ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT:
KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU
UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER
Oleh :
IMAN SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul “ANALISIS PENAWARAN DAN
PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER” merupakan
gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2011
ABSTRACT
IMAN SANTOSO. Analysis of Supply and Demand of Roundwood: Raw
Material Policy Arrangement for Primary Wood Industries. (RINA OKTAVIANI
as Chairman, ARIEF DARYANTO and DUDUNG DARUSMAN as Member of
Advisory Committee).
The role of forestry sector in national economies show a declining trend. This decrease was caused by various factors. One of them is the occurrence of an imbalance between supply and demand for logs in which there is excess demand for primary wood processing industry. Many efforts have been made such as the arrangement of primary wood processing industry and implementation of a log export ban, but has not given encouraging results yet. This research is applying a simultaneous equations model of the Indonesian timber market system that are more detailed than previous studies. On the supply side, the behavioral model of timber supply from various sources (natural forests, plantation forests and community forests) is constructed. Meanwhile, on the demand side, this research constructed demand behavior of sawntimber, plywood, and pulp industries. The model developed is intended to answer questions relating to (1) the factors that influence production of roundwood production and its derivatives, (2) forms of government policies that ensure the sustainability of the forest industry (upstream-downstream), and (3) policies that can reduce the gap of supply and demand of logs. 2SLS method was used for model parameter estimation.
The results show that the decision to determine the extent of timber harvesting area in natural forest and plantation forest are influenced by previous cutting experience in addition to the demand by the industrial roundwood, roundwood prices, taxes and levies and wage rates. Roundwood production from natural and plantation forests are influenced by land productivity, while for community forest production is more affected by extensive logging. Level of demand by the industry is affected by the production of primary wood processing industry, the world price of processed wood products, and the price of logs. Efforts to accelerate the decline in the gap can be done through increased productivity of natural forests through the implementation of intensive silviculture. Other efforts that could be implemented are acceleration of development of community’s plantation forests (HTR) in production forests are not burdened with rights, implementation of compensation fee for the people who developing HTR as much as their opportunity cost if they reduce cash crops in HTR area simplify the procedure so that the community can meet the required conditions, granting access to financing credit, encouraging participants to plant perennials HTR; application of multi-system silviculture. Increased production of logs per unit area as described above is expected to increase the contribution of the forestry sector, through increased taxes and charges up to certain limits. Application of the use of efficient wood processing technology, especially in the application of new industrial units, to offset rising production costs, for example increase the wage rate.
RINGKASAN
IMAN SANTOSO. Analisis Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan
Pengaturan Bahan Baku untuk Industri Pengolahan Kayu Primer. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, ARIEF DARYANTO dan DUDUNG DARUSMAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Sub sektor kehutanan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional Indonesia terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode PELITA I. Dalam perdagangan internasional, sub sektor ini pada tahun 1980-an menguasi 40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Disamping itu industri di sub sektor ini pada tahun 2005 memberikan kontribusi sebesar 3,28% dari Produk Domestik Bruto dan menyerap tenaga kerja sekitar 7,91% dari seluruh sektor industri. Mengingat pentingnya sub sektor ini, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah diantaranya dengan kemudahan dalam membangun industri pengolahan kayu dan pelarangan ekspor kayu bulat mulai dari tahun 1985. Dalam perjalanannya pemanfaatan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer terutama kayu gergajian dan kayu lapis mengalami fluktuasi yang tajam dalam periode 1980 hingga 2005. Pemanfaatan tertinggi terjadi pada 1990-an yang mencapai diatas 90%, tetapi pada tahun 2005 turun drastis sampai dibawah 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer tersebut tidak cukup menerima penawaran kayu bulat atau kurang mampu menyerap ketersediaan kayu yang ada.
Dari berbagai literature disebutkan bahwa terjadi ketimpangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, dimana terjadi kelebihan permintaan. Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan tersebut mengundang berbagai pertanyaan, diantaranya (1) seberapa jauh faktor-faktor yang berkontribusi pada tingkat produksi kayu bulat dan produk turunannya mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat dan permintaannya oleh industri pengolahan kayu primer dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keduanya?; (2) Akan di arahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan kontinuitas penawaran kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer?; dan (3) Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat.
alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat, permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer; dan perilaku harga di setiap pasar dan metode pendugaan yang digunakan untuk mempelajari perilaku tersebut adalah Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap. Hasil analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di Indonesia untuk periode 1980 hingga 2005 diperoleh beberapa hasil mengenai perilaku ekonomi, serta kecenderungan yang akan terjadi bila ada perubahan kebijakan.
Keputusan produsen untuk untuk menentukan luas tebangan pada hutan alam dan hutan tanaman dipengaruhi oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya, juga sangat dipengaruhi oleh permintaan kayu bulat oleh industri, harga kayu itu sendiri, dan tingkat upah. Sedangkan pada penentu luas tebangan hutan rakyat adalah besarnya permintaan terhadap kayu mereka. Hal ini sejalan dengan perilaku produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman yang dipengaruhi oleh produktivitas, upah dan Iuran Hasil Hutan. Sementara untuk produksi kayu dari hutan rakyat dipengaruhi oleh luas tebangan.
Dari sisi harga, harga kayu bulat selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya juga dipengaruhi harga riil kayu gergajian domestik dan harga kayu bulat dunia yang menunjukkan bahwa kinerja penawaran kayu bulat lebih cenderung terkait dengan industri gergajian dan orientasi ekspor kayu bulat. Sementara tingkat harga yang diterima oleh rakyat cenderung berdasarkan pada harga kayu bulat yang diterima rakyat pada periode sebelumnya.
Permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat permintaan oleh industri dipengaruhi oleh tingkat produksi industri pengolahan kayu primer, harga produk kayu olahan dunia, dan harga kayu bulat. Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika. Berlawanan dengan ekspor, impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun bila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal bila dibayar dengan Rupiah.
Dari berbagai skenario yang dikembangkan hasil simulasi, upaya percepatan penurunan ekses permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas hutan alam melalui implementasi SILIN yang dikombinasikan dengan penurunan kapasitas industri pengolahan kayu primer.
HTR sampai dengan tahu 2014 sekitar 5.4 juta hektar maka pola ini menyumbang penawaran kayu sekitar 1 juta m3
Upaya lain adalah dengan kebijakan memberikan kompensasi bagi peserta HTR untuk peluang ekonomi yang hilang (opportunity cost) bila mereka tidak mengurangi cash crops pada areal HTR-nya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan mereka, menyederhanakan prosedur yang memungkinkan masyarakat bias memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, dan pemberian akses yang memadai pada kredit pendanaan melalui berbagai skim yang tepat, termasuk memberi kemungkinan insentif pada peserta HTR yang akan menanam jenis-jenis kayu keras (hardwood). Minimalisasi gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat juga bias ditempuh melalui penerapan multi-system silviculture yang meminimumkan biaya dan memaksimumkan produksi kayu bulat secara spesifik pada tiap areal kerja pengusahaan hutan sesuai dengan keragaman kondisi biofisik areal tersebut. Hal ini perlu karena pada kenyataannya di satu sisi keragaman lanskap areal kerja pengusahaan hutan tinggi, dan disisi lain, dengan teknologi dan situasi pasar yang ada, semua jenis kayu dapat diolah menjadi berbagai produk yang masing-masing mempunyai pasarnya sendiri.
.
Peningkatan produksi kayu bulat per satuan luas sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan memungkinkan menerapkan kenaikan pajak dan pungutan sampai pada batasan tertentu. Mengingat implementasi kenaikan pajak dan pungutan (IHH/DR) ini akan menurunkan efektifitas pengurangan gap. Di sisi permintaan, pengurangan gap penawaran dan permintaan kayu bulat dapat ditempuh dengan melalui kebijakan penerapan ketentuan penggunaan teknologi pengolahan kayu yang efisien, yang diperlukan untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat upah, dan pasti akan selalu bergerak naik. Kebijakan ini perlu ditekankan pada aplikasi/permohonan unit-unit industri baru.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT:
KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU
UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER
IMAN SANTOSO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS
Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: Dr. Ir. Akhmad Fauzi Mas’ud, MSc.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi, Kementerian Kehutanan Prof. Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.
Menyetujui,
Menyetujui, 1.Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
Judul Disertasi : Analisis Penawaran Dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan Pengaturan Bahan Baku Untuk Industri Pengolahan Kayu Primer
Nama Mahasiswa : ImanSantoso Nomor Pokok : A5460141814
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan rahmat-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan merampungkan penulisan hasilnya dalam disertasi ini. Kepada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala fasilitas dan bimbingan teknis serta administrative terbaik yang telah diberikan hingga penulis berhasil menyelesaikan keseluruhan program doktoral di kampus tercinta ini. Demikian pula kami sampaikan terimakasih kepada seluruh pimpinan Departemen Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan mendorong dalam penyelesaian disertasi.
Secara khusus, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing:
1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku Ketua Komisi, yang sangat memahami kondisi penulis dan telah memberikan dorongan serta arahan yang tepat mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga tersusunnya disertasi ini dan selalu memberikan arahan dan koreksi yang sangat konstruktif;
2. Prof. Dr. Dudung Darusman, MA, selaku Anggota Komisi yang sekaligus merupakan senior penulis di bidang kehutanan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta tidak berhenti memberikan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan seluruh penelitian dan penyusunan disertasi ini dengan baik;
Penulis berhutang budi dan mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati yang telah memberikan dorongan dan arahan kepada penulis mulai dari perkuliahan hingga penelitian. Kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, penulis mengucapkan terimakasih atas perhatiannya yang sangat besar dalam mengikuti perkembangan studi dan memberikan motivasi penulis dalam berbagai kesempatan.
Tidak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal perkuliahan memberikan semangat dan teladan dalam mengikuti perkuliahan dan pelaksanaan penelitian, serta tidak henti-henti mengikuti perkembangan studi penulis dan seluruh rekan seangkatan. Kepada seluruh rekan seangkatan yang telah bekerjasama dengan baik sampai dengan saat ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi, dan berharap persahabatan ini terus berlangsung. Kepada rekan-rekan sekerja di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, khususnya Sdr Ir. Deden Djaenudin, M.Si., yang telah banyak memberikan bantuan tenaga dan pikirannya serta dengan kritis memberikan koreksi atas disertasi ini, dari lubuk hati terdalam penulis mengucapkan terimakasih.
Terkahir, penulis bersyukur atas segala ketulusan dan kerelaan isteri serta kedua anak tercinta yang merupakan motivasi utama penulis dalam melakukan studi ini, yang dengan tekun berdoa dan mengikuti perkembangan studi penulis. Semoga apa yang telah penulis capai menjadi kenangan terindah dan motivasi keluarga untuk selalu berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Dengan segala kekurangannya, serta selalu mengharap ridho Allah SWT, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, Mei 2011
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 22 September 1953, sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah R. Soedarso dan R.Ng.Sarmonah. Pendidikan dasar dan menengah penulis dijalani di kota Semarang, dan pada tahun 1973 penulis mulai kuliah pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1979 penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian sebagai staf perencana program pada Balai Planologi Kehutanan Wilayah V di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan kemudian menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Balai Tata Hutan Banjarbaru pada tahun 1983. Pada tahun 1986 penulis dimutasikan ke Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan di Jakarta sampai dengan tahun 1990, yang kemudian dilanjutkan dengan tugas belajar Strata 2 (Master of Science) di Department of Forestry, Michigan State University sampai dengan tahun 1992.
Pada periode 1992 hingga 2000 penulis bekerja untuk Badan Planologi Kehutanan di Jakarta dan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Jayapura. Kemudian pada tahun 2000 hingga 2004 penulis bekerja sebagai forest landuse and policy expert pada Proyek Kerjasama EU-MoF dan GTZ-MoF. Pada periode itu, tepatnya pada tahun 2002 penulis mulai mengikuti Program Doktor Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004 hingga 2008 penulis kembali bekerja untuk Departemen Kehutanan, berturut-turut sebagai Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I Sumatera (2004-2005), Sekretaris Badan Planologi Kehutanan (2005-2007), dan Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan (2007-2008).
xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Kebijakan Umum Kehutanan ... 11
2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 14
2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara ... 16
2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia ... 21
2.5. Studi Empirik ... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26
3.1. Landasan Teori ... 26
3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar ... 26
3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran ... 27
3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional ... 31
3.1.4. Suku Bunga ... 32
3.1.5. Upah ... 33
3.1.6. Nilai Tukar ... 34
xv
xvi
5.3.5. Permintaan Kayu Bulat Oleh Industri Pulp ... 78
5.3.6. Produksi Pulp ... 5.4.Ekspor-Impor ... 80
5.2.1. Ekspor Kayu Bulat ... 80
5.2.2. Impor Kayu Bulat ... 81
5.2.3. Ekspor Kayu Gergajian ... 82
5.2.4. Ekspor Kayu Lapis... 83
5.2.5. Ekspor Pulp ... 85
VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 87
6.1.Validasi Model Ekonometrik ... 87
6.2.Proyeksi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Tahun 2006-2010 ... 89
6.2.1.Proyeksi Penawaran Kayu Bulat ... 89
6.2.2.Proyeksi Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Kayu Primer ... 91
6.2.3.Gap antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 92
6.3.Simulasi Skenario Kebijakan Sebagai Upaya Penurunan Gap ... 92
6.3.1.Kenaikan Upah sebesar 5% ... 92
6.3.2.Penurunan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan ... 93
6.3.3. Kenaikan Suku Bunga 5% ... 94
6.3.4. Kenaikan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan ... 96
6.3.5. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman ... 98
6.3.6. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam ... 99
6.3.7. Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat ... 101
6.3.8. Skenario Kombinasi Peningkatan Produktivitas dengan Variasi Kebijakan Lain ... 102
xvii
7.2. Implikasi Kebijakan... 109
7.3. Saran-saran ... 113
DAFTAR PUSTAKA ... 115
xviii
Nomor Halaman
1. Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia
Tahun 1998-2002 ... 3 2. Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Negara
Tujuan Tahun 1997-2005 ... 5 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 ... 13 4 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Alam di Indonesia
Tahun 2005 ... 63 5 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Tanaman di
Indonesia Tahun 2005 ... 65 6 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia
Tahun 2005 ... 66 7 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam di
Indonesia Tahun 2005 ... 68 8 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Tanaman di
Indonesia Tahun 2005 ... 69 9 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Rakyat di
Indonesia Tahun 2005 ... 69 10. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Alam di Indonesia
Tahun 2005 ... 71 11. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Tanaman di Indonesia
Tahun 2005 ... 72 12. Hasil Estimasi Harga Kayu Hutan Rakyat di Indonesia Tahun
2005 ... 73 13. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh Industri
Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 ... 73 14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Gergajian di Indonesia
xix
16. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Lapis di Indonesia
Tahun 2005 ... 77 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat Industri Pulp
di Indonesia Tahun 2005 ... 78 18. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2005 ... 80 19. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Bulat di Indonesia
Tahun 2005 ... 81 20. Hasil Estimasi Persamaan Impor Kayu Bulat di Indonesia
Tahun 2005 ... 82 21. Hasil Estimasi Ekspor Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 ... 83 22. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Lapis di Indonesia
Tahun 2005 ... 84 23. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Pulp di Indonesia Tahun 2005 ... 85 24. Keragaan Validasi pada Model Ekonometrika Penawaran dan
Permintaan Kayu Bulat ... 88 25. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Produksi Sah Hutan Indonesia
Tahun 2006-2010 ... 90 26. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 91 27. Proyeksi selisih (gap) antara Penawaran dan Permintaan Kayu
Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 92 28. Hasil Simulasi Kebijakan Upah, Nilai Tukar, Kapasitas Industri,
dan Suku Bunga ... 95 29. Simulasi Peningkatan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan
Tahun 2006-2010 ... 97 30. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman di Indonesia
Tahun 2006-2010 ... 98 31. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Alam di Indonesia
xx
33. Ringkasan Kombinasi Skenario Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 20%, Hutan Tanaman 30%, Penurunan Kapasitas
xxi
Nomor Halaman
1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri ... 4
2. Kurva Penawaran dan Permintaan ... 27
3. Kurva Pergeseran Permintaan dan penawaran ... 28
4. Keseimbangan Harga Relatif Komoditi ... 31
5. Hubungan Antara Suku Bunga dan Investasi ... 33
6. Dampak Pajak dan Pungutan Terhadap Biaya dan Penerimaan ... 36
7. Rangkaian Produksi dan Pasar Kayu Bulat ... 37
8. Kerangka Model Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 42
9. Penawaran Kayu Bulat dari Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010 ... 93
xxii
Nomor Halaman
1. Program Komputer SAS Versi 9.1 Pendugaan Model Persamaan
Simultan dengan Metode Two State Least Square (2SLS) ... 123 2. Hasil Estimasi dengan Metode 2SLS ... 127
1.1. Latar Belakang
Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama (PELITA I). Sub sektor ini pada tahun 1980-an pernah mencatat prestasi internasional y1980-ang s1980-angat tinggi deng1980-an menempati 40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Pada periode 1993-2005, kontribusi sub sektor ini pada Produk Domestik Bruto berkisar antara 1.7%–3.1%. Kinerja ini dinilai sangat bagus bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi kehutanan di negara-negara Asia (FAO, 2005).
Di sisi industri, Departemen Perindustrian Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2005 nilai produksi industri pengolahan hasil hutan Indonesia mencapai Rp. 89.67 trilyun atau sekitar 3.28% dari Produk Domestik Bruto, dan sekitar 11.71% dari output sektor non-migas. Nilai ekspor dari industri ini mencapai US$ 6.41 milyar atau sekitar 9.68% dari total ekspor nasional, dan sekitar 11.26% dari total ekspor industri. Serapan tenaga kerja mencapai 921.773 orang, yang berarti sekitar 7.91% dari penyerapan tenaga kerja seluruh sektor industri, atau 0.97% dari total angkatan kerja yang bekerja (Seno, 2008).
membangkitkan pertumbuhan industri pengolahan kayu primer, namun pada kenyataannya pelarangan ekspor kayu bulat tersebut dalam beberapa hal dinilai secara keseluruhan masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal tersebut antara lain diperlihatkan oleh: masih adanya kayu bulat yang mengalir secara illegal ke luar negeri (Santoso dan Christanto, 2003), kerugian dari sisi neraca pembayaran dan belum adanya serapan kayu maksimal oleh industri domestik pada pertengahan tahun 1980-an (Sinaga, 1988), dan tidak sepadannya pertambahan devisa dari ekspor kayu olahan dibanding dengan hilangnya kesempatan untuk memperoleh tambahan devisa yang cukup besar dari ekspor kayu bulat (Manurung, 1995).
Tabel 1. Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia Tahun 1998-2002
Produk
Unit 1998 1999 2000 2001 2002 Kayu
gergajian
Juta US $ 320.2 465.0 637.6 628.7 523.4 1.000 ton 742.7 984.6 1.477.7 2.188.5 1.425.5 Kayu
Lapis
Juta US$ 1.533.2 1.924.3 1.816.1 1.560.7 1.522.6 1.000 ton 2.238.1 2.130.5 2.111.9 2.185.5 1.981.1
Pulp Juta US $ 539.8 457.6 969.8 911.2 866.4
1.000 ton 1.412.1 1.063.5 1.524.2 2.275.8 2.187.7
Sumber: Tissari dan Astana, 2004
Kemampuan produksi kayu bulat dan kayu olahan tersebut ditunjang oleh melimpahnya kayu yang merupakan bagian dari sumberdaya Hutan Produksi (HP) yang ditunjuk oleh pemerintah seluas kurang lebih 60.9 juta hektar di seluruh Indonesia (Badan Planologi Kehutanan, 2005). Produksi dari kawasan ini secara insidental masih ditambah oleh produksi kayu melalui Ijin Pemanfaatan Kayu dari konversi kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dalam rangka perluasan perkebunan pemukiman dan penggunaan kawasan lainnya, sebagaimana skema pada Gambar 1.
Sumber: Wagener, 2004
Gambar 1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri di Indonesia
Selain itu, pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri tidak terlepas dari kemungkinan pasokan kayu-kayu tidak sah hasil dari penebangan ilegal
(illegal logging) dari seluruh kategori hutan, sehingga secara keseluruhan kayu-kayu tersebut merupakan ketersediaan kayu-kayu bulat di Indonesia. Ketersediaan kayu-kayu bulat tersebut ternyata selain menjadi pasokan bagi industri pengolahan kayu primer, juga menuju ke pasar dunia secara ilegal, sebagaimana data yang ditunjukkan oleh Tabel 2. Dengan adanya perdagangan yang bersifat ilegal tersebut dikuatirkan akan semakin menurunkan jumlah kawasan hutan dan menurunkan kualitas sumberdaya hutan.
Daratan Indonesia (187 juta ha)
Kawasan Hutan (133.1 juta ha) Tanah Perkebunan dan lain-lain (54.7 juta ha)
Kawasan Konservasi (19.88 juta ha) Hutan Lindung (30.05 juta ha)
Hutan Produksi (60.9 juta ha) Hutan Produksi yang dapat
dikonvensi (22.7 juta ha)
Kebun Kayu Rakyat
Kebun Karet, Kelapa dan Sawit
Industri Kayu Gergajian,
Kayu Lapis dan Pulp Ekspor Kayu Bulat
Tabel 2. Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Nagara Tujuan Tahun
1.2. Perumusan Masalah
Pada periode tahun 1980 hingga 2005 industri-industri pengolahan kayu primer di Indonesia mengalami dinamika produksi yang sangat luar biasa.
Menurut studi yang dilakukan oleh In-house Expert Working Group, Departemen Kehutanan (2007) pemanfaatan kapasitas terpasang industri kayu gergajian yang pada tahun 1980 sekitar 86%, kemudian meningkat menjadi sekitar 97% pada tahun 1989, yang kemudian menurun dengan drastis menjadi hanya 41% pada tahun 2005. Fenomena yang sama juga terjadi pada industri kayu lapis yang pada tahun 1980 hanya memanfaatkan 51% dari kapasitasnya, yang kemudian naik dengan pesat sehingga pada tahun 1997 pemanfaatan kapasitas terpasangnya mencapai 99%, dan kemudian turun secara drastis menjadi sekitar 42% pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer tersebut tidak cukup menerima pasokan kayu bulat, atau kurang mampu menyerap ketersediaan kayu yang ada.
tahunan dari hutan alam yang berimplikasi terhadap menurunnya produksi kayu dari hutan alam dan selanjutnya mengurangi pasokan kayu terhadap industri kehutanan (HPH dan industri pengolahan kayu). Dengan kebijakan ini diharapkan industri kehutanan dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi penurunan pasokan bahan baku tidak mengakibatkan penurunan kinerja dari industri tersebut (Justianto, 2007).
Situasi ini tidak terjadi pada industri pulp yang sejak tahun 1989 hingga tahun 2005 penyerapan bahan bakunya meningkat. Kapasitas terpasang industri ini pada tahun 1989 hanya termanfaatkan sekitar 65%, namun dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pemanfaatan kapasitas terpasangnya, dan terakhir pada tahun 2005 pemanfaatannya meningkat sampai 85%. Fenomena di atas menunjukkan adanya perbedaan perilaku ekonomi antara industri-industri tersebut dalam menyerap bahan baku kayu bulat.
Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan (supply and demand gap), dan kenyataan bahwa produksi industri pengolahan kayu primer masih relatif tinggi dibanding secara proporsional dengan jumlah bahan baku yang ditawarkan, sudah barang tentu mengundang berbagai pertanyaan yang tidak hanya diarahkan kepada mengapa hal itu terjadi, namun juga pada pertanyaan mengenai fenomena ekonomi apa yang sebetulnya terjadi pada situasi itu.
Dengan demikian maka secara spesifik penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab beberapa hal dibawah ini, yaitu:
1. Sampai seberapa jauh faktor-faktor yang berpengaruh (peubah) pada produksi kayu bulat dan kayu olahan primer mempengaruhi produksi kayu bulat dan permintaannya oleh industri pengolahan dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keduanya?
2. Akan diarahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan kontinuitas pasokan kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer?
3. Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi kayu bulat dan kayu olahan primer.
2. Mengevaluasi dampak pengurangan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer dan peningkatan produktivitas kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat terhadap situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dan implikasinya kepada kinerja industri pengolahan kayu primer.
3. Meramalkan dampak kebijakan tersebut terhadap industri pada masa mendatang.
4. Mengidentifikasi kebijakan yang harus ditempuh serta kendala yang harus diatasi untuk meningkatkan kinerja produksi kayu bulat dan industri pengolahan kayu primer.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada:
1. Pengkayaan dan pembaruan (up-date) hasil-hasil kajian dan pengetahuan di bidang kehutanan, khususnya yang terkait dengan ekonomi produksi kayu bulat dan kayu olahan primer, dengan mempertimbangkan peubah-peubah yang berpengaruh kepada keduanya.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fenomena ekonomi dari penawaran dan permintaan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu primer, berdasarkan data dari tahun 1980 hingga 2005. Adapun kayu bulat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kayu bulat tanpa dibedakan jenisnya, namun dibedakan menurut asal usul pohonnya yaitu dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat. Dengan demikian maka dalam kurun waktu 1980 hingga 2005 dapat dipahami bahwa kayu dari hutan alam adalah kayu keras dan dari hutan tanaman dan hutan rakyat adalah jenis cepat tumbuh yang harga dan penggunaannya di industri berbeda.
Bahan baku kayu bulat ke industri selain berasal dari tebangan hutan, juga dari hasil tebangan peremajaan kebun karet, kelapa dan kelapa sawit, maka dalam penelitian ini pasokan dari tebangan peremajaan kebun tidak secara khusus dijadikan peubah endogen. Hal ini dikarenakan data untuk jenis-jenis kayu tersebut kurang memadai, sementara harganya relatif sama dengan harga kayu keras, sehingga kehadiran kayu perkebunan ini dijadikan satu dengan kayu-kayu dari hutan alam. Demikian pula kayu-kayu-kayu-kayu dari tebangan ilegal tidak dimasukkan dalam analisis, di mana seluruh data yang ada diasumsikan merupakan data resmi yang tercatat sehingga tidak melibatkan data kayu ilegal.
2.1. Kebijakan Umum Kehutanan
Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari
kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai
dilakukan sejak diterbitkannya Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun
1967 dan kebijakan pengusahaan hutan pada tahun 1970-an, serta
peraturan-peraturan setelah itu. Menurut Ngadiono (2004) pengelolaan kawasan dan
sumberdaya hutan di Indonesia mulai dari Orde Baru, atau lebih spesifik lagi
mulai 1968, dapat dibagi menjadi empat periode pengelolaan yang
masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda antar yang satu dengan lainnya.
Periode pertama antara tahun 1968 sampai 1980 pada saat Indonesia
sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, sumberdaya hutan dijadikan modal
pembangunan dengan memanfaatkan kayu sebanyak-banyaknya melalui
pengusahaan hutan yang difasilitasi oleh Undang-Undang No.1 tahun 1967
mengenai Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan. Kondisi ini terus berlanjut dengan berbagai
penyempurnaan peraturan sampai dengan tahun 1980 di mana hampir semua
kawasan Hutan Produksi (HP) dieksploitasi melalui pemberian Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) di mana setiap pemegang hak dibebani kewajiban untuk membayar
Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) atau license fee, Iuran Hasil Hutan (IHH),
dan Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada akhir periode ini kawasan HP menjadi
dari infrastruktur karena pohon-pohon terdekat sudah mulai berkurang bahkan
habis, sehingga biaya dan harga kayu bulat menjadi semakin tinggi.
Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980
dan 1990 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan
untuk menunjang kehidupan (life supporting system). Dengan sistem ini tebangan
dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk
dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan
indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan,
atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada
periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan
kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja,
sehingga ekspor dikurangi.
Pada periode ketiga, yaitu antara tahun 1990 hingga 2000 kawasan hutan
dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan
ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan
kenyaman lingkungan hidup. Periode ini ditandai dengan terbitnya
Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Habitatnya, serta Undang-Undang No.24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang.
Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan
menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi
semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya
peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin
Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang,
seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa
dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan
pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik
yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke
pemerintah daerah.
Tabel 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005
Periode
Luas Deforestasi (hektar) per Wilayah di Indonesia
Sumatera Kalimntan Sulawesi Maluku Papua Jawa Bali &
Nusa Indonesia
Secara khusus urusan produksi kayu menjadi wewenang dari pemerintah
kabupaten, yang sayangnya pada suasana euphoria reformasi wewenang tersebut
dilaksanakan secara berlebihan (excessive) sehingga menimbulkan berbagai
kerusakan dan penurunan produktivitas hutan alam atau deforestasi (Barr, 2006;
dan Santoso, 2008), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Pada periode inilah
selisih antara permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan dengan penawaran
legal dari kawasan hutan sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di
Ekploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan menjadikan semakin
menurunnya sumberdaya hutan yang dimiliki Indonesia. Secara ekonomi,
eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dapat merupakan akibat dari tidak
tercapainya kondisi pasar persaingan sempurna sebagai akibat dari adanya
ketidaksimetrisan informasi (asymmetrical information) dalam perdagangan hasil
hutan terutama kayu. Kondisi ini mendorong terjadinya kegagalan pasar, salah
satu sumber terjadinya ketidaksimetrisan informasi ini adalah tingkat pengetahuan
produsen dan konsumen kayu yang berbeda terhadap kualitas kayu. Faktor ini
memungkinkan kayu dengan berbagai kualitas dijual pada tingkat harga yang
sama dan konsumen tidak punya kemampuan untuk membedakan kualitas kayu
tersebut. Sehingga pemasok kayu akan mengeksploitasi sumberdaya kayu dengan
berbagai kualitas mulai dari yang paling rendah.
Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia
telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal
usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama
antara negara-negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam
pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah
penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Skema ini dibangun secara
multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.
2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat
Adam dan Castano (2002) memberi gambaran mengenai penawaran dan
permintaan kayu dunia secara umum dalam dasawarsa 1990 - 2000, dengan
didasarkan atas laporan-laporan dari the Intergovernmental Forum on Forests, the
ITTO Libreville Action Plan, 1998-2001, dan the FAO's Strategic Plan for
Forestry.
Dalam analisisnya, mereka membedakan produk kayu menjadi dua
kategori, yaitu produk kayu primer dan produk kayu sekunder, kemudian dari data
yang ada dilihat proses-proses perluasan dan penyusutan perdagangan kedua
kategori produk produk tersebut di pasar dunia (expansion or contraction
processes). Studi mereka juga melihat berbagai dampak intervensi pemerintah
terhadap penawaran dan permintaan produk-produk kayu di setiap negara, serta
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut. Studi ini
melaporkan bahwa perdagangan produk kayu dunia pada periode tahun
1997-1998 mengalami penurunan sebesar 3.9%, dan diperkirakan akan naik kembali
sebesar 5% pada tahun 1999, dan kenaikan ini merefleksikan perbaikan pada
permintaan pasar Asia, perbaikan atas harga beberapa jenis produk, serta adanya
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada negara-negara Amerika Utara dan
Eropa.
Produksi kayu bulat diramalkan naik 2% pada tahun 1998, hal ini terutama
disebabkan oleh kenaikan produksi kayu bulat tropika, meskipun perekonomian
pada negara-negara wilayah ini terkena dampak yang cukup parah oleh krisis
moneter. Dilaporkan pula bahwa meskipun produksi kayu lapis dunia meningkat
sekitar 2.5% dikarenakan adanya kenaikan kapasitas industri-industri baru, namun
pasar untuk produk ini kurang menarik. Dalam konteks ini dicatat pula bahwa
dalam jangka panjang akan ada kenaikan substitusi kayu lapis diantaranya oleh
jangka panjang juga diramalkan akan ada penurunan produksi kayu lapis tropika
karena adanya kesulitan bahan baku.
Secara spesifik untuk situasi global penawaran dan permintaan kayu bulat
diteliti oleh Multi-Client Studies pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsi dasar dalam analisis penawaran dan
permintaan kayu bulat dunia. Penelitian ini ditujukan juga untuk meramalkan
situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dunia periode 1997-2030.
Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membuat ramalan baru
mengenai perdagangan, investasi, dan kecenderungan harga kayu bulat dan
produk-produk turunannya.
Penelitian ini menyingkapkan kekeliruan ramalan studi-studi yang
sebelumnya. Bila pada awal tahun 1990 beberapa studi memproyeksikan adanya
defisit kayu bulat pada millenium ketiga karena eksploitasi hutan ditengarai telah
melebihi batas-batas kelestarian. Namun demikian, sejak 1995 dunia dibanjiri
dengan pasokan kayu yang cukup banyak yang diperoleh melalui eksploitasi yang
relatif murah, sehingga harganya kurang bagus. Saat ini penawaran kayu bulat
dunia diperkuat dengan perluasan hutan tanaman dan peningkatan produktivitas
hutan. Permintaan kayu bulat oleh negara-negara Asia terpengaruh oleh
restrukturisasi perekonomian negara-negara tersebut, serta melambatnya laju
pertumbuhan perekonomian dunia.
2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara
Berbagai studi dan penelitian yang terkait dengan penawaran (supply) dan
dihubungkan pada satu produk kayu olahan tertentu maupun pada berbagai
produk sebagaimana dilakukan pada penelitian ini. Dari sisi metodologi, studi
tersebut diantaranya menggunakan ekonometrika untuk menganalisis perilaku
penawaran dan permintaan kayu bulat.
Studi penawaran dan permintaan kayu bulat yang dilakukan di Amerika
Serikat, diarahkan untuk mengetahui situasi sumberdaya sampai dengan tahun
2050, terutama untuk: memproyeksikan ketersediaan kayu dan faktor-faktor yang
terkait dengan itu, estimasi berbagai kemungkinan perubahan penggunaan hutan
dan sumberdaya hutan, melihat berbagai implikasi kebijakan dari proyeksi dan
estimasi sumberdaya tersebut, dan mencari opsi-opsi logis untuk memenuhi
kebutuhan kayu domestik.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2050 akan ada
surplus ketersediaan kayu lunak di negara-negara bagian Selatan, sedangkan
untuk negara-negara di bagian utara akan cenderung akan mengalami penurun
produksi kayu keras (Haynes, 2000). Secara keseluruhan wilayah, proyeksi
ketersediaan atau penawaran kayu bulat untuk Amerika Serikat akan cukup untuk
memenuhi konsumsi atau permintaan domestik negara ini pada 50 tahun ke depan.
Dengan demikian tidak perlu dilakukan kebijakan untuk mengimpor atau
membatasi permintaan dengan menaikkan harga kayu. Meskipun demikian,
skenario ini hanya akan menjadi kenyataan apabila: negara-negara di bagian
Selatan meneruskan upaya penanaman kayu lunak, disertai dengan kenaikan
intensitas manajemen hutan tersebut, secara nasional harus ada pengurangan
permintaan kayu keras secara tepat (moderat), dan penelitian dan pengembangan
meningkatkan efisiensi input kayu bulat pada industri pengolahan kayu, termasuk
pulp harus terus dilanjutkan. Skenario ini juga memberikan beberapa implikasi
manajemen, diantaranya negara-negara di bagian Barat tidak perlu meningkatkan
kapasitas produksi industri pulp panel kayu (kayu lapis dan lain-lain).
Di Taiwan studi penawaran dan permintaan kayu dilakukan oleh Chang
dan Jen pada 1986-an dengan merinci komoditi itu kedalam dua sektor, yaitu
sektor kayu untuk kertas dan kayu utuh (solid wood). Sektor solid wood
kemudian dirinci lagi menjadi industri produk-produk solid wood, dan pasar kayu
keras dan kayu lunak. Melalui teori dualitas (duality theory) fungsi-fungsi biaya
dan keuntungan yang terkait dengan fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan
untuk menurunkan fungsi output supply dan fungsi permintaan factor input.
Fungsi-fungsi ini kemudian digunakan untuk membangun model ekonometrik
non-linier.
Dari analisis ini diketahui bahwa sektor kertas Taiwan tidak mempunyai
skala ekonomi. Oleh karena itu biaya produksi per ton tidak akan menurun
mengikuti kenaikan produksi. Harga kertas tidak mempunyai pengaruh yang nyata
kepada biaya produksinya. Baik konsumsi maupun impor kertas bersifat elastik
terhadap pendapatan (income elastic) namun tidak elastik terhadap harga (price
inelastic). Untuk sektor industri solid wood, diramalkan sudah tidak lagi
mengalami kenaikan yang pesat pada ekspor kayu furniture, oleh karena itu
rencana investasi pada sektor ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Kayu
lapis mempunyai skala ekonomi yang signifikan, dimana dengan pengurangan
kapasitas industri secara gradual maka akan terjadi diferensiasi harga yang tinggi
pasar kayu lunak dan kayu keras, produksinya tidak elastik terhadap harga (price
inelastic). Dengan kebijakan kehutanan yang baru, maka produksi kayu lunak
akan berkurang 15%, sedangkan produksi kayu keras akan berkurang 25%.
Di Soviet, penelitian mengenai penawaran dan permintaan kayu bulat
dimaksudkan untuk melihat kemampuan Soviet, khususnya Northern European
Russia and Siberia memenuhi kebutuhan kayu domestik dan melayani pasar dunia
(Barr, 1978). Secara lebih spesisik penelitian tersebut dilakukan untuk melihat:
1) pengaruh permintaan pasar kayu domestik dan internasional terhadap kinerja
produksi dan penawaran kayu bulat di 87 wilayah Soviet,
2) Faktor-faktor yang menjamin keberlanjutan penawaran kayu bulat untuk
wilayah masing-masing, dan
3) memperoleh perkiraan biaya produksi dan harga kayu yang tepat di tiap
wilayah.
Penelitian yang dilakukan oleh Barr ini menghasilkan kesimpulan bahwa dengan
rencana pembangunan jangka menegah 15 tahun yang saat itu diberlakukan,
sumberdaya yang ada mempunyai potensi untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan
kayu domestik, sekaligus masih mempunyai peran yang besar pada pasar kayu
internasional, bila efesiensi pemanfaatan dan pengolahan kayu ditingkatkan
melalui penyempurnaan teknologi.
Di Jerman penelitian-penelitian serupa telah dilaksanakan sejak tahun
1970 di negara ini, namun tidak terselenggara secara kontinu dan belum
menggunakan pendekatan ekonometrika, meskipun metode itu telah banyak
dikembangkan di negara-negara di Amerika Utara dan Skandinavia. Pada tahun
ekonomi pada industri kertas, dengan mengamati 6 peubah dan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan bagi kalangan usaha untuk bernegosiasi
harga.
Mantau (1996) membangun model ekonometrik pertama untuk pasar
papan kayu gergajian Jerman. Model yang dibangun digunakan untuk simulasi
ex-post untuk melihat fluktuasi nilai mata uang. Rintisan ini kemudian diteruskan
oleh beberapa peneliti, antara lain Bergen dan Moog yang pada tahun 1988
melakukan kajian dengan menggunakan one demand one supply equation untuk
melihat elastisitas penawaran kayu bulat jenis Spruce. Model pasar kayu bulat
yang paling maju kemudian dibangun oleh Flinkmann dan Baudin. Model ini
didasarkan pada spesifikasi 9 sektor pengguna akhir (end users) dan 7 sektor input
untuk konstruksi, dan 5 pasar lainnya. Konsumsi kayu diturunkan dari koefisien
teknis, dan peramalan dilakukan melalui proses autoregresif.
Ronnila (1997) dalam makalahnya yang berjudul "Consequences of
structural changes in roundwood and forest product markets" (Solber dan
Maiseyev, 1997) menguraikan perkembangan model-model yang digunakan untuk
manganalisis penawaran dan permintaan produk-produk hasil hutan kayu
Finlandia. Terkait dengan faktor tenaga kerja, penelitian yang dilakukan oleh
Ronnila untuk Finlandia menemukan fakta bahwa koefisien jumlah tenaga di
sektor lain yang secara tidak langsung tergantung kepada sektor kehutanan adalah
0.74, ternyata pada beberapa penelitian terakhir telah diusulkan agar koefisien
tersebut disesuaikan menjadi 0.52.
Faktor tenaga kerja pada fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat
pembangunan ekonomi Portugis sampai dengan tahun 1970 sangat tergantung
kepada faktor tenaga kerja yang murah, serta hubungan perdagangan negara ini
dengan negara-negara bekas koloninya di Afrika. Namun saat ini semuanya telah
berubah setelah Portugis bergabung dalam Uni Eropa.
Meskipun kehutanan mempunyai peran ekonomi yang sangat tinggi,
selama ini penelitian dan studi ekonomi kehutanan di negara ini masih bersifat
deskriptif, sekedar melakukan inventarisasi data tanpa disertai dengan pemodelan.
Ekonomi kehutanan belum pernah diteliti dengan menggunakan pendekatan
ekonometrika. Penelitian yang agak canggih (sophisticated) yang pernah
dilakukan adalah dalam rangka memproyeksikan tingkat pertumbuhan dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan struktural di sektor
kehutanan dengan menggunakan pendekatan struktur pasar (Schwarzebauer,
1966). Adapun penelitian-penelitian ekonomi kehutanan lainnya difokuskan pada
decision support system lebih banyak dikonsentrasikan pada pengembangan
teknik-teknik operation research.
Ketersediaan data dan statistik merupakan penghambat utama mengapa
pendekatan ekonometrika belum digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi
kehutanan di negara ini. Data yang ada sangat tersebar di berbagai lembaga serta
dalam format yang tidak konsisten, dan ini sangat menyulitkan dalam melakukan
analisis perubahan struktural sektor kehutanan, terutama pada produksi kayu
bulat.
2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia
Model-model perencanaan kehutanan untuk analisis sektor kehutanan
1980-an. Model pertama dibangun oleh Buongiorno pada tahun 1978 (Nasendi,
1997) dan disebut Timber Supply Model for Indonesia (TSMI). Model ini
kemudian diikuti dengan pembangunan model kedua oleh Buongiorno (1979),
dengan mengkaitkan produksi kayu bulat dengan kapasitas pelabuhan dan pasar
internasional. Buongiorno (1980) kembali menyempurnakan model-modelnya
dengan mengkaitkan rencana perluasan industri dan pemenuhan kebutuhan kayu
domestik dan pasar internasional. Model-model tersebut kemudian disempurnakan
lagi dengan dibangunnya the Indonesian Forestry Optimization Model
(INDOFOM) oleh Nasendi (1982), yang bila dilihat dari sifat dan strukturnya
termasuk dalam kategori model optimalisasi, dengan metode linear programming,
goal programming, separable programming dan integer programming.
Sinaga (1989) membangun model ekonometrika untuk menjelaskan
hubungan antara penawaran, permintaan, dan harga produk kayu keras Indonesia,
dengan kebijakan dan intervensi pemerintah. Secara khusus dalam studi ini
Sinaga melakukan simulasi untuk mengetahui dampak larangan ekspor kayu bulat
yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia dan Filipina yang saat itu
merupakan pesaing dagang Indonesia. Selain itu dilakukan pula simulasi untuk
mengetahui dampak kenaikan pajak ekspor kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu
lapis, serta diuji pula dampak perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap
kinerja industri kayu bulat dan pengolahan kayu primer.
Hubungan-hubungan ekonomi dalam sistem produksi kayu bulat dan kayu
olahan Indonesia tersebut dirumuskan dalam model ekonometrika melalui
persamaan simultan yang melibatkan 18 persamaan perilaku (behavioral
persamaan identitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda Two-stage
Least Square (2SLS) untuk mengestimasi parameter tiap persamaan perilaku.
Dalam penelitian ini diantaranya diperoleh kesimpulan bahwa sektor kayu
bulat domestik, luas tebangan, dan ekspor kayu bulat Indonesia dalam jangka
panjang maupun pendek tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Sementara
itu konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis lebih responsif terhadap
perubahan nilai tukar dan harga bahan baku dan produk, dibanding industri kayu
gergajian. Selain itu disimpulkan pula adanya kecenderungan menurunnya luas
tebangan dan ekspor kayu bulat, sementara permintaan kayu bulat oleh industri
penggergajian semakin meningkat.
Dalam jangka panjang maupun pendek, ekspor kayu bulat secara elastik
sangat sensitif terhadap produksi kayu bulat itu sendiri. Pada sektor kayu olahan,
ekspor kayu gergajian elastik terhadap harga dalam jangka pendek maupun
panjang, sedangkan ekspor kayu lapis hampir unitary price elastic pada jangka
pendek dan kemudian akan menjadi elastik pada jangka panjang.
Dari temuan-temuan di atas serta temuan lainnya, direkomendasikan
bahwa kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat secara umum merupakan
kebijakan yang kurang menguntungkan, khusunya dalam menjaga neraca
pembayaran. Kebijakan ini akan dipandang tepat bila industri pengolahan kayu
domestik telah siap menyerap seluruh produksi kayu bulat Indonesia. Sementara
itu, penghapusan pajak espor bagi kayu gergajian dan kayu lapis akan menjadi
insentif harga yang akan merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu
Hasil penelitian di atas ditindak lajuti oleh penelitian Manurung (1995)
yang kurang lebih menyatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat akan berdampak
pada meningkatnya pertumbuhan dan kinerja ekspor industri kayu lapis dan kayu
gergajian, namun perolehan devisa dari kebijakan ini ternyata lebih kecil
dibanding bila tidak ada larangan ekspor kayu gergajian. Pencabutan larangan
ekspor kayu bulat akan meningkatkan penerimaan rata-rata 14% selama periode
1981-1989, namun larangan tersebut akan mengurangi tenaga kerja yang lebih
besar dari pada peningkatan tenaga karena adanya pertumbuhan industri kayu
lapis dan kayu gergajian.
Selain kedua penelitian di atas, Sukmananto (2007) dalam mengkaji
kinerja ekspor produk kayu olahan memperoleh temuan umum mengenai
peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bahan baku kayu
untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Dalam penelitiannya,
Sukmananto (2007) menemukan bahwa peubah suku bunga pinjaman, tingkat
upah dan pengalaman produksi tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap
produksi kayu bulat. Namun pengaruh tersebut tidak dibedakan berdasarkan asal
usul kayu, di mana untuk konteks Indonesia kayu bulat bisa berasal dari hutan
alam, hutan tanaman, maupun hutan rakyat, yang masing-masing mempunyai
pertimbangan dan perhitungan produksi yang berbeda.
2.5. Studi Empirik
Dari studi dan penelitian diberbagai negara maupun di Indonesia,
sebagaimana di uraikan di atas dapat ditarik pelajaran bahwa kajian-kajian tentang
penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu selalu
produksi kayu bulat dan komponen-komponen biaya produksi kayu bulat, jumlah
kayu bulat yang dibutuhkan oleh tiap industri pengolahan, produksi kayu olahan,
harga kayu olahan, jumlah kayu olahan yang dijual, dan peubah-peubah eksogen
seperti nilai mata uang, tingkat suku bunga pinjaman, bahkan pendapatan nasional
bruto.
Selain itu, studi-studi tersebut menyatakan bahwa untuk dapat melakukan
analisis ekonomi dengan metode ekonometrika maka perlu dilakukan beberapa
asumsi perubahan, terutama yang terkait dengan: 1) perubahan situasi fiskal dan
moneter, 2) produktivitas unti-unit produksi yang ada dalam model analisis, 3)
adanya kemungkinan perbedaan biaya produksi maupun harga produk karena
adanya perbedaan lokasi (pertimbangan spasial), 4) adanya berbagai teknologi,
dan 5) pentingnya ketersediaan dan konsistensi data dan statistik.
Karena informasi mengenai fenomena penawaran dan permintaan kayu
bulat tersebut sangat penting untuk pengaturan kelestarian sumber daya hutan
Indonesia, maka hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masa lalu
perlu di mutakhirkan dengan penelitian yang menggunakan data yang telah
berkembang hingga kini. Bila penelitian-penelitian terkini lebih telah difokuskan
pada perdagangan kayu olahan ke luar negeri, maka penelitian ini yang lebih
3.1. Landasan Teori
Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta
elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku
sebagai landasan untuk analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk
pasokan industri pengolahan kayu primer. Di samping itu, teori yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang berpengaruh seperti suku bunga, pungutan, dan upah
perlu juga untuk diperhatikan dalam melihat perilaku ekonomi dari fenomena ini.
Dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran kayu bulat dan kayu
olahan primer dari dan ke luar negeri, dipandang perlu juga untuk melihat basis
teori perdagangan internasional yang terkait dengan perdagangan komoditi
tersebut. Kemudian, untuk memfokuskan penelitian ini, maka perlu juga dilihat
hasil-hasil empirik penelitian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat yang
pernah dilakukan sebelumnya, baik untuk Indonesia maupun negara-negara lain.
Dari studi empirik ini bisa dilihat hal-hal yang perlu dilakukan dalam penelitian
ini.
3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar.
Marshall, dalam Nicholson (2000), menyatakan bahwa kurva permintaan
mempunyai slope negatif yang merefleksikan prinsip marginalis dimana pembeli
cenderung tidak berkeinginan menambah jumlah barang atau jasa yang dibelinya,
kecuali bila harga barang atau jasa tersebut turun. Sebaliknya, kurva penawaran
mempunyai slope positif yang memperlihatkan bahwa produsen hanya akan
kenaikan biaya produksi per unit barang atau jasa, untuk setiap kenaikan produksi
barang atau jasa tersebut.
Bila kurva penawaran diletakkan bersama dengan kurva permintaan pada
gambar yang menghubungkan harga barang dengan jumlah yang dibeli atau yang
diproduksi, dan asumsikan semua faktor tetap (ceteris paribus), maka akan
diperoleh keseimbangan harga dan barang sebagaimana terlukis pada Gambar 2
berikut.
Sumber: Nicholson,2000
Gambar 2. Kurva Penawaran dan Permintaan
Pada Gambar 2, terlihat bahwa mekanisme pasar mengarahkan harga suatu
barang atau jasa untuk berubah sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan
(equal) pada titik E dimana jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah
yang diminta (Q0) pada harga P0. Pada titik keseimbangan ini, tidak ada
kekurangan (shortage) maupun kelebihan (surplus) atas jumlah barang yang
ditawarkan di pasar (Pindyck and Rubinfeld, 2009).
Harga (P)
P1 P0 P2
Q 0 Jumlah (Q)
Permintaan (D) Penawaran (S)
Surplus
Kedua kurva pada Gambar 2 akan bergeser apabila faktor-faktor di luar
harga mengalami perubahan dan menghasilkan keseimbangan harga dan jumlah
barang yang baru. Misalkan, apabila di suatu saat upah buruh turun maka kurva
penawaran akan bergeser ke kanan, sedangkan bila ada peningkatan permintaan
rumah baru maka akan terjadi peningkatan permintaan kayu sehingga kurva
permintaan komoditi ini juga akan bergeser ke kanan, sebagaimana nampak pada
Gambar 3. Pergeseran kedua kurva tersebut mengakibatkan kesimbangan baru E2
dimana harga dan jumlah kesimbangan yang lama (P1 dan Q1) bergeser ke harga
dan jumlah keseimbangan baru (P2 dan Q2).
Sumber: Pindyck and Rubinfeld, 2009
Gambar 3. Kurva Pergeseran Permintaan dan Penawaran
3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran
Permintaan akan kayu bulat tidak hanya tergantung pada harga kayu itu
sendiri, namun dipengaruhi juga oleh peubah (variable) lain seperti daya beli
industri yang menggunakan kayu itu sebagai bahan baku. Demikian pula
penawaran kayu bulat tidak hanya dipengaruhi oleh harga kayu itu di pasar namun
juga oleh biaya tebangan di hutan, atau peubah lainnya. Kepekaan suatu peubah Harga (P)
Q 1 Q2 Jumlah (Q)
P2
P1
S1 S2
D1
D2
E2
terhadap perubahan peubah lain dalam permintaan maupun penawaran barang
atau jasa diukur dengan nilai elastisitas.
Elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity), didefinisikan
sebagai persentase perubahan permintaan yang disebabkan oleh kenaikan satu
persen atas harga barang atau jasa itu. Secara matematis konsep itu dituliskan
sebagai:
Ep = (% ∆Q) / (% ∆P) atau
Ep = (∆Q/Q) / (∆P/P), sehingga Ep = P. ∆Q / Q.∆P
Elastisitas permintaan biasanya negatif, hal ini memberikan gambaran
bahwa kenaikan harga selalu mengakibatkan penurunan permintaan, namun
besaran elastisitas (magnitude) selalu dinyatakan secara absolut. Bila elastisitas
harga suatu barang lebih dari 1 (Ep>1) maka perubahan permintaan akan barang
tersebut lebih besar dibanding dari perubahan harganya, sehingga permintaan
barang ini dinyatakan elastis terhadap harga (price elastic). Sebaliknya bila
besaran elastisitas barang itu kurang dari satu (Ep<1), maka permintaan barang
tersebut kurang elastis terhadap harga (price inelastic) karena perubahan
permintaan atas barang itu tidak sebesar perubahan harganya.
Elastisitas permintaan biasanya ditentukan oleh keberadaan barang
substitusi. Dalam hal ini bila harga suatu barang naik, sementara itu di pasar ada
substitusi untuk barang itu, maka konsumen akan cenderung beralih membeli
barang substitusi tersebut, sehingga permintaan akan barang tersebut menjadi
sangat elastis (highly price elastic). Sebaliknya bila di pasar tidak tersedia
substitusi atas barang tersebut, maka permintaannya menjadi tidak elastik (price
Dengan cara yang sama elastisitas penawaran didefiniskan sebagai
persentase perubahan jumlah yang diminta terhadap 1 persen perubahan harga.
Elastisitas ini biasanya positif, dimana setiap kenaikan harga suatu barang atau
jasa akan cenderung meningkatkan jumlah penawaran barang atau jasa tersebut.
Namun bila penawaran dikaitkan dengan peubah lain seperti tingkat suku bunga,
upah, dan harga faktor produksi lainnya maka elastisitasnya menjadi negatif
karena kenaikan harga faktor produksi akan cenderung menurunkan produksi dan
menurunkan jumlah penawaran (Pindyck and Rubinfeld, 2009).
Dalam berbagai kasus perubahan harga suatu barang tidak segera diikuti
oleh perubahan permintaan secara substansial atau tidak elastis dalam jangka
pendek (short run). Perubahan permintaan secara nyata baru terjadi setelah
beberapa waktu, atau elastis dalam jangka panjang (long run). Sebagai contoh,
kenaikan harga kayu bulat secara praktis tidak segera diikuti oleh penurunan
jumlah permintaan oleh industri kayu primer, karena peralatan dan mesin yang
ada di industri masih sama sehingga jumlah pasokan kayu bulat yang dibutuhkan
untuk bahan baku industri relatif sama. Namun demikian, pada saat umur
peralatan dan mesin sudah terlampaui, industri akan membeli peralatan dan mesin
baru yang efisien dalam penggunaan bahan baku, sehingga mengurangi
permintaan kayu bulat.
Dalam kasus lain suatu barang permintaannya elastis pada jangka pendek,
namun kurang elastis pada jangka panjang. Permintaan kayu lapis oleh industri
packaging segera meningkat pada saat harga barang itu turun, namun secara
gradual tambahan permintaan itu akan menurun setelah industri itu mempunyai
3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional
Perdagangan barang antarnegara, termasuk kayu bulat dan olahan, terjadi
karena adanya perbedaan harga relatif komoditi yang diperdagangkan. Dalam
analisis keseimbangan parsial, keseimbangan harga relatif komoditi (the
quilibrium-relative commodity price) pada perdagangan tersebut terjadi melalui
proses (Gambar 4).
Pada Panel I, negara 1 memproduksi komoditi X dan konsumsinya sebesar
A dengan harga relatif P1; sementara itu negara 3 pada Panel II memproduksi dan
mengkonsumsi komoditi yang sama sebanyak A’ pada harga P3. Bila kedua
negara melakukan perdagangan, maka harga relatif komoditi itu berada di antara
P1 dan P3. Pada harga di atas P1 produksi komoditi itu pada negara 1 melebihi
yang dibutuhkan, dan akan mengekspor kelebihan itu (excess supply) ke negara 2.
Di lain pihak, di negara 2 pada saat harga berada di bawah P3, permintaan
komoditi itu akan melebihi produksi domestiknya (excess demand), sehingga
negara 2 akan mengimpor dari negara 1.
Sumber: Salvatore, 2004
Gambar 4. Keseimbangan Harga Relatif Komoditi
Pada saat harga komoditi P1 terjadi di negara 1, maka terjadi kesimbangan
antara produksi dan penawaran di negara itu dan negara tersebut tidak melakukan
ekspor, sehingga pada Panel II jumlah komoditi yang ditawarkan di pasar
internasional berada di titik A*. Bila harga komoditi berada pada P2
Di sisi lain, Pada Panel III, pada saat harga komoditi berada pada P maka negara
1 mengalami kelebihan penawaran (excess supply) sebesar BE yang dapat di
tawarkan atau diekspor ke pasar internasional, sehingga pada Panel II jumlah yang
ditawarkan itu sebesar B*E*. Dengan demikian titik A* dan E* membentuk
kurva penawaran pada pasar international di Panel II.
3,
negara 2 berada dalam keseimbangan antara penawaran dan permintaan sehingga
tidak perlu melakukan impor dan hal ini diposisikan sebagai titik A” pada Panel II
yang menginformasikan bahwa pada harga P3, tidak ada jumlah yang diminta di
pasar internasional. Pada saat harga komoditi berada di P2, negara 2 mengalami
kelebihan permintaan (excess demand) sebanyak B’E’ dibanding produksi
domestiknya, sehingga jumlah itu perlu dipenuhi melalui impor dari pasar
internasional. Jumlah B’E’ yang diminta di pasar internasional tersebut sama
dengan jumlah B*E* pada Panel II, sehingga garis A”E* membentuk kurva
permintaan pada panel ini. Dengan demikian harga P2
3.1.4. Suku Bunga
merupakan harga
keseimbangan relatif pada pasar internasional.
Bunga pinjaman mengkait dengan investasi dalam rangka pembelian
barang modal baru seperti mesin dan peralatan, baik investasi untuk pengusahaan
kayu bulat maupun untuk industri kayu olahan. Tingkat suku bunga biasanya
ditentukan oleh Bank Sentral yang kemudian diikuti sebagai pedoman oleh
bank-bank lainnya. Pergerakan tingkat suku bunga dari r1 ke r2 , dan dampak