• Tidak ada hasil yang ditemukan

The concept of community empowerment in Kerinci Seblat National Park (KSNP), Musi Rawas Regency, South Sumatera - Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The concept of community empowerment in Kerinci Seblat National Park (KSNP), Musi Rawas Regency, South Sumatera - Indonesia"

Copied!
678
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KAWASAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT (TNKS)

WILAYAH KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

NANTI KASIH

P062030141

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Disertasi Konsep Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah Kabupaten Musi Rawas – Sumatera Selatan adalah karya penulis dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi.

Bogor, Januari 2012

(3)

iii ABSTRACT

NANTIKASIH. The Concept of Community Empowerment in Kerinci Seblat National Park (KSNP), Musi Rawas Regency, South Sumatera - Indonesia. Supervised by HADI S ALIKODRA, ARIS MUNANDAR, and SAMBAS BASUNI

Indonesia is blessed with unimaginable natural resources and abundant biodiversity. In order to preserve the resources, a proper and responsible management should be engendered. One of the conservation areas that has been established is Kerinci Seblat National Park (TKNS), that occupied an area of 1.372 million ha, located across four provinces from Jambi, Bengkulu, South Sumatera, and West Sumatera, and the national park also covered 13 district which one of them is Musi Rawas Regency, South Sumatera. Various studies have reported that the local people are still living under severe poverty line. In Musi Rawas regency, an area of 34 administrative villages, where TKNS also belongs to this district, 26 villages are categorized as underdeveloped spots that inhabited by 39,877 poor people or equal as 43 % of the total population. According to Nugraha (2005), the powerlessness of people that resulted into poverty is not caused by cultural or natural factors, but structural unfairness. In general, the factors can be divided into two classes, internal and external factors. From the analysis, it is found that the factors of natural, human, and socio-culture resources with high indigenous wisdom cannot be managed optimally to unleash local people from helpless situation. It is due to the low education and healthcare status, limited availability of employments that are environmentally friendly, low participation in managing the national park, geographic condition, and limited infrastructure that triggered limited access to social and economic institution, lastly it is about poor perception of society towards conservation area. The existence of external factors for instance supporting legislation, government regulation, training, and financial bodies that strengthen community empowerment is still nonchalant. These phenomena are mostly caused by low capacity of government officials such as HR Manager, and financial resources management. Furthermore, by using Analysis Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis, the concept of social empowerment can be formulated. This concept covers the Integrated-Collaborative Community Empowerment, the practical aspect of empowerment that can detach the society from weakening internal and external factors so that the society can be more prepared to seize the opportunities that are benevolent to increase their life status such as infrastructure development, economic services, environment services of National Park (clean water and medicinal plants) including carbon binding to sustain the conservation area of TKNS, human capital improvement and increased the community participation.

(4)

iv RINGKASAN

NANTIKASIH. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Wilayah Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, ARIS MUNANDAR, and SAMBAS BASUNI

Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab agar tidak rusak atau bahkan punah. Pengelolaan yang bertanggung jawab diantaranya adalah melalui kebijakan pengembangan kawasan konservasi yang ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan. Salah satu kawasan konservasi yang telah ditetapkan adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.372.000 ha, terbentang di empat Provinsi, yaitu Jambi 422.190 ha (40%), Bengkulu 310.910 ha (21%), Sumatera Selatan 281.120 ha (14%), dan Sumatera Barat 353.780 ha (25%), yang mencakup 13 daerah kabupaten/kota, salah satunya adalah Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.

Berbagai kajian melaporkan bahwa ribuan penduduk yang bermukim di kawasan TNKS, terperangkap dalam jerat kemiskinan dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat bersumber dari faktor kemiskinan, baik kemiskinan alamiah maupun kemiskinan struktural. Secara struktural, masyarakat tidak memperoleh kesempatan untuk berperan serta, tidak berdaya dan kian lemahnya akses terhadap aktifitas pembangunan, sehingga mereka tetap pada kondisi marjinal, dalam kemiskinan, pendidikan rendah, kondisi kesehatan buruk serta ketidakberdayaan. Khusus wilayah Kabupaten Musi Rawas, dari 34 desa yang di dalam desanya terdapat TNKS menunjukkan bahwa sebanyak 26 desa merupakan desa tertinggal, yang dihuni oleh penduduk miskin sejumlah 39.877 jiwa atau 43% dari total penduduk. Menurut Nugraha, (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

(5)

v

Dari hasil analisis didapatkan bahwa faktor-faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat adalah faktor-faktor yang mempunyai skor rendah atau sangat rendah, yaitu tingkat pendidikan, derajat kesehatan, kondisi infrastruktur, alternatif mata pencaharian dan tingkta kesejahteraan, akses terhadap kelembagaan ekonomi dan sosial, konflik lingkungan dan juga konflik sosial, persepsi masyarakat serta rendahnya partisipasi dalam pengelolaan kawasan TNKS. Sementara faktor-faktor SDA, SDM, Sosial budaya dan kearifan local yang cukup tinggi belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat.

Faktor-faktor eksternal dalam studi ini semuanya mempunyai skor yang sangat rendah, artinya seluruh faktor-faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap ketidakberdayaan masyarakat, seperti dukungan peraturan perundangan yang rendah, keberpihakan pemerintah yang rendah, dukungan lembaga keuangan yang rendah, dukungan politik dan pengalaman politik rendah, terbatasnya ketersediaan pelatihan-pelatihan, pola perencanaan pembangunan yang tidak aspiratif, rendahnya akses informasi, dan rendahnya jaminan ekonomi. Hal ini karena rendahnya kapasitas pemerintah seperti SDM aparatur pengelola dan sumber-sumber keuangan pengelolaan.

Selanjutnya dengan menggunakan metode integrasi Analysis Hierarchy Process AHP) dan SWOT, maka dirumuskan Konsep Pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS yaitu Pemberdayaan Masyarakat secara Terpadu dan Kolaboratif (The Integrated-Collaborative Community Empowerment Concept) untuk melepaskan masyarakat dari faktor-faktor internal maupun eksternal yang melemahkannya, agar dapat mengembangkan potensi-potensi yang tersedia pada lingkungannya, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan akses terhadap kelembagaan ekonomi, termasuk pengembangan Jasa Lingkungan Taman Nasional (air bersih, tanaman obat-obatan, penambatan karbon dan wisata alam serta memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia di luar lingkungannya), peningkatan kapasitas sumberdaya manusia agar menjadi human capital, serta peningkatan partisipasi berbagai stakeholders secara baik .

(6)

vi

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tidak merugikan kepentingaan yang wajar IPB

(7)

vii

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN

TAMAN NASIONALKERINCI SEBLAT (TNKS) WILAYAH

KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

NANTI KASIH

P062030141

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

Penguji pada Ujian Tertutup:

- Dr. Ir. Yeni Ariati Mulyani, MScF

(Departemen Konservasi – Fakultas Kehutanan IPB) - Dr. Ir. Prastowo, M.Eng

(Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan – IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka:

- Dr. Drh. Rohidin Mersyah, MMA

(Wakil Bupati Bengkulu Selatan – Provinsi Bengkulu) - Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS

(9)

ix

Judul Disertasi : Konsep Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan

Nama : Nanti Kasih

NIM : P062030141

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS. Ketua

Dr. Ir. Aris Munandar, MS. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

x

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN

TAMAN NASIONALKERINCI SEBLAT (TNKS) WILAYAH

KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

NANTI KASIH

P062030141

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

xi PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, disertasi dengan judul Konsep Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan dapat diselesaikan. Disertasi ini bertujuan menghasilkan konsep dan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi serta arahan kebijakan yang akan disusun dalam penyusunan perencanaan pemberdayaan masyarakat.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing,

Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.;

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf yang telah memberikan dukungan, motivasi, nasehat serta pelayanan akademik selama masa studi;

3. Bupati Musi Rawas Bapak Drs. H. Riduan Mukti, MH beserta staf yang telah memberikan izin bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian di kawasan desa-desa wilayah TNKS,

4. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB. Demikian pula pada dosen-dosen dan staf akademik yang telah memberikan bantuan akademik bagi penulis dalam menempuh pendidikan Doktor.

(12)

xii

6. Para narasumber dari akademisi, LSM dan tokoh masyarakat serta masyarakat perdesaan di Kawasan TNKS yang telah memberikan informasi dan masukan untuk penulisan disertasi ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa PSL angkatan 2003 dan angkatan lain yang telah memberikan saran atas penulisan disertasi ini.

8. Orang Tuaku dan seluruh keluarga serta kerabat yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, memberi dukungan dan semangat sampai hari ini. Penulis menyadari bahwa ini masih belum sempurna, sehingga penulis menerima masukan pendapat, saran dan kritik dalam rangka perbaikan disertasi ini. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2012

(13)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Air Kandis Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan pada tanggal 25 Mei 1969, sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara dari pasangan Thohir (Alm) dan Maryana (Almh). Menikah dengan dr. Reny Syartika, MEc.Dev. pada 4 Agustus 2001.

Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Kabupaten Empat Lawang dan SMA di Lahat. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1992 pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1999 pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITB. Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Sedangkan berbagai pendidikan non gelar yang pernah penulis ikuti baik dalam negeri maupun dalam negeri antara lain: Diklat Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) UI-Bappenas, Diklat Perencanaan Pembangunan (ITB,1996). Diklat Perencana Fungsional Madya (UGM-Bappenas), Agribusiness Management (IDACA-Tokyo, Jepang 2001), District and Provincial Planning (University of Canberra-Australia 2003), Poverty Alleviation (INFRA-Kuala Lumpur-Malaysia 2008), New Technologies of Agricultural Mechanization (Chinese Academic of Agricultural Mechanization-CAAM-Beijing, 2008), Food Processing (CAAM, Beijing, 2009), Edible Mushroom and Medicinal (Shanghai-Mushroom Institute 2009), Biogas and Sustainable Energy (Yunnan Normal University, Kunming, China, 2010), etc.

(14)

xiv Bogor, Januari 2012

Penulis,

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

1.6. Novelty ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pemberdayaan masyarakat ... 9

2.1.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 9

2.1.2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat ... 11

2.1.3. Proses Pemberdayaan Masyarakat ... 12

2.1.4. Kelompok Miskin, Lemah dan Tidak Berdaya ... 14

2.1.5. Faktor-faktor penyebab ketidak berdayaan masyarakat ... 17

2.1.5.1. Faktor Internal ... 17

2.1.5.2. Faktor-faktor Eksternal ... 19

2.2. Kawasan Konservasi ... 21

2.3. Taman Nasional dan Pengelolaannya ... 23

2.4. Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi di Indonesia ... 26

2.5. Analisis Faktor ... 29

2.5.1. Kaiser Meyer Oikin (KMO) ... 31

2.5.2. Uji Bartlett (Kebebasan Antar Variable) ... 32

2.6. Analisis Strategi Pemberdayaan Masyarakat dengan AWOT ... 32

2.7. Review ICDP TNKS ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2. Pendekatan Penelitian ... 39

(15)

xv

3.4. Pengumpulan Data ... 35

3.5. Unit Penelitian dan Responden ... 42

3.6. Analisis Data ... 43

3.6.1. Analisis Faktor ... 43

3.6.2. Analisis Strategi Pemberdayaan Masyarakat dengan menggunakan Metode AWOT ... 45

3.6.2.1. Tahapan Analisis SWOT ... 45

3.6.2.2. Analisis Hierarchy Process ... 49

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 51

4.1. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ... 51

4.1.1. Letak dan luas TNKS ... 51

4.1.2. Lingkungan Biologi ... 52

4.1.2.1. Tipe Ekosistem dan Tipe Vegetasi... 52

4.1.2.2. Jenis Tumbuhan Endemik, Langka dan Unik ... 54

4.1.2.3. Satwa Liar ... 55

4.1.3. Manfaat Kawasan ... 57

4.1.4. Pengelolaan TNKS ... 59

4.2. Karakteristik Pedesaan Lokasi Penelitian ... 61

4.2.1. Fisik Geografis dan Lingkungan Perumahan ... 61

4.2.1.1. Keadaan Tanah ... 61

4.2.1.2. Tataguna Tanah ... 61

4.2.1.3. Keadaan Perumahan dan Sanitasi ... 62

4.2.1.4. Prasarana dan Sarana ... 63

4.2.2. Kondisi Sosial Masyarakat ... 64

4.2.2.1. Keadaan Penduduk ... 64

4.2.2.2. Pendidikan ... 64

4.2.2.3. Kesehatan ... 66

4.2.2.3.1. Usia Kawin Pertama ... 66

4.2.2.3.2. Partisipasi masyarakat dalam program keluarga Berencana ... 67

4.2.2.3.3. Angka kelahiran dan kematian bayi... 67

4.2.2.4. Penyakit umum yang diderita masyarakat ... 68

4.2.2.5. Alokasi Waktu ... 69

4.2.3. Kondisi Perekonomian ... 70

4.2.3.1. Mata Pencarian ... 70

4.2.3.2. Status dan Luas Lahan yang dimiliki oleh masyarakat ... 71

4.2.3.3. Jenis Komoditi yang diusahakan dan kalender kegiatan Pertanian ... 72

4.2.3.4. Jenis Ternak yang dimiliki masyarakat ... 73

4.2.3.5. Tingkat Kemakmuran Masyarakat ... 74

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75

5.1 Analisis Faktor ... 75

(16)

xvi

5.1.2. Penentuan Banyak faktor dan Pengelompokan Variable berdasarkan

Loading Faktor ... 76

5.1.3.1. Penentuan banyak faktor dengan eigenvalue dan persentase Keragaman ... 76

5.1.3.2. Penentuan banyak faktor dengan scree Plot ... 77

5.1.4. Pengelompokan faktor-faktor ketidakberdayaan kedalam faktor Internal dan Eksternal ... 5.2. Faktor-Faktor Ketidakberdayaan ... 80

5.2.1. Faktor-faktor Internal ... 81

5.2.1.1. Potensi SDA TNKS ... 82

5.2.1.2. Nilai-nilai Budaya dan Kearifan Lokal ... 82

5.2.1.3. Potensi SDM (masyarakat TNKS) ... 84

5.2.1.4. Persepsi Masyarakat terhadap TNKS ... 85

5.2.1.5. Interaksi masyarakat TNKS dengan masyarakat luar kawasan ... 87

5.2.1.6. Akses terhadap Kelembagaan Sosial dan Ekonomi… ... 89

5.2.1.7. Posisi Geografis dan Kondisi Infrastruktur ... 91

5.2.1.8. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan ... 92

5.2.1.9. Alternatif Mata Pencaharian dan Tingkat Kesejahteraan ... 93

5.2.1.10. Kondisi Kesehatan ... 95

5.2.1.11. Tingkat Pendidikan ... 97

5.2.1.12. Kerawanan Terhadap Bencana ... 98

5.2.1.13. Konflik Sosial dan Lingkungan ... 99

5.2.2. Faktor-faktor Eksternal ... 103

5.2.2.1. Rendahnya Dukungan Peraturan Perundangan ... 104

5.2.2.2. Rendahnya Keberpihakan Pemerintah ... 106

5.2.2.3. Rendahnya Dukungan Politik dan Pengalaman Politik ... 107

5.2.2.4. Rendahnya Dukungan Lembaga Keuangan... 108

5.2.2.5. Rendahnya Ketersediaan Pelatihan-pelatihan ... 110

5.2.2.6. Rendahnya jaminan ekonomi ... 111

5.2.2.7 Implementasi kebijakan dan kesesuaian dengan Kebutuhan masyarakat (Distorsi Kebijakan) ... 113

5.2.2.8. Rendahnya Akses terhadap Informasi ... 114

5.2.2.9. Pola perencanaan pembangunan ... 115

5.2.2.10. Implikasi Program Pelestarian TNKS dan Pembangunan Masyarakat TNKS ... 116

5.3. Perumusan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Kawasan TNKS wilayah Kabupaten Musi Rawas ... 119

5.3.1. Analisis SWOT ... 119

5.3.1.1. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal ... 119

5.3.1.2. Formulasi Strategi ... 120

5.3.1.3. Evaluasi Faktor Internal dan Ekternal ... 123

5.3.1.4. Penentuan Posisi Strategi ... 124

5.3.1.5. Strategi Pemberdayaan Masyarakat TNKS wilayah Musi Rawas ... 125

(17)

xvii

Masyarakat kawasan TNKS wilayah Musi Rawas... 125

5.3.2.1. Tujuan Pemberdayaan ... 126

5.3.2.2. Kriteria Strategi Pemberdayaan ... 126

5.3.2.3. Alternatif Strategi Pemberdayaan ... 133

5.3.2.4. Pemberdayaan masyarakat melalui Pembangunan Infrastruktur yang ramah lingkungan ... 134

5.3.2.5. Pemberdayaan Masyarakat dengan meningkatkan akses terhadap kelembagaan ekonomi dan sosial ... 138

5.3.2.6. Pemberdayaan Masyarakat dengan meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan non formal seperti kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif dan berkelanjutan .... 144

5.3.2.7. Pemberdayaan Masyarakat melalui peningkatan partisipasi pengelolaan TNKS ... 148

5.3.2.8. Stakeholder ... 153

5.4. Implikasi Pemberdayaan Masyarakat terhadap Kelestarian TNKS ... 155

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 149

Kesimpulan ... 149

Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Pengertian Pemberdayaan ... 9

Tabel 2 Tujuan Pemberdayaan ... 12

Tabel 3 Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Lindung ... 23

Tabel 4 Dasar Hukum Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Hutan ... 29

Tabel 5 Jenis Data dan Aspek Yang Diamati ... 40

Tabel 6 Keterangan Nilai pada Skala Likert ... 42

Tabel 7 Jumlah KK Miskin dan Jumlah Sampel Responden ... 43

Tabel 8 Skala Perbandingan Berpasangan ... 48

Tabel 10 Tipe Hutan TNKS ... 53

Tabel 11 Pemanfaatan Secara Lestari Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ... 57

Tabel 12 Objek Wisata dan Atraksinya di Kawasan TNKS ... 58

Tabel 13 Keadaan Tanah ... 61

Tabel 14 Penggunaan Lahan di Desa ... 62

Tabel 15 Sarana dan Prasarana ... 64

Tabel 16 Status Perkawinan Penduduk ... 66

Tabel 17 Perbandingan Anagka Kelahiran dan Kematian Bayi ... 68

Tabel 18 Jenis Penyakit Umum Pada Setiap Desa ... 69

Tabel 19 Kepala Keluarga menurut Jenis Pekerjaan Pokok ... 70

Tabel 20 Kepala Keluarga menurut Jenis Pekerjaan Sampingan ... 71

Tabel 21 Jumlah Kepala Keluarga menurut jenis Budidaya Tanaman ... 72

Tabel 22 Kalender Pertanian Masyarakat ... 73

Tabel 23 Ternak pada setiap Desa ... 73

Tabel 24 Tingkat kemakmuran masyarakat ... 74

(19)

xix

Tabel 26. Eigenvalue matriks korelasi keragaman Faktor-faktor Internal... 76

Tabel 27. Eigenvalue matriks korelasi keragaman Faktor-faktor Eksternal ... 77

Tabel 28 Output SPSS Nilai Loading Factor Internal setelah rotasi ... 79

Tabel 29 Output SPSS Nilai loadingFactor dari Faktor Eksternal hasil Rotasi Componen ... 79

Tabel 30 Skor Indikator dari Faktor Potensi Sumber Daya Alam ... 81

Tabel 31 Skor Indikator Nilai-nilai Budaya dan kearifan lokasl ... 82

Tabel 32 Skor Indikator dari Faktor Potensi SDM ... 84

Tabel 33 Skor Indikator dari Faktor Persepsi Terhadap Kawasan TNKS ... 86

Tabel 34 Indikator Faktor Interaksi dengan Masyarakat Luar Kawasan ... 87

Tabel 35 Faktor Akses Terhadap Kelembagaan Sosial Ekonomi ... 89

Tabel 36 Faktor Kondisi Infrastruktur dan Posisi Geografis ... 91

Tabel 37 Skor Faktor Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKS ... 93

Tabel 38 Skor Indikator dari Faktor Alternatif Mata Pencaharian dan Tingkat Kesejahteraan ... 94

Tabel 39 Skor Indikator dari Faktor Kesehatan ... 95

Tabel 40 Skor Indikator dari Faktor Kerawanan Bencana ... 99

Tabel 41Skor Indikator dari Konflik Sosial dan Lingkungan... 100

Tabel 42 Skor Indikator dari Faktor Dukungan Peraturan Perundangan... 108

Tabel 43 Skor Indikator Faktor Keberpihakan Pemerintah ... 106

Tabel 44 Skor Indikator Dukungan Politik dan Pengalaman Politik Masyarakat ... 107

Tabel 45 Skor Indikator dari Faktor Dukungan Lembaga Keuangan ... 109

Tabel 46 Skor Indikator dari Faktor Ketersediaan Pelatihan ... 110

Tabel 47 Skor Indikator dari Faktor Jaminan Ekonomi ... 112

Tabel 48 Skor Indikator dari Faktor Implementasi Kebijakan dan Kesesuaiannya Dengan Kebutuhan Masyarakat ... 114

Tabel 49 Skor Indikator Faktor Akses Informasi ... 115

Tabel 50 Skor Indikator Faktor Pola Perencanaan Pembangunan ... 115

(20)

xx

Tabel 52 Faktor- faktor Internal dan Eksternal ... 121

Tabel 53 Formula Strategi SO ... 120

Tabel 54 Formula Strategi ST ... 122

Tabel 55 Formula Strategi WO ... 122

Tabel 56 Formula Strategi WT ... 122

Tabel 57 Evaluasi Faktor Internal (IFE) ... 123

Tabel 58 Evaluasi Faktor External (EFE) ... 123

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran ... 6

Gambar 2 Strukturisasi Metode AWOT ... 34

Gambar 3 Pendekatan Penelitian ... 39

Gambar 4 Diagram Analisis SWOT ... 48

Gambar 5 Peta TNKS dan Kabupaten Musi Rawas... 51

Gambar 6 Citra Satelit Kawasan TNKS Wilayah Kabupaten Empat Lawang ... 51

Gambar 7 Keindahan Alam TNKS ... 54

Gambar 8 Jenis-jenis Keanekargaman Hayati yang dilindungi ... 54

Gambar 9 Beberapa Jenis Hewan yang dilindungi di TNKS ... 56

Gambar 10 Struktur Organisasi Pengelola TNKS ... 60

Gambar 11 Perumahan Penduduk ... 62

Gambar 12 Aktifitas MCK Masyarakat masih menggunakan Sungai ... 63

Gambar 13 Diagram Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 64

Gambar 14 Diagram Tingkat Pendidikan ... 65

Gambar 15 Diagram Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun (usia sekolah) Menurut Keadaan Bersekolah ... 65

Gambar 16 Jenis Kontrasepsi dalam Keluarga Berencana ... 67

Gambar 17 Jumlah Bayi Lahir dan Bayi Meninggal ... 68

Gambar 18 Aktifitas Masyarakat dan Anak-anak ... 69

Gambar 19 Hasil Pertanian di Kawasan TNKS ... 72

Gambar 20 Scree Plot dari Faktor Internal ... 78

Gambar 21 Scree Plot dari Faktor Eksternal ... 78

Gambar 22 Histogram Mean Score Masing-masing Faktor Internal……… 80

Gambar 23 Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 98

(22)

xxii

Gambar 25 Histogram Mean Score Masing-masing Faktor Ekternal ... 107 Gambar 26 Plot Nilai Loading Masing-masing Faktor Eksternal ... 117 Gambar 27Kuadran Hasil Analisis SWOT (strategi WO) ... 124 Gambar 28 Kriteria Strategi Pemberdayaan Masyarakat TNKS di Kawasan

Kabupaten Musi Rawas ... 126 Gambar 29 Strukturisasi Strategi Pemberdayaan Masyarakat TNKS wilayah

Kabupaten Musi Rawas ... 127 Gambar 30 Nilai Eigen Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberdayaan

Masyarakat ... 128

Gambar 31 Nilai Eigen Prioritas Program dari Kebijakan Pembangunan

Infrastruktur Transportasi yang Ramah Lingkungan... 130

Gambar 32 Nilai Eigen Prioritas Program dari Kebijakan Akses Terhadap

Lembaga Sosial dan Ekonomi... 134 Gambar 33 Nilai Eigen Prioritas Program dari Kebijakan Peningkatan Kualitas

SDM... 139 Gambar 34 Proses Pemberdayaan Menuju Peran Serta Masyarakat... 141 Gambar 35 Nilai Eigen Prioritas Program dari Kebijakan Peningkatan

Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Kawasan

Konservasi... 144 Gambar 36 Prioritas Peran Stakeholder dalam Rangka Pemberdayaan

Masyarakat TNKS di Kawasan Kabupaten Musi Rawas... 148

Gambar 37 Konsep Collaborative Community Empowerment…………... 149

DAFTAR LAMPIRAN

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab agar tidak rusak atau bahkan punah. Pengelolaan yang bertanggung jawab diantaranya adalah melalui kebijakan pengembangan kawasan konservasi yang ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan (Sembiring, 1999).

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang paling umum dan dikenal secara populer (McKinnon, et al 1993). Kebijakan pengelolaan Taman Nasional ditujukan untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, memenuhi fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, serta pemanfaatan secara lestari dan optimal (IUCN, 1994). Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan bahwa Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

(24)

tinggal menetap di dalam kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Wiratno et al. 2004).

Kawasan konservasi, utamanya taman nasional, interaksi antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan pola interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian hutan (Wiratno et al. 2004). Walaupun demikian, konflik pemanfaatan sumberdaya hutan dengan masyarakat di sekitar taman nasional juga telah terjadi di banyak tempat (Golar, 2007).

Di Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dengan taman nasional terjadi di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Puting, TN Lauser; dan TN Boganani Nani Wartabone; serta TN Kerinci Seblat (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno

et al. 2004). Di manca negara dapat dijumpai pada TN Waza – Cameroon (Bauer 2003), TN Alaskan – USA (Dear & Meyers 2005), dan TN Virunga, Congo (Kameri-Mbote 2006). Pada umumnya konflik tersebut berakar pada permasalahan kelembagaan, utamanya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam (resources management), antara pemerintah dan masyarakat setempat (Golar, 2007)).

Khusus wilayah Kabupaten Musi Rawas terdapat 34 desa yang secara administrasi merupakan kawasan TNKS, dimana kehidupan masyarakat di wilayah ini juga sangat tergantung pada keberadaan sumberdaya di kawasan TNKS. Hal ini menjadi tantangan dalam upaya konservasi kawasan, terlebih lagi sebagian besar tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat ditetapkan pemerintah sebagai bagian dari kawasan TNKS, sehingga akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya lahan dan hutan menjadi terbatas. Kondisi ini terutama dirasakan oleh masyarakat kawasan TNKS yang hidup dan berinteraksi dengan sumberdaya hutan TNKS secara turun-temurun.

(25)

tinggal adalah hutan yang kaya sumberdaya. Mereka dihadapkan dilema antara kemiskinan yang makin menghimpit dan keharusan menyelamatkan hutan dan sungai-sungai lainnya.

John Friedman (1992) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia. Sementara Chambers (1995) menggambarkan kemiskinan, terutama di perdesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.

Menurut Nugraha (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

Ketidakberdayaan masyarakat dapat dilihat dari faktor-faktor kemiskinan, baik kemiskinan alamiah maupun kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah sehingga mereka tidak mampu berproduksi. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan oleh kurang tepatnya tatanan kelembagaan. Dalam hal ini, tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi atau kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak memihak pada masyarakat miskin. Kemiskinan adalah buah dari buruknya iklim hidup yang terwujud pada sulitnya kelompok masyarakat mengakses pelayanan publik.

Kondisi ini membuat masyarakat semakin menggantungkan diri pada sumber daya hutan dan berdampak pada semakin merosotnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dan karena itu mereka semakin miskin dan tidak berdaya. Secara struktural, masyarakat tidak memperoleh kesempatan untuk berperan serta, berada dalam kondisi yang skeptis, tidak berdaya dan kian lemahnya akses terhadap aktifitas pembangunan, sehingga mereka tetap pada kondisi marjinal, dalam lingkaran kemiskinan, pendidikan rendah, kondisi kesehatan buruk serta ketidakberdayaan (Nugraha,2005).

Situasi masyarakat perdesaan di kawasan TNKS tetap secara subsisten

(26)

semakin parah telah memicu perusakan sumberdaya hutan. Upaya-upaya eksploitasi yang dilakukan masyarakat antara lain berupa penebangan liar, perburuan liar satwa langka dan dilindungi, serta pembukaan lahan untuk pertanian lainnya.

Seiring dengan pertambahan penduduk dan tuntutan ekonomi, maka tekanan terhadap TNKS menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Yakin (1997) menjelaskan bahwa faktor penduduk mengambil peranan penting dalam proses degradasi lingkungan, apalagi jika hal itu tidak diikuti dengan pembangunan ekonomi dan perkembangan teknologi yang memungkinkan penggunaan dan alokasi sumberdaya yang efisien. Berdasarkan pendapat ini, maka degradasi TNKS dikemudian hari sulit dihindarkan.

Memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat di kawasan TNKS dan dalam rangka meminimalisasi implikasi permasalahan tersebut dimasa yang akan datang, dipandang perlu adanya kebijakan khusus pembangunan daerah. Hal ini mengantarkan pada suatu pemikiran bahwa masyarakat di kawasan ini harus diberdayakan. Maka studi ini menjadi penting untuk dilakukan, dengan harapan akan dapat dirumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam suatu ekosistem TNKS yang lestari.

1.2. Perumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS merupakan keharusan yang menjadi tanggung jawab semua pihak, untuk mencapai kondisi yang diharapkan yaitu peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan TNKS itu sendiri. Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS adalah terciptanya masyarakat yang mau dan mampu mengembangkan kreativitas yang bertumpu pada potensi sosial, budaya dan lingkungan yang mereka miliki guna mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.

(27)

penyebabnya. Sehingga berbagai penyebab ketidakberdayaan masyarakat di kawasan TNKS, baik faktor-faktor internal (budaya atau faktor alam), maupun faktor-faktor eksternal (struktural) seperti kebijakan pembangunan, pola perencanaan yang kurang melibatkan institusi setempat sekaligus mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah serta implementasi berbagai sistem yang tidak mencerminkan sistem sosial, ekonomi dan budaya setempat, harus dapat diidentifikasi dan diuji (Nugraha, 2005).

Rojek (1986) menambahkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberdayaan atau ketidakberdayaan atau faktor-faktor determinan, antara lain, perubahan sistem sosial, yang diperlukan sebelum proses pemberdayaan yang sebenarnya dapat dimungkinkan terjadi. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat? 2). Bagaimana konsep pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS?

1.3. Kerangka Pemikiran

Secara konseptual kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena rendahnya potensi sumberdaya alam, pemanfaatan berlebih, infrastruktur yang terbatas, daerah rawan bencana alam dan konflik. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena nilai-nilai budaya internal yang dimiliki orang per orang atau kelompok masyarakat itu sendiri.

Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena adanya peraturan, kebijakan dan pola pembangunan yang tidak tepat. Akumulasi faktor-faktor kemiskinan tersebut merupakan akar masalah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan TNKS menjadi tidak berdaya.

(28)

Langkah selanjutnya adalah membuat konsep dan strategi dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui proses analisis kebijakan menggunakan perangkat analisis AWOT (perpaduan analisis AHP dan SWOT). Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi diartikan sebagai ide-ide atau gagasan-gagasan. Kadangkala konsep tersebut juga diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara berbagai gejala atau perubahan Hikmat (2001). Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran PENGELOLAAN KAWASAN TNKS

BIOFISIK LINGKUNGAN

MASYARAKAT KAWASAN

TIDAK BERDAYA

FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL

FAKTOR-FAKTOR KETIDAKBERDAYAAN

(29)

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan konsep pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS. Tujuan utama dicapai dengan menetapkan beberapa tujuan operasional, sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor internal yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat.

3. Menyusun konsep pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah: dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk dijadikan landasan konsepsual pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi yang merupakan salah satu mekanisme pembangunan berkelanjutan.

2. Peneliti dan pendidik: sebagai bahan rujukan mengembangkan penelitian sosial yang merupakan bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian lebih lanjut

3. Masyarakat: konsep ini dapat dijadikan sebagai penggugah dan pembuka pemikiran ke arah perubahan sosial, agar dapat memudahkan pelaksanaan proses pemberdayaan, baik yang berasal dari kemauan internal masyarakat maupun karena ada program pemberdayaan dari luar.

4. Dunia usaha: dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengembangan investasi khususnya pengembangan investasi pemanfaatan jasa lingkungan.

1.6. Novelty/Kebaruan

(30)

selanjutnya dilaksanakan melalui mekanisme keterpaduan dengan kegiatan konservasi dan kolaborasi antar stakeholder, dimana peran Pemerintah Daerah dan Peran Masyarakat lebih dikuatkan (Integrated-Collaborative Community Empowerment and Conservation Program)

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

2.1.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan (empowerment) secara etimologis berasal dari kata „power

(kekuasaan atau keberdayaan). Empowerment diartikan sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage). Ife (1995) menyatakan, pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Swift dan Levin (1987) menyatakan, pemberdayaan adalah suatu cara sehingga rakyat, organisasi, dan komunitas dapat diarahkan agar mampu menguasai kehidupannya. Berbagai pengertian tentang pemberdayaan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengertian Pemberdayaan

No Pengertian Pustaka

1 Paradigma baru dari konsep pembangunan ekonomi yang bersifat “people centered, participatory, empowering and sustainable”.

Korten (1993) Chambers (1995) Kartasasmita (1996) 2 Upaya meningkatkan harkat dan martabat, kekuasaan, kemampuan, dan

kemandirian lapisan masyarakat yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, agar mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kebutuhan obyektif masyarakat itu sendiri.

Hikmat (2001) Suharto (2004) Sumodiningrat (2009)

3 Suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination).

Simon (1990), Hikmat (2001)

4 The expansion of assets and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that

affect their lives” .

Word Bank (2002)

Dalam wacana pembangunan, pemberdayaan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Max Weber (1946) mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri. Kekuasaan adalah sebagai alat atau metode yang tepat untuk meneruskan cita-cita eksistensialisme, fenomenologi ataupun personalisme, sekurang-kurangnya di dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyaratan (Soekanto,2003).

(32)

menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: (1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan; (2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya; (3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan; (4) Kelembagaan: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan; (5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan; (6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang serta jasa; (7) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Secara sosiologis, Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyatakan bahwa terhadap sistem kekuasaan yang menjadi manifestasi dari determinisme sendiri, terbukti ada variasi dalam sikap dan pandangan. Keadaan tersebut melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan, yaitu: pertama, suatu bentuk penghancuran kekuasaan atau power to no body.

Didasari pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan maka kekuasaan harus dihapuskan. Kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat menimbulkan abuse dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh karena itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri.

(33)

Oleh sebab itu menurut pandangan ini, yang paling realistis adalah power to powerless (Adimihardja dan Hikmat 2004).

Menguatnya isu demokratisasi, semangat the civil society serta mencuatnya model pembangunan yang berbasis komunitas ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman kegagalan strategi dan kebijakan pembangunan nasional pada masa lalu, tetapi juga pengalaman negara-negara maju yang kemudian mendorong terjadinya reorientasi dan perubahan paradigma pembangunan yang dikembangkan oleh Korten, et al (1984), dari ekonomi sebagai sentral (capital centered development) kepada manusia sebagai pusat utama pembangunan (people centered development).

Selanjutnya dalam konteks inilah, wacana pemberdayaan masyarakat perlu dikontekstualkan ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional tidak hanya berfungsi sebagai standar dan pemaksa yang menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap orang, melainkan juga mampu menyediakan ruang bagi pemberdayaan masyarakat, baik dalam perumusan, strategi implementasinya maupun muatan program di dalamnya (Munandar,2008).

Menurut Nugraha (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

2.1.2.Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

(34)

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Beberapa pendapat tentang tujuan pemberdayaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tujuan Pemberdayaan.

No Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pustaka

1.

Untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik, mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan.

Tampubolon (2004)

2. Untuk membebaskan rakyat dari ketidakmampuan, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan yang berpijak pada kemampuan rakyat sendiri dan berorientasi pada penggalian dan pengembangan segenap potensi yang ada dalam masyarakat.

Suharto (2005b)

3. Untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung

Ife (1995)

4. Menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial

Swift dan Levin (1987) 5. Suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar

mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya

Rappaport (1984);

2.1.3. Proses Pemberdayaan Masyarakat

Proses pemberdayaan seperti yang telah dikembangkan oleh UN sejak tahun 1956 mempunyai tahapan-tahapan proses pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: (1) mengetahui karakteristik masyarakat yang akan diberdayakan (getting to know the local community); (2) mengumpulkan informasi mengenai masyarakat, yang meliputi informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal (gathering knowledge about the local community); (3) mencari dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat, karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat

(35)

self-confidence), tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya; (8), masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan (deciding on a program action); (9),

memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya (recognition of strengths and resources); (10) pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu (helping people to continue to work on solving their problems); (11),

salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat (increasing people’s ability for self-help). Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya (Tampubolon, 2004).

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dilakukan dan dicapai melalui penerapan strategi pemberdayaan. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan (Suharto, 2005), yaitu; 1). Pendekatan mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu melalui bimbingan, konseling, stress managemet, intervensi krisis. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach); 2). Pendekatan mezzo.

Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya; 3). Pendekatan makro. Pendekatan ini disebut strategi sistem besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobi, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini.

(36)

sebagai modal usaha; (2) pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan sosial ekonomi rakyat; (3) penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi dan jasa masyarakat; (4) pelatihan bagi aparat dan masyarakat; (5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi rakyat.

Mashoed (2004) menyebutkan beberapa strategi pemberdayaan yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu:1). Strategi De-Linking: Asumsi dasar dari strategi ini adalah bahwa salah satu sumber kemiskinan karena adanya hubungan dependensi antara kaum miskin dengan birokrasi. Mereka sangat tergantung kepada birokrasi. Oleh karenanya sasaran penanggulangan kemiskinan adalah meningkatkan kemampuan mereka untuk mengartikulasikan kepentingan kepada sistem sehingga dapat diharapkan adanya sustainability atau keberlanjutan program pengentasan kemiskinan.; 2). Strategi desentralisasi: Dengan menempatkan lokus pengambilan keputusan pada unit yang paling dekat dengan kelompok sasaran, akan terwujud keputusan yang paling merefleksikan aspirasi dan kepentingan objektif masyarakat miskin.

Apabila pusat pelayanan masyarakat termasuk pelayanan pemerintah berada jauh dari lokasi kelompok sasaran (masyarakat miskin), maka diperlukan upaya untuk mendekatkan pelayanan dan berada pada lingkungan masyarakat miskin tersebut.; 3). Strategi Integrasi Spatial: Dengan strategi ini, pengentasan kemiskinan dilakukan melalui perencanaan yang terintegrasi, yaitu antara rural dan urban, antara desa tertinggal dengan kota terdekat, antara desa terisolasi dengan kota kecamatan, dan seterusnya.

Pemberdayaan masyarakat memerlukan kebijakan, komitmen, organisasi, program, serta pendekatan yang tepat. Lebih dari itu diperlukan juga suatu sikap yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa pun, melainkan orang yang memiliki sesuatu walaupun hanya sedikit.

2.1.4. Kelompok Miskin, Lemah dan Tidakberdaya

(37)

minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold).

Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya; 3). Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang.

Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (Suharto, 2004); 4). Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan; 5). Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Suharto, 2004).

(38)

Dari berbagai pendapat selajutnya Suharto (2004) mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang disebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan: i). Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, rumah ibadah, ke rumah tetangga; ii). Kemampuan membeli komoditas „kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo,dll); iii). Kemampuan membeli komoditas

„besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, iv). Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga; v). Kebebasan relatif dari dominasi keluarga; vi). Kesadaran hukum dan politik; vii). Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes; vii). Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya.

Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi: i). Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis; ii). Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, masyarakat terasing; iii). Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga; iv). Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda

dari „keumuman’ kerapkali dipandang sebagai „deviant’ (penyimpang). Mereka

(39)

merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

2.1.5. Faktor-Faktor Penyebab Ketidakberdayaan Masyarakat

Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi diskusi dan wacana akademis yang cukup hangat dalam dekade ini. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat seperti kelas ekonomi rendah, minoritas etnis, wanita, penyandang cacat, dan sebagainya, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan.

Menurut Munandar (2008), ketidakberdayaan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.

Memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat untuk menentukan kebutuhan, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, sehingga dapat menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Proses dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat harus tetap mengakomodir akar penyebabnya. Harus dapat diidentifikasi sekaligus dibuktikan berbagai penyebab ketidakberdayaan yang menimpa masyarakat desa di kawasan konservasi.

Ketidakberdayaan masyarakat perdesaan umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan potensi desa atau kawasannya. Menurut Nugraha, (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

2.1.5.1. Faktor Internal

(40)

Teori ini bertolak dari suatu kerangka pemikiran yang mempertentangkan antara nilai-nilai modern dan nilai-nilai tradisional secara asimetris. Lebih lanjut Lewis bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan rendahnya pendidikan. Keadaan ini berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai-nilai dan perilaku kemiskinan secara turun temurun. Akibatnya, perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan mereka, sehingga masyarakat yang hidup dalam kebudayaan kemiskinan sulit membebaskan diri dari pengaruhnya.

Demikian juga Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal datang dari dalam diri kelompok lemah dan tidak berdaya itu sendiri, seperti: (1) rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya; (2) penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain; (3) lemahnya struktur-struktur penghubung’ (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, seperti organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya; (4) akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian; (5) ketidakberdayaan merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik.

(41)

ekonomi dan pendidikan, sedangkan pada masyarakat perdesaan biasanya adat istiadat, budaya setempat dan agama (Aziz, dalam Suhartini, et al. 2005).

Faktor yang tidak kalah penting untuk diberikan perhatian adalah kendala-kendala struktural yang terdapat di dalam masyarakat, kendala-kendala-kendala-kendala struktural tersebut mendapat perhatian dari pendukung teori-teori struktural untuk melengkapi analisis mereka secara komprehensif mengenai faktor penyebab kemiskinan masyarakat.

2.1.5.2. Faktor-faktor Eksternal

Pendekatan eksternal berasumsi bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melanda seseorang atau kelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh adanya pengaruh yang berasal dari luar individu atau masyarakat itu sendiri, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi, kebijakan pembangunan yang terlalu terpusat, pola perencanaan yang kurang melibatkan institusi setempat sekaligus mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah serta implementasi berbagai sistem yang tidak mencerminkan sistem sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.

Kemiskinan dan ketidakberdayaan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan atau ketidakberdayaan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan dan ketidakberdayaan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin untuk

bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial

dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2004).

Pernyataan Frank (1967) mengisyaratkan dengan tegas bahwa penyebab keterbelakangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat terletak pada dimensi eksternal, yakni akibat proses ekploitasi yang terjadi, seperti yang berkaitan dengan penetrasi sistem kapitalisme sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, bahwa sistem kapitalisme yang dipraktikkan telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan secara besar-besaran dan kontinyu surplus ekonomi yang dimiliki masyarakat, sehingga mengakibatkan keterbelakangan dan kemiskinan pada diri mereka.

(42)

masyarakat akibat adanya dominasi dan praktik-praktik ekploitasi yang berlangsung dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Solomon (1979), Escap (1999) dan Adimihardja & Hikmat (2004) juga menjelaskan bahwa ketidakberdayaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, antara lain seperti: (1) interaksi negatif dengan orang lain.; (2) berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih luas; (3) kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kebijakan yang sentralistik dalam penanganan masalah sosial berakibat masalah sosial bukan masalah komunitas. Mereka juga kurang mampu memanfaatkan potensi dan sumberdaya sosial yang ada. Kondisi masyarakat berada dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara bebas untuk memuaskan aspirasinya dan merealisasikan potensi mereka. Akibatnya, masyarakat berada dalam kondisi tidak berdaya (Hikmat, 1999).

Suharto, et al. (1997) menguraikan bahwa ketidakberdayaan juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.

Rojek (1996) menambahkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses pemberdayaan adalah faktor-faktor determinan, antara lain, perubahan sistem sosial yang diperlukan sebelum proses pemberdayaan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu, perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Rojek menekankan bahwa sistem sosial yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah ekonomi dan politik. Perubahan sosial budaya berjalan dengan lambat dan bertahap, sehingga para warga masyarakat yang bersangkutan tidak merasakan adanya tahapan disorgananisasi sosial yang sedang berjalan. Selain itu faktor-faktor kunci keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi dan kebijakan pemerintah serta pengakuan kedaulatan rakyat oleh pemerintah (Hidayat 1997).

(43)

dalam proses pembuatan keputusan tentang tindakan yang dilakukan; (2) bagaimana keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan khusus; (3) berbagi manfaat dari program pembangunan; atau (4) keterlibatan dalam evaluasi program.

2.2. Kawasan Konservasi

Istilah konservasi muncul sebagai koreksi atas kekeliruan dasar dalam perlindungan, yang cenderung melihat sumberdaya hayati dari logika arkeologis sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan (preservation) sumberdaya tersebut. Sedangkan dari logika biologi melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui, sehingga memunculkan istilah yang lebih relevan yaitu konservasi (conservation), yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis.

Marsh dalam Wiratno, et al. (2004) mendasarkan konsep pemanfaatan dalam konservasi, yaitu pendayagunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab agar berguna bagi manusia. Pemanfaatan sumber daya hayati dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup (ekonomis) manusia, namun di sisi lain diperlukan pemeliharaan eksistensi sumberdaya tersebut demi keberlanjutan hidup (ekologis) dan pemanfaatannya. Tarik-menarik antara kepentingan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam inilah yang kemudian memunculkan gerakan konservasi.

Wiratno (2004) menegaskan bahwa konservasi merupakan pengelolaan kehidupan alam oleh manusia guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Maka konservasi sebenarnya bernilai positif, mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan kualitas lingkungan alam.

(44)

ekosistem pegunungan tropika; (2) spesies khusus dengan pertimbangan kelangkaan dan terancam punah; (3) areal yang memiliki keanekaragaman spesies; (4) lansekap atau ciri geofisik yang bernilai estetika atau pengetahuan misalnya mata air panas, air terjun dan lain-lain;(5) fungsi perlindungan hidrologi, tanah, air dan iklim lokal; (6) fasilitas untuk rekreasi alam ataupun wisata alam misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan dan satwa liar yang menarik; dan (7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil dan galian purbakala.

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kategorisasi kawasan perlindungan dan pelestarian terbagi menjadi Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Kawasan Cagar Alam hanya diperuntukkan bagi kepentingan penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu dan budaya. Sedangkan Kawasan Suaka Margasatwa berfungsi melestarikan keanekaragaman atau keunikan jenis satwa, baik secara alami maupun dengan membina habitatnya, untuk tujuan penelitian, pendidikan dan juga wisata terbatas.

Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan yang hampir sama dengan kawasan

suaka alam dengan fungsi lebih yaitu dapat dimanfaatkan sumberdaya hayati dan

ekosistemnya secara lestari. Tipe kawasan ini terdiri atas Taman Nasional, Taman

Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Taman Nasional adalah mempunyai ekosistem

asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman hutan raya adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau

satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, untuk tujuan penelitian, pendidikan,

ilmu pengetahuan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan taman

wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi. Selain kedua jenis kawasan

tersebut di Indonesia ada pula hutan lindung, yang berfungsi untuk melindungi

sumberdya air, tanah, dan ekosistem yang memberikan penyangga kepada sistem

(45)

Menurut IUCN (1994) kawasan dilindungi (protected area) didefinisikan sebagai suatu areal, baik darat dan laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya. Untuk dapat menjabarkan definisi diatas maka IUCN (1994) mengelompokkan kawasan dilindungi terdiri atas 6 (enam) kategori yaitu : (1) Strict Nature Reserve/Wilderness Area, yang meliputi : 1a = Strict Nature Reserve dan 1b = Wilderness Area; (2) National Park; (3) National

Monument; (4) Habitat/spesies management Area; (5) Protected

[image:45.595.95.508.130.767.2]

landscape/Seascape; (6) Managed Resources protected Area. Selanjutnya pada tahun 2004 IUCN mend

Gambar

Tabel 3. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Lindung
Tabel 4. Dasar Hukum Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Hutan
Tabel 5. Jenis Data dan Aspek yang diamati
Tabel 8. Skala Perbandingan Berpasangan
+7

Referensi

Dokumen terkait