• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara inhibitor enzim pada Sengon dengan pertumbuhan larva Boktor dalam Artificial Diet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara inhibitor enzim pada Sengon dengan pertumbuhan larva Boktor dalam Artificial Diet"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA INHIBITOR ENZIM PADA SENGON

DENGAN PERTUMBUHAN LARVA BOKTOR DALAM

ARTIFICIAL DIET

LAURA FLOWRENSIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

HUBUNGAN ANTARA INHIBITOR ENZIM PADA SENGON

DENGAN PERTUMBUHAN LARVA BOKTOR DALAM

ARTIFICIAL DIET

LAURA FLOWRENSIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

LAURA FLOWRENSIA. E 44062426. Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet.

Dibimbing oleh Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M. Agr. Dan Dr. Ir. NOOR FARIKHAH HANEDA, M.Sc

PENDAHULUAN. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan dalam program penghijauan maupun pembangunan Hutan Rakyat sebagai kayu pertukangan, peti kemas, korek api serta bahan baku industri pulp dan kertas. Salah satu masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah adanya serangan boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Dalam pencernaan boktor terdapat enzim trypsin dan alfa-amylase. Sementara itu dalam pohon sengon juga terdapat senyawa yang bersifat inhibitor terhadap enzim trypsin dan alfa-amylase yang terdapat pada penceranaan boktor. Aktivitas inhibitor tersebut diduga menjadi sarana tanaman sengon untuk bertahan dan resisten terhadap serangan hama boktor. Untuk memastikan hal itu diperlukan penelitian tentang hubungan antara trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor sengon terhadap perkembangan larva boktor pada artificial diet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas trypsin inhibitor dan aktivitas alfa-amylase inhibitor sengon dengan pertumbuhan larva boktor berukuran kecil (±1,5 cm) dan besar (±3 cm) dalam artificial diet.

METODOLOGI. Bahan penelitian berupa serbuk batang dan kulit pohon sengon provenan Kediri dan Solomon dengan kondisi sehat dan sakit, yang sudah melalui proses freeze dry. Larva boktor berukuran kecil (±1,5 cm) dan besar (±3 cm) dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi makanan buatan (artificial diet) yang mengandung serbuk batang dan kulit sengon untuk mempertahankan hidup dari larva di luar habitat alaminya. Parameter pertumbuhan larva (berat, diameter kepala, panjang dan konsumsi pakan larva) diamati dua minggu sekali. Data aktivitas trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor didapatkan dari analisis biokimia serbuk kulit dan serbuk batang sengon menggunakan spektrofotometer. Dua macam data, yaitu pertumbuhan larva boktor pada artificial diet dikorelasikan dengan aktivitas kedua enzim inhibitor dengan korelasi Pearson menggunakan software Microsoft Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak semua korelasi enzim inhibitor pada bagian dan kondisi pohon dengan parameter pertumbuhan larva selalu negatif. Total korelasi pada bagian dan kondisi pohon ditemukan 35 korelasi positif dan 29 korelasi negatif. Pada kondisi pohon sehat dengan aktivitas trypsin inhibitor yang tinggi sehingga tidak diminati larva boktor ukuran kecil dan berlaku hal yang sebaliknya pada kondisi pohon sakit. Sedangkan kondisi pohon sehat mempunyai aktivitas alfa–amylase inhibitor tinggi tidak diminati larva boktor ukuran besar, dan berlaku hal yang sebaliknya pada kondisi pohon sakit. Korelasi negatif antara aktivitas trypsin inhibitor dengan perkembangan larva boktor lebih baik diamati dengan menggunakan larva ukuran kecil, sedangkan untuk alfa–amylase inhibitor lebih baik diamati dengan menggunakan larva ukuran besar.

(4)

SUMMARY

LAURA FLOWRENSIA. E 44062426. Correlation of Enzyme Inhibitor Activity in Sengon with Boktor Larval Growth on Artificial Diet.Supervised by Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M. Agr. and Dr. Ir. NOOR FARIKHAH HANEDA, M.Sc

INTRODUCTION. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) is widely planted for reforestation programs, especially in establishment of community forest as its timber is utilized for constrction, package box, lighter as well as raw material of pulp and paper. However, there is main problem in sengon plantation, which is boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pest attact. In the midgut of boktor larvae it was detected trypsin and α-amylase enzymes activity. Whereas on sengon tree it was reported contains inhibitory substance against trypsin and α-amylase enzymes of boktor larvae. The inhibitory activity was assumed as defense mechanism of sengon tree against the pest attack. In order to clarify the assumption an investigation on the correlation between trypsin and α-amylase inhibitor of sengon with larval growth on an artificial diet is necessary. The experiments aimed at obtaining correlations between the activities of trypsin and α-amylase inhibitors of sengon tree with the growth of boktor larvae, with small (±1,5 cm) and big sizes (±3 cm) on an artificial diet containing respective sengon tree materials.

METHODOLOGY. Plant material used was the wood and the bark of sengon trees made into powder by freeze drying. Two provenances were selected, i.e Kediri and Solomon, consisted of two conditions each i.e. healthy and heavily infested. Both small (±1,5 cm) and big sizes (±3 cm) of boktor larvae were put in a big test tubes filled with artificial diet, which contained powder of sengon wood and bark, as their main feed outside their natural habitat. Larvae growth parameters (weight, head diamaters, length and diet consumption) were observed and measured every two weeks. Data on trypsin

and α-amylase inhibitors was obtained from biochemical analysis of wood and bark powders using a spectrophotometer. Two kinds of data, larval growth parameters and inhibitors activities, were then correlated using Pearson correlation in Microsoft Excel 2007.

RESULTS AND CONCLUSION. Result of the experiments showed that correlation obtained between inhibitor activities of each tissue of each condition and corresponding larvae growth parameters was not all negative, as espected. Out of 64 observations about 35 are positive and about 29 are negatively correlated. In a healthy tree with high trypsin inhibitor activity small size boktor larvae do not prefer attacking. On the contrary similar larvae prefer heavily infested tree with low inhibitor activity. Healthy tree with high α -amylase inhibitor activity will be saved from big size boktor larvae preferences. The opposite accurs on heavily infested tree with low inhibitor activity, which is preferred by big size larvae. In order to obtain negative correlation for trypsin inhibitor it was suggested to do similar experiments using small size larvae, while for α-amylase inhibitor it was suggested using big size larvae.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial

Diet” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen

pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan

tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Laura Flowrensia

(6)

Judul Skripsi : Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan

Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet

Nama : Laura Flowrensia

NRP : E 44062426

Menyetujui

Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc

NIP. 19580606 198303 2 001 NIP. 19660921 199003 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr

NIP. 19641110 199002 1 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatra Barat pada

tanggal 29 Oktober 1988 ebagai anak pertama dari dua

bersaudara, dari pasangan Azwir Zen dan Asmiati. Penulis

memulai jenjang pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak

Pertiwi III Padang, Sekolah Dasar Negeri No. 01 dan Sekolah

Dasar Negeri No. 23 Padang. Kemudian dilanjutkan di SLTP

N 7 Padang dan melanjutkan pendidikan menengah atas di

SMU Negeri 2 Padang (2003-2006).

Pada tahun 2006 penulis lulus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di

Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan kesempatan untuk menekuni mayor

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor,

penulis aktif di organisasi mahasiswa, sebagai anggota divisi Infokom TGC (Tree

Grower Community) Fakultas Kehutanan untuk periode 2009-2010.

Penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di

Cilacap dan Baturaden pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) tahun 2009 serta Praktek Kerja Lapang

di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh tahun 2010.

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur yang tak hingga penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkah

dan hidayahNya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah.Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga Juni 2010 adalah

trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pohon sengon terhadap artificial diet

boktor, dengan judul Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan

Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis memperoleh begitu banyak

bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis

penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih kepada :

1. Mama, Papa, Dipo dan om Zal atas doa dan kasih sayang yang selalu

mengalir, memberi semangat dan nasehat membangun yang tiada henti

mengisi hari-hari dalam kehidupan penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda,

M.Sc selaku dosen pembimbing untuk kesempatan yang diberikan serta

bimbingan, arahan, dan kesabarannya mulai dari perencanaan penelitian,

hingga penyusunan tugas akhir ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya

dengan baik.

3. Seluruh dosen dan staff Departemen Silvikultur untuk ilmu yang telah

diberikan serta kerjasama selama penyusunan tugas akhir ini.

4. Bundo, Puti, Ayu, Ega kak Tuti, teh Lia dan bu Elly atas dukungan dan

kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

5. Sahabat terbaikku Rina, Puti, Fini, Yaya, Widya, Zaky, Nunu, Emon, Dita,

Riri, Anna, Dewi, kak Rifa, Asep, Surya dan Lana yang selalu siap membantu

dan keluarga besar Silvikultur 43 yang telah memberi semangat, dan keceriaan

serta tawa dalam setiap langkah penulis.

6. Teman-teman dan adik-adik pengobat stres : Mezi, Ria, Wandi, bg Aan,

(9)

Satelit 2 atas dan IPMM atas keceriaan yang telah memberi semangat selama

penyusunan tugas akhir ini.

7. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam pelaksanaan dan penyusunan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam

penulisan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat

penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk

kepentingan ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian

berikutnya.

Bogor, Maret 2011

(10)

DAFTAR ISI

2.1 Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon (Paraserianthes falcataria) ... 3

2.1.1 Taksonomi ... 3

2.1.2 Sifat Botani ... 3

2.1.3 Daerah Penyebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh... 4

2.1.4 Penanaman dan Pemeliharaan ... 4

2.1.5 Kegunaan Kayu Sengon ... 5

2.2 Hama Penggerek Batang Boktor (Xystrocera festiva Pascoe)... 5

2.2.1 Taksonomi ... 5

2.2.2 Morfologi ... 5

2.2.3 Perilaku, cara penyerangan dan bentuk kerusakan ... 6

2.2.4 Sistem pencernaan boktor ... 6

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 14 4.1 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet ... 18

(11)

4.3 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam

Artificial Diet ... 25

4.4 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet ... 28

4.5 Rekapitulasi Korelasi Antara Enzim Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Dalam Arificial Diet ... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi Artificial Diet ... 15 2. Sampel yang digunakan dalam artificial diet ... 16 3. Rata-rata pengukuran larva boktor pada akhir pengamatan dalam

artificial diet ... 17 4. Rataan nilai aktivitas enzim inhibitor Trypsin Unit Inhibited dan

Alfa-amylase Unit Inhibited ... 18 5. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor dengan

parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 19 6. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan

kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva

besar dalam artificial diet ... 22 7. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase dengan parameter

pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 25 8. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase Unit Inhibited

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada

batang sehat ... 19 2. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang

sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada

batang sakit ... 20 3. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit

sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada

kulit sehat. ... 20 4. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit

sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada

kulit sakit. ... 21 5. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang

sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada

batang sehat. ... 23 6. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang

sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada

batang sakit. ... 23 7. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang

sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada

kulit sehat. ... 24 8. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit

sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada

kulit sakit. ... 25 9. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil

pada batang ... 26 10. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil

pada batang sehat ... 27 11. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil

pada kulit sehat ... 27 12. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil

pada kulit sakit ... 28 13. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar

pada batang sehat ... 29 14. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar

pada batang sakit ... 30 15. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

(14)

pada kulit sehat. ... 31 16. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada

kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar

pada kulit sakit. ... 31 17. Rekapitulasi korelasi trypsin inhibitor pada pertumbuhan larva

ukuran kecil. ... 33 18. Rekapitulasi korelasi trypsin inhibitor pada pertumbuhan larva

ukuran besar. ... 34 19. Rekapitulasi korelasi alfa-amylase inhibitor pada pertumbuhan

larva ukuran kecil. ... 34 20. Rekapitulasi korelasi alfa-amylase inhibitor pada pertumbuhan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Rataan nilai inhibitor dan parameter perkembangan larva boktor pada masing-masing sampel. ... 42 2. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi

pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam

artificial diet ... 45 3. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi

pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam

artificial diet ... 45 4. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase inhibitor pada bagian dan

kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 45 5. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase inhibitor pada bagian dan

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan dalam program penghijauan maupun pembangunan Hutan

Rakyat. Jenis kayu ini banyak digunakan sebagai bahan baku korek api, kayu

pertukangan, peti kemas bahkan industri pulp dan kertas. Penanaman jenis ini

banyak diminati karena daur tidak terlalu panjang, harga kayu sengon relatif

membaik dan tanaman tidak terlalu menuntut persyaratan tempat tumbuh yang

sulit.

Bertambahnya luasan tanaman sengon dalam bentuk tegakan monokultur

memancing berkembangnya permasalahan hama dan penyakit, akibat ketersediaan

inang yang cukup dan adanya perubahan iklim mikro setempat. Populasi hama

menjadi sangat tinggi karena terdorong oleh tersedianya makanan yang sesuai,

yang ditanam oleh manusia dalam areal yang luas dan dilakukan secara

terus-menerus. Salah satu masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah

adanya seragan hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe, Cerambycidae, Coleoptera). Hama ini menyerang batang sengon sejak tegakan berumur 3 ‒ 4 tahun, yang terjadi di Indonesia baik di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan

ataupun di luar Indonesia yaitu Malaysia, Filipina dan Thailand (Ahmadi 2008).

Larva boktor (X. festiva Pascoe) yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal (Ahmadi 2008).

Prasetya (2007) menyebutkan bahwa dalam pencernaan boktor

terdapattenzim trypsin dan alfa-amylase. Enzim trypsin berperan dalam memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana, kemudian diserap oleh sel. Enzim

alfa-amylase berperan dalam proses degradasi pati, sejenis makromolekul karbohidrat (Djati 2009). Enzim trypsin sangat aktif pada saat larva masih berukuran kecil (ukuran ± 1,5 cm) dimana pada masa ini larva sedang aktif

memakan kulit batang (Marta 2005). Aktivitas tertinggi enzim alfa-amylase

terdapat pada larva boktor yang berukuran ± 3,5 cm, pada saat larva bergerak dari

(17)

mengandung pati. Sementara dalam pohon sengon juga terdapat senyawa yang

bersifat inhibitor terhadap enzim trypsin dan alfa-amylase yang terdapat pada penceranaan boktor (Winarni 2003). Senyawa inhibitor memiliki aktivitas yang

berbeda-beda pada setiap bagian pohon sengon (Djati 2009).

Aktivitas senyawa inhibitor trypsin dan alfa-amylase menghasilkan nilai yang berbeda, bergantung pada kondisi pohon, bagian pohon, enzim yang

digunakan, dan faktor lainnya. Aktivitas inhibitor tersebut diduga menjadi sarana

tanaman sengon untuk bertahan dan resisten terhadap serangan hama boktor.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang hubungan trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pada sengon dengan pertumbuhan dan perkembangan larva boktor dalam artificial diet. Pengaruh inhibitor terhadap kesukaan larva boktor perlu diuji langsung terhadap larva. Penelitian seperti ini sulit dilakukan di lapang,

karena sulitnya melakukan pengamatan, maka dalam penelitian ini digunakan

artificial diet. Artificial diet merupakan makanan buatan yang terdiri dari bahan alami dan bahan kimia dengan dosis tertentu yang dibuat untuk mempertahankan

hidup dari larva boktor di luar habitat alaminya. Informasi yang diperoleh dari

penelitian ini dapat membantu program pemuliaan untuk mendapatkan sengon

unggulan, yaitu yang mempunyai kandungan aktivitas trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor tinggi, yaitu sengon yang resisten terhadap serangan hama boktor.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan aktivitas trypsin inhibitor sengon dengan pertumbuhan larva boktor berukuran kecil dan besar dalam artificial diet. 2. Mengetahui hubungan aktivitas alfa-amylase inhibitor sengon dengan

pertumbuhan larva boktor berukuran kecil dan besar dalam artificial diet. 1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi tentang hubungan

trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pohon sengon terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva boktor dalam artificial diet. Informasi ini dapat digunakan dalam pemuliaan pohon untuk mendapatkan pohon sengon yang

resisten terhadap hama boktor, serta bahan referensi bagi dunia Entomologi,

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon (Paraserianthes falcataria)

2.1.1 Taksonomi

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Klas : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Famili : Fabaceae

Subfamili : Mimosoideae

Genus : Paraserianthes

Nama Ilmiah : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen

Nama Daerah : albasia, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah), sengon

sebrang (Jawa Timur), jing laut (Madura), tedehu pute (Sulawesi), rawe,

selawoku, merah, seka, sekah, tawasela (Maluku), bae, wahogon, wai, wikie (Irian

Jaya) (Atmosuseno 1998).

2.1.2 Sifat Botani

Pohon sengon memiliki ciri-ciri berbatang lurus, tidak berbanir, kulit

berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki tinggi

bebas cabang mencapai 20 m. Pertumbuhan sengon sangat cepat.

Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter

batang mencapai 100 cm. Sengon memiliki tata daun mejemuk menyirip ganda

dengan anak daun yang kecil-kecil dan mudah rontok. Tajuk berbentuk perisai,

agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa

jenis tanaman perdu tumbuh baik dibawahnya (Alrasjid 1973).

Pohon sengon berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni -

November. Bunga tersusun dalam bulir atau sebagian besar bercabang malai,

(19)

sekitar 40.000 biji/kg atau 36.000 biji/liter, dan daya kecambahnya 80% dengan

perlakuan perendaman pada air mendidih selama 24 jam (Alrasjid 1973).

Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil

simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini sangat menguntungkan bagi tanah

disekitarnya. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan

penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Sehingga pohon sengon dapat

menyebabkan tanaman disekitarnya lebih subur. Tanaman sengon digunakan

untuk penghijauan dan reboisasi, penyubur tanah dan daunnya sebagai pakan

ternak (Kwatrina et al. 2008).

2.1.3 Daerah Penyebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh

Pohon sengon ditemukan tumbuh secara alami di Kepulauan Maluku,

Toampala (Sulawesi Selatan) dan Irian Jaya dan pada tahun 1871 mulai ditanam

di Pulau Jawa. Di luar Indonesia, pohon sengon telah ditanam di Serawak,

Brunai, Kepong, Sri Lanka, dan India (Alrasjid 1973).

Sengon tumbuh baik di daerah yang terletak antara 100 LS ‒ 30 LU yang memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Suhu udara yang diperlukan untuk

pertumbuhan optimum berkisar 22 ‒ 29 0C. Tempat tumbuh terbaik adalah pada ketinggian 10 ‒ 800 mdpl. Curah hujan tahunan yang diinginkan pohon ini adalah 2.000 ‒ 2.700 mm, kelembaban udara yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar 50 ‒ 75%. Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (bonita 1) dengan drainase yang kurang baik. Sengon lebih menyukai topografi yang relatif datar,

namun pada keadaan tertentu sengon dapat ditanam pada areal bergelombang dan

miring dengan kemiringan lereng mencapai 25% (Primantoro 1991).

2.1.4 Penanaman dan Pemeliharaan

Penanaman sengon dilakukan setelah hujan lebat turun pada awal musim

penghujan, pada umumnya dalam bulan Oktober-Januari. Pengamatan mulainya

hujan lebat sangat perlu, karena bibit yang baru ditanam menghendaki banyak air

dan udara lembab. Kegiatan pemeliharaan terdiri dari penyulaman dan

penyiangan. Penyiangan dilakukan 2 ‒ 3 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun. Pada tanaman yang berumur 3 ‒ 4 tahun, penyiangan dapat dilakukan 1 kali tiap tahun (Pradjadinata dan Masano 1989). Karena pertumbuhan pohon yang

(20)

berumur 2 tahun. Penjarangan dilakukan setiap tahun dan sesudah umur 10 tahun

penjarangan dilakukan 3 tahun sekali (Husaeni 2010).

2.1.5 Kegunaan Kayu Sengon

Kayu sengon banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan

perumahan (papan, balok dan tiang). Selain itu dapat juga dipakai untuk

pembuatan peti, vener, pulp, papan serat, papan partikel, korek api, dan kayu

bakar. Dahulu di Maluku kayu sengon biasa dipakai untuk perisai karena ringan

dan liat serta sukar ditembus (Martawijaya et al. 1989). 2.2 Hama Penggerek Batang Boktor (X. festiva Pascoe) 2.2.1 Taksonomi

X. festiva sering disebut uter-uter, boktor, wowolan kumbang serendang atau engkes-engkes, yang lebih umum adalah kumbang boktor. Hama ini adalah

hama yang paling merugikan pada tegakan pohon, yaitu menyerang jenis pohon

daun lebar dan daun jarum (konifer). Hama kulit pohon yang memakan bagian

dalam kulit pohon sering juga merusak kambium dan bagian luar kayu gubal.

Apabila kerusakan pada pohon sampai melingkar batang, maka aliran nutrisi dari

daun ke akar terganggu dan pohon akan mati (Puspitarini 2006).

Survei yang dilakukan pada awal tahun 60 ‒ an menunjukkan bahwa hama ini telah tersebar ke seluruh tegakan pohon di Pulau Jawa, mulai dari dataran

rendah sampai ketinggian ±1.000 mdpl, didaerah beriklim basah maupun kering.

Hama ini menyerang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hama ini juga

menyerang wilayah Malaysia dan Filipina (Notoatmodjo 1963).

2.2.2 Morfologi

Telur berbentuk lonjong dengan ukuran 2x1 mm, berwarna hijau

kekuning-kuningan sampai kuning, dilekatkan dengan zat perekat yang tak berwarna. Lama stadium telur adalah 15 ‒ 20 hari (Suratmo 1974). Larva berwarna kekuning-kuningan dan tidak bertungkai jelas. Larva yang baru keluar

dari telur berukuran 2x1 mm dan sewaktu akan menjadi pupa, larva tadi berukuran 50×9 mm (Notoatmodjo 1963). Lama stadium larva adalah 5 ‒ 6 bulan. Pupa berwarna putih kekuning-kuningan dengan ukuran 30×10 mm dan

(21)

dan lebar 7 ‒ 9 mm. Lama stadium imago jantan 2 ‒ 13 hari sedangkan betina 2 ‒ 7 hari (Suratmo 1974).

Seekor imago dapat meletakkan telurnya sampai 400 butir, telur diletakkan

saling melekat, karena direkatkan oleh semacam zat perekat tak berwarna yang

dihasilkan serangga betinanya, sehingga membentuk kelompok-kelompok telur.

Siklus hidup X. festiva pada makanan adalah 159 hari untuk kumbang jantan dan 193 hari untuk kumbang betina. Pada kondisi alami siklus hidup kumbang jantan

253 hari dan kumbang betina 250 hari (Husaeni 2010).

2.2.3 Perilaku, cara penyerangan dan bentuk kerusakan

Larva instar pertama berwarna kuning gading yang keluar mulai

menggerek kulit bagian dalam dan kayu muda secara bergerombolan ke arah

bawah. Bagian pohon yang digerek akan mengeluarkan cairan, sehingga akan

terlihat berwarna hitam atau coklat. Larva-larva yang baru menetas akan segera

memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran

sedalam 0,5 mm kearah bawah batang (Ahmadi 2008).

Serangan X. festiva pada tegakan sengon sudah terjadi sejak tegakan berumur 3 tahun, yaitu pada saat diameter batang 10 ‒ 12 cm dan tinggi pohon mencapai 16 m. Letak serangan (lubang gerek) pada pohon adalah mulai dari

pangkal batang sampai ketinggian lebih dari 10 m (Ahmadi 2008).

Tingkat serangan pada pohon ditandai dengan banyaknya lubang gerek,

lama kelamaan tajuk menguning dan pohon mati. Kerusakan pohon sengon

sebagai akibat gerekan larva sehingga kulit batang berlubang-lubang. Adanya

lubang gerek pada batang menyebabkan pohon menjadi lemah sehingga mudah

patah apabila ada tiupan angin yang kencang (Hawiati 1994).

Bubuk-bubuk gerekan tertinggal dalam lubang gerek dan sebagian keluar

dari lubang-lubang kulit atau kulit-kulit yang pecah. Saluran-saluran gerek ini

biasanya saling berhubungan (kontinyu) dan arahnya tidak beraturan (biasanya

vertikal). Semakin ke arah bawah saluran gerek ini semakin melebar, karena

ukuran larva yang memakannya semakin besar (Ahmadi 2008).

2.2.4 Sistem pencernaan boktor

Saluran pencernaan serangga terdiri dari tiga saluran pokok, yaitu : usus

(22)

proktodaeum. Usus belakang dan usus depan berasal dari jaringan ektoderm dan

dilapisi sebelah dalamnya oleh lapisan tipis kutikula yang disebut intima. Pada

saat pergantian kulit kutikula ini dikelupaskan bersama dengan bagian luar

eksoskeleton, sedangkan usus tengah tidak punya intima, maka tidak terjadi

pergantian kulit (Pasaribu 2008).

Pencernaan alami dari makanan terjadi di usus tengah dimana lapisan epitel

usus tengah terlibat dua fungsi, sekresi enzim-enzim pencernaan ke dalam

lumen-lumen dan penyerapan produk-produk penernaan ke dalam tubuh serangga. Usus

tengah merupakan tempat utama pencernaan dan penyerapan dalam saluran

pencernaan. Proses pencernaan makanan pada serangga terutama terjadi di dalam

midgut di mana sel-sel epitelium menghasilkan enzim-enzim pencernaan dan juga

menyerap makanan yang sudah dicerna (Pasaribu 2008).

2.2.5 Pengendalian Hama

Dalam Ahmadi (2008) pengendalian hama boktor dapat dilakukan secara

fisik, mekanik, hayati, kimiawi dan pengendalian terpadu.

A.Pengendalian secara fisik

1. Penangkapan kumbang dengan perangkap lampu terutama cahaya yang

berwarna hijau dan biru. Ketertarikan ini dapat dimanfaatkan untuk

pengendalian hama. Penangkapan dimulai dari jam 6 sore hari sampai jam

12 malam, pada hari cerah.

2. Pemusnahan kelompok telur boktor dilakukan dengan cara memeriksa

setiap larikan tanaman pada tegakan mulai berumur 3 tahun. Peletakan telur

boktor oleh kumbang betinanya dapat ditemukan pada celah-celah kulit atau

bagian-bagian batang pohon yang luka. Kesulitan utama dalam pemeriksaan

dan pemusnahan telur boktor ini adalah kelompok telur yang dapat diperiksa

terletak paling tinggi 2 m dari permukaan tanah.

3. Penyesetan kulit batang sengon yang terserang hama boktor dilakukan

setiap 3 bulan sekali. Suatu keuntungan bagi pengendalian hama ini adalah

larva-larva tadi tidak mempunyai kaki (tungkai). Bila kulit batang sengon

yang terserang diseset (dikelupas) maka kumpulan larva boktor tadi akan

(23)

B. Pengendalian secara mekanik

1. Penanaman pohon sengon resisten yaitu pohon sengon yang mempunyai

ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama boktor, atau pohon itu tidak

(kurang) disukai oleh hama boktor, yang diharapkan dapat mencegah

serangan hama boktor, atau kalau diserang, tingkat serangannya cukup

rendah sehingga kerugian ekonomis dapat dihindarkan.

2. Pengaturan jarak tanam yang dapat dilakukan pada saat penanaman atau

dengan cara penjarangan. Untuk mencegah persaingan yang terlalu awal

pada tanaman muda, maka jarak tanamnya perlu diperlebar, misalnya 3×3 m

atau 4×3 m. Dari segi pengendalian hama boktor, jarak tanam yang lebih

lebar ini mempunyai keuntungan yaitu jumlah batang per hektar (berarti

jumlah makanan) menjadi sedikit, dan peluang kumbang untuk memperoleh

tempat peletakan telur lebih kecil.

3. Pembuatan tanaman campuran dengan memenuhi persyaratan jenis tanaman

tersebut pertumbuhannya sama cepat dengan sengon, atau jenis pohon yang

tahan naungan dan bertajuk rimbun. Sedangkan jenis pohon pencampur

mempunyai daur, kegunaan kayu yang sama dengan sengon, dan berperan

sebagai penghalang mekanis bagi penerbangan kumbang boktor (Ahmadi

2008). Kumbang boktor hanya mampu mencapai 3 ‒ 4 m dalam sekali

terbang dengan ketinggian terbang 0,5 ‒ 1 m, kadang-kadang juga mencapai

2 m dari permukaan tanah (Husaeni 2001).

4. Penjarangan tegakan pohon sengon yang terserang hama boktor harus

ditebang. Baik yang mengalami serangan awal (larva masih berada di antara

kulit dan kayu) maupun serangan lanjut (larva sudah menggerek ke dalam

kayu gubal atau larva telah berkepompong di dalam lubang gerek).

Bila penjarangan tegakan sengon dilaksanakan secara periodik sesuai

dengan jadwal penjarangannya, maka tingkat serangan hama boktor akan

dapat ditekan (Ahmadi 2008).

C. Pengendalian secara hayati

Musuh-musuh alami hama boktor ada yang menyerang telur, larva, pupa

(24)

patogen. Dua cara pengendalian hayati hama boktor telah dikaji keampuhannya

adalah dengan menggunakan parasit telur boktor dan jamur patogen larva.

1. Pelepasan parasit telur

Serangga parasit yang menyerang telur boktor adalah Anagyrus sp. yang tergolong famili Encyrtidae, ordo Hymenoptera. Anagyrus sp. telah terbukti cukup efektif dalam menekan serangan hama boktor. Secara alami

Anagyrus sp. ini biasa memparasit kelompok telur boktor dengan tingkat serangan (tingkat parasitasi) rata-rata 20% (Kasno dan Haneda 2010).

2. Penyemprotan dengan jamur pathogen Beauveria bassiana yaitu salah satu jamur patogen serangga yang dapat digunakan untuk pengendalian hama

yang tergolong bangsa kumbang, misalnya hama boktor (Husaeni 2001).

Pengendalian larva bokor dengan menggunakan B. bassiana sebaiknya dilakukan saat serangan hama tahap awal (gejala serangan awal). Pada saat

itu larva boktor masih muda dan masih berukuran kecil (Ahmadi 2008).

D. Pengendalian kimiawi

Pengendalian dengan menggunakan insektisida yang pertama kali dilakukan

oleh De Yong pada tahun 1931, yaitu dengan cara menyemprotkan

paradikhlorbensol (diencerkan dalam petroleum dengan perbandingan 1 : 10) pada permukaan kulit batang sengon yang diserang, insektisida ini dapat

mematikan larva yang masih berada di permukaan kayu gubal, tetapi tidak dapat

membunuh larva yang telah membuat lubang gerek pada kayu gubal. Walau

hasilnya memuaskan namun penggunaan insektisida ini dapat mematikan

kambium pohon (Ahmadi 2008).

E. Pengendalian secara terpadu

Strategi pengendalian hama secara terpadu adalah dengan memanfaatkan

cara-cara yang paling cocok dari semua metode pengendalian hama dalam suatu

kombinasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah hama. Pengendalian

hama terpadu tidak melarang atau meminimumkan penggunaan insektisida tetapi

hanya merubah cara, yaitu dari pemakaian untuk pencegahan atau penggunaan

(25)

2.3 Enzim dan Inhibitor

Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang

berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis

bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada

permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat

proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan

yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi (Anonim 2010).

Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat,

suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH

(tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein,

yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di

luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau

strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim

kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul

lain (Anonim 2010).

Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan

aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun

adalah inihibitor enzim. Berdasarkan cara kerjanya, inhibitor terbagi dua,

inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif adalah

inhibitor yang bersaing aktif dengan substrat untuk mendapatkan situs aktif

enzim, contohnya sianida bersaing dengan oksigen dalam pengikatan Hb.

Sementara itu, inhibitor nonkompetitif adalah inhibitor yang melekat pada sisi

lain selain situs aktif pada enzim, yang lama kelamaan dapat mengubah sisi aktif

enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim akan semakin mempercepat terjadinya

reaksi. Dan konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Jika

sudah mencapai titik jenuhnya, maka konsentrasi substrat berbanding terbalik

dengan kecepatan reaksi (Anonim 2009).

2.4 Trypsin Inhibitor

Trypsin inhibitor adalah suatu jenis protein yang dapat menghambat kerja enzim trypsin didalam tubuh, yang umumnya terdapat pada kedelai dan beberapa

(26)

ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi potein-protein).

Interaksi tersebut menyangkut pemutusan ikatan antara arginin-isoleusin sehingga

menghambat bekerjanya enzim trypsin (Muchtadi 1993). Akibatnya mempersulit pelepasan asam-asam amino dari ikatan proteinnya sehingga tidak dapat diserap

(Prasetya 2007).

Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor trypsin adalah konsentrasi enzim trypsin bebas yang terdapat dalam usus. Penurunan jumlah

trypsin bebas dalam usus (karena adanya interaksi dengan anti trypsin akan menstimulir aktivitas pangkreas untuk memproduksi lebih banyak enzim) untuk

mencapai tujuan ini maka akan terjadi pembesaran. Sebaliknya bila konsentrasi

enzim dalam usus kembali normal, aktivitas pangkreas tersebut akan dihambat.

Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor trypsin adalah konsentrasinya. Dinyatakan bahwa daya hambat suatu inhibitor terhadap aktivitas

enzim typsin adalah berbanding lurus dengan jumlah inhibitor yang terdapat (Prasetya 2007).

2.5 Alfa-amylase Inhibitor

Inhibitor alfa-amylase adalah protein yang menghambat enzim amylase di dalam saluran pencernaan (midgut) serangga. Enzim amilase diperlukan

serangga, terutama serangga pemakan biji-bijian dan ubi yang kaya akan pati.

Pati ini harus dihidrolisis menjadi molekul karbohidrat yang lebih sederhana

(kecil) seperti disakarida dan monosakarida, agar dapat digunakan dalam sistem

metabolisme serangga. Dengan dihambatnya pemecahan pati oleh inhibitor alfa-amylase maka serangga tidak mendapatkan kebutuhan karbohidratnya, sehingga berakibat fatal bagi serangga tersebut (Bahagiawati 2005).

2.6 Artificial Diet

Artificial diet adalah suatu makanan yang asing bagi serangga dimana proses pembuatannya mengacu pada pendekatan kimia. Di dalam makanan buatan

ini terdapat komponen kimia dan komponen alami. Komponen alami dapat

dipenuhi oleh bagian tanaman seperti serbuk kayu, ekstrak biji, ekstrak daun dan

(27)

Awal perkembangan makanan buatan yaitu pada tahun 1976 dimana

Sande dan Knoke adalah orang pertama yang berhasil menakarkan hama kayu

Xyloborus ferrugineus dalam makanan buatan. Didalam makanan buatan tersebut terdapat berbagai macam bahan kimia maupun bahan alami, seperti serbuk kayu.

Komposisi bahan makanan yang dipakai terdiri dari sucrose (15 g), yeast extract

(10 g), casein (10 g), wheat (15 g), salt (1,3 g), agar (40 g), sawdust (150 g), air destilasi (1000 ml), ascorbic acid/vitamin C (2 g) dan streptomycin (0,7 g).

Ascorbic acid merupakan sumber vitamin C yang sangat dibutuhkan serangga dalam pertumbuhannya. Sedangkan yeast extract merupakan sumber protein untuk melengkapi kebutuhan nutrisinya dan meningkatkan aktivitas pembelahan

sel (Listyorini 2007).

Pada stadium larva, protein lebih dibutuhkan dalam pertumbuhannya.

Protein berguna bagi serangga untuk memproduksi sel jaringan dan pembentukan

enzim yang berarti bagi pertumbuhan serangga dan juga merangsang metabolisme

dalam tubuh serangga (Puspito 2002).

Singh (1977) mengatakan bahwa agar dan selulosa mutlak diperlukan

dalam pembuatan artificial diet. Agar dipergunakan sebagai pembentuk tekstur ransum untuk menyesuaikan dengan kebutuhan larva dan mampu mengikat

zat-zat aditif secara sempurna. Selanjutnya ditambahkan zat-zat gula (sukrosa) yang merupakan zat pembentuk tenaga dan proses kimia dalam serangga. Sementara

itu, zat pokok yang dibutuhkan adalah karbohidrat dan air. Karbohidrat diperoleh

dari selulosa dan kebutuhan air diperoleh dari aquades.

Soediaoetama (1987) menguraikan fungsi bahan-bahan kimia sebagai

nutrisi. Fungsi vitamin adalah sebagai zat pengatur proses fisiologis dan biokomia

tubuh melalui perannya sebagai koenzim dan kofaktor. Asam askorbik (vitamin

C) mudah larut dalam air dan juga berfungsi sebagai penangkal racun. Fungsi

karbohidrat sebagai sumber utama energi, pengatur metabolisme lemak dan

penghemat fungsi protein. Lemak berfungsi sebagai penghasil energi yang

dibutuhkan pembentuk struktur tubuh. Protein sebagai zat pembangun dan

pertumbuhan jaringan tubuh, serta pengatur fisiologis dan biologis tubuh. Natrium

(Na) berfungsi sebagai pengatur volume darah dan 30-40% berada di dalm tulang.

(28)

mineral makro yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Mg berfungsi untuk

struktur tulang, transmisi impuls saraf dan regulasi enzim.

Streptomycin dalam artificial diet berfungsi untuk mencegah timbulnya jamur dan mikroorganisme lain yang dapat merusak makanan. Keberhasilan suatu

makanan buatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan akan nutrisi,

komposisi kimia dan makanan alami, pengetahuan akan habitat dan perilaku

makanan (feeding behavior) dari spesies yang diamati (Singh 1977).

Menurut Singh (1977), ada empat prinsip yang harus diperhatikan untuk

mendapatkan artificial diet yang sempurna, yaitu:

1. Faktor fisik: tekstur, kekerasan, kandungan air,dan ukuran artificial diet

2. Faktor kimia: nutrisi dan kandungan bahan organik.

3. Keseimbangan nutrisi: nutrisi-nutrisi dalam artificial diet harus mempunyai peran masing-masing dan mempunyai hubungan antar nutrisi.

4. Kontaminasi mikroba: adanya kontaminasi dapat memerusak artificial diet

dan mikroba tersebut akan menjadi parasit bagi serangga.

Keuntungan dalam memelihara serangga dengan menggunakan makanan

buatan (artificial diet), yaitu bisa mendapatkan gambaran yang jelas akan perilaku dan asal-usul serangga. Adanya artificial diet memungkinkan dan memudahkan untuk menguji produk-produk serta bahan aktif tanaman yang bersifat

(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian

ini terhitung mulai dari Agustus 2009 ‒ Desember 2009. Penelitian Tripsin

Inhibitor dan Alfa-amylase inhibitor dimulai dari Agustus 2009 - Juni 2010 di Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian artificial diet yaitu serbuk kulit dan batang kayu sengon dari provenan Solomon dan Kediri. Serbuk batang

dan serbuk kulit provenan Solomon diperoleh dari Persemaian Permanen, di

Pongpoklandak, KPH Cianjur. Sedangkan serbuk sengon provenan Kediri diambil

dari daerah Ngancar KPH Kediri, dengan kondisi masing-masing serbuk sengon

sehat dan sengon sakit yang telah diproses freeze dry. Bahan campuran lain yang digunakan adalah yeast extract, streptomycin, ascorbic acid (vitamin C), natrium benzoat, agar, sukrosa dan aquades. Larva yang digunakan ada 2 macam, yaitu larva boktor berukuran kecil (1 ‒ 1,5 cm) dan larva boktor berukuran besar (1,5 ‒ 3 cm). Data aktivitas enzim trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor didapatkan berupa data sekunder dari penelitian sebelumnya (Saimima 2010 dan

Yauvina 2010).

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan digital, kompor

listrik, kaliper digital, tabung reaksi dengan diameter 3×3 cm, gelas ukur,

refrigerator, oven, sendok pengaduk, sudip, cawan petri, toples, pinset, gunting, kain kasa, tisu, label, karet, piring, alat tulis dan kamera digital.

3.3. Metodologi Penelitian

3.3.1 Persiapan dan Pembuatan Artificial Diet

Persiapan penelitian ini meliputi pengambilan serbuk kayu sengon yang

(30)

buatan (artificial diet) dan persiapan alat-alat yang akan digunakan, pembuatan stand penempatan tabung yang sesuai dengan tabung reaksi sebagai tempat

ransum yang dilindungi dengan penutupan oleh kain kasa. Kemudian dilanjutkan

dengan pencarian larva X. festiva, yang diasumsikan larvanya berasal dari satu induk.

Adapun komposisi makanan buatan untuk larva boktor dapat dilihat pada

Tabel 1.

Serbuk sengon dengan proses freeze dry

Bahan II :

Komposisi artificial diet ini mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya (Carvallo 2009), namun ada beberapa perubahan seperti penambahan

dosis pada beberapa bahan dan pengurangan pada beberapa bahan. Komposisi kali

ini tidak menggunakan NaCl, dolomit, minyak zaitun, vitamin B kompleks dan

tambahan selulosa, hanya menggunakan serbuk sengon sebagai sumber selulosa

utamanya sehinggga jumlah komposisinya dijadikan 2 kali lipat. Umumnya dosis

pada masing-masing bahan yang digunakan lebih ditingkatkan.

Pembuatan artificial diet ini dengan cara mencampurkan bahan I ke dalam bahan II dari komposisi artificial diet di atas. Bahan I dibuat dengan memasukkan

yeast extract terlebih dahulu ke dalam aquades dan diaduk hingga terlarut sempurna. Kemudian menambahkan streptomycin, natrium benzoat, dan vitamin C dengan melarutkan unsur-unsur sebelumnya terlebih dahulu. Sebelum

menambahakan serbuk sengon kedalam bahan I sebaiknya menyiapkan bahan II

terlebih dahulu, yaitu dengan melarutkan sukrosa ke dalam aquades yang diikuti

dengan melarutkan agar hingga tercampur sempurna. Kemudian bahan II tersebut

(31)

ditambahkan dengan serbuk sengon dan diaduk sempurna agar bahan kimianya

dapat diserap oleh serbuk sengon tersebut. Setelah kedua bahan siap, bahan II

(campuran sengon dan bahan kimia) dituangkan ke dalam bahan I.

3.3.2 Percobaan dan Parameter Artificial Diet

Percobaan dilakukan dengan memasukkan satu persatu larva boktor ke

dalam tabung yang berisi makanan buatan (artificial diet), kemudian ditutup kain kasa. Tabung-tabung ini disimpan di rak dengan suhu kamar dan memperoleh

sirkulasi udara yang baik. Parameter yang akan diamati selama 6 minggu yaitu

berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, berat makanan dan sisa makanan

yang telah dikonsumsi oleh larva boktor. Pengukuran dan penggantian makanan

dilakukan setiap 2 minggu.

3.4 Analisis Data

Jumlah sampel pohon yang digunakan sebagai unit percobaan disajikan

dalam Tabel 2. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan

antara parameter pertumbuhan larva pada setiap unit percobaan tersebut dengan

aktivitas enzim inhibitor. Software yang digunakan adalah Microsoft Excel 2007.

Dalam penelitian artificial diet ini setiap sampel pohon diulang sebanyak 3 kali pada masing-masing ukuran larva boktor. Banyaknya unit percobaan artificial diet adalah 79 (masing-masing sampel) × 3 ulangan = 237 unit percobaan untuk setiap ukuran boktor. Setiap sampel pohon (unit percobaan) yang dipakai untuk

artificial diet, adalah sama dengan sampel yang digunakan untuk uji aktivitas inhibitor enzim trypsin dan enzim alfa-amylase.

Tabel 2 Sampel yang digunakan dalam artificial diet

Provenan Bagian Kondisi Jumlah Sampel

(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan aktivitas inhibitor dengan pertumbuhan artificial diet larva boktor diamati pada dua provenan, yaitu Solomon dan Kediri. Namun dalam

pengolahan data ini, indikator yang digunakan adalah bagian dan kondisi pohon

sedangkan provenan tidak dicantumkan. Hal ini didasarkan pada penelitian

sebelumnya, bahwa faktor provenan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas

trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibior (Djati 2009).

Tabel 3 Rata-rata pertumbuhan larva boktor dalam artificial diet

Ukuran Larva Sampel Parameter pengamatan

B (gr) DK (mm) P (cm) K (gr)

DK = Diameter kepala larva P = Panjang larva

K = Konsumsi diet larva

Hasil rataan pengukuran pengamatan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

perkembangan larva boktor yang berbeda-beda pada masing-masing kondisi dan

bagian pohon. Artificial diet dengan menggunakan serbuk kondisi sehat umumnya memberikan hasil pertumbuhan kurang baik dibandingkan penggunaan serbuk

batang sakit, ada juga beberapa parameter yang memperlihatkan pertumbuhan

yang meningkat. Pertumbuhan larva dilihat dari semakin tingginya (positif) selisih

berat larva, diameter kepala larva, panjang larva dan konsumsi diet. Rata-rata

pertumbuhan larva pada sengon sehat lebih menderita (kecil) dibandingkan

pertumbuhan larva pada sengon sakit. Hal ini mengindikasikan bahwa, pada

sengon sehat memiliki ketahanan lebih besar terhadap serangan hama boktor.

(33)

-amylase inhibitor yang lebih tinggi pada pohon kondisi sehat dan Yauvina (2010) rata-rata aktivitas trypsin inhibitor pada pohon sehat lebih tinggi daripada aktivitas

trypsin inhibitor pada pohon sakit.

Hasil rataan nilai aktivitas enzim inhibitor pada Tabel 4 menunjukkan

tingginya aktivitas inhibitor pada kondisi pohon sehat dibandingkan pada pohon

kondisi sakit. Jika dilihat dari bagian pohon, nilai aktivitas trypsin inhibitor lebih besar pada bagian kulit, sedangkan pada bagian batang memiliki nilai alfa-amylase inhibitor yang lebih tinggi.

Tabel 4 Rataan nilai aktivitas enzim inhibitor Trypsin Unit Inhibited dan

alfa-Sumber : Saimima 2010 dan Yauvina 2010.

Perkembangan larva pada masing-masing parameter dikorelasikan dengan

nilai aktivitas enzim inhibitor (Trypsin Unit Inhibited dan alfa-amylase Unit Inhibited) pada tiap sampel pohon. Dari hasil penelitian ini, diharapkan setiap

korelasi antara inhibitor dengan semua parameter perkembangan larva pada

artificial diet selalu negatif. Karena semakin tinggi aktivitas inhibitor akan menurunkan kesukaan larva boktor untuk menyerang pohon sengon.

4.1 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet

Berdasarkan Tabel 5 dilihat dari bagian pohon, antara aktivitas trypsin

inhibitor (TUI/ Trypsin Unit Inhibited) dengan parameter perkembangan larva kecil bagian batang dan kulit memiliki jumlah korelasi negatif dan positif yang

sebanding/sama. Batang dan kulit sama-sama memiliki 4 korelasi negatif,

sehingga tidak memperlihatkan pengaruh besar antara TUI dengan pertumbuhan

larva. Jika dilihat dari kondisi pohon, pada sengon kondisi sehat memiliki jumlah

korelasi negatif lebih banyak dibandingkan dengan kondisi sakit. Sengon kondisi

sehat terdapat 5 parameter yang menunjukkan korelasi negatif, sedangkan pada

(34)

Tabel 5 Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet

Bagian Kondisi

sama-sama memiliki TUI yang tinggi yang menyebabkan larva boktor kecil tidak

menyukai pohon sengon sehat tersebut. Parameter yang memperlihatkan korelasi

negatif pada sengon sehat adalah perbandingan TUI dengan diameter kepala larva

dan panjang larva serta konsumsi diet.

Gambar 1 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.

Pada batang sengon sehat (Gambar 1) terdapat 2 perbandingan korelasi

yang memperlihatkan hubungan negatif, yaitu pada korelasi antara TUI dengan

berat (-0,150) dan TUI dengan panjang (-0,219). Sedangkan pada 2 parameter

pertumbuhan larva lainnya berkorelasi positif, yaitu korelasi pada TUI dengan

diameter kepala larva dan TUI dengan konsumsi diet. Walaupun perbandingan

kedua histogram parameter sama, namun pada parameter yang berkorelasi negatif

(35)

Gambar 2 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sakit.

Bagian batang sakit yang diperlihatkan pada Gambar 2, juga terjadi hal

yang sama seperti histogram pada batang sehat. Namun perbandingan korelasi

negatifnya berlaku berat larva (-0,123) dan dengan diameter kepala larva TUI

(0,213) dan korelasi posotinya berlaku pada parameter panjang (0,023) dan

konsumsi larva (0,218). Berdasarkan data ini, trypsin inhibitor pada batang berkorelasi negatif dengan pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet.

Gambar 3 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sehat.

Pada kulit sehat (Gambar 3), korelasi TUI dengan 3 parameter

perkembangan larva (berat sebesar -0,127, panjang sebesar -0,201 dan konsumsi

diet sebesar -0,270) menunjukkan TUI berkorelasi negatif pada pertumbuhan

larva kecil. Pada parameter diameter kepala larva histogramnya menunjukkan

(36)

semakin tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada kulit sehat akan berbanding terbalik dengan 3 parameter pertumbuhan artificial diet larva tersebut.

Pada kulit sakit (Gambar 4) memiliki bentuk histrogram yang sangat

berbeda dari histogram sebelumnya, yaitu ada 3 parameter yang memperlihatkan

korelasi positif dan 1 parameter berkorelasi positif . Korelasi positif diperlihatkan

pada parameter berat larva (0,632), diameter kepala larva (0,842) dan panjang

larva (0,517), sedangkan pada konsumsi larva nilai korelasinya negatif sebesar

-0,438. Histogram ini membuktikan tidak ada hubungan yang antara trypsin

inhibitor dengan pertumbuhan larva kecil pada kulit sehat.

Gambar 4 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sakit.

Dari keempat histogram korelasi pada bagian kulit sehat yang paling kuat

menunjukkan hubungan aktivitas trypsin inhibitor dengan perkembangan larva kecil. Hal ini membuktikan bahwa pada pohon sehat, aktivitas trypsin inhibitor yang tinggi akan meningkatkan kemampuan pohon untuk menghambat serangan

hama boktor lebih besar. Dengan hasil ini, kulit sengon sehat dapat dijadikan

indikator tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada pohon sengon. Aktivitas

(37)

4.2 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet

Berdasarkan Tabel 6, korelasi antara TUI dengan parameter pertumbuhan

larva besar banyak yang berkorelasi negatif pada bagian kulit yaitu sebanyak 6

korelasi sedangkan pada bagian batang hanya memiliki 2 korelasi negatif. Hasil

ini membuktikan bahwa pada pengukuran pertumbuhan larva besar dengan

aktivitas trypsin inhibitor lebih signifikan pada bagian kulit. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pohon sengon sakit lebih banyak yang berkorelasi negatif

daripada pohon sehat. Seperti yang dikutip dari Djati (2009), kandungan trypsin

inhibitor yang lebih besar pada kulit mengindikasikan bahwa kulit adalah

perlindungan utama pada sengon dari serangan boktor.

Tabel 6 Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam artificial diet

Bagian Kondisi

Tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada kulit dikarenakan kulit banyak mengandung sel-sel hidup yang memiliki mitokondria yang mengandung anti

protein enzim trypsin yang bekerja pada boktor (Winarni 2003). Hal ini menyebabkan larva besar tidak suka menyerang pohon sakit, karena dalam

pertumbuhannya larva besar lebih membutuhkan karbohidrat yang umumnya

terdapat pada bagian batang.

Gambar 5 memperlihatkan korelasi antara TUI dengan parameter

pertumbuhan larva kecil lebih banyak berpengaruh/korelasi positif, baik pada

berat larva sebesar 0,122, diameter kepala larva 0,218 dan konsumsi larva sebesar

0,256. Pada batang sehat, hanya pada parameter panjang larva yang memiliki

(38)

Gambar 5 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sehat.

Sama halnya dengan batang sehat, Gambar 6 yang memperlihatkan

korelasi antara TUI dengan pertumbuhan larva besar pada batang sakit juga

banyak yang berkorelasi positif. Korelasi positif paling besar ditemukan pada

parameter konsumsi larva sebesar (0,205), sedangkan parameter yang

memperlihatkan korelasi negatif hanya ditemukan pada panjang larva yaitu

sebesar -0,009.

Gambar 6 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sakit.

(39)

dengan Prasetya (2007) rendahnya enzim trypsin pada larva ukuran besar disebabkan karena dalam masa transisi antara stadium larva dan stadium pupa

sehingga makanan yang dimakan sedikit.

Gambar 7 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sehat.

Pengamatan pada bagian kulit sehat, antara TUI dengan parameter

pertumbuhan larva ukuran besar terdapat 2 pengamatan yang berkorelasi negatif,

yaitu diameter kepala larva sebesar -0,034 dan panjang larva sebesar -0,106

seperti histogram pada Gambar 7. Pada parameter berat larva dan konsumsi larva

dengan TUI memperlihatkan korelasi positif, masing-masing sebesar 0,154 dan

0,110.

Pada Gambar 8 yang memperlihatkan korelasi pada bagian kulit sakit,

keempat parameter pertumbuhan larva besar bernilai negatif. Korelasi tersebut

ditemukan pada parameter berat larva sebesar -0,123, diameter kepala larva

sebesar -0,266, panjang larva sebesar -0,168 dan konsumsi larva sebesar -0,299.

Hasil ini membuktikan bahwa pada bagian kulit banyak mengandung trypsin

inhibitor yang menyebabkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan larva

seperti: menurunnya berat, ukuran diameter kepala, panjang larva dan jumlah

(40)

Gambar 8 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sakit.

Parameter yang paling konsisten digunakan dalam menguji korelasi

trypsin inhibitor pada larva besar adalah panjang larva, karena baik dari batang maupun kulit, panjang larva panjang larva banyak berkorelasi negatif.

4.3 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet

Berdasarkan Tabel 7 korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor (AUI /

Alfa-amylase Unit Inhibited) dengan pertumbuhan larva boktor kecil, bagian batang lebih banyak memperlihatkan korelasi negatif dibandingkan dengan bagian

kulit yaitu sebanyak 6 korelasi. Parameter yang kuat memperlihatkan korelasi ini

adalah berat larva dan panjang, yang selalu bernilai negatif pada batang sehat dan

batang sakit.

(41)

Pada bagian kulit, hanya pada diameter larva yang memperlihatkan

tingginya aktivitas alfa-amylase inhibitor sehingga berpengaruh buruk pada perkembangan larva kecil. Banyaknya parameter yang berkorelasi negatif

terhadap alfa-amylase inhibitor paling baik pada kondisi sehat maupun sakit. menunjukkan bahwa itu sebanyak 6 korelasi. Untuk sengon kondisi sehat hanya

ditemukan 4 korelasi negatif, yang berarti aktivitas alfa-amylase inhibitor tinggi pada pohon sakit kurang disukai larva kecil.

Gambar 9 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.

Pada histogram batang sehat pada Gambar 9 menunjukkan 3 parameter

pertumbuhan larva kecil berkorelasi negatif terhadap AUI. Parameter tersebut

adalah berat larva 0,184), diameter kepala larva 0,075), dan panjang larva

(-0,287) sedangkan pada konsumsi larva berkorelasi positif sebesar (0,096).

Histogram ini membuktikan menurunnya pertumbuhan larva kecil pada batang

sengon sehat, hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan alfa-amylase inhibitor pada batang.

Korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor dengan pertumbuhan larva kecil yang ditampilkan Gambar 10, memperlihatkan 3 parameter pertumbuhan

larva berkorelasi negatif. Bedasarkan histogram tersebut, semakin tinggi

kandungan alfa-amylase inhibitor pada batang sakit akan mengurangi berat sebanyak -0,043, panjang sebanyak -0,041 dan jumlah konsumsi larva kecil

(42)

Gambar 10 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.

Berbeda dengan bagian batang, pada bagian kulit (Gambar 11) umumya

histogram menunjukkan hubungan positif antara AUI dengan pertumbuhan larva

kecil. Pada kulit sehat hanya ditemukan satu parameter yang berkorelasi negatif

dengan AUI, yaitu diameter kepala larva sebesar -0,746. Sedangkan parameter

pertumbuhan larva kecil lainnya berkorelasi negatif. Dari data ini terlihat bahwa

aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sehat dapat diatasi oleh larva kecil.

Gambar 11 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sehat.

Pada kulit sakit (Gambar 12) ditemukan 3 parameter yang berkorelasi

(43)

alfa-amylase relatif rendah, dimana dalam kondisi tersebut larva sedang tidak banyak memakan atau mencerna pati yang terdapat pada tanaman sengon

(Prasetya 2007), sehingga aktivitas alfa-amylase yang terlalu tinggi cukup berakibat buruk untuk larva ukuran kecil.

Gambar 12 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sakit.

Rendahnya rata-rata memakan dapat menyebabkan rendahnya aktivitas

enzim. Untuk bagian pohon, yang memberi respon negatif paling banyak

ditemukan pada bagian batang. Data ini sesuai dengan (Djati 2009) dimana

aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kulit. Selain itu bagian batang mengandung banyak karbohidrat sehingga

boktor mensintesa enzim amylase untuk mencerna karbohidrat tersebut.

4.4 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet

Hubungan pertumbuhan larva besar dengan alfa-amylase inhibitor dengan seluruh perlakuan pada umumnya berkorelasi positif sebanyak 13 korelasi, dapat

dilihat pada Tabel 8. Korelasi negatif antara AUI dengan pertumbuhan larva

boktor besar hanya ditemukan pada parameter berat dan diameter larva. Seluruh

unit percobaan, yaitu kondisi pohon sehat maupun pohon sakit hubungan AUI

Gambar

Tabel 2 Sampel yang digunakan dalam artificial diet
Tabel 3  Rata-rata pertumbuhan larva boktor dalam artificial diet
Tabel 4  Rataan nilai aktivitas enzim inhibitor Trypsin Unit Inhibited dan  alfa-amylase Unit Inhibited
Gambar 1  Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan perusahaan dalam hal perencanaan struktur modal dengan mempertimbangkan variabel debt to total equity ratio (DER)

Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi tampak konsepnya sebagai berikut: ia membahas persoalan pendidikan pada anak dengan menempatkan pada bagian kedua dari bukunya dan

Strategi utama pengembangan kegiatan perikanan budidaya dari aspek ekologi di Kabupaten Indramayu untuk mencapai hasil yang diinginkan diantaranya dilakukan

Rekapitulasi Data Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Motivasi Kerja Penyuluh Pertanian THL-TB PP di Kabupaten

Peraturan cuti Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tercantum dalam PP nomor 24 Tahun 1976 tentang cuti PNS, selama ini tidak pernah dirasakan penting, karena dosen dapat libur

Melihat bagaimana pasangan suami istri yang melakukan komunikasi dengan memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia dalam layanan aplikasi WhatsApp , membuat pasangan suami

Enrol Mahasiswa/ Integrasi data yang sudah tersimpan Memeriksa apakah data enrol mahasiswa yang sudah tersimpan pada Moodle dapat diintegrasikan kembali ke Moodle sesuai data