidi kapas bersih ke dalam vagina, basahkan kapas dengan cairan vagina dengan cara memutarnya beberapa kali, dan biarkan difomiks posterior selama satu menit.
2.16.4. Pada anak - anak atau yang belum menikah, kapas lidi ukuran kecil diletakan di komisura posterior, didorong ke dalam vagina menelusuri dinding belakang vagina dengan hati - hati sampai terbentur FORNIKS digerakkan kekiri dan kekanan , ditarik keluar menelusuri dinding belakang vagina secara hati - hati.
2.16.5. Buat dua buah sediaan hapus dengan cara menggelindingkan kapas diatas gelas obyek. Keringkan diudara dalam suhu kamar. Kapas lidi juga dikeringkan .
2.17 Dalam hal adanya riwayat persetubuhan dubur, pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi perlu dipertimbangkan untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae
2.17.1 Lakukan swap pada rugae - rugae ,
2.17.2 Buat dua sed iaan hapus dan kapas lidi dikeringkan selanjutnya seperti diuraikan pada butir No .2,? dan 2.16
218 Amp lop berisl kapas lidi kering dikirimkan ke Laboratorium Forensik Kl inik untuk pemeriksaan fosfatase asam , uji Berberio dan uji Florence , PAN (Uji adanya Zn), dan pewarnaan Malachite Green untuk sel sperma , serta persiapan pemeriksaan golongan darah DNA dari cairan mani.
2.19 Pengambilan urin untuk uji kehamilan dilakukan apabila terdapat indikasi dan dilakukan setidaknya dua kali , ya itu saat pemeriksaan pertama kali dan dua hingga empat minggu sesudahnya . Bila kehamilan telah nyata , dilakukan pemeriksaan USG untuk menilai keadaan janin .
2.20 Perujukkan kepada ahli psikologi selalu dilakukan guna menilai keadaan psikologinya dan memberikan konseling psikologis, namun tidak harus pada hari itu juga . Demikian pula perujukkan kepada ahli lainnya.
2.21 Perujukan kepada Polisi dilakukan apabila korban belum melapor ke POLISI sebelumnya dan Korban setuju untuk menempuh jalur hukum . Prujukkan dilakukan dengan sebelumnya menghubungi anggota RPK di Instansi Kepolisian yang sesuai dengan tempat kejadiannya .
2.22 Dalam hal korban telah diantar oleh petugas polisi dan telah menyerahkan Surat Permintaan Visum et repertumnyta , maka dokter segera membuat Keterangan Sementara Hasil Pemeriksaan dan diserahkan kepada polisi pengantar korban .
ANALISIS PENYIMPULAN DAN PENATALAKSANAAN
KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
Dengan tatalaksana ini dapat dianalisis dua hal penting , yaitu tentang hal - hal yang berkaitan dengan pembuktian medis guna kepentingan hukum, dan hal - hal berkaitan dengan upaya terapi dan rehabilitasi korban.
Hukum membutuhkan adanya bukti kekerasan dan bukti adanya persetubuhan . Bukti adanya kekerasan diperoleh dari eedera atau luka yang seearanalar memang dianggap sebagai hasil dari suatu kekerasan Yang lebih penting adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut releva n dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban . Suatu luka memar atau leeet kecil didaerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mung kin tidak bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan dengan riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dieekik dipegangi dengan keras atau dipaksa direngangkan pahanya .
Ditemukannya memar, leeet dan atau laserasi disekitar kemaluan, seperti didaerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat membawa kita kepada kesimpulan bahwa eedera tersebut adalah sebagai tanda kekerasan . Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah yang lebih "dalam" seperti di selaput dara atau vagina, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar atau hampir pasti telah terjadi penetrasi (tidak harus penetrasi lengkap, dan tidak harus oleh penis). Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari kesimpulan ini, yaitu kita tidak dapat memastikan kapan terjadinya kekerasan tersebut - apalagi bila cedera tersebut adalah eedera "lama". Robekan selaput dara yang telah berusia lebih dari lima hari umumnya memiliki eiri yang sama dengan robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan diatas tidak dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan tersebut, jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan , dan tindakan terapi yang pernah diberikan . Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan . Hal ini sebagai akibat dari penetrasi yang hanya sebagian , penetrasi oleh benda yang ukurannya "terlalu" keeil , atau adanya selaput dara yang elastis sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan mani tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi, persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca persetubuhan Bahkan literatur mengatakan bahwa sel sperma hanya dltemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis yang dilakukan segera setelah teqadi persetubuhan
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap sediaan apus dari vagina ditujukan untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat hubungan seksual, yaitu Gonorrhoe Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari suatu hubungan seksual. Apabila ditemukan adanya penyakit ini maka dokter dapat menyimpulkan bahwa BG セュオョァォゥョ。ョ@
besar memang telah terjadi persetubuhan , dan dokter akan memberikan pengobatan Adanya kuman GO ekstrasel saja menunjukkan bahwa pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama.
Penyakit akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa oleh karena frekuensi terjadinya didalam masyarakat yang sangat rendah, sehingga hanya akan dllakukan apabila terdapat indikasi kearah hal tersebut. Selain tersebut diatas juga waspadai HIV, AIDS dan Hepatitis atau Penyakit Infeksi lainnya.
Apabila dalam uji kehamilan positip pada waktu pemeriksaan pertama (kurang dari 10 hari sejak terjadinya persetubuhan yang dilaporkan) maka kemungkinan besar kehamilan tersebut bukan akibat persetubuhan tersebut, melainkan akibat persetubuhan sebelumnya Sedangkan apabila hasil pada pemeriksaan pertama negatif dan hasil pemeriksaan pad a kunjungan kedua positip, padahal diketahui bahwa tidak ada persetubuhan diantaranya, maka dapat disimpulkan bahwa kehamilan tersebut akibat persetubuhan yang dimaksud. Sikap terhadap kehamilan tersebut sangat bergantung kepada kasus per-kasus Namun demikian pada umumnya para pakar etika kedokteran tidak dapat menyalahkan dokter yang melakukan terminasi kehamilan yang terjadi sebagai akibat dari suatu pemerkosaan atau kejahatan seksual yang serupa
Penggunaan obat pencegah kehamilan darurat (emergency contraception) akan lebih tepat guna apabila diterapkan pada kasus-kasus yang potensial terjadi kehamilan
PEMERIKSAAN KORBAN PERLAKUAN SALAH I PENDERAAN TERHADAP ANAK B.
1. ANAMNESIS
1.1. Upayakan anamnesis diperoleh secara cermat. baik dari orang tua maupun dari
si anak sendiri
1.2. Nilai kejanggalan sikap anak , orang tua, atau pengantar lain
1.3. Nilai kejanggalan keterangan yang diberikan
14. Lengkapi rekam medis dengan menanyakan kembali tentang identitasnya
1.5. Tanyakan tentang proses terjadinya perlakuan salah (abuse) secara rinci,
termasuk
1.5.1. urutan kejadiannya
1.5.2 . penderaan apa yang telah terjadi , 1.5.3. oleh siapa,
1.54. kapan, 1.5.5. dimana,
1.5.6. dengan menggunakan apa atau bagaimana terjadinya , 1.5.7. berapa kali,
1.5.8. apa akibatnya pada si anak,
1.5.9. orang-orang yang ada di sekitar pada saat kejadian,
1.5.10 waktu jeda (time lag) antara saat kejadian dan saat meminta pertolongan medis .
1.6. Peroleh pula informasi tentang :
1.6.1. keadaan kesehatannya sebelum trauma, 1.6.2. pernahkah trauma seperti ini sebelumnya,
1.6.3. adakah riwayat penyakit hematologis atau darah sebelumnya ,
1.6.4. bagaimanakah pertumbuhan fisik , perkembangan (terutama motorik) dan psikis anak,
1.6.5. siapa yang mengawasi dan dekat dengan si anak sehari-hari,
1.7. Keterangan pasien atau korban untuk setiap kelainan fisik yang ditemukan harus dicatat.
1.8. Untuk anak yang berusia > 3 tahun ,
2.
PEMERIKSAAN FISIK2.1 Periksa dan catatlah keadaan gizi (tinggi badan , berat badan dan usianya ) , hlglene dan tumbuh kembang si anak.
2.2 Periksa dan catatiah keadaan umum si anak, seperti kesadaran , kooperatif atau initabel, kejang, apnoe dan syok.
2.3 Periksa dan catatlah kedaan fisik umum sebagaimana biasa .
2.4 Buatlah daftar dan plot pada diagram topografi jenis perlukaan yang ada. Apakah ada memar, fraktur , luka bakar atau jaringan parut. Oeskripsikan tentang :
2.4.1 Letaknya (deskriptipkan tempat kelainan dengan menyembuhkan daerah tubuh yang terkena ) termasuk sisi kiri atau kanan.
2.4.2 Serta koordinatnya Uarak terhadap garis pertengahan tubuh bagian depan (GPO) atau garis pertengahan tubuh bagian belakang (GPB) sebagai aksis dan jarak terhadap titik anatomis terdekat sebaga i ordinat ; 2.4.3 Ukurannya (panjang atau luasnya),
2.4.4 Bentuknya (deskripsikan bentuk atau pola perlukaan apakah sesuai dengan alat atau barang yang ada disekitar kita , seperti lidi, sabuk atau ikat pinggang, setrikaan, dll)
2.4 .5 Serta warnanya (apakah berwarna kemerahan, kebiruan, kecoklatan atau kehitaman atau pada memar apakah telah dikelilingi dengan warna kuning - kehijauan).
2.5 Harus juga diperhatikan daerah mata (termasuk retina), daun telinga, rongga mulut dan alat kelamin untuk mendeteksi adanya tanda - tanda perlukaan terselubung (occult trauma) .
2.6 Pada kasus - kasus berat, pemotretan berwarna dapat membantu .
2.7 Raba semua tulang terutama tulang - tulang panjang adakah nyeri tulang saat palpasi dilakukan , serta lakukan uji sendi dengan melakukan gerakan rentang sendi , adakah keterbatasan gerakan sendi .
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.1 Lakukan pemeriksaan darah rutin (darah tepi lengkap) dan bila diperlukan periksa waktu perdarahan , PT (protrombin time) dan PH ( partial thromboplastin time) . Pada trauma abdomen : darah tepi lengkap , urinalisis, fungsi hati dan amilase.
3.2.1. Pemeriksaan usap vagina dilakukan pada kasus yang diduga memperoleh perlakuan salah secara seksual.
3.3 Pada kasus yang disangka merupakan kasus prisical abuse, lakukan pemeriksaan rontgen sebagai berikut :
3.3.1 Anak dengan usia < 2 tahun seharusnya dilakukan bone survey 3.3.2 Anak berusia 2 - 5 tahun dengan perlukaan yang jelas seharusnya
dilakukan bone survey
3.3.3 Anak diatas 5 tahun denga nyeri tulang pada pemeriksaan atau dengan keterbatasan gerak sendi seharusnya dilakukan pemeriksaan rontgen pada daerah yang dicurigai saja.
3.3.4 Anak dengan trauma kepala : CT Scan dan MRI bila perlu 3.3.5 Anak dengan trauma abdomen : Radiologis abdomen.
4. PEMERIKSAAN PADA DUGAAN ADANYA PENGANIAYAAN SEKSUAL
4.1 Prosedur pemeriksaan merupakan gabungan antara pemeriksaan terhadap korban pencideraan anak dengan pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual.
4.2 Khusus pada pemeriksaan luar genitalia :
4.2 .1 Adakah tanda trauma dan duh (sekrit) vagina.
4.2.2 Adakah larerasi atau jaringan parut yang meluas sampai dinding vagina 4.2 .3 Adakah jaringan himen atau selaput dara yang berkurang
4.2.4 Adakah eritema atau undern setempat 4.2.5 Adakah jaringan ikat pada fourchette fasterior
4.3. Adakah tanda trauma di daerah anal
4.3.1. Adakah laserasi atau skar (parut) penyembuhan yang menjalar sampai melebihi mukosa anus.
4.3.2. Adakah tanda-tanda trauma akut seperti peradangan, eritema, lebam , visura, dan kongestivena.
4.3.3. Adakah tanda-tanda trauma kronik, meliputi penebalan batas antara kulit dan mukosa meningkatnya elastisitas serta menurunnya tonus sfingter. 4.3.4. Adakah kelelahan anal (analaxity)
4.3 .5. Adakah dilatasi refiek anal (> 2 em)
4.4 . Gunakan kaca pembesar kolposkop atau otoskop untuk memeriksa keadaa ll selaput dara.
45. Lubang selaput diukur pada arah hOri zontal pada saat labia dltarik ke samping (lateral traction), yang nilai-nila i normalnya adalah sebagai berikut •
4.5.1. Sampai usia 5 tahun berukuran kurang atau sama dengan 5 mm 4.5.2. Usia 5 - 9 tahun bertambah ukurannya 1 mm tiap tahunnya
4.5.3. Usia 9 tahun hingga pubertas 9 rnm. Bila ditemukan ukuran yang lebih besar dari angka-angka diatas maka dapat diduga bahwa telah terjadi penetrasi.
4.6. Perhatikan labia minora dan posterior fourchette
4.7. Speculum hanya digunakan bila perlu (umumnya jarang sekali digunakan)
4.8. Tata cara pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagaimana diatur dalam prosedur sebelumnya.
5. ANALISIS, PENYIMPULAN DAN PENATALAKSANAAN
Adanya perlukaan yang lama dan terlambat diperiksakan ke Pusat pelayanan kesehatan serta mekanisme perlukaan yang terjadi tidak sesuai dengan kecelakaan , menimbulkan kecurigaan akan adanya perlukaan non-aksidental (NAI , non accidental injuries) Perlukaan non-aksidental ini merupakan perlukaan yang umumnya
ditemukan pada kasus perlakuan salah terhadap anak.
Perlakuan yang terjadi dapat berupa memar atau leeet, fraktur, luka bakar, jaringan parut atau skar.
Memar akibat kecelakaan umumnya terjadi di daerah dah i ata u kepala bagian de pan, tibia anterior serta daerah lain dengan penonjolan tulang . Namun jika memar tadi ditemukan diwajah, telinga , bahu , atau pinggang maka kemungkinan adanya perlakuan salah patut diduga . Oi samping itu pola memar akibat tekanan jari tangan atau benda tertentu juga termasuk pola memar yang patut dicurigai
Sementara itu memar pada bagian sebelah dalam paha dan alat kelamin luar perlu dicurigai adanya perlakuan salah secara seksua l.
Luka bakar akibat sebab non-aksidental terjadi karena
「・イ「。セ。ゥ@
cara seperti akibat sundutan bara rokok atau benda-benda panas lain yang ada dlsekltar klta dan dipaksakan untuk dipegang atau secara sengaja ditempelkan. pad.a tubuh korban . Adanya bullae harus dapat dibedakan dari impetigo buliosa aklbat InfekslJaringan parut terjadi sebagai manifestasi proses penyembuhan dari suatu perlukaan atau lebih tepat disintegrasi jaringan (kulit atau mukosa) . Adany.a ャ。ウ・イセウャ@ atau jaringan parut yang meluas sampai ke dinding vagina atau sampal meleblhl mukosa anus dapat bernilai diagnosa penetrasi pad a vagina dan anus.
Prosedur yang berkaitan dengan kekerasan seksual dilaksanakan sebagaimana telah diuraikan dibagian sebelum ini. Cara-cara pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium juga telah diuraikan di atas. Demikian pula analisis dan penyimpulannya .
Riwayat sosial lengkap diperlukan termasuk informasi secara rinci orang-orang yang selama ini dekat dengan korban . Tumbuh kembang anak dinilai, apakah ada gagal tumbuh atau tidak, gangguan perkembangan, serta gangguan tingkah laku. Adanya gangguan tumbuh kembang ini akan mengkonfirmasi perlakuan salah pada anak. Pada anak yang diduga mengalami perlakuan salah secara seksual, pengulangan pemeriksaan alat kelamin seharusnya dihindari, dan sebaiknya dilakukan paling akhir sambil mengambil sediaan usap vagina.
Ditemukannya cedera fisik yang berat dan atau adanya tanda kekerasan seksual harus merupakan alasan bagi dokter untuk lebih merinci siapa pelaku kekerasan tersebut. Apabila pelaku kekerasan tersebut terdapat di rumah, maka Perlu dinilai apakah kekerasan ulangan masih mungkin terjadi. Cedera yang berat atau ancaman akan berulangnya kekerasan merupakan alasan yang kuat untuk merawat inap si anak. Dalam keadaan bimbang atau tidak yakin, maka tindakan merawat inap mungkin merupakan tindakan sela yang berarti. Tindakan-tindakan di atas adalah tindakan di luar tindakan hukum yang mung kin akan diambil oleh penyidik polisi .
Berkaitan dengan aspek hukum , siapa yang harus melaporkan kasus kepada polisi penyidik menjadi masalah sui it. Hal ini disebabkan oleh karena pelaku kekerasan umumnya adalah orang tua atau wali si korban, sehingga tentu saja tidak ingin melapor ke penyidik. Sementara itu para dokter dibebani wajib simpan rahasia kedokteran dan belum ada peraturan perundang-undangan yang mengharuskan para tenaga kesehatan untuk melapor kepada penyidik apabila mengetahui adanya kasus child abuse .
mengetahui adanya tindak pidana . World Medical Association juga menyatakan bahwa tindakan melapor pada kasus child abuse adalah suatu kewajiban moral bagi dokter.
Akh irnya dapat dikatakan bahwa penatalaksanaan korban sangat bergantung kepada kasus per kasus, dan tidak dapat digeneralisasikan . Setidaknya para tenaga kesehatan waj ib memberikan pengobatan medis terhadap perlukaan yang terjad i, seperti luka-Iuka di ku lit, trauma kepala atau patah tulang. Bila perlukaan yang terjadi dianggap berat, maka korban sebaiknya dirawat inap.
Lakukanlah konsultasi pada psikolog/psikiater dan pekerja sosial (bila tersedia), untuk memperoleh rencana tatalaksana psiko-sosio selanjutnya. Selanjutnya lihat pula bab Konseling .
Pertimbangan medis (fisik dan psikis) harus diutamakan , dengan mengingat prinsip moral utama seperti : Autonomy, Beneficence , Non Maleficence, Dan Justice.
C. PEMERIKSAAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam Kekerasan dirumah tangga dapat terjadi berbagai jenis kekerasan , baik kekerasan fisik , kekerasan seksual dan kekerasan psikolog is. Oleh karena itu tatalaksana penanganannya merupakan gabungan dari penanganan korban kekerasan seksual dan korban kekerasan fisik o
1. ANAMNESIS:
1.1 Upayakan anamnesis diperoleh secara cermat, baik dari pengantar maupun dari si perempuan sendiri
1.2 Nilai kejanggalan sikap istri, suami atau pengantar lain .
1.3 Nilai kejanggalan keterangan yang diberikan
1.4 Lengkapi rekam med is dengan menanyakan kembali tantang identitasnya .
1.5 Tanyakan tentang proses terjadinya kekerasan secara rinci, termasuk :
1.5.1 Urutan kejadian
1.5.2 Apa yang menjadi pemicu 1.5.3 Penderaan apa yang telah terjadi 1.5.4 Oleh siapa
1.5.5 Kapan 1.5.6 Dimana
1.5.7 Dengan menggunakan apa atau bagaimana terjadinya 1.5.8 Berapa kali
1.5.10 Orang-orang yang ada disekitar pada saat kejadian
1.5.11 Waktu Jeda (time lag) antara saat kejadian dan sa at meminta pertolongan medis
1.5.12 Apa yang dilakukan pelaku setelah kejadian
1.6 Peroleh pula informasi tentang :
1.6.1 keadaan kesehatannya sebelum trauma 1.6.2 pernakah trauma seperti ini sebelumnya
1.6.3 adakah riwayat penyakit dan perilaku sebelumnya
1.6.4 adakah faktor-faktor sosial budaya ekonomi yang berpengaruh pada perilaku dalam keluarga
1.6.5 bagaimanakah pertumbuhan fisik, perkembangan (terutama motorik) dan fisik anak - anaknya
1.6.6 apakah anaknya juga mengalami kekerasan
1.7 Keterangan pasien atau korb