KABUPATEN LOMBOK TIMUR
SITTI HILYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Protected Area in East Lombok District. Under the direction of Achmad
Fahrudin, Fredinan Yulianda and Dietriech G. Bengen.
Various economic activities underway and arround Gili Sulat-Gili Lawang
protected area seriously impacted coral reef and seagrass ecosystems
degradation. The aims of this research are to evaluate zoning of marine protected
area, assess land suitability for multiple uses, the determine carryng capacity,
and the optimize land utilization of marine protected area. Data and information
were collected participatively using questioner and the field survey for assesing
the biophysics characteristics of the Gili Sulat-Gili Lawang protected area.
The methods used consist the Geographic Information System (GIS) for
suitability analysis; carrying capacity analysis using ecosystem utilitied, dinamic
model for optimizing space and management sustainability with multidimension
scalling analysis. The results show that marine protected area zone of Gili
Sulat-Gili Lawang by using ecology, social and economic criteria was divided by three
zoning these are no-take zone, limited use zone and other use zone. The
condition of mangroves vegetation, live coral and seagrass are categorized from
poor to good. Development activities that suitable for limited uses are demersal
and pelagic fisheries and coastal tourism. 10.8 ha and 9.31 ha are suitable for
scuba diving, snorkeling and coastal tourism with the capacity of tourism are 150
person/day and 120 person/day respectively. While the suitable for mangrove
tourism was 23,04 ha with 230 person/day tourism capacity. Based on
multidimension scaling approach and its priorites scale of priorities, the
alternatives policies of marine protected area development are local wisdom
improvement, supporting infrastructure and conservation fee policies.
Fredinan Yulianda dan Dietriech G. Bengen.
Gili Sulat - Gili Lawang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah di
Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan.Meningkatnya kebutuhan masyarakat
serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi sumberdaya
menyebabkan
tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat dan
mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya. Disisi lain terjadi
konflik kepentingan antar sektor, sehingga berimplikasi pada pengelolaan
kawasan tidak efektif. Salah satu konsep pengelolaan kawasan konservasi
yang konsisten
mengedepankan kelestarian sumberdaya dan ekonomi
masyarakat lokal adalah konsep pengembangan ekowisata bahari yang
diintegrasikan dengan perikanan.
Tujuan umum penelitian ini adalah
menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis
daya dukung, sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan. Secara khusus
penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penetapan kawasan dan penataan
zona kawasan konservasi berdasarkan kriteria kesesuaian dan daya dukung
kawasan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial
serta mengkaji keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi.
Penelitian dilakukan di KKLD G.Sulat-G.Lawang pada bulan Mei sampai
Oktober 2010. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer
bersumber dari pengukuran langsung (
✞✟ ✠✞✡ ☛), observasi dan wawancara dengan
responden dari berbagai unsur yaitu nelayan, wisatawan, pengusaha wisata,
masyarakat lokal dan staf pemerintah. Data sekunder diperoleh dari studi
pustaka dari instansi terkait. Karakteristik sumberdaya dianalisis dengan
pendekatan analisis potensi, Sedangkan karakteristik ekonomi dan sosial
dianalisis dengan metode deskriptif dan TEV. Analisis kesesuaian kawasan untuk
berbagai pemanfaatan (perikanan dan ekowisata) menggunakan metode analisis
spasial dengan SIG, sedangkan untuk mengestimasi daya dukung kawasan
dianalisis dengan perhitungan daya dukung kawasan. Metode yang digunakan
untuk mengevaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan
dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menggunakan S
☞ft Ware
Rapfish 2.1. Metode analisis dinamik spasial dan Stella 9.0 digunakan untuk
menentukan pengelolaan kawasan yang optimal.
Hasil
analisis
evaluasi penataan Zona
KKLD
G.Sulat-G.Lawang
menunjukkan bahwa penataan zona didasarkan pada pertimbangan kriteria
ekologis tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial. Hasil analisis penataan
zona menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3.166,92 ha terdiri dari
terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha, zona
rehabilitasi seluas 93,11 ha dan zona perairan lainnya seluas 1726 ha.
Berdasarkan karakteristik ekologi dan sosial ekonomi budaya menunjukkan
kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi relatif besar untuk pengembangan
perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis kesesuaian lahan, luas lahan
yang sesuai untuk pengembangan perikanan karang 108 ha, wisata selam 108
hektar, wisata snorkeling 93,11 ha dan wisata mangrove 1010,65 ha.
jumlah produksi 15.120 kg/tahun atau 90 kg/hari.
Hasil analisis daya dukung gabungan menunjukkan bahwa untuk kegiatan
wisata jumlah kunjungan 16.468 orang per tahun dengan nilai produk wisata Rp
1.586.800.000 per tahun, penyerapan tenaga kerja sebesar 49.404 HOK per
tahun. Sedangkan untuk perikanan karang jumlah produksi ikan karang sebesar
174 ton per tahun dengan nilai produksi sebesar Rp 2.610.000.000 dan
penyerapan tenaga kerja 69.600 HOK per tahun.
Optimasi pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang dapat dilakukan dengan
menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya
mangrove,terumbu karang dan lamun, peningkatan penyerapan tenaga kerja,
pelibatan masyarakat lokal dan peningkatan infrastruktur penunjang kegiatan
perikanan dan ekowisata.
Indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi (ikb) menunjukkan
nilai 62.94%, berarti bahwa hasil penilaian terhadap 38 atribut dengan 4 dimensi
pengelolaan menunjukkan pengelolaan kawasan berada pada kategori cukup
efektif (ikb berkisar 34,98%-62,94%). Pengelolaan kawasan untuk kepentingan
perikanan dan ekowisata termasuk kategori cukup efektif pelaksanaannya
ditinjau dari dimensi ekologi, kategori cukup efektif dalam mengatasi masalah
sosial dan ekonomi, dan kurang efektif pengelolaannya ditinjau dari dimensi
kelembagaan. Beberapa atribut penting yang mempengaruhi nilai efektivitas
pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah penataan
batas-batas zona secara jelas, keberadaan lembaga dan aturan-aturan adat dalam
pengelolaan kawasan, serta penyediaan infrastruktur penunjang.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Nusa Tenggara
✌arat dengan luas
✍ ✎✏ ✑✒ ✓ ✔✎km
✕memiliki potensi
sumberdaya hayati laut yang tinggi
✖Luas laut
✗✎ ✔✘✎✓✑✍Km
✕
✓
sedangkan luas
daratan meliputi areal seluas
✗✑ ✔✘✏✓✔✘Km
✕
✖
Perairan laut tersebut mengelilingi
garis pantai sepanjang
✗ ✏ ✏ ✏km
✓dan di dalamnya terdapat berbagai ekosistem
seperti mangrove
✓padang lamun dan terumbu karang serta berbagai jenis ikan
dengan luas terumbu karang
✏ ✙✑✔km
✕
✖ ✚
engan demikian perlu usaha untuk
melestarikan keanekaragaman hayati melalui upaya konservasi kawasan
✖✌
erdasarkan
✛✜ ✢ ✣✜ ✤-
✛✜ ✢ ✣✜ ✤ ✥ ✦5 t
✣✧✜u
1
✎ ✎0 t
★ ✜t
✣✜ ✤Konservasi
Sumberdaya
✩lam
✪ayati dan
✫kosistemnya
✓maka kawasan konservasi
ditetapkan pada berbagai ekosistem termasuk perairan laut
✖Melalui peraturan
dan perundangan tersebut
✓pengaturan konservasi tidak hanya melarang
✓membatasi dan menjadikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat ekslusif bagi
masyarakat
✖Pengaturan konservasi juga mengutamakan perbaikan ekosistem
pesisir yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan nilai tangkapan ikan selain
peningkatan kualitas ekosistem pesisir juga menjadi daya tarik wisatawan
sehingga dapat menjadi sumber mata pencaharian alternatif masyarakat
✖✩
danya program Kementerian Kelautan Republik
✬ndonesia tentang
pencapaian target luas kawasan konservasi di
✬ndonesia
✔ ✑juta hektar ditahun
✗✑ ✔ ✑✓ ✔✘✓✘
juta hektar di tahun
✗✑ ✔✘dan
✗✑juta hektar di tahun
✗✑✗✑telah
mendorong Pemerintah
✚aerah untuk mengalokasikan wilayah kewenangannya
sebagai kawasan konservasi
✖Salah satu implementasi program di Provinsi Nusa
Tenggara
✌arat dilakukan melalui penetapan KKL
✚ ✭ili Sulat dan
✭ili Lawang
pada tahun
✗✑ ✑✍berdasarkan SK
✌upati Lombok Timur No
✔✮ ✮✖✍✘ ✯✍✘ ✗ ✯KP
✯✗✑ ✑✍yang dikoordinasi secara terpadu oleh
✚inas Perikanan dan Kelautan dengan
berbagai instansi terkait lain
✖181.254 ha. Luas lamun di G.Sulat 47. 599 ha dan di G.Lawang 35.682 ha.
Dengan kondisi perairan yang masih bersih, keanekaragaman hayati dengan
endemitas tinggi, bentang alam yang indah, serta letak geografis yang strategis
menjadikan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi yang cukup besar
terutama untuk pengembangan ekowisata, sehingga kawasan tersebut cukup
potensial sebagai sumber ekonomi baik untuk pendapatan daerah maupun untuk
kesejahteraan masyarakat sekitar.
Permasalahan KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah kedua pulau ini telah
ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan
hasil TGHK tahun 1994. Di l
✰ ✱✲pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan
menetapkan sebagai KKLD tahun 2004. Tanggal 22 Oktober 2009, Menteri
Kehutanan mengukuhkan kembali sebagai hutan lindung berdasarkan SK
Menhut No 598/Menhut
II/ 2009 (Lampiran 1). Hal ini berimplikasi pada
tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan kawasan. Permasalahan lain yang
perlu mendapat perhatian serius adalah penetapan zona dalam kawasan hanya
mempertimbangkan kriteria ekologi tanpa mempertimbangkan kriteria sosial dan
ekonomi, padahal masyarakat secara turun temurun menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya dalam kawasan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan
sebagai hutan lindung maupun sebagai KKLD. Kondisi ini tidak sejalan dengan
apa yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2007 yang
merupakan turunan UU 27 tahun 2007, bahwa tujuan penetapan kawasan
konservasi perairan yaitu melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta
tipe-tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya,
mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan secara
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan
konservasi.
mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar melalui suatu model pengelolaan
kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dalam mengimplementasikan
konsep tersebut perlu diawali oleh kajian ilmiah tentang optimasi pemanfaatan
ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur.
1.2. Perumusan Masalah
Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan partisipasi masyarakat
semakin meningkat, disadari bahwa konservasi tidak mungkin dapat berhasil dan
berkelanjutan tanpa mengakomodir kepentingan social ekonomi masyarakat.
Masyarakat mulai kritis menuntut agar masyarakat diberikan akses dalam
memanfaatkan sumberdaya termasuk pada kawasan konservasi. Pengakuan
hak-hak masyarakat, kepentingan perikanan berkelanjutan dan sharing
kewenangan pengelolaan kawasan antara pusat dan daerah menjadi tuntutan
dan salah satu tolok ukur pertimbangan pembangunan konservasi berbasis
masyarakat.
Sejak G.Sulat-G.Lawang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No
188.45/452/KP/2004, sampai saat ini pengelolaannya belum efektif, bersifat
sektoral dan pemanfaatan bersifat destruktif oleh masyarakat karena alasan
ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem.
Alasan lainnya adalah penataan zona yang ada hanya mempertimbangkan
aspek ekologis. Atas dasar permasalahan tersebut, pengembangan KKLD
G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan pengelolaan yang mampu mengakomodir
kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang memanfaatkan, melalui suatu
model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung.
menekankan
pemeliharaan
kestabilan
sistem
sosial
budaya
meliputi
penghindaran konflik keadilan baik antar maupun dalam suatu generasi.
Untuk menjamin keberhasilan pengembangan kawasan konservasi tidak
cukup dengan hanya mengklaim suatu area sebagai kawasan konservasi
perairan yang ditandai dengan adanya dokumen atau surat keputusan. Banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kawasan konservasi perairan
sehingga untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Menurut Salm
e
t
✳l
2000, bahwa kesuksesan dari suatu kawasan konservasi perairan adalah
adanya suatu kerangka hukum, penerimaan masyarakat pesisir, dukungan
sistem manajemen yang baik dan efektif, dan adanya batasan daerah yang jelas.
Mengingat permasalahan dalam pengelolaan G.Sulat-G.Lawang yang
bersifat multiuse , dimana masyarakat sejak bertahun-tahun dan secara turun
temurun menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai sumber mata
pencaharian utama, adanya persoalan kewenangan multi sektor, dan di sisi lain
kepentingan Pemeritah Daerah Kabupaten Lombok Timur dalam kebijakan yang
dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010 sebagai kawasan
wisata bahari, maka perlu dilakukan evaluasi penataan zona didalamnya dengan
mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana
diatur
dalam Permen No 17 tahun 2008 sebagai turunan UU 27 tahun 2007 tentang
kawasan konservasi perairan.Untuk mendukung pemanfaatan ruang kawasan
yang paling optimal, perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan dan daya
dukung kawasan.
Sebagai konsekuensi dari kawasan konservasi, maka setiap aktivitas
yang akan dikembangkan harus berbasis kesesuaian dan daya dukung kawasan
sehingga secara ekologis kualitas sumberdaya dapat terjaga keberlanjutannya,
disamping memberikan kontribusi ekonomi yang menguntungkan serta dapat
menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat secara sosial.
Untuk menuju pada pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang berbasis
kesesuaian lahan dan daya dukung, terdapat empat pertanyaan besar yang akan
dijawab melalui penelitian ini, yaitu :
2. Bagaimana kesesuaian dan daya dukung lahan dalam pemanfaatan
kawasan konservasi?
3. Bagaimana pemanfaatan ruang kawasan berbasis daya dukung yang
paling optimal?
4. Apakah pengelolaan kawasan berbasis daya dukung tersebut dapat
berkelanjutan?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menyusun skenario pemanfaatan ruang
yang paling optimal berbasis konservasi di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) Mengevaluasi
kriteria kesesuaian penetapan sub zona di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang;
2)
Menganalisis kesesuaian dan daya dukung lahan di kawasan konservasi Gili
Sulat-Gili Lawang; 3) Menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan Gili
Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung dan 4) Menganalisis keberlanjutan
pengelolaan kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1) Ilmu pengetahuan,
hasil penelitian digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model alokasi
sumberdaya di kawasan konservasi secara berkelanjutan;
2) Masyarakat,
sebagai gambaran
dalam
menentukan
seberapa
besar
pemanfaatan
sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal; dan 3) Pemerintah, digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi bagi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Provinsi
lainnya yang memiliki areal kawasan konservasi.
1.4. Kerangka Pemikiran
Dalam perencanaan pengelolaan pulau kecil, prioritas pembangunan
sumberdaya manusia sangat penting selain sumberdaya alamnya, karena terkait
dengan keberlanjutan pengelolaan pulau serta kesejahteraan masyarakat
setempat. Dalam pengembangan kawasan konservasi cukup banyak kendala
yang dihadapi,
namun
bukan berarti kawasan konservasi tidak dapat
dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah
ekologis, sehingga tingkat pemanfaatan tidak boleh melebihi daya dukung
kawasan. Dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin
sesuai dengan kemampuan daya dukung. Selain itu setiap kegiatan yang akan
dikembangkan
harus
memenuhi
skala
ekonomi
yang
optimal
dan
menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Bengen 2002).
Pola
pembangunan
wilayah
pulau
kecil
dengan
pendekatan
pembangunan berkelanjutan (
sust
✴in
✴ble development) suatu wilayah kepulauan
secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri 1998).
Pertama
setiap
kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik
sesuai. Persyaratan ini dapat dilakukan dengan membuat peta kesesuaian (land
suitability).
Kedua
jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, maka tingkat
pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut.
Ketiga
jika membuang sampah di pulau (biodegradable) tidak melebihi kapasitas
asimilasi lingkungan pulau tersebut.
Keempat
jika akan memodifikasi bentang
alam suatu pulau harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan
proses-proses alami lainnya (design with nature).
1. Pemanfaatan kawasan konservasi berbasis daya dukung dimulai dari
pemahaman tentang kondisi biofisik ekosistem, sosial budaya, ekonomi dan
pemanfatan kawasan yang sesuai.
2.
Setelah menyusun kriteria biofisik untuk membuat peta kesesuaian lahan,
perlu diketahui potensi sumberdaya bio-geofisik kawasan. Pengukuran
potensi sumberdaya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan yang
dapat dilakukan dan berapa besar sumberdaya yang dapat dieksploitasi
sehingga tidak melebihi daya dukungnya.
3. Dalam menentukan kesesuaian lahan didasarkan pada analisis daya dukung
(ekologi, ekonomi dan sosial) dan analisis biofisik. Beberapa pendekatan
untuk menentukan analisis tersebut seperti parameter kualitas lingkungan
perairan (fisika, kimia dan biologi), potensi mangrove, terumbu karang dan
lamun.
4. Hasil beberapa analisis yang dilakukan seperti analisis kesesuaian lahan,
analisis potensi sumberdaya alam dan analisis multikriteria,memberikan
prioritas pemanfaatan ruang kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung.
G.Sulat-G.Lawang memiliki sumberdaya alam yang dalam proses
pengembangannya harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai kawasan konservasi.
Beberapa karakteristik G.Sulat-G.Lawang seperti pemanfaatan secara intens
oleh masyarakat, kesulitan dalam meningkatkan skala ekonomi, sehingga
pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang tepat. Oleh karena itu
pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang harus melalui proses analisis potensi
berdasarkan kesesuaian kawasan dan daya dukung. Hasil analisis berbagai
aspek di atas digabungkan dengan analisis kesesuaian pemanfaatan dan
analisis multikriteria untuk pengelolaan kawasan, sehingga diharapkan
pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan.
1.5. Hipotesis
Diagram alir kerangka pemikiran kajian optimasi pemanfaatan ruang kawasan
konservasi G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian
OPTIMASI PEMANFATAN
RUANG KAWASAN
YA
TIDAK
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
KKLD GILI SULAT - GILI LAWANG
SK BUPATI No 188.45/452/KP/2004
PENETAPAN KAWASAN LINDUNG GILI
SULAT-GILI LAWANG (SK Menhut, 1994)
Permen 17 tahun 2008
EVALUASI KESESUAIAN
EKOLOGIS
PENGUKUHAN HUTAN LINDUNG
(SK Menhut No : 598/Menhut
II/ 2009)
DAYA DUKUNG EKOLOGIS
KESESUAIAN EKOLOGIS ?
ANALISIS KEBERLANJUTAN
KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG
ASPEK EKONOMI,
SOSIAL, KELEMBAGAAN
EKONOMI
SOSIAL
EKOLOGI
1. 6. Penelitian Terdahulu
Tabel berikut ini menguraikan beberapa penelitian yang sudah dilakukan
di lokasi G.Sulat-G.Lawang.
Tabel 1.
Penelitian yang telah dilakukan di G.Sulat-G.Lawang
No
Author
Tahun
Judul
1.
Tri Ari Setyastuti
Tesis Program
Studi
SPL
Sekolah
Pascasarjana
IPB, 2002
Kajian
Pengelolaan
Hutan
Mangrove Berbasis Masyarakat
di Desa Sambelia, Kab. Lombok
Timur NTB
2
BRKP
Tim
Peneliti,
2003
Kajian
Potensi
Sumberdaya
Pesisir dan Laut
3
Syamsul Agus Bahri
Tesis Program
Studi
SPL
Sekolah
Pascasarjana
IPB, 2005
Penilaian
Ekologi
Ekonomi
Sumberdaya Wilayah Pesisir di
Sambelia Kecamatan sambelia,
Kabupaten Lombok Timur.
4
Sitti Hilyana, dkk
Penyusunan
Masterplan
Mangrove
se
Nusa Tenggara
Barat, 2006
Identifikasi Tingkat Kekritisan
Ekosistem
Mangrove
di
Kawasan Konservasi Gili
Sulat-Gili Lawang
5
Yayasan Laut Biru
Cofish Project,
2006
Penyusunan
Aturan
Pengelolaan
SDPL
berbasis
Masyarakat.
6
P3L Unram
Dislutkan
Kabupaten
Lotim, 2009
Identifikasi
Kondisi
Terumbu
Karang di kawasan Sambelia
Kabupaten Lombok Timur
1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian
✵✶
✷
INJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
Beller
✸t
✹l
.
(1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas
< 10.000 km
2
dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991)
menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari
2000 km
2
dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau
sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km
2
dan lebar
tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991).
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedum Pengelolaan
PPK, bahwa pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya < 10.000 km
2
dengan
jumlah penduduk
<
200.000 jiwa. Sedangkan untuk pulau dengan ukuran
<2.000 km
2
terdapat pedoman khusus menyangkut kegiatan ekonomi sesuai
dengan ukuran pulau, mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam,
budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan berkelanjutan, industri
teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya.
Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran <2000
km
2
pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005
tentang Pengelolaan PPK Terluar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
tidak ada definisi yang baku tentang PPK selain luas lahan dan populasi menjadi
indikator utama definisi tersebut (Adrianto 2006).
Arahan pengelolaan PPK
diperuntukan bagi kegiatan berbasis
konservasi,
artinya
pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat
eksploratif-destruktif tidak diperkenankan,
karena PPK memiliki sejumlah
kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (
mainland
).
Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya
berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti
perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002
dalam
Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan
karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi
kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem
daratan (
mainland
) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan
adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut
(DPL),
dengan maksud
melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta
Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil
No
Kriteria
Uraian
1.
Sosial
a.
Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal,
adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya
kebijakan
pemerintah
setempat
untuk
menetapkan
Daerah
Perlindungan Laut (DPL).
b.
Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai
penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi.
c.
Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat
lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan
rekreasi.
d.
Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya
yang mendukung adanya DPL.
e.
Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah,
keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai
tambah untuk rekreasi.
f.
Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek
positif pada masyarakat lokal.
g.
Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai
kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya.
h.
Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan.
i.
Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang
dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan.
j.
Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam
melakukan kegiatan konservasi.
2.
Ekonomi
a.
Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies
yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan
estuaria.
b.
Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti
: area
perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para
nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan.
c.
Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas
manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman,
penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu
dikelola untuk menjaga kelestariannya.
d.
Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi
setempat.
e.
Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan
untuk pariwisata.
3.
Ekologi
a.
Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman
ekosistem spesies.
b.
Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam
keadaan alami.
c.
Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area
ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini.
d.
Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe
habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya.
e.
Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang
endemik, memiliki spesies yang hampir punah.
f.
Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi
untuk berbagai spesies dan manusia.
g.
Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari
berbagai ancaman bencana.
4.
Regional
a.
Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional
setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya,
merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi
untuk pemeliharaan berbagai spesies.
b.
Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif
terhadap
subregional,
dapat
dijadikan
perbandingan
dengan
subregional yang tidak dijadikan DPL.
Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau
kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi
sumberdaya, seperti
penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya
fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya
dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988
dalam
Dahuri
et al
1998, bahwa ekosistem
mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m
3
kayu/ha/tahun.
Adanya
keterbatasan
PPK,
maka
pengelolaannya
berdasarkan
penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan
kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara
terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu :
1)
Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati,
didasarkan pada keragaman
atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian,
didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat
ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem
bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi;
keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang
hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan
suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada
tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi
biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap
degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia.
2)
Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies
penting komersial tergantung pada lokasi;
kepentingan perikanan,
didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran
hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola
pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia;
manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh
pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai
keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.
3)
Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat
dukungan masyarakat;
kesehatan masyarakat,
didasarkan pada
keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau
penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat;
budaya,
estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan,
didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat
lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia
karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas,
didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat,
didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau
pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan
tujuan konservasi.
2.2. Kawasan Konservasi
Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara
khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman
hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya
IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni
konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan
untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan
pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan
pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan
kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua
konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan
kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam
kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and
Clark 1982). Menurut Westmacott
et al
2000, bahwa konservasi memegang
peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara
: (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber
larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari
dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali,
(c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan
kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata.
Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan
yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga
pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara 10.94
24 metrik ton
(mt)/km
2
/tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil
produksi perikanan sebesar 14-24 mt/km
2
/tahun sebelum ada KKL, setelah
dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km
2
/tahun. Produksi
KKL kembali menurun 20 mt/km
2
/tahun ketika pengelolaan KKL mengalami
masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan
karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL.
Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat
memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun.
Keanekaragaman species digunakan sebagai indikator stabilitas
lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak
dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis. Keanekaragaman
secara fungsional menentukan ketahanan
(resilience
) ekosistem atau sensitivitas
ekosistem (Holling
et al
1996). Jumlah species dan komposisi species ikan
merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002).
Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002)
terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu :
(1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya
meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir
dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan
bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi
mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas;
dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)
(2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter
dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS.
Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang
terdapat di pulau-pulau kecil;
(3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap
kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi
keanekaragaman biota,
ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma
Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam
yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir.
(4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan
bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari
bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia.
Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature
Reserve/Wilderness Area
(kawasan cadangan alam/hutan belantara);
National Park (Taman Nasional);
Natural Monument Area (Kawasan
Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu
yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas
estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area
(kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang
dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur
intervensi manusia;
Landscape/Seascape Protected Area
(kawasan
perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan
tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut;
Managed Resources
Protected Area (kawasan perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya);
dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan
ekosistem dan sumberdaya pesisir.
Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki
fungsi (Agardy 1997; Barr
et al.
1997
dalam
Bengen 2002):
(1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas
ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan
jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.
(2) Meningkatkan hasil perikanan;
dapat melindungi daerah pemijahan,
pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan
stok sumberdaya ikan.
(3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat
untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika.
(4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat
meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem
(5) Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir; dapat
membantu masyarakat dalam mempertahankan basis ekonominya melalui
pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan.
2.3. Penzonasian Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Prairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP
menurut UU 31/2004 tentang perikanan serta perubahannya (UU 45/2009) dan
PP no 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua
hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.
Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona
yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan
berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan
kawasan konservasi menurut Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan PP 58/1998.
Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama
ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang
27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No 02/2009, pemerintah daerah
diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini
sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU no 12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan
wilayah laut dan konservasi.
Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang
dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa
tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi
dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan
yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat
dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan.
Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa
sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konsrrvasi perairan
laut di Indonesia.
Salm dan Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada
rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya,
kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian
utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau
pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada
intensitas eksploitasi sumberdaya,
memiliki
potensi nilai ekonomi dari
sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3)
tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis,
pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan
sifat alamiah lokasi.
Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark
1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan
kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar
pengguna sumberdaya dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan
dapat tercpai. Secara umum sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar
untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi, karena selama ini
batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan,
batas administratif atau faktor biaya. Tidak ada aturan baku yang menetapkan
ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi, yakni : kategori
disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan
kategori agregasi (suatu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap
kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan konservasi yang
berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan
relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi
secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran
besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan
yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya
zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna
mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya
berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona
ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam
rencana pengelolaan. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi
(1) Zona inti
Habitat di dalam zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan
terhadap gangguan atau perubahan, hanya dapat mentolerir sangat sedikit
aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang
tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi.
(2) Zona penyangga
Merupakan zona transisi antara zona inti (zona konservasi) dengan zona
pemanfaatan. Penyangga di sekeliling zona inti ditujukan untuk menjaga
zona inti dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan
melindungi zona inti dari pengaruh eksternal, bersifat lebih terbuka, tapi tetap
dikontrol dan beberapa pemanfaatan masih dapat diijinkan.
(3) Zona pemanfaatan
Zona pemanfaatan masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat
mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam
kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.
Penzonasian tersebut ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting
untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya
ekonomi sebagaimana sasaran kawasan konservasi di wilayah pesisir.
Menurut Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu
mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN 1980)
yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung
kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin
pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi
perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversity, genetic diversity,
ekosistem
dan
proses
ekologi,
menjamin
pemanfaatan
sumberdaya
berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang;
pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi
tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi.
Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang
ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan
no-take
zone
atau
penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi.
Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu
peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies
yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang
berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan
tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island
National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan
ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970
an (Robert and Hawkins 2000
dalam
Wiadnya
et al.
2005).
Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan ekonomis
penting di dalam zona inti dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial
di sekitarnya melalui: (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam
kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, spill-over , (2) ekspor
telur dan larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah
perikanan di sekitarnya, dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara
keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar zona inti mengalami kegagalan.
Selain dapat mempertahankan kondisi ekosistem, zona inti juga dimaksudkan
agar induk ikan karang mempunyai daerah agregasi sehingga fertilisasi lebih
banyak terjadi. Dengan demikian maka terjadi peningkatan rekruitmen dan
penyebaran juvenile ikan ke luar zona inti. Oleh sebab itu, manfaat kawasan
konservasi perairan lebih terlihat pada organism sedentary. Keuntungan lain dari
KKP dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha,
pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah
di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak,
khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau
pendederan (Wiadnya
et al.
2005).
Pengelolaan kawasan konservasi
secara terintegrasi bertujuan untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan
sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan
dalam hal dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan.
Dimensi ekologi mensyaratkan: a) aktivitas harus didasari perimbangan ekologi
dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan
puncak aktivitas yang sangat penting; b) kegiatan yang ada saat ini dan di masa
mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah
kapasitas asimilasi; c) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak
dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya,
dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik,
aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan masyararakat dan bentuk
partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan,
instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi
pembangunan dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin
pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya
(Cincin-Sain
et al.
2002).
2.4. Konservasi dan Pariwisata Bahari
Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling
menunjang sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata
bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian
berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi
apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Halim (1998), pengelolaan kawasan
konservasi laut memerlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian
masyarakat pesisir
maupun kegiatan lainnya sesuai azas kelestarian.
Pengelolaan disadari tiga aspek konservasi : perlindungan ekosistem penyangga
kehidupan; pengawetan plasma nutfah, dan pelestarian pemanfaatan.
Kawasan Konservasi Laut (KKL) telah menunjukkan manfaat yang berarti
berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa
secara rata-rata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan
(
abundance
) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka
ragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass
ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah
tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau
CPUE
). Beberapa studi
menunjukan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam
kisaran 30- 60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari
sisi riil
effort
(jumlah trip), studi di Apo Island. Philippine dan George Bank di
Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti.
Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002,
menyatakan bahwa perancangan kawasan laut larang ambil menjadi penting
untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan
tersebut mampu melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan
secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang
berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News 2002).
Dampak konservasi bagi pengelola yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut
menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat
yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman
Nasional Komodo (TNK), tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai
nilai ekonomi setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara
keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten
dengan melindungi daerah penangkapan di mana sebagian besar rumah tangga
tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek 2001).
Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana
terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi
sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana
pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne),
dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat
untuk berenang, berlayar,
snorkeling
, selam, dan perjalanan perahu beralas
kaca; Fiji (
Tai Island
), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan
pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional
(eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel
Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal
dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan
karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana
pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan
biaya camping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Keuntungan
tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di
hotel-hotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely
et al.
1994).
Penurunan hasil tangkap secara global dilaporkan oleh FAO (2002), 47%
stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok mengalami over-eksploitasi, dan
9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara,
seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat mengalami
overfishing
. Di
Indonesia, Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan sumberdaya ikan di perairan
Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk
terumbu karang, di kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang
terdegradasi meningkat dari 10-50% (Hopley dan Suharsono 2000). Walaupun
terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik
tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik
(
excellent)
tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup, sisanya 31,8%
diklasifikasikan dalam kondisi buruk (25% tutupan terumbu karang hidup),
(Hopley dan Suharsono 2000).
Prinsip dari konservasi adalah
spill over effect
atau dampak limpahan
dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan
limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang
kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber
pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat
yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam
jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat KKL sebagai berikut: manfaat
biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic
dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa
pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan,peningkatan produksi
pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian,
ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan juvenil (
juvenile by catch
) dan
peningkatan produktifitas perairan (
productivity enchancement
).
2.5. Penataan Ruang (Zonasi)
Zonasi adalah sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk
dialokasikan pada penggunaan yang spesifik; pembagian wilayah khusus ke
dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan atau
kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Zonasi merupakan proses
pengaturan membagi wilayah secara geografis ke dalam sub wilayah, dimana
tiap sub wilayah dirancang untuk penggunaan khusus.
Kay dan Alder 2005, zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan
pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan
dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan
berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli
berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya)
berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan
perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan
manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup
harus dikaji dalam pennataan ruang pesisir dan PPK, yaitu aspek ekologi
(biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem
pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian
ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti,
zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya,
sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur jenis kegiatan manusia
di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat
mengakomodasi semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.
UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil,
pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya
dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan
terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu
atau lebih kepentingan: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan
pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan
industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan.
Kebijakan KKL merupakan bagian dari kebijakan pembangunan wilayah
pesisir, laut dan PPK, karena itu arah kebijakan mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan arahan kebijakan pengelolaan
secara terpadu sesuai pendapat Stephen B. Olsen (2002) bahwa pengelolaan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan secara menyeluruh dalam
merencanakan serta memanfaatkannya secara optimal dan berkelanjutan.
Pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan
mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi pengguna, daya
dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya.
2.6. Daya Dukung Lingkungan
Daya dukung
(carrying capacity)
didefinisikan sebagai intensitas
penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara
terus menerus tanpa merusak alam ( Pearce dan Kirk 1986). Kapasitas
lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pembangunan berkelanjutan
(GESAMP 2001),karena itu harus tertuju pada beberapa inisiatif mendisain
untuk meningkatkan pengembangan berkelanjutan. Pengertian
kapasitas
kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan
dampak yang tidak dapat diterima .
Kapasitas atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak
kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (
acceptable level
)
dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan.
Dengan mengestimasi kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang
berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen ekosistem alami)
dapat dialokasikan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan
pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk
mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk
mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan
memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan.
Namun peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada
keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu
lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya.
Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan
menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal
the law of limiting
factors
, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam
(Gambar 2). Diluar batas toleransi ini, akan terjadi kerusakan sumberdaya alam
dan ekosistem,
bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya
dan ekosistem. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam
penilaian aspek fisik dan ekologis saja tetapi juga digunakan dalam
memperkirakan nilai daya dukung sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya
perubahan perilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting
untuk menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya terutama dalam
tujuan menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan.
K
e
n
a
ik
a
n
D
a
y
a
D
u
k
u
n
g
Faktor-Faktor Lingkungan
Daya Dukung
Rusak
Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi
dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang
kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Bengen (2002) Daya Dukung
dapat dibedakan atas :
1.
Daya
Dukung
Ekologis
,
dinyatakan
sebagai
tingkat
maksimum
penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun
kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu
penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang
menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis
kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem
lahan basah (wetland) antara lain rawa.
Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan
ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan
yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti
pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek
wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian,
penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat
meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan
kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat.
2.
Daya Dukung Fisik
,
merupakan jumlah maksimum penggunaan atau
kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan
kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan
yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat
dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara
dan air sungai/ permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang
meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya
fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat
rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak
(negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek
lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.
3.
Daya Dukung Ekonomi
,
merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang
memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha
secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha
4.
Daya Dukung Sosial
,
merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam
menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai
kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam
memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat
confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena
terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan.
Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat
maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan
dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan
menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau
kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola,
tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (indvidu, kelompok)
pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya,
juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial
ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau
kepuasan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya
menurunnya spesies biota di suatu kawasan.
Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya
dukung pulau kecil adalah : menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal
terhadap garis pantai pulau kecil sebagai suatu unit pengelolaan, menghitung
luasan wilayah pulau kecil yang dikelola, mengalokasikan zona wilayah
menjadi tiga yaitu, zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan,
dan menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona
pemanfaatan. Kemudian melakukan penghitungan potensi dan distribusi
sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock
assesment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian
ketersediaan air t