MENGGUNAKAN CITRA MODIS
SRI HUTRI MADELA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL FITOPLANKTON MENGGUNAKAN CITRA MODIS
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
SRI HUTRI MADELA. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral
Fitoplankton Menggunakan Citra MODIS. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan TUMPAK SIDABUTAR.
Keberlangsungan sumberdaya hayati laut dapat dipengaruhi oleh ketersediaan fitoplankton sebagai produsen dalam rantai makanan. Namun peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat dapat berakibat negatif bagi biota dan kehidupan dilaut seperti blooming fitoplankton yang sering terjadi di Teluk Jakarta dan sering didominasi oleh satu genus atau spesies. Oleh karena itu diperlukan adanya pemantauan spasial dan temporal terhadap
fitoplankton yang dominan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola karakteristik spektral fitoplankton dominan berdasarkan nilai reflektansi dari citra MODIS. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 di Teluk Jakarta, DKI Jakarta. Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu pengambilan data lapang yaitu kelimpahan fitoplankton, TSS dan CDOM. Kelimpahan fitoplankton diambil menggunakan planktonet dan kemudian dicacah di bawah mikroskop. Contoh air untuk analisis TSS dan CDOM diambil menggunakan Nansen. Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium P2O LIPI dan laboratorium Biomikro, FPIK, IPB. Analisis data fitoplankton meliputi komposisi dan
persentase kelimpahan fitoplankton. Analisis citra MODIS dilakukan dengan mengekstrak nilai reflektansi pada masing-masing stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan empat kelas fitoplankton pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta. Empat kelas yang ditemukan yaitu Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Genus yang ditemukan yaitu Bacteriastrum, Cosconidiscus, Chaetoceros, Navicula, Nitzschia, Skletonema, Thalassiosira, Thalassiothix, Rhizosolenia, Thalasionema Pleurosigma, Stephanopyxsis, Protoperidinium, Ceratium , Dinophysis, Gonyaulax, Gymnodinium , Noctiluca, Protoperidinium, Prorocentrum, Dictyocha dan Eucampia.
Kelimpahan fitoplankton pada 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta didominasi oleh Skletonema dengan persentase sebesar 90.8 %. Pola reflektansi fitoplankton yang didominasi oleh Skletonema pada kisaran panjang gelombang 400-700 nm mengalami satu kali puncak yaitu pada panjang
© Hak cipta milik Sri Hutri Madela, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
MENGGUNAKAN CITRA MODIS
SRI HUTRI MADELA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
SKRIPSI
Judul : ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL
FITOPLANKTON MENGGUNAKAN CITRA MODIS
Nama : Sri Hutri Madela NRP : C54061853
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 19601224 198603 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
i
Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah
diberikan-Nya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat selesai. Penelitian
berjudul “Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Fitoplankton Menggunakan
Citra MODIS”. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. .
Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas kasih sayang dan dukungannya baik
secara moril maupun materil.
2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc selaku
dosen pembimbing.
3. Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi, M.Si atas ketersediaannya menjadi dosen
penguji dan memberikan saran dalam penulisan skripsi.
4. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen
ITK, FPIK, IPB.
5. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI)
yang telah memberikan kesempatan mengikuti pengambilan data lapangan.
6. Muhammad Ismail Sakaruddin yang telah memberikan dukungan, motivasi dan
ii
7. Enda, Anissa Kusuardini, Erlan Nurcahya Putra, Fitriyah Anggreini, Siti
Marsugi dan Dyah Isnaini Prastiwi yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi.
8. Semua teman-teman di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB,
khususnya angkatan 43, atas motivasi dan semua pengalaman yang tidak akan
terlupakan.
9. Penghuni Wisma Nabila dan seluruh sahabat-sahabat IKMP
10. Seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
memberikan suatu informasi yang dapat memajukan dan melestarikan dunia
kelautan.
Bogor, Februari 2011
iii
2.4. Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM) ... 8
2.5. Karakteristik Sensor MODIS ... 9
2.6. Karakteristik Spektral Fitoplankton ... 10
2.7. Sifat Optik Kolom Air ... 11
3. METODOLOGI ... 14
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14
3.2. Alat dan Bahan ... 15
3.3. Metode Pengambilan Contoh ... 15
3.4. Analisis Contoh di Laboratorium ... 16
3.4.1. Identifikasi Fitoplankton ... 16
3.4.2. Padatan Tersuspensi Total ... 16
3.4.3. Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM) ... 17
3.5. Analisa Data ... 17
3.5.1 Kelimpahan Fitoplankton ... 17
3.5.2 Analisis Hubungan Reflektansi Spektral Fitoplankton dengan TSS dan CDOM ... 18
3.5.3 Pengolahan Citra ... 18
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1. Fitoplankton ... 21
4.1.1. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton ... 21
4.1.2. Hubungan Fitplankton dan Klorofil-a ... 23
4.2. Kurva Reflektansi Spektral Skeletonema ... 26
iv
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
5.1. Kesimpulan ... 37
5.2. Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
LAMPIRAN ... 42
v
Halaman Gambar 1. Teluk Jakarta (Tarigan, 2008) ... 3 Gambar 2. Diagram dari perairan case 1 dan 2 (Prieur and
Sathyendranath,1981 in Sathyendranath, 2000). ... 13 Gambar 3. Lokasi penelitian ... 14 Gambar 4. Diagram alir pengolahan citra ... 20 Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta tanggal 20, 22, 24
dan 26 Maret 2010 ... 22 Gambar 6. Hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a ... 24 Gambar 7. Regresi linear hubungan kelimpahan fitoplankton
dan klorofil-a ... 25 Gambar 8. Kurva reflektansi spektral dengan fitoplankton yang
didominasi oleh Skeletonema. ... 26 Gambar 9. (a) Kurva rata-rata reflektansi spektral citra MODIS dengan
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema . (b) Reflektansi Spektral Skeletonema (Liew et.al, 2000) (c) Hubungan antara reflektansi (%) dan panjang gelombang pada berbagai
konsentrasi Skeletonema costatum (kultur)
(Uno et al. 1980 dalam Catts et al.,1985)... ... 28 Gambar 10. Regresi sederhana hubungan TSS dengan reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm,
(g) 673-683 nm ... 35 Gambar 11. Regresi sederhana hubungan CDOM dengan reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm,
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Spesifikasi sensor MODIS ... 9 Tabel 2. Alat dan bahan penelitian ... 15 Tabel 3 Genus fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada
tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 ... 21 Tabel 4. Persaman regresi sederhana hubungan reflektansi spektral
vii
Halaman Lampiran 1. Tabel nilai koefisien determinasi (R2) dan persamaan regresi
CDOM dan TSS pada masing-masing panjang gelombang... 43
Lampiran 2. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun penelitian ... 44
Lampiran 3 Data lapangan CDOM dan TSS pada saat survei ... 52
Lampiran 4. Foto-foto kegiatan. ... 53
1
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberlangsungan sumberdaya hayati laut dapat dipengaruhi oleh
ketersediaan fitoplankton sebagai produsen dalam rantai makanan. Namun, tidak
selamanya peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan
berdampak positif terhadap kehidupan di laut. Beberapa kejadian blooming
fitoplankton justru berpengaruh negatif bagi kehidupan biota laut, karena racun
yang dihasilkan oleh beberapa jenis fitoplankton tertentu dan penurunan
kandungan oksigen terlarut sehingga memungkinkan terjadinya kematian massal
ikan seperti yang sering terjadi di Teluk Jakarta. Banyaknya masukan dari daratan
menyebabkan perairan Teluk Jakarta memiliki kandungan nutrien yang tinggi
yang menjadi sumber makanan bagi fitoplankton, sehingga pada waktu-waktu
tertentu terjadi marak alga.
Marak alga biasanya didominasi oleh satu atau dua jenis fitoplankton. Oleh
karena itu pemantauan variasi spasial dan temporal dari grup fitoplankton yang
dominan pada skala global adalah sesuatu yang penting (Bracher ,2008).
Pemantauan populasi fitoplankton yang dominan masih banyak dilakukan dengan
metode konvensional. Penginderaan jauh merupakan salah satu metode yang
dapat mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan dan membutuhkan
biaya yang relatif lebih murah dibandingkan metode konvensional. Moderate
satelit dengan resolusi temporal yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan
untuk memantau populasi fitoplankton di Teluk Jakarta.
Prinsipnya setiap benda memantulkan dan atau memancarkan gelombang
elektromagnetik. Apabila pada suatu luasan tedapat beberapa jenis fitoplankton
maka masing-masing jenis fitoplankton akan memberikan pantulan dan atau
pancaran elektromagnetik yang dapat diterima oleh sensor, dengan demikian
keberadaan fitoplankton dapat dideteksi berdasarkan pantulan gelombang
elektromagnetiknya. Kemampuan fitoplankton yang tinggi dalam menyerap
energi cahaya matahari yang menentukan spektrum medan cahaya di laut dan
pentingnya fitoplankton dalam rantai makanan di laut maka fitoplankton harus
diperhitungkan dalam setiap penelitian sifat optik perairan (Nurjannah, 2006).
Liew et.al(2000) telah melakukan penelitian mengenai teknik untuk klasifikasi
tipe dari bloom alga yaitu jenis Trichodesmium, cain forming
diatoms/Skeletonema (Singapore), Cochlodinium, Ceratium dan Pyrodinium
bahamense , Dinoflagellates (terutama Dinophysis caudata), Diatoms (Rhizolenia
sp), Skeletonema dengan beberapa Dinofalgellata, Protoperidinium dan Ceratium
berdasarkan reflektansi energi dari objek/benda-benda tersebut di perairan pantai
sekitar Singapura dan Teluk Manila.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola karakteristik spektral
fitoplankton berdasarkan nilai reflektansi dari citra MODIS pada tanggal 20-27
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jawa dengan panjang pantai sejauh 72
km yang diapit oleh Tanjung Pasir di Barat dan Tanjung Karawang di timur.
Teluk Jakarta ini terletak secara geografis pada koordinat 5⁰48’29.88”- 6⁰10’30”
LS dan 106⁰33’00”- 107⁰03’00” BT. Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal
dengan variasi kedalaman sebesar 1-24 m. Terdapat 13 sungai yang bermuara ke
Teluk Jakarta diantaranya 3 sungai besar yaitu Sungai Cisadane, S. Ciliwung dan
S. Citarum, sedangkan 10 sungai kecil diantaranya S. Kamal, S. Cengkareng, S.
Angke, S. Karang, S. Ancol, S. Sunter, S. Cakung, S. Blencong, S. Grogol dan
S.Pasanggrahan (Gambar 1).
Secara oseanografis Teluk Jakarta merupakan bagian dari Laut Jawa
sehingga perairan ini juga dipengaruhi oleh sifat-sifat serta perubahan yang terjadi
di Laut Jawa. Peningkatan pemanfaatan sumber daya laut merupakan fenomena
dari kemajuan teknologi dan semakin meningkatnya pula ketergantungan manusia
terhadap laut. Oleh sebab itu secara langsung maupun tidak langsung
tekanan-tekanan yang terus meningkat akan sangat berpengaruh terhadap ekosistem
perairan Teluk Jakarta (Tarigan, 2008).
2.2 Fitoplankton
Fitoplankton atau plankton nabati merupakan penggolongan kelompok
plankton secara fungsional. Definisi plankton adalah makhluk (tumbuhan dan
hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang atau melayang di dalam air
yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga terbawa
hanyut oleh arus. Jadi fitoplankton adalah tumbuhan yang hidupnya melayang
atau mengapung dalam laut (Nontji, 2008). Fitoplankton bisa ditemukan
diseluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai kedalaman dengan
intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis.
Fitoplankton mempunyai fungsi penting di laut, karena bersifat autrofik,
yaitu dapat menghasilkan sendiri bahan organik makanannya. Fitoplankton juga
mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik karena
mengandung klorofil. Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter
ekologi yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi ekologis suatu perairan
dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan
5
Kelompok fitoplankton yang sangat umum dijumpai di perairan tropis adalah
Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Dynophyceae) (Nontji, 2008).
Diatom adalah salah satu kelompok besar fitoplankton yang banyak menarik
perhatian untuk diteliti karena keberadaannya yang selalu mendominasi di
wilayah perairan laut khususnya di wilayah bersuhu dingin dan kaya nutrisi
(Raymont, 1980; Valiela, 1995 in Soedibjo, 2007). Ukuran diatom cukup
beragam, dari yang kecil berukuran sekitar 5 µm hingga yang relatif besar
berukuran 2 mm. Distribusi plankton khususnya Diatom bervariasi secara
temporal (bergantung waktu) dan spasial (menurut ruang), yang banyak
ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Nontji, 2008).
Hasil penelitian Fachrul et.al (2005) menemukan 42 jenis fitoplankton dari
kelompok Diatom (21 jenis) dan non Diatom masing-masing dari kelas
Chlorophyta (3 jenis), kelas Cyanophyta (4 jenis), kelas Dinoflagellata (8 jenis)
dan kelas Tintinidae (6 jenis) pada bulan Desember 2004 di Teluk Jakarta.
Sedangkan fitoplankton yang mendominasi perairan tersebut adalah dari marga
Chaetoceros, Skeletonema dan Stephanopyxsis yang diketahui mampu bertahan di
perairan tercemar. Sementara Soedibjo (2007) menemukan 4 jenis marga
predominan (Chaetoceros, Skeletonema, Rhizosolenia, dan Bacteriastrum) pada
bulan Agustus 2003 di Teluk Jakarta. Menurut Nontji (2008) bahwa di perairan
Laut Jawa sering ditemukan populasi Skeletonema yang menyebabkan air
berwarna hijau kecoklatan, selain itu banyak juga ditemukan jenis Diatom lainnya
seperti Chetoceros, Bacteristrum dan Rhizosolenia.
Blooming fitoplankton umumnya ditunjukkan dengan densitas komunitas
fitoplankton yang tinggi, bahkan melampaui rata-rata kondisi eutrofik (Basmi,
1994 in Mulyasari et. al, 2003). Harmful Algal Blooms (HABs) adalah istilah
yang digunakan untuk mengacu pada pertumbuhan lebat fitoplankton di laut atau
perairan payau yang dapat menyebabkan kematian missal ikan, mengontaminasi
makanan bahari dengan toksin (racun yang diproduksi oleh fitoplankton) dan
mengubah ekosistem sedemikian rupa yang dipersepsikan manusia sebagai
mengganggu (harmful) (GEOHAB, 2000 in Nontji, 2008). Toksin dari spesies
yang berbahaya terkonsentrasi di jaringan kerang dan dampak dari toksin terlihat
setelah mengkonsumsi jaringan tersebut. Orang yang memakan makanan bahari
yang terkontaminasi toksin HAB dapat menderita keracunan, tergantung jenis
toksin yang diproduksi oleh biota HAB. Sebagian grup dari alga tidak
mengandung toksin, tetapi jika memiliki biomassa yang sangat tinggi dapat
berdampak negatif karena penurunan kandungan oksigen terlarut (Van-der-Woerd
et. al, 2005).
Sebelumnya juga dikenal istilah red tide untuk menggambarkan ledakan populasi
fitoplankton yang dapat mengubah warna air laut. Tetapi istilah ini sering menyesatkan
karena tidak selalu ledakan populasi fitoplankton ini berwarna merah (red), bisa kuning,
hijau, kecokelat-cokelatan. Selain itu, ledakan populasi ini tidak berkaitan dengan
tide alias pasang surut (Nontji, 2008).
Jenis plankton yang potensial sebagai penyebab Harmful Algal Bloom
(HAB) yang terdapat di perairan Teluk Jakarta adalah dari filum Dinoflagellata
seperti: Ceratium, Dinophysis, Gonyaulax dan Gymnodium. Filum
7
sedangkan dari filum Cyanophyceae adalah genus Trichodesmium (Mulyasari
et.al, 2003). Spesies yang menjadi penyebab HAB, akan menjadi bahaya pada
saat kelimpahan lebih besar dari 103 sel/l. Sedangkan untuk fitoplankton yang
bukan HAB akan menjadi bahaya pada saat kelimpahan lebih besar dari 106 sel/l.
2.3 Klorofil-a
Menurut Nontji (1984) klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi pertumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton dan
dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di laut. Klorofil
memegang posisi kunci dalam reaksi fotosintesis yang memegang peranan dalam
produktivitas perairan (Nontji, 2008).
Klorofil-a berpotensial sebagai indikator untuk estimasi biomassa dari
fitoplankton yang diteliti secara ekstensif (Alarcon, et.al, 2006). Sifat klorofil
yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan
untuk mendeteksi sebaran klorofil fitoplankton di permukaan laut dari satelit.
Individu fitoplankton memang berukuran sangat kecil, akan tetapi bila berada
dalam satu komunitas maka warna hijau yang menjadi ciri khas klorofil
fitoplankton dapat diindera melalui satelit. Kandungan klorofil-a disuatu perairan
dapat digunakan untuk menghitung biomassa fitoplankton (Nontji, 1987).
Penginderaan terhadap fitoplankton didasarkan pada kenyataan bahwa semua
fitoplankton mengandung klorofil, pigmen berwarna hijau yang ada pada setiap
tumbuhan. Klorofil cenderung menyerap warna biru dan merah serta
Penelitian mengenai konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta telah banyak
dilakukan. Menurut Wouthuyzen (2007) dengan mengekstraksi konsentrasi
klorofil-a melalui citra MODIS dapat diestimasi konsentrasi klorofil-a rata-rata 10
tahun untuk keseluruhan Teluk Jakarta berkisar 0.323-2.965 mg/m3. Wouthuyzen
(2007) juga mengembangkan sistem peringatan dini untuk menduga kejadian
marak algae di Teluk Jakarta dengan mengelompokkan konsentrasi klorofil-a
perairan dalam kriteria aman (< 5 mg/m3), hati-hati (5- 10 mg/m3) dan bahaya
( 10 mg/m3). Kriteria bahaya dapat mengindikasikan terjadinya eutrofikasi di
Teluk Jakarta.
2.4 Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM)
CDOM atau Yellow Substances adalah suatu kelompok unsur organik yang dan terdiri dari asam fulvic dan humic (Nurjannah, 2000). Menurut Hansell dan
Clarson (1998) in Hu et al. (2006) CDOM merupakan bagian dari Dissolved
Organic Matter (DOM) di laut. DOM dalam perairan laut sangat kompleks dan
umumnya mudah terurai. Kelompok organik terlarut ini sangat penting secara
biokimia terutama sebagai energi bagi mikroorganisme. CDOM kemungkinan
berasal dari sel fitoplankton dan partikel-partikel organik lainnya dari sumber
yang jauh. Sebagai contoh sungai yang mengalir sepanjang daerah yang kaya
akan unsur organik akan mengakumulasi banyak sekali CDOM sepanjang
lintasan sungai tersebut (Nurjannah, 2000).
CDOM berperan penting di ekosistem akuatik dan berpengaruh terhadap
9
in Toming et al 2009). CDOM dapat mengurangi sifat optik perairan pada
panjang gelombang tampak (400-700 nm ) dan ultraviolet (280-400 nm). CDOM
bersaing dengan fitoplankton dan tanaman akuatik lainnya dalam menangkap
energi cahaya.
2.5 Karakteristik Sensor MODIS
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah salah satu
sensor penting dalam satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Garis edar
satelit Terra di sekitar bumi di atur sedemikian waktu sehingga melintas dari utara
ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi hari, sedangkan satelit Aqua
melintas dari selatan ke utara dan berada di garis khatulistiwa di sore hari.
TERRA MODIS dan Aqua MODIS mengamati keseluruhan permukaan bumi
setiap 1 hingga 2 hari, dan memperoleh data dari 36 spektral kanal. Sensor
MODIS dilengkapi dengan sensitifitas radiometrik tinggi (12 bit) dengan
memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang gelombang 0.4-14.4 µm.
Untuk kanal 1 dan 2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 sebesar 500 m dan
kanal 8-36 sebesar 1 km (Maccherone, 2005).
Adapun spesifikasi dari sensor MODIS antara lain dapat ditampilkan pada
Tabel 1. Spesifikasi sensor MODIS
Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous
Luas Liputan 2330 km dengan10 km (sepanjang nadir) Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Berat 228.7 kg
Tenaga 162.5 W
Kuantisasi Data 12 bit
Resolusi spasial 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) Umur Desain 6 tahun
2.6 Karakteristik Spektral Fitoplankton
Menurut Liew et.al (2000) reflektansi spektral merupakan rasio dari radiansi
yang dideteksi dari permukaan target terhadap total radiansi yang datang.
Karakteristik reflektansi dari permukaan bumi mungkin bisa diukur dengan
pengukuran bagian dari energi yang masuk yang direflektansikan. Pengukuran ini
merupakan fungsi dari panjang gelombang yang disebut reflektansi spektral (R ).
Secara matematika reflektansi spektral diperoleh dari
………(1) Keterangan :
adalah energi dari panjang gelombang yang direfleksikan oleh objek dan
11
Grafik dari reflektansi spektral suatu objek sebagai fungsi dari panjang
gelombang disebut dengan kurva reflektansi spektral. Bentuk dari kurva
reflektansi spektral memberikan informasi mengenai karakteristik objek dan
berpengaruh kuat dalam pemilihan saluran panjang gelombang pada penginderaan
jauh untuk terapan tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1979)
Menurut Barale (1987) in Susilo dan Gaol (2008) bahwa pada umumnya
fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan sedimen anorganik dan
bahan-bahan hasil penghancuran organisme laut dan teresterial (disebut juga
sebagai yellow substance) menjadi bahan utama yang mempengaruhi ocean color.
Liew et.al (2000) telah mengklasifikasikan 8 tipe blooming fitoplankton
berdasarkan reflektansi objek dari data penginderaan jauh yaitu SeaWiFS dan
MERIS. Kedelapan jenis fitoplankton tersebut antara lain:Trichodesmium, chain
forming diatoms/Skeletonema, Cochlodinium, Ceratium dan Pyrodinium
bahamense, Dinoflagellates, Diatoms, Skeletonema, dan gabungan
Protoperidinium dan Ceratium.
2.7 Sifat Optik Kolom Air
Sifat optik laut secara umum dapat dibedakan menjadi 5 jenis yaitu (1) sifat
penyerapan atau absorption , (2) sifat pemencaran atau scattering, (3) sifat
pemantulan atau reflection atau backscattering, (4) sifat penerusan atau
transmission dan (5) sifat pemancaran kembali atau emission. Seluruh sifat optik
laut tersebut sangat penting di dalam penginderaan jauh kelautan. Walaupun
deteksi fitoplankton dan produktivitas primer laut maka sifat pemantulanlah yang
paling penting (Susilo dan Gaol, 2008)
Absorpsi dibagi tiga yakni kontribusi dari air laut jernih (aw), fitoplankton
(a ) dan CDOM (aCDOM); backscatter (hamburan-balik) dibagi menjadi dua,
yakni kontribusi dari air laut jernih (bbw), partikel(bbp) dan CDOM (bCDOM).
Distribusi spektral dari irradiansi perairan ditentukan oleh proses absorbsi dan
backscatter (hamburan-balik) dari berbagai jenis komponen dalam air tersebut.
Karakteristik spektral dari komponen tersebut dapat ditentukan dengan rasio
variabel dari komponen-komponen tersebut ( Spinrad, et al. 1994). Menurut
Sathyendranath (2000) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sinyal yang
berasal dari air yakni : cahaya matahari langsung yang merambat di atmosfer lalu
penetrasi ke dalam laut dan sebagian akan diserap dan disebarkan oleh molekul
molekul air atau oleh berbagai bahan organik tersuspensi yang ada dalam air.
Tipe perairan dibagi menjadi dua (case) berdasarkan materi pembentuk warna
perairan. Case 1 merupakan daerah perairan lepas pantai, komponen utama yang
mempengaruhi sifat optik/bio-optik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton
(khusunya klorofil-a). Case 2 merupakan daerah yang tidak hanya dipengaruhi
oleh fitoplankton, tetapi juga dari kandungan perairan lainnya khususnya partikel
inorganik dan yellow substance. Case 2 perairan dengan materi tersuspensi dan
atau yellow substance yang mungkin memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap sifat optik perairan. Gambar dari kedua tipe perairan terlihat pada
Gambar 2. Sifat optik perairan (absorpsi atau reflektansi) pada beberapa panjang
gelombang, waktu dan lokasi tertentu dipengaruhi oleh fitoplankton, padatan
13
Yellow substances kemungkinan berasal dari sel-sel fitoplankton dan
partikel-partikel organik lainnya dari sumber yang jauh. Yellow substances lebih banyak
terakumulasi pada daerah yang lebih dalam dibandingkan kolom air (Nurjannah,
2006).
14
3.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Survei
lapang dilaksanakan pada tanggal 20-27 Maret 2010 dengan mengikuti kegiatan
yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan judul Kajian
Blooming Alga (HAB) di Teluk Jakarta dalam Hubungannya dengan Sistem
Peringatan Dini (Early Warning System). Penelitian berada di perairan Teluk
Jakarta pada koordinat 5⁰48’29.88”- 6⁰10’30” LS dan 106⁰33’00”- 107⁰03’00”
BT (Gambar 3). Untuk analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium LIPI dan
Laboratorium Biomikro Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian
Bogor.
15
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah beberapa alat untuk penentuan lokasi (GPS Map
78s), pengambilan data insitu dan pengambilan contoh air. Untuk lebih jelasnya
alat yang digunakan disajikan ke dalam Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan bahan penelitian
Jenis peralatan Jumlah Fungsi
Nansen 1 buah Pengambilan contoh air
Planktonet 1 buah Pengambilan contoh fitoplankton
Filter Whatman GF/C 37 buah Analisis TSS
Global Positioning System 1 buah Untuk menentukan posisi
Alat tulis 1 set Menulis data pengamatan
Botol Contoh 100 Tempat penyimpanan air contoh
Kamera Digital 1 buah Dokumentasi
Filter Whatman GF/F 37 buah Analisis CDOM
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Terra MODIS.
Data kelimpahan fitoplankton, TSS dan CDOM diperoleh dari kegiatan lapang.
Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data adalah:, HEG WIN 2.9
(HDF-EOS), Idrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street,
Worcester MA 01610-1477 USA), Microsoft Excel dan perangkat lunak untuk
pemetaan dan penginderaan jauh lainnya.
3.3 Metode Pengambilan Contoh
saat berhenti di setiap stasiun pengamatan. Jaring fitoplankton diturunkan hingga
kedalaman 1-5 meter. Selanjutnya jaring fitoplankton ditarik kembali dan
diangkat ke atas kapal. Bagian luar dari jaring fitoplankton harus segera
disemprot sehingga fitoplankton yang masih menempel pada bagian dalam badan
jaring masuk ke botol penampung (100 ml). Sampel dipindahkan ke botol kaca,
ditambahkan formalin 4% dan diberi label.
Air contoh untuk analisis Total Suspended Solid (TSS) dan Coloured
Dissolved Organic Matter (CDOM) diambil dengan menggunakan botol nansen
yang telah dibersihkan di laboratorium dan dihomogenkan dengan air kondisi
lapang. Setelah diberikan label, botol contoh dimasukkan dalam kotak pendingin
selama transportasi ke laboratorium untuk dilakukan analisis contoh.
3.4 Analisis Contoh di Laboratorium 3.4.1 Identifikasi Fitoplankton
Contoh fitoplankton diidentifikasi dengan bantuan mikroskop. Mikroskop yang digunakan adalah mikroskop lensa okuler ganda atau binokuler. Contoh
fitoplankton diteteskan pada Sedgwick-Rafter Counting Cell sebanyak 1 ml dan
ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi fitoplankton menggunakan literatur
acuan bergambar yaitu buku Yamaji (1976).
3.4.2 Padatan Tersuspensi Total
Pengukuran TSS dilakukan dilaboratorium P2O LIPI dengan melakukan penyaringan air contoh. Kertas saring yang digunakan berupa kertas whatman
17
Kemudian air contoh disaring sebanyak 250 ml menggunakan kertas saring
whatman GF/C melalui vacuum pump. Kertas saring kemudian dikeringkan pada
suhu 105 0C. Setelah kering kemudian ditimbang sebagai berat akhir (B mg).
Kandungan TSS dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.
……….(2)
3.4.3 Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM)
Air contoh disaring menggunakan Whatman GF/F. Air sisa saringan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 440 dan 750 menggunakan
spektrofotometri. Kandungan CDOM dihitung menggunakan persamaan dibawah
ini.
CDOM = 2.3025 x (absorbansi 440-absorbansi 750)...(3)
3.5 Analisa Data
3.5.1 Kelimpahan Fitoplankton
Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan volume air dan
pada umumnya dinyatakan dalam jumlah sel plankton per liter atau m3 air. Untuk
setiap jenis plankton yang diperoleh, jumlahnya dicatat dan dihitung
kelimpahannya dengan rumus :
Keterangan : Vd = Volume air disaring (m3) Vt = Volume air yang tersaring (m) Vs = Volume air pada sedwick rafter n = jumlah fitoplankton tercacah
3.5.2 Analisis Hubungan Reflektansi Spektral Fitoplankton dengan TSS dan CDOM
Model hubungan fungsional antara parameter dinyatakan dengan persamaan
regresi sederahan. Regresi sederahana adalah persamaan regresi dengan satu
peubah tak bebas (Y) dan satu peubah bebas ( X).
3.5.3 Pengolahan Citra
Sebelum pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan pemilihan Citra MODIS
yang bersih dari awan dan dapat digunakan dalam penelitian. Citra MODIS yang
digunakan yaitu citra yang melewati Teluk Jakarta pada saat pengambilan data
lapang. Adapun proses pengolahan citra diawali dengan pengolahan awal data
yang meliputi: konversi data MODIS dari format *.hdf ke format *.tif (multi
band). Selanjutnya dilakukan croping lokasi pengamatan (Teluk Jakarta)
menggunakan Software HEG WIN 2.9. Kemudian dilakukan proses pengolahan
data lanjutan, yang meliputi: koreksi citra, konversi nilai digital (DN) ke nilai
reflektansi.
Citra hasil olahan di HEG WIN 2.9 tidak perlu dikoreksi geometrik lagi.
Hal ini disebabkan karena ketika dilakukan croping dan konversi di sofware HEG
19
atmosferik dilakukan di IDRISI Andes. Koreksi atmosferik bertujuan untuk
mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut
elevasi matahari dan jarak matahari-bumi saat penerimaan data yang berbeda
waktu. Metode yang digunakan untuk koreksi atmosferik adalah metode
histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
DNijk (setelah dikoreksi) = DNijk (sebelum dikoreksi) - DN biask ...………. (5)
Keterangan: DN = digital number
I = piksel baris ke-i
J = piksel kolom ke-j
K = citra kanal ke-k
Setelah dilakukan koreksi maka selanjutnya dilakukan pemotongan citra
sesuai dengan daerah yang diteliti. Kemudian nilai digital number (DN) diekstrak
pada kanal 1, 4, 8, 9, 10, 11dan 14 di setiap stasiun pengamamatan. Nilai DN
yang diperoleh di rubah menjadi reflektansi dengan persamaan 6. Diagran alir
pengolahan data citra dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Pegolahan Citra
Pengolahan Awal Citra MODIS
Konversi dan Pemotongan citra
Koreksi Citra Pengolahan Awal
Citra MODIS
Konversi dan Pemotongan citra
Ubah ke Reflektansi Lihat Nilai Digital
Nilai Digital Tiap Stasiun Input Data Data GPS
Koreksi Citra Pengolahan Awal
Citra MODIS
21
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Fitoplankton
4.1.1 Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton
Komposisi fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20,
22, 24 dan 26 Maret 2010 terdiri dari 22 genus dari 4 kelas. Kelas yang
ditemukan antara lain Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus),
Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Adapun genus
yang ditemukan pada masing masing kelas dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Genus fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010.
Kelas Genus
Bacillariophyceae Bacteriastrum, Cosconidiscus, Chaetoceros, Navicula, Nitzschia, Skletonema, Thalassiosira, Thalassiothix, Rhizosolenia, Thalassionema Pleurosigma, Stephanopyxsis
Dinophyceae Protoperidinium, Ceratium , Dinophysis, Gonyaulax, Gymnodinium , Noctiluca, Protoperidinium,
Prorocentrum
Chrysophyceae Dictyocha
Coscinodischopyceae Eucampia
Komposisi kelas berdasarkan kelimpahan fitoplankton yang ditemukan
selama masa pegamatan didominasi oleh Bacillariophyceae (diatom) pada setiap
stasiun pengamatan (Gambar 5). Nontji (2007) menyatakan bahwa fitoplankton
yang biasa tertangkap oleh jaring plankton umumnya tergolong dalam tiga
kelompok yakni diatom, dinoflagellata dan alga biru. Di perairan Indonesia
Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26
Maret terdiri 22 genus yang didominasi oleh genus Skeletonema. Untuk lebih
jelasnya kelimpahan fitoplankton terdapat di Gambar 5.
Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 (%).
Jenis fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24
dan 26 Maret 2010 didominansi oleh genus Skeletonema dengan persentase yang
cukup tinggi sebesar 90, 8 %. Sedangkan jenis fitoplankton yang lainnya sangat
kecil yaitu genus Nitzchia sebesar 5 %, Thalassiosira sebesar 0.7%,
Chaetocheros sebesar 1,7% Ceratium sebesar 0.7% dan dari jenis lainnya sebesar
1.1 %. Menurut Arinardi et al (1995) bahwa genus predominan adalah genus
yang memiliki komposisi kelimpahan 10 % dari total komposisi jenis
fitoplankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan.
Berdasarkan pie diagram pada Gambar 5 terlihat bahwa jenis fitoplankton
23
Arinardi et al. (1997) menyatakan bahwa jenis fitoplankton Skeletonema sp.
dapat memanfaatkan kadar zat hara lebih cepat daripada diatom lainnya. Hal
tersebut dapat menjadi alasan mengapa Skeletonema lebih banyak ditemukan
dibandingkan fitoplankton lainnya. Skeletonema mendominasi di setiap stasiun
pengamatan (Lampiran 2).
Selain itu, Teluk Jakarta merupakan tempat bermuara 13 sungai sehingga
menyebabkan kadar salinitas yang tidak stabil. Skeletonema merupakan
fitoplankton yang memiliki toleransi terhadap salinitas yang rendah. Menurut
Newell dan Newell (1993) in Adnan (1998) bahwa Skeletonema merupakan
fitoplankton yang tumbuh di daerah euryhaline dan tumbuh melimpah di
eustuaria, terutama terjadi pada bulan setelah musim hujan. Hal ini dipertegas
oleh Arinardi dan Adnan (1980) in Adnan (1998) bahwa dalam studi
perbandingan musim hujan dan musim kemarau di perairan Teluk Jakarta,
menunjukkan bahwa kepadatan Skeletonema pada musim hujan lebih tinggi dari
pada musim kemarau. Pada musim hujan kepadatan Skeletonema sebesar 98,61 %
dan musim kemarau hanya tercatat 87,60 %.
4.1.2 Hubungan Fitoplankton dengan Klorofil-a
Kandungan klorofil-a merupakan indikator biomassa fitoplankton di
perairan. Hubungan kelimpahan fitplankton dan klorofil-a dapat dilihat pada
Gambar 6. Kandungan klorofil-a yang digunakan adalah nilai klorofil-a hasil
dugaan dari citra MODIS. Klorofil-a diduga menggunakan persamaan dibawah
ini.
Gambar 6. Hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a.
Perubahan kelimpahan fitoplankton tidak selalu dikuti dengan perubahan
kandungan klorofil-a secara linear (Gambar 6). Stasiun dengan kandungan
klorofil-a yang tinggi tidak selalu akan memiliki kelimpahan fitoplankton yang
tinggi pula. Stasiun 18 memiliki kelimpahan fitoplakton yang tinggi namun
kandungan klorofil-anya lebih rendah dibandingkan beberapa stasiun lainnya. Hal
ini diduga disebabkan dari ukuran fitoplankton tersebut. Kandungan klorofil-a
tergantung pada ukuran fitoplankton, sehingga walaupun kelimpahan fitoplankton
melimpah di perairan namun bila jenis fitoplankton tersebut mempunyai
bio-volume yang kecil maka klorofil-a yang terkandung dalam sel-sel fitoplankton
tersebut akan sedikit. Pada Stasiun 18 dengan kelimpahan fitoplankton yang
tinggi namun kandungan klorofil-anya rendah maka kemungkinan besar pada
stasiun tersebut memiliki kelimpahan fitoplankton yang banyak namun ukurannya
25
Sebaliknya Stasiun 36, 37 dan 38 memiliki kandungan klorofil-a tinggi namun
kelimpahan fitoplankton rendah dibandingkan beberapa stasiun lainnya. Hal ini
diduga karena Stasiun 36, 37 dan 38 letaknya berdekatan dengan daratan sehingga
kemungkinan adanya bias perhitungan kandungan klorofil-a yang diduga berasal
dari detritus dan serasah yang terbawa dari daratan menuju ke Teluk Jakarta.
Sedimen tersuspensi dan detritus adalah penyebab utama kesalahan pengukuran
klorofil-a di daerah pantai (Richardson et al., 2005).
Gambar 7. Regresi liniear hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a
Secara linier hubungan antara klorofil-a (x) dengan kelimpahan fitoplankton
(y) mempunyai persamaan regresi berikut y = 0.013x +0.573 (Gambar 7).
Hubungan klorofil-a dengan fitoplankton memiliki tingkat keakuratan yang
rendah yakni dengan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2)
4.2 Kurva Reflektansi Spektral Skeletonema
Panjang gelombang yang digunakan untuk melihat reflektansi Skeletonema
adalah antara 400 – 700 nm. Kanal yang digunakan adalah kanal 1, 4, 8, 9, 10,
11, dan 14 dengan kisaran panjang gelombang 400-700 nm. Liew et al (2000)
juga menggunakan kisaran panjang gelombang ini untuk mengklasifikasikan tipe
blooming alga menggunakan citra Sea WiFS di perairan sekitar Singapura dan
Teluk Manila
Nilai reflektansi di ekstrak dari citra MODIS pada masing-masing stasiun
pengamatan. Jumlah stasiun pengamatan sebanyak 37 stasiun. Namun stasiun
yang digunakan sebanyak 11 stasiun karena 26 stasiun lainnya mendapat
pengaruh dari awan/ atmosfer. Kurva reflektansi spektral dari 11 stasiun tersebut
digambarkan pada Gambar 8.
8 9 10 11 4 1 2 Kanal MODIS
27
Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa reflektansi spektral dengan kelimpahan
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema di setiap stasiun memiliki pola
yang hampir sama. Kurva reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton
didominasi oleh Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm.
Hasil penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985 menunjukkan bahwa adanya
peningkatan nilai reflektansi pada panjang gelombang 550-600 seiring dengan
meningkatnya kelimpahan Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium
(kultur). Seperti terlihat pada stasiun 5 yang memiliki nilai reflektansi tertinggi
pada panjang gelombang 550-600 nm dimana kelimpahan Skeletonema memiliki
nilai tertinggi yaitu 19.190.487 sel/m3. Stasiun 31 juga menunjukkan hal yang
sama. Nilai reflektansi stasiun 31 pada panjang gelombang 550-600 nm
menunjukkan nilai yang paling kecil dengan kelimpahan Skeletonema yang paling
rendah sebesar 118455 sel/m3.
Nilai rata-rata dari reflektansi spektral dari citra MODIS pada setiap stasiun
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 (a). Kurva rata-rata reflektansi spektral
dengan kelimpahan fitoplankton didominasi oleh Skeletonema memiliki pola yang
sama dengan kurva reflektansi Skeletonema menggunakan citra Sea WiFS dan
(a) (b)
(c)
Gambar 9. (a) Kurva rata-rata reflektansi spektral citra MODIS dengan fitoplankton dominan Skeletonema. (b) Reflektansi Spektral
Skeletonema (blooming) dari citra Sea WiFS dan MERIS(Liew et.al, 2000). (c) Hubungan antara reflektansi (%) dan panjang gelombang pada berbagai konsentrasi Skeletonema costatum (kultur) (Uno et al. 1980 in Catts et al.,1985).
Reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh
Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm (kanal 4). Pada
panjang gelombang 413 nm nilai reflektansi sebesar 0.0174. Kemudian pada
panjang gelombang 443 nm nilai relektansi naik menjadi 0.01818. Pada panjang
29
Selanjutnya reflektansi mengalami penurunan sampai pada panjang gelombang
678 nm. Hasil penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985 menunjukkan
bahwa reflektansi spektral Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium
(kultur) terdapat puncak spektral pada panjang gelombang 520-580 nm (Gambar 9
(c)). Hal ini sesuai dengan pola reflektansi pada Gambar 9 (a).
Kurva rata-rata reflektansi spektral dengan fitoplankton didominasi oleh
Skeletonema (Gambar 9 (a)) memiliki pola yang hampir sama dengan kurva
reflektansi Skeletonema pada saat blooming (Gambar 9(b)) menggunakan citra
Sea WiFS dan MERIS oleh Liew et al (2000) di perairan sekitar Singapura.
Berdasarkan bentuk kurva, terdapat perbedaan bentuk kurva 9 (a) pada panjang
gelombang 645 nm dibandingkan kurva pada gambar 9 (b) dan 9 (c). Hal ini
disebabkan karena pengaruh dari kandungan tersuspensi. Berdasarkan nilai
reflektansinya, Gambar 9(a) memiliki nilai reflektansi yang lebih kecil. Hal yang
dapat mempengaruhi nilai reflektansi diduga dari kandungan sifat optik perairan
seperti kandungan TSS dan CDOM. Menurut Sathyendranath (2000) sifat optik
perairan (absorpsi atau reflektansi) pada beberapa panjang gelombang dipengaruhi
oleh fitoplankton, padatan tersuspensi dan yellow substances. Faktor lain diduga
pengaruh dari partikel atmosfer pada panjang gelombang 390-440 nm. Menurut
Call et.al (2003) in Karen and Stuart (2003) bahwa pada panjang gelombang
390-440 nm merupakan wilayah yang sensitif terhadap partikel atmosfer dan atenuasi
kolom air.
regresi sederhana pada masing-masing panjang gelombang yaitu 405-420,
438-448, 483-493, 526-536, 545-565, 620-670 dan 673-683 nm. Persamaan hasil
analisis regersi sederhana menunjukkan adanya hubungan signifikan antar
reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan
CDOM dan TSS (Lampiran 1).
a. Panjang gelombang 405-420 nm
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pengaruh TSS tidak signifikan mempengaruhi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh
Skeletonema. Koefisien determinasi antara nilai reflektansi dengan TSS sebesar
0.048. Sedangkan CDOM signifikan mempengaruhi nilai reflektansi dan
hubungannya mengikuti persamaan dibawah ini.
y = -3912.x2 + 17.71x + 0.008………..(8)
Keterangan :
y = nilai reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm
x = kandungan CDOM
Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang
405-420 nm dengan CDOM sebesar 0.502 yang berarti bahwa pengaruh CDOM
terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada
panjang gelombang 405-420 nm sebesar 50,2 %.
b. Panjang gelombang 438 – 448nm
Korelasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang 438-448 nm dengan CDOM dan TSS kurang signifikan. Koefisien determinasi pada panjang
31
antara nilai reflektansi dengan CDOM dan TSS berturut-turut sebesar 0.444 dan
0.470.
c. Panjang gelombang 483-493 nm
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 483-493 nm , CDOM dan TSS kurang signifikan mempengaruhi reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. Koefisien determinasi antara
CDOM dan TSS dengan nilai reflektansi masing-masing sebesar 0.421 dan 0.406.
d. Panjang gelombang 526-536 nm
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 526-536, CDOM dan TSS kurang signifikan mempengaruhi reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan koefisien determinasi
sebesar 0.426 dan 0, 381.
e. Panjang gelombang 545-565 nm
Kandungan CDOM kurang signifikan mempengaruhi reflektansi reflektansi
spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang
545-565 nm. Hal ini terlihat dari kecilnya nilai koefisien determinasi yaitu
sebesar 0.274. Sedangkan TSS signifikan mempengaruhi reflektansi spektral
yang didominasi Skeletonema dan hubungannya mengikuti persamaan 9.
y = -0.001x + 0.264………..(9)
Keterangan :
y = nilai reflektansi pada panjang gelombang 545-565 nm
Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang
545-565 nm dengan TSS sebesar 0.621 yang berarti bahwa pengaruh TSS
terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada
panjang gelombang 545-565 nm sebesar 62.1 %.
f. Panjang gelombang 620-670 nm
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 620-670
nm, CDOM kurang signifikan mempengaruhi nilai reflektansi dengan koefisien
determinasi sebesar 0.229. Sedangkan TSS signifikan mempengaruhi reflektansi
spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dan hubungannya
mengikuti persamaan dibawah ini.
y = -0.002x + 0.308………..(10)
Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang
620-670 nm dengan TSS sebesar 0.574 yang berarti bahwa pengaruh TSS
terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada
panjang gelombang 620-670 nm sebesar 57.4 %.
g. Panjang gelombang 673-683 nm
Pada panjang gelombang 673-683 nm, CDOM dan TSS kurang berpengaruh terhadap reflektaasi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema.
Koefisien determinasi antara CDOM dan TSS dengan nilai reflektansi
Skeletonema pada panjang gelombang 673-683 nm menunjukkan nilai yang
33
Tabel 4 menunjukkan analisis regresi sederhana reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan CDOM dan TSS.
Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) pada Tabel 4, kandungan CDOM dan
TSS perairan memililiki hubungan erat pada beberapa panjang gelombang.
Kandungan TSS berhubungan erat dengan nilai reflektansi terlihat pada panjang
gelombang 545-565 dan 620-670 nm dengan nilai koefisien determinasi lebih
besar dari 50%. Hasil penelitian Rodríguez-Guzmán, V. dan F. Gilbes-Santaella
(2009) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara TSS dengan reflektansi
pada panjang gelombang 645 nm dari citra MODIS (R2=0.73). Kandungan TSS
berkorelasi negatif dengan nilai reflektansi, dimana nilai reflektansi akan semakin
kecil dengan bertambahnya kandungan TSS. Hal ini kemungkinan disebabkan
kandungan TSS didominasi oleh partikel organik sehingga dengan bertambahnya
partikel organik nilai absorbsi akan semakin tinggi sedangkan nilai reflektansi
semakin rendah. Menurut Fang et al. (2008, 2009) dalam Chuvieco (2010)
menggambarkan dua metode untuk mengetahui sebaran padatan tersuspensi
permukaan, salah satunya dari reflektansi pada panjang gelombang 549 nm
(korelasi negatif untuk TSS yang didominasi oleh partikel organik).
Kandungan CDOM berhubungan erat dengan nilai reflektansi pada panjang
gelombang 405-420 nm. Berdasarkan persamaan regresi pada Tabel 4, terlihat
kandungan CDOM berhubungan negatif dengan reflektansi. Meningkatnya
kandungan CDOM menyebabkan reflektansi pada panjang gelombang 405-420
nm menjadi turun. Hal ini sesuai dengan penelitian Menken et.al (2005) bahwa
meningkatnya kandungan CDOM meyebabkan rendahnya nilai reflektansi,
Tabel 4. Persaman regresi sederhana hubungan reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan TSS dan CDOM.
Panjang
gelombang Parameter Regresi R R²
405-420 CDOM y = -3912x2 + 17.71x + 0.008 0.709 0.502
545-565 TSS y = -0.001x + 0.264 0.788 0.621
620-670 TSS y = -0.002x + 0.308 0.758 0.574
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa panjang gelombang tertentu peka
terhadap perubahan kandungan TSS dan CDOM sehingga dapat digunakan untuk
melihat adanya perbedaan pola reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi
oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan blooming. Berdasarkan Gambar
9(a) dan 9 (b) terlihat perbedaan yang signifikan antara pola reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan
blooming pada panjang gelombang 645 nm. Dengan adanya hubungan yang
signifikan antara reflektansi dan TSS (R²= 0.574) pada panjang gelombang ini
(620-670 nm) maka dapat dijadikan untuk menduga apakah apakah kelimpahan
Skeletonema mencapai blooming atau masih normal.
Gambar dari grafik analisis regresi sederhana hubungan reflektansi spektral
dengan fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan kandungan TSS
dan CDOM pada masing- masing panjang gelombang dapat dilihat pada gambar
35
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) Gambar 10. Regresi sederhana hubungan TSS dengan reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g)
Gambar 11. Regresi sederhana hubungan CDOM dengan reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang
37
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Komposisi fitoplankton di Teluk Jakarta terdiri dari empat kelas yaitu
Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus)
dan Coscinodischopyceae (1 genus). Kelimpahan fitoplankton didominasi dari
genus Skeletonema dengan kelimpahan sebesar 90,8 %. Sedangkan jenis
fitoplankton yang lainnya sangat kecil yaitu genus Nitzchia sebesar 5 %,
Thalassiosira sebesar 0.7%, Chaetocheros sebesar 1,7% Ceratium sebesar 0.7%
dan dari jenis lainnya sebesar 1.1 %. Kandungan klorofil-a hasil nilai estimasi
dari citra MODIS memiliki hubungan yang kurang signifikan dengan kelimpahan
fitoplankton dengan nilai korelasi sebesar 0.087.
Panjang gelombang yang digunakan untuk melihat reflektansi Skeletonema
adalah antara 400 – 700 nm. Reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi
oleh Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm dan
memiliki pola yang hampir sama dengan reflektansi Skeletonema menggunakan
citra Sea WiFS dan MERIS (Liew et al, 2000) di perairan sekitar Singapura dan
reflektansi Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium (kultur)hasil
penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985. Adanya perbedaan bentuk kurva
pada panjang gelombang 645 nm disebabkan oleh kandungan TSS. Kandungan
TSS berhubungan erat dengan reflektansi spektral fitoplankton didominasi oleh
Skeletonema terlihat pada panjang gelombang 545-565 dan 620-670 nm dengan
erat dengan reflektansi spektral Skeletonema hanya pada panjang gelombang
405-420 nm. Meningkatnya kandungan CDOM menyebabkan reflektansi pada
panjang gelombang 405-420 nm menjadi turun. Pola kurva reflektansi spektral
fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan
blooming berbeda pada panjang gelombang 645 nm. Dengan adanya hubungan
yang signifikan antara reflektansi dan TSS (R²= 0.574) pada panjang gelombang
ini (620-670 nm) maka dapat dijadikan untuk menduga apakah kelimpahan
Skeletonema mencapai blooming atau masih normal.
5.2 Saran
Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini, maka diperlukan penelitian
lanjut untuk menganalisis kandungan pigmen dan ukuran dari masing-masing
jenis fitoplankton sehingga dapat mengetahui bagaimana pengaruh kandungan
pigmen dan ukuran fitoplankton yang berbeda terhadap pola karakteristik
39
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Q. 1998. Potensi Aplikasi Fitoplankton Bagi Bioteknologi Kelautan : Studi Kasus Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Perairan Surabaya. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia. Jakarta. Hal. :329-337.
Alarcon, V. J.,J. V. D Zwaag, R. Moorhead. 2006. Estimation of Estuary
Phytoplankton using a Web-based Tool for Visualization of Hyper-spectral Images. GeoResources Institute, Mississippi State University. Mississippi.
Arinardi, O.H., Trimaningsih, S. H. Riyono, E. Asnaryanti. 1995. Kisaran Kelimpahan Fitoplankton dan Komposisi Plankton Predominan di Sekitar Pulau Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Arinardi, O.H., Trimaningsih, Sudirdjo, Sugestiningsih dan S. H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan Fitoplankton dan Komposisi Plankton Predominan di Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Bracher. A, M. Vountas, T. Dinter, J. P. Burrows, R. Rottgers dan I. Peeken. 2008. Quantitative observation of cyanobacteria and diatoms from space using PhytoDOAS on SCIAMACHY data. Biogeosciences Discuss. (5) :4559–4590.
Catts, G. P., S. Khorram, J. E. Cloern, A. W. Knight, S. D. Degloria. 1985. Remote Sensing of Tidal Chlophyll-a Variations in Estuaries. International Journal Remote Sensing. 6(11):1685-1706.
Chuvieco, E., J. Li, X (Eds.). Yang, 2010. Advances in Earth Observation of Global Change. Springer Netherlands. Dordrecht.
Fachrul, M. F., H. Haeruman, L. C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitooplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Disampaikan dalam Seminar Nasional MIPA. FMIPA. Universitas Indonesia. Depok.
Hu, C., Lee. Z., Muller-Karger. F.E., Carder, K. L., Walsh, J. J. 2006. Ocean Color Reveals Phase Shift Between Marine Plants and Yellow Substance. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters. 3(2):262-266.
Karen, E.J and R. P. Stuart. 2003. Hyperspectral Analysis of Chlorophil Content and Photosyntetic Capacity of Coral Reef Substrates. Limnology and Oeanography. 48(1) :489-496.
Lillesand, T.M dan F.W. Kiefer.1979. Remote sensing and Image Interpretatioon. John Wiley & Sons. New York.
Maccherone, B. 2005. About MODIS. http://modis .gscf.nasa.gov/ (diunduh tanggal 29 Maret 2010:3.24 pm).
Menken, K., P. L. Brezonik and M. E. Bauer. 2005. Influence of Chlorophyll and Colored Dissolved Organic Matter (CDOM) on Lake Reflectance Spectra: Implications for Measuring Lake Properties by Remote Sensing. Lake and Reservoir Management. Department of Civil Engineering, University of Minnesota. Minneapolis.
Mulyasari, R. Peranginangin, Th. D. Suryaningrum dan A. Sari. 2003. Penelitian Mengenai Keberadaan Biotoksin Pada Biota dan Lingkungan Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (5) :39-64.
Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Nurjannah. 2006. Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Odum, E.P.1998. Dasar Dasar Ekologi:Alih Bahasa Samingan, T. edisi ketiga. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Richardson, K. M., M. H. Pinkerton, M. J. Uddstrom, M. P. Gall dan P. Hill. 2005. Remote Sensing Survey of the Bay of Plebty. Report on Sea Surface Temperature and Ocean Colour Product Generation for Environment Bay of Plenty. Wellington. New Zealand.
Rodríguez-Guzmán, V. dan F. Gilbes-Santaella (2009) Estimating Total
Suspended Sediments in Tropical Open Bay Conditions using MODIS. In: Proceedings of the 8th WSEAS International Conference on
Instrumentation, Measurement, Circuits and Systems, Hangzhou, China, May 20-22, 2009. Hal. : 83-86.
41
Soedibjo. S. B 2007. Fenomena Kehadiran Skeletonema sp. Di Perairan Teluk Jakarta. h-11-16. in P. Sudjono, S. S. Moersidik, D.M. Hartono dan
Sulistyoweni. Lingkungan Tropis :Edisi Khusus Agustus 2007. Hal. :11-16.
Spinrad, R.W, L. C. Kendall, J.P. Mary. 1994. Ocean Optics. Oxford University Press. Clarendon Press. Oxford.
Susilo, S. B., J. L. Gaol. 2008. Dasar-Dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Tarigan, M. S. 2008. Pemantauan Kualitas Perairan (Konsentrasi Klorofil-a di Teluk Jakarta Dengan Menggunakan Data Multi-Temporal Citra Satelit Terra MODIS.Bidang Dinamika Laut P20-LIPI. Jakarta.
Toming, K., Arst H., Paavel B., Laas A., Noges T. 2009. Spatial and Temporal Variation in Coloured Disolved Organic Matter in Large and Shallow Estonian Waterbodies. Boreal Environment Research. 14:959-970.
Van-der-Woerd, H. J., A. Blauw, R. Pasterkamp, S. Tatman, M. Laanen, L. Peperzak. 2005. Integrated Spasial and Spectral Characterisation of Harmful Algal Blooms in Dutch Coastal Waters (ISCHA). Amsterdam. Netherland.
Wouthuyzen, S. 2006. Pemantauan kualitas perairan Teluk Jakarta untuk
memprediksi Mark Algae dengan Satelit Terra dan Aqua MODIS. Laporan Penelitian Kompetitif Jabopunjur-LIPI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Wouthuyzen, S. 2007. Pendeteksian Dini Kejadian Marak Alga(Harmful Alga Blooms/HAB) Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Laporan Akhir Tahun. P2O-LIPI. Jakarta.
43
Lampiran 1. Tabel Nilai Koefisien Determinasi (R2) dan Persamaan Regresi CDOM dan TSS pada masing-masing panjang gelombang
Panjang gelombang (nm) Parameter Regresi r R²
Lampiran 2. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun penelitian
Fitoplankton STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6
Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %
Skletonema 8922633 63.56 17386473 86.02 2775665 77.75 19190487 92.48 13031098 87.75
45
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN 7 STASIUN 8 STASIUN 9 STASIUN 10 STASIUN 11
Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %
Skletonema 1295738 79.84 18959462 93.96 231942 46.05 15076625 96.03 8160084 94.26
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN 12 STASIUN 13 STASIUN 14 STASIUN 15 STASIUN 16
47
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN 17 STASIUN 18 STASIUN 19 STASIUN 20 STASIUN 21
Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %
Skletonema 22443578 96.50 13418007 91.32 3253905 77.44 849028 83.10 52920305 92.38
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN22 STASIUN 23 STASIUN 24 STASIUN 25 STASIUN 26
Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %
Skletonema 90236160 91.38 31591657 84.51 68745600 83.16 67395980 85.27 15283927 79.4779
49
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN 27 STASIUN 28 STASIUN 29 STASIUN 30 STASIUN 31
Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %
Skletonema 3159948 74.26 269837405 95.22 76991651 96.29 33212378 97.95 118455 68.56
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton STASIUN 32 STASIUN 33 STASIUN 34 STASIUN 35 STASIUN 36
51
Lampiran 2. Lanjutan
Fitoplankton
STASIUN 37 STASIUN 38
Sel/m3 % Sel/m3 %
Amphora
Bacteriastrum
Cosconidiscus 489 0.23 815 0.18
Chaetoceros 1629 0.36
Navicula 1466 0.68 1629 0.36
Nitzschia 5376 2.49 24844 5.56
Skletonema 146129 67.80 314415 70.31
Thalassiosira 19060 8.84 46836 10.47
Thalassiothrix 3910 1.81 5702 1.28
Stephanopyxsis 5702 1.28
53
Lampiran 4. Foto-Foto Kegiatan
Kapal yang digunakan Nansen
GPS Planktonet Pengambilan Data Lapang dan Alat yang Digunakan
Lampiran 5. Beberapa jenis fitoplankton yang umum ditemukan di Teluk Jakarta (Nontji, 1984).
55
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 17
Agustus 1988 dan merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara dari pasangan Bapak Maizul dan Ibu Delwita.
Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan
menengahnya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)
1 Suliki. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
pada tahun 2006, dan tercatat resmi sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada
tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif berorganisasi, antara lain:
sebagai staf Kewirausahaan (2007-2008 ) dan staf Pengembangan Sumberdaya
Manusia (2008-2009) di Himpunan Mahaiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan
(Himiteka). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah
Oseanografi Kimia (2008-2009) dan Dasar Penginderaan Jauh (2009-2010).
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
SRI HUTRI MADELA. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral
Fitoplankton Menggunakan Citra MODIS. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan TUMPAK SIDABUTAR.
Keberlangsungan sumberdaya hayati laut dapat dipengaruhi oleh ketersediaan fitoplankton sebagai produsen dalam rantai makanan. Namun peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat dapat berakibat negatif bagi biota dan kehidupan dilaut seperti blooming fitoplankton yang sering terjadi di Teluk Jakarta dan sering didominasi oleh satu genus atau spesies. Oleh karena itu diperlukan adanya pemantauan spasial dan temporal terhadap
fitoplankton yang dominan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola karakteristik spektral fitoplankton dominan berdasarkan nilai reflektansi dari citra MODIS. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 di Teluk Jakarta, DKI Jakarta. Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu pengambilan data lapang yaitu kelimpahan fitoplankton, TSS dan CDOM. Kelimpahan fitoplankton diambil menggunakan planktonet dan kemudian dicacah di bawah mikroskop. Contoh air untuk analisis TSS dan CDOM diambil menggunakan Nansen. Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium P2O LIPI dan laboratorium Biomikro, FPIK, IPB. Analisis data fitoplankton meliputi komposisi dan
persentase kelimpahan fitoplankton. Analisis citra MODIS dilakukan dengan mengekstrak nilai reflektansi pada masing-masing stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan empat kelas fitoplankton pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta. Empat kelas yang ditemukan yaitu Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Genus yang ditemukan yaitu Bacteriastrum, Cosconidiscus, Chaetoceros, Navicula, Nitzschia, Skletonema, Thalassiosira, Thalassiothix, Rhizosolenia, Thalasionema Pleurosigma, Stephanopyxsis, Protoperidinium, Ceratium , Dinophysis, Gonyaulax, Gymnodinium , Noctiluca, Protoperidinium, Prorocentrum, Dictyocha dan Eucampia.
Kelimpahan fitoplankton pada 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta didominasi oleh Skletonema dengan persentase sebesar 90.8 %. Pola reflektansi fitoplankton yang didominasi oleh Skletonema pada kisaran panjang gelombang 400-700 nm mengalami satu kali puncak yaitu pada panjang