PERFORMA REPRODUKSI INDUK DAN BENIH HIBRIDA
IKAN LELE AFRIKA STRAIN SANGKURIANG DAN MESIR
PADA FASE PENDEDERAN
PUTRI ZULFANIA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
PUTRI ZULFANIA. Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji performa reproduksi induk dan benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika strain Sangkuring (S) dan Mesir (M) pada fase pendederan. Hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika Clarias gariepinus telah dilakukan secara resiprokal (SM dan MS) dan galur murni (SS dan MM) masing-masing dengan 3 ulangan. Pemijahan dilakukan secara buatan dan larva yang dihasilkan dipelihara pada pendederan 1, 2, dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa induk pada kedua strain tidak berbeda nyata (P>0,05) pada seluruh parameter kecuali parameter indeks gonado-somatik (GSI) betina. Derajat pembuahan dan penetasan telur pada seluruh persilangan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pertumbuhan benih pada persilangan MM lebih tinggi dibandingkan persilangan lain, tetapi dengan tingkat kelangsungan hidupnya lebih rendah dibandingkan benih persilangan lain. Nilai heterosis panjang total, panjang standar, dan bobot tubuh yang dihasilkan pada setiap stadia pendederan bervariasi, sedangkan nilai heterosis kelangsungan hidup menunjukkan nilai seluruhnya positif dibandingkan rataan galur murni. Heterosis pertumbuhan benih persilangan SM pada pendederan 3 selalu menunjukkan hasil yang positif (2,61% untuk panjang total, 2,16 % untuk panjang standar, dan 4,79% untuk bobot tubuh). Nilai heterosis kelangsungan hidup pada persilangan MS (24,20; 103,13 dan 11,62%) lebih tinggi dibandingkan persilangan SM (6,86; 48,57 dan 3,09%) pada setiap stadia pendederan.
ABSTRACT
PUTRI ZULFANIA. Performance of Broodstock and Hybrid Juvenile of Egyptian and Sangkuriang African Catfish Strains at Nursery Phase. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
This study was performed to evaluate reproduction of broodstock and intraspecific hybrid juvenile performance of Egyptian African (M) and Sangkuriang catfish strains at nursery phase. Intraspecific hybridization of African catfish Clarias gariepinus was performed reciprocally (SM and MS) and purebreed (SS and MM), each was 3 replicates. Fish spawning was conducted by artificial fertilization, and larvae were reared at 1st, 2nd and 3rd nursery phases, subsequently. The results showed that broodstock performance of both strains were not significantly different (P>0.05) on all traits, except female’s gonadosomatic index. Fertilization and hatching rates of all hybrids were not significantly different (P>0.05). MM juvenile had higher growth performances but lower survival than other hybrids. Heterosis of total length, standard length, and body weight were varied, whereas the survival showed positive heterosis. SM juvenile showed positive growth heterosis in 3rd nursery phase (total length, standard length and body weight were 2.61; 2.16 and 4.79%, respectively). Survival heterosis of MS juvenile (24.20; 103.13 and 11.62%) was higher than SM juvenile (6.86; 48.57 and 3.09%) on all nursery phases.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
PERFORMA REPRODUKSI INDUK DAN BENIH HIBRIDA
IKAN LELE AFRIKA STRAIN SANGKURIANG DAN MESIR
PADA FASE PENDEDERAN
PUTRI ZULFANIA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan
Nama : Putri Zulfania
NIM : C14090041
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc Pembimbing I
Dr Alimuddin, SPi MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Sukenda, MSc Ketua Departemen
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya atas kelancaran pelaksanaan penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi hingga penyelesaian skripsi dengan judul “Performa Reproduksi Induk dan Benih Hibrida Ikan Lele Afrika Strain Sangkuriang dan Mesir pada Fase Pendederan” ini dapat berjalan dengan baik.
Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc. dan Bapak Dr. Alimuddin, S.Pi., M.Sc., selaku pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, pemikiran, pengarahan dan saran yang membangun,
2. Bapak Ade Sunarma, S.Pi., M.Si., selaku partner penelitian yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian, serta Keluarga Besar BBPBAT Sukabumi yang telah mengizinkan saya untuk dapat melakukan penelitian,
3. Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc., selaku Ketua Departemen Budidaya Perairan serta seluruh dosen dan staf BDP yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan,
4. Bapak Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, M.Si., selaku dosen tamu penguji dan Ibu Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si., selaku komisi program studi,
5. Bapak, Mama, Putri Anjani, Zulfikar Aditya, Zulfadli Zaki, dan seluruh keluarga, serta Fahmi Sulaksono atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan,
6. Teman-teman terbaik (Raja Efrianti, Wuri Widhawati, Anisa Yulia, Anindila, Reza Akbar, Achmad Rizki, Antharest, Rangga Garnama) serta seluruh BDP 46 yang telah memberikan asam manis cerita yang tertorehkan selama masa perkuliahan, dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi yang telah saya buat dengan sebaik-baiknya ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
METODE ... 3
Rancangan Penelitian ... 3
Prosedur Penelitian ... 3
Parameter Uji ... 5
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7
Hasil ... 7
Pembahasan ... 14
KESIMPULAN DAN SARAN ... 17
Kesimpulan ... 17
Saran ... 17
DAFTAR PUSTAKA ... 17
LAMPIRAN ... 20
DAFTAR TABEL
1 Perlakuan persilangan antara ikan lele Afrika strain Sangkuriang (S) dan
Mesir (M) ... 3
2 Performa induk betina ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir ... 7
3 Performa induk jantan ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir ... 8
4 Derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) ... 8
5 Kualitas air media pemeliharaan ... 14
DAFTAR GAMBAR
1 Pengukuran panjang standar (1) dan panjang kepala (2) pada ikan lele berdasarkan SNI (2000) ... 72 Pertumbuhan panjang total (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 9
3 Pertumbuhan panjang standar (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 9
4 Pertumbuhan bobot tubuh (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 10
5 Laju pertumbuhan spesifik (SGR) (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 10
6 Tingkat kelangsungan hidup (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 11
7 Biomassa panen (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 11
8 Distribusi ukuran (%) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 12
9 Heterosis benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 13
10 Rasio PK dan PS (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal ... 13
DAFTAR LAMPIRAN
1 Performa benih ... 20PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu jenis ikan yang merupakan komoditas unggulan budidaya air tawar di Indonesia adalah ikan lele (Clarias sp.) yang telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Produksi maupun konsumsi ikan lele di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Produksi ikan lele secara nasional mulai tahun 2009 sebesar 144.755 ton, tahun 2010 sebesar 242.811 ton, dan tahun 2011 sebesar 337.577 ton dengan rata-rata peningkatan produksi sebesar 39,50% per tahun (KKP 2013). Sebagai contoh, kebutuhan ikan lele konsumsi di Jakarta pada tahun 2012 mencapai 80 ton untuk setiap harinya. Permintaan yang besar ini belum diimbangi pasokan lele dari pembudidaya, yang baru mencapai 62,5% atau 50 ton per hari (KKP 2012).
Adanya produksi yang besar-besaran tanpa manajemen induk yang baik mengakibatkan penurunan mutu genetik, seperti pertumbuhan semakin lambat, mudah terserang penyakit, rentan terhadap lingkungan, dan tingkat abnormalitas semakin tinggi (Tave 1999). Hal yang dapat mendukung peningkatan produksi adalah pemeliharaan benih berkualitas tinggi untuk mendukung teknologi budidaya sudah berkembang. Perbaikan mutu genetik lebih lanjut sebagai cara untuk mendapatkan benih berkualitas unggul. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki strain secara genetik dalam akuakultur adalah selective breeding (seleksi, crossbreeding, dan hibridisasi), sex reversal (ginogenesis dan androgenesis), teknologi marker DNA, serta rekayasa gen (Hulata 2001).
Kualitas induk dan benih ikan secara genetik dapat ditingkatkan melalui seleksi (Gjedrem dan Refstie 2005; Bentsen et al. 2012; Cuéllar-Anjel et al. 2012), hibridisasi (Sumantadinata dan Hadiroseyani 2002; Wachirachaikarn et al. 2009; Guy et al. 2009), dan rekayasa gen (Kobayashi et al. 2007; Zhong et al. 2012; Leggatt et al. 2012). Setiap metode tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Seleksi yang dilakukan melalui persilangan secara terarah dapat meningkatkan kualitas genetik rata-rata >10% per generasi dan umumnya diperlukan lebih dari 3 generasi sebelum ikan dapat disebar ke pembudidaya (Gjedrem 2012). Induk dari berbeda famili atau berbeda populasi dapat disilangkan (hibridisasi) untuk menghasilkan benih hibrida. Hibridisasi menghasilkan benih sebar yang dapat langsung dibesarkan oleh pembudidaya dan kualitas benihnya memiliki efek heterosis sekitar >10% lebih tinggi daripada kedua induknya (Guy et al. 2009). Aplikasi rekayasa gen dapat meningkatkan kualitas genetik jauh lebih tinggi daripada capaian seleksi dan hibridisasi, tetapi hingga saat ini ikan transgenik belum ada yang diajukan untuk evaluasi keamanan hayati sebelum disebar ke pembudidaya.
2
spesies/grup tunggal, mengurangi reproduksi yang tidak diinginkan melalui produksi ikan steril (keturunan yang monoseks), serta meningkatkan toleransi lingkungan (Bartley et al. 2001).
Beberapa contoh hibridisasi yang telah dilakukan adalah hibridisasi black bream (Acanthopagrus butcheri Munro) (Doupé et al. 2003), hibridisasi chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) (Bryden et al. 2004), hibridisasi udang biru Pasifik (Penaeus styrotris) (Goyard et al. 2008), hibridisasi ikan lele Afrika (Clarias gariepinus) di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009), dan persilangan dialel silver perch (Bidyanus bidyanus) di Australia (Guy et al. 2009). Hasil hibridisasi ini diharapkan dapat menunjukkan karakteristik yang lebih baik dari kedua sifat induknya (heterosis atau hybrid vigor) yang baik (Goyard et al. 2008; Fjalestad 2005; Bartley et al. 2001). Berdasarkan data empiris dari udang biru Pasifik, Goyard et al. (2008) menyebutkan bahwa persilangan yang dilakukan antara populasi yang diintroduksi dengan jarak genetik yang berbeda dan kemudian diisolasi, sehingga tanpa pengaruh dari inbreeding, akan menunjukkan peningkatan performa dari efek heterosis yang dihasilkan. Wachirachaikarn et al. (2009) juga merekomendasikan untuk memastikan adanya perbaikan dari pergeseran genetik (genetic drift) dan inbreeding, perlu dilakukan introduksi stok baru ikan lele Afrika (C. gariepinus) untuk dilakukan persilangan dengan stok lokal yang telah diadaptasi sebelumnya. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Shikano dan Taniguchi (2002), yang menunjukkan hasil bahwa persilangan ikan gapi (Poecilia reticulata) dari strain yang berbeda secara genetik (memiliki jarak genetik yang jauh antar strain yang diukur menggunakan marka molekular) memiliki heterosis dari karakter terkait yang signifikan.
Pemuliaan genetik ikan lele di Indonesia telah dilakukan oleh Sunarma et al. (2005) dengan teknik silang-balik ikan lele Afrika yang telah diintroduksi di Indonesia sejak 1985 dan menghasilkan ikan lele Sangkuriang. Ikan lele Sangkuriang tersebut memiliki fekunditas dan pertumbuhan yang lebih tinggi serta konversi pakan yang lebih rendah dibandingkan ikan lele dumbo yang saat itu beredar di masyarakat. Pemuliaan ini dilatarbelakangi oleh adanya perkawinan induk yang tidak terkontrol dengan baik oleh pembenih, maka indikasi penurunan kualitas genetik benih ikan lele telah banyak dilaporkan oleh pembudidaya.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa reproduksi dan benih hibrida ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir pada fase pendederan.
METODE
Rancangan Penelitian
Persilangan ikan lele Afrika strain Sangkuriang (S) dan Mesir (M) dilakukan secara resiprokal termasuk persilangan galur murni. Setiap strain dibuat 3 persilangan sebagai ulangan (Tabel 1).
Tabel 1 Perlakuan persilangan antara ikan lele Afrika strain Sangkuriang (S) dan Mesir (M)
♀
♂ S1 S2 S3 M1 M2 M3
S1 S1S1 - - M1S1 - -
S2 - S2S2 - - M2S2 -
S3 - - S3S3 - - M3S3
M1 S1M1 - - M1M1 - -
M2 - S2M2 - - M2M2 -
M3 - - S3M3 - - M3M3
Keterangan:
♀: betina, ♂: jantan
Prosedur Penelitian
Materi uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 strain/populasi ikan lele Afrika introduksi, yaitu strain Sangkuriang dan Mesir yang dimiliki oleh BBPBAT Sukabumi. Induk dari masing-masing strain tersebut berjumlah 3 jantan dan 3 betina yang digunakan untuk membuat 12 persilangan.
Pemilihan induk matang gonad
4
Pemijahan induk
Induk ikan lele Afrika dipijahkan secara buatan. Induk ikan lele betina diberi rangsangan hormonal dengan penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,2 mL/kg induk secara intramuskular. Setelah 12 jam penyuntikan, induk dicek kembali untuk mengetahui kesiapan ovulasi. Setiap induk jantan dibedah untuk diambil kantung spermanya. Kantung sperma tersebut dibuka dan sperma ditampung dalam wadah yang telah diisi larutan fisiologis NaCl 0,9% sebagai media pengencer dengan rasio pengenceran 1 : 100 (sperma : larutan fisiologis). Setelah induk betina dipastikan telah mengalami ovulasi, induk betina kemudian distripping untuk mengeluarkan telurnya. Telur yang berasal dari 1 betina tersebut dibagi dalam 2 wadah dan kemudian ditambahkan cairan sperma sesuai perlakuan (Tabel 1). Telur yang telah ditambahkan cairan sperma tersebut kemudian diaduk menggunakan bulu unggas hingga rata.
Penebaran dan penetasan telur
Telur yang telah diaduk secara rata kemudian ditambahkan sedikit air. Telur tersebut kemudian ditebar secara merata pada hapa halus berukuran 2 m x 1 m di bak fiber 4 m x 2 m x 0,5 m yang sebelumnya telah disiapkan. Saringan juga disiapkan sebagai wadah sampel penghitungan telur untuk menghitung derajat penetasannya. Penetasan telur juga dilakukan pada wadah hapa tersebut.
Pendederan
Larva berumur 4 hari dipanen dan dihitung sebanyak 1500 ekor untuk setiap perlakuan kemudian dipindahkan ke dalam akuarium dengan dimensi 80 cm x 60 cm x 40 cm (volume air 100 L) dengan kepadatan 15 ekor/liter. Pakan berupa cacing sutera yang dicacah diberikan selama 7-10 hari secara ad libitum dan dilakukan overlapping dengan pakan tepung buatan kadar protein 40% pada hari ke-8 hingga hari ke-15. Pemberian pakan buatan dilakukan secara at satiation (sekenyangnya) dengan frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4 kali sehari pada kondisi normal. Kegiatan sortasi dilakukan pada akhir kegiatan pendederan 1 dengan memilih benih dengan ukuran rataan untuk dipelihara lebih lanjut pada pendederan 2. Pergantian air sebanyak 30-50% dilakukan setiap 7 hari sekali. Pendederan 1 dilakukan selama 3 minggu.
Benih dengan ukuran sekitar rerata populasi dari setiap perlakuan disortasi dan selanjutnya dipelihara kembali pada pendederan 3 dengan kepadatan 5 ekor/liter. Pendederan ketiga dilakukan dalam wadah akuarium dengan dimensi 80 cm x 60 cm x 40 cm (volume air 100 L). Pakan yang diberikan adalah pakan buatan berbentuk tepung kadar protein 40% pada minggu pertama dan dilakukan overlapping dengan pakan crumble (butiran halus) kadar protein 39-41% pada akhir minggu pertama dan dilanjutkan dengan pakan yang sama hingga minggu ketiga. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sekenyangnya) dengan frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4 kali sehari pada kondisi normal. Kegiatan sortasi dilakukan pada akhir kegiatan pendederan 2 juga dilakukan dengan memilih benih dengan ukuran rataan untuk dipelihara lebih lanjut pada pendederan 3. Pergantian air sebanyak 50-70% dilakukan setiap 5 hari sekali. Pendederan 2 dilakukan selama 4 minggu.
5 ekor/liter dalam wadah akuarium dengan dimensi 80 cm x 60 cm x 40 cm (volume air 100 L). Pakan yang diberikan adalah pakan buatan dengan kadar protein 39-41% berdiameter 0,4-0,5 mm pada minggu pertama hingga pertengahan minggu kedua dan dilakukan overlapping dengan pakan buatan kadar protein 39-41% berdiameter 0,7 – 0,8 mm pada minggu kedua dan dilanjutkan dengan pakan yang sama hingga minggu ketiga. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sekenyangnya) dengan frekuensi 3 kali sehari saat dilakukan pergantian air dan 4 kali sehari pada kondisi normal. Kemudian benih dipanen dan dihitung jumlah akhirnya. Pergantian air sebanyak 80-100% dilakukan setiap 3 hari sekali. Pendederan 3 dilakukan selama 4 minggu.
Pengukuran kualitas air
Pengukuran kualitas air dilakukan selama pemeliharaan larva dan benih. Parameter harian yang diukur adalah suhu, pH, dan DO, sedangkan parameter mingguan yang diukur adalah amoniak. Seluruh parameter tersebut diukur menggunakan multi-checker (Horiba model-W23XD).
Parameter Uji
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi performa reproduksi induk, derajat pembuahan (fertilization rate, FR) dan derajat penetasan (hatching rate, HR), serta performa benih berupa pertumbuhan panjang dan bobot, tingkat kelangsungan hidup (KH), laju pertumbuhan spesifik panjang dan bobot, biomassa panen, distribusi ukuran, nilai heterosis, dan rasio proporsi tubuh.
Performa reproduksi induk
Performa reproduksi induk yang diamati meliputi indeks gonado-somatik (GSI), diameter dan fekunditas telur betina, serta motilitas dan kepadatan spermatozoa. Indeks gonado-somatik (GSI) merupakan persentase bobot gonad jantan atau betina terhadap bobot tubuh.
Diameter telur diukur pada saat pemilihan induk. Sampel telur yang diambil dengan cara intra ovarian biopsy diukur menggunakan mikroskop dilengkapi dengan mikrometer pada perbesaran 40 kali. Fekunditas merupakan jumlah telur per kilogram induk betina. Sampel telur ditimbang untuk mengetahui bobotnya dan dihitung jumlahnya kemudian digunakan untuk menghitung fekunditas.
6
Derajat pembuahan (FR)
Derajat pembuahan telur (FR) merupakan persentase jumlah telur lele yang terbuahi dengan jumlah telur hasil pemijahan yang dihitung pada saringan sebagai wadah sampel perlakuan. Telur ikan lele yang dibuahi memiliki ciri-ciri berwarna hijau, sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih susu. Telur ikan lele yang dibuahi dihitung 10-12 jam setelah proses pembuahan.
Derajat penetasan (HR)
Derajat penetasan telur (HR) merupakan persentase jumlah larva yang menetas dengan jumlah telur yang dibuahi yang dihitung pada saringan sebagai wadah sampel perlakuan. Larva hasil penetasan dihitung 36-40 jam setelah proses pembuahan.
Tingkat kelangsungan hidup
Tingkat kelangsungan hidup (KH) merupakan persentase ikan lele yang hidup pada setiap akhir stadia pendederan. Penghitungan tingkat kelangsungan hidup ikan lele berdasarkan rumus Effendie (1997).
Laju pertumbuhan spesifik
Laju pertumbuhan spesifik atau persentase pertambahan bobot atau panjang setiap hari dikenal dengan istilah spesific growth rate (SGR). Nilai SGR dihitung berdasarkan rumus Huissman (1987).
Distribusi ukuran benih
Distribusi ukuran benih merupakan persentase ukuran benih yang terdapat pada setiap perlakuan. Persentase dihitung berdasarkan ukuran benih pada setiap akhir stadia pendederan.
Nilai heterosis
Heterosis merupakan perbandingan rataan hibrida (hybrid) dengan rataan galur murni (purebreed). Tujuan dilakukan penghitungan heterosis ini untuk menentukan persilangan yang memiliki kualitas genetik lebih dari tetuanya (Tave 1986; Goyard et al. 2008). Heterosis dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
(Goyard et al. 2008)
Rasio proporsi tubuh
Pengukuran panjang standar tubuh (PS) dan panjang kepala (PK) berdasarkan Gambar 1 terhadap 30 sampel dari masing-masing perlakuan dilakukan untuk mengetahui rasio antar hibrida yang dilakukan pada akhir penelitian. Rasio tersebut dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini.
7
Sumber : SNI (01-6484-3-2000)
Gambar 1 Pengukuran panjang standar (1) dan panjang kepala (2) pada ikan lele berdasarkan SNI (2000)
Analisis data
Data performa reproduksi dan benih dianalisis statistik menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan Minitab16.0. Fenotipe kuantitatif dari performa reproduksi yang meliputi performa induk, derajat pembuahan, derajat penetasan, kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan biomassa panen dianalisis menggunakan pengujian one-way ANOVA dan uji lanjut Tukey’s. Data distribusi ukuran, nilai heterosis, performa fenotipe hibrida, dan data kualitas air dianalis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Performa induk
Performa induk betina ikan lele strain Sangkuriang dan Mesir (Tabel 2) adalah tidak berbeda nyata (P>0,05) pada parameter bobot tubuh, fekunditas telur, dan diameter telur. Nilai GSI induk betina pada ikan lele Sangkuriang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan strain Mesir. Berbeda dengan hasil performa induk betina, bobot tubuh ikan jantan, GSI, kepadatan sel spermatozoa, dan motilitas sperma menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar kedua strain pada performa induk jantan (Tabel 3). Hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) juga terdapat pada parameter derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) pada semua persilangan (Tabel 4).
Tabel 2 Performa induk betina ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir Parameter Ikan lele strain Sangkuriang Ikan lele strain Mesir
Bobot Tubuh (kg) 5,41±1,13a 3,10±0,39a
Fekunditas (telur/kg
induk) 78.594,00±7.050,45
a
63.862,79±5.637,75a
GSI (%) 14,94±0,44a 11,27±1,21b
Diameter Telur (mm) 1,61±0,05a 1,54±0,05a
8
Tabel 3 Performa induk jantan ikan lele Afrika strain Sangkuriang dan Mesir Parameter Ikan lele strain
Sangkuriang Ikan lele strain Mesir
Bobot Tubuh (kg) 2,03±0,26a 2,59±0,07a
GSI (%) 0,63±0,08a 0,50±0,08a
Kepadatan sperma (sel
spermatozoa ml-1 x 109) 1,78±0,28
a
2,04±0,22a Motilitas sperma (%) 43,33±8,82a 36,67±11,55a
Data menunjukkan rataan ± SE; GSI: indeks gonado-somatik; huruf berbeda pada setiap parameter menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Tabel 4 Derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR)
Persilangan FR (%) HR (%)
SS 86,87±10,37a 81,76 ±2,56a
SM 91,46±1,67a 85,87±1,48a
MS 88,85 ±7,49a 88,22±10,23a
MM 90,90±5,81a 89,67±3,80a
Data menunjukkan rataan ± SE; S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂); huruf berbeda pada setiap kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Performa benih
9
Gambar 2 Pertumbuhan panjang total (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Gambar 3 Pertumbuhan panjang standar (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
10
Gambar 4 Pertumbuhan bobot tubuh (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Seperti ditunjukkan pada Gambar 5, laju pertumbuhan spesifik bobot tubuh pada semua persilangan adalah tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan laju pertumbuhan spesifik panjang total (2,89±0,02 %/hari) dan panjang standar (2,92±0,03 %/hari) benih persilangan MM lebih tinggi dibandingkan SS dan MS. Selanjutnya, pertumbuhan panjang spesifik benih ikan MM tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan persilangan MS dengan panjang total (2,68±0,04 %/hari) dan panjang standar (2,70±0,03 %/hari).
Gambar 5 Laju pertumbuhan spesifik (SGR) (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap kolom parameter menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Pada pendederan 2, tingkat kelangsungan hidup benih persilangan MS (96,14±0,83%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan ketiga persilangan lainnya.
a b
Panjang Total Panjang Standar Bobot Tubuh
11 Pada pendederan 1 dan pendederan 3 tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) antar persilangan (Gambar 6).
Biomassa panen merupakan jumlah total bobot ikan lele saat panen akhir. Biomassa benih ikan lele yang diamati pada akhir pemeliharaan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) di antara keempat persilangan tersebut (Gambar 7).
Gambar 6 Tingkat kelangsungan hidup (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Gambar 7 Biomassa panen (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Distribusi ukuran benih ikan lele selama pemeliharaan (Gambar 8) menunjukkan persentase jumlah benih ukuran kecil, sedang, dan jumper. Benih
12
jumper merupakan benih yang memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran rataan populasi yang berpotensi memakan individu lain yang lebih kecil (kanibalisme). Persentase jumper paling tinggi terjadi pada stadia pendederan 2. Persentase jumper paling tinggi didapatkan pada persilangan MM yaitu sebesar 0,25% pada pendederan 1, dan 20,09% pada pendederan 3. Pada pendederan 3, tidak didapatkan jumper kecuali pada persilangan MS (0,21%).
Nilai heterosis (Gambar 9) panjang total, panjang standar, dan bobot tubuh yang dihasilkan pada setiap stadia pendederan bervariasi (Lampiran 1), sedangkan nilai heterosis kelangsungan hidup menunjukkan nilai seluruhnya positif dibandingkan rataan purebreed. Nilai heterosis benih persilangan SM pada pendederan 3 selalu menunjukkan hasil yang positif dibandingkan rataan purebreed (2,61% untuk panjang total, 2,16 % untuk panjang standar, dan 4,79% untuk bobot tubuh). Nilai heterosis benih persilangan MS pada pendederan 3 selalu menunjukkan hasil yang negatif dibandingkan rataan purebreed (-5,54% untuk panjang total, -6,35 % untuk panjang standar, dan -20,20% untuk bobot tubuh). Nilai heterosis kelangsungan hidup pada persilangan MS (24,20; 103,13 dan 11,62%) lebih tinggi dibandingkan persilangan SM (6,86; 48,57 dan 3,09%) pada setiap stadia pendederan.
Gambar 8 Distribusi ukuran (%) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), SML: ukuran kecil, AVR: ukuran sedang, JPR: ukuran jumper.
13
Gambar 9 Nilai heterosis benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂).
Rasio proporsi tubuh PK (panjang kepala) terhadap PS (panjang standar) (Gambar 10) (Lampiran 2) dari benih ikan lele yang didapatkan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar persilangan. Rasio yang diperoleh berkisar 0,26-0,27 pada seluruh persilangan.
Gambar 10 Rasio PK dan PS (rataan ± SE) benih hasil hibridisasi intraspesifik ikan lele Afrika secara resiprokal. S: strain Sangkuriang, M: strain Mesir, PK: panjang kepala, PS: panjang standar, persilangan yang digunakan betina (♀) dan jantan (♂), huruf berbeda pada setiap stadia pemeliharaan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
14
Kualitas air
Kualitas air selama pemeliharaan ditampilkan pada Tabel 5. Secara umum, kualitas air media pemeliharaan masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan benih ikan lele, baik berdasarkan SNI tahun 2000 maupun Fleuren (2008). Kadar amonia yang fluktuatif cukup tinggi dapat terjadi karena pengambilan beberapa sampel dilakukan sebelum pergantian air, sehingga masih terdapat penumpukan feses dan sisa pakan yang belum terbuang melalui pergantian air.
Tabel 5 Kualitas air media pemeliharaan Parameter Satuan Kisaran yang
didapatkan
Hibridisasi merupakan dasar dari persilangan antara genotipe yang berbeda (Bakos dan Gorda 1995). Hibridisasi atau persilangan (cross-breeding) dilakukan baik untuk mendapatkan keturunan yang memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau heterosis) atau sebagai tahap awal pada penerapan teknik seleksi melalui pembentukan populasi dasar (Tave 1986; Fjalestad 2005). Banyak tujuan spesifik dilakukannya hibridisasi dan salah satunya adalah untuk meningkatkan variasi genetik, seperti yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Peningkatan variasi genetik yang terjadi diharapkan dapat meningkatkan mutu genetik, seperti fenotipe pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Shikano dan Taniguchi 2002; Goyard et al. 2008). Hasil persilangan (hibridisasi) sulit untuk diprediksi sehingga perlu dilakukan uji empiris untuk membuktikannya (Goyard et al. 2008).
Perbandingan hasil hibridisasi juga ditentukan oleh induk yang digunakan. Induk yang digunakan dalam penelitian ini dipelihara dalam metode pemeliharaan yang sama, baik induk betina maupun jantan. Performa induk jantan (Tabel 3) secara umum memiliki karakter yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada seluruh parameter antara kedua strain. Sementara pada performa induk betina, seluruh parameter menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) kecuali parameter GSI.
15 dan pH plasma seminal. Fekunditas yang didapatkan pada strain Sangkuriang dan pada strain Mesir lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas yang dilaporkan Sunarma et al. (2005) yaitu berkisar 40.000-60.000 butir telur/kg induk. Fekunditas dan GSI lebih tinggi yang didapatkan pada menunjukkan potensi produksi telur dari ikan lele yang lebih tinggi.
Hasil GSI betina yang didapatkan masih berada pada kisaran yang didapatkan oleh Aiyelari et al. (2007) yaitu berkisar 13-15% dan Fleuren (2008) yaitu berkisar 5-12%. Sama halnya dengan GSI induk betina, GSI jantan lebih rendah dibandingkan dengan yang di Belanda yakni 1,19% (Viveiros et al. 2003), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan GSI ikan lele Afrika jantan yang dipelihara secara terkontrol di Afrika Selatan yakni 0,37% (Kruger et al. 2013). Lebih tingginya fekunditas telur dan persentase GSI strain Sangkuriang, baik pada jantan maupun betina, karena strain ini telah jauh lebih dulu dibudidayakan di Indonesia sehingga sudah lebih lama beradaptasi dibandingkan dengan strain Mesir yang baru diintroduksi ke Indonesia pada tahun 2007.
Derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) pada seluruh persilangan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Menurut Aiyelari et al. (2007), keberhasilan pembuahan dan penetasan ini dipengaruhi oleh kualitas induk yang digunakan proses pemeliharaan dan pemilihan induk yang akan dipijahkan, serta penanganan induk saat proses pemijahan. Dengan demikian, kualitas gamet sama pada semua induk.
Performa pertumbuhan benih pada persilangan MM lebih tinggi dibandingkan persilangan lain. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan persilangan lain yang mengakibatkan kepadatan menjadi lebih rendah. Dibandingkan ketiga persilangan lainnya, performa pertumbuhan benih MS menunjukkan hasil yang lebih baik dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan benih MM (P>0,05). Kelangsungan hidup benih MS lebih tinggi secara nyata menunjukkan benih MS lebih tahan terhadap proses penanganan pada stadia pendederan 2 dibandingkan ketiga persilangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses penanganan benih lele sangat rentan dilakukan pada stadia pendederan 2. Tingkat kelangsungan hidup ikan lele dipelihara di kolam dari benih ukuran 2-3 gram hingga 16-20 gram (setara dengan stadia pendederan 3) dapat mencapai sekitar 80% (Yong-Sulem et al. 2006).
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada benih persilangan MM dapat disebabkan oleh tingginya persentase benih jumper pada persilangan ini dibandingkan persilangan lainnya. Tingginya persentase jumper tersebut mengakibatkan kanibalisme dalam populasi ini cukup tinggi, sehingga berdampak pada tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Adanya benih berukuran jumper yang menunjukkan tingginya variasi ukuran juga terjadi pada penelitian Rezk (2008). Terjadinya kanibalisme disebabkan oleh agresivitas benih ikan lele yang cukup tinggi, hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Mukai et al. (2013) yang mengatakan bahwa faktor kanibalisme disebabkan oleh perilaku agresif dan gigi tajam yang dimiliki benih ikan lele yang dapat melukai individu lainnya.
16
yang berbeda sehingga dapat diketahui kelemahan dan kelebihan hasil persilangan pada berbagai parameter (Tave 1986; Fjalestad 2005). Nilai heterosis yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai heterosis kelangsungan hidup dari persilangan SM pada pendederan 1, 2 dan 3 (6,86; 48,57 dan 3,09%) dan MS (24,20; 103,13 dan 11,62%) menunjukkan nilai yang positif dibandingkan dengan rataan galur murninya pada setiap stadia pendederan. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan nilai heterosis kelangsungan hidup yang didapatkan pada hibridisasi ikan lele Afrika (-7,2 dan 5,67%) di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009) dan persilangan dialel silver perch (-0,058 dan -0,024%) di Australia (Guy et al. 2009).
Secara umum, nilai heterosis yang ditunjukkan oleh benih persilangan SM dan MS pada penelitian ini bernilai positif, meskipun ada beberapa nilai heterosis yang menunjukkan hasil negatif. Nilai heterosis yang rendah (<10%) atau bahkan bernilai negatif juga didapatkan pada hibridisasi black bream (Doupé et al. 2003), ikan gapi (P. reticulata) (Nakadate et al. 2003), persilangan dialel silver perch (Guy et al. 2009), hibridisasi ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009), dan persilangan dialel 3 strain udang galah (Macrobrachium rosenbergii) (Thanh et al. 2010). Adanya nilai heterosis yang rendah (<10%) atau bahkan bernilai negatif dapat terjadi karena nilai heterosis pada setiap parameter sangat dipengaruhi oleh variasi genetik dalam strain/populasi dan jarak genetik antara kedua populasi induk karena heterosis merupakan fungsi perbedaan genetik (Goyard et al. 2008; Fjalestad 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan Shikano dan Taniguchi (2002) yang menyebutkan bahwa heterosis yang baik dapat dihasilkan dari persilangan antar strain/populasi yang memiliki jarak perbedaan genetik yang jauh. Nilai heterosis tertinggi (103,13%) pada penelitian ini didapatkan pada benih persilangan MS parameter tingkat kelangsungan hidup stadia pendederan 2. Hal yang sama didapatkan oleh Wachirachaikarn et al. (2009), yang menunjukkan bahwa nilai heterosis tertinggi terdapat pada parameter tingkat kelangsungan hidup. Sementara itu, kualitas air media pemeliharaan secara umum masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan benih ikan lele, baik berdasarkan SNI tahun 2000 maupun Fleuren (2008), sehingga perbedaan kelangsungan hidup tersebut merupakan efek hibridisasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hibridisasi ikan lele memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat kelangsungan hidup hibrida yang dihasilkan.
17
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bahwa performa dari kedua strain induk yang digunakan memiliki kualitas gamet yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan hasil pada setiap persilangan merupakan efek hibridisasi. Persentase jumper dan pertumbuhan benih ikan lele persilangan MM lebih tinggi dibandingkan persilangan lainnya, tetapi kelangsungan hidup benihnya paling rendah. Kelangsungan hidup benih paling baik diperoleh dari persilangan MS dengan nilai heterosis 24,20; 103,13 dan 11,62% untuk setiap stadia pendederan 1, 2, dan 3.
Saran
Hibridisasi ikan lele Afrika introduksi di Indonesia masih perlu dilakukan dengan menggunakan strain lain yang telah diketahui secara pasti jarak genetik antar populasi. Penelitian lebih lama hingga fase pembesaran perlu dilakukan. Selain itu, metode pendederan tanpa sortasi hingga pendederan 3 juga perlu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya efek sortasi terhadap hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Aiyelari TA, Adebayo IA, Osiyemi AS. 2007. Reproductive fitness of stressed female broodstock of Clarias gariepinus (Burchell, 1809). JCAB. 1:078-081. Bakos J, Gorda S. 1995. Genetic improvement of common carp strains using
intraspesific hybridization. Aquaculture. 129: 183-186.
Bartley DM, Rana K, Immink AJ. 2001. The use of inter-spesific hybrids in aquaculture and fisheries. Rev Fish Biol Fish. 10: 325-337.
Bentsen HB, Gjerde B, Nguyen NH, Rye M, Ponzoni RW, Palada de Vera MS, Bolivar HS, Velasco RR, Danting JC, Dionisio EE, Longalong FM, Reyes RE, Abella TA, Tayamen MM, Eknath AE. 2012. Genetic improvement of farmed tilapia: Genetic parameters for body weight at harvest in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) during five generations of testing in multiple environments. Aquaculture. 338-341: 56-65.
Bryden CA, Heath JW, Heath DD. 2004. Performance and heterosis in farmed and wild chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) hybrid and purebred crosses. Aquaculture. 235: 249 – 261.
18
Doupé RG, Lymbery AJ, Greeff J. 2003. Genetic variation in the growth traits in straight-bred and crossbred black bream (Acanthopagrus butcheri Munro) at 90 days of age. Aquac Res. 34: 1297-1301.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusantara.
Fjalestad KT. 2005. Breeding strategies. Di dalam: Gjedrem T, editor. Selection and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL): Springer. hlm 23-32.
Fleuren. 2008. Reproductive and growout management of African catfish in the Netherlands. Di dalam: Ponzoni RW, Nguyen NH, editor. Proceedings of a Workshop on the Development of a Genetic Improvement Program for African Catfish Clarias gariepinus. The Worldfish Center. hlm 73-78.
Gjedrem T, Refstie T. 2005. Organising Breeding Programs. Di dalam: Gjedrem T, editor. Selection and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL): Springer. hlm 279-285.
Gjedrem T. 2012. Genetic improvement for development of efficient global aquaculture: a personal opinion review. Aquaculture. 344-349: 12-22.
Goyard E, Goarant C, Ansquer D, Brun P, de Decker S, Dufour R, Galinie C, Peignon JM, Pham D, Vourey E, Harache Y, Patrois J. 2008. Cross breeding of different domesticated lines as a simple way for genetic improvement in small aquaculture industries: heterosis and inbreeding effects on growth and survival rates of the Pacific blue shrimp Penaeus (Litopenaeus) styrostris. Aquaculture. 278: 43-50.
Guy JA, Jerry DR, Rowland SJ. 2009. Heterosis in fingerlings from a diallel cross between two wild strains of silver perch (Bidyanus bidyanus). Aquac Res. 40: 1291-1300.
Huissman EA. 1987. The principles of fish culture production. Netherland: Department of Aquaculture, Wageningen University.
Hulata G. 2001. Genetic manipulations in aquaculture: a review of stock improvement by classical and modern technologies. Genetica. 111:155-173. KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2012. Bisnis ikan lele menggiurkan.
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/6990/Bisnis-Ikan-Lele-Menggiurkan/. [8 Februari 2013]
KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2013 Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 302 hal. Kobayashi S, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T,
Yoshizaki. 2007. Transgenic Nile tilapia (Oreochromis niloticus) over-expressing growth hormone show reduced ammonia excretion. Aquaculture. 270: 427-435.
Kruger T, Barnhoorn I, Vuren JJ, Bornman R. 2013. The use of the urogenital papillae of male feral African sharptooth catfish (Clarias gariepinus) as indicator of exposure to estrogenicchemical in two polluted dams in an urban nature reserve, Gauteng, South Africa. Ecotoxicol Environ Saf. 87: 98 – 107. Leggatt RA, Biagi CA, Smith JL, Devlin RH. 2012. Growth of growth hormone
19 Mansour N, Ramoun A, Lahnsteiner F. 2005. Quality of testicular semen of the African catfish Clarias gariepinus (Burchell, 1822) and its relationship with fertilization and hatching success. Aquac Res. 36: 1422 – 1428.
Mukai Y, Sanudin N, Firdaus RF, Saad S. 2013. Reduced cannibalistic behavior of African catfish, Clarias gariepinus, larvae under dark and dim conditions. Zoolog Sci. 30: 421-424.
Nakadate M, Shikano T, Taniguchi N. 2003. Inbreeding depression and heterosis in various quantitative traits of the guppy, Poecilia reticulata. Aquaculture. 220: 219-226.
Rezk MA. 2008. Genetic improvement of Clarias gariepinus at the Worldfish Center, Abbassa, Egypt. Di dalam: Ponzoni RW, Nguyen NH, editor. Proceedings of a Workshop on the Development of a Genetic Improvement Program for African Catfish Clarias gariepinus. The Worldfish Center. hlm 96-103.
Shikano T, Taniguchi N. 2002. Relationships between genetic variation measured by microsatellite DNA marker and fitness-related trait in the guppy (Poecilia reticulata). Aquaculture. 209: 77-90.
SNI [Standar Nasional Indonesia]. 2000. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C. fuscus) kelas induk pokok (parent stock). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. SNI 01-6484-3-2000. 8 hal.
Sumantadinata K, Hadiroseyani Y. 2002. Fenotipe keturunan pertama ikan koi hasil hibridisasi. J Akuakultur Indonesia. 1(3): 93-96.
Sunarma A, Nurhidayat MA, Maskur. 2005. Genetic improvement of African catfish Clarias gariepinus using backcross strategy in Indonesia. Di dalam: World Aquaculture 2005. World Aquaculture Society Meeting; 2005 Mei 09-13. Bali. Bali (ID): World Aquaculture Society. Nomor abstrak 197.
Tave D. 1986. Genetics for Fish Hatchery Managers. Connecticut (US): AVI Pub. 299 halaman.
Tave D. 1999. Inbreeding and Stock Managements. Fisheries Technical Paper. No. 392. Rome (UK). FAO. 122 hal.
Thanh NM, Nguyen NH, Ponzoni RW, Vu NT, Barnes AC, Mather PB. 2010. Estimates of strain additive and non-additive genetic effects for growth traits in a diallel cross of three strains of giant freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) in Vietnam. Aquaculture. 299:30-36.
Viveiros ATM, Jatzkowski A, Komen J. 2003. Effects of oxytocin semen release response in African catfish (Clarias gariepinus). Theriogenology. 59: 1905-1917.
Wachirachaikarn A, Rungsin W, Srisapoome P, Na-nakorn U. 2009. Crossing of African catfish, Clarias gariepinus (Burchell, 1822), strains based on strain selection using genetic diversity data. Aquaculture. 290: 53-60.
Yong-Sulem S, Tchantchou L, Nguefack F, Brummett RE. 2006. Advanced nursing of Clarias gariepinus (Burchell, 1822) fingerlings in earthen ponds, through recycling of tilapia recruits. Aquaculture. 256: 212-215.
20
LAMPIRAN
Lampiran 1 Performa benih
Perlakuan Panjang Total (cm)
P1 P2 P3
SS 1,51±0,04 2,99±0,34 8,51±0,52
SM 1,55±0,05 3,63 ±0,03 9,87±0,12
MS 1,50±0,11 3,69±0,26 9,09±0,27
MM 1,46±0,03 4,09±0,24 10,74±0,09
Data menunjukkan rataan ± SE; S: Sangkuriang, M: Mesir; P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3; persilangan yang digunakan betina (♂) dan jantan (♀)
Persilangan Panjang Standar (cm)
P1 P2 P3
SS 1,31±0,04 2,55±0,32 7,47±0,50
SM 1,33±0,03 3,11±0,01 8,60±0,09
MS 1,28±0,08 3,12±0,22 7,88±0,21
MM 1,25±0,03 3,55±0,18 9,36±0,09
Data menunjukkan rataan ± SE; S: Sangkuriang, M: Mesir; P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3; persilangan yang digunakan betina (♂) dan jantan (♀)
Persilangan Bobot (g)
P1 P2 P3
SS 0,03±0,00 0,24±0,07 5,00±0,78
SM 0,03±0,00 0,42±0,01 7,57±0,32
MS 0,03±0,01 0,47±0,10 5,76±0,26
MM 0,03±0,01 0,65±0,12 9,44±0,76
Data menunjukkan rataan ± SE; S: Sangkuriang, M: Mesir; P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3; persilangan yang digunakan betina (♂) dan jantan (♀)
Persilangan SGR (%/hari)
Panjang total Panjang standar Bobot tubuh
SS 2,50±0,05 2,52±0,06 7,72±0,04
SM 2,68±0,04 2,70±0,03 8,39±0,06
MS 2,61±0,09 2,63±0,07 7,76±0,42
MM 2,89±0,02 2,92±0,03 8,86±0,38
21
Persilangan SR (%)
P1 P2 P3
SS 80,17±1,75 40,64±6,21 74,61±10,82 SM 65,76±1,06 41,51±2,33 70,50±9,04 MS 76,42±8,49 96,14±0,83 76,33±8,58 MM 62,03±6,45 42,27±4,81 52,25±2,74
Data menunjukkan rataan ± SE; S: Sangkuriang, M: Mesir; P1: stadia pendederan 1, P2: stadia pendederan 2, P3: stadia pendederan 3; persilangan yang digunakan betina (♂) dan jantan (♀)
Parameter Persilangan Heterosis (%)
P1 P2 P3
Panjang Total SM 4,39 2,48 2,61
MS 1,23 4,13 -5,54
Panjang Standar SM 4,08 2,11 2,16
MS 0,35 2,35 -6,35
Bobot Tubuh SM 1,55 -5,24 4,79
MS 24,32 6,80 -20,20
Tingkat Kelangsungan Hidup
SM 6,86 48,57 3,09
MS 24,20 103,13 11,62
22
Lampiran 2 Benih hasil persilangan
Keterangan :
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 1992 dari Ayah Endri Yuhanas dan Ibu Siti Azkiyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Bojong Rawalumbu VI, SMPN 16 Bekasi, SMAN 3 Bekasi, dan diterima di IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2009 pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang pada tahun 2010 di PT. Dewata Laut, Bali dengan komoditas ikan kerapu macan dan pada tahun 2012 di Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Subang dengan komoditas ikan patin. Tahun 2012 penulis melakukan praktek lapang akuakultur di Balai Budidaya Laut (BBL) Batam dengan komoditas ikan bawal bintang. Penulis juga pernah menjadi Asisten mata kuliah Dasar-Dasar Mikrobiologi semester genap tahun ajaran 2011/2012 dan semester ganjil 2012/2013, serta mata kuliah Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik tahun ajaran 2012/2013. Selain itu, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) Divisi Kewirausahaan periode 2010/2011 dan 2011/2012.