• Tidak ada hasil yang ditemukan

Composting Characteristics of Traditional Market Solid Wastes with Natural Static Pile System.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Composting Characteristics of Traditional Market Solid Wastes with Natural Static Pile System."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT

PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM

NATURAL STATIC PILE

MUHAMMAD NASIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Muhammad Nasir

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD NASIR. Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO.

Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam sayuran dan buah serta bahan lainnya yang tidak layak jual, baik yang bersifat organik maupun anorganik. Jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 per hari dan yang terangkut sekitar 70%. Sisanya sebanyak 30% tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk di lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut adalah 90% organik dan 10% anorganik. Namun, limbah padat ini dapat diolah menjadi kompos sehingga mempunyai nilai tambah. Mengolah limbah padat organik menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana. Pengolahan limbah padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi pencemaran lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan karakterisasi limbah padat pasar tradisional, kemudian melakukan pengomposan limbah padat pasar tradisional, dan diakhiri dengan menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan dan membandingkan kualitasnya dengan SNI 19-7030-2004. Sampah diperoleh dari pasar Kebon Kembang, pasar Bogor Baru, pasar Merdeka, pasar Jambu Dua, pasar Gunung Batu, pasar Sukasari dan pasar Padasuka.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah mengidentifikasi komposisi limbah padat dan karakteristiknya dengan pengunian sampel di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB. Tahap kedua dilakukan pengomposan 6 m3 limbah padat organik pasar tradisional dan kotoran kambing dengan sistem

natural static pile di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB. Tahap ketiga dilaksanakan pasca pengomposan yaitu analisis karakteristik kompos di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian, Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulan limbah padat tujuh pasar tradisional Kota Bogor rata-rata adalah 115 m3/hari, dengan komposisi 90% (103.5 m3) organik dan 10% (11.5 m3) anorganik. Berat jenis (density) limbah padat organik adalah 242 kg/m3, sedangkan berat jenis kotoran kambing lebih tinggi yaitu 342 kg/m3. Hasil analisis karakteristik menunjukkan bahwa limbah padat organik pasar tradisional memiliki kadar air yang tinggi, yang mencapai 90% berat basah dan berpotensi untuk pengomposan. Waktu yang dibutuhkan untuk pengomposan adalah 56 hari dan luasan yang dibutuhkan adalah 6.5 m2. Karakteristik kompos yang dihasilkan secara umum memenuhi standar baku mutu kompos.

Simpulan dari penelitian ini adalah hasil identifikasi dan karakterisasi limbah padat pasar tradisional menunjukkan bahwa 90% berupa limbah organik dan layak untuk dijadikan kompos. Limbah padat organik pasar tradisional yang dicampur dengan kotoran kambing dapat dikomposkan dan kompos yang dihasilkan sesuai dengan baku mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 19-7030-2004.

Kata kunci: karakteristik, limbah padat, pasar tradisional, pengomposan, sistem

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD NASIR. Composting Characteristics of Traditional Market Solid Wastes with Natural Static Pile System. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SATYANTO KRIDO SAPTOMO.

Traditional market solid waste consists of various unsellable vegetables and fruits as well as other organic or inorganic materials. Amount of solid waste generated from traditional markets in Bogor City was about 330 m3 per day. Approximately 70% of solid waste are transported, but the remaining (30%) were not transported and were accumulated at the market, causing pollution and mal odors in the environment. This is due to the composition of solid waste i.e 90% organic and 10% inorganic. Solid waste can be proccessed to become compost, so it has an add value. The composting of organic solid waste can be done with simple technology and has two advantages i.e. producing compost and reducing environment pollution.

The purpose of this study were to identify and characterize the traditional market solid waste, to compost traditional market solid waste, and to analyze the characteristics of the generated compost, comparing with SNI 19-7030-2004. The traditional market were Kebon Kembang market, Bogor Baru market, Merdeka market, Jambu Dua market, Gunung Batu market, Sukasari market and Padasuka market.

This study consisted of three stages. The first stage was to identify the composition of solid waste and its characteristics, by conducting sample test in Laboratory of Technology and Environmental Management at Department of Agroindustrial Technology IPB. The second stage, composting 6 m3 of traditional markets organic solid waste and goat manure with natural static pile systems in composting house Department of Civil and Environmental Engineering IPB. The third stage was to analyze the characteristics of the compost at the Soil Research Institute, Ministry of Agriculture, Bogor.

The results showed that the average of solid waste from seven traditional markets in Bogor City was 115 m3/day, with composition of 90% organic (103.5 m3) and 10% inorganic (11.5 m3). Specific gravity (density) of organic solid waste is 242 kg/m3, and of goat manure is 342 kg/m3. The characteristic analysis results showed that organic solid waste of traditional markets have a high water content (90% of wet weight) and potential for composting. Periode of composting was 56 days and required an are of 6.5 m2.

Conclusions of this research was 90% of the solid waste from traditional market was organic and potential to be composted. The organic solid waste of traditional market mixed with goat manure can be composted, and the compost product can fulfill the standard criteria in SNI 19-7030-2004.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

KARAKTERISTIK PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT

PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM

NATURAL STATIC PILE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile

Nama : Muhammad Nasir NIM : F451110011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc Ketua

Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah pengomposan, dengan judul Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile.

Terima kasih diucapkan kepada Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi selaku komisi pembimbing. Juga kepada Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA selaku Ketua Program Magister Teknik Sipil dan Lingkungan dan Dr Ir Erizal MAgr selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Ir Deni Susanto dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, Ir M Ade Nugraha beserta staf Bagian Perencanaan dan Pelaporan DKP Kota Bogor, serta saudara Handi sebagai pelaksana lapangan di Rumah Kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Limbah Padat Pasar Tradisional 3

Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional 4

Aktivator Pengomposan 6

Pengomposan 8

Kualitas Kompos 15

3 METODE PENELITIAN 17

Waktu dan Tempat 17

Bahan dan Alat 17

Prosedur Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Identifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat Pasar Tradisional 20 Pengomposan Limbah Padat Organik Pasar Tradisional 24

Karakteristik Kompos 32

5 SIMPULAN DAN SARAN 36

Simpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 40

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan 6

2 Kandungan hara kotoran kambing 7

3 Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik 9 4 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan 14

5 Timbulan sampah pasar tradisional Kota Bogor 20

6 Karakteristik limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor 22 7 Komposisi bahan organik pasar dan kotoran kambing yang

dikomposkan 25

8 Perbandingan berat awal dan berat akhir kompos serta berat bahan

yang hilang 33

9 Beberapa indikator kematangan kompos 34

10 Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos 35

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional 4

2 Diagram alir penelitian 19

3 Indentifikasi komposisi sampah rata-rata pasar tradisional Kota Bogor 21 4 Bak pengomposan dengan sistem natural static pile 24 5 Perubahan suhu dan pertumbuhan mikroba selama proses pengomposan 26 6 Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan pertama 27 7 Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan dua 28

8 Curve fitting untuk variasi satu 29

9 Curve fitting untuk variasi dua 30

10 Curve fitting untuk variasi tiga 30

11 Curve fitting untuk variasi empat 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Standar Nasional Indonesia tentang spesifikasi kompos dari sampah

organik domestik (SNI 19-7030-2004) 40

2 Hasil uji karakteristik limbah padat organik pasar tradisional 41 3 Temperatur pengomposan perlakuan satu (variasi satu dan dua),

perlakuan dua (variasi tiga dan empat). 42

4 Pengukuran ketinggian permukaan pengomposan 43

5 Karakteristik kompos dari limbah padat organik pasar tradisional Kota

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam sayuran dan buah yang tidak layak jual (Armijo et al. 2010). Pengelolaan limbat padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi beban lingkungan (Rezaei et al. 2010). Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor tahun 2012 menerangkan bahwa jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 70%, sedangkan sisanya 30% tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada lingkungan. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut 90% organik dan hanya 10% anorganik. Namun, jika diolah menjadi kompos dan bernilai guna tinggi, tentu saja akan menjadi barang yang berharga. Mengolah limbah padat organik menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana.

Secara umum jenis sampah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai sekitar 75%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang penting. Pengomposan dapat mengendalikan bahaya pencemaran yang mungkin terjadi, serta dapat menghasilkan keuntungan bila diusahakan dengan baik. Hasil akhir dari proses pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan lahan pertanian, yaitu untuk memperbaiki sifat kimia, dan biologi tanah, sehingga produktivitas tanaman dapat lebih tinggi. Keunggulan usaha pengomposan antara lain teknologi yang dibutuhkan sederhana, biaya penanganan relatif rendah, serta dapat dilakukan dalam skala kecil maupun besar (Simamora dan Salundik 2006).

Torkashvand (2010) menyatakan bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk sangat baik karena dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain: (1) menyediakan unsur hara bagi tanah, (2) menggemburkan tanah, (3) memperbaiki struktur dan tekstur tanah, (4) meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi mikroorganisme tanah, (5) meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, (6) memudahkan pertumbuhan akar tanaman, (7) menyimpan air tanah lebih lama, (8) mencegah lapisan kering pada tanah, (9) mencegah beberapa penyakit akar, (10) menghemat pemakaian pupuk buatan, dan (11) menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan.

Berdasarkan hal tersebut di atas perlu diterapkan suatu teknologi untuk mengatasi limbah padat pasar tradisional, yaitu dengan menggunakan teknologi daur ulang limbah padat menjadi produk kompos yang bernilai guna tinggi. Pengomposan limbah padat pasar tradisional dengan sistem natural static pile

(14)

2

Perumusan Masalah

Usaha pengomposan limbah padat organik pasar tradisional belum sepenuhnya dilaksanakan, baik dalam skala kecil maupun besar. Atas dasar tersebut, maka penelitian ini diarahkan pada permasalahan sebagai berikut:

1. Seberapa besar komposisi limbah organik pasar tradisional dan bagaimana

karakteristiknya, dapatkah dijadikan sebagai bahan baku pengomposan.

2. Bagaimana cara mengomposkan limbah padat organik pasar tradisional

dengan sistem natural static pile.

3. Bagaimana kualitas kompos yang dihasilkan, apakah sesuai dengan baku

mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 19-7030-2004.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melakukan identifikasi dan karakterisasi limbah padat pasar tradisional. 2. Melakukan pengomposan limbah padat pasar tradisional.

3. Menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan dan membandingkan kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004).

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melakukan pengomposan dengan sistem natural static pile dari limbah padat pasar tradisional berupa sisa sayuran pada pasar tradisional, agar sampah yang dibuang ke TPA dapat dikurangi dan dapat mencegah pencemaran lingkungan akibat sampah serta menciptakan lingkungan pasar yang lebih bersih dan sehat. Penelitian ini juga dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Bogor agar dapat mendesain tempat pengomposan limbah padat organik, khususnya pasar tradisional sesuai dengan kapasitas limbah yang diproduksi.

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membatasi pembahasan dan menghindari kesalahan persepsi dalam memahami penelitian ini, maka pembahasan dibatasi hanya menganalisis karakteristik bahan baku pengomposan, melakukan pengomposan dengan sistem

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Padat Pasar Tradisional

Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang dihasilkan dari operasi komersial dan kegiatan masyarakat, tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran atau polutan pada sumber-sumber air, seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada keluaran air limbah, bahan terlarut pada aliran irigasi atau polutan air lainnya (Fagnano et al. 2011).

Menurut Queda et al. (2004) limbah padat atau sampah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, pertama sampah organik yakni sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, rumah tangga dan sebagainya, yang secara alami mudah terurai oleh aktifitas mikroorganisme. Kedua anorganik yakni sampah yang berasal dari sumber daya alam tidak dapat diperbaharui seperti mineral dan minyak bumi, atau hasil samping proses organik, tidak mudah hancur atau lapuk serta sebagian tidak dapat diuraikan oleh alam, sedangkan sebagian lainnya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Ketiga sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), merupakan sisa suatu usaha yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan bahkan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Pada umumnya sampah pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran dan buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas diperhitungkan. Dengan mengolah sampah pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi beban lingkungan (Herrera et al. 2008). Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor 2003 dalam Murniwati (2006) menerangkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan dari pasar tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 262 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 233 m3, sedangkan 29 m3 lagi tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada lingkungan.

Permasalahan yang timbul karena jumlah sampah yang terus bertambah, memerlukan upaya yang serius yang melibatkan semua pihak untuk dapat menanggulanginya secara berkesinambungan. Upaya minimalisasi sampah pasar, telah dilaksanakan pada tahun 2001 oleh Unesco bekerjasama dengan LSM dan pasar tradisional berupa Program Pasar Bersih/Propasih (Setyawan, 2006). Gambar 1 merupakan bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar.

(16)

4

Minimalisasi sampah dilakukan dengan pemilahan sampah di tingkat para pedagang dengan cara menyediakan tempat sampah yang berbeda untuk sampah basah dan sampah kering. Sampah basah meliputi sisa sayur, buah, ikan dan daun pembungkus, umumnya merupakan 80% dari seluruh sampah pasar. Sampah kering meliputi antara lain kertas, plastik, kayu, kain, logam dan kaca. Selanjutnya sampah basah dapat dijadikan kompos sedangkan sampah kering dapat diolah dan digunakan kembali. Langkah mengurangi sampah dari sumbernya tidak akan efektif tanpa peran aktif para pedagang sebagai penghasil utama sampah dan para pedagang juga yang merasakan dampak negatif sampah (Olfati et al. 2009).

Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional

Komposisi

Komposisi limbah padat pasar tradisional terdiri dari limbah padat organik dan anorganik. Limbah padat organik adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan pasar yang sifatnya cepat membusuk karena memiliki kadar air yang tinggi seperti sisa buah-buahan dan sayur-sayuran. Sedangkan sampah anorganik tidak cepat membusuk dan tidak mudah terurai atau hancur (Kumar 2010). Pengelompokan berikutnya yang juga sering dilakukan adalah berdasarkan komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau % volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain.

Gambar 1 Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional (Olfati et al. 2009)

PEDAGANG

Sayur, buah Ikan, daging Kelontong Lain-lain

PEMILAHAN DARI SUMBER SAMPAH

Sampah basah Sampah Kering

KOMPOS

Sampah kaca, logam

Sampah plastik

Sampah kayu

Residu

Residu

(17)

5 Rahman dan Ali (2004) menyatakan pengertian sampah organik lebih bersifat untuk mempermudah pengertian umum, untuk menggambarkan komponen sampah yang cepat terdegradasi (membusuk), terutama yang berasal dari sisa makanan. Sampah yang membusuk (garbage) adalah sampah yang dengan mudah terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan, pembuangan, maupun pengangkutannya. Pembusukan sampah ini dapat menghasilkan bau tidak enak, seperti ammoniak dan asam-asam volatil lainnya. Selain itu, dihasilkan pula gas-gas hasil dekomposisi, seperti gas metan dan sejenisnya, yang dapat membahayakan keselamatan bila tidak ditangani secara baik. Penumpukan sampah yang cepat membusuk perlu dihindari. Sampah kelompok ini kadang dikenal sebagai sampah basah, atau juga dikenal sebagai sampah organik. Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses dengan bantuan mikroorganisme, misalnya dalam pengomposan atau gasifikasi.

Sampah yang tidak membusuk pada umumnya terdiri atas bahan-bahan kertas, logam, plastik, gelas, kaca, dan lain-lain. Sampah kering sebaiknya didaur ulang, apabila tidak maka diperlukan proses lain untuk memusnahkannya, seperti pembakaran. Namun pembakaran atau refuse ini juga memerlukan penanganan lebih lanjut, dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara yang bermasalah, khususnya bila mengandung plastik PVC. Kelompok sampah ini dikenal pula sebagai sampah kering, atau sering pula disebut sebagai sampah anorganik (Kumar et al. 2009).

Murniwati (2006) menjelaskan bahwa sampah pasar yang terbanyak berupa sisa sayuran yaitu sebanyak 46.96 % dan yang berupa kertas, kardus, plastik, karet, pecahan kaca sekitar 41.16 % serta sampah lainnya sebanyak 11.88 %. Sampah yang berupa kertas, kardus, plastik, karet banyak dijumpai pada pedagang yang berjualan bahan-bahan pokok. Sampah jenis ini biasanya tidak dibuang tapi dikumpulkan untuk digunakan kembali. Sampah berupa sisa sayuran dan buah-buahan biasanya dibuang ke tempat pembuangan sehingga sampah pasar didominasi sampah jenis ini.

Monson dan Murugappan (2010) menyatakan bahwa dengan mengetahui komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang tepat dan yang paling efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Semakin bertambah sederhana pola hidup masyarakat, maka semakin bertambah banyak komponen sampah organik yang dihasilkan. Pemukiman dan pasar merupakan sumber sampah terbesar dengan komposisi sampah basah atau sampah organik sebesar 73-78%. Dengan kondisi seperti itu disertai kelembaban sampah yang tinggi, maka sampah akan sangat cepat membusuk.

Karakteristik

(18)

6

Tingginya kelembaban kedua jenis sampah organik dan anorganik tersebut karena komponen terbanyaknya merupakan sampah makanan. Seperti yang diketahui bahwa sampah makanan mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 70% dibandingkan dengan komponen sampah lainnya (Tucker 2009). Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya. Ada dua karakteristik sampah. Pertama karakteristik fisika yang meliputi densitas, kadar air, kadar volatil, kadar abu, nilai kalor dan distribusi ukuran. Kedua, karakteristik kimia khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S, dan sebagainya (Amouei et al. 2010).

Metode penentuan dan jumlah sampah sampel timbulan dan komposisi sampah kota di Indonesia telah diatur berdasarkan SNI 19-3964-1994. Sesuai metode SNI, penentuan timbulan dan komposisi sampah kota dilakukan terhadap semua sumber sampah yaitu domestik (rumah tangga) dan non domestik meliputi sampah komersial, institusi, pelayanan kota (sapuan jalan) dan industri. Dengan mengetahui timbulan, komposisi dan karakteristik sampah terutama yang berada dari sumber representatif, permasalahan dalam pengelolaan persampahan dapat dicegah dan diantisipasi sedini mungkin. Data ini juga dapat digunakan untuk mendesain pengelolaan sampah (terutama di sumber) dan teknologi pengolahan sampah yang tepat, sehingga pembuangan akhir sampah ke TPA dapat dikurangi, sesuai dengan pola yang diterapkan negara-negara maju dalam dekade ini (Setyorini et al. 2005).

Aktivator Pengomposan

Pierzynski et al. (2005) mendefinisikan bahwa setiap zat atau bahan yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik dalam tumpukan kompos disebut sebagai aktivator. Aktivator tersebut mempengaruhi tumpukan kompos melalui dua cara, yaitu inokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan organik dan meningkatkan kadar nitrogen yang merupakan makanan dari mikroorganisme tersebut.

Setyawan (2006) menyatakan bahwa kotoran hewan yang berasal dari usaha peternakan adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah dari pada pupuk kimia, sehingga takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi. Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan

(19)

7 Namun demikian, Setyorini et al. (2005) menambahkan bahwa hara dalam kotoran hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa komplek organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Oleh karena itu pengelolaan dan pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.

Menurut Tan (dalam Satyorini et al. 2005) menjelaskan bahwa kotoran sapi mengandung unsur N sebanyak 0.498%, unsur P 71.75 ppm, unsur K 15.18 me/100gr, unsur Ca sebanyak 5.82 me/100gr, unsur Mg 9.04 me/100gr, dan unsur C sebanyak 25.05%. Nisbah C/N kotoran sapi 50.30. Kotoran ayam mengandung unsur N, P, K, Ca, Mg, dan C berturut-turut sebanyak sebanyak 0.824%; 236.5 ppm; 24.38 me/100gr; 3.74 me/100gr; 8.93 me/100gr; dan 25.68%. Nisbah C/N kotoran ayam adalah 31.17. Kotoran kambing mengandung N, P dan K berturut-turut 1.28%, 0.19%, dan 0.93% (Setyorini et al. 2005). Nazif (2011) menyatakan kandungan hara khusus kotoran kambing ditunjukkan pada Tabel 2.

Meskipun kotoran ternak ini memiliki sejumlah manfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman, tetapi dalam penggunaan hendaknya berhati-hati. Kotoran yang baru dikeluarkan oleh ternak belum dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, tetapi masih sebagai kotoran ternak. Jika kotoran ternak ini diberikan pada tanaman, maka yang terjadi pada tanaman tersebut tidak akan menambah kesuburan, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan tanaman layu atau bahkan mati.

Tabel 2 Kandungan hara kotoran kambing

Kandungan hara Nilai Satuan

C-organik 3.77 %

N-total 0.55 %

P2O5 0.44 %

K2O 0.32 %

CaO 2.00 %

MgO 0.44 %

Fe 0.77 %

Mn 0.053 %

Zn 152 ppm

Co 3 ppm

(20)

8

Hal ini disebabkan kotoran ternak masih mentah atau menurut istilah petani masih panas (Xie et al. 2006).

Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat, memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono et al. 2011).

Pengomposan

Proses pengomposan

Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Ojoawo et al (2011), selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30–40% dari volume atau bobot awal bahan (Xi

et al. 2012).

Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik atau anaerobik. Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia dan H2S (Rao et al. 2009).

(21)

9 Domingo dan Nadal (2009) mendefinisikan pengomposan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi yang terkontrol. Proses tersebut dapat menggunakan atau tidak menggunakan oksigen. Proses yang menggunakan oksigen disebut aerobik sedangkan proses yang tidak menggu-nakan oksigen disebut proses anaerobik. Pengomposan secara aerobik dapat memproduksi kompos secara cepat dan produksinya relatif bebas patogen, sedangkan yang secara anaerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lama dan jarang bebas dari patogen dan masalah bau. Tweib et al. (2011) menyatakan pengomposan adalah suatu proses biokimia yang mendekomposisi bahan-bahan organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroba heterofilik yang berbeda-beda, yang meliputi bakteri, kapang, protozoa dan aktinomicetes. Mikroba solulolitik dan lignolitik sangat berperan dalam mendekomposisikan komponen dari bahan organik yang terdegradasi secara lambat. Proses pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, aktivator pengomposan yang dipergunakan dan metode pengom-posan yang dilakukan.

Faktor yang mempengaruhi pengomposan

Secara umum, faktor yang paling mempengaruhi proses pengomposan adalah karakteristik bahan yang dikomposkan, bioaktivator yang digunakan, serta metode pengomposan yang diaplikasikan. Paulin dan O'malley (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dapat dirinci sebagai berikut:

a. Rasio C/N

Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan di seluruh bagian sampah organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi mikroba sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi mikroba. Nilai rasio C/N tergantung pada jenis sampah pada Tabel 3, namun rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.

Tabel 3 Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik

(22)

10

Tabel 3 menunjukkan perbandingan kandungan C dan N dalam berbagai bahan organik. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30-40, mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga penguraian berjalan lambat (Paulin dan O’malley 2008).

b. Ukuran partikel

Ukuran partikel sangat menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Pori yang cukup akan memungkinkan udara dan air tersebar lebih merata dalam tumpukan. Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut, dimana ukuran partikel yang optimal untuk pengomposan adalah 2-10 cm. Partikel yang berukuran besar akan menghambat aerasi dan kinerja mikroba sehingga proses pematangan akan membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, semakin meningkatnya kontak antara mikroba dengan bahan maka proses penguraian juga akan semakin cepat (Ojoawo

et al. 2011).

c. Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen. Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan amonia yang berbau menyengat. Aerasi dapat ditingkatkan dengan pembalikan atau pengaliran udara ke tumpukan kompos (Li dan Xu 2007).

d. Porositas

Porositas adalah rongga diantara partikel di dalam tumpukan kompos yang berisi air atau udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga memiliki kandungan air yang cukup banyak, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan akan terganggu. Porositas dipengaruhi oleh kadar air dan udara dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi porositas yang ideal pada saat pengomposan, perlu diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos (Deddy 2005).

e. Kelembaban

(23)

11

f. Temperatur

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba diakibatkan oleh peningkatan suhu dan konsumsi oksigen yang memiliki hubungan berbandingan lurus. Semakin tinggi suhu, maka akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses penguraian. Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan menghasilkan CO dari hasil metabolisme mikroba sehingga bahan organik semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30ºC-60ºC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dari 60ºC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu, karena akan mematikan mikroba termofilik (Elango et al. 2009).

g. pH

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5-9. Proses pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Kadar pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air hujan juga dapat menimbulkan masalah pH tinggi (Monson dan Murugappan 2010).

Kompos

Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa berdasarkan komposisi kandungan unsur hara yang ada pada sampah organik maka, kompos berbahan baku sampah pasar dapat menjadi kompos yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari kandungan hara makro dan mikro kompos yang lengkap serta mikroorganisme menguntungkan bagi tanah. Hartatik dan Widowati (2007) menyatakan bahwa penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Yuwono 2004). Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.

a. Sifat fisika

(24)

12

tanah sehingga proses erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Takaran kompos sebanyak 5 ton/ha meningkatkan kandungan air tanah pada tanah-tanah yang subur (Adhikari 2005).

b. Sifat kimia

Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P-tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua yang terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunan senyawa-senyawa tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang dekomposisinya lambat ialah inositol. Pada tanah alkalin, terbentuk inositol fosfat dengan Ca atau Mg, sedangkan pada tanah masam dengan Al atau Fe. P-anorganik dalam bentuk Al-Fe; Ca-P yang tidak tersedia bagi tanaman, akan dirombak oleh organisme pelarut P menjadi P-anorganik yang larut atau tersedia bagi tanaman (Zhang et al. 2013).

Selain itu, kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikromineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebih peka terhadap perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent charge). Pada nilai pH 3.5, KTK liat dan C-organik sebesar 45.5 dan 199.5 me 100 g-1 sedangkan pada pH 6.5 meningkat menjadi 63 dan 325.5 me 100 g-1. Nilai KTK mineral liat kaolinit (3-5 me 100 g-1), illit (30-40 me 100 g-1), montmorilonit (80-150 me 100 g-1) sedangkan pada asam humat (485-870 me 100 g-1) dan asam fulfat (1.400me 100 g-1). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah dapat meningkatkan nilai KTK tanah (Gautam et al. 2010).

Deteksi emisi bau dari fasilitas pengomposan yang dilakukan dengan menggunakan QCM (Quartz Crystal Microbalance) yaitu seperangkat alat sensor kristal kuarsa yang dilapisi dengan bahan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa perubahan frekuensi emisi bau telah terdeteksi selama perubahan periode pengomposan. Analisis kimia menunjukkan bahwa emisi bau terdiri dari sedikitnya 22 senyawa berbau dilepaskan dari fasilitas pengomposan (Yuwono et al. 2003).

c. Sifat biologi

(25)

13 mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO yang dihasilkan 2 mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam kompos. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, karena bahan organik memacu perkembangan musuh alami nematoda, yaitu cendawan dan bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab penyakit bintil akar pada akar tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh penggunaan pupuk urea yang intensif.

Peigné dan Girardin (2004) menyatakan kompos merupakan bentuk akhir dari bahan-bahan organik sampah domestik dan pasar yang telah mengalami proses penguraian. Kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut:

1. C/N rasio mempunyai nilai 10-20 2. Suhu sesuai dengan suhu air tanah

3. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah 4. Berbau tanah

Pengolahan kompos untuk meningkatkan kualitas kompos antara lain dapat dilakukan dengan cara: pengeringan, penghalusan, pembuatan granul, dan pengemasan. Kompos dengan kualitas tinggi sesuai dengan kriteria tabel SNI pada Lampiran 1.

Dengan adanya SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk kompos, maka dapat dinilai mutu kompos yang dihasilkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil kompos yang dibuat bermutu tinggi jika memenuhi SNI kompos. Karena mutu dan kualitas kompos akan berpengaruh pada penjualan produk kompos ke pasaran. Kompos dengan kualitas tinggi dan harga jual yang terjangkau akan banyak dicari oleh para konsumen. Oleh karena itu, proses pembuatan kompos dari sampah organik pasar harus dilakukan secara cermat dan teliti. Mutu kompos yang baik dapat dihasilkan selain dari bahan kompos yang baik (sampah), juga tergantung dari proses pembuatan kompos (pengomposan) yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan.

Fungi utama kompos adalah membatu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikro-organisme dalam tanah (Simamora dan Salundik 2006).

(26)

14

kerena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstrur, dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna menjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang.

Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa rata-rata produksi sampah rumah tangga di Indonesia 2.6 liter per orang /hari atau rata-rata 15 liter/keluarga per hari. Sekitar kompos 50-80% (7.5 – 12.5 liter) merupakan sampah organik yang dapat diolah menjadi kompos. Manfaat yang diperoleh dari segi teknologi yaitu penerapan teknik penanggulangan sampah yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan teknik yang lain seperti landfill dan pembakaran, mudah dipelajari dan diterapkan serta membutuhkan modal yang relatif sedikit. Dari segi ekonomi dapat menghemat biaya pengololaan sampah dan memenuhi kebutuhan pupuk organik sendiri. Dari segi ekologi akan mengurangi pencemaran akibat sampah, dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat, dan mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan mengurangi pemakaian pestisida dan herbisida. Sedangkan dari segi sosial, dapat menciptakan kesempatan kerja dengan pendapatan yang layak dan menciptakan image positif atau meningkatkan citra kepedulian terhadap lingkungan (Seo et al. 2003).

Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B (Stoffella dan Kahn 2001). Pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara alamiah dengan bantuan organisme pengurai. Tabel 4 menjelaskan organisme yang terlibat dalam proses pengomposan.

Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan protozoa (Sullivan 2010). Mikrorganisme ini secara alami tersedia pada bahan organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah organik lainnya (Rahman dan Ali 2004).

Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Phosphor (P), Sulfur

Tabel 4 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan Mikroba Jumlah populasi mikroba pada fase

Mesofilik < 40oC Termosofilik < 40o- 70oC

(27)

15 (S), dan hara lainnya. Karbon berfungsi sebagai sumber energi sedangkan nitrogen sebagai pertumbuhan populasi mikroba. Agar efektif, C/N ratio yang tepat diperlukan untuk pengomposan yang efisien. Apabila C/N terlalu rendah, maka akan kehilangan amonia (NH3), sedangkan jika C/N terlalu tinggi maka pelambatan dekomposisi terjadi (Buffiere et al.2008).

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air suplai oksigen, suhu dan pH. Dimambro et al. (2007) mengungkapkan bahwa pengomposan dipengaruhi oleh kandungan air, suhu, waktu, ukuran partikel, suplai oksigen, rasio C/N dan pH.

Kualitas Kompos

Perbaikan kualitas kompos yang belum memenuhi persyaratan SNI 19-7030-2004 dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik yang dapat meningkatkan kandungan unsur hara yang kurang, ataupun penambahan bahan organik lainnya yang dapat menurunkan kandungan unsur hara yang berlebih. Perbaikan kualitas kompos yang tidak sesuai dengan persyaratan dapat dilakukan melalui proses pengomposan kembali.

Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Paulin dan O’malley 2008). Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.

Kematangan kompos

Kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman dan benih rumput. Oleh sebab itu kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos. Setelah matang pada hari ke-30, kemudian dilakukan uji laboratorium akhir untuk mengetahui karakteristik kompos matang (Amir et al. 2008).

(28)

16

1. Dicium/dibaui; kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum, meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos belum matang.

2. Warna kompos; warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang.

3. Penyusutan; terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20–40 %. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.

4. Tes kantong plastik; contoh kompos diambil dari bagian dalam tumpukan. Kompos kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik, ditutup rapat, dan disimpan di dalam suhu ruang selama kurang lebih satu minggu. Apabila setelah satu minggu kompos berbentuk baik, tidak berbau atau berbau tanah berarti kompos telah matang.

5. Tes perkecambahan; contoh kompos diletakkan di dalam bak kecil atau beberapa pot kecil, kemudian diletakkan beberapa benih (3 atau 4 benih). Jumlah benih harus sama. Pada saat yang bersamaan dikecambahkan juga beberapa benih di atas kapas basah yang diletakkan di dalam bak dan ditutup dengan kaca atau plastik bening. Benih akan berkecambah dalam beberapa hari, sehingga pada hari ke-5 atau ke-7 dapat dihitung jumlah benih yang berkecambah, selanjutnya dibandingkan jumlah kecambah yang tumbuh di dalam kompos dan di atas kapas basah. Kompos yang matang dan stabil ditunjukkan oleh banyaknya benih yang berkecambah.

6. Suhu; Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif.

7. Kandungan air kompos; kompos yang sudah matang memiliki kandungan kurang lebih 55-65%.

Kualitas kompos

Kompos yang telah matang berbau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat kehitam-hitaman, yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Sedangkan bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah hancur akibat penguraian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Hal ini sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004.

(29)

17

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tiap tahapan dilaksanakan pada waktu dan tempat yang berbeda. Tahap pertama mengidentifikasi komposisi dan karakteristik Limbah padat diproleh dari 7 pasar tradisional di Kota Bogor yaitu Ps. Kebon Kembang, Ps. Bogor Baru, Ps. Merdeka, Ps. Jambu Dua, Ps. Gunung Batu, Ps. Sukasari dan Ps. Padasuka. Pengujian karakteristik sampel dilaksanakan di laboratorium pengujian Depertemen Teknologi Industri Pertanian IPB. Waktu pelaksanaan mulai dari bulan Juni sampai Juli 2012. Tahap kedua dilakukan pengomposan limbah padat organik pasar tradisional dengan sistem natural static pile, bertempat di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, mulai bulan Agustus sampai November 2012, dengan dua periode pengulangan. Tahap ketiga dilaksanakan pasca pengomposan yaitu analisis karakteristik kompoas dari bulan Desember 2012 sampai Januari 2013 di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian, Bogor, Jawa Barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam peneltian ini adalah limbah padat pasar tradisional untuk tahap pertama, serta limbah padat organik pasar tradisional sebanyak 3.7 m3 (1 114 kg) dan kotoran kambing sebanyak 1.1 m3 (470 kg) untuk tahap kedua. Pada tahap ketiga digunakan 1 kg kompos yang sudah matang.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, pita ukur, moisture tester, keranjang sampah ukuran 50 liter, sarung tangan, timbangan, hebel untuk membuat bak pengompoasan, sekop, cangkul, pengki, sepatu boot, terpal, spidol, karung, pipa PVC, pengayak, sapu, alat tulis, kantong plastik dan kamera digital.

Prosedur Analisis Data

(30)

18

dengan metode analisis laboratorium. Sampel diambil sebanyak 2 kg dari campuran limbah organik pasar tanpa adanya pemisahan lanjutan. Selanjutnya limbah organik yang telah dianalisis dapat diketahui kadar air, pH dan paramaeter lainnya.

Tahap kedua dilakukan pengomposan limbah padat organik dari pasar tradisional dengan empat variasi yang berbeda. Variasi pertama pengomposan sampah organik pasar dicampur dengan kotoran kambing dengan perbandingan 1:1 (300 kg sampah pasar dan 300 kg kotoran kambing). Komposisi sampah pasar adalah kubis = 76 kg, seledri = 44 kg, daun bawang = 46 kg, kembang kol = 69 kg, sawi = 48 kg, dan petsai = 17 kg. Total seluruh sampah organik pasar adalah 300 kg dicampur dengan kotoran kambing. Selanjutnya sampah organik beserta kotoran kambing dimasukkan ke dalam bak yang terbuat dari susunan hebel, berbentuk empat persegi dengan ukuran panjang = 175 cm, lebar = 110 cm, dan tinggi = 100 cm. Sistem pemasukan secara selang-seling, dimana lapisan pertama dimasukkan sebanyak satu karung kotoran kambing selanjutnya dimasukkan sampah organik pasar kemudian dimasukkan lagi kotoran kambing dan seterusnya. Berbeda halnya dengan variasi dua hanya menggunakan sampah organik pasar saja. Setelah bak disiapkan dengan ukuran yang sama dengan bak pada variasi pertama, sampah organik pasar dengan komposisi kubis = 75 kg, seledri = 43 kg, daun bawang = 46 kg, kembang kol = 70 kg, sawi =48 kg dan petsai = 18 kg, dimasukkan ke dalam bak dua.

Variasi tiga, pengomposan sampah organik pasar dicampur dengan kotoran kambing, tapi berbeda dengan variasi pertama. Komposisi sampah pasar pada variasi ini adalah seledri = 71 kg, daun bawang = 80 kg, kembang kol = 125 kg, sawi = 83 kg dan petsai = 23 kg serta campuran kotoran kambing sebanyak 85 kg. sama halnya dengna variasi tiga, variasi empat juga menggunakan kotoran kambing sebanyak 85 kg, tetapi sampah organik pasar yang digunakan hanya jenis kubis (kol) sebanyak 132 kg. Ukuran bak yang digunakan sebagai tempat pengomposan juga berbeda ukuran dengan variasi satu dan dua. Variasi tiga dan empat ukuran bak yang digunakan adalah panjang = 120 cm, lebar = 110 cm dan tinggi = 100 cm.

Perlakuan variasi satu dan variasi dua dilaksanakan pada periode yang sama yaitu dari tanggal 8 Juli sampai 1 September 2012, selama 8 minggu (56 hari). Sedangkan variasi tiga dan empat dilaksanakan pada periode 17 Oktober sampai 11 Desember 2012 selama 8 minggu (56 hari). Setelah pengomposan selama 8 minggu, kompos dikeluarkan dari bak pengomposan dan dilakukan penjemuran selama 2 atau 3 hari agar kompos kering dan mudah dilakukan pengayakan.

(31)

19

Gambar 2 Diagram alir penelitian START

Input: Limbah Padat Organik Pasar

Tradisional

Identifikasi dan Kerakterisasi Limbah Padat

Pasar Tradisional

Proses Pengomposan

Analisis Karakteristik Kompos

Analisis Mutu berdasarkan SNI 19-7030-2004

(32)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat Pasar Tradisional

Timbulan limbah padat pasar

Timbulan limbah padat pasar tradisional adalah jumlah atau banyaknya sampah yang dihasilkan oleh pedagang pada suatu pasar. Data mengenai timbulan sampah ini sangat diperlukan untuk desain sistem pengelolaan persampahan, seleksi jenis/tipe peralatan untuk transportasi sampah dan desain TPA. Untuk penentuan timbulan sampah ini dapat digunakan satuan volume dan satuan berat. Hasil penelitian diperoleh rata-rata timbulan sampah pasar Kota Bogor untuk satuan volume adalah 330 m3/hari dan untuk satuan berat adalah 79 860 kg per hari (79.8 ton/hari). Sedangkan sampah yang dihasilkan oleh tujuh pasar tradisionnal Kota Bogor yang dikelola oleh Koperasi Pasar (KOPPAS) yang bekerja sama dengan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Pakuan Jaya, menghasilkan limbah padat 115 m3/hari (27 830 kg atau 27.83 ton perhari).

Timbulan sampah yang dihasilkan oleh sumber pasar tradisional pada hari libur yaitu Sabtu dan Minggu cenderung lebih di atas rata-rata yaitu 28 ton per hari, lebih banyak dibandingkan pada hari kerja. Tingginya timbulan sampah pada hari libur ini, disebabkan kecenderungan masyarakat yang memanfaatkan waktu libur untuk berbelanja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga jumlah sampah pun meningkat. Hal ini terutama terlihat pada pasar Kebon Kembang dan pasar Bogor Baru. Timbulan sampah tujuh pasar tradisional Kota Bogor yang dikelola oleh KOPPAS ditunjukkan pada Tabel 5.

Koperasi Pasar (KOPPAS) dipercayai oleh PD Pasar Pakuan Jaya untuk mengelola sampah ke-7 pasar tersebut. Sampah yang berasal dari para pedagang diambil oleh petugas kebersihan dari KOPPAS dan dikumpulkan dalam gerobak atau keranjang bambu. Pengambilan sampah dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Sampah yang telah dikumpul dalam keranjang atau gerobak lalu dibawa ke TPS. Selanjutnya petugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan membawa

Tabel 5 Timbulan sampah pasar tradisional Kota Bogor

(33)

21 sampah di TPS tersebut ke TPA. Bila tidak semuanya terangkut pada hari tersebut akan diangkut pada hari berikutnya, sehingga sampah tidak ada yang tertinggal di TPS.

Komposisi limbah padat pasar

Komposisi sampah merupakan penggambaran dari masing-masing komponen yang terdapat dalam buangan padat dan distribusinya, biasanya dinyatakan dalam persen berat (%) (Murniwati 2006). Sampah pasar memiliki komposisi yang sedikit berbeda dengan sampah dari perumahan. Komposisi sampah pasar lebih dominan sampah organik. Sampah-sampah plastik jumlahnya lebih sedikit dari pada sampah perumahan, apalagi jika sampahnya berasal dari pedagang sayur atau buah. Komposisi sampah dapat digunakan untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan saling efisien sehinga dapat diterapkan proses pengelolaannya. Komposisi limbah padat organik di pasar tradisional Kota Bogor jauh lebih besar dibandingkan dengan sampah anorganik. Komposisi sampah organik sebesar 90%, sedangkan sisanya atau 10% merupakan sampah anorganik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3 menunjukkan bahwa identifikasi sampah organik merupakan komponen sampah yang terbesar dengan persentase komposisi rata-rata sebesar 90% dari seluruh sampah pasar yang ada. Komposisi sampah organik berupa sampah sayuran, buah, umbi-umbian dan bumbu dapur sedangkan jenis sampah pasar lainnya yang terdiri dari sampah jenis plastik (3%) seperti kantong plastik, bungkusan makanan dan minuman, sampah kertas/kardus 4%, sampah kayu berupa tempat buah sebanyak 2% dan lain-lain sepeti jenis gelas dan kaleng sebanyak 1%. Berdasarkan pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa sampah organik sebagian besar dihasilkan oleh pedagang sayaur, buah dan ikan, sedangakan selain sampah organik lebih banyak dihasilkan dari pedagang kelontong.

Gambar 3 Indentifikasi komposisi sampah rata-rata pasar tradisional Kota Bogor

Organik 90% Plastik 3%

Kertas/kardus 4%

Kayu 2%

(34)

22

Informasi tentang komposisi sampah dibutuhkan untuk penentuan luas areal tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan pengolahan sampah secara biologi seperti pengolahan composting.

Karakteristik limbah padat pasar

Setelah diketahui komposisi limbah padat pasar maka selanjutnya akan mudah untuk dilakukan pegelolaan limbah padat pasar tradisional. Salah satu proses pengelolaannya adalah dengan cara pengomposan karena persentase terbanyak adalah bahan organik. Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan untuk pengomposan terlebih dahulu di anaisis karakteristik dari bahan tersebut. Jenis bahan tersebut di antaranya adalah kobis (kol), seledri, daun bawang, kembang kol, sawi dan petsai. Pertimbangan mengenai pemakaian beberapa jenis bahan di atas adalah karena keberadaan bahan tersebut melimpah di pasar tradisional dalam bentuk sampah.

Analisis karakteristik sampah sangat diperlukan dalam desain sistem pengelolaan sampah, terutama dalam hal pengolahan sampah pasar. Tabel 6 di bawah ini merupakan kerakteristik sampah organik pasar tradisional Kota Bogor yang dapat dikomposkan.

Hasil pengukuran di laboratorium pengujian departemen Teknologi Industri Pertanian IPB untuk mengetahui karakteristik sampah yang akan dikomposkan. Dari hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa secara umum bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini dapat diolah menjadi kompos (pengomposan), hal ini dapat diketahui dari nilai tiap parameter tersebut dan metode yang digunakan pada Lampiran 2. Kadar air yang tinggi 93.79% berat basah, merupakan salah satu tanda bahwa bahan mudah membusuk dan terdekomposisi. Kadar ini akan berkurang 40-50% setelah mengalami proses pengomposan, karena bahan tersebut sudah terurai oleh mikroorganisme.

1. Berat jenis

Hasil penelitian didapatkan berat jenis limbah padat organik dari pasar tradisional di Kota Bogor adalah 242 kg/m3. Azkha (2010), komponen sampah sisa makanan berat jenisnya adalah 0.29 kg/liter (290 kg/m3), sedangkan untuk berat jenis sampah kertas dan plastik adalah 0.07-0.09 kg/liter atau rata-rata 0.08

Tabel 6 Karakteristik limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor

Parameter Nilai Satuan

Kadar air 93.00 % bb

pH 5.82 -

Bahan organik 5.43 mg/kg

Carbon 2.80 %

Nitrogen 0.33 mg/kg

Phosfat 919.20 mg/kg

Kadar abu 0.78 % bk

(35)

23 kg/liter (80 kg/m3). Berat jenis kotoran kambing (pupuk kandang) yang digunakan sebagai aktivator pengomposan dalam penelitian ini adalah 0.342 kg/liter (342 kg/m3). Hasil pengukuran ini didapatkan dengan cara dimasukkan 8.5 kg kotoran kambing ke dalam sebuah kotak kardus berukuran 40 cm x 27 cm x 23 cm, sehingga volume kotak adalah 24 840 cm3 (0.02484 m3). Densitas atau berat jenis kotoran kambing adalah berat 8.5 kg dibagi dengan volume 0.02484 m3 dan hasilnya adalah 342 kg/m3.

2. Ukuran dan distribusi partikel

Penentuan ukuran dan distribusi partikel sampah digunakan untuk menentukan jenis pengolahan sampah, terutama untuk memisahkan partikel besar dengan partikel kecil. Bahan yang berukuran kecil akan lebih cepat terdekomposisi melalui peningkatan luas permukaan kontaminasi intuk aktifitas mikroba perombak, walau bahan yang berukuran besar juga dapat menghasilkan kualitas kompos yang memuaskan. Rata-rata distribusi partikel limbah padat pasar tradisional di Kota Bogor umumnya berukuran kecil dari 150 mm . Hal ini berarti limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor dapat dikelola dengan sistem

composting. Dengan ukuran partikel sampah yang relatif seragam diharapkan proses pembuatan kompos akan berjalan sempurna dalam waktu yang relatif sama.

Distribusi ukuran partikel sampah mempengaruhi perencanaan pengolahan sampah untuk pengomposan. Pada pengomposan ukuran partikel yang kecil akan mempercepat proses pembusukan.

3. Kelembaban (kadar air)

Penentuan karakteristik kimia sampah diperlukan dalam mengevaluasi alternatif suatu proses dan sistem recovery yang dapat dilakukan pada suatu limbah padat, misalnya untuk mengetahui kelayakan proses pembakaran sampah dan pengolahan biologis. Dengan mengetahui kelembaban atau kadar air sampah dapat ditentukan frekuensi pengumpulan sampah. Frekuensi pengumpulan sampah dipengaruhi oleh komposisi sampah yang dikandungnya. Kadar air yang tinggi 93.79% berat basah, merupakan salah satu tanda bahwa bahan mudah membusuk dan terdekomposisi. Kadar ini akan berkurang 40-50% setelah mengalami proses pengomposan, karena bahan tersebut sudah terurai oleh mikroorganisme.

Penelitian menunjukkan kadar air atau kelembaban limbah padat organik pasar tradisional berkisar 93.79% berat basah. Hal ini sedikit lebih tinggi dengan literatur dimana untuk sampah pasar tipikal kelembaban adalah 70–90% (Choiriah 2006). Kelembaban sampah juga dipengaruhi oleh komposisi sampah, musim dan curah hujan.

4. Kadar abu

(36)

24

5. Rasio C/N

Rasio C/N merupakan faktor penting dalam mendesain pengolahan sampah biologi seperti dalam proses pembentukan kompos. Rasio C/N sampah pasar tradisional Kota Bogor dalam penelitian ini sebesar 28. Dari literatur nilai optimum rasio C/N antara 25 – 50. Hal ini berarti, dilihat dari rasio C/N sampah pasar tradisional Kota Bogor dapat diolah secara biologi dengan proses

composting.

Pengomposan Limbah Padat Organik Pasar Tradisional

Komposisi bahan baku pengomposan

Pada dasarnya semua bahan organik dapat dikomposkan baik yang berasal dari domestik maupun pusat-pusat perdagangan. Namun dalam penelitian ini hanya limbah organik padat dari pasar tradisional yang dikomposkan. Proses pengomposan sangat tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, aktivator pengomposan digunakan katoran kambing yang mudah didapatkan di perkampungan sekitar tempat penelitian dan metode pengomposan yang dilakukan secara alami (natural), yaitu bahan dimasukkan ke dalam bak yang telah disiapkan dengan ukuran panjang = 175 cm, lebar = 110 cm dan tinggi = 100 cm untuk variasi pertama dan kedua. Sedangkan ukuran bak untuk variasi tiga dan empat lebih kecil yaitu panjang = 120 cm, lebar = 110 cm dan tinggi = 100 cm, dengan sistem tumpukan (pile). Desain bak untuk pengomposan limbah padat pasar tradisional ditunjukkan pada Gambar 4.

Pembuatan kompos secara alami adalah pembuatan kompos dimana proses pembuatannya berjalan dengan sendirinya. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan, menyusun bahan, untuk selanjutnya proses pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama yaitu mencapai 6-8 minggu.

Salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan proses pembuatan kompos adalah memperoleh kombinasi campuran bahan baku sedemikian rupa sehingga memperoleh hasil akhir berupa kompos yang memiliki pebandingan C/N terbesar

(37)

25 10-12, hal ini juga dipengaruhi oleh aktivator yang digunakan berupa kotoran hewan. Kotoran hewan yang dapat digunakan adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda dan sebagainnya. Adapun komposisi bahan yang dikomposkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tiap variasi memiliki perbedaan komposisis bahan yang digunakan. Variasi satu menggunakan 300 kg sampah pasar dan 300 kg kotoran lambing, sedangkan pada variasi dua hanya menggunakan 300 kg sampah pasar saja. Adapun waktu perlakuannya sama yairtu selama 8 minggu (56 hari) dari tanggal 8 Juli sampai 30 Agustus 2012. Sedangkan variasi tiga dan empat waktu perlakuannya selama 8 minggu dari tanggal 17 Oktober sampai 10 Desember 2012 dengan komposisi yang berbeda, yaitu campuran kotoran kambing dengan sampah pasar selain sayur kubis, sedangkan pada variasi empat hanya sayur kubis yang dicampurkan dengan kotoran kambing. Perbedaan ini akan menunjukkan hasil dari tiap-tiap variasi.

Pengomposan dengan sistem natural static pile

Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri

termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70oC. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.

Gambar

Gambar 1 Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional
Tabel 3 Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik
Gambar 2 Diagram alir penelitian
Gambar 4 Bak pengomposan dengan sistem natural static pile
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini telah diamati kaitan antara jenis sol sepatu lari yang digunakan pelari dengan gaya reaksi tanah (GRF) saat fase stance yang dialaminya. Dari analisis

Menuju ST K.Kontak Menuju massa Dari (-) baterai ke (-) motor starter Dari (+) baterai ke relay starter Dari relay starter ke (+) motor starter Kabel dari Relay starter ke ST

Staf Medis Tamu, yaitu Dokter dari luar RSUD yang karena reputasi dan/atau keahliannya diundang secara khusus oleh Direktur untuk membantu menangani kasus-kasus

PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN Dapatan kajian ini menunjukkan bahawa penguasaan bahasa Inggeris berupaya bertindak sebagai pemboleh ubah peramal yang penting kepada tahap keberkesanan

Selain itu juga berdasarkan wawancara, sebagian besar karyawan PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Putri Hijau Medan menyatakan sangat tidak puas sekali terhadap posisi karir yang

Dari hasil wawancara kami, Dapat disimpulkan bahwa Adi Erzal sebagai owner dari Jakcloth Store adalah seorang leader yang mempunya tipe kepemimpinan Transformasional

Berdasarkan tabel distribusi Hubungan mutu pelayanan antenatal care dengan tingkat kepuasan responden ibu hamil di Puskesmas Pekapuran Raya Banjarmasin Tahun 2013 yang